Bahan Diskusi 13 Oktober 2015 - Bapak Robert Setio

Metafora Tubuh Perempuan sebagai Kritik terhadap Masyarakat dalam Kitab Hosea
(Hosea 7.3-16)
Robert Setio
Pendahuluan
Desa Cabean dan desa Bakalan yang letaknya di daerah Boyolali mungkin tidak terkenal bagi
kebanyakan kita. Tetapi kedua desa itu terkenal bagi para penggemar gigolo. (maaf jika saya
membicarakan soal ini di sini. Tetapi sebenarnya saya mengikuti saja jejak Kitab Hosea yang
juga mengangkat soal pelacuran. Bedanya, Hosea mengangkat soal pelacur perempuan, saya
mengangkat soal pelacur laki-laki). Menurut pemberitaan (jadi bukan dari pengalaman pribadi
saya), para pemuda di kedua desa itu sebenarnya tidak banyak berbeda dengan para pemuda di
kebanyakan desa. Pada pagi hingga siang mereka bekerja secara “normal” – seperti pemuda di
desa Cabean yang bekerja sebagai pembuat kandang ayam dari bambu – ketika malam
menjelang mereka berubah menjadi “kucing”, istilah yang kiranya banyak dipakai untuk
menjuluki para gigolo (http://news.liputan6.com/read/269292/selamat-datang-di-desa-gigolo).
Karena banyaknya pemuda di kedua desa tersebut yang menjadi gigolo maka kedua desa tersebut
kemudian dikenal sebagai desa gigolo.
Alice A. Keefe dalam bukunya Woman’s Body and Social Body in Hosea (2010) mengatakan
bahwa oleh para penafsir feminis, Kitab Hosea dianggap telah menjadi sumber dari pandangan
yang merendahkan perempuan. Sudah kita ketahui bersama bahwa Kitab Hosea mempersamakan
umat yang berdosa atau keberdosaan umat dengan pelacur perempuan (Gomer, isteri Hosea).
Menurut Keefe, pemakaian gambaran pelacur perempuan tersebut memiliki dua masalah.

Masalah pertama adalah pengaitan dosa dengan perempuan. Mengapa ketika berbicara tentang
dosa, kok, yang dipakai sebagai gambaran adalah perempuan? Makanya, tadi saya membuka
pembicaraan dengan mengangkat keberadaan pelacur laki-laki, supaya jelas poin yang
dimaksudkan oleh Keefe. Masalah kedua yang dilihat oleh Keefe pada Kitab Hosea adalah pada
adanya pandangan dualistis yang memperlawankan Tuhan dengan alam.
Penjelasannya begini: dalam praktik keagamaan orang-orang Kanaan dikenal adanya pelacuran
bakti yaitu pelacuran yang dilakukan dalam kerangka ritus keagamaan. Dalam ritus tersebut para
peserta ibadah melakukan hubungan seksual dengan para pelacur bakti dengan maksud meminta
kesuburan atas tanah ladang mereka pada dewa-dewa kesuburan. Keberadaan praktik yang
semacam inilah yang menurut para ahli dikritik oleh Kitab Hosea. Cara mengkritiknya adalah
dengan mengaitkan dosa dengan pelacuran. Dengan mengaitkan dosa dan pelacuran bakti, Kitab
Hosea juga sudah memperlihatkan serangan terhadap praktik keagamaan Kanaan. Jadi yang
berdosa bukan hanya ritus meminta keseburan itu saja, namun keseluruhan agama Kanaan.
Kalau begitu, yang diserang sebenarnya adalah agama Kanaan, bukan pelacurannya. Nah,
menurut Keefe, para ahli yang kritis terhadap serangan terhadap agama Kanaan itu kemudian
melihat bahwa yang diserang itu bukan sekadar agama Kanaan saja, namun agama yang dekat
dengan alam. Jadi agama Kanaan itu dianggap jelek karena ia dekat dengan alam. Di pihak lain,
agama Israel menempatkan Tuhan sebagai yang berbeda dari alam. Tuhan Israel adalah Tuhan
atas alam, bukan Tuhan yang berada di dalam alam.
Maksud Keefe mengangkat persoalan-persoalan itu ternyata bukan dalam rangka memberikan

dukungan kepada pandangan-pandangan tadi. Justru sebaliknya, Keefe menganggap bahwa
pandangan-pandangan kritis terhadap Hosea atau Kitab Hosea itu memperlihatkan cara berpikir
dualistis khas Barat yang layak dipersoalkan. Dualisme yang dimaksudkan Keefe adalah “lakilaki (Hosea-Tuhan) vs. perempuan (Gomer-umat Israel)” dan “Tuhan (agama rasional) vs. dewadewa Kanaan (agama alam)”. Menurut Keefe, dualisme semacam itu belum dikenal oleh orangorang Israel kuna. Di jaman itu, meskipun laki-laki nampaknya lebih dominan daripada
perempuan, namun bukan berarti perempuan mempunyai kedudukan yang sepele. Demikian juga
1

