Transmisi Harga Dan Perilaku Pasar Bawang Merah

TRANSMISI HARGA DAN PERILAKU PASAR
BAWANG MERAH

JANUAR ARIFIN RUSLAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transmisi Harga dan
Perilaku Pasar Bawang Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016


Januar Arifin Ruslan
NRP : H453130061

RINGKASAN
JANUAR ARIFIN RUSLAN. Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang
Merah. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan SUHARNO.
Aspek off-farm menjadi masalah utama dalam pengembangan sayuran.
Bawang merah merupakan komoditi penting di Indonesia dengan tingkat fluktuasi
harga yang besar. Selama tahun 2008-2014, rata-rata margin pemasaran bawang
merah di sentra produsen-grosir sebesar Rp 3 100 per kg/tahun sedangkan grosir pengecer sebesar Rp 5 700 per kg/tahun. Ini menunjukan adanya disparitas harga
yang besar antara lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia. Disparitas
harga ini juga terkait dengan perilaku lembaga pemasaran yaitu adanya interaksi
antar lembaga pemasaran. Pemodelan proses interaksi antar lembaga pemasaran
diperlukan untuk memahami proses dalam penentuan harga.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis transmisi harga antar
lembaga pemasaran bawang merah, (2) menganalisis faktor yang mempengaruhi
pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir, (3)
mengidentifikasi perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga bawang
merah. Penelitian ini menggunakan model Houck dan ECM-EG untuk

menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah dan model
ECM menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang
merah di tingkat konsumen akhir. Analisis teori permainan digunakan untuk
mengindentifikasi perilaku pasar dalam pembentukan harga bawang merah. Data
yang digunakan merupakan kombinasi dari data deret waktu dan data primer. Data
sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pasar Induk Kramat Jati
(PIKJ) sedangkan data primer diperoleh dari wawancara langsung ke lembaga
pemasaran bawang merah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa transmisi harga antar lembaga
pemasaran bawang merah bersifat asimetris baik pada hubugan produsen-grosir
maupun grosir-pengecer. Asimetri transmisi harga antara produsen-grosir
dipengaruhi oleh faktor jangka pendek yaitu adjusment cost sedangkan grosirpengecer dipengaruhi oleh adanya market power di tingkat pedagang pengecer.
Pembentukan harga bawang merah di tingkat konsumen akhir dalam jangka
pendek dipengaruhi oleh harga grosir, harga produsen, bahan bakar minyak
(BBM) dan harga impor bawang merah sedangkan dalam jangka panjang
dipengaruhi oleh harga grosir, harga produsen, BBM, dan harga konsumen
bawang merah pada waktu sebelumnya. Analisis perilaku pasar menunjukkan
bahwa pembentukan harga sangat dipengaruhi struktur pasar setiap lembaga
pemasaran bawang merah. Kondisi pasar yang bersifat oligopsoni di tingkat petani
menyebabkan strategi terkait harga bukan nash equlibrium bagi petani sebaliknya

pengecer dengan kekuatan pasarnya dapat menentukan harga.
Kata kunci : bawang merah, hubungan petani-grosir-pengecer, asimetris
transmisi, perilaku pasar

SUMMARY
JANUAR ARIFIN RUSLAN. Price Transmission and Market Behaviour of
Shallot. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and SUHARNO.
Off-farm aspect is the main problem in development of vegetables
agriculture. Shallots are important commodity in Indonesia with large price
fluctuations. In 2008-2014, the marketing margin of shallot between farmwholesaler was Rp 3 100 while the marketing margin between wholesale - retailer
was Rp 5 700. This shows there is a great price disparity between marketing
agents. Price disparity also associated with the marketing agents’ behaviour,
which indicates the existance of marketing relationship between agents. The
modeling of the interaction between marketing agents is required to understand
the process in determining the price.
The purposes of this study were to: (1) analyze the price transmission
between marketing agents (2) analyze the factors affecting prices of shallots at the
final consumer (3) identify the behaviour of marketing agencies in the formation
of shallot prices. This research used the Houck and ECM-EG model to analyze
price transmission between marketing agents and the ECM model to analyze the

factors affecting prices of shallots at the final consumer. Game theory used to
identify the behaviour of marketing agencies. The data used in this study was
combination of time series data and primary data. Secondary data were obtained
from the Central Bureau of Statistics and central market of Kramat Jati, while
primary data obtained from direct interview to marketing agents.
The results showed that price transmission at farmer to wholesale was
asymmetric in short-term while wholesalers to retailers was asymmetric in the
long term. The asymmetric price transmission in short term was exist due to
adjusment cost and in long term was due to the existence of the market power
abuse. Formation of shallot prices at the level of the final consumer in the short
term was influenced by wholesale prices, producer prices, fuel and import prices,
whereas in long term was influenced by wholesale prices, farm price, fuel and
consumer prices at the previous period of time (t-1). The analysis of market
behavior showed that the price formation was influenced by the market structure
of each marketing agents. The oligopsony market structure at farm level caused
the pricing strategy wasn’t nash equlibrium for farmer otherwise the retailer with
market power can determine the price.
Keywords: shallots, farmer-wholesaler-retailer linkage, asymmetric transmission,
market behaviour


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TRANSMISI HARGA DAN PERILAKU PASAR
BAWANG MERAH

JANUAR ARIFIN RUSLAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

Judul Tesis
Nama
NIM
Mayor

: Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah
: Januar Arifin Ruslan
: H453130061
: Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi
Ketua

Dr Ir Suharno, MAdev
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian : 2 Februari 2016


Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
ini adalah mengenai pemasaran bawang merah di Indonesia, dengan judul
Transmisi Harga dan Perilaku Pasar Bawang Merah.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena
bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi
pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada:
1. Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi., selaku ketua komisi pembimbing, dan
Dr Ir Suharno, MAdev., selaku anggota komisi pembimbing yang selalu
meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai
sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.
2. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi., selaku penguji Luar Komisi dan Dr Meti Ekayani,
S Hut MSc, selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua
pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada
penulis.
3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS., selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh
pendidikan.
4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang
telah diberikan selama masa perkuliahan.
5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan
Program Magister di IPB.
6. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada keluarga yaitu orang tua
penulis Ibunda Mastura Barhiman, Kakanda Nuning Ruslan dan Ade Ruslan
dan adikku Ria Ruslan atas doa dan dorongan serta semangat yang diberikan
selama studi. Dengan iringan doa kepada almarhum ayahanda tercinta Ruslan
H. Kasmin, terima kasih atas semua nasihat dan do’anya semasa hidup.
7. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2013 yang
telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah.
8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini.
Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan
tanggung jawab penulis. Semoga tesis ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terutama menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya
untuk kepentingan yang lebih baik.


