Filsafat Islam

FILSAFAT ISLAM
Cetakan 1, Jakarta, 2009
Diterbitkan oleh
FAZA MEDIA.
D/a. Jl. Rajawali Raya No 15 Blok E 2 RT 01 /07 Benda Baru Pamulang,
telp./fax. 021-74645433 Email: fz_media@yahoo.com
Hak Cipta ada pada pengarang _2009 Hak Penerbitan ada pada penerbit
ISBN: 978-602-8033-28-2
Penulis:
Drs. H. Achmad Gholib, MA
Isi menjadi tanggungjawab penulis
Hak Cipta dilindungi Undang-undang (all right reserved)

KATA PENGANTAR
DEKAN FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN UIN JAKARTA
Bismillahirrahmanirrahim
Filsafat Islam dalam wacana keilmuan UIN Jakarta sudah menjadi
tradisi sejak tahun tiga dekade terakhir, fase awal gerakan modernisasi
pemikiran keagamaan di kampus UIN Jakarta yang ditandai dengan
pengembangan tradisi kritis terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan

warisan intelektualisme Islam klasik yang diserap secara parsial, ekslusif,
tidak terbuka, dan bahkan masih ada indikasi tidak mengapresiasi perbedaanperbedaan, tidak respek terhadap perbedaan, sehingga agama yang
diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, justru terkadang
menjadi pemicu keretakan sosial. Padahal tradisi intelektualisme Islam klasik
tidak sekedar mewariskan substansi dan epistimologi keilmuan, tapi justru
melakukan perubahan dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat sebagai
implikasi dari proses dinamika penelitian dan kajian keilmuan yang
dihasilkan para ulama dan ilmuwan. Kemudian bersamaan dengan itu, para
ulama juga mengembangkan etika keilmuan untuk hidup saling menghormati
dan menghargai perbedaan. Perbedaan pendadapat, pandangan bahkan
keyakinan tidak menjadi halangan untuk berkooperasi dalam proses ekonomi,
politik dan bahkan membina kehidupan sosial.
Akan tetapi, tradisi ilmiah dan suasana akademik di lingkungan
Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia sampai paroan ke-dua abad ke20 masih diwarnai dengan sikap-sikap sektarianistik, komunikasi akademik
antara satu kelompok dengan lainnya masih cenderung sarkastik, sehingga
sangat tidak produktif untuk upaya pengembangan tradisi ilmiah, melairkan
produk-produk pemikiran keagamaan yang konstruktif untuk perubahan dan
dinamika sosial keagamaan, sehingga agama, tidak dijadikan inspirasi dalam
perubahan dan pembangunan, dan tidak dijadikan sebagai basic values dalam
pengembangan sosial, dan bahkan pada akhirnya agama ditinggal dalam

proses kemajuan sosial, sehingga tersudut hanya pada sentra-sentra kegiatan
ritual, dengan ragam aktifitas peribadatan dan perayaan hari-hari besar Islam.
Oleh sebab itu, tradisi kritis dalam sejarah intelektualisme Islam klasik perlu
dikembangkan terus dalam kajian-kajian akademik keagamaan di Perguruan
Tinggi Agama Islam, seingga akan terbina inklusifisme dan pluralisme
keberagamaan di kalangan kader- kader, dan agama akan mampu
menginspirasi berbagai perubahan sosial, serta mewarnai citra perubahan
tersebut dengan cita religiusitas modern yang terbuka, toleran serta memiliki
daya adaptasi yang dinamis, dengan tidak mengorbankan spirit keagamaan,
baik landasan teologis, aturan-aturan sosial kemasyarakatan.
Fakultas Ilmu tarbiyah dan Kegguruan UIN Syarif Hidayatullah,
jakarta, merupakan salah satu fakultas yang akan melahirkncsalon-calon guru

profesional, dengan jiwa kesantrian yang kuat dan mampu beradaptasi
dengan perubahan-perubahan modernisme kehidupan sosial. Mereka
diharapkan mampu berfikir kritis, melihat berbagai aspek secara
komprehensif, mengaplikasikan agama dalam kehidupan sosial secara
rasional, berpihak pada kemanusiaan, menghargai perbedaan, dan mampu
menjalin kerjasama sosial yang harmonis antara mereka sendiri sebagai umat
Islam, dengan tidak membedakan aliran dan sekte keagamaan, etnik, budaya

