Bahan perempuan & pemiskinan

http://www.komnasperempuan.or.id/pengetahuan_perempuan/perempuan-danpemiskinan/ (Sitasi, 3 September 2013)
Tentang “Pengetahuan dari Perempuan”
Frase “Pengetahuan dari Perempuan” (PdP) merupakan nama pendek dari suatu program jangka panjang yang
bernama lengkap “Program Jangka Panjang Institusionalisasi Pembangunan Pengetahuan dari Perempuan
Indoensia”. Program ini digagas oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
dan Program Studi Kajian Gender (sebelumnya disebut Program Studi Kajian Wanita) Program Pascasarjana
Universitas Indonesia (selanjutnya disebut Kajian Gender UI).
PdP dilatarbelakangi kesadaran mengenai lemahnya institusionalisasi kerja-kerja untuk dan dari perempuan di
berbagai tingkatan dan sektor yang berbeda. Dengan latarbelakang demikian, ada kebutuhan mendesak untuk
melahirkan dan memastikan penguatan jangka panjang pelembagaan “pengetahuan dari Perempuan”.
Maksudnya, suatu mekanisme nasional sebagai wadah untuk mengintegrasikan dan merefleksikan aktivitas
lapangan dalam bentuk pembelajaran untuk pengembangan pemikiran-pemikiran strategis baru dan
pengetahuan konseptual. Yang dimaksud “pengetahuan” adalah pembelajaran, refleksi, penyimpulan intisari
pemahaman, dan peneluran gagasan-gagasan baru dari pengalaman dan kerja empiris di lapangan. Sementara
itu “dari Perempuan” bermakna “yang berasal dari pengalaman, sudut pandang, kebutuhan, pemikiran,
kepentingan perempuan”. Ini karena kaum perempuan berjumlah 50% dari populasi manusia, memiliki
karakteristik kebutuhan, respon dan potensi yang khas termasuk terkait aspek reproduksinya yang khusus.
Dengan demikian, kebutuhan perempuan akan kebijakan juga dapat berbeda dan khusus.
Harus diakui bahwa berbagai pengetahuan dan kebijakan yang akan dikembangkan hingga saat ini lebih
merefleksikan “pengetahuan dari dan tentang laki-laki, yang digeneralisasikan ke seluruh umat manusia.
Pengetahuan dari perempuan” berbicara mengenai pengetahuan dari dan tentang perempuan (knowledge

from, knowledge of, knowledge about women) untuk melengkapi pengetahuan dalam dunia kehidupan manusia
yang berisikan 50% perempuan. Pengetahuan dari perempuan ini perlu diteliti secara khusus agar dapat
ditemukan cara yang paling optimal dan efektif dalam menghadirkan sinergi perempuan dan laki-laki.
Untuk menerapkan kesepakatan internasional dan mencapai tuntutan-tuntutan standard yang telah disepakati
bersama, suatu bangsa perlu meneliti dan memahami dirinya sendiri untuk mengetahui titik berangkat dan aksi
strategis dari waktu ke waktu, berdasarkan pengetahuan dari perempuan dan pengetahuan sebelumnya yang
telah ada. Harus diakui kenyataan dan kepentingan khusus perempuan dalam pembangunan dan kebijakan.
Gambara atau data dari kasus-kasus khusus sesungguhnya sangat penting, tetapi masi sangat terpencarpencar dan tidak lengkap, belum mampu memberikan gambaran tema-tema representatif adlam kehidupan
perempuan. Hal ini menjadi salah satu penyebab penting belum berhasilnya Negara, misalnya, menampilkan
capaian yang signifikan dalam pasal-pasal yang diamanatkan “Convention on the elimination of All Forms of
Discrimination Against Women” (CEDAW) atau memenuhi tuntutan capaian Millenium Development Goals
(MDGs) secara memuaskan.
Pengembangan “Pengetahuan dari Perempuan” dapat dan baik dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.
Memang sumber sumber pengetahuannya adalah pengalaman, sudut pandang, kebutuhan, pemikiran,
kepentingan perempuan. Sumer pengetahuan ini tidak dapat diperoleh dari laki-laki, mengingat laki-laki tidak
berada dalam ketubuhan perempuan, dengan implikasi pengalaman, sudut pandang dan kepentingan yang
khas perempuan. Meski demikian penggalian “Pengetahuan dari Perempuan” dapat dan baik untuk dilakukan
oleh laki-laki dan perempuan yang bekerja konkrit dalam aktivitas lapangan, ataupun yuang merefleksikan
pengalaman lapangan dalam penelitiannya. Laki-laki secara khusus juga dapat dan baik untuk terlibat aktif
menggali dan mengembangkan “Pengetahuan dari Perempuan” ini, untuk membuatnya lebih peka dan