Bogor, Maret 2016

Januar Arifin Ruslan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1
1
2
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu
Model Analisa Transmisi Harga dan Perilaku Pasar
Teori Harga
Integrasi Pasar dan Transmisi Harga
Struktur, Kekuatan Pasar dan Pembentukan Harga Komoditas
Perilaku Pasar
Game Theory dalam Analisis Perilaku Pasar
Kerangka Pemikiran
Hipotesis

5
5
7
9
10
11
12
13
15
17

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penentuan Sampel
Metode Analisis Data

18
18
18
18
19

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi dan Perdagangan Bawang Merah
Gambaran Pergerakan Harga Bawang Merah
Transmisi Harga Bawang Merah
Faktor Pembentuk Harga Bawang Merah di Tingkat Konsumen
Analisa Game Theory dalam Pembentukan Harga Bawang Merah

26
26
28
29
41
47

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

59
59
59

DAFTAR PUSTAKA

60

LAMPIRAN

64

RIWAYAT HIDUP

74

DAFTAR TABEL
1 Matriks strategi penetapan harga oleh pengecer.
2 Perkembangan produksi bawang merah per provinsi di Indonesia tahun.
2010-2014 (Ton).
3 Deskripsi statistik harga produsen, grosir, dan pengecer bawang merah
dari bulan Januari 2008 sampai Desember 2014.
4 Hasil uji stationerita data.
5 Hasil estimasi kointegrasi harga produsen, grosir, dan pengecer bawang
merah.
6 Hasil estimasi Granger causality harga produsen-grosir dan grosirpengecer bawang merah.
7 Hasil estimasi model asimetris Houck dari bulan Januari 2008 sampai
Desember 2014.
8 Hasil estimasi model asimetris ECM-EG dari bulan Januari 2008
sampai Desember 2014.
9 Elastisitas transmisi harga dengan model Houck dan ECM-EG.
10 Hasil estimasi Wald test pada kesimetrisan harga antar lembaga
pemasaran bawang merah di Indonesia.
11 Hasil uji stationeritas data
12 Hasil Johanssen cointegration test
13 Hasil kointegrasi menggunakan ADF pada residual
14 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga
bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka pendek.
15 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga
bawang merah di tingkat konsumen dalam jangka panjang.
16 Analisis profitabilitas usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes,
tahun 2015
17 Matriks strategi penetapan harga oleh pengecer

25
26
29
31
31
32
33
35
37
39
43
43
44
45
47
51
55

DAFTAR GAMBAR
1 Perkembangan harga bulanan bawang merah di sentra produsen, grosir,
dan konsumen Indonesia tahun 2008-2014
2 Kerangka pemikiran penelitian
3 Extensive form game antar petani dengan pedagang desa dan pedagang
Pasar Klampok
4 Signaling game antara petani dengan pedagang desa
5 Persentase rata-rata produksi bawang merah per propinsi pada tahun
2008-2014 di Indonesia
6 Perkembangan volume produksi dan impor bawang merah pada tahun
2008-2014 di Indonesia
7 Margin pemasaran antar lembaga pemasaran bawang merah di
Indonesia
8 Perkembangan harga bawang merah di sentra produsen, dan harga
impor di Indonesia
9 Gaming antara petani bawang merah dengan pedagang di sentra
produsen (hidden action)
10 Hasil signaling game petani bawang merah dengan pedagang desa
11 Extensive game antar pengecer dalam penetapan harga

2
17
22
23
26
27
28
29
49
53
56

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kontribusi inflasi kelompok bahan makanan di Indonesia, tahun 2013
2 Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan menurut kelompok barang
(Rp) tahun 2012-2013 di Indonesia
3 Rata-rata perkembangan luas lahan dan produksi sub sektor hortikultura
tahun 2009-2013 di Indonesia
4 Hasil uji stationeritas
5 Hasil uji kointegrasi
6 Uji kausalitas jangka panjang antara grosir-produsen
7 Uji kausalitas jangka panjang antar produsen-grosir
8 Uji kausalitas jangka panjang antara pengecer-grosir
9 Uji kausalitas jangka panjang antara grosir-pengecer
10 Uji kointegrasi antara produsen-grosir
11 Uji kointegrasi antara grosir-pengecer
12 Hasil estimasi model asimetris ECM-EG pada hubungan grosirprodusen
13 Hasil estimasi model asimetris Houck pada hubungan grosir-produsen.
14 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen
15 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen pada periode t
16 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen pada periode t-1
17 Hasil estimasi dengan model ECM-EG pada hubungan pengecer-grosir
18 Hasil estimasi dengan model Houck pada hubungan pengecer-grosir
19 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen
20 Hasil Wald test jangka pendek model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen pada periode t
21 Hasil Wald test jangka panjang model ECM-EG pada hubungan grosirprodusen pada periode t-1
22 Hasil estimasi error correction model (ECM) faktor-faktor yang
mempengaruhi harga di tingkat konsumen dalam jangka pendek
23 Hasil estimasi error correction model (ECM) faktor-faktor yang
mempengaruhi harga di tingkat konsumen dalam jangka panjang