dan bahasa, serta mampu hidup berdampingan dengan siapapun tanpa
membdakan agama dan keyakinan.
Oleh sebab itulah, pemikiran Islam dengan kajian yang komprehensif
antara aliran-aliran tradisionalisme dan modernisme, antara aliran orthodox
dengan hetero- dox, semua dipelajari di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, dengan harapan mereka dapat
menerima agama secara lebih rasional, kritis dan mampu menjadi bagian
terdepan dalam perubahan-perubahan sosial dengan semangat keberagamaan
yang kuat. Agama diharapkan akan menjadi landasan teologis dalam
kejuangan sehingga memiliki etos yang kuat dalam membina karirdan profesi
mereka, serta menjadi ciri budaya hidup mereka dan kekuatan kontrol dalam
menjalan profesi dan kehidupan sosial.
Buku yang ditulis oleh Achmad Ghalib, salah seorang dosen jurusan
Pendidikan Agama Islam (PAI), FITK UIN Jakarta ini, dengan judul Filsafat
Islam, merupakan salah satu karya yang akan mampu membuka wawasan
para mahasiswa tentang wacana intelektualisme Islam klasik yang secara
substantif masih sangat relevan untuk dijadikan referensi utama dalam kajian
ke-islaman, yang akan mampu membina inklusifitas para mahasiswa dalam
berfikir, bersikap dan bertindak, tidak hanya dalam aspek-aspek ritual
peribadatan tapi juga dalam kehidupan profesi dan sosial mereka, kelak

setelkah mereka memasuki pasar tenaga kerja, dan menjadi bagian dalam
pebinaan profesionalisme mereka, dalam kehidupan sosial
Ciputat, Februari 2009
Dekan,
Prof. Dr. Dede Rosyada.

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan syukur diucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan inayahNya, sehingga saya dapat merampungkan
penulisan buku Filsafat Islam dan mendeskripsikannya secara ringkas dan
lugas. Dalam penulisan buku ini, penulis sengaja ingin mengajak dan
mengembangkan wacana berfikir mahasiswa dan pembaca serta peminat
wawasan ke Islaman pada umumnya, dan khususnya tentang Filsafat Islam
karena Filsafat Islam pernah menjadi primadona dan menjadi pusat kajian di
kalangan para pemikir Islam klasik dan kontemporer.
Apalagi perkembangan Filsafat Islam seringkali disepadankan dengan
aktifitas intelektual umat Islam, upaya penyepadanan ini berbuah pada
asumsi kematian aktivitas intelektual umat Islam ketika Filsafat Islam diduga
ditutup oleh Ibnu Ruysd dan beralih ke Barat. Asumsi ini semakin

meyakinkan ketika isu stagnasi aktifitas intelektual dihembuskan, yakni isu
tertutupnya pintu ijtihad, serangan al-Ghazali terhadaap Filsafat dan wafatnya
Ibnu Rusyd, seorang figur filosof Islam yang diakui oleh Barat (Eropa).
Dampak isu ini berbuah kemalangan panjang umat muslim, selama bertahuntahun umat disibukkan dengan perdebatan pemaknaan zindiq yang identik
dengan tudingan "kafir" atau keluar dari ajaran Islam oleh orang-orang
radikal-ekstrimis yang mengklaim dirinya penjaga kesucian agama.
Karenanya, meski buku dengan tema yang sama telah banyak
ditemukan tetapi pada tataran dan konsep yang berkaitan dengan Pendidikan
Agama Islam, buku ini pun patut diperhitungkan. Pembahasan mengenai
filsafat Islam sejak dahulu memang berada dalam posisi dilematis, antara
diterima dan ditolak, sehingga penjelasan pada masalah ini mutlak dilakukan.
Filsafat Islam diterima atas perannya sebagai "jembatan" bagi perkembangan
kemoderenan d i Barat sekaligus perespon ide-ide Yunani, tetapi juga ditolak
karena dianggap tidak menunjukkan kontribusinya yang signifikan. Dan buku

