Analisis keterkaitan konversi lahan pertanian dengan perkembangan wilayah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (studi kasus kota Tangerang, Banten)

(1)

ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

(Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)

Oleh:

Yani Kusnitarini

A24101067

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

(Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Yani Kusnitarini

A24101067

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

SUMMARY

YANI KUSNITARINI. Analysis of Relationship between Agricultural Land Conversion and Regional Development, and its Affacting Factors (Case Study of Tangerang Town, Banten). Under supervision of Kukuh Murtilaksono and Dyah Retno Panuju.

Tangerang as one of the Jakarta hinterlands, adjacent to Bogor, Depok and Bekasi representing region which is very dynamic in land use change. The countiguous location to Jakarta cause regional economic of Tangerang grows very fast. The development of Jakarta that has been growing very fast need to expand industrial location, settlement and other facilities. The expansion is affecting the dynamic of its hinterland, such as Tangerang.

This research aim to analyse pattern and rate of agricultural land conversion, regional development correlation between agricultural land conversion and regional development and identify factors affecting agricultural land conversion in Tangerang town. Research located at Tangerang town, Province of Banten, which consist, of 13 municipalites and 104 villages.

Shift Share Analysis (SSA), skalogram analysis, principle component analysis (PCA), correlation analysis, multivariate regression (Stepwise Regression) and spatial analysis were applied in this research.

In the period of 1991 to 2005, land use of Tangerang town shifted from agricultural land to urban area. Agricultural land, especially rice field, up land, forest land and water body converted to urban land use, even forest have been converted 100%.

Regional hierarchy of Tangerang town could be grouped into three classes. Hierarchy I represented the highest level of regional development and consisted of 16 villages (15.38%), such as Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hierarchy II represented second level of regional development, and consist of 31 villages (29.81%) such as Cikokol, Jatake, Tajur etc. Hierarchy III represented relatively lowest level of regional development which consisted of 54 villages (54.81%) such as Cipete, Cibodas, and Jurumudi. Hierarchy I would be center of services


(4)

for other regions. Regional hierarchy that is formed centripetal pattern is the highest hierarchy (hierarchy I) and surrounded by lower hierarchy.

There were positive correlation between distance to school and rate of field shift, distance to economic facility and upland change acreage of village and water body change. On the other side, there were negative correlation between distance to economic facility and up land change, economic facility and water body change. It was indicatied that the higher regional developed the higher agricultural land converted.

Factors affecting agricultural land conversion in Tangerang town were past land uses (acreage of rice field, urban area, up land, and forest of 1991), distance to governance center, distance to school, distance to economic faciliy, distance to health facility, education facility, health facility, and prosperity level.


(5)

RINGKASAN

YANI KUSNITARINI. Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten). Di bawah bimbingan Kukuh Murtilaksono dan Dyah Retno Panuju.

Tangerang sebagai salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok dan Bekasi merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan. Faktor kedekatan jarak dari Jakarta menyebabkan Tangerang mengalami pertumbuhan perekonomian yang relatif cepat. Perkembangan Kota Jakarta yang sangat pesat mengakibatkan semakin berkurangnya lahan untuk lokasi industri, pemukiman dan lainnya. Akibatnya pertumbuhan perekonomian beralih ke daerah-daerah disekitarnya termasuk ke daerah Tangerang.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan laju konversi lahan pertanian, tingkat perkembangan wilayah, keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan perkembangan wilayah serta faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang. Penelitian dilakukan di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Yang terdiri dari 13 kecamatan dan 104 desa/kelurahan.

Penelitian didasarkan pada data primer dan data sekunder. Penarikan contoh data primer dilakukan terhadap 30 titik lokasi. Sedangkan data sekunder mencakup seluruh unit desa/kelurahan di Kota Tangerang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis shift share (SSA), analisis skalogram, analisis komponen utama (PCA), analisis korelasi, analisis regresi berganda (stepwise regression) dan analisis spasial.

Perubahan penggunaan lahan yang ada di Kota Tangerang dari tahun 1991 sampai 2005, cenderung ke arah penggunaan lahan untuk perkotaan. Penggunaan lahan untuk sawah, tegalan, air dan hutan semuanya mengalami konversi bahkan untuk hutan telah terkonversi 100%.

Hirarki wilayah di Kota Tangerang dikelompokkan menjadi tiga hirarki, hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, dari 104 desa yang ada, 16 desa (15.38%) masuk dalam hirarki ini, desa-desa tersebut misalnya


(6)

Desa Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hirarki II merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, ada 31 desa (29.81%) yang masuk dalam hirarki II, desa-desa tersebut misalnya Desa Cikokol, Jatake, Tajur. Sedangkan hirarki III merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah, desa-desa yang masuk dalam hirarki III ada 54 desa (54.81%) misalnya Desa Cipete, Cibodas, dan Jurumudi. Hirarki I menjadi pusat pelayanan bagi wilayah lain. Pola hirarki wilayah yang terbentuk cenderung memusat, yaitu hirarki tertinggi (hirarki I) dikelilingi hirarki lebih rendah.

Hubungan antara indikator perkembangan wilayah dengan perubahan penggunaan lahan ditunjukkan oleh keterkaitan positif antara indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dengan differential shift sawah, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, luas desa dengan differential shift air. Keterkaitan negatif ditunjukan oleh keterkaitan antara indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, indeks fasilitas ekonomi dengan perubahan luas air. Ada indikasi semakin meningkatnya perkembangan wilayah menyebabkan semakin banyak lahan pertanian yang dikonversi ke penggunaan lain (non pertanian).

Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang terdiri dari penggunaan lahan tahun awal (luas lahan sawah, perkotaan, tegalan, air dan hutan pada tahun 1991), indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, dan indeks kesejahteraan.


(7)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN

PERTANIAN DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)

Nama : Yani Kusnitarini

NRP : A24101067

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono Ir. Dyah Retno Panuju NIP. 131 861 468 NIP. 132 158 766

Mengetahui,

Dekan

Prof. Dr. Ir.Supiandi Sabiham, M.Agr. NIP. 130 422 698


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari 1983. Merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Kamilin Hadi Sudiarto dan Dasih.

Penulis besar di daerah Cilacap dan mulai masuk ke jenjang pendidikan pada tahun 1989 yaitu di SD Negeri 1 Karang Putat, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dan berhasil menyelesaikannya selama 6 tahun. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Nusawungu, dan lulus dari SMU Negeri 1 Kroya pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) yaitu pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata pelajaran Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun akademik 2003-2004.


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul “Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor.

Sejak awal hingga akhir penyusunan karya tulis ini, penulis banyak menerima dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, dan Ir Dyah Retno Panuju selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan saran, kritik dan petunjuk selama persiapan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan tulisan ini.

2. Dr. Ir. Baba Barus selaku dosen penguji, yang telah bersedia menjadi dosen penguji, dan bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Santun RP. Sitorus selaku pembimbing akademik yang telah

membimbing penulis selama masa studinya.

4. Papa, mama, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dan Mba Iin, Mas Fuad dan Mba Linda yang telah mendukung, memperhatikan dan menyayangi penulis.


(10)

5. Teman-teman tanah angkatan ’38, yang telah bersama selama empat tahun lebih.

6. Teman-teman di Lab. fisika dan konservasi tanah dan air : Nyit2, Yayah, Liya, Patme, Rika Setyo, Ike, Opy, Ana, Eko, Bekhi, dan Dani atas kebersamaan dan kekompakannya.

7. Teman-teman di Lab. bangwil : End’, Nengky, Opi, Meilin, E’na, Ine, Riya, Dimaz, Heru, dan Tatank yang telah banyak membantu penulis.

8. Teman-teman kostan Radar 47 atas kebersamaan, persaudaraannya selama ini yang selalu berbagi suka dan duka bersama.

Penulis menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran menuju kesempurnaan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan semua orang yang memerlukannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Bogor, Februari 2006


(11)

ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

(Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)

Oleh:

Yani Kusnitarini

A24101067

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

(Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh:

Yani Kusnitarini

A24101067

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(13)

SUMMARY

YANI KUSNITARINI. Analysis of Relationship between Agricultural Land Conversion and Regional Development, and its Affacting Factors (Case Study of Tangerang Town, Banten). Under supervision of Kukuh Murtilaksono and Dyah Retno Panuju.

Tangerang as one of the Jakarta hinterlands, adjacent to Bogor, Depok and Bekasi representing region which is very dynamic in land use change. The countiguous location to Jakarta cause regional economic of Tangerang grows very fast. The development of Jakarta that has been growing very fast need to expand industrial location, settlement and other facilities. The expansion is affecting the dynamic of its hinterland, such as Tangerang.

This research aim to analyse pattern and rate of agricultural land conversion, regional development correlation between agricultural land conversion and regional development and identify factors affecting agricultural land conversion in Tangerang town. Research located at Tangerang town, Province of Banten, which consist, of 13 municipalites and 104 villages.

Shift Share Analysis (SSA), skalogram analysis, principle component analysis (PCA), correlation analysis, multivariate regression (Stepwise Regression) and spatial analysis were applied in this research.

In the period of 1991 to 2005, land use of Tangerang town shifted from agricultural land to urban area. Agricultural land, especially rice field, up land, forest land and water body converted to urban land use, even forest have been converted 100%.

Regional hierarchy of Tangerang town could be grouped into three classes. Hierarchy I represented the highest level of regional development and consisted of 16 villages (15.38%), such as Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hierarchy II represented second level of regional development, and consist of 31 villages (29.81%) such as Cikokol, Jatake, Tajur etc. Hierarchy III represented relatively lowest level of regional development which consisted of 54 villages (54.81%) such as Cipete, Cibodas, and Jurumudi. Hierarchy I would be center of services


(14)

for other regions. Regional hierarchy that is formed centripetal pattern is the highest hierarchy (hierarchy I) and surrounded by lower hierarchy.