65
65
66
66
67
68
68
68
69
69
69
69
70
70
70
70
71
71
72
72
72
73
73

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang berkembang
pesat di Indonesia dikarenakan kesesuaian karakteristik lahan, agroklimat dan
wilayah yang cocok untuk pengembangannya. Dari segi ekonomi, komoditas
hortikultura mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga dapat dijadikan
usaha agribisnis hortikultura guna menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat
(Dirjen Hortikultura 2011).
Sayuran merupakan bagian dari sub sektor hortikultura dengan tingkat
permintaan yang tinggi. Data statistik menunjukan bahwa share pengeluaran
sayuran terhadap total bahan makanan meningkat dari 7.40% pada tahun 2012
menjadi 8.74% pada tahun 2013 (BPS 2014a). Peningkatan konsumsi ini lebih
tinggi dibandingkan dengan pengeluaran bahan makanan lainnya.
Salah satu sayuran unggulan Indonesia yaitu bawang merah. Bawang
merah merupakan sayuran dengan luas lahan terbesar dan masuk dalam prioritas
pengembangan sayuran dataran rendah di Indonesia (BPS 2014b). Komoditas ini
memiliki peluang pasar yang besar sebagai bumbu untuk konsumsi rumahtangga,
bahan baku industri pengolahan dan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Untuk
itu, pengembangan bawang merah sangat potensial ke depannya meliputi aspek
usahatani (on-farm) dan di luar usahatani (off-farm). Irawan (2007) menjelaskan
bahwa pengembangan hortikultura pada umumnya lebih banyak dijumpai pada
aspek off-farm yaitu penanganan pasca panen dan pemasaran dikarenakan
karakteristiknya yang cepat rusak (perishable).
Bawang merah merupakan sayuran yang sering mengalami permasalahan
pada aspek off-farm yaitu fluktuasi harga yang tinggi. Permasalahan ini
dikarenakan produksi bawang merah yang bersifat musiman dan sebagai salah
satu sayuran yang mudah rusak. Pada tahun 2013, bawang merah menempati
urutan pertama dalam kontribusinya terhadap inflasi dari kelompok bahan
makanan yaitu sebesar 0.38% (TPI 2013). Oleh karena itu, aspek harga menjadi
permasalahan penting pengembangan bawang merah di Indonesia.
Fluktuasi harga yang tinggi pada bawang merah menyebabkan semakin
besar marjin pemasaran dan semakin rendah harga yang diterima petani. Irawan
(2007) mengemukakan bahwa kecenderungan demikian terjadi karena harga yang
berfluktuasi membuka peluang bagi pedagang untuk mempermainkan harga di
tingkat petani dengan alasan adanya perubahan harga di tingkat konsumen.
Dengan demikian permasalahan tersebut mempengaruhi proses transmisi harga
dari produsen ke konsumen. Oleh karena itu, penting untuk melihat transmisi
harga antar lembaga pemasaran bawang merah di Indonesia
Selanjutnya, dalam proses transmisi harga juga terkait perilaku lembaga
pemasaran yang terlibat dalam distribusi suatu komoditi. Dalam proses
pembentukan harga tersebut, perilaku petani dan pedagang memiliki peranan
penting karena terkait harga yang diterimanya. Dalam hal ini setiap pelaku pasar
menyesuaikan perilakunya dalam menghadapi struktur pasar untuk mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya. Carlton dan Perloff (2000) menjelaskan bahwa
struktur dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja. Selanjutnya, perilaku dapat

2

mempengaruhi struktur dan kinerja serta kinerja dapat mempengaruhi perilaku
dan struktur.
Adanya permasalahan harga yaitu fluktuasi harga pada komoditi bawang
merah maka untuk itu akan diangkat sebagai sebuah penelitian. Insyauddin (2011)
menyatakan harga merupakan salah satu pendorong bagi petani untuk melakukan
pekerjaannya. Sebaliknya untuk konsumen, harga merupakan nilai dari barang
yang memberikan manfaat atas pemenuhan kebutuhan dan keinginanya. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efisiensi pemasaran kaitannya
dengan perilaku pasar bawang merah. Dalam penelitian ini akan dilihat proses
transmisi harga antar lembaga pemasaran dan proses pembentukan harga melalui
analisis perilaku lembaga pemasaran bawang merah.
Perumusan Masalah
Sentra produksi bawang merah di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat (BPS 2014b). Ini menunjukan
produksi bawang merah cenderung terkonsentrasi pada beberapa daerah
sedangkan konsumen yang tersebar di Indonesia. Sentra produksi dan konsumsi
yang tersebar maka diperlukan pasar yang berpadu sehingga pemasaran bawang
merah menjadi sebuah sistem yang efisien dan efektif agar mampu
mengintegrasikan antara produsen dan konsumen. Salah satu indikator dalam
melihat tingkat efisiensi dari rantai pemasaran adalah harga. Berikut adalah
gambaran perkembangan harga bawang merah di sentra produsen, grosir dan
konsumen Indonesia yang dapat dilihat pada Gambar 1.
60 000

harga (Rp/ kg)

50 000
40 000
30 000
20 000
10 000
2008

2009

2010
Konsumen

2011

2012
Grosir

2013

2014

Produsen

Sumber: BPS (2014a) dan PIKJ (2014)
Gambar 1 Perkembangan harga bulanan bawang merah di sentra produsen, grosir
dan konsumen Indonesia tahun 2008-2014.
Gambar 1 memperlihatkan harga bawang merah di sentra produsen, grosir
dan konsumen menunjukkan fluktuasi harga yang seirama. Namun, analisis
koefisien keragaman (CV) menunjukan bahwa harga bawang merah di sentar
produsen lebih cepat berubah dibandingkan harga bawang merah di tingkat grosir