filsafat Islam ini berhasil membahasakannya dengan lugas, sederhana tetapi
tetap cjualified.
Semoga buku ini tidak hanya menjadi bahan bacaan mahasiswa saja
tetapi juga memberikan peran bagi wawasan keislaman umat. Kisi-kisi
karakteristik filosofis para filosof di dalam buku ini sudah seyogyanya

menjadi dasar pemikiran kita semua untuk menanamkan kembali ide
"integrasi ilmu" yang kini sedang disuarakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan dapat menjadi landasan berfikir para mahasiswanya kelak ketika mereka
bersosialisasi bersama masyarakat.
Jakarta, Januari 2009
Penulis,

DAFTAR ISI
Kata Pengantar Dekan FITK UIN Jakarta ..................................................
..................................................................................................................... v
Daftar Isi ......................................................................................................
..................................................................................................................... ix
BAB 1 FILSAFAT DALAM LINTASAN SEJARAH
A. TRADISI ILMIAH ISLAM DAN AKULTURAI BUDAYA
4
1. Islam dan Bangsa Arab ..................................................
4
2. Islam dan Peradaban Persia1 ...........................................
6
3. Islam dan Pemikiran Yunani ...........................................

25
B. FILSAFAT ISLAM DAN KEBANGKITANBARAT .........
35
BAB 2 PENGERTIAN, KARAKTERISTIKDAN HUBUNGAN
FILSAFAT ISLAM DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN
A. Definisi.................................................................................
50
B. Ilmu, Filsafat dan Agama ....................................................
56
C. Karakteristrik Filsafat Islam ..............................................
61
D. Aliran-aliran dalam Filsafat Islam .......................................
67
E. Filsafat Islam, Teologi (Kalam), Tasawuf Sebuah
Relasi Dialogis ....................................................................
.............................................................................................. 74
BAB 3 PARA FILOSOF MUSLIM AWAL
A. Al-Kindi ...............................................................................
87
B. Al-Razi ................................................................................

106
C. Al-Farabi .............................................................................
116
D. Ibnu Miskawaih ...................................................................
135
E. Ibnu Sina .............................................................................
148
BAB 4 PERGULATAN PEMIKIRAN AL-GHAZALIDAN IBN RUSYD
A. Kritik Al-Ghazali ..................................................................
182

B. Jawaban Ibnu Rusyd ..............................................................
198
BAB 5 FILSAFAT DAN TRADISI MISTIS
A. Suhrawardi Al-Maqtul ..........................................................
224
B. Ibnu Arabi .............................................................................
248
Datar Pustaka ..............................................................................................
263

Tentang Penulis ........................................................................................... 265
BAB 1
FILSAFAT DALAM LINTASAN SEJARAH
Tidak ada satu pun bangsa pada Abad pertengahan yang memberikan
kontribusi terhadap kemajuan manusia sebesar kontribusi yang diberikan
oleh orang-orang Arab dan orang-orang yang berbahasa Arab. (Philips K.
Hitti)
Kedudukan filsafat Islam dalam perjalanan sejarah terus menerus
menjadi perdebatan yang tiada habisnya, setiap celah memungkinkan untuk
melihat filsafat Islam dari berbagai sisi. Minimnya bukti-bukti historiografi
melahirkan beragam pemikiran, kecenderungan pertama misalnya menafikan
keberadaan filsafat Islam. Filsafat Islam dianggap tak pernah ada dan tak ada
dalam proses perkembangan keilmuan di dunia, apalagi kemajuan zaman saat
ini sama sekali tidak dapat memiliki kaitan budaya dengan Islam dan ajaranajarannya. Maka, Barat dalam arti “simbol" ke-modern-an dan kemajuan
ilmu pengetahuan dapat dengan "tenang” beranggapan bahwa Barat sebagai
pusat keilmuan saat ini merupakan peradaban yang terlahir dari proses
kreativitas pikir bangsa Barat dan pergulatan zaman mereka sendiri sejak
masa dahulu kala.1
Kecenderungan kedua dalam melihat filsafat Islam adalah mengakui
keberadaan filsafat Islam sebagai sebuah "jembatan" yang menghubungkan