dengan sikap terhadap alam. Tidak ada pemisahan antara Tuhan dengan alam seperti yang sering
dilihat oleh para ahli Alkitab dan para teolog, khususnya yang Protestan. Keterkaitan antara lakilaki dan perempuan serta antara Tuhan dan alam itu begitu erat sehingga keberadaan yang satu
tidak mungkin dapat dipisahkan dari keberadaan lainnya.
Setelah mengajukan gugatan terhadap pandangan yang dualistis itu, Keefe lalu masuk pada
bagaimana membaca Kitab Hosea dengan pandangan yang integratif. Itu dilakukannya dengan
menempatkan persoalan Kitab Hosea pada konteks sosial-politik. Bagi Keefe, Hosea adalah nabi
yang sedang melancarkan kritik-kritik sosial-politik. Kalau demikian, cara membaca Keefe ini
akan cocok dengan tema kita, tidak saja dalam soal “kiritik terhadap masyarakat (kritik sosial)”,
namun juga dalam soal pemakaian “metafor tubuh perempuan”.
Hubungan seksual di luar pernikahan bukan pelacuran
Sudah menjadi kebiasaan ketika membaca kisah tentang pernikahan Hosea dengan Gomer, orang
berpikir bahwa Gomer itu adalah pelacur dan mengawini seorang pelacur bagi Hosea adalah
tindakan yang tidak menyukakan hati. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Keefe dan banyak
penafsir lainnya, istilah esyet zenunim seharusnya tidak diterjemahkan dengan perempuan pelacur

namun perempuan yang melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, Bahasa Inggrisnya:
fornication. Dalam Bahasa Indonesia, sebenarnya sudah ada istilah zinah yang langsung
berhubungan dengan kata Ibrani zana yang merupakan akar kata dari zenunim. Tetapi LAI
memakai kata sundal yang artinya bisa (a) buruk kelakuan (tt perempuan) atau (b) perempuan
jalang; pelacur (http://kbbi.web.id/sundal). Bila dibandingkan dengan zinah, kata sundal lebih
cenderung ke arah pelacur. Maka LAI mengikuti kebanyakan penafsir yang menempatkan
Gomer sebagai pelacur. Sebenarnya tidak salah juga menempatkan Gomer sebagai pelacur sebab
ada kemungkinan memang dia adalah seorang yang berprofesi sebagai pelacur (tentang hal ini
teks tidak dengan jelas mengindikasikannya). Tetapi jika karena itu perhatian kita lalu tertuju
kepada masalah pelacurnya, maka kita meleset. Pelacuran tidak pernah dianggap salah oleh
orang Israel kuna dan Alkitab Perjanjian Pertama. Kita mengingat kisah-kisah Tamar (Kej 38)
dan Rahab (Yos 2) yang tidak nampak mempersoalkan profesi pelacur dan pelacuran. Kitab
Amsal saja yang nampak mempersoalkan pelacuran (Ams 29.3), namun itupun dalam kerangka
pemborosan. Tentu saja bagi kita sekarang, persoalannya jadi lain. Pelacuran bagi kita adalah
perbuatan amoral. Tetapi itu kita, bukan orang Israel.
Tidak hanya pelacuran, hubungan di luar pernikahan pun sebenarnya tidak dianggap masalah
bahkan ketika itu dilakukan dalam konteks perkosaan sebagaimana nampak pada teks Ulangan
ini:
Apabila seseorang bertemu dengan seorang gadis, yang masih perawan dan belum
bertunangan, memaksa gadis itu tidur dengan dia, dan keduanya kedapatan maka haruslah

laki-laki yang sudah tidur dengan gadis itu memberikan lima puluh syikal perak kepada
ayah gadis itu, dan gadis itu haruslah menjadi isterinya, sebab laki-laki itu telah
memperkosa dia; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi. (Ul
22.28,29)