3

dan pengecer. Simatupang (1999) dalam Irawan (2007) mengemukakan bahwa
fluktuasi harga yang tinggi di tingkat produsen memberi peluang kepada
pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani sehingga
transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris
dalam pengertian jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan
harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna
sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Sehingga dari Gambar 1 tersebut
mengindikasikan adanya transmisi harga yang tidak sempurna (imperfect price
transmission).
Indikasi dari transmisi harga yang tidak simetris juga terlihat disparitas
margin pemasaran antar lembaga pemasaran bawang merah. Selama tahun 20082014, rata-rata margin pemasaran petani - grosir sebesar Rp 3 100 per kg/tahun
sedangkan grosir - pengecer sebesar Rp 5 700 per kg/tahun. Perbedaan margin
pemasaran yang besar antar lembaga pemasaran bawang merah menunjukan
petani dan konsumen tidak diuntungkan dalam perdagangan bawang merah.
Yustiningsih (2012) mengemukakan bahwa semakin tinggi marjin distribusi
mengindikasikan bahwa para pelaku dijalur distribusi memiliki market power
yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan menunjukkan
bahwa pelaku berada pada pasar yang terkonsentrasi. Sejalan dengan itu, Conforti
(2004) menjelaskan bahwa besarnya disparitas harga dalam rantai pemasaran
dapat disebabkan oleh dua hal yaitu jalur pemasaran yang panjang dan adanya
market power yang dimiliki oleh pedagang perantara. Keduanya akan
menyebabkan margin yang terbentuk dalam pemasaran dari hulu ke hilir (vertikal)
menjadi sangat besar dan tidak efisien.
Khusus mengenai market power, Vavra dan Goodwin (2005) menemukan
adanya perilaku pedagang perantara yang berusaha mempertahankan tingkat
keuntungannya dan tidak akan menaikan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal
harga yang sebenarnya. Kondisi inilah yang menyebabkan pengendalian harga
pada jalur distribusi dan transmisi harga yang tidak sempurna antara level
produsen dengan konsumen.
Lebih lanjut, sehubungan dengan proses pemasaran bawang merah dari
petani sampai ke tingkat konsumen, maka interaksi antar lembaga pemasaran
menjadi penting dalam terbentuknya harga. Interaksi antar lembaga pemasaran ini
dapat dilihat perilaku pasar setiap lembaga pemasaran dalam menetapkan harga.
Nurasa dan Darwis (2007) menunjukkan bahwa kelembagaan pemasaran bawang
merah mencakup petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir (PIKJ) dan
pedagang pengecer. Hasil penelitiannya menemukan bahwa di tingkat desa sistem
pasar yang terbentuk seringkali mengarah pada pasar yang bersifat monopsoni
atau oligopsoni. Sebaliknya, pedagang besar atau di atasnya memiliki kemampuan
dalam menetapkan harga. Sejalan dengan itu, Irawan (2007) menjelaskan bahwa
petani sebagai penerima harga maka untuk mendapatkan harga yang lebih
menguntungkan harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar
baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk.
Di tinjau dari teori pemasaran, perilaku pasar dipengaruhi oleh struktur
pasarnya. Sejalan dengan yang dikemukakan Hasibuan (1993) bahwa perilaku
merupakan pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri dalam pasar untuk
mencapai tujuannya. Oleh karena adanya perbedaan struktur pasar antara petani
dengan pedagang menyebabkan rasionalitas petani terbatas yaitu hanya

4

memanfaatkan variasi harga yang ada. Sebaliknya, rasionalitas pedagang yang
mampu menetapkan harga dan perilaku lainnya. Dalam hal ini setiap lembaga
(petani dan pedagang) yang terlibat dalam pemasaran bawang merah berusaha
untuk memaksimumkan utilitasnya.
Melihat adanya perbedaan kondisi struktur pasar tersebut akan dipetakan
perilaku pasar dari petani dan lembaga pemasaran lainnya. Dalam hal ini akan
dimodelkan proses interaksi antar lembaga pemasaran sehingga diperoleh perilaku
penentuan harga oleh berbagai pihak (lembaga pemasaran). Kaitannya dengan
transmisi harga, Peltzman (2000) menyatakan bahwa perlunya pemahaman
mengenai keterkaitan pasar secara vertikal untuk memahami fenomena harga yang
tidak simetris. Dari uraian tersebut permasalahan yang dikemukakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah pembentukan harga bawang merah sudah efisien?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi pembentukan harga bawang
merah?
3. Bagaimana perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan harga
bawang merah?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran bawang merah.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga
bawang merah di tingkat konsumen akhir.
3. Mengidentifikasi perilaku lembaga pemasaran dalam pembentukan
harga bawang merah.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi harga
digunakan untuk melihat transmisi di tingkat produsen, grosir dan pengecer
bawang merah di Indonesia. Data harga yang digunakan merupakan data bulanan
dari Januari 2008 sampai Desember 2014.
Perilaku pasar dalam penelitian ini dikhususkan pada perilaku penetapan
harga kaitannya dengan transmisi harga yang dilakukan oleh lembaga pemasaran
pada komoditi bawang merah. Saluran pemasaran yang dilihat akan ditelusuri dari
petani (Kabupaten Brebes) sampai di tingkat konsumen (Kota Jakarta). Penelitian
ini memiliki keterbatasan yaitu hanya menulusuri perwakilan setiap lembaga
pemasaran yang dianalisa menggunakan game theory. Lembaga pemasaran yang
dianalisa dalam perilaku pasar yaitu petani, pedagang desa, grosir dan pengecer.
Harga di tingkat konsumen dan grosir mengambil Kota Jakarta sebagai
representasi dari wilayah konsumen terbesar sedangkan harga di tingkat produsen
mengambil Kabupaten Brebes sebagai sentra penghasil bawang merah (produsen)
terbesar di Indonesia.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian Terdahulu
Brooker et al (1987) mengenai transmisi perubahan harga antara petani/
produsen dengan grosir dan antara grosir dengan pengecer pada sembilan jenis
sayuran segar di Amerika menunjukkan adanya informasi pasar yang tidak lancar.
Respon pengecer terhadap kenaikan harga di tingkat grosir, ternyata lebih cepat
dibandingkan respon mereka terhadap penurunan harga. Namun demikian, secara
umum penelitian menunjukkan bahwa perubahan harga di tingkat hulu
mempengaruhi keputusan pembentukan harga di tingkat grosir dan pengecer. Hal
yang serupa dalam penelitian Zhang, Fletcher, dan Carley (1995) tentang kacang
tanah yang menunjukan transmisi harga antara petani-pengecer bersifat asimetris
dalam jangka pendek namun simetris dalam jangka panjang.
Khusus pada bawang merah, Asmara dan Ardhiani (2007) menunjukan
bahwa struktur pasar bawang merah cenderung mengarah pada persaingan
oligopsoni. Ini diperlihatkan pada struktur pasar di tingkat pedagang besar dengan
jumlah yang relatif sedikit sehingga mampu menguasai input maupun output pasar
bawang merah. Tingkat pengetahuan pasar juga terbatas pada informasi yang
didapat disekitar pelaku pasar, sehingga pengetahuan pelaku pasar tentang
informasi harga hanya berkisar pada kondisi di sekitarnya saja. Analisis integrasi
pasar vertikal menunjukkan bahwa pasar terintegrasi secara lemah baik dalam
jangka panjang maupun dalam jangka pendek. Informasi pasar umumnya tidak
ditransmisikan secara sempurna oleh para pelaku pasar, khususnya pedagang
besar yang bertindak sebagai pihak pembuat harga (price maker).
Selanjutnya, Dhewi (2008) menjelaskan bahwa struktur pasar bawang
merah yang terjadi adalah struktur pasar oligopsoni. Pembentukan harga di tingkat
petani dan pengecer terintegrasi cukup lemah, yang berarti keeratan hubungan
antara keduanya cukup lemah. Dalam hal ini pedagang pengumpul bertindak
sebagai price setter dan petani sebagai price taker yang menyebabkan bargaining
position petani lemah. Analisis elastisitas transmisi harga mengindikasikan bahwa
informasi harga di tingkat pengecer belum ditransmisikan secara penuh kepada
petani. Kontribusi harga pengecer kurang lebih tiga kali lipat dari kontribusi harga
petani. Selain itu didapatkan pula bahwa semakin pendek saluran pemasaran maka
semakin besar pula kontribusi harga yang diterima petani.
Natawidjaja (2001) menunjukkan lebih lanjut bahwa pada saat terjadi
kenaikan harga di pasar konsumen, para pelaku tataniaga di sebagian besar
provinsi penghasil beras utama nasional ternyata mampu meningkatkan marjin
keuntungan yang diterimanya. Hal ini dilakukan dengan cara yaitu menangguhkan
kenaikan harga yang diterima konsumen pada harga yang seharusnya dibayarkan
kepada petani. Begitu pula sebaliknya, yaitu pada saat harga di tingkat konsumen
sedang turun, maka pelaku tataniaga juga mampu menjaga tingkat marjin
keuntungan yang sudah diterimanya. Hal ini dilakukan dengan cara mempercepat
penurunan harga beli pada petani sehingga risiko pasar dibebankan seluruhnya
pada petani.
Irawan (2007) menjelaskan bahwa fluktuasi harga sayuran umumnya
relatif tinggi dibanding buah, padi dan komoditas palawija. Transmisi harga

