Filsafat Islam Vis a Vis Filsafat Barat
FILSAFAT ISLAM VIS A VIS FILSAFAT BARAT
Oleh: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
1.Pendahuluan
Term “filsafat Islam” dan “filsafat Barat” merupakan diskursus
kontroversial yang hingga kini masih bergulir. Adapun diskursus yang merajai
percaturan filosofis adalah apakah ada filsafat Islam atau filsafat Barat?
Bukankah filsafat itu berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa ada aksiden yang
melekat pada dirinya? Pertanyaan tersebut di satu sisi mendapatkan dukungan,
tapi di lain sisi mendapatkan serangan dari berbagai pihak.
Terlepas dari pro dan kontra dalam menanggapi hal tersebut, tapi kita
harus menyadari adanya fenomena “filsafat Islam” dan “filsafat Barat” pada
tataran realitas. Oleh karena itu, pembahasan yang paling tepat adalah di
manakah letak perbedaan antara filsafat Islam dan Barat?
Sebelum mendedah karakteristik dari keduanya—tanpa menjelaskan
makna etimologis yang kerap dikemukan dalam banyak kitab—Murtadha
Muthahhari1 mengajak kita menilik filsafat dalam istilah Muslim yang
mengambil kata ini dari Yunani, lalu diubah dan disesuaikan dengan bentuk
kata bahasa Arab dan memiliki arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional
(aqli)— yang mencakup antara lain ilmu bahasa, tafsir, hadis, fikih, usul—dan
merupakan lawan dari pengetahuan yang diwahyukan (naqli). Meletakkan
filsafat sebagai ilmu rasional sudah menunjukkan sifat dasar dari ilmu ini, yaitu
penyandaran dirinya kepada otoritas akal dalam mengerti dan memahami
realitas yang tidak dapat dibatasi oleh otoritas lain (agama atau pun dogma).2
1
2
Muthahhari, Murtadha, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta : Pustaka Zahra, 2003, hal. 303.
Makalah Pak Radea Juli A.Hambali, Tradisi Filsafat di Dunia Islam, hal.1.
1
1. Filsafat Islam
Tradisi filsafat Islam telah mengalami perkembangan signifikan pada
zaman keemasan peradaban Islam. Di masa itu, sains-sains kealaman
merupakan bagian dari filsafat, yang diajarkan bersama dengan matematika dan
teologi yang kesemuanya berada dalam kerangka metafisika yang tunggal.
Para ilmuwan Muslim percaya bahwa hirarki pengetahuan berawal dari
pengetahuan empiris dan berakhir pada pengetahuan yang diwahyukan. Lebih
jauh mereka percaya akan adanya saling keterkaitan antar berbagai disiplin
ilmu.3
Filsafat Islam pada akhirnya bisa dilihat sebagai gabungan antara
pemikiran liberal dan agama.
pengandalannya
pada
Ia bisa disebut sebagai liberal dalam hal
kebenaran-kebenaran
primer
dan
metode
demonstrasional untuk membangun argumentasi-argumentasinya. Pada saat
yang sama, pengaruh keyakinan atau quasi religius amat dominan, baik dalam
penerimaan kesepakatan mengenai apa yang dianggap sebagai kebenarankebenaran primer tersebut, maupun dalam pemilihan premis-premis lanjut
dalam silogisme mereka. Dalam filsafat Islam sedikitnya ada lima aliran, yang
pertautan antara satu dan lainnya secara garis besar terwakilkan menjadi tiga
konsep yang dikenal dengan nalar bayani, burhani dan irfani. Pertama Konsep
Bayani yang disebut juga Teologi Dialektik (‘Ilm al-Kalam), kedua
Paripatetisme (Masysyā’iyyah), bersama dengan yang ketiga yakni aliran
Illuminisme (Isyrāqiyyah) mewakili konsep Burhani keempat Sufisme/Teosofi
(Tashawwuf) atau konsep Irfani, khususnya yang dikembangkan oleh Ibn
‘Arabi, dan kelima Filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyyah) yang
merupakan integrasi ketiganya.4
Golshani, Mehdi, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, Bandung: Mizan,
Cet. I/Jul 04,
hal. 42
4
Bagir,Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Arasy Mizan, Cet. I/ Maret 2005, hal 74,
83- ,150-179
3
2
1. Teologi Dialektik (‘Ilm al-Kalam)
Teologi Islam bersifat dialektik, yang dilandaskan pada kebenaran
keagamaan. Metode epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik
hampir sama dengan metode Peripatetisme Aristotelian yang bersifat
deduktif silogistik.
Yakni prosedur untuk memperoleh kesimpulan
(silogisme) dari mempersandingkan dua premis (pernyataan yang sudah
disepakati terlebih dulu nilai kebenarannya). Dalam logika Aristotelian,
premis-premis tersebut adalah premis mayor (umum) dan premis minor
(khusus), seperti contoh berikut:
-
Premis mayor: semua manusia pasti mati
-
Premis minor : Aristo adalah manusia
-
Kesimpulan : Aristo pasti mati
Proses silogistik Peripatetisme, didasarkan atau dimulai dari premis-premis
yang telah disepakati sebagai kebenaran yang tidak perlu dipermasalahkan
lagi (primary truth). Dari sini kemudian diperoleh kebenaran-kebenaran,
yang pada gilirannya, akan menjadi premis-premis baru bagi silogistik
selanjutnya.
Demikian seterusnya. Sementara itu, Teologi Dialektik
berangkat dari pemahaman baik dan buruk, ini yang menyebabkan Teologi
Islam disebut sebagai bersifat dialektik, yang dilandaskan pada kebenaran
keagamaan.
Misalnya, sudah menjadi keniscayaan bahwa Tuhan harus
Mahakuasa. Dari sini dilakukanlah proses silogistik yang membawa kepada
suatu kesimpulan mengenai kemestian keesaan Tuhan.
2. Peripatetisme (Masysyā’iyyah)
Istilah di atas muncul dari kata Yunani peripatos, yang artinya berjalan
mondar mandir, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi
Masysyā’iyyah. Penamaan istilah dinisbatkan pada kebiasaan mengajar
Plato dengan cara demikian yang diikuti oleh para muridnya dengan
seksama. Nama aliran ini hanya menunjukkan pengaruh utama filsafat
Yunani atas peripatetisme Islam dan bukan menunjukkan ciri aliran ini.
Namun meskipun telah melakukan revisi bahkan inovasi-inovasi yang sama
3
sekali belum dikenal dalam filsafat Yunani, peripatetisme Islam memang
dibangun
atas
dasar
Aristotelianisme,
yang
bersifat
diskursus-
demonstrasional, namun banyak dipengaruhi oleh Neo-Platonisme (yang
dikembangkan oleh Plotinus, namun disalahpahami sebagai karya
Aristoteles oleh para filsuf Muslim, kecuali Ibn Rusyd yang ingin
membersihkan Aristotelian dari Neo-Platonisme yang iluministik).