responsif terhadap pengalaman, sudut pandang, kebutuhan, pemikiran, dan kepentingan perempuan.
Pada akhirnya, memperbaiki pengetahuan sebelumnya yang lebih banyak berangkat dari setengah penduduk
dunia (laki-laki) yang digeneralisasi terhadap laki-laki dan perempuan, pengetahuan mengenai manusia harus
utuh, dari perspektif perempuan dan laki-laki, dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Ini penting untuk
memastikan tercapainya kerjasama yang setara, adil dan tulus antara perempuan dan laki-laki, dan
terpenuhinya
kebutuhan
dan
hak-hak
asasi
manusia,
perempuan
dan
laki-laki.
Visi mengenai kerjasama yang setara, adil dan tulus diantara perempuan dan laki-laki serta terpenuhinya
kebutuhan dan hak-hak asasi manusia hanya dapat tercapai bila “Pengetahuan dari Perempuan” terintegrasi
dalam keseluruhan tatanan pengetahuan, diakui dan dihormati sebagai bagian sama penting dalam
pengetahuan tentang manusia untuk mempengaruhi penyusun dan pelaku kebijakan dalam mengembangkan
dan melaksanakan kebijakan di semua aspek kehidupan.


Pemiskinan perempuan dalam berbagai bentuknya merupakan pencabutan sumber-sumber kehidupan
perempuan yang memaksa perempuan tinggal di pinggiran, dan menjadi kelompok lebih rentan. Bahkan
untuk mempertahankan hidup saja perempuan mungkin rentan mengalami kriminalisasi karena kebijakan dan
praktik hidup yang tidak ramah dan mendiskriminasi.
Perempuan dan Pemiskinan

Krisis
ekonomi
semakin
membuka
peluang terjadinya pemiskinan, yang cukup memberikan dampak dan kontribusi terhadap terjadinya kekerasan
terhadap perempuan. Kemiskinan dan pemiskinan perempuan terjadi karena paling tidak dua hal mendasar:
struktur yang tidak adil dan kebijakan pembangunan yang bias. Struktur masyarakat patriarkhis telah
meminggirkan peran ekonomis perempuan secara terstruktur dalam pembangunan, karena secara sosi-kultural
yang menempatkan perempuan sebagai ’pemain cadangan’ dan menafikan peran jenis kelamin ketiga dalam
perekonomian. Selain itu, kebijakan pembangunan yang cenderung mengutamakan laki-laki dalam setiap tahap
pembangunan menjadikan proses pemiskinan perempuan dan gender ketiga. Kemiskinan dan pemiskinan
terhadap perempuan dipengaruhi banyak faktor. Salah satu di antaranya adalah arah pembangunan yang
kurang partisipatif dan cenderung meminggirkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan. Ini terlihat
dari tidak adanya kebijakan yang mengintervensi bagaimana menyelesaikan keterbatasan dan perebutan

sumberdaya alam. Banyak pihak, dan bahkan Negara belum menganggap penting persoalan SDA. Ironi lain
adalah kenyataan bahwa penyelesaian krisis ekonomi tidak disertai pola kepemimpinan yang memfokus pada
penguatan kemandirian masyarakat dan bangsa. Kita menumpuk hutang pada masyarakat internasional, dan
tidak kritis pula terhadap berbagai standarisasi perdagangan internasional yang sebenarnya melemahkan
posisi bangsa. Pemiskinan perempuan melalui pencabutan sumber-sumber kehidupan juga memaksa
perempuan tanpa persiapan menjadi pekerja di sektor informal untuk bertahan hidup. Pilihan-nya adalah
menjadi pekerja rumah tangga baik di dalam dan luar negeri sebaga pekerja migran, buruh pabrik , pekerja
seks dan perempuan dalam situasi konflik dan perebutan sumber daya alam.
Hasil pemantauan Komnas Perempuan hingga 2011 menemukan dua ratus tujuh ( 207) kebijakan diskriminatif
di antara-nya Perda Prostitusi yang menggunakan pendekatan moralistik, semakin memperparah pemiskinan
perempuan. Tercatat Tahun 2009, terdapat 38 Perda Prostitusi, dan di tahun 2011 bertambah 11
perda, dengan total kurang lebih 55 perda prostitusi yang mengkriminalisasi perempuan. Kondisi demikian
semakin memperlihatkan bahwa solusi negara lebih mengedepankan moralisme dibanding menyelesaikan akar
pemiskinan perempuan. Kebijakan ini membatasi hak perempuan atas akses penghidupan, terutama hak
ekonomi perempuan. Kebijakan yang sumir, penuh prasangka dan moralistis meletakkan perempuan yang
bekerja untuk survival keluarganya, menjadi target penangkapan. Contoh di Tangerang sebagai penopang
ekonomi Jakarta, banyak perempuan menjadi pedagang sayur malam hari, buruh perempuan yang
harus shiftmalam, dan perempuan yang harus bekerja di sektor jasa pada malam hari, dengan pendekatan
moralistis rentan terkena stigma dan dikriminalisasi. Di wilayah Pantura, Perda Prostitusi diterapkan sebagai
purifikasi pencitraan wilayah tersebut, karena banyaknya pekerja seks akibat pemiskinan perempuan. Perda