There were positive correlation between distance to school and rate of field shift, distance to economic facility and upland change acreage of village and water body change. On the other side, there were negative correlation between distance to economic facility and up land change, economic facility and water body change. It was indicatied that the higher regional developed the higher agricultural land converted.

Factors affecting agricultural land conversion in Tangerang town were past land uses (acreage of rice field, urban area, up land, and forest of 1991), distance to governance center, distance to school, distance to economic faciliy, distance to health facility, education facility, health facility, and prosperity level.


(15)

RINGKASAN

YANI KUSNITARINI. Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten). Di bawah bimbingan Kukuh Murtilaksono dan Dyah Retno Panuju.

Tangerang sebagai salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok dan Bekasi merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan. Faktor kedekatan jarak dari Jakarta menyebabkan Tangerang mengalami pertumbuhan perekonomian yang relatif cepat. Perkembangan Kota Jakarta yang sangat pesat mengakibatkan semakin berkurangnya lahan untuk lokasi industri, pemukiman dan lainnya. Akibatnya pertumbuhan perekonomian beralih ke daerah-daerah disekitarnya termasuk ke daerah Tangerang.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan laju konversi lahan pertanian, tingkat perkembangan wilayah, keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan perkembangan wilayah serta faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang. Penelitian dilakukan di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Yang terdiri dari 13 kecamatan dan 104 desa/kelurahan.

Penelitian didasarkan pada data primer dan data sekunder. Penarikan contoh data primer dilakukan terhadap 30 titik lokasi. Sedangkan data sekunder mencakup seluruh unit desa/kelurahan di Kota Tangerang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis shift share (SSA), analisis skalogram, analisis komponen utama (PCA), analisis korelasi, analisis regresi berganda (stepwise regression) dan analisis spasial.

Perubahan penggunaan lahan yang ada di Kota Tangerang dari tahun 1991 sampai 2005, cenderung ke arah penggunaan lahan untuk perkotaan. Penggunaan lahan untuk sawah, tegalan, air dan hutan semuanya mengalami konversi bahkan untuk hutan telah terkonversi 100%.

Hirarki wilayah di Kota Tangerang dikelompokkan menjadi tiga hirarki, hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, dari 104 desa yang ada, 16 desa (15.38%) masuk dalam hirarki ini, desa-desa tersebut misalnya


(16)

Desa Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hirarki II merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, ada 31 desa (29.81%) yang masuk dalam hirarki II, desa-desa tersebut misalnya Desa Cikokol, Jatake, Tajur. Sedangkan hirarki III merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah, desa-desa yang masuk dalam hirarki III ada 54 desa (54.81%) misalnya Desa Cipete, Cibodas, dan Jurumudi. Hirarki I menjadi pusat pelayanan bagi wilayah lain. Pola hirarki wilayah yang terbentuk cenderung memusat, yaitu hirarki tertinggi (hirarki I) dikelilingi hirarki lebih rendah.

Hubungan antara indikator perkembangan wilayah dengan perubahan penggunaan lahan ditunjukkan oleh keterkaitan positif antara indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dengan differential shift sawah, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, luas desa dengan differential shift air. Keterkaitan negatif ditunjukan oleh keterkaitan antara indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, indeks fasilitas ekonomi dengan perubahan luas air. Ada indikasi semakin meningkatnya perkembangan wilayah menyebabkan semakin banyak lahan pertanian yang dikonversi ke penggunaan lain (non pertanian).

Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang terdiri dari penggunaan lahan tahun awal (luas lahan sawah, perkotaan, tegalan, air dan hutan pada tahun 1991), indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, dan indeks kesejahteraan.


(17)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN

PERTANIAN DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)

Nama : Yani Kusnitarini

NRP : A24101067

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono Ir. Dyah Retno Panuju NIP. 131 861 468 NIP. 132 158 766

Mengetahui,

Dekan

Prof. Dr. Ir.Supiandi Sabiham, M.Agr. NIP. 130 422 698


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari 1983. Merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Kamilin Hadi Sudiarto dan Dasih.

Penulis besar di daerah Cilacap dan mulai masuk ke jenjang pendidikan pada tahun 1989 yaitu di SD Negeri 1 Karang Putat, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dan berhasil menyelesaikannya selama 6 tahun. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1 Nusawungu, dan lulus dari SMU Negeri 1 Kroya pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) yaitu pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata pelajaran Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun akademik 2003-2004.


(19)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul “Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor.

Sejak awal hingga akhir penyusunan karya tulis ini, penulis banyak menerima dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, dan Ir Dyah Retno Panuju selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan saran, kritik dan petunjuk selama persiapan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan tulisan ini.

2. Dr. Ir. Baba Barus selaku dosen penguji, yang telah bersedia menjadi dosen penguji, dan bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Santun RP. Sitorus selaku pembimbing akademik yang telah

membimbing penulis selama masa studinya.

4. Papa, mama, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dan Mba Iin, Mas Fuad dan Mba Linda yang telah mendukung, memperhatikan dan menyayangi penulis.


(20)

5. Teman-teman tanah angkatan ’38, yang telah bersama selama empat tahun lebih.

6. Teman-teman di Lab. fisika dan konservasi tanah dan air : Nyit2, Yayah, Liya, Patme, Rika Setyo, Ike, Opy, Ana, Eko, Bekhi, dan Dani atas kebersamaan dan kekompakannya.

7. Teman-teman di Lab. bangwil : End’, Nengky, Opi, Meilin, E’na, Ine, Riya, Dimaz, Heru, dan Tatank yang telah banyak membantu penulis.

8. Teman-teman kostan Radar 47 atas kebersamaan, persaudaraannya selama ini yang selalu berbagi suka dan duka bersama.

Penulis menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran menuju kesempurnaan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan semua orang yang memerlukannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Bogor, Februari 2006


(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………. vi

DAFTAR GAMBAR……… vii

PENDAHULUAN Latar Belakang………...……… ……... 1

Tujuan ………...……….... 3

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Perkembangannya …………...………... 4

Konversi Lahan ………...……….. 6

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 10

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian ………...…... 14

Data dan Sumber Data ....………...………. 14

Metode Penelitian ………...………. 14

Teknik Analisis Shift Share Analiysis (SSA) ... 18

Analisis Komponen Utama (PCA) ... 19

Analisis Skalogram ... 21

Analisis Korelasi ... 25

Analisis Regresi Berganda ... 25

Analisis Spasial ... 27

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Administrasi Pemerintahan …………...………. 29


(22)

Topografi ... 32 Penggunaan lahan ………...……… 32 Kependudukan ………...………. 33 Perekonomian ………...…………... 34 Sarana dan Prasarana ... 35 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hirarki Perkembangan Wilayah Desa di Kota Tangerang ... 37 Dinamika Konversi Lahan Pertanian di Kota Tangerang ... 45 Keterkaitan Antara Perkembangan Wilayah dengan Konversi Lahan

Pertanian ... 53 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian ... 59

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ………...……….. 64 Saran ………...………. 65 DAFTAR PUSTAKA……….. 66 LAMPIRAN……… 68


(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Identifikasi Variabel, Sumber Data dan Teknik Analisis untuk Setiap

Butir Penelitian ... 16 2. Peubah yang Digunakan pada Setiap Kelompok Indeks

untuk Analisis Skalogram ... 23 3. Simbol dan Peubah yang Digunakan dalam Analisis

Multiple Regression ... 27 4. Pemekaran Wilayah Kecamatan Kota Tangerang ... 30 5. Pemanfaatan lahan di Kota Tangerang ... 32 6. Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, Rata-Rata Anggota

Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk per Km2 di Kota Tangerang

Tahun 2003 ... 34 7. Kriteria Pengelompokan Hirarki Wilayah Berdasarkan Indeks

Perkembangan Desa ... 38 8. Rata-rata dan Koefisien Keragaman indeks yang Digunakan Setiap

Hirarki Wilayah ... 43 9. Penggunaan Lahan Tahun 1991, 2005 dan Perubahannya ... 48 10. Rata-Rata dan CV Nilai Differential Shift setiap Kecamatan

di Kota Tangerang ... 51 11. Rata-rata dan Koefisien Keragaman Nilai Differential Shift

pada Tiap Hirarki Wilayah …………...………... 53 12. Identifikasi Peubah yang Berkorelasi Terhadap Respon ... 56 13. Persamaan dan Parameter Regresi ... 60 14. Identifikasi Peubah Penting yang Berperan Terhadap Respon ... 61


(24)

Nomor Halaman

Lampiran

1. Hasil Analisis Skalogram ... 70 2. Desa-Desa yang Masuk dalam Setiap Hirarki ... 72 3. Hasil Analisis Shift Share Penggunaan Lahan di Kota Tangerang ... 73 4. Korelasi Antara Jenis Penggunaan Lahan dengan Indeks Hirarki

Wilayah ... 76 5. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas

Area Sawah (t1 – t0) ………...……...…… 77

6. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas Area Perkotaan (t1 – t0) ……….…...……….…. 77

7. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas Area Tegalan (t1 – t0) ………...………. 78

8. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Sawah t1

(Tahun 2005) ... 78 9. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Perkotaan t1


(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Bagan Alir Tahap Analisis Data ... 17 2. Peta Batas Wilayah Kecamatan di Kota Tangerang... 31

3. Peta Hirarki Wilayah Desa-Desa di Kota Tangerang …………... 40

4. Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1991 ... 46 5. Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 2005 ... 47 6. Grafik Deskripsi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1991-2005

Secara Agregat di Kota Tangerang ... 49 7. Grafik Proyeksi Variabel Antara Dua Faktor ... 55 8. Grafik Proyeksi Cases Antara Dua Faktor ... 55

Lampiran


(26)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konversi lahan adalah suatu proses perubahan penggunaan lahan dari bentuk penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain. Misalnya perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian, perubahan lahan sawah menjadi permukiman, ataupun perubahan penggunaan lahan untuk permukiman menjadi industri. Proses perubahan penggunaan lahan akan terjadi terus-menerus dan tidak dapat dihindari lagi. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, perkantoran, jalan raya, dan infrastruktur lain untuk menunjang tuntutan perkembangan masyarakat.