Ciri lain dari Aristotelianisme adalah hylomorfisme (hyle = materi,
morph = forma/bentuk)
menurut prinsip ini, segala sesuatu berbentuk
sebagai komposit (gabungan) antara materi dan forma. Forma adalah
aktualisasi (entelechia, enteleki)
dari materi.
hylomorfisme sepenuhnya bersifat material.
Jadi, pada dasarnya
Jelas ini berbeda dengan
forma ideal Platonik, yang sepenuhnya immaterial (berada di alam non
material). Justru karena kesalahpahaman di atas yang membawa pengaruh
sehingga filsafat Islam bersifat iluministik (spiritual dan religious) karena
Islam memang memiliki afinitas kepada pemikiran yang demikian.
Emanasi sebagai bagian dari aliran ini merupakan basis bagi
kosmologi.
Emanasi menjelaskan bahwa awalnya adalah Tuhan, yang
tunggal tak ada selain-Nya. Lalu terjadi emanasi (al-fuadhi) Illahi, yang
darinya bermulalah proses penciptaan alam semesta. Alam semesta yang
tercipta ini tersusun dalam hierarki-hierarki.
Mulai dari Allah—Yang
Tertinggi bahkan melampau batas apa pun—melewati wujud-wujud
immaterial murni di bawahnya (dari akal satu sampai akal sepuluh), hingga
wujud paling rendah dari bagian material di alam semesta.
3. Illuminisme (Isyrāqiyyah)
Aliran ini dipercaya dimulai oleh Plato, namun sebagian mempercayai
pada masa prasokratik. Para filosof Isyrāqiyyah berbicara tentang suatu
kilatan mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham dalam pikiran
sebagai suatu arus cahaya. Dalam periode Hellenistik dan Romawi, aliran
ini terserap dan tergabungkan dalam pemikiran Yahudi dan Kristiani.
4
Dalam Kristiani teori ini mencapai puncaknya dalam karya St. Augustinus.
Melalui Thomas Aquinas, teori ini telah menjadi “mode” di sejumlah
pemikir abad ketiga belas. Sedang di sejarah filsafat Islam perkembangan
ini menemukan bentuk khasnya dalam Isyrāqiyyah Suhrawardi. Metode
yang digunakan oleh Iluminisme dan Sufisme atau Teosofi (Irfan), adalah
metode intuisi atau eksperiensial (bahasa Inggris experience = pengalaman).
Menurut Henry Corbin—pengkaji Suhrawardi—iluminisme Suhrawardi
telah membuka jalan bagi suatu dialog dengan wacana-wacana dan upayaupaya modern untuk memberi tempat bagi pengalaman religius atau mistis
dalam dunia ilmiah.
Suhrawardi termasuk salah seorang filosof yang mempercayai adanya
perennial wisdom.
Dalam arti, bahwa sebetulnya hikmah (wisdom) itu
bersifat perenial dan ber-sumber pada Tuhan yang sama yang diturunkan
melalui para utusan.
Suhrawardi me-ngatakan bahwa prinsip filsafat
Isyrāqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat peng-alaman intuitif,
kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional. Sama
seperti filsafat emanasi dalam peripatetisme yang mendahuluinya, dalam
Isyrāqiyyah wujud mempunyai hierarki-hierarki, dari yang teratas sampai
terbawah. Jika dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan
intelek, maka dalam Filsafat Isyrāqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut
diidentikan dengan nūr (cahaya).
4. Sufisme/Teosofi (Tashawwuf atau Irfan)
Yang membedakan filsafat Islam dengan filsafat modern salah satunya
adalah adanya tingkatan-tingkatan keberadaan segala sesuatu—biasa disebut
marātib al-wujud (tingkatan-tingkatan wujud), hierarchy of being. Diawali
dengan Wujud Puncak yang bersifat Mutlak, yaitu Tuhan (Allah), hingga
yang paling rendah, yakni materi awal (al-hayū al-ūla, material prima,
prime matter), tingkatan-tingkatan sebagaimana yang ditunjukkan oleh teori
emanasi.
Para teosof (hukamā) atau irfan (gnostik) memiliki cara
pengungkapan yang agak berbeda meskipun masih dapat dikatakan
5
konsisten dengan kaum filosof. Tingkat ini terbagi atas tiga kelompok,
pertama, yang mutlak bersifat ruhani disebut sebagai ‘alam al-amr (alam
yang berada di bawah perintah/hukum-hukum Allah) yang bersifat
immaterial. “Katakanlah, ruh itu berada di bawah amar/pengarahan Tuhan
(QS al-Isra’ [7]:85); kedua, yang material disebut sebagai ‘alam syahadah
(alam kasat indra), sedang yang ketiga yang berada di antara keduanya
disebut ‘alam barzah (alam khayal atau imaginal world), memiliki sebagian
sifat dari alam ruhani dan alam jasmani (fenomenal). Tepatnya alam ini
pada dasarnya sudah tidak lagi kasat indra (eksternal, pancaindra), tetapi
masih memiliki bentuk dan jumlah. Sebagai ilustrasi, objek-objek di alam
ini adalah pantulan atau refleksi cermin—meskipun, tidak seperti objek ini,
yang di alam khayal tidak kasat indra, ada dalam bentuk bayangan atau
pantulan, imajinasi atau khayal. Pantulan cermin tidak lagi bersifat fisis,
namun masih memiliki bentuk, warna dan jumlah. Dari sudut pandang ini,
alam kubur dan alam mimpi berada pada tingkatan alam khayal ini. (Bahkan
ada pendapat bahwa sesungguhnya kenikmatan atau siksaan yang diterima
manusia di alam kubur adalah seperti mimpi-mimpi indah atau mimpi
buruk).
Alam ruhani mutlak (hadirat ilahi atau ketuhanan) masih dibagi lagi
atas beberapa tingkatan. Yaitu Ghayb al-Ghuyub (yang paling gaib dari
yang gaib), ahadiyyah (ketakberbilangan, keesaan mutlak), dan wāhidiyyah
(kesatuan). Dalam bahasa Arab, arti kata ahad adalah esa mutlak (satusatunya) sedang wahid, juga bermakna satu namun yang mengimplikasikan
kemungkinan adanya bilangan berikutnya yaitu dua, tiga dan selanjutnya.
Tingkatan Ghayb al-Ghuyub adalah tingkatan tertinggi hadirat Ilahi yang
berada di luar jangkauan kemampuan manusia, disebut juga Dzāt al-Wujud.
Inilah, menurut sebagian teosof, yang dirunjuk sebagai (Zat) Allah dalam
hadis, “berpikirlah tentang ciptaan Allah, namun jangan berpikir tentang
(Zat) Allah”.
6
Pembagian lain dari alam ruhani—sebagai alam tertinggi—yakni alam
jabarut, lalu dibawahnya alam malakut (yang kurang lebih sama dengan
alam khayal), baru setelah itu alam malak atau nāsūt (alam fenomenal). Ada
lagi yang menamai tingkatan-tingkatan wujud ini dengan Hāhūt (Wujud
Mutlak Allah),
Lāhūt (Wujud Allah yang termanifestasi di tingkatan
keberbilangan), dan nāsūt (alam “manusia”).
