ISSN 2407-9189 The 3
rd
Universty Research Colloquium 2016
36
STUDI DESKRIPTIF FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK IBU MENGKHITANKAN BAYI PEREMPUANNYA
Uswatun Kasanah
1
dan Siti Ni’amah
2
1 2
Prodi D III Kebidanan, Akademi Kebidanan Bakti Utama Pati email:
iyuzakbidbup.ac.id dan sni39amahyahoo.com
Abstract
Although female circumcision is not medically advisable even no female but the fact is all around us, people still practice circumcision. It can cause complications of its own which is highly
detrimental to women including the bleeding after circumcision, as happened in Gembong sub- district, Pati.The study aimed to describe the factors associated with the practice of circumcision
mother in baby girl in Pati regency. This research is descriptive method with a quantitative approach. Research shows 81.2 of respondents perform female circumcision, most of the
mothers family support female circumcision 52.5, strong beliefs about female circumcision 62, the husband supports female circumcision 66.8, mothers are supportive circumcision
women 73, good knowledge of female circumcision 66.8, neighbors support female circumcision 52.2, midwife supports female circumcision 55.2, maternal age in healthy
reproductive age 89.3 , high school or equivalent education 57.9, farmers workers 37.4.DKK need to make regulations on the prohibition of female circumcision followed by
monitoring and evaluation of the regulation after doing socialization. IBI need to provide an appeal to its members in order to provide the right information. For pregnant women are expected
to actively attend classes of pregnant women and to find information about female circumcision. Keywords
: factors that affect, practice, female circumcision
1. PENDAHULUAN
Khitan pada anak perempuan atau Female Genital Cutting FGC atau Female
Genital Mutilation FGM merupakan salah satu fenomena yang menjadi fokus perhatian
internasional. Kampanye Zero Tolerance yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa–Bangsa
PBB membahas tentang praktik khitan pada anak perempuan mengatakan bahwa lebih dari
150
juta anak
perempuan mengalami
penderitaan akibat praktik melukai atau memotong alat kelamin perempuan Sumarni,
2005. Delapan puluh empat juta anak perempuan mengalami tindakan khitan tanpa
alasan yang jelas termasuk di Indonesia Asriati, 2005.
Dilihat dari aspek sosial adanya khitan pada anak perempuan yang sudah terlembagakan
dapat dimaknai bahwa praktik tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk kontrol
masyarakat
terhadap anak
perempuan, terutama yang berkaitan dengan libidonya Ida,
2004. Ada anggapan yang mengatakan bahwa kotoran yang menempel pada klitoris dapat
membuat libido
seks perempuan
tidak terkendali. Akan tetapi tidak ada bukti medis
yang membenarkan
bahwa libido
seks perempuan tidak bisa terkendali apabila tidak
dilakukan khitan. Khitan pada anak perempuan di
Indonesia kurang terperhatikan karena konteks masyarakat setempat cukup memberikan dasar
yang tepat untuk mengabaikan persoalan ini. Alasan pertama, karena praktik khitan pada
anak perempuan di Indonesia dianggap tidak berbahaya dibandingkan dengan praktik khitan
pada anak perempuan yang terjadi di Afrika. Praktik khitan pada anak perempuan yang
dilakukan di Indonesia sangat sederhana yaitu melukai sebagian kecil alat kelamin bagian
dalam, bahkan kadang-kadang hanya simbolis saja, misalnya sepotong kunyit kemudian
ditorehkan pada klitoris anak Ida, 2004. Di Indonesia juga tidak pernah dilaporkan tentang
praktik khitan pada anak perempuan dengan tingkat kebrutalan tertentu serta meninggalkan
dampak
negatif yang
secara medis
ISSN 2407-9189 The 3
rd
Universty Research Colloquium 2016
37
membahayakan kesehatan meskipun dari sisi medis tidak dikenal ataupun disarankan
melakukan khitan pada anak perempuan. Menurut
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik
Indonesia Nomor
1636MENKESPERXI2010 yang ditetapkan pada tanggal 15 November 2010 dalam pasal 4
bahwa pelaksanaan
khitan perempuan
dilakukan dengan prosedur tindakan sebagai berikut:
1. cuci tangan dengan sabun dan air bersih
yang mengalir selama 10 sepuluh menit; 2.
gunakan sarung tangan steril; 3.
pasien berbaring
telentang, kaki
direntangkan secara hati-hati; 4.
fiksasi pada lutut dengan tangan, vulva ditampakkan;
5. cuci vulva dengan povidon iodin 10,
menggunakan kain kassa; 6.
bersihkan kotoran smegma di antara frenulum klitoris dan glans klitoris sampai
bersih; 7.
lakukan penggoresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris frenulum
klitoris dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20G-
22G dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai klitoris;
8. cuci ulang daerah tindakan dengan
povidon iodin 10; 9.
lepas sarung tangan; dan 10.
cuci tangan dengan sabun dengan air bersih yang mengalir.
Pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa khitan perempuan dilarang dilakukan dengan cara:
1. mengkauterisasi klitoris;
2. memotong atau merusak klitoris baik
sebagian maupun seluruhnya; dan 3.
memotong atau merusak labia minora, labia majora, hymen atau selaput dara dan
vagina baik sebagian maupun seluruhnya. Permenkes tentang khitan tersebut telah
dicabut dengan terbitnya Permenkes no 6 tahun 2014 setelah pengumpulan data
penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa;
1. khitan
perempuan dilakukan
bukan berdasarkan indikasi medis
2. belum
terbukti manfaatnya
bagi kesehatan.
3. masih terdapat pemintaan dilakukannya
khitan karena
aspek budaya
dan kepercayaan
namun harus
tetap memperhatikan
keselamatan dan
kesehatan perempuan yang dikhitan serta tidak
melakukan tindakan
mutilasi terhadap kelamin perempuan.
4. Permenkes
no 1636
tahun 2010
dipandang tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan global.
Namun dalam pasal 2 disebutkan sebagai berikut:
“Memberi mandat
kepada Majelis
Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat
perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak
melakukan mutilasi alat kelamin perempuan female genital mutilation”. Hal ini berarti
masih memberikan ruang atau kemungkinan dilakukannya khitan bagi perempuan sebaga
upaya pemerintah memberikan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan perempuan.
Khitan terhadap anak perempuan dengan memotong atau merusak kelamin perempuan
jelas bertentangan dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak yang dalam bab III pasal 4 disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tindak
kekerasan salah satunya dapat berupa khitan dengan melukai kelamin perempuan karena
selain merasakan sakit juga dapat beresiko terjadinya perdarahan dan infeksi. Manfaat
yang diperolehpun tidak ada. Selain resiko fisik, khitan juga dapat beresiko menimbulkan
trauma psikologis misalnya jika ada penolakan dan rasa malu dari pihak perempuan yang akan
dikhitan pada usia anak-anak bukan bayi.
Informasi yang diperoleh dari 54 bidan di Pati bahwa khitan dilakukan terhadap 75
bayi perempuan. Namun prevalensi khitan pada anak perempuan di Pati selama ini tidak
pernah terungkap sehingga angka ini tidak dapat mengindikasikan apakah prevalensi
khitan pada anak perempuan pada masa lalu lebih tinggi.
ISSN 2407-9189 The 3
rd
Universty Research Colloquium 2016
38
Para ulama berbeda pendapat tentang status hukum khitan perempuan; apakah wajib,
sunnah, ataupun hanya anjuran dan suatu kehormatan, disebabkan dalil-dalil sangat
sedikit dan tidak tegas, sehingga memberikan ruangan untuk berbeda pendapat.
Sedangkan kelompok lain berpandangan bahwa khitan terhadap perempuan hanyalah
budaya sebuah negara yang dipengaruhi oleh lembah Nil tradisi pedalaman Nil. Jadi khitan
terhadap perempuan tidak mempunyai kaitan dengan syariat agama.
Di Jawa Tengah, Pati merupakan salah satu daerah dengan tradisi khitan perempuan
yang masih melekat. Menurut Ikatan Bidan Indonesia IBI Cabang Pati, Kabupaten Pati
pada tahun 2007; ditemukan 1 bayi mengalami perdarahan paska khitan oleh dukun kemudian
dirujuk ke Rumah Sakit dan mendapatkan transfusi darah sebanyak 1 satu kantong 250
cc sehingga jiwanya dapat tertolong, tepatnya di Desa Kedungbulus Kecamatan Gembong
Kabupaten Pati. Sementara informasi dari Ikatan Bidan Indonesia sekaresidenan Pati
Kudus, Jepara, Grobogan, Rembang, Blora belum pernah ada kejadian seperti halnya yang
terjadi di Pati.
2. METODE PENELITIAN