Migran di beberapa wilayah, di satu sisi bukan memberikan perlindungan malah memberi otoritas bagi
penguasa daerah untuk menarik pajak melalui proses rekrutmen yang panjang yang ujungnya membebani PRT
Migran karena biaya yang tinggi untuk dapat bekerja di luar negeri.
Kekerasan berbasis gender sesungguhnya juga memiskinkan perempuan. Perempuan yang bercerai akibat
KDRT turun kondisi ekonominya, karena sedikit (mantan) suami yang secara riel masih bertanggungjawab
untuk menafkahi anak, meski pengadilan memutuskan demikian. Di lain pihak, banyak perempuan memilih
menyelesaikan kasus kekerasan yang dialaminya melalui jalur informal, yaitu penyelesaian adat, musyawarah
kekeluargaan atau melalui tokoh agama.[1] Pilihan ini salah satunya didasarkan pada keterbatasan sumberdaya
perempuan tentang hukum, institusi penegak hukum dan rendahnya akses pada layanan hukum,seperti yang
juga ditemukan dalam kajian PEKKA. Kajian tersebut menemukan bahwa perempuan miskin semakin sulit
mengakses keadilan, karena letak geografis, mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, bolak-baliknya perkara
yang sangat menyulitkan perempuan korban. Belum lagi tidak jelasnya status hukum dari perkawinannya
menyebabkan perempuan sulit bekerjasama dengan lembaga formal untuk mengakses kredit misalnya.
TUJUAN, DAN SIGNIFIKANSI KONFERENSI

Komnas Perempuan, Program Studi Kajian Gender Pps-UI dan Pusat Kajian Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada melihat kebutuhan mendesak perlunya melahirkan dan memastikan penguatan
jangka panjang pelembagaan ’pengetahuan dari perempuan’ khususnya terkait isu “Perempuan dan
Pemiskinan”. Suatu mekanisme nasional sebagai wadah untuk mengintegrasikan dan merefleksikan aktivitas
lapangan dalam bentuk pembelajaran untuk pengembangan pemikiran-pemikiran strategis baru dan

pengetahuan konseptual.
Yang dimaksud pengetahuan adalah pembelajaran, refleksi, penyimpulan inti sari pemahaman, dan peneluran
gagasan-gagasan baru dari pengalaman dan kerja lapangan dalam memperjuangkan dan memastikan keadilan
gender dan hak-hak perempuan sebagai bagian integral dari hak-hak asasi manusia. Pembangunan
pengetahuan dari kerja-kerja yang dilakukan perempuan dan laki-laki, yang didasari keyakinan mengenai
martabat dan hak-hak dasar yang telah dibawa sejak lahir oleh manusia, perempuan dan laki-laki, sebagai
prasyarat kebebasan, keadilan dan perdamaian dalam kehidupan.
Dalam membangun pengetahuan dari perempuan yang bertemakan perempuan dan pemiskinan ini, kerjasama
dan sinergi dari semua pihak, pemerintah, organ-organ negara lain, masyarakat umum, lembaga swadaya
masyarakat, serta perguruan tinggi menjadi penting. Dengan cara demikian, sinergi dari kerjasama semua
pihak terkait mulai dari gerakan akar rumput hingga ke berbagai kelompok berbeda di perguruan tinggi, pusat
penelitian dan berbagai lembaga lain yang bermandatkan pembangunan pengetahuan, sampai ke organ-organ
negara, seperti komisi nasional, pemerintah, serta badan legislatif dan yudikatif dapat melembaga; yang
kesemuanya menciptakan jalan-jalan baru strategi ke depan dalam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia
dan membangun martabat bangsa.
Terbangunnya pengetahuan yang berkelanjutan melalui dokumentasi dan diskusi berkelanjutan data lapangan
dan penyimpulan konseptualnya dapat memperluas dan memperkuat jaringan pengetahuan dari perempuan
dari berbagai pemangku kepentingan ; serta munculnya inisiatif-inisiatif baru kerjasama dan pelembagaan
pengetahuan melalui mekanisme-mekanisme lain yang menjadi tindak lanjut konferensi.
TEMA DAN KONTEKS BAHASAN

Untuk memudahkan pembelajaran dan berbagi pengetahuan secara maksimal, percakapan dalam konferensi
akan dibagi dalam kategori-kategori besar sebagai berikut, yang sekaligus mengintegrasikan aksi, refleksi dan
pengetahuan menjadi alur besar konferensi:
1.