Alam malak atau nāsūt kemudian dibagi lagi menjadi merupakan
materi yang telah memiliki bentuk (shūrah, form atau forma). Manusia
sebagai makhluk berakal (homo sapiens atau al-hayawān al-nāthiq),
memiliki berbagai tingkatan akal. Sehubungan dengan tingkatan-tingkatan
wujud di atas, manusia dilengkapi dengan beragam daya (fakultas) untuk
mempersepsi alam-alam tersebut. Yang terendah yaitu indra untuk
mempersepsi alam material (fisis), lalu jiwa (nāfs)—dalam hal ini masih
belum mencapai tingkatan stabil—untuk mempersepsi alam khayal, dan
fu’ād (hati dalam tingkat yang telah stabil)—kadang diidentikan dengan ruh,
atau ’aql atau intelek (bukan sekadar rasio yang berada di tingkatan lebih
rendah).
Fu’ād dapat juga diidentikkan dengan nāfs pada tingkatan
tertinggi, yakni al-nāfs al-muthma’innah (jiwa yang stabil, tenang).
5. Filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyyah)
Mulla Shadra membangun mazhab baru filsafat yang mempertemukan
berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum Muslimin.
Aliran Teosofi Transeden (al-Hikmah al-Muta’aliyyah)—biasa diringkas
sebagai Hikmah saja—yang belakangan dibangun oleh Mulla Shadra,
memang berbagi keyakinan dengan mistisisme dalam hal penggunaan intuisi
(dzauq) sebagai daya paling andal—bahkan satu-satunya daya—untuk
mencapai (kebenaran) ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pada saat yang sama,
aliran ini beranggapan bahwa kebenaran tersebut justru harus dapat
diungkapkan dan diverifikasi lewat suatu perumusan secara diskursif
demonstrasional. Sifat-Sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi
al-Qurān dan hadis yang dilakukannya, telah menjadikan filsafat ini tidak
7
hanya sebagai bukti masih hidup dan dinamisnya filsafat Islam pasca Ibn
Rusyd, tetapi juga menunjukkan bahwa—lebih dari peripatetisme dan
Isyāqiyyah—Filsafat Hikmah barangkali lebih layak disebut sebagai filsafat
Islam yang sesungguhnya.
Setiap paparan tentang Filsafat Hikmah tentu diawali dari kata
kuncinya: wujud.
Sedemikian sentralnya gagasan tentang wujud dalam
filsafat ini sehingga sebagian orang tak segan-segan menyebut Hikmah
sebagai semacam eksistensialisme Islam. Berbeda dengan benda “mati”
yang gerak substansialnya bersifat “deterministik”, manusia, sebagai wujud
yang mempunyai kehendak bebas dan potensi nyaris tak terbatas, selalu
bergerak menaiki tangga eksistensial ini berdasarkan tingkatan mentalspiritualnya. Ia dapat menaiki anak-tangga eksistensial jika keadaan mentalspiritualnya makin baik—dengan kata lain, makin menangkap atau
mendekati kebenaran yang pada puncaknya adalah Sang Wujud Sejati yang
melambari semua wujud itu, atau Sang Kebenaran (Al-Haqq, yakni Allah)—
atau terpuruk ke anak-tangga yang lebih rendah, bahkan paling rendah jika
keadaan mental-spiritualnya makin buruk.
Filsafat Hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh melalui
pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang
rasional dengan menggunakan argumen rasional. Bagi Mulla Shadra, wujud
adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda.
Contohnya seperti buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning, lalu
merah. Ukuran, rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Demikian
jugalah semua benda material berubah. Gerak substansial ini juga disebut
“al-harakah al-jawhariyyah”.
2. Filsafat Barat
Berkembangnya sains modern pada abad 16 dan 17 sekaligus
mengantarkan keberhasilan dalam mengilustrasikan fenomena alam, namun di
8
saat yang sama sains-sains kealaman justru merasa memiliki alasan untuk
berpisah dengan filsafat dan memilih untuk menempuh perjalanannya sendiri.
Abad 19, menandai lahirnya positivisme dan aliran-aliran empirisisme lainnya
dan mendominasi dunia akademis bahkan hingga sekarang.
Dengan kata lain Barat dengan tegas mengabaikan bahkan menentang
pertimbangan agamis dalam penelitian ilmiah mereka. Namun harus diakui
bahwa dalam beberapa dekade terakhir geliat akan kecenderungan untuk
‘rujuk’ kembali sudah semakin menampakan hasil meskipun masih lemah.
Penentuan kembali ke sumber asal tentunya merupakan hasil penjelajahan atas
kenyataan bahwa selain terjerumus ke jurang ‘sekular’, sains juga kehilangan
kesempatan untuk memetik manfaat dari kekayaan filsafat. Ironisnya,
kehilangan itu justru bermuara pada kesadaran akan adanya ‘ruh’ dari filsafat
yang tidak lain adalah transedentalis dan religiusitas. Masyarakat Modern
mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan legitimasi hidup, serta
kehilangan visi dan mengalamai keterasingan (alienasi) terhadap dirinya
sendiri5.
Sekilas dari beberapa aliran filsafat Barat antara lain:
Idealisme, mengedepankan moral yang tinggi, agama dan etika. Plato
(427-347 SM) mengatakan bahwa realitas yang sejati dan kekal dan bersifat
immateri ada di alam ide (rasio) sedangkan realitas di alam konkrit (empiri)
justru hanya bayangan saja dan tidak kekal dan bersifat materi, contoh ide
kesetigaan di alam rasio dan segitiga di alam konkrit yg tidak kekal (bisa
rusak dan sebagainya). sedang Hegel (1770-1831)—yang merupakan
kepanjangan tangan Plato dan Aristoteles mengedepankan Idealisme
Absolutnya (rasio, ide & ruh). Makna absolutnya adalah anti dualisme dan
pluralisme. Hegel melihat bagian terkecil sekalipun adalah merupakan bagian
dari satu kesatuan yang utuh. subjek dan objek meleburkan diri dari Fenomena
ke Numena melalui kesadaran. Begitu juga dengan perpisahan subjek dan
objek hilang di ‘monis’ sehingga tidak ada perbedaan subjek dan objek lagi.
5
Ibid, hal. 47
9
Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang
sifatnya ruhani atau intelegensi.
Humanisme, Abad ke 5-14, tujuan pendidikan untuk mencapai
kebahagiaan hidup abadi dan mengatasi kebutuhan duniawi. Abad 15, masa
kebangkitan kembali atau renaissance timbul pandangan humanisme yang
didukung berbagai penemuan misalnya mesin cetak. Humanisme memiliki
dua arah, pertama humanisme individu yang mengutamakan kemerdekaan
berpikir, berpendapat. Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, musik,
teknologi, penguasaan tentang kealaman.