Apakah dengan begitu semua bentuk hubungan seks dihalalkan? Tidak! Ul 5.21 dengan tegas
menyatakan “Jangan mengingini isteri sesamamu...”. Ketentuan itu berlaku umum sehingga dari
situ kita tahu bahwa berhubungan seksual dengan seorang perempuan yang sudah menikah
adalah tindakan terlarang! Jadi sepanjang seorang perempuan sudah atau masih memiliki suami,
tidak boleh ada laki-laki lain berhubungan seksual dengannya. Peraturan ini merupakan
konsekuensi dari keharusan untuk menjaga kemurnian keluarga, tepatnya keluarga menurut garis
keturunan ayah, Bahasa Ibraninya, bet ’ab. Seorang isteri yang berhubungan seksual dengan
lelaki yang bukan suaminya dan memiliki anak (prokreasi menjadi patokan dalam konteks ini)
dari lelaki lain itu, sudah membuat kekacauan bagi bet ’ab suaminya.
2

Kekacauan sosial
Masalah Gomer yang berkali-kali dijuluki sebagai esyet zenunim itu adalah masalah
hubungannya dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Anak-anak yang dilahirkannya
kemudian disebut dengan anak-anak perzinahan juga (bene zenunim) (Hos 2.3). Apa yang terjadi

di sini adalah sebuah kekacauan yang tidak dapat diterima.
Tetapi Kitab Hosea tidak berhenti sampai di situ saja. Mulai pasal 4 sampai 14 ada banyak sekali
lontaran-lontaran kritis terhadap keadaan yang terjadi di masyarakat dan yang menyangkut para
pemimpin, baik pemimpin politik maupun agama. Bila kita mengikuti Keefe maka kita perlu
menghubungkan carut marut kondisi sosial-politik ini dengan soal kekacauan keluarga yang
diungkap lewat pernikahan Hosea dan Gomer. Dengan kata lain, kekacuan keluarga Hosea
adalah metafor dari kekacauan sosial-politik yang menjadi sasaran kritik nabi Hosea.
Kekacauan sosial-politik itu sendiri sudah banyak dibicarakan sejak kita membahas pasal 4.
Tetapi porsi bacaan kita hari ini (7.3-16) masih merupakan sambungan tema itu.
Ay 3-7: mengindikasikan terjadinya intrik-intrik politik di kalangan para penguasa. Ada para
penjilat yang melaporkan berita-berita kebohongan agar menyenangkan penguasa (“asal bapak
senang”); tetapi motif mereka adalah untuk menjatuhkan kekuasaan karena sudah sejak semula
pikiran mereka dipenuhi dengan upaya balas dendam, ketidakpuasan terhadap pemerintah dan
seterusnya; akhirnya kekuasaan benar-benar tumbang sebagai hasil persengkongkolan gelap itu.
Jika kita mengaitkannya dengan peristiwa sejarah yang terjadi pada Israel (Utara) pada abad ke-8
SZB, maka keruntuhan kerajaan Israel yang terjadi masa itu, dalam terang ayat-ayat tadi, harus
dilihat sebagai hasil dari konflik internal di antara para penguasa Israel sendiri.
Keruntuhan Israel itu tersirat juga dalam paparan ayat 8-11 yang menggambarkan kejatuhan
pamor Israel (Efraim) di antara bangsa-bangsa dan akhirnya mereka menjadi bangsa yang
terjajah dan kekayaannya dihisap oleh bangsa asing. Dalam keadaan yang tidak berdaya, mereka

masih berusaha bangkit, namun dengan meminta pertolongan bangsa-bangsa asing (Mesir dan
Asyur). Tentu saja permintaan tolong kepada kekuatan asing ini didasarkan atas sebuah
pertimbangan. Tetapi justru dengan meminta pertolongan asing itu, Israel menjadi semakin
terpuruk.
Kejadian yang sama juga terjadi dalam sejarah bangsa kita. Konflik yang terjadi di antara para
penguasa melemahkan negara. Tetapi di tengah konflik itu, ada penguasa yang sengaja meminta
pertolongan asing demi mengalahkan pesaingnya yang adalah saudara sebangsanya sendiri.
Dengan begitu, terbukalah peluang bagi penguasa asing untuk menjajah. Mungkin kisah ironis
ini tidak berhenti di masa lalu saja. Sampai sekarang konflik-konflik perebutan kekuasaan di
antara sesama anak bangsa masih terjadi. Demikian pula dengan usaha meminta bantuan asing
untuk mengalahkan pesaing yang adalah sesama saudara sebangsa dan setanah air.
Ayat 14 sedikit mengungkap sumber dari intrik-intrik dan konflik-konflik politik itu yaitu
“gandum dan anggur”, alias harta. Sebagai bangsa agraris Israel menggantungkan
kesejahteraannya pada hasil-hasil pertanian. Menurut analisa sosiologis, masyarakat Israel kuna
pernah mengalami perkembangan secara ekonomi yang disebut dengan latifundialization yaitu
dari yang semula memproduksi barang-barang hanya untuk keperluan sehari-hari menjadi
produsen barang-barang untuk mencari keuntungan yang lebih besar. Ketika memasuki tahap
yang lebih canggih ini, terjadilah krisis karena para petani yang bekerja di ladang tidak dapat
memperoleh keuntungan sebanyak seperti yang didapat para penguasa. Mereka yang bekerja
3