antara kemajuan di Barat dengan kemajuan keilmuan di Yunani. Golongan
kedua ini dengan enteng beranggapan bahwa filsafat Islam adalah sebuah
hibriditas. Hibriditas adalah kecenderungan untuk mengambil berbagai unsur
untuk menjadi bagian dari dirinya,2 artinya filsafat tidak dan bukan berasal
dari Islam tetapi dipaksa- paksakan’ menjadi bagian dalam Islam. Atau
dengan kata lain, filsafat Islam merupakan pemikiran luar yang diadopsi oleh
Islam.3
Jika dua kecenderungan penilaian terhadap filsafat di atas terkesan
menolak dan kurang menerima keberadaan filsafat Islam, kecenderungan
penelitian ketiga telah mengakui, menerima dan menyetujui filsafat Islam
pernah mewarnai keilmuan di dunia bahkan pernah mencapai masa
keemasannya. Sayang, pendapat ketiga ini seringkali merupakan pendapat

yang digaungkan umat muslim tanpa ragam proses ilmiah yang jelas dan
nyata. Sehingga arah asumsi- asumsinya terkesan subjektif atau “dituding"
subjektif. Subjektif karena terlahir dari pemikiran umat Islam dan belum
tentu diakui oleh intelektual lain di luar Islam. Beruntung, menjelang akhir
abad 19, menjelang abad 20, bermunculan penelitian-penelitian yang
membuktikan eksistensi filsafat Islam, penelitian-penelitian ini dilakukan
oleh non-muslim dan secara perlahan memberikan “nama baik” bagi filsafat

Islam yang sebelumnya dipaksa terkubur.
Tiga kecenderungan tersebut tentu saja bergerak dengan asumsiasumsi dan teori-teori yang berjalan secara terpisah. Keterpisahan asumsi dan
teori tersebut seringkali dipengaruhi oleh cara pandang masing-masing
penelitian. Edward Said berhasil mendeskripsikan konflik kepentingan pada
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Orientalis, ditemukan kepentingan
“arogansi" untuk menunjukkan Barat sebagai bangsa yang jauh lebih “mulia”
dari bangsa lain.4 Analisis ala orientalis ini jelas hampa budaya dan hampa
nilai meski ada pula yang tetap menjunjung kaidah-kaidah ilmiah dalam
penelitiannya.
Maka, menjelaskan filsafat Islam dari sisi lahir, hidup berkembang
dan kondisi mati surinya adalah konsekuensi yang mesti dilakukan untuk
mengetahui posisi filsafat Islam dalam lintasan sejarah secara jernih dan
objektif. Artinya membicarakan filsafat Islam sama dengan menjelaskan
Islam sejak zaman kelahirannya kemudian komunikasinya dengan
masyarakat setempat dan bagaimana prosesnya hingga berkembang melintasi
jazirah Arabia menembus Eropa serta bagaimana pula proses “pertubrukan”
budaya di dalamnya.
Analisis tersebut pasti merubah pola analisis setiap pendapat dari tiga
kecenderungan di atas. Bahkan bisa saja turut memperdebatkan satu pendapat
dengan pendapat lainnya atau sebaliknya mendukung satu dari lainnya. Islam
dan filsafat sendiri diragukan konsepnya sebagai sebuah satu kesatuan
makna. Dalam kalangan tertentu ada yang berpendapat bahwa agama dan
filsafat tidak dapat dipertemukan karena keduanya memiliki paradigma yang
sangat berbeda.
E. Renan bahkan menyetujui penggunaan kata filsafat Arab dari pada
filsafat Islam, asumsi tersebut disematkan karena filsafat ini dipopulerkan
oleh Bangsa semit, ras asli Arabia dan menggunakan bahasa Arab. Renan
juga melakukan klasifikasi-klasikasi kompetensi antara Bangsa Aria yang
merupakan ras orang-orang Barat dan Bangsa Semit yang merupakan nenek
moyang bangsa Arab, Renan menyebutkan bahwa selama perjalanan sejarah
bangsa Semit adalah bangsa yang “terbelakang”, bangsa ini menurut Renan
hanya memiliki kemampuan menerjemahkan dan tidak memiliki kemampuan
untuk menganalisis dan menelaahnya. Tanpa analisis dan telaah tersebut,
Renan berkesimpulan bahwa filsafat yang disampaikan dengan bahasa Arab
tersebut jelas takkan pernah dipengaruhi oleh konsep-konsep keislaman.5