Meningkatnya sarana perhubungan, pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial, tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi merupakan indikasi berkembangnya suatu wilayah. Perkembangan ini akan diikuti oleh banyaknya pembangunan seperti gedung-gedung baik itu untuk industri, perkantoran ataupun untuk perumahan serta pembangunan fasiltas-fasilitas penunjang lainnya. Hal ini mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat, sehingga semakin banyak lahan pertanian yang akan dikonversikan. Upaya pengembangan yang selalu terjadi, cenderung membawa perubahan ke penggunaan non pertanian.

Penggunaan sumberdaya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang secara ekonomi lebih menguntungkan yaitu ke arah penggunaan yang memberikan penerimaan keuntungan ekonomi yang paling tinggi. Penggunaan lahan untuk sawah merupakan salah satu penggunaan lahan yang mempunyai nilai

land rent rendah dibandingkan dengan penggunaan lain. Hal tersebut menjadi salah satu alasan banyak terjadinya konversi lahan sawah ke penggunaan lain.


(27)

Menurut Panuju (2004), rata-rata di seluruh wilayah di Jabodetabek pertumbuhan sektor pertanian terus mengalami penurunan. Kabupaten Bekasi dan Tangerang yang menjadi salah satu pusat sawah beririgasi teknis di Pantura pun memiliki pertumbuhan sektor pertanian yang terus menurun. Dapat dinyatakan bahwa sektor pertanian bukan primadona dan bukan sektor yang diminati sebagai aktifitas ekonomi masyarakat bagi penduduk di wilayah Jabodetabek.

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dengan Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) merupakan salah satu contoh kawasan yang direncanakan ditata secara formal melalui KEPRES (Panuju, 2004). Pengembangan kawasan tersebut harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Menurut Djakapermana (2004) telah terjadi peningkatan penggunaan lahan untuk permukiman di Jabodetabek pada tahun 1992 hingga 2001 sebesar 10 persen. Pada kurun waktu yang sama, telah terjadi pula pengurangan luasan kawasan lindung hingga 16 persen. Secara keseluruhan terjadi penyimpangan sebesar 20 persen terhadap arahan penggunaan lahan pada Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek.

Tangerang sebagai salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok dan Bekasi merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan. Faktor kedekatan jarak dari Jakarta menyebabkan Tangerang mengalami pertumbuhan perekonomian yang relatif cepat. Perkembangan kota Jakarta yang sangat pesat mengakibatkan semakin berkurangnya lahan untuk lokasi industri, permukiman dan lainnya. Akibatnya pertumbuhan perekonomian beralih ke daerah-daerah di sekitarnya termasuk ke daerah Tangerang. Ashari (2003) menyatakan bahwa, selama tahun 1990-1993 di Pulau Jawa telah terjadi konversi lahan pertanian ke non pertanian seluas 52.772 Ha atau rata-rata 18.257 Ha per tahun. Jawa Barat mengalami konversi lahan terbesar yaitu 27.688,9 Ha. Lahan


(28)

yang terkonversi selanjutnya digunakan untuk permukiman 52,22 persen, industri 26,44 persen, perkantoran 5,80 persen, dan sisanya untuk penggunaan lainnya.

Perkembangan wilayah Kota Tangerang yang sangat pesat menuntut adanya area lahan yang luas untuk kegiatan pembangunan. Sebagai konsekuensinya banyak lahan yang telah dan akan dikonversikan untuk kegiatan tersebut. Perubahan penggunaan lahan pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor, baik itu faktor pendorong internal petani itu sendiri maupun faktor eksternal akibat mekanisme pasar maupun sistem kelembagaan. Dalam penelitian ini dikaji faktor-faktor yang menyebabkan proses konversi lahan. Mengingat sangat terbatasnya penelitian tentang penggunaan lahan di daerah Tangerang dibandingkan Bogor, Depok dan Bekasi, maka dipilih Kota Tangerang sebagai wilayah penelitian.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya konversi lahan pertanian dan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah serta faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang yang dirinci sebagai berikit :

1. Menganalisis pola dan laju konversi lahan pertanian 2. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah

3. Menganalisis keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan perkembangan wilayah

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan pertanian.


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Wilayah dan Tingkat Perkembangannya

Jayadinata (1999) mendefinisikan wilayah dalam pengertian geografis sebagai kesatuan alam yaitu alam yang serba sama, atau homogen, atau seragam, kesatuan manusia, yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai ciri (kekhususan) yang khas, sehingga wilayah tersebut dapat dibedakan dari wilayah lain. Menurut Rustiadi dan Anwar (2000), wilayah adalah satu satuan atau unit geografis dengan batas-batas tertentu, dimana bagian-bagiannya (sub wilayah) satu sama lain tergantung secara fungsional. Dari pengertian di atas dapat dikatakan pengertian wilayah bersifat relatif yaitu tidak ada batasan yang luas. Oleh karena itu, pembagian wilayah tergantung dari tujuan analisis wilayah tersebut.

Dalam konsep wilayah nodal, maka wilayah ditafsirkan sebagai sel hidup yang mengandung inti dan plasma. Inti adalah pusat atau kutub yang berfungsi sebagai pusat konsentrasi tenaga kerja, lokasi industri, dan jasa serta pasar bahan mentah. Sedangkan plasma adalah wilayah belakang (hinterland) yang berfungsi sebagai pemasok tenaga kerja, pemasok bahan mentah, serta pasar dari industri dan jasa.

Pertumbuhan penduduk, meningkatnya sarana perhubungan, menurunnya secara relatif sektor pertanian sebagai penopang kehidupan masyarakat petani di perdesaan dan daya tarik kota menyebabkan terjadinya arus urbanisasi dari desa ke kota atau dari daerah belakang atau plasma ke pusat-pusat atau inti. Disisi lain dengan adanya ketersediaan infrastruktur di pusat atau di inti, tenaga kerja yang berlimpah menyebabkan banyak industri bertumbuh di pusat dan wilayah


(30)

pinggiran kota inti. Adanya perbedaan pertumbuhan wilayah dalam lingkup suatu negara, maka dalam suatu kawasan lebih luas akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu (1). wilayah maju; (2). wilayah sedang berkembang; (3). wilayah belum berkembang; dan (4). wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya berfungsi sebagai pusat pertumbuhan, biasanya terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi.

Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah. Selain itu wilayah ini belum mempunyai aksesibilitas yang baik terhadap wilayah lain. Struktur ekonomi wilayah ini masih didominasi oleh sektor primer dan biasanya belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri.

Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal : (a). wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokal, sehingga secara alami sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan; dan (b). wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi baik sumberdaya alam atau lokal maupun keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan


(31)

tumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap dan tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah yang memiliki sumberdaya yang berlimpah, namun tidak berkembang dicirikan oleh tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana manfaat tertinggi dari manfaat sumberdaya alam tersebut dinikmati oleh wilayah lainnya.

Konversi Lahan

Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Hardjowigeno et al. (1999), mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklik yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang, yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang. Sementara itu, menurut Arsyad (1989), penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil dan spirituil.

Penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas


(32)

penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang dan lain sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan pertambangan (Arsyad, 1989). Sedangkan Barlowe (1986), membagi penggunaan lahan menjadi (1). lahan permukiman; (2). lahan industri dan perdagangan; (3). lahan bercocok tanam; (4). lahan peternakan dan penggembalaan; (5). lahan hutan; (6). lahan mineral atau pertambangan; (7). lahan rekreasi; (8) lahan pelayanan jasa; (9). lahan transportasi; dan (10). lahan tempat pembuangan.

Barlowe (1986), berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah (1). faktor-faktor fisik dan biologis; serta (2). faktor ekonomi dan institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuhan, hewan, dan kependudukan. Faktor ekonomi dicirikan oleh hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat, sosial politik dan ekonomi masyarakat.

Konversi lahan merupakan suatu proses konversi lahan oleh manusia dari pengggunaan tertentu menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara maupun permanen. Konversi lahan yang bersifat permanen lebih besar dampaknya dari pada konversi lahan sementara. Konversi lahan pertanian ke non pertanian bukan hanya fenomena fisik, yaitu berkurangnya luasan lahan melainkan suatu fenomena dinamis yang menyangkut aspek sosial-ekonomi kehidupan masyarakat (Nasoetion dan Winoto, 1995). Sedangkan menurut Saefulhakim (1994), konversi lahan merupakan bentuk peralihan dari penggunaan


(33)

lahan sebelumnya ke penggunaan yang lain. Sifat dari luas lahan adalah tetap (fixed), sehingga adanya konversi lahan tertentu akan mengurangi atau menambah penggunaan lahan lainnya. Konversi lahan tersebut terjadi karena adanya sifat kompetitif hasil dari pilihan manusia.

Proses konversi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan yang dimaksud tercermin dengan adanya (1). pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan perkapitanya; serta (2). adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa).

Di dalam hukum ekonomi pasar, konversi lahan berlangsung dari aktifitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Land rent dapat diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktivitas pemanfaatan lahan persatuan luas lahan dan waktu tertentu (Rustiadi, 2001).

Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan permukiman. Konversi lahan ini, terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah


(34)

yang tidak terkendali juga akan menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan perdesaan serta hilangnya aset pertanian bernilai tinggi (Irawan et al., 2001).

Jawa Barat mengalami konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah terbesar pada periode 1994/1995 - 1998/1999 yaitu 41.436 Ha (rata-rata 10.359,08 Ha per tahun) atau 87,09% total konversi di Pulau Jawa. Tingginya laju konversi lahan sawah di Jawa Barat pada saat itu khususnya di wilayah Karawang dan Bekasi (Pantura), diduga karena sedang giat-giatnya dilakukan pembangunan untuk keperluan industri. Dari luasan konversi di Jawa Barat tersebut, 77,91% diantaranya digunakan untuk keperluan pembangunan kawasan industri.