keras memperoleh hasil yang lebih sedikit daripada yang bekerja lebih sedikit namun memiliki
kekuasaan.
Metafor Tubuh Perempuan sebagai Kritik Sosial
Mengikuti jejak Keefe yang ingin mencari titik temu antara persoalan gender dengan persoalan
sosial, dalam memenuhi tugas untuk membahas tema hari ini, saya ingin mengatakan bahwa
Kitab Hosea pada umumnya dan teks kita hari ini pada khususnya, memperlihatkan bagaimana
metafor tubuh perempuan dapat menjadi cermin akan kebobrokan sosial-politik baik yang terjadi
di masa lampau (Israel) maupun sekarang (Indonesia).
1. Perempuan sebagai pelahir kehidupan
Seperti yang dilihat Hosea pada masanya, kita sekarang juga melihat suatu kondisi di tengah
masyarakat yang berlawanan dengan metafor “perempuan sebagai pelahir kehidupan”. Banyak
kejadian di tengah masyarakat kita yang justru menunjukan gejala “pemusnah kehidupan”.
Ketidakpedulian sampai dengan kesengajaan yang melahirkan kerusakan lingkungan adalah
salah satu dan terbesar dari kasus “pemusnahan kehidupan”. Pembakaran hutan di Sumatera dan
Kalimantan yang mungkin dampaknya tidak terlalu kita rasakan di Jawa namun jelas-jelas
dirasakan di daerah Selat Malaka memperlihatkan ketiadaan “ibu yang melahirkan kehidupan”.
Demikian juga penambangan batu bara yang menyisakan kerusakan parah pada tanah-tanah yang
digali dan ditinggal begitu saja. Kalau mau menyebut semua kerusakan lingkungan yang terjadi
di negeri ini, sampai berlembar-lembar kertaspun tidak akan cukup.

2. Perempuan sebagai pemberi makan
Sampai dengan hari ini, dunia dimana kita tinggal di dalamnya masih banyak diwarnai oleh
kelaparan. Jutaan orang setiap hari terpaksa tidak bisa makan atau makan makanan yang tidak
bergizi. Kita mungkin menyangka bahwa itu tidak terjadi di Indonesia. Tetapi itu jelas salah.
Penyakit yang disebabkan oleh gizi buruk masih menimpa ribuan (minimal) anak Indonesia. Di
kota-kota besar pun tidak semua orang bisa mendapatkan makanan yang layak setiap harinya.
Mereka yang terpaksa makan makanan sisa yang dibuang di tempat-tempat sampah masih ada di
bumi yang sebagian penduduknya mampu makan di restoran-restoran mahal dan yang punya
peraturan: “makanan yang tidak terbeli harus dibuang”. Kita juga ingat bahwa krisis air minum
sudah terjadi bahkan di Yogya ini. Berdirinya hotel-hotel dan apartemen-apartemen baru
membuat kandungan air tanah merosot dengan cepat dan banyak orang mengalami kesulitan
untuk mendapatkan air bersih, apalagi air minum. Sementara produsen-produsen air minum
kemasan sudah memblokir sumber-sumber air terbaik di negeri ini hanya untuk bisa digunakan
bagi perusahaannya saja. Bukankah kita telah kehilangan sosok “perempuan sebagai pemberi
makan”?
3. Perempuan sebagai penghubung
Masyarakat kita semakin hari semakin terpisah-pisah atas dasar primordialisme dan status sosialekonomi. Kecurigaan bahkan permusuhan antarkelompok masyarakat semakin marak terjadi.
Bahkan di kampus ini saja sudah beberapa kali terjadi perkelahian antarkelompok suku.
Sementara itu, diskriminasi juga masih terjadi bahkan dilakukan dengan dalih agama,
sebagaimana yang dialami oleh kaum homoseks. Kita membutuhkan “figur ibu yang

menghubungkan” kelompok-kelompok yang berbeda-beda itu.
Penutup
Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa perempuan tidak selalu dan tidak semuanya memperlihatkan
sifat dan sikap seperti yang saya sebutkan di atas. Perempuan juga bisa bertindak yang
merugikan bagi masyarakat. Tetapi saya ingin membayangkan bahwa dalam aras metaforik, kita
masih bisa berbicara tentang perempuan dengan sifat dan sikap di atas. Atau tidak?
4

5