Analisis Renan ini bagi Ibrahim Madkur telah menginspirasi
orientalis-orientalis lainnya untuk menunjukkan kesan kuat bahwa "filsafat
Islam” tidaklah benar-benar Islam, la tidak lebih dari sekedar filsafat Yunani
kuno berbaju Islam yang berbahasa Arab. Mereka sedikit
menambahkan,peran filsafat Islam tidak lebih sebagai penyambung
peradaban Yunani setelah terputus berabad-abad dibawah hegemoni gereja,
tidak ada otentisitas dalam filsafat Islam melainkan duplikasi atau jiplakan
dari filsafat Yunani. Lebih dari itu menurut mayoritas orientalis aktivitas
intelektual umat Islam telah mati akibat kelalaian umat Islam memahami
filsafat.
Dalih yang disampaikan orientalis mengenai kelalaian umat Islam
sekaligus meragukan peran muslim dalam berfilsafat adalah, isu tertutupnya
pintu ijtihad, yang telah berlangsung selama seribu tahun; 'seranganserangan” al-Ghazali terhadap filsafat melalui karya Tahafut, Falasifah;
meninggalnya Ibn Rusyd yang dianggap kalangan barat m.'bagai seorang
Rasionalis.6
Musa Kazhim dalam pengantar Sejarah Filsafat Islam menyebutkan
setidaknya ada dua faktor penyebab munculnya kesan negatif terhadap
filsafat Islam. Pertama, militansi kalangan terpelajar muslim dalam
menelaah, mengulas dan menerjemahkan teks-teks poindaban Yunani. Gairah
intelektual muslim tersebut oleh sebagian
A. TRADISI ILMIAH ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA
1.Islam dan Bangsa Arab
Saat ini, jika anda membicarakan Islam artinya anda juga
membicarakan Timur tengah termasuk negara-negara di dalamnya. Hal ini
disebabkan identifikasi dari Timur tengah adalah negara-negara basis Islam,
meski tidak sinonim sulit memisahkan pembahasan antara keduanya, karena
Islam berkembang di wilayah Timur tengah dan keemasan Islam pada masa
lampau terletak di wilayah-wilayah Timur tengah. Tetapi menilai kebenaran
ajaran Islam dan kemajuannya pada Timur tengah tentu bukan penilaian yang
tepat, karena Islam tidak hanya berkomunikasi dengan bangsa Timur tengah,
Islam berkomunikasi dengan bangsa manapun dan melakukan sebuah proses
akulturasi budaya yang sangat menarik. Islam membaur dengan budaya
Persia Iran, membaur dengan peradaban Mesir kuno, berkomunikasi dengan
kekuatan Mesopotamia kuno di dataran rendah Irak atau berkonsultasi
dengan Hellenisme yang disebarkan Alexander Agung dan melebur
mendekati Eropa bersama pemikiran Yunani.
Peleburan budaya dan akulturasi ini takkan pernah terrealisasi tanpa
kekuatan Bangsa Arab. Islam takkan pernah berjaya dan mencapai masa
keemasan jika Bangsa Arab memilih untuk mengeksklusifkannya. Ekspansi
Islam keluar dari Jazirah Arab dan merambah wilayah-wilayah lainnya
berhasil mempopulerkan Islam dan ajaran-ajarannya serta berhasil
menunjukkan identitas Bangsa Arab.