Dengan memperbandingkan antara wilayah perkotaan dan perdesaan dari total konversi lahan sawah tersebut, sebagian besar terjadi di perdesaan yaitu 33.502,6 Ha (61,17%), sedangkan di perkotaan seluas 21.278,1 Ha (38,83%). Wilayah perdesaan mengalami konversi lebih besar karena secara spasial sebagian lahan sawah memang berada di wilayah perdesaan, sehingga besaran absolut lahan sawah yang terkonversi otomatis juga lebih besar walaupun proporsi lahan terkonversi terhadap total lahan mungkin lebih kecil. Untuk keperluan pengembangan wilayah, pemerintah (Pemda) cenderung melakukan pemekaran wilayah ke arah luar kota (perdesaan). Biasanya cara yang ditempuh adalah dengan membangun permukiman serta berbagai sarana dan prasarana. Setelah wilayah tersebut cukup berkembang, banyak pendatang yang akhirnya bergabung serta bermukim di daerah tersebut. Konsekuensi berikutnya adalah muncul aktivitas baru yang menuntut penyediaan lahan untuk kegiatan non pertanian yang banyak menggunakan lahan sawah (Ashari, 2003).


(35)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Perubahan struktur ruang/penggunaan lahan dapat terjadi karena investasi pemerintah ataupun investasi swasta. Investasi swasta perlu mendapat ijin/persetujuan pemerintah baik keberadaannya maupun lokasinya, sehingga pemerintah dapat mengandalkan/mengarahkan struktur tata ruang atau penggunaan lahan tersebut ke arah yang dianggap paling menguntungkan atau mempercepat tercapainya sasaran pembangunan. Sasaran pembangunan dapat berupa peningkatan pendapatan masyarakat, penambahan lapangan kerja, pemerataan pembangunan di dalam wilayah, tercapainya struktur perekonomian yang lebih kokoh, tetap terjaganya kelestarian lingkungan, dan memperlancar arus pergerakan orang dan barang ke seluruh wilayah termasuk ke wilayah tetangga (Tarigan, 2002).

Menurut Barlowe (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan diantaranya adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologis, dan faktor kelembagaan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.

Kebutuhan akan lahan yang sangat besar mengakibatkan banyak terjadinya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Saefulhakim (1996) menerangkan tentang peranan karakteristik wilayah dalam menentukan laju konversi lahan pertanian, dapat diuraikan sebagai berikut : (1). Produktivitas lahan yang tinggi sangat menentukan perkembangan perumahan, sementara lahan-lahan


(36)

yang kurang produktif kurang diminati dalam pengembangan perumahan; (2). areal perumahan berkembang pada daerah-daerah pertanian yang mempunyai jarak yang dekat dengan ibukota provinsi. Perkembangan perumahan ini berbanding lurus dengan panjang dan kualitas jalan yang ada di wilayah pertanian yang bersangkutan; (3). jumlah penduduk (bukan kepadatan penduduk) berkorelasi nyata positif dengan luas areal sawah yang berarti bahwa pertanian pada dasarnya merupakan culture-basic farming system dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan lokal; (4). laju konversi lahan berkaitan erat dengan fragmentasi kepemilikan lahan pertanian, semakin tinggi laju alih guna lahan pertanian ke non pertanian; dan (5). laju konversi lahan pertanian sangat ditentukan oleh tingkat pengkotaan (spatial urbanization) yang mencirikan bahwa konversi lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan proses urbanisasi dan/atau transformasi struktur perekonomian wilayah ke arah industrialisasi.

Saefulhakim dan Nasution (1995) memaparkan beberapa faktor yang berperan penting yang dapat menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non pertanian, yaitu:

1. Perkembangan standar tuntutan hidup. Hal ini berhubungan dengan nilai land rent yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup sang petani.

2. Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan palawija).

3. Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya lahan sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses


(37)

konversi lahan. Salah satu faktor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha.

4. Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada penggunaan lahan yang memiliki tingkat permintaan yang terus meningkat akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi lahan.

5. Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap meningkatnya aksesibilitas lokal, akan lebih mendorong perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian.

6. Resiko dan ketidakpastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko ketidakpastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungan. Hal ini menimbulkan nilai land rent menjadi lebih rendah. Dengan demikian, penggunaan lahan yang mempunyai resiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversikan ke penggunaan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastian lebih rendah.

7. Lahan sebagai asset. Pandangan ini (walaupun tanpa pemanfaatan) lebih memperumit permasalahan sebagai akibat potensi produksi, kelangkaan dan aksesibilitasnya sama sekali tidak melibatkan usaha manusia secara pribadi (milik pribadi penguasa lahan). Sistem kepemilikan atas dasar keperansertaan untuk saat ini “tidak ada”, maka fenomena spekulan lahan yang mengkonversikan lahan pertanian ke penggunaan lain yang tidak jelas peruntukannya.


(38)

Menurut hasil penelitian Suryani (2001), konversi lahan khususnya areal sawah di wilayah Jabotabek disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) perpindahan penduduk; (2) lapangan kerja; (3) fasilitas pelayanan publik. Sedangkan perubahan pengunaan areal permukiman disebabkan oleh (1) perpindahan penduduk; (2) pekerjaan; dan (3) sarana kesehatan.


(39)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Penelitian di lapangan dilaksanakan di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Sedangkan untuk pengolahan data dilakukan di Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai bulan Maret sampai dengan Agustus 2005.

Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari survai ke lapangan (Kota Tangerang) untuk mengecek penggunaan lahan terkini dengan menggunakan alat GPS. Sedangkan data sekunder merupakan data Peta Penggunaan Lahan hasil klasifikasi citra

Landsat 1991 dan 2001 hasil penelitian Rustiadi et al. (2003), serta data PODES (Potensi Desa) tahun 2003.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Position System), serta komputer dengan program Arc-View 3.2, Statistica 6.0,

Microsoft Excel, dan Microsoft Word.

Metode Penelitian

Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap-tahapan penelitian tersebut secara umum sebagai berikut :


(40)

1. Tahap Persiapan. Pada tahap ini dilakukan pemilihan topik penelitian, pengumpulan literatur, pembuatan proposal, serta pencarian data-data yang diperlukan dalam penelitian serta pemilihan metode yang digunakan untuk analisis data.

2. Pengumpulan dan Tabulasi Data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data Podes tahun 2003 dan Peta Penggunaan Lahan hasil klasifikasi citra landsat tahun 1991 dan 2001 hasil penelitian Rustiadi et al. Pada tahun 2003. Tabulasi digunakan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca.

3. Survai Lapang. Dilakukan untuk mengetahui keadaan pengunaan lahan sekarang. Survai tersebut dilakukan dengan melihat penggunaan lahan di lapang yang ada sekarang dan dibandingkan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2001. Contoh yang diamati sebanyak 30 titik dimana pemilihan titik tersebut dilakukan secara acak. Peta Penggunaan Lahan tersebut kemudian diperbaiki sehingga diperoleh Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005. Sebaran titik contoh disampaikan pada peta (Gambar Lampiran 1).

4. Permodelan. Dilakukan untuk menyusun model-model yang terkait dengan tujuan penelitian. Dalam permodelan juga dilakukan pemilihan variabel yang digunakan untuk analisis. Pemilihan model dilakukan sejak penyusunan proposal dan terus diperbaiki sesuai dengan perkembangan data yang dikoleksi. Model yang direncanakan tersebut kemudian direvisi kembali untuk disesuaikan dengan data yang diperoleh.

5. Perumusan Hasil Analisis. Merupakan tahapan pemilihan bahan untuk penyusunan laporan.


(41)

6. Penulisan Laporan. Merupakan hasil dari kegiatan selama penelitian yang berupa karya ilmiah.

Identifikasi variabel, sumber data dan teknik analisis untuk setiap tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan untuk tahapan-tahapan kegiatan dalam analisis data secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.

Tabel 1 : Identifikasi Variabel, Sumber Data dan Teknik Analisis untuk Setiap Butir Penelitian

No Tujuan penelitian Variabel Sumber Data Analisis yang Digunakan 1 Analisis pola dan

laju konversi lahan pertanian

Perubahan luas lahan Peta Penggunaan Lahan hasil klasifikasi citra

Landsat 1991 dan 2001 (Rustiadi et al.

2003)

-Shift Share Analysis (SSA) -Analisis spasial

2 Analisis tingkat perkembangan wilayah

Infrastruktur wilayah

Data PODES Analisis skalogram 3 Analisis keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan perkembangan wilayah

-Laju konversi lahan -Indeks

perkembangan wilayah

Data hasil analisis tujuan 1 dan 2

-Analisis korelasi

--principle component Analysis (PCA) 4 Analisis

faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian -Perubahan penggunan lahan -Indeks perkembangan wilayah

-Data hasil analisis tujuan 1 dan 2 -Data

pengunaan lahan

Analisis regresi berganda (stepwise)


(42)

Gambar 1. Bagan Alir Tahap Analisis Data

Podes

Visualisasi Spasial perubahan penggunaan lahan

Keterkaitan antara perkembangan wilayah dan pola perubahan

penggunaan lahan

Struktur penggunaan lahan Perkembangan

wilayah

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

penggunaan lahan

Tabel penggunaan lahan pada dua titik tahun Peta Penggunaan

Lahan 1991

Peta Penggunaan Lahan 2001

Peta Penggunaan Lahan 2005

Analisis Shift Share dan Analisis Komponen utama Analisis Skalogram

Analisis Regresi

Analisis korelasi


(43)

Keterangan:

= data yang digunakan = analisis

= hasil analisis

Teknik Analisis

Shift Share Analysis (SSA)

Shift Share Analysis digunakan untuk menganalisis intensitas perubahan penggunaan lahan, yang didekomposisikan menjadi tiga komponen penyusun laju pertumbuhan yaitu komponen share, komponen propotional shift, dan komponen

differential shift. Analisis Shift Share mempunyai rumus matematik sebagai berikut:

SSA =

⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ 1 .. .. ) 0 ( ) 1 ( t t X X + ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ) 0 ( ) 1 ( ) 0 ( ) 1 ( .. .. . . t t t t X X j X j X + ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ) 0 ( ) 1 ( ) 0 ( ) 1 ( . . t t t t j X j X Xij Xij

A B C

A = komponen share

B = komponen propotional shift

C = komponen differential shift

X.. = nilai total aktifitas dalam total wilayah X.j = nilai total untuk penggunaan lahan ke-j

Xij = nilai total di wilayah ke-j untuk penggunaan lahan ke-i t1 = titik tahun akhir


(44)

Hasil analisis shift share menjelaskan kinerja suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkan dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis, yaitu: 1. komponen laju pertumbuhan total (komponen regional share). Komponen

ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah.