Kedua humanisme sosial
mengutamakan pendidikan bagi masyarakat dan kesejahteraan sosial serta
perbaikan hubungan antar manusia.
Rasionalisme, lebih mengedepankan rasio atau akal. Satu-satunya
sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Tokohnya
salah satunya adalah René Descartes (1596-1650) perintis aliran rasionalisme,
yang dalam upaya mencari sumber kebenaran untuk bangunan keyakinan atau
kepastiannya, dan menolak indera ia menarik kesimpulan dari keduanya
dengan menggunakan metode keragu-raguannya (cogito ergo sum), yang
melahirkan res cogitans, dan res extansa. Selain itu pemikirannya dikenal
dengan ide-ide bawaan (innate idea). Subtansi menurutnya adalah gabungan
jiwa dan materi (selain Allah yang kekal adalah jiwa dan materi).
Empirisme memiliki motto bahwa kenyataan yang tidak dibuktikan
melalui pengalaman adalah tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji melalui
pengalaman atau Pengalaman merupakan sumber pengetahuan. Francis Bacon
(1561-1626) menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan
metode induksi. Ilmu akan berkembang melalui pengamatan serta menyusun
fakta sebagai hasil eksperimen.
Sedang John Locke (1662-1704) dengan
pandangannya tabula rasa—artinya bahwa setiap insan diciptakan sama,
sebagai kertas kosong. Locke (seperti juga Leibniz) menolak ide bawaan
Descartes karena harus melalui refleksi, sesuatu yang kosong namun
10
mempunyai potensi. Locke menolak semua yang absolut karena semua
subjektif. Ia memperkenalkan simple idea dan complex idea. Ide menurutnya
adalah segala sesuatu yang kita pikirkan. Kritik atas pemikirannya ini berarti
ia mengeneralisasi dan tidak membedakan antara proses pemikiran dan hasil
pemikiran—ini pula yang melahirkan kritik bahwa ia paling anti Kristen—
yakni dianggap menafikan Tuhan.
Kritisisme dengan tokohnya Immanuel kant (1724-1804) membuahkan
trilogi yang monumental yaitu “Critique of Pure Reason”, “Critique of
Practical Reason” dan “Critique of Judgement”. Ia banyak bicara tentang
epistemologi sehingga membuka jalan ke pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Kritik yang ia lontarkan kepada rasionalisme dan empirisme yang dinilainya
sebagai dogmatis juga pada skeptisme yang tidak memiliki “dunia luar”, atau
yang dengan kata lain “yang karena tidak punya kepastian maka mengejar
kepastian itu”.
Dapat dikatakan Kant ingin mensintesa mereka sekaligus
menolaknya dan menawarkan pemikiranya yang tertuang dalam triloginya di
atas.
Post Modernisme (Posmo), lahir sebagai kritik atas patologi
Modernisme. Modernitas bagi Lyotard6 merupakan proyek intelektual dalam
sejarah dan kebudayaan Barat, yang mencari kesatuan di bawah bimbingan
satu ide pokok yang terarah kepada kemajuan yang disebut dengan masa
pencerahan pada abad ke-18. Menurut Immanuel Kant, inti masa itu adalah
era
manusia
berani
berpikir
sendiri
dan
mengungkapkan
serta
mempertahankan pendapatnya dan dengan demikian meloloskan diri dari
keadaan tidak bebas. Hingga abad ke 19 dan ke-20 dilihat sebagai emansipasi:
membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, perbudakan yang
meliputi berbagai bidang seperti pengetahuan, kesenian, ekonomi politik.
Kesemuanya itu diusung melalui kisah-kisah besar atau “meta narasi” yang
berfungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat tak ubahnya seperti mitosmitos bagi masyarakat primitif. Bedanya tidak mencari legitimasi ke belakang
.Bertens,K, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, cet.
3/Agustus 2001, hal. 347-351
6
11
—seperti penciptaan oleh para dewa pada masyarakat primitif—tetapi ke
depan di mana ide harus diwujudkan. Ide ini memberi legitimasi karena
bersifat universal, berlaku di mana-mana. Kisah-kisah besar tadi melegitimasi
institusi-institusi serta praktek-praktek sosial dan politik, sistem hukum dan
moral dan seluruh cara berfikir. Salah satu contohnya dapat kita saksikan
bagaimana
kapitalisme,
yang
dalam
level
horizontal
melahirkan
individualisme dan konsumerisme sedang dalam level vertikal industrialisme
dan hasil ikutannya yakni post-industry.
Landasan yang kedua adalah rasionalisme.
Lyotard mengatakan
bahwa “Auschwitz” adalah paradigma istimewa yang menandakan gagalnya
proyek modernitas.
Ia melanjut-kan pemikiran Theodor Adorno yang
mengatakan bahwa “Auschwitz”—yakni lambang untuk pembantaian enam
juta orang Yahudi oleh nasional-sosialisme Jerman—sebagai peristiwa yang
seolah-olah menghancurkan rasionalitas. Modernitas yang mengusung
kesatuan sebagai idealnya justru menciptakan keterpecahbelahan. Pada paruh
kedua abad ke-20, daya pikatnya sudah tidak lagi menggigit dan mulai
ditinggalkan,
Patologi-patologi modernisme tadi memincu kelahiran
postmodernisme (posmo) yang ditandai dengan fragmentasi dan hilangnya
kesatuan. Kisah-kisah besar digantikan oleh banyak kisah-kisah kecil yang
tidak mungkin digabung dalam suatu kesatuan menyeluruh. Menurut Lyotard,
istilah posmo kerap disalahartikan dengan periode berikut setelah modernitas
(dari bahasa Latin modus = cara) saja. Ia juga menunjuk kepada suatu keadaan
dan suatu tugas yang harus dikerjakan meski tidak akan menghasil pkan “meta
narasi”.
12
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung : Arasy Mizan, Cet.
I/Maret 2005.
Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, cet. 3/Agustus 2001.
Golshani, Mehdi, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains : Tafsir Islami atas Sains,
Bandung : Mizan, Cet. I/Jul 2004.
Hannex, Milton D. Peta Filsafat : Pendekatan Kronologis dan Sistematis,
Bandung : Teraju Mizan, Cet I/September 2004.
Murtadha, Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta : Pustaka Zahra,
Cet.I/Agustus 2003
Materi kuliah Kapita Selekta Sem. 4/Feb-Mei’11/UIN Bandung, Dosen Radea
Yuli A. Hambali., M.Ag
Materi kuliah Sejarah Filsafat Barat Modern Sem. 6/Feb-Apr’09/ICAS
Jakarta, Dosen Edwin Arifin MA
Materi kuliah The Challenge of Modernism and Postmodernism ICAS Sem.
7/Sep-Jan10/ICAS Jakarta, Dosen Drs. M. Deden Ridwan MA.
13
Oleh: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
1.Pendahuluan
Term “filsafat Islam” dan “filsafat Barat” merupakan diskursus
kontroversial yang hingga kini masih bergulir. Adapun diskursus yang merajai
percaturan filosofis adalah apakah ada filsafat Islam atau filsafat Barat?