Tetapi masa lalu bangsa Arab sebagai bangsa Jahiliyah cukup
menghantui penilaian-penilaian di luar Arab terhadap bangsa Arab itu
sendiri. Kondisi Bangsa Arab sebelum Islam datang, dikisahkan merupakan
Bangsa Jahiliyah, bangsa yang seakan-akan tidak punya norma dan aturan.
Bangsa yang seakan-akan tidak punya intelektualitas dan berada dalam titik
nadir.
Adalah Abdurrahman al-Bazzaz yang dengan lantang menyatakan
bahwa kondisi jahiliyyah yang digambarkan sejarahwan dengan kondisi yang
begitu nista tersebut adalah kesalahan besar, gambaran keburukan- keburukan
yang bertubi-tubi dengan maksud mengagungkan dan menunjukkan
kehebatan Nabi itu terlalu didramatisir. Akibatnya, setelah Nabi Muhammad
wafat, bangsa lain dapat dengan mudah menyerang bangsa Arab dan
menuding sebagai bangsa yang tidak beradab.8
Al-Bazzaz bahkan beranggapan bahwa penulisan sejarah tersebut
ditulis oleh orang-orang Persia untuk melegitimasi politiknya, yang didasari
oleh semangat golongan (shu’ubiyah), yaitu suatu gerakan dari orang-orang
muslim non Arab untuk menangkal kecenderungan Arabisasi. Perlu diketahui
dalam sejarah politik Islam, ada semangat- semangat primordialisme yang
melakukan tarik-menarik untuk menguasai pemerintahan. Semangat
primordialisme suku Quraisy yang diwakili oleh Dinasti Abbasiyah,
primordialisme Arab non Quraisy yang diwakili oleh kekuatan keluarga Bani
Umayyah, dan di luar Arab, muncul kekuatan Persia dan juga kekuatan
Turki.
Badri Yatim mencatat bahwa kemajuan dinasti Abbasiyah di awal
periode pemerintahannya yakni sekitar tahun 132 H/750 M sampai dengan
232 H/ 945 M, berada dalam pengaruh Persia.9 Pengaruh ini didapat melalui
pernikahan asimilasi antara bangsa Persia dan Arab, luga karena ibu kota
pemerintahan terletak di Baghdad dekat Ctesiphon, bekas ibu kota Persia.
Adapun Dinasti Turki Utsmani menurut Bernard Lewis merupakan dinasti
terakhir Islam, dalam hal ini dinasti dimaknai dengan kepemimpinan atas
nama Khalifah atau Sultan yang berbentuk monarchi. Setelah Turki praktis
dunia kekuasaan Islam terpecah belah menjadi dinasti-dinasti kecil atau
menjadi Negara-negara berdaulat dengan sistem pemerintahan yang berbeda
dengan dinasti.
Artinya, menurut Abdurrahman al-Bazzaz, persepsi dunia terhadap
Arab banyak dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang disebarluaskan atas nama
politik. Kerugian terbesarnya adalah saat ini, asumsi mengenai Arab selalu
dikonotasikan dengan Islam dan Islam selalu diidentifikasi dengan budaya
serta tradisi Arab.
Seperti halnya al-Bazzaz, Muhib al-Din al-Khatib seorang muhaqqiq
dan penulis syarh buku-buku Islam klasik berpandangan bahwa bangsa Arab
memang berada dalam kondisi “jahiliyyah", tetapi moreka juga punya
peradaban. Untuk memperkuat asumsinya ini, al- Khatib mengutip hadis oleh
Bukhari; Rasulullah bersabda, “Kamu mendapati manusia itu seperti barang