6

sayuran relatif rendah (49% hingga 55%) dibanding buah dan komoditas pangan
lain (65% - 81%). Hal ini menunjukkan bahwa pasar sayuran di tingkat petani
cenderung bersifat monopsoni/oligopsoni.
Kekuatan monopsoni pada pedagang umumnya terbentuk melalui dua cara
yaitu : (1) peminjaman modal usahatani kepada petani dengan kesepakatan petani
menjual hasil panennya kepada pedagang pemberi pinjaman, (2) kerjasama antara
pedagang dalam menentukan harga beli dari petani. Faktor lain yang
menyebabkan rendahnya harga yang diterima petani sayuran adalah
ketidakmampuan petani menahan penjualannya untuk mendapatkan harga yang
lebih tinggi dan hal ini dapat didorong oleh tiga faktor yaitu desakan kebutuhan
modal usahatani, keterbatasan teknologi efisien yang dapat diterapkan petani
untuk mempertahankan kesegaran sayuran, dan keterbatasan sumber pendapatan
diluar usahatani sayuran.
Penelitian perilaku pasar seperti Indrawati (2013) menjelaskan bahwa
penetapan harga beli dan harga jual pedagang kebutuhan pokok di pasar
tradisional pada umumnya di pengaruhi oleh pasokan komoditas kebutuhan pokok
oleh distributor/pengepul dan kondisi pasokan barang dalam keadaan banyak dan
sedikit dibandingkan pasokan normal. Pada umumnya, 50% pedagang tradisional
menetapkan harga jual kepada konsumen adalah berdasarkan harga pasar tertinggi
sebesar 50%, sedangkan harga pesaing atau penjual lain sebesar 40%, sisanya
sebesar 10% ditentukan oleh biaya produksi yang dikeluarkan pedagang.
Selanjutnya, Bassey et al (2013) dalam penelitian mereka di Nigeria menjelaskan
umumnya antar pedagang saling berkomunikasi dalam mendapatkan harga dan
informasi pemasaran lainnya. Dengan demikian, dalam menetapkan harga setiap
pedagang saling memperhatikan harga pedagang lainnya.
Pradiptyo, Tumengkol dan Sasmitasiwi (2010) menunjukan bahwa
pedagang cenderung asymmetric dalam menggunakan informasi untuk
meningkatkan dan menurunkan harga. Faktor kelangkaan dan kenaikan harga
BBM menjadi pendorong utama keputusan peningkatan harga. Jika dilihat, lakilaki pedagang cenderung lebih berhati-hati dalam menghadapi resiko
dibandingkan perempuan pedagang. Lebih lanjut, Li, Carman dan Sexton (2006)
menjelaskan bahwa biaya bukan faktor utama dalam menentukan harga. Strategi
penjualan yang dilakukan oleh pengecer yaitu penurunan margin ritel daripada
penurunan biaya, di mana pengecer menurunkan harga atau margin selama
periode permintaan tinggi suatu produk agar dapat bersaing satu sama lain untuk
konsumen.
Kaitannya dengan strategi, Sudhir (2001) dalam penelitiannya
menggunakan model stackelberg antara wholesaler dengan retailer. Hasil
menunjukan bahwa adanya keterkaitan antara retailer dengan wholesaler dalam
mengatur harga mereka setelah pedagang grosir menetapkan harga grosir mereka.
Untuk wholesaler yang menguasai pangsa pasar umumnya berkolusi secara diamdiam dikarenakan pasar yang terkonsentrasi. Alam, et al (2010) dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa harga antara grosir dan pengecer cenderung
terintegrasi dalam jangka panjang, di mana grosir bertindak sebagai pemimpin
dalam menentukan harga di tingkat pengecer. Pedagang pengecer yang berada
dalam urutan akhir tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi harga.
Pergerakan harga di tingkat pengecer umumnya mengikuti pergerakan harga yang
ditetapkan oleh pedagang besar.