2. komponen pergeseran proposional (komponen propotional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktifitas dalam wilayah.

3. komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan atau ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.

Analisis Komponen Utama/ Principle Component Analysis (PCA)

Analisis komponen utama merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk memperkecil dimensi variabel yang diamati dengan jalan mentransformasikan variabel asal (X) ke variabel baru (W) yang saling bebas satu sama lain (Drapper dan Smith, 1992). Prinsip dasar PCA adalah menentukan faktor-faktor (komponen utama) dengan dimensi yang lebih kecil dari variabel aslinya, tetapi masih dapat menerangkan sebagian besar keragaman variabel aslinya.


(45)

Variabel baru (W) ini disebut sebagai komponen utama yang merupakan hasil tranformasi variabel asli. Dalam model matrik dapat dinotasikan sebagai berikut :

W = Ax dimana :

A = matrik yang melakukan transformasi terhadap variabel asal sehingga diperoleh vektor komponen utama W.

x = vektor variabel asal

Komponen utama merupakan kombinasi linier terbobot dari variabel asal yang dapat menerangkan keragaman data terbesar. Komponen utama pertama dapat ditulis sebagai berikut :

W1 = a11X1 + a11X2 + … + ap1Xp

dimana a1 adalah vektor ciri yang bersesuaian dengan akar ciri terbesar yang

memberikan keragaman terbesar. Komponen utama kedua dan ke-j ditulis sebagai berikut :

W1 = a12X1 + a22X2 + … + ap2Xp

Wj = a1jX1 + a2jX2 + … + apjXp

dimana aj adalah vektor ciri yang bersesuaian dengan akar ciri terbesar ke-j yang

bersifat ortogonal, ai’aj = 0 untuk i ≠ j.

Pemilihan variabel baru yang akan diambil untuk menerangkan keragaman dapat ditetapkan berdasarkan beberapa konsep. Menurut Drapper dan Smith (1992) hanya variabel yang mempunyai akar ciri yang lebih besar dari satu yang diambil sebagai variabel. Sedangkan menurut Morrison (1976, dalam Drapper dan


(46)

Smith, 1992), variabel baru yang diambil harus dapat menerangkan keragaman dari variabel tak bebas paling tidak 75 persen.

Analisis PCA ini menggunakan 20 variabel, variabel-variabel tersebut adalah indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan (X1), indeks aksesibilitas ke

fasilitas pendidikan (X2), indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (X3), indeks

aksesibilitas ke fasilitas kesehatan (X4), indeks aksesibilitas ke fasilitas lain (X5),

indeks fasilitas ekonomi (X6), indeks fasilitas pendidikan (X7), indeks fasilitas

kesehatan (X8), indeks fasilitas sosial lain (X9), indeks kesejahteraan (X10), indeks

luas wilayah (X11), selisih sawah (X12), selisih urban (X13), selisih tegalan (X14),

selisih air (X15), selisih hutan (X16), differential shift sawah (X17), differential shift

urban (X18), differential shift tegalan (X19), dan differential shift air (X20).

Analisis Skalogram

Analisis skalogram digunakan untuk menentukan hirarki wilayah. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun untuk membangun suatu indeks. Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah atau menuliskan ada atau tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah tanpa memperhatikan jumlah atau kuantitasnya. Tahapan dalam penyusunan analisis skalogram adalah sebagai berikut : (1). Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah, (2). Khusus untuk fasilitas yang menandakan jarak harus dibuat invers jarak akan berkorelasi positif dengan fasilitas yang lain sehingga apabila suatu wilayah tersebut dekat dengan pusat dari suatu wilayah akan memiliki nilai invers jarak paling besar walaupun sebenarnya jarak wilayah tersebut dengan pusat wilayah paling dekat, (3). Semua


(47)

nilai fasilitas dirasiokan terhadap luas di setiap wilayah sehingga didapatkan penyebaran fasilitas di setiap wilayah sehingga didapatkan penyebaran fasilitas di wilayah tersebut, (4). Semua nilai harus distandarisasikan dahulu sehingga nilai tersebut memiliki satuan yang sama dengan persamaan standarisasi

Zi = Xi – Xmin S dimana:

Zi = nilai standar

Xi = nilai indeks fasilitas ke-i S = galat baku

(5). Mengelompokkan fasilitas-fasilitas yang sama/mempunyai kemiripan sifat ke dalam suatu kelompok indeks, misalnya indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas kesehatan, indeks kesejahteraan dan lain sebagainya, (6). Menjumlahkan seluruh fasilitas yang ada dalam suatu kelompok indeks secara horisontal, (7). Membagi masing-masing kelompok indeks tersebut dengan jumlah penyusun setiap kelompok, (8). Menjumlahkan seluruh indeks secara horizontal untuk menentukan indeks perkembangan suatu wilayah (total indeks), (9). Mengitung nilai rata-rata (average) dan standar deviasi (st-dev) dari total indeks tersebut.

Model untuk menentukan nilai indeks perkembangan wilayah desa-desa adalah sebagai berikut :

IPDj = ij n

i

Ι' Dimana = Ι'ij=

i i j

SD i −Ι min

Ι


(48)

Iij = nilai (skor) indeks perkembangan ke-i wilayah ke-j

ij

'

Ι = nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkorelasi (terstandarisisi)

wilayah ke-j

min

i

Ι = nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkecil (minimum)

i

SD = standar deviasi indeks perkembangan ke-i

Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu apabila rata-rata indeks perkembangan lebih dari satu atau sama dengan (1 x st-dev) + rata-rata maka masuk ke dalam tingkat perkembangan wilayah tinggi. Apabila nilai indeks perkembangan kurang dari rata-ratanya maka masuk ke dalam tingkat perkembangan rendah dan apabila diantara keduanya berarti masuk ke dalam tingkat perkembangan sedang. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pembobotan untuk fasilitas-fasilitas yang ada atau semua fasilitas dianggap mempunyai pengaruh yang sama terhadap perkembangan wilayah. Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis skalogram dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Variabel yang Digunakan pada Setiap Kelompok Indeks untuk Analisis Skalogram

Kelompok

Indeks Variabel yang Digunakan

Jumlah Variabel Fasilitas

ekonomi

1. Lahan untuk bangunan industri

2. Lahan untuk bangunan lainnya (perkantoran, pertokoan) 3. Banyaknya peralatan pertanian

4. Banyaknya transportasi air 5. Jumlah Toko/Warung/Kios

6. Jumlah Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba 7. Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan Minuman 8. Jumlah Hotel/Penginapan

9. Jumlah Industri Kerajinan 10. Jumlah Bank

11. Jumlah koperasi

12. Jumlah Perusahaan Peternakan

12

Fasilitas pendidikan

1. Jumlah TK negeri dan swasta

2. Jumlah SD negeri dan swasta dan yang sederajat 3. Jumlah SLTP Negeri dan swasta dan yang sederajat 4. Jumlah SMU dan SMK negeri dan swasta 5. Jumlah Akademi/PT negeri dan yang sederajat


(49)

Tabel 2. Lanjutan Kelompok

Indeks Variabel yang Digunakan

Jumlah Variabel Fasilitas

pendidikan

6. Jumlah Sekolah Luar Biasa negeri dan swasta 7. Jumlah pondok pesantren dan Madrasah Diniyah 8. Jumlah lembaga ketrampilan

Fasilitas kesehatan

1. Jumlah fasilitas pengobatan 2. Jumlah fasilitas penyedia obat 3. Jumlah tenaga medis

3

Fasilitas sosial lain

1. Jumlah tempat peribadatan 2. Jumlah Perpustakaan 3. Jumlah tempat hiburan

4. Jumlah lapangan terbuka/alun-alun/taman bermain, 5. Jumlah fasilitas komunikasi

5

Aksesibilitas ke pusat

pemerintahan

1. Jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kecamatan yang membawahi

2. Jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kabupaten/kota yang membawahi

3. Jarak dari Kantor desa/kelurahan ke Ibukota kabupaten/kota lain terdekat

3

Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan

1. Jarak ke TK terdekat 2. Jarak ke SD terdekat 3. Jarak ke SLTP terdekat 4. Jarak ke SMU 5. Jarak ke SMK terdekat

5

Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan

1. Jarak dari desa/kelurahan ke rumah sakit

2. Jarak dari desa/kelurahan ke rumah sakit bersalin/rumah Bersalin 3. Jarak dari desa/kelurahan ke poliklinik/balai pengobatan 4. Jarak dari desa/kelurahan ke puskesmas

5. Jarak dari desa/kelurahan ke puskesmas pembantu 6. Jarak dari desa/kelurahan ke tempat praktek dokter 7. Jarak dari desa/kelurahan ke tempat praktek bidan 8. Jarak dari desa/kelurahan ke posyandu