mineral; mereka yang terbaik pada masa jahiliah adalah juga yang terbaik
pada masa Islam, kalau mereka mengerti". Yang dapat dipahami dari sabda
Nabi itu ialah bahwa ui.ing-orang Arab itu memang memiliki kualitas yang
tinggi, bagaikanuang mineral seperti emas, sehingga jika mereka berharga
sebelum, maka mereka pun berharga pula sesudah Islam. Kemudian alhh.itib menjelaskan, tidak dapat diragukan bahwa Bangsa Arab adalah
penyembah berhala. Tetapi, mana dari kalangan bangsa-bangsa yang ada
pada waktu Islam muncul, yang bukan penyembah berhala dalam berbagai
pengertiannya? Bahkan sesungguhnya orang-orang Arab adalah yang paling
akhir menjadi penyembah berhala.10
Adapun sebelum menyembah berhala, al-Khatib berpendapat bahwa bangsa
Arab menganut faham al-Hanifiyyah, yakni ajaran monotheisme Arab
peninggalan Nabi Ibrahim. Sedangkan praktek menyembah berhala yang
terjadi kemudian pada mereka itu tidak menghasilkan kuil, pendeta atau pun
benda-benda ornamental keagamaan, sehingga dari kalangan semua bangsa di
muka bumi orang-orang Arab itulah yang paling dekat kepada agama fitrah.
Karena itulah mereka berhak atas pujian Tuhan kepada mereka dalam surah
al-Baqarah ayat 143, “Demikianlah Kami jadikan kamu sekalian ini golongan
penengah, agar supaya kamu menjadi saksi atas sekalian ummat manusia,
sebagaimana Rasul menjadi saksi atas kamu ..."
Bagi Nurcholish Madjid, ketinggian kebudayaan dan peradaban Bangsa Arab
terbukti melalui keindahan bahasa mereka yang sedemikian canggih dan
halus (redefined)-nya, membentuk latar belakang yang dapat menjadi ‘asbab
nuzul’ dalam arti luas dan menyeluruh bagi al-Qur’an berarti juga bagi
Islam.11
Secara geografis jazirah Arab dibentuk oleh empat persegi panjang yang
amat luas, di sebelah utara dibatasi oleh mata rantai daerah-daerah yang
terkenal dalam sejarah, disebut daerah “Bulan tsabit yang subur” (fertile
crescent) yaitu daerah Mesopotamia, Syria, Palestina dan tanah perbatasan
yang berpadang pasir; di sebelah timur dan selatan dibatasi oleh Teluk Parsi
dan Samudera Hindia; sebelah barat dibatasi Laut Merah.12
Wincler-Caetani mengatakan bahwa Jazirah Arab hakikatnya adalah daerah
yang subur dan merupakan tanah air pertama bangsa Semit. Namun setelah
ribuan tahun, kekeringan melanda daerah tersebut dan menyebabkan
timbulnya krisis kelebihan penduduk tanpa hasil alam yang mencukupi,
konsekuensinya berulang kali terjadi keadaaan saling serbu antar negeri
tetangga suku bangsa Semit ini. Krisis-krisis ini yang mendorong bangsa
Syria, Aramaik, Kan'an dan bangsa Arab sendiri memasuki daerah 'bulan
tsabit yang subur'.
Jadi, bangsa Arab menurut Wincler dalam sejarahnya, adalah residu dan tidak
terpisahkan dari proses invasi besar-besaran yang terjadi di masa lalu.
Beberapa bukti yang membenarkan teori Wincler ini menurut Bernard Lewis
adalah ditemukan sejumlah bukti dalam bentuk saluran air yang telah
mengering dan tanda-tanda kehidupan di wilayah tersebut di masa lalu.13