7

Oktavianingsih (2013) dalam penelitiannya menggunakan tiga skenario,
yaitu stackelberg-manufacturer game, ketika manufaktur mengambil keputusan
terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh ritel; cooperation, saat manufaktur
dan ritel saling bekerja sama; dan Nash game, manufaktur dan ritel sama sekali
tidak melakukan interaksi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa model
yang paling memberikan peningkatan profit terhadap sistem aktual adalah model
Stackelberg-manufacture game.
Model Analisa Transmisi Harga dan Perilaku Pasar
Hermawan, et al (2008) menggunakan model Houck mengenai transmisi
harga beras dan gabah di Jawa Tengah. Dalam model ini dibagi dua bagian yaitu
menggunakan senjang waktu dan tidak menggunakan senjang waktu. Spesifikasi
model regresi ini memungkinkan pengujian ketidak simetrisan transmisi harga
jangka pendek sedangkan pada model kedua, diregresikan beberapa senjang
waktu (multiple lags) perubahan harga gabah yang memungkinkan pengujian
respon jangka panjang atau menguji perilaku yang dinamis. Model Houck
menggambarkan model kausalitas. Dalam penerapannya, metode ini dipergunakan
untuk membuktikan apakah benar pergerakan harga dari sektor hulu merupakan
penentu utama pergerakan di transaksi hilir. Demikian pula sebaliknya
pergerakan harga di sektor hulu lebih ditentukan oleh transaksi yang terjadi
antar pelaku usaha di tingkat hilir. Model houck merepresentasikan persamaan
asimetrik statik yang spesifikasinya sebagai berikut:
Prt   0   1Pft   t
Di mana Prt dan Pft merupakan harga di tingkat ritel dan di tingkat hulu.
Lebih lanjut, dalam model ini secara implisit dijelaskan bahwa pergerakan harga
di tingkat hulu ada sebagai pendorong pergerakan harga di tingkat ritel, atau
dalam bahasa lain harga tingkat hulu merupakan Granger cause dari harga di
tingkat hilir.
Sementara pendekatan kedua adalah pendekatan asimetrik ECM yang
menyatakan bahwa ada elemen kointegrasi dalam persamaan ECM. Berbeda dari
pendekatan Houck sebelumnya yang tidak melakukan uji kointegrasi antara
tingkat hulu dan hilir. Metode ini dipakai untuk menghindari terjadinya spurious
regression terutama saat diestimasi menggunakan metode linier biasa (OLS). Hal
ini terjadi karena data-data yang dipakai bersifat non-stasioner. Bentuk ECM
dapat diformulasikan sebagai berikut:
k

Pt1      j Pt 2 j 1    t1    t1   t
j 1

1

2

Di mana P t dan P t merupakan dua harga yang secara vertikal berkaitan
(level pengecer dan level petani). Δ merupakan indikator difference (pengurang
Pt-Pt-1), βj dan γ adalah koefisien estimasi da v+t-1 dan v-t-1 merupakan deviasi
positif dan negatif dar keseimbangan jangka panjang.
Analisa asymmetric price untuk produk pertanian pertama kali dilakukan
oleh Tweeten dan Quance (1969) dalam Yustiningsih (2012) dengan
menggunakan teknik variabel dummy untuk mengestimasi fungsi penawaran
yang tidak dapat diubah. Variabel dummy ini digunakan untuk memisahkan harga
bahan baku menjadi dua yaitu variabel yang hanya terdiri dari kenaikan harga

8

input dan variabel yang hanya terdiri dari penurunan harga input. Selanjutnya
koefisien untuk kedua variabel tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis
transmisi harga simetris ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda
signifikan secara statistik.
Boyd dan Brorsen (1988) merupakan orang pertama menggunakan lag
untuk memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian dengan besaran
penyesuaian. Dari hasil estimasi, nilai koefisien variabel menunjukan lamanya
waktu penyesuaian pada periode tertentu dan nilai penjumlahan koefisien
menunjukkan besaran penyesuaian. Lanjutan dari peneltian tersebut, Meyer dan
von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode tersebut sebagai teknik
pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag dipisahkan berdasarkan tandanya.
Pada teknik ini sehingga perubahan atas kenaikan harga (diinisiasikan dengan
tanda positif) diperbolehkan untuk memberikan efek yang berbeda dengan
perubahan atas penurunan harga (diinisiasikan dengan tanda negatif).
Von Cramon-Taubadel dan Fahlbusch (1994) dalam Vavra & Goodwin,
(2005) merupakan orang pertama yang mengenalkan konsep kointegrasi dalam
model transmisi harga tidak simetris dengan menggunakan konsep error
correction model (ECM). Prinsip utama model ini adalah dengan melihat
signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka panjangnya.
Pada konsep kointegrasi, dua series harga dikatakan terkointegrasi apabila
pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan pergerakan harga di series
lainnya secara sempurna. Apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang,
maka akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction term).
Selanjutnya, model dalam analisa perilaku pasar (market conduct) pada
umumnya lebih menggunakan metode deskriptif. Asmarantaka (2009)
menjelaskan bahwa penggunaan analisa secara deskriptif agar diperoleh informasi
secara mendalam mengenai gambaran umum obyektif mengenai industri itu
sendiri. Analisa ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan
perilaku sifatnya kualitatif yang sulit dikuatitatifkan. USAID (2008) juga
menganalisis secara deskriptif mengacu pada pola perilaku pedagang dan pelaku
pasar lainnya dalam menyesuaikan diri dengan pasar di mana mereka menjual
atau membeli. Ini termasuk juga perilaku pengaturan harga, membeli dan praktek
penjualan. Hal yang sama dengan penelitian Ogisi, Egware dan Akalusi (2012)
serta Dzanja dan Kamwana (2014) dalam penelitiannnya menggunakan analisis
deskriptif untuk menjelaskan perilaku pasar.
Dalam penelitian lainnya, Pradiptyo, Tumengkol dan Sasmitasiwi (2010)
mengembangkan experimental economics untuk meneliti respon pedagang
informal terhadap pembentukan inflasi. Dalam metode ini mengukur preferensi
terhadap informasi yang digunakan untuk meningkatkan dan menurunkan harga
dan mengukur rasionalitas pedagang dalam menhadapi resiko.
Selanjutnya, dalam pembentukan harga di mana adanya keterkaitan
pedagang dengan pedagang lainnya maka salah satu metode yang dapat digunakan
yaitu dengan game theory. Analisis ini merupakan pendekatan matematis untuk
merumuskan situasi persaingan dan konflik antara berbagai kepentingan. Dengan
teori ini akan dianalisa proses pengambilan keputusan dari situasi-situasi
persaingan yang berbeda-beda dan melibatkan dua atau lebih kepentingan.
Kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam permainan disebut para pemain
(players). Model-model teori permainan dapat diklasifikasikan dengan sejumlah