Bukankah filsafat itu berdiri di atas kakinya sendiri, tanpa ada aksiden yang
melekat pada dirinya? Pertanyaan tersebut di satu sisi mendapatkan dukungan,
tapi di lain sisi mendapatkan serangan dari berbagai pihak.
Terlepas dari pro dan kontra dalam menanggapi hal tersebut, tapi kita
harus menyadari adanya fenomena “filsafat Islam” dan “filsafat Barat” pada
tataran realitas. Oleh karena itu, pembahasan yang paling tepat adalah di
manakah letak perbedaan antara filsafat Islam dan Barat?
Sebelum mendedah karakteristik dari keduanya—tanpa menjelaskan
makna etimologis yang kerap dikemukan dalam banyak kitab—Murtadha
Muthahhari1 mengajak kita menilik filsafat dalam istilah Muslim yang
mengambil kata ini dari Yunani, lalu diubah dan disesuaikan dengan bentuk
kata bahasa Arab dan memiliki arti berbagai ilmu pengetahuan yang rasional
(aqli)— yang mencakup antara lain ilmu bahasa, tafsir, hadis, fikih, usul—dan
merupakan lawan dari pengetahuan yang diwahyukan (naqli). Meletakkan
filsafat sebagai ilmu rasional sudah menunjukkan sifat dasar dari ilmu ini, yaitu
penyandaran dirinya kepada otoritas akal dalam mengerti dan memahami
realitas yang tidak dapat dibatasi oleh otoritas lain (agama atau pun dogma).2
1
2
Muthahhari, Murtadha, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta : Pustaka Zahra, 2003, hal. 303.
Makalah Pak Radea Juli A.Hambali, Tradisi Filsafat di Dunia Islam, hal.1.
1
1. Filsafat Islam
Tradisi filsafat Islam telah mengalami perkembangan signifikan pada
zaman keemasan peradaban Islam. Di masa itu, sains-sains kealaman
merupakan bagian dari filsafat, yang diajarkan bersama dengan matematika dan
teologi yang kesemuanya berada dalam kerangka metafisika yang tunggal.
Para ilmuwan Muslim percaya bahwa hirarki pengetahuan berawal dari
pengetahuan empiris dan berakhir pada pengetahuan yang diwahyukan. Lebih
jauh mereka percaya akan adanya saling keterkaitan antar berbagai disiplin
ilmu.3
Filsafat Islam pada akhirnya bisa dilihat sebagai gabungan antara
pemikiran liberal dan agama.
pengandalannya
pada
Ia bisa disebut sebagai liberal dalam hal
kebenaran-kebenaran
primer
dan
metode
demonstrasional untuk membangun argumentasi-argumentasinya. Pada saat
yang sama, pengaruh keyakinan atau quasi religius amat dominan, baik dalam
penerimaan kesepakatan mengenai apa yang dianggap sebagai kebenarankebenaran primer tersebut, maupun dalam pemilihan premis-premis lanjut
dalam silogisme mereka. Dalam filsafat Islam sedikitnya ada lima aliran, yang
pertautan antara satu dan lainnya secara garis besar terwakilkan menjadi tiga
konsep yang dikenal dengan nalar bayani, burhani dan irfani. Pertama Konsep
Bayani yang disebut juga Teologi Dialektik (‘Ilm al-Kalam), kedua
Paripatetisme (Masysyā’iyyah), bersama dengan yang ketiga yakni aliran
Illuminisme (Isyrāqiyyah) mewakili konsep Burhani keempat Sufisme/Teosofi
(Tashawwuf) atau konsep Irfani, khususnya yang dikembangkan oleh Ibn
‘Arabi, dan kelima Filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyyah) yang
merupakan integrasi ketiganya.4
Golshani, Mehdi, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains: Tafsir Islami atas Sains, Bandung: Mizan,
Cet. I/Jul 04,
hal. 42
4
Bagir,Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung: Arasy Mizan, Cet. I/ Maret 2005, hal 74,
83- ,150-179
3
2
1. Teologi Dialektik (‘Ilm al-Kalam)
Teologi Islam bersifat dialektik, yang dilandaskan pada kebenaran
keagamaan. Metode epistemologi yang digunakan oleh Teologi Dialektik
hampir sama dengan metode Peripatetisme Aristotelian yang bersifat
deduktif silogistik.
Yakni prosedur untuk memperoleh kesimpulan
(silogisme) dari mempersandingkan dua premis (pernyataan yang sudah
disepakati terlebih dulu nilai kebenarannya). Dalam logika Aristotelian,
premis-premis tersebut adalah premis mayor (umum) dan premis minor
(khusus), seperti contoh berikut:
-
Premis mayor: semua manusia pasti mati
-
Premis minor : Aristo adalah manusia
-
Kesimpulan : Aristo pasti mati
Proses silogistik Peripatetisme, didasarkan atau dimulai dari premis-premis
yang telah disepakati sebagai kebenaran yang tidak perlu dipermasalahkan
lagi (primary truth). Dari sini kemudian diperoleh kebenaran-kebenaran,
yang pada gilirannya, akan menjadi premis-premis baru bagi silogistik
selanjutnya.
Demikian seterusnya. Sementara itu, Teologi Dialektik
berangkat dari pemahaman baik dan buruk, ini yang menyebabkan Teologi
Islam disebut sebagai bersifat dialektik, yang dilandaskan pada kebenaran
keagamaan.
Misalnya, sudah menjadi keniscayaan bahwa Tuhan harus
Mahakuasa. Dari sini dilakukanlah proses silogistik yang membawa kepada
suatu kesimpulan mengenai kemestian keesaan Tuhan.
2. Peripatetisme (Masysyā’iyyah)
Istilah di atas muncul dari kata Yunani peripatos, yang artinya berjalan
mondar mandir, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi
Masysyā’iyyah. Penamaan istilah dinisbatkan pada kebiasaan mengajar
Plato dengan cara demikian yang diikuti oleh para muridnya dengan
seksama. Nama aliran ini hanya menunjukkan pengaruh utama filsafat
Yunani atas peripatetisme Islam dan bukan menunjukkan ciri aliran ini.
Namun meskipun telah melakukan revisi bahkan inovasi-inovasi yang sama
3
sekali belum dikenal dalam filsafat Yunani, peripatetisme Islam memang
dibangun
atas
dasar
Aristotelianisme,
yang
bersifat
diskursus-
demonstrasional, namun banyak dipengaruhi oleh Neo-Platonisme (yang
dikembangkan oleh Plotinus, namun disalahpahami sebagai karya
Aristoteles oleh para filsuf Muslim, kecuali Ibn Rusyd yang ingin
membersihkan Aristotelian dari Neo-Platonisme yang iluministik).