Ira M. Lapidus menuturkan bahwa secara keseluruhan kini, hanya sedikit saja
wilayah di Arabia merupakan wilayah yang subur, sebagian besar daerah
merupakan wilayah yang sangat gersang dan tandus. Dan bangsa Arab yang
hidup di beberapa wilayah subur menjalin pola kebersamaan politik,
kesamaan keyakinan, hubungan ekonomi dan perdamaian dengan masyarakat
sekitarnya.14 Philip K. Hitti mengemukakan bahwa wilayah padang tandus
Arabia merupakan cikal bakal lahirnya masyarakat Badui yang
mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat nomaden.15
Tradisi nasional Bangsa Arab membagi bangsa itu menjadi dua cabang yakni
Arab Utara dan Arab Selatan. Pemisahan wilayah itu secara geografis oleh
gurun tanpa jejak ke dalam wilayah utara dan selatan terungkap dalam
karakter orang-orang yang mendiami masing- masing wilayah itu. Menurut
Lewis Bahasa Arab saat ini adalah Bahasa Arab Selatan yang banyak
dipengaruhi dari Bahasa Etiopia, kebanyakan penduduk Arab selatan adalah
bangsa penetap. Salah satu kehebatan yang diketahui berasal dari Arab
Selatan adalah kerajaan Saba', wilayah ini menurut Lewis juga pernah berada
dalam kekuasaan Persia.16 Suku Badui diyakini merupakan orang-orang dari
Arab Utara, karena tempat subur dan pertanian adalah wilayah Arab Selatan.
Orang-orang Badui menunggang unta dan secara musiman berpindah-pindah
untuk mencari padang rumput yang hijau. Mereka memperlengkapi karavan
dengan binatang, juru penunjuk dan pengawal. Mereka menghabiskan musim
gugur dengan bertahan di padang pasir dan ketika terdapat tanda-tanda turun
hujan pertama, mereka berpindah untuk mencari padang rumput. Pada musim
panas mereka biasanya memasang tenda-tenda di dekat kampung dan oasis,
di tempat ini mereka menukar produk ternak untuk mendapatkan padi,
kurma, perkakas rumah tangga, senjata dan pakaian.
Kehidupan Independen Badui sama dengan kehidupan Independen Bangsa
Arab di wilayah Timur tengah. Timur tengah secara umum terdiri dari
Negara-negara berperadaban tinggi dengan kerajaan
hagai sistem
pemerintahannya. Di sisi barat, Arabia berbatasan dengan Imperium
Bizantium, di Utara berbatasan dengan Imperium Sasania t - ploitasi dan
penindasan yang ekstrim terhadap rakyat mencapai puncaknya. Perbudakan
telah melampaui batas dan memasuki masa

HMS Migrasi besar-besaran kaum tani miskin telah merambah kotaM.i sebagai akibat tirani kebangsawanan feodal yang tak tertahankan,
n.imun, di kota-kota-pun mereka masih diperlakukan sebagai budak.44
Penindasan yang tak terelakkan ini melemahkan persatuan

«’i-.i.i, membuat mereka terpecah belah dan memudahkan Islam m<
rt{|iiasai dan mendakwahkan ajaran Islam. Perlahan namun pasti, i i
I ii kubinsaan lama berlaku di wilayah yang telah ditaklukkan. Tidak

11 konsop ‘pemaksaan’ untuk memeluk Islam atau menggunakan 1 "i
um l'.lam. Hukum Islam diterapkan hanya untuk pemeluk Islam dan '"i '!•
u|,ima lain. Tetapi demokrasi bernegara ternodai oleh sikap ■' iliiMue' oleh
sebagian kalangan. Menurut Lewis, konflik antara Persia i m Aiah dimulai di
masa ‘Umar ibn Khattab, ‘Umar memang membiarkan hukum dan adat
berjalan seperti sebelumnya dan memberi kebebasan pada setiap Negara.
Tapi, ‘Umar juga melakukan konsensus-konsensus tertentu yang terlihat
lebih mengistimewakan bangsa Arab. Sejumlah keistimewaan atau akses
mudah bangsa Arab ini memicu emosi bangsa Persia, dan menimbulkan
semacam hubungan saling mencurigakan.45
Hubungan buruk Persia dan Arab memuncak melalui pembunuhan Khalifah
‘Umar ibn Khattab oleh seorang budak berbangsa Persia. Kondisi ini menurut
Lapidus semakin mereda pada masa ‘Umar ibn ‘Abdul Aziz, dengan
meluasnya asimilasi Arab menjadi populasi yang bersifat umum mendorong
kelompok Arab untuk mengakui kesamaan kedudukan antara Arab dan nonArab.46 'Umar ibn 'Abdul Aziz kemudian menyerahkan mekanisme
imperium pada seorang muslim tidak di atas basis Arab, la menerapkan

prinsip-prinsip persamaan terhadap seluruh muslim, baik Arab maupun nonArab dan memperkenalkan hukum- hukum baru mengenai persamaan
pemberian tunjangan keuangan kepada muslim tanpa memperhatikan asal
usul mereka.
Bersamaan dengan pemeluk Islam yang semakin meni