9. Jarak dari desa/kelurahan ke polindes 10. Jarak dari desa/kelurahan ke apotik 11. Jarak dari desa/kelurahan ke pos obat desa 12. Jarak dari desa/kelurahan ke toko khusus obat/jamu

12

Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi

1. Jarak terdekat ke bioskop, 2. Jarak kr rumah bilyard, 3. Jarak ke pub/diskotik/karaoke 4. Jarak pertokoan terdekat 5. Jarak pasar terdekat

5

Aksesibilitas ke fasilitas lain

1. Jarak ke kantor pos 2. Jarak pos polisi terdekat

2

Tingkat Kesejahteraan

1. Jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I

2. Banyaknya penduduk Desa/Kelurahan yang tidak mempunyai pekerjaan

3. Jumlah keluarga permukiman kumuh

4. Jumlah surat miskin yang dikeluarkan desa/kelurahan 5. Jumlah keluarga yang menerima "kartu sehat" setahun terakhir 6. Jumlah keluarga menggunakan listrik PLN dan non PLN 7. Jumlah keluarga yang berlangganan telpon

8. Jumlah keluarga yang mempunyai pesawat TV 9. Jumlah rumah permanen

9

Luas wilayah 1. Luas Desa/Kelurahan (Ha) 1


(50)

Analisis Korelasi

Analisis korelasi merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara dua variabel sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam melihat ada atau tidaknya hubungan sebab-akibat antara variabel tersebut. Di dalam analisis korelasi sederhana, sifat keeratan hubungan antara dua variabel diidentifikasi berkorelasi positif, negatif, atau tidak berkorelasi. Dua variabel akan berkorelasi positif jika mempunyai kecenderungan yang searah, misalnya kenaikan variabel x yang diikuti oleh kenaikan variabel y, dan akan berkorelasi negatif jika kecenderungan variabelnya berlawanan. Sedangkan jika perubahan variabel x tidak mempengaruhi variabel y dan sebaliknya, maka keduanya dinyatakan tidak berkorelasi.

Koefisien korelasi yang menyatakan besarnya hubungan antara dua variabel dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

rxy =

[

(

)( )

]

[

2 2

][

2 2

]

) ( )

( Xi n Yi Yi

Xi n i i i i n Σ − Σ Σ − Σ ΣΥ ΣΧ − Υ ΣΧ dimana:

n = ukuran populasi

xi = nilai variabel x untuk anggota populasi ke-i

yi = nilai variabel y untuk anggota populasi ke-i

Analisis Regresi Berganda (Stepwise Regression Analysis)

Analisis regresi digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter, dari parameter-parameter (variabel penjelas) lain yang diamati. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer dengan program Statistica. Metode analisis yang digunakan adalah


(51)

stepwise regression. Prinsip dasar stepwise regression adalah mengurangi banyaknya variabel di dalam persamaan dengan cara menyusupkan variabel satu demi satu sampai diperoleh persamaan regresi yang paling baik. Urutan penyisipan ditentukan dengan mengggunakan koefesien korelasi parsial sebagai ukuran pentingnya variabel yang masih diluar persamaan. Variabel yang berkorelasi dengan respon dipilih dan dihitung dengan persamaan regresi, kemudian diuji nyata atau tidak yaitu dengan membandingkan antara F-parsial setiap variabel dengan F-tabel. Pengujian ini sangat menentukan apakah variabel yang bersangkutan dipertahankan atau dikeluarkan dari persamaan (Draper dan Smith, 1992).

Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah : Y = A1X1 + A2X2 + … + AnXn

dimana:

Y = dependent variable (variabel tujuan)

Xi = independent variable ke-i (variabel penduga), untuk i = 1, 2, 3, …

Ai = koefisien regresi vaeriabel ke-i

Dalam analisis multiple regression ini digunakan lima variabel sebagai respon (Y) dan enam belas variabel penduga yang mempengaruhi respon (X). Variabel-variabel beserta simbol yang digunakan dalam analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 3.


(52)

Tabel 3. Simbol dan Variabel yang Digunakan dalam Analisis Multiple Regression

Simbol Nama Variabel

Y11 Perubahan luas area sawah (t1 – t0)

Y21 Perubahan luas area urban (t1 – t0)

Y31 Perubahan luas area tegalan (t1 – t0)

Y12 Area sawah t1 (tahun 2005)

Y22 Area urban t1 (tahun 2005)

X1 Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan

X2 Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan

X3 Indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan

X4 Indeks aksesibilitas ke fasiltias ekonomi

X5 Indeks aksesibilitas ke fasilitas lain

X6 Indeks fasilitas ekonomi

X7 Indeks fasilitas pendidikan

X8 Indeks fasilitas kesehatan

X9 Indeks fasilitas sosial lain

X10 Indeks Kesejahteraan

X11 Luas wilayah

X12 Luas area sawah t0 (tahun 1991)

X13 Luas area urban t0 (tahun 1991)

X14 Luas area tegalan t0 (tahun 1991)

X15 Luas area air t0 (tahun 1991)

X16 Luas area hutan t0 (tahun 1991)

Analisis Spasial

Analisis spasial digunakan untuk melihat pola perubahan luas lahan secara spasial. Untuk analisis spasial digunakan software Arc view 3.2. Peta yang digunakan pada analisis ini yaitu Peta Penggunaan Lahan Tahun 1991 dan Tahun 2005. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005 diperoleh dari Peta Penggunaan Lahan Tahun 2001 yang telah di perbaiki melalui survai lapang dengan GPS (Global Positioning System).


(53)

Survai lapang dilakukan untuk mengetahui keadaan pengunaan lahan terkini. Survai tersebut dilakukan dengan melihat penggunaan lahan di lapang yang ada sekarang dan dibandingkan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2001. Contoh yang digunakan ada 30 titik dimana pemilihan titik tersebut dilakukan secara acak. Peta penggunaan lahan tersebut kemudian diperbaiki sehingga diperoleh Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 2005.


(54)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Administrasi Pemerintahan

Secara geografis Kota Tangerang terletak pada posisi 106º 36’ - 106º 42’ Bujur Timur (BT) dan 6º 6’ - 6º Lintang Selatan (LS). Letak Kota Tangerang sangat strategis karena berada di antara DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga DKI Jakarta. Posisi tersebut mengakibatkan pertumbuhan yang pesat. Pesatnya pertumbuhan dipercepat pula dengan keberadaan Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang sebagian arealnya termasuk wilayah administrasi Kota Tangerang. Bandara tersebut membuka peluang bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa secara luas.

Kota Tangerang terbentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 1993 tentang Pembentukan Kota Tangerang. Sebelumnya Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang dengan status wilayah Kota Administratif Tangerang berdasarkan peraturan pemerintah nomor 50 tahun 1981. Secara administratif batas-batas wilayah Kota Tangerang adalah sebagai berikut:

Utara : Kabupaten Tangerang (Kecamatan Teluknaga dan Sepatan)

Selatan : Kabupaten Tangerang (Kecamatan Curug, Serpong, dan Pondok Aren)

Barat : Kabupaten Tangerang (Kecamatan Pasar Kemis dan Cikupa) Timur : DKI Jakarta (Jakarta Barat dan Jakarta Selatan)


(55)

Luas wilayah Kota Tangerang adalah 17.729,746 Ha, termasuk luas Bandara Soekarno-Hatta sebesar 1.816,0 Ha. Pada mulanya wilayah kota ini terdiri atas 6 (enam) kecamatan yaitu Kecamatan Tangerang, Jatiuwung, Batuceper, Benda, Cipondoh, dan Ciledug. Untuk lebih mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan dan pemanfaatan serta pengendalian pemanfaatan ruang wilayah, kecamatan-kecamatan tersebut dimekarkan menjadi 13 (tiga belas) kecamatan yang terdiri atas Kecamatan Tangerang, Karawaci, Jatiuwung, Cibodas, Periuk, Batuceper, Neglasari, Benda, Cipondoh, Pinang, Ciledug, Karang Tengah, dan Larangan. Pemekaran kecamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 2.

Seiring dengan pemekaran wilayah kecamatan, wilayah kelurahan dan desa yang ada mengalami pemekaran pula. Bila sebelumnya di Kota Tangerang hanya tercatat 20 kelurahan dan 37 desa, maka setelah pemekaran kini menjadi 87 kelurahan dan 17 desa. Pemekaran dan peningkatan status sejumlah desa menjadi kelurahan bertujuan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Tabel 4. Pemekaran Wilayah Kecamatan di Kota Tangerang

Kecamatan No

Lama Baru Keterangan

1 Ciledug Ciledug

Karang Tengah Larangan

Dimekarkan menjadi 3 kecamatan 2 Cipondoh Cipondoh

Pinang Dimekarkan menjadi 2 kecamatan 3 Tangerang Tangerang

Karawaci Dimekarkan menjadi 2 kecamatan 4 Jatiuwung Jatiuwung

Cibodas Periuk

Dimekarkan menjadi 3 kecamatan 5 Batuceper Batuceper

Neglasari Dimekarkan menjadi 2 kecamatan 6 Benda Benda Tidak dimekarkan


(56)

(57)

Topografi

Wilayah Kota Tangerang rata-rata berada pada ketinggian 10 - 30 meter di atas permukaan laut (dpl). Bagian Utara memiliki rata-rata ketinggian 10 meter dpl, sedangkan bagian Selatan memiliki ketinggian 30 meter dpl. Bagian Selatan mencakup wilayah Kecamatan Ciledug yang meliputi Kelurahan Cipadu Jaya, Larangan Selatan, Paninggilan Selatan, Paninggilan Utara, Parung Serab, Tajur dan Kelurahan Sudimara Pinang (Kecamatan Cipondoh).

Dilihat dari kemiringan lerengnya, sebagian besar Kota Tangerang

mempunyai tingkat kemiringan lereng ≥ 30 % dan sebagian kecil (yaitu di bagian

Selatan kota) kemiringan lerengnya antara 3 – 8 % berada di Kelurahan Parung Serab, Paninggilan Selatan dan Cipadu Jaya.