Ciri lain dari Aristotelianisme adalah hylomorfisme (hyle = materi,
morph = forma/bentuk)
menurut prinsip ini, segala sesuatu berbentuk
sebagai komposit (gabungan) antara materi dan forma. Forma adalah
aktualisasi (entelechia, enteleki)
dari materi.
hylomorfisme sepenuhnya bersifat material.
Jadi, pada dasarnya
Jelas ini berbeda dengan
forma ideal Platonik, yang sepenuhnya immaterial (berada di alam non
material). Justru karena kesalahpahaman di atas yang membawa pengaruh
sehingga filsafat Islam bersifat iluministik (spiritual dan religious) karena
Islam memang memiliki afinitas kepada pemikiran yang demikian.
Emanasi sebagai bagian dari aliran ini merupakan basis bagi
kosmologi.
Emanasi menjelaskan bahwa awalnya adalah Tuhan, yang
tunggal tak ada selain-Nya. Lalu terjadi emanasi (al-fuadhi) Illahi, yang
darinya bermulalah proses penciptaan alam semesta. Alam semesta yang
tercipta ini tersusun dalam hierarki-hierarki.
Mulai dari Allah—Yang
Tertinggi bahkan melampau batas apa pun—melewati wujud-wujud
immaterial murni di bawahnya (dari akal satu sampai akal sepuluh), hingga
wujud paling rendah dari bagian material di alam semesta.
3. Illuminisme (Isyrāqiyyah)
Aliran ini dipercaya dimulai oleh Plato, namun sebagian mempercayai
pada masa prasokratik. Para filosof Isyrāqiyyah berbicara tentang suatu
kilatan mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham dalam pikiran
sebagai suatu arus cahaya. Dalam periode Hellenistik dan Romawi, aliran
ini terserap dan tergabungkan dalam pemikiran Yahudi dan Kristiani.
4
Dalam Kristiani teori ini mencapai puncaknya dalam karya St. Augustinus.
Melalui Thomas Aquinas, teori ini telah menjadi “mode” di sejumlah
pemikir abad ketiga belas. Sedang di sejarah filsafat Islam perkembangan
ini menemukan bentuk khasnya dalam Isyrāqiyyah Suhrawardi. Metode
yang digunakan oleh Iluminisme dan Sufisme atau Teosofi (Irfan), adalah
metode intuisi atau eksperiensial (bahasa Inggris experience = pengalaman).
Menurut Henry Corbin—pengkaji Suhrawardi—iluminisme Suhrawardi
telah membuka jalan bagi suatu dialog dengan wacana-wacana dan upayaupaya modern untuk memberi tempat bagi pengalaman religius atau mistis
dalam dunia ilmiah.
Suhrawardi termasuk salah seorang filosof yang mempercayai adanya
perennial wisdom.
Dalam arti, bahwa sebetulnya hikmah (wisdom) itu
bersifat perenial dan ber-sumber pada Tuhan yang sama yang diturunkan
melalui para utusan.
Suhrawardi me-ngatakan bahwa prinsip filsafat
Isyrāqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat peng-alaman intuitif,
kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional. Sama
seperti filsafat emanasi dalam peripatetisme yang mendahuluinya, dalam
Isyrāqiyyah wujud mempunyai hierarki-hierarki, dari yang teratas sampai
terbawah. Jika dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan
intelek, maka dalam Filsafat Isyrāqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut
diidentikan dengan nūr (cahaya).
4. Sufisme/Teosofi (Tashawwuf atau Irfan)
Yang membedakan filsafat Islam dengan filsafat modern salah satunya
adalah adanya tingkatan-tingkatan keberadaan segala sesuatu—biasa disebut
marātib al-wujud (tingkatan-tingkatan wujud), hierarchy of being. Diawali
dengan Wujud Puncak yang bersifat Mutlak, yaitu Tuhan (Allah), hingga
yang paling rendah, yakni materi awal (al-hayū al-ūla, material prima,
prime matter), tingkatan-tingkatan sebagaimana yang ditunjukkan oleh teori
emanasi.
Para teosof (hukamā) atau irfan (gnostik) memiliki cara
pengungkapan yang agak berbeda meskipun masih dapat dikatakan
5
konsisten dengan kaum filosof. Tingkat ini terbagi atas tiga kelompok,
pertama, yang mutlak bersifat ruhani disebut sebagai ‘alam al-amr (alam
yang berada di bawah perintah/hukum-hukum Allah) yang bersifat
immaterial. “Katakanlah, ruh itu berada di bawah amar/pengarahan Tuhan
(QS al-Isra’ [7]:85); kedua, yang material disebut sebagai ‘alam syahadah
(alam kasat indra), sedang yang ketiga yang berada di antara keduanya
disebut ‘alam barzah (alam khayal atau imaginal world), memiliki sebagian
sifat dari alam ruhani dan alam jasmani (fenomenal). Tepatnya alam ini
pada dasarnya sudah tidak lagi kasat indra (eksternal, pancaindra), tetapi
masih memiliki bentuk dan jumlah. Sebagai ilustrasi, objek-objek di alam
ini adalah pantulan atau refleksi cermin—meskipun, tidak seperti objek ini,
yang di alam khayal tidak kasat indra, ada dalam bentuk bayangan atau
pantulan, imajinasi atau khayal. Pantulan cermin tidak lagi bersifat fisis,
namun masih memiliki bentuk, warna dan jumlah. Dari sudut pandang ini,
alam kubur dan alam mimpi berada pada tingkatan alam khayal ini. (Bahkan
ada pendapat bahwa sesungguhnya kenikmatan atau siksaan yang diterima
manusia di alam kubur adalah seperti mimpi-mimpi indah atau mimpi
buruk).
Alam ruhani mutlak (hadirat ilahi atau ketuhanan) masih dibagi lagi
atas beberapa tingkatan. Yaitu Ghayb al-Ghuyub (yang paling gaib dari
yang gaib), ahadiyyah (ketakberbilangan, keesaan mutlak), dan wāhidiyyah
(kesatuan). Dalam bahasa Arab, arti kata ahad adalah esa mutlak (satusatunya) sedang wahid, juga bermakna satu namun yang mengimplikasikan
kemungkinan adanya bilangan berikutnya yaitu dua, tiga dan selanjutnya.
Tingkatan Ghayb al-Ghuyub adalah tingkatan tertinggi hadirat Ilahi yang
berada di luar jangkauan kemampuan manusia, disebut juga Dzāt al-Wujud.
Inilah, menurut sebagian teosof, yang dirunjuk sebagai (Zat) Allah dalam
hadis, “berpikirlah tentang ciptaan Allah, namun jangan berpikir tentang
(Zat) Allah”.
6
Pembagian lain dari alam ruhani—sebagai alam tertinggi—yakni alam
jabarut, lalu dibawahnya alam malakut (yang kurang lebih sama dengan
alam khayal), baru setelah itu alam malak atau nāsūt (alam fenomenal). Ada
lagi yang menamai tingkatan-tingkatan wujud ini dengan Hāhūt (Wujud
Mutlak Allah),
Lāhūt (Wujud Allah yang termanifestasi di tingkatan
keberbilangan), dan nāsūt (alam “manusia”).