9

cara, seperti jumlah pemain, keuntungan dan kerugian dan jumlah strategi yang
digunakan dalam permainan.
Yantu (2011) dalam penelitiannya menggunakan game theory yaitu
prinsipal agen antara petani kakao dengan pedagang pengumpul. Dalam analisis
ini akan dilihat keputusan-keputusan strategis tersebut berakibat dalam payoff
bagi partisipan yaitu petani kakao dan pedagang pengumpul berupa pahala
(keuntungan) dan sanksi. Hal yang sama dilakukan oleh Juanda dan Suciati (2011)
menggunakan game theory dalam merancang pola kerjasama kelembagaan
pengelola irigasi. Dalam model tersebut, dilakukan permainan (gaming) antar
pemangku kepentingan (stakeholders) dan pengguna (user) sehingga memperoleh
penerimaan/hasil (payoff) yang maksimal diantara interaksi mereka. Permainan ini
bertujuan untuk mengetahui model kerja sama ekonomi dan interaksi dalam
pengelolaan sumber daya air irigasi dalam mendukung usahatani padi. Dengan
melihat penggunaan game theory dapat diterapkan dalam berbagai kasus maka
analisa ini dapat diterapkan dalam interaksi antar lembaga pemasaran bawang
merah.
Teori Harga
Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi
antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas
barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand) semakin banyak barang
yang ingin dibeli akan meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply)
semakin banyak barang yang akan dijual akan menurunkan harga. Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi perilaku permintaan maupun penawaran dalam
interaksi pembentukan harga. Namun untuk komoditas pangan/pertanian,
pembentukan harga tersebut disinyalir lebih dipengaruhi oleh sisi penawaran
(supply shock) karena sisi permintaan cenderung stabil mengikuti perkembangan
trennya (Prastowo, Yanuarti dan Depari 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran komoditas
pangan/pertanian cenderung sulit untuk dikontrol. Studi empiris yang dilakukan
oleh Tomek (2000) menyimpulkan dua faktor yang sangat berpengaruh terhadap
pembentukan harga komoditas pangan/pertanian, yakni faktor produksi/panen
(harvest disturbance) dan perilaku penyimpanan (storage/inventory behavior).
Walaupun keberhasilan panen sangat dipengaruhi oleh kondisi musim/cuaca yang
sifatnya uncontrolable, pengaruh pola tanam terhadap perkembangan harga
komoditas pertanian di Amerika Serikat terlihat sangat dominan. Terdapat pola
cyclical yang sistematis antara pola tanam dan varians harga komoditas. Varians
harga membesar pada saat musim tanam dan mengecil pada saat musim panen.
Sementara keberadaan teknologi penyimpanan atas produk pertanian, khususnya
untuk produk yang mudah busuk/basi (durable products), akan mengurangi
tekanan fluktutasi harga dari komoditas tersebut.
Lebih lanjut, karakteristik penawaran dan permintaan untuk komoditas
pangan/ pertanian memang ‘unik’ karena keduanya cenderung bersifat inelastis
terhadap perubahan harga. Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta
meningkatkan produksinya ketika harga mengalami peningkatan. Konsumen juga
tidak bisa mengurangi permintaannya ketika harga meningkat karena komoditas
pangan/pertanian tersebut menjadi kebutuhan pokok. Kondisi tersebut membuat

10

harga komoditas menjadi sangat sensitif terhadap stock, baik dari sisi penawaran
maupun permintaan, termasuk indirect stock yang berpengaruh secara tidak
langsung seperti gangguan distribusi.
Selain dipengaruhi oleh faktor penawaran dan permintaan domestik, harga
komoditas juga dapat dipengaruhi oleh harga komoditas di pasar internasional.
Pada rezim perdagangan bebas, harga komoditas domestik akan bergerak
mengikuti harga internasional, sehingga akan lebih volatile jika pemerintah tidak
melakukan intervensi. Banyak negara reluctant untuk bergerak ke arah
perdagangan bebas secara penuh untuk komoditas pangan/pertanian karena
komoditas tersebut merupakan komoditas penting yang dapat menimbulkan
instabilitas politik (Dawe 2001).
Integrasi Pasar dan Transmisi Harga
Transmisi harga dan tingkat integrasi pasar dapat dijadikan indikasi efisiensi
yang terbentuk antar dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal
maupun spasial (Meyer dan Von Cramon-Taubadel 2004). Kondisi pasar
persaingan sempurna dijadikan sebagai titik acuan dalam menilai proses transmisi
harga dan tingkat integrasi antar dua pasar. Premis yang digunakan adalah
transmisi harga akan berjalan sempurna apabila di dalam pasar tidak terjadi friksi
dan distorsi (Conforti 2004). Tidak adanya transmisi harga antar pasar yang saling
melakukan transaksi dianggap akan menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya
dan menurunkan kesejahteraan ekonomi di bawah titik keseimbangan pareto.
Dengan kata lain, transmisi harga yang sempurna akan berujung pada pasar yang
berjalan secara efisien.
Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga
(Law of One Price) dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah
sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua pasar
tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi disisi permintaan dan
penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga jual di
pasar yang lain, sampai pada akhirnya mencapai suatu titik keseimbangan harga
yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar
tersebut (Yustiningsih 2012).
Untuk kasus vertikal, integrasi pasar didefinisikan sebagai keterkaitan
hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya
dalam suatu rantai pemasaran. Bustaman (2003) menjelaskan bahwa integrasi
pasar vertikal penting untuk dipelajari guna mengetahui tingkat keeratan
hubungan antara pasar produsen dan pasar ritel/pedagang. Pada beberapa
penelitian, integrasi pasar dalam jangka panjang cenderung terjadi dalam bentuk
integrasi yang lemah dan perkembangan transmisi harga sering menunjukkan
perilaku tidak simetri. Asimetri harga secara teoritis dapat terjadi dalam
hubungannya dengan karakteristik kompetisi yang tidak sempurna, misalnya
akibat adanya lag informasi, promosi, dan konsentrasi pasar (Bustaman 2003).
Menurut Goodwin (2006) menyatakan tingkat transmisi harga pada satu
rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk kinerja dari setiap level/lembaga
pemasaran yang berada dalam rantai pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran
dikatakan efisien dan terintegrasi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar
level hanya tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan

11

harga pada suatu level pemasaran akan ditransformasikan kepada level pemasaran
lainnya secara selaras.
Struktur, Kekuatan Pasar dan Pembentukan Harga Komoditas
Struktur pasar yang terbentuk pada komoditi pertanian umunnya mengarah
pada struktur pasar tidak sempurna, terutama jika dibandingkan dengan struktur
pasar di level petani dan level konsumen. Hal ini menyebabkan manufaktur dan
pedagang perantara akan bertindak sebagai pembentuk harga (price maker)
sementara petani dan konsumen akan bertindak sebagai penerima harga (price
taker) (Conforti 2004). Akibatnya, pedagang perantara menyalahgunakan market
power yang dimilikinya untuk kepentingan kesejahteraan dan keuntungannya
sendiri dan proses penyesuaian harga antar level pemasaran menjadi tidak
sempurna.
Penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh manufaktur dan
pedagang perantara umumnya menyebabkan transmisi harga tidak simetris yang
positif. Artinya, tekanan terhadap margin (margin squeezing) yang diakibatkan
kenaikan harga input atau penurunan jumlah permintaan akan dengan segara dan
sempurna ditransmisikan kepada level diatas atau dibawahnya, dibandingkan saat
terjadinya penambahan margin (margin-stretching) akibat perubahan harga
(Meyer dan von-Cramon Taubadel 2004).
Bailey dan Brorsen (1989) menjelaskan bahwa transmisi harga tidak
simetris akan berjalan secara positif atau negatif tergantung dari reaksi dari
pesaing. Apabila suatu perusahaan percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya
yang akan merespon perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi
penurunan harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang
terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu pula sebaliknya,
apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya akan lebih bereaksi terhadap
kenaikan harga dibandingkan penurunan harga maka transmisi harga tidak
simetris yang terjadi adalah positif.
Struktur pasar ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu (i) jumlah
perusahaan/agen/penjual yang beroperasi di pasar tersebut; (ii) ada tidaknya
hambatan bagi perusahaan/agen/penjual untuk masuk dan keluar dari pasar; (iii)
karakteristik dari komoditas yang diperdagangkan. Struktur pasar tersebut
berpengaruh terhadap kekuatan dari para agen/penjual di dalamnya untuk
mempengaruhi harga pasar (Nicholson 2004).
Lebih lanjut, pada struktur pasar yang bersifat monopoli, sebuah
perusahaan atau agen tunggal yang menguasai pasar memiliki keleluasaan dalam
penetapan harga untuk memperoleh marjin keuntungan yang optimal karena agen
tersebut berperan sebagai price setter. Sebaliknya, pada pasar komoditas yang
bersifat persaingan sempurna (perfect competition) atau setidaknya highly
competition, agen tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga
yang terjadi di pasar karena lebih berperan sebagai price taker sehingga marjin
keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Sementara kemampuan agen/penjual
untuk mempengaruhi harga pada jenis pasar duopoli, oligopoli, dan persaingan
monopolistik berada di antara pasar monopoli dan persaingan sempurna.
Prastowo, Yanuarti dan Depari (2008) menjelaskan kondisi pasar
persaingan sempurna terlihat di level petani pada saat panen raya. Homogenitas

12

dan melimpahnya komoditas pertanian yang akan dijual membuat petani tidak
mempunyai bargaining position untuk mempengaruhi harga dan pasrah sebagai
price taker. Sebaliknya untuk level pedagang pengumpul/tengkulak yang
jumlahnya relatif sedikit cenderung membentuk pasar oligopoli sehingga
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga. Seringkali para pedagang
pengumpul/tengkulak tersebut membentuk sebuah kartel yang dapat membuat
kesepakatan dan membentuk harga pasar.
Perilaku Pasar
Perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga pemasaran yang
menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan
kegiatan pembelian dan penjualan. Struktur pasar dan perilaku pasar akan
menentukan keragaan pasar yang diukur melalui peubah harga, biaya, dan marjin
pemasaran, serta jumlah komoditas yang diperdagangkan (Dahl dan Hammond
1977).
Asmarantaka (2009) menjelaskan perilaku pasar merupakan perilaku
pembeli dan penjual, strategi atau reaksi yang dilakukan pembeli dan penjual
secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi
dengan penjual dan pembeli lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran suatu
pasar. Perilaku pasar merupakan pola perilaku penjual/pedagang dan pelaku pasar
lainnya yang mengadopsi untuk mempengaruhi atau menyesuaikan di pasar
tempat jual dan beli tersebut. Hal ini termasuk perilaku penentuan harga dan
praktek jual-beli.
Lebih lanjut, perilaku industri dapat menjelaskan mengenai persaingan
harga dan jumlah yang ditetapkan perus