Penggunaan Lahan

Kota Tangerang mempunyai luas wilayah 17.729,746 Ha. Dari luas wilayah tersebut pertumbuhan fisik kota ditunjukkan oleh besarnya kawasan terbangun kota, yaitu seluas 10.127,231 Ha (57,12 % dari luas seluruh kota).

Tabel 5. Pemanfaatan Lahan di Kota Tangerang

Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)

Permukiman 5.988,2 Industri 1.367,1 Perdagangan dan jasa 608,1

Pertanian 4.467,8 Bandara Soekarno-Hatta 1.816,0

Belum terpakai 2.660,4

Lain-lain 819,4 Luas Kota Tangerang 17.729,7

Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka 2003, dalam www.Kota Tangerang.go.id, 2005.

Berkaitan dengan pewilayahan (zoning) di Kota Tangerang, pusat kota ditetapkan di Kecamatan Tangerang. Kawasan pengembangan terbatas di Bagian


(58)

Utara (Kecamatan Benda, Neglasari, dan Batuceper) yang masih mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang lama. Kecamatan Batuceper dan Neglasari diarahkan untuk kegiatan pergudangan, industri dan perumahan susun. Kecamatan Benda yang wilayahnya meliputi sebagian Bandara Internasional Soekarno-Hatta diarahkan sebagai ruang terbuka hijau dan buffer (penyangga) bandara, yang masih konsisten dengan RTRW sebelumnya. Kecamatan Karawaci diarahkan untuk kegiatan perdagangan. Sedangkan Kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah dan Pinang tetap diarahkan untuk kegiatan perumahan tapi dengan penegasan yang lebih jelas antara skala menengah dan kecil. Kecamatan Jatiuwung di bagian Barat Kota Tangerang diarahkan untuk kegiatan industri dengan pengembangan terbatas, serta permukiman penunjang industri. Kawasan tersebut tidak diarahkan untuk penambahan industri baru tapi untuk perluasan kegiatan yang sudah ada.

Kependudukan

Jumlah penduduk Kota Tangerang pada tahun 2003 adalah 1.466.577 jiwa, dengan kepadatan penduduknya mencapai 8.913 jiwa per km2. Dalam kurun tahun 1998 - 2003 pertumbuhan penduduk Kota Tangerang adalah sebesar 15.76 % (3.94 % pertahun). Dengan jumlah rumah tangga sebanyak 368.858 maka rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Kota Tangerang adalah 3,98 jiwa. Sebaran penduduk Kota Tangerang terkonsentrasi di beberapa kecamatan yakni di Kecamatan Karawaci (161.371 jiwa), Cipondoh (144.367 jiwa), Cibodas (129.217 jiwa), Jatiuwung (123.045 jiwa), Larangan (127.033 jiwa), dan Tangerang (120.584 jiwa).


(59)

Tabel 6. Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, Rata-Rata Anggota Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk per Km2 di Kota Tangerang Tahun 2003

Penduduk Kecamatan Luas

(Km2)

Rumah tangga

(RT) Laki-laki Perempuan

Jumlah Rata-rata anggo ta RT Kepadata n penduduk

Per km2 Ciledug 8,77 23.169 51.522 49.199 100.721 4,35 11.486 Larangan 9,40 30.270 64.691 62.342 127.033 4,20 13.518 Karang Tengah 10,47 22.437 48.730 47.399 96.129 4,28 9.178 Cipondoh 17,91 32.452 73.261 71.106 144.367 4,45 8.061 Pinang 21,59 27.049 59.440 56.591 116.031 4,29 5.374 Tangerang 15,79 27.716 62.614 57.970 120.584 4,35 7.639 Karawaci 13,48 40.145 81.317 80.054 161.371 4,02 11.976 Cibodas 9,61 33.389 65.450 63.767 129.217 3,87 13.445 Jatiuwung 14,41 43.663 63.416 59.629 123.045 2,82 8.541 Periuk 9,54 30.409 56.308 55.202 111.510 3,67 11.685 Neglasari 16,08 21.184 46.640 43.522 90.162 4,26 5.608 Batuceper 11,58 20.974 40.686 39.401 80.087 3,82 6.914 B e n d a 5,92 16.002 33.682 32.638 66.320 4,14 11.205 Kota Tangerang 164,54 368.858 747.757 718.820 1.466.577 3,98 8.913

Sumber : Kota Tangerang Dalam Angka 2003, dalam www.Kota Tangerang.go.id, 2005

*) Tidak termasuk luas Bandara Soekarno-Hatta = 1.816,0 Ha

Perekonomian

Perkembangan ekonomi Kota Tangerang tidak terlepas dari situasi ekonomi nasional, karena Kota Tangerang berada pada posisi penyangga Jakarta, maka kondisi ekonomi Jakarta selalu membawa imbas pada Kota Tangerang. Sebagai daerah penyangga ibukota, wilayah ini dipersiapkan untuk kegiatan perdagangan, industri, perkembangan pusat-pusat permukiman dan menjaga keserasian pembangunan antara DKI Jakarta dengan daerah-daerah yang berbatasan langsung. Berdasarkan Kepres Nomor 54 Tahun 1989, Kota Tangerang harus mengalokasikan 3.000 Ha lahannya untuk kegiatan industri.

Kegiatan industri sebagai motor utama perekonomian Kota Tangerang, sebagian besar terdapat di wilayah Kecamatan Jatiuwung, Batuceper, Tangerang dan sebagian kecil di Kecamatan Cipondoh. Kegiatan industri tersebut mayoritas berlokasi di koridor jalan Daan Mogot – Batuceper, sedangkan sebagian lagi


(1)

Tabel Lampiran 3. Lanjutan

Differential shift

Kecamatan Desa Sawah Perkotaan Tegalan Air Hutan

Karang Tengah Parung Jaya 0,310 0,453 -0,065 0,000 0,000

Karang Tengah Pondok Bahar -0,004 1,152 0,078 0,000 0,000

Karang Tengah Pondok pucung -0,447 -0,237 -0,205 0,000 0,000

Karawaci Bojong Jaya -0,442 -0,097 1,777 1,188 0,000

Karawaci Bugel 0,000 0,299 -0,258 0,000 0,000

Karawaci Cimone -0,447 -0,025 -0,307 0,000 0,000

Karawaci Cimone Jaya -0,447 -0,167 -0,315 0,000 0,000

Karawaci Gerendeng 0,000 -0,246 -0,380 -0,357 0,000

Karawaci Karawaci -0,447 -0,253 -0,049 0,689 0,000

Karawaci Karawaci Baru -0,446 0,025 -0,352 0,000 0,000

Karawaci KoangJaya -0,438 0,298 -0,305 0,000 0,000

Karawaci Margasari -0,447 0,221 -0,380 0,000 0,000

Karawaci Nambo Jaya -0,447 -0,033 0,000 0,000 0,000

Karawaci Nusajaya -0,389 -0,174 -0,077 0,000 0,000

Karawaci Pabuaran 0,000 -0,179 -0,039 0,000 0,000

Karawaci Pabuaran Tumpeng 0,498 -0,286 -0,380 0,000 0,000

Karawaci Pasar Baru -0,447 -0,122 -0,380 0,670 0,000

Karawaci Sukajadi 0,000 -0,200 -0,380 0,324 0,000

Karawaci Sumur Pancing -0,447 -0,223 -0,380 0,000 0,000

Larangan cipadu 1,380 -0,122 -0,147 0,000 0,000

Larangan Cipadu Jaya -0,302 0,027 -0,053 0,000 0,000

Larangan Gaga 0,140 -0,167 -0,024 0,000 0,000

Larangan Kereo 0,000 -0,012 -0,219 0,000 0,000

Larangan kereo Selatan 0,022 -0,212 0,976 0,000 0,000

Larangan Larangan Utara -0,245 -0,164 -0,203 0,000 0,000

Larangan Larangan Indah -0,447 -0,045 -0,205 0,000 0,000

Larangan Larangan Selatan 0,000 1,370 -0,163 0,000 0,000

Neglasari Karang Anyar 0,261 0,239 0,528 -0,357 0,000

Neglasari Karang Sari 0,120 -0,127 0,008 0,394 0,000

Neglasari Kedaung Baru 0,428 0,091 -0,053 -0,165 0,000

Neglasari Kedaung Wetan -0,007 0,738 0,139 -0,252 0,000

Neglasari Mekar Sari -0,379 -0,041 -0,128 1,832 0,000

Neglasari Neglasari -0,113 0,179 -0,275 -0,292 0,000

Neglasari Selapang Jaya 0,638 -0,239 0,602 -0,357 0,000

Periuk Gebang Raya -0,424 -0,099 0,456 -0,357 0,000

Periuk Gembor -0,447 -0,274 -0,380 0,000 0,000

Periuk Periuk 0,221 0,086 0,074 -0,357 0,000

Periuk Periuk jaya -0,447 0,028 -0,199 0,000 0,000

Periuk Sangiang Jaya -0,447 -0,183 0,461 -0,357 0,000

Pinang Cipete 0,393 0,261 0,227 -0,357 0,000

Pinang Kunciran 0,203 -0,113 -0,178 0,000 0,000

Pinang Kunciran Indah 0,000 -0,179 0,352 0,000 0,000

Pinang Kunciran Jaya 0,484 0,160 -0,039 0,000 0,000

Pinang Neroktok 0,410 0,064 0,129 0,000 0,000

Pinang Pakojan 0,495 -0,232 0,510 0,000 0,000

Pinang Panunggangan 0,052 0,110 0,414 0,174 0,000

Pinang Panunggangan Timur 0,000 -0,190 -0,035 0,000 0,000

Pinang Panunggangan Utara -0,026 -0,139 0,161 0,013 0,000


(2)