Alam malak atau nāsūt kemudian dibagi lagi menjadi merupakan
materi yang telah memiliki bentuk (shūrah, form atau forma). Manusia
sebagai makhluk berakal (homo sapiens atau al-hayawān al-nāthiq),
memiliki berbagai tingkatan akal. Sehubungan dengan tingkatan-tingkatan
wujud di atas, manusia dilengkapi dengan beragam daya (fakultas) untuk
mempersepsi alam-alam tersebut. Yang terendah yaitu indra untuk
mempersepsi alam material (fisis), lalu jiwa (nāfs)—dalam hal ini masih
belum mencapai tingkatan stabil—untuk mempersepsi alam khayal, dan
fu’ād (hati dalam tingkat yang telah stabil)—kadang diidentikan dengan ruh,
atau ’aql atau intelek (bukan sekadar rasio yang berada di tingkatan lebih
rendah).
Fu’ād dapat juga diidentikkan dengan nāfs pada tingkatan
tertinggi, yakni al-nāfs al-muthma’innah (jiwa yang stabil, tenang).
5. Filsafat Hikmah (al-Hikmah al-Muta’aliyyah)
Mulla Shadra membangun mazhab baru filsafat yang mempertemukan
berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum Muslimin.
Aliran Teosofi Transeden (al-Hikmah al-Muta’aliyyah)—biasa diringkas
sebagai Hikmah saja—yang belakangan dibangun oleh Mulla Shadra,
memang berbagi keyakinan dengan mistisisme dalam hal penggunaan intuisi
(dzauq) sebagai daya paling andal—bahkan satu-satunya daya—untuk
mencapai (kebenaran) ilmu pengetahuan. Akan tetapi, pada saat yang sama,
aliran ini beranggapan bahwa kebenaran tersebut justru harus dapat
diungkapkan dan diverifikasi lewat suatu perumusan secara diskursif
demonstrasional. Sifat-Sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi
al-Qurān dan hadis yang dilakukannya, telah menjadikan filsafat ini tidak
7
hanya sebagai bukti masih hidup dan dinamisnya filsafat Islam pasca Ibn
Rusyd, tetapi juga menunjukkan bahwa—lebih dari peripatetisme dan
Isyāqiyyah—Filsafat Hikmah barangkali lebih layak disebut sebagai filsafat
Islam yang sesungguhnya.
Setiap paparan tentang Filsafat Hikmah tentu diawali dari kata
kuncinya: wujud.
Sedemikian sentralnya gagasan tentang wujud dalam
filsafat ini sehingga sebagian orang tak segan-segan menyebut Hikmah
sebagai semacam eksistensialisme Islam. Berbeda dengan benda “mati”
yang gerak substansialnya bersifat “deterministik”, manusia, sebagai wujud
yang mempunyai kehendak bebas dan potensi nyaris tak terbatas, selalu
bergerak menaiki tangga eksistensial ini berdasarkan tingkatan mentalspiritualnya. Ia dapat menaiki anak-tangga eksistensial jika keadaan mentalspiritualnya makin baik—dengan kata lain, makin menangkap atau
mendekati kebenaran yang pada puncaknya adalah Sang Wujud Sejati yang
melambari semua wujud itu, atau Sang Kebenaran (Al-Haqq, yakni Allah)—
atau terpuruk ke anak-tangga yang lebih rendah, bahkan paling rendah jika
keadaan mental-spiritualnya makin buruk.
Filsafat Hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh melalui
pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang
rasional dengan menggunakan argumen rasional. Bagi Mulla Shadra, wujud
adalah realitas tunggal yang muncul dalam gradasi (tahap) yang berbeda.
Contohnya seperti buah apel berubah dari hijau, kemudian kuning, lalu
merah. Ukuran, rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Demikian
jugalah semua benda material berubah. Gerak substansial ini juga disebut
“al-harakah al-jawhariyyah”.
2. Filsafat Barat
Berkembangnya sains modern pada abad 16 dan 17 sekaligus
mengantarkan keberhasilan dalam mengilustrasikan fenomena alam, namun di
8
saat yang sama sains-sains kealaman justru merasa memiliki alasan untuk
berpisah dengan filsafat dan memilih untuk menempuh perjalanannya sendiri.
Abad 19, menandai lahirnya positivisme dan aliran-aliran empirisisme lainnya
dan mendominasi dunia akademis bahkan hingga sekarang.
Dengan kata lain Barat dengan tegas mengabaikan bahkan menentang
pertimbangan agamis dalam penelitian ilmiah mereka. Namun harus diakui
bahwa dalam beberapa dekade terakhir geliat akan kecenderungan untuk
‘rujuk’ kembali sudah semakin menampakan hasil meskipun masih lemah.
Penentuan kembali ke sumber asal tentunya merupakan hasil penjelajahan atas
kenyataan bahwa selain terjerumus ke jurang ‘sekular’, sains juga kehilangan
kesempatan untuk memetik manfaat dari kekayaan filsafat. Ironisnya,
kehilangan itu justru bermuara pada kesadaran akan adanya ‘ruh’ dari filsafat
yang tidak lain adalah transedentalis dan religiusitas. Masyarakat Modern
mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan legitimasi hidup, serta
kehilangan visi dan mengalamai keterasingan (alienasi) terhadap dirinya
sendiri5.
Sekilas dari beberapa aliran filsafat Barat antara lain:
Idealisme, mengedepankan moral yang tinggi, agama dan etika. Plato
(427-347 SM) mengatakan bahwa realitas yang sejati dan kekal dan bersifat
immateri ada di alam ide (rasio) sedangkan realitas di alam konkrit (empiri)
justru hanya bayangan saja dan tidak kekal dan bersifat materi, contoh ide
kesetigaan di alam rasio dan segitiga di alam konkrit yg tidak kekal (bisa
rusak dan sebagainya). sedang Hegel (1770-1831)—yang merupakan
kepanjangan tangan Plato dan Aristoteles mengedepankan Idealisme
Absolutnya (rasio, ide & ruh). Makna absolutnya adalah anti dualisme dan
pluralisme. Hegel melihat bagian terkecil sekalipun adalah merupakan bagian
dari satu kesatuan yang utuh. subjek dan objek meleburkan diri dari Fenomena
ke Numena melalui kesadaran. Begitu juga dengan perpisahan subjek dan
objek hilang di ‘monis’ sehingga tidak ada perbedaan subjek dan objek lagi.
5
Ibid, hal. 47
9
Idealisme yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang
sifatnya ruhani atau intelegensi.
Humanisme, Abad ke 5-14, tujuan pendidikan untuk mencapai
kebahagiaan hidup abadi dan mengatasi kebutuhan duniawi. Abad 15, masa
kebangkitan kembali atau renaissance timbul pandangan humanisme yang
didukung berbagai penemuan misalnya mesin cetak. Humanisme memiliki
dua arah, pertama humanisme individu yang mengutamakan kemerdekaan
berpikir, berpendapat. Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, musik,
teknologi, penguasaan tentang kealaman.
Kedua humanisme sosial
mengutamakan pendidikan bagi masyarakat dan kesejahteraan sosial serta
perbaikan hubungan antar manusia.
Rasionalisme, lebih mengedepankan rasio atau akal. Satu-satunya
sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). Tokohnya
salah satunya adalah René Descartes (1596-1650) perintis aliran rasionalisme,
yang dalam upaya mencari sumber kebenaran untuk bangunan keyakinan atau
kepastiannya, dan menolak indera ia menarik kesimpulan dari keduanya
dengan menggunakan metode keragu-raguannya (cogito ergo sum), yang
melahirkan res cogitans, dan res extansa. Selain itu pemikirannya dikenal
dengan ide-ide bawaan (innate idea). Subtansi menurutnya adalah gabungan
jiwa dan materi (selain Allah yang kekal adalah jiwa dan materi).
Empirisme memiliki motto bahwa kenyataan yang tidak dibuktikan
melalui pengalaman adalah tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji melalui
pengalaman atau Pengalaman merupakan sumber pengetahuan. Francis Bacon
(1561-1626) menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan
metode induksi. Ilmu akan berkembang melalui pengamatan serta menyusun
fakta sebagai hasil eksperimen.
Sedang John Locke (1662-1704) dengan
pandangannya tabula rasa—artinya bahwa setiap insan diciptakan sama,
sebagai kertas kosong. Locke (seperti juga Leibniz) menolak ide bawaan
Descartes karena harus melalui refleksi, sesuatu yang kosong namun
10
mempunyai potensi. Locke menolak semua yang absolut karena semua
subjektif. Ia memperkenalkan simple idea dan complex idea. Ide menurutnya
adalah segala sesuatu yang kita pikirkan. Kritik atas pemikirannya ini berarti
ia mengeneralisasi dan tidak membedakan antara proses pemikiran dan hasil
pemikiran—ini pula yang melahirkan kritik bahwa ia paling anti Kristen—
yakni dianggap menafikan Tuhan.
Kritisisme dengan tokohnya Immanuel kant (1724-1804) membuahkan
trilogi yang monumental yaitu “Critique of Pure Reason”, “Critique of
Practical Reason” dan “Critique of Judgement”. Ia banyak bicara tentang
epistemologi sehingga membuka jalan ke pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Kritik yang ia lontarkan kepada rasionalisme dan empirisme yang dinilainya
sebagai dogmatis juga pada skeptisme yang tidak memiliki “dunia luar”, atau
yang dengan kata lain “yang karena tidak punya kepastian maka mengejar
kepastian itu”.
Dapat dikatakan Kant ingin mensintesa mereka sekaligus
menolaknya dan menawarkan pemikiranya yang tertuang dalam triloginya di
atas.
Post Modernisme (Posmo), lahir sebagai kritik atas patologi
Modernisme. Modernitas bagi Lyotard6 merupakan proyek intelektual dalam
sejarah dan kebudayaan Barat, yang mencari kesatuan di bawah bimbingan
satu ide pokok yang terarah kepada kemajuan yang disebut dengan masa
pencerahan pada abad ke-18. Menurut Immanuel Kant, inti masa itu adalah
era
manusia
berani
berpikir
sendiri
dan
mengungkapkan
serta
mempertahankan pendapatnya dan dengan demikian meloloskan diri dari
keadaan tidak bebas. Hingga abad ke 19 dan ke-20 dilihat sebagai emansipasi:
membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, perbudakan yang
meliputi berbagai bidang seperti pengetahuan, kesenian, ekonomi politik.
Kesemuanya itu diusung melalui kisah-kisah besar atau “meta narasi” yang
berfungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat tak ubahnya seperti mitosmitos bagi masyarakat primitif. Bedanya tidak mencari legitimasi ke belakang
.Bertens,K, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, cet.
3/Agustus 2001, hal. 347-351
6
11
—seperti penciptaan oleh para dewa pada masyarakat primitif—tetapi ke
depan di mana ide harus diwujudkan. Ide ini memberi legitimasi karena
bersifat universal, berlaku di mana-mana. Kisah-kisah besar tadi melegitimasi
institusi-institusi serta praktek-praktek sosial dan politik, sistem hukum dan
moral dan seluruh cara berfikir. Salah satu contohnya dapat kita saksikan
bagaimana
kapitalisme,
yang
dalam
level
horizontal
melahirkan
individualisme dan konsumerisme sedang dalam level vertikal industrialisme
dan hasil ikutannya yakni post-industry.
Landasan yang kedua adalah rasionalisme.
Lyotard mengatakan
bahwa “Auschwitz” adalah paradigma istimewa yang menandakan gagalnya
proyek modernitas.
Ia melanjut-kan pemikiran Theodor Adorno yang
mengatakan bahwa “Auschwitz”—yakni lambang untuk pembantaian enam
juta orang Yahudi oleh nasional-sosialisme Jerman—sebagai peristiwa yang
seolah-olah menghancurkan rasionalitas. Modernitas yang mengusung
kesatuan sebagai idealnya justru menciptakan keterpecahbelahan. Pada paruh
kedua abad ke-20, daya pikatnya sudah tidak lagi menggigit dan mulai
ditinggalkan,
Patologi-patologi modernisme tadi memincu kelahiran
postmodernisme (posmo) yang ditandai dengan fragmentasi dan hilangnya
kesatuan. Kisah-kisah besar digantikan oleh banyak kisah-kisah kecil yang
tidak mungkin digabung dalam suatu kesatuan menyeluruh. Menurut Lyotard,
istilah posmo kerap disalahartikan dengan periode berikut setelah modernitas
(dari bahasa Latin modus = cara) saja. Ia juga menunjuk kepada suatu keadaan
dan suatu tugas yang harus dikerjakan meski tidak akan menghasil pkan “meta
narasi”.
12
DAFTAR PUSTAKA
Bagir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung : Arasy Mizan, Cet.
I/Maret 2005.
Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, cet. 3/Agustus 2001.
Golshani, Mehdi, Melacak Jejak Tuhan dalam Sains : Tafsir Islami atas Sains,
Bandung : Mizan, Cet. I/Jul 2004.
Hannex, Milton D. Peta Filsafat : Pendekatan Kronologis dan Sistematis,
Bandung : Teraju Mizan, Cet I/September 2004.
Murtadha, Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta : Pustaka Zahra,
Cet.I/Agustus 2003
Materi kuliah Kapita Selekta Sem. 4/Feb-Mei’11/UIN Bandung, Dosen Radea
Yuli A. Hambali., M.Ag
Materi kuliah Sejarah Filsafat Barat Modern Sem. 6/Feb-Apr’09/ICAS
Jakarta, Dosen Edwin Arifin MA
Materi kuliah The Challenge of Modernism and Postmodernism ICAS Sem.
7/Sep-Jan10/ICAS Jakarta, Dosen Drs. M. Deden Ridwan MA.
13