Tabel Lampiran 3. Lanjutan

Differential shift

Kecamatan Desa Sawah Perkotaan Tegalan Air Hutan

Pinang Sudimara Pinang 0,542 -0,213 0,537 0,000 0,000

Tangerang Babakan -0,371 5,495 2,506 0,000 0,000

Tangerang Buaran Indah 0,305 -0,193 -0,004 0,000 0,000

Tangerang Cikokol -0,231 0,034 -0,211 0,194 0,000

Tangerang Sukaasih -0,434 0,009 0,095 0,000 0,000

Tangerang Sukarasa -0,447 -0,172 -0,380 -0,101 0,000

Tangerang Sukasari 0,000 -0,305 0,000 0,000 0,000


(3)

Tabel Lampiran 4. Korelasi Antara Jenis Penggunaan Lahan dengan Indeks Hirarki Wilayah

Aksesibilitas ke pusat pemerintahan 1,00 Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan 0,12 1,00 Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan -0,05 0,20 1,00 Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi 0,21 0,24 0,27 1,00

Aksesibilitas ke fasiltias lain 0,02 0,27 0,39 0,38 1,00

Indeks fasilitas ekonomi -0,08 -0,01 0,39 0,27 0,22 1,00

Indeks fasilitas pendidikan 0,04 0,56 0,19 0,27 0,28 0,17 1,00

Indeks fasilitas kesehatan 0,01 0,23 0,64 0,28 0,22 0,37 0,35 1,00

Indeks fasilitas sosial lain -0,05 0,18 0,41 0,26 0,30 0,24 0,40 0,55 1,00

Indeks kesejahteraan 0,11 -0,04 -0,07 -0,04 0,07 -0,23 -0,18 -0,11 -0,08 1,00

Luas desa (Ha) -0,04 0,09 0,02 -0,05 -0,11 -0,02 0,08 0,01 0,01 -0,17 1,00

Perubahan luas sawah -0,10 0,15 -0,15 -0,11 0,00 -0,12 -0,08 -0,05 -0,13 0,11 -0,07 1,00

Perubahan luas perkotaan 0,09 0,02 -0,05 -0,11 0,01 0,00 0,06 0,06 0,02 -0,10 0,02 -0,45 1,00

Perubahan luas tegalan -0,06 -0,17 0,11 0,22 0,06 0,05 0,00 -0,07 0,04 0,06 0,05 -0,15 -0,65 1,00

Perubahan luas air 0,00 0,01 -0,08 0,18 -0,05 -0,26 -0,07 0,03 0,00 0,09 -0,06 0,19 -0,22 -0,03 1,00

Perubahan luas hutan 0,00 0,03 0,02 0,02 -0,11 0,05 -0,05 -0,08 -0,01 0,12 -0,02 -0,10 -0,38 0,03 0,00 1,00

Differential Shift Sawah -0,16 0,23 -0,03 -0,27 -0,04 0,04 0,10 -0,05 -0,14 -0,03 -0,02 0,25 0,03 -0,19 -0,32 -0,02 1,00

Differential Shift perkotaan -0,07 0,10 -0,14 -0,04 -0,03 -0,09 0,16 -0,11 -0,04 -0,04 -0,05 -0,27 0,56 -0,31 0,03 -0,41 0,05 1,00

Differential Shift Tegalan -0,07 0,10 -0,04 -0,13 -0,03 -0,13 0,02 -0,11 -0,04 0,05 0,06 -0,13 -0,05 0,20 -0,30 0,04 0,28 -0,03 1,00

Differential Shift air 0,12 0,08 -0,10 0,14 -0,06 -0,10 0,01 -0,03 -0,10 0,03 0,20 -0,05 -0,03 -0,03 0,32 0,09 -0,18 0,08 0,12 1,00

Aksesibil ita s k e pus at pe meri n ta h an A k se si b ili ta

s ke fa

sil ita s pe ndidi k an A k se si b ili ta

s ke fa

sil ita s keseh a ta n A k se si b ili ta

s ke fa

sil ita s ekonomi Aks es ibil ita s k e fasi litas la in Inde ks f asil ita s ekono mi Indeks f as ilitas p endi dik an Indeks f a si li ta s k e se ha ta n Indeks f a si litas s o si al la in Indeks k es ejahte raan L u as D es a (H a) Peru bahan lu a s s awah P e rubaha n luas perko ta an Pe rubahan lu a s t e ga la n Peruba han lu as a ir P e rubahan lu a s hutan Dif ferent ial s h ift sa wah Di ffe re n tia l s h ift pe rk ot aa n Di ffe re ntial s h if t t egal an Dif ferent ial s h ift ai r


(4)

Tabel Lampiran 5. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Perubahan Luas Area

Sawah (t

1

– t

0

)

R= ,85908680 R²= ,73803014 Adjusted R²= ,71294791

F(9,94)=29,424 p<,00000 Std.Error of estimate: ,53577

BETA St. Err.

of BETA B

St. Err.

of B t(94) p-level

Intercpt 0,00 0,05 0,00 1,00

Luas sawah 1991 -0,96 0,07 -0,96 0,07 -14,28 0,00

Luas perkotaan 1991 0,21 0,06 0,21 0,06 3,38 0,00

Indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi -0,15 0,06 -0,15 0,06 -2,41 0,02 Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan 0,19 0,07 0,19 0,07 2,79 0,01

Luas air 1991 0,17 0,06 0,17 0,06 2,61 0,01

Indeks fasilitas pendidikan -0,11 0,07 -0,11 0,07 -1,66 0,10

Luas tegalan 1991 0,08 0,06 0,08 0,06 1,37 0,17

Indeks kesejahteraan 0,08 0,05 0,08 0,05 1,41 0,16

Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan -0,07 0,05 -0,07 0,05 -1,26 0,21

Tabel Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Perubahan Luas Area

Perkotaan (t

1

– t

0

)

R= ,85334336 R²= ,72819489 Adjusted R²= ,70217100

F(9,94)=27,982 p<,00000 Std.Error of estimate: ,54574

BETA St. Err.

of BETA B

St. Err.

of B t(94) p-level

Intercpt 0,00 0,05 0,00 1,00

Luas tegalan 1991 0,64 0,06 0,64 0,06 10,66 0,00

Luas sawah 1991 0,50 0,06 0,50 0,06 7,85 0,00

Luas hutan 1991 0,40 0,06 0,40 0,06 7,28 0,00

Luas perkotaan 1991 -0,16 0,06 -0,16 0,06 -2,47 0,02

Indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi 0,11 0,06 0,11 0,06 1,74 0,08 Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan -0,13 0,06 -0,13 0,06 -2,15 0,03 Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan 0,06 0,06 0,06 0,06 1,03 0,30

Indeks fasilitas kesehatan 0,12 0,07 0,12 0,07 1,63 0,11


(5)

Tabel Lampiran 7. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Perubahan Luas Area

Tegalan (t

1

– t

0

)

R= ,93898575 R²= ,88169424 Adjusted R²= ,87173165

F(8,95)=88,500 p<,00000 Std.Error of estimate: ,35815

BETA St. Err.

of BETA

B St. Err.

of B t(95) p-level

Intercpt 0,00 0,04 0,00 1,00

Luas tegalan 1991 -0,95 0,04 -0,95 0,04 -25,77 0,00

Luas sawah 1991 0,08 0,04 0,08 0,04 1,87 0,06

Indeks fasilitas kesehatan -0,11 0,04 -0,11 0,04 -2,77 0,01

Luas perkotaan 1991 0,08 0,04 0,08 0,04 1,84 0,07

Indeks fasilitas pendidikan 0,04 0,05 0,04 0,05 0,96 0,34

Indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan -0,07 0,04 -0,07 0,04 -1,90 0,06

Luas air 1991 0,05 0,04 0,05 0,04 1,08 0,28

Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan 0,05 0,04 0,05 0,04 1,07 0,29

Tabel Lampiran 8. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Sawah t

1

(Tahun

2005)

R= ,88682493 R²= ,78645845 Adjusted R²= ,76601298

F(9,94)=38,466 p<,00000 Std.Error of estimate: ,48372

BETA St. Err.

of BETA B

St. Err.

of B t(94) p-level

Intercpt 0,00 0,05 0,00 1,00

Luas sawah 1991 0,65 0,06 0,65 0,06 10,78 0,00

Luas perkotaan 1991 0,19 0,06 0,19 0,06 3,39 0,00

Indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi -0,13 0,05 -0,13 0,05 -2,37 0,02 Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan 0,17 0,06 0,17 0,06 2,79 0,01

Luas air 1991 0,15 0,06 0,15 0,06 2,60 0,01

Indeks fasilitas pendidikan -0,10 0,06 -0,10 0,06 -1,68 0,10

Indeks kesejahteraan 0,08 0,05 0,08 0,05 1,54 0,13

Luas tegalan 1991 0,07 0,05 0,07 0,05 1,41 0,16


(6)

Tabel Lampiran 9. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Perkotaan t

1

(Tahun 2005)

R= ,99574162 R²= ,99150138 Adjusted R²= ,99068768

F(9,94)=1218,5 p<0,0000 Std.Error of estimate: ,09650

BETA St. Err.

of BETA B

St. Err.

of B t(94) p-level

Intercpt 0,00 0,01 0,00 1,00

Luas perkotaan 1991 0,90 0,01 0,90 0,01 79,79 0,00

Luas tegalan 1991 0,14 0,01 0,14 0,01 13,21 0,00

Luas sawah 1991 0,11 0,01 0,11 0,01 9,70 0,00

Luas hutan 1991 0,09 0,01 0,09 0,01 8,95 0,00

Indeks fasilitas kesehatan 0,02 0,01 0,02 0,01 2,30 0,02

Indeks fksesibilitas ke fasilitas pendidikan -0,03 0,01 -0,03 0,01 -2,74 0,01 Indeks fksesibilitas ke fasilitas pemerintahan 0,02 0,01 0,02 0,01 1,98 0,05

Indeks kesejahteraan -0,01 0,01 -0,01 0,01 -1,49 0,14