Berbagi cerita dan/atau pembahasan pengalaman lapangan terkait “Perempuan dan Pemiskinan” serta
dari kerja pendampingan, advokasi dan berbagai bentuk pembelajaran lapangan lain (= PENGALAMAN
LAPANGAN)

2.

Kajian konseptual lintas disiplin mengenai “Perempuan dan Pemiskinan”, terkait pendasaran
filosofisnya, perenungan konseptual dari pengalaman lapangan, tinjauan dari berbagai disiplin dan
konsep berbeda; termasuk di dalamnya kajian terhadap berbagai produk perundangan yang telah
disahkan, dan atau rancangan peraturan (= KAJIAN KONSEPTUAL)

3.

Diskusi mengenai rekomendasi dan pemikiran-pemikiran alternatif terkait “Perempuan dan
Pemiskinan” untuk memastikan penyimpulan konseptual dalam pemikiran-pemikiran pembaruan hukum

yang bermuara pada perlindungan perempuan dan penghormatan akan martabat dan hak-hak asasi
perempuan (= PEMIKIRAN ALTERNATIF)

Tema-tema khusus yang dapat dikembangkan berkaitan dengan perempuan dan pemiskinan adalah:
1.

Relasi Gender dan Konflik Sumberdaya Alam

Berbagai bentuk pemiskinan perempuan dalam relasi kuasa dengan pihak laki-laki dan penguasa, terkait
pengelolaan dan kepemilikan sumberdaya alam, juga terkait perusakan lingkungan dan ekosistem. Dapat
masuk di sini situasi di perkebunan sawit, pertambangan, perkebunan, petani, nelayan, komunitas miskin kota,
masyarakat adat dan lain sebagainya.
2. Migrasi dan Perdagangan Manusia (Trafficking)
Masuk di sini isu perempuan pekerja migran, pekerja rumahtangga; perempuan dan relasi gender dalam
bencana alam dan konflik yang menyebabkan migrasi, perubahan situasi keluarga akibat migrasi perempuan
dan laki-laki, serta berbagai kerentanan perempuan sebagai korban trafiking.
3. Perempuan berhadapan dengan Hukum;

Masuk di sini perempuan korban kekerasan berbasis gender, yang dapat mengalami pemiskinan dan
kriminalisasi akibat hukum dan kebijakan yang bias maskulin dan moralistik, juga berbagai persoalan lain

terkait hukum, seperti perempuan dalam tahanan, perempuan pengguna napza,
4. Industrialisasi dan Buruh;
Masuk di sini berbagai isu industrialisasi dan perburuhan, menyangkut persoalan yang dihadapi perempuan
buruh, relasi gender dengan laki-laki dan penguasa, berbagai kebijakan dan praktik industrialisasi yang
merentankan perempuan pada umumnya dan masyarakat kelas bawah pada umumnya.
5. Seksualitas dan Pemiskinan;
Dalam seksualitas dan pemiskinan ada persoalan pemaknaan akan tubuh dan seksualitas, yang berdampak
pada pemiskinan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Mitos dan stigmatisasi berperan kuat untuk
makin meminggirkan bahkan mengkriminalisasi kelompok yang telah rentan. Misalnya perempuan, kelompok
seksual minoritas, pekerja seks, orang dengan HIV/AIDS dan lain sebagainya.
6. Paradigma Kajian dan Perumusan Kebijakan Publik.
Masuk di sini diskusi mengenai paradigma membangun pengetahuan, pendekatan penelitian, penyusunan
indikator, serta perumusan dan praktik kebijakan publik yang akhirnya berimplikasi pada penguatan ekonomi
ataupun pemiskinan perempuan.

-DAFTAR PESERTA YANG LOLOS SELEKSI UNTUK MENJADI PANELIS
No

Pemakalah


Asal Organisasi

Judul

Kategori

Asal Wilayah

1

Laila Mustikaningrum

Asosiasi Pemerhati Kajian
Gender (Aspekage) Kaltim

Pemiskinan Perempuan di dalam
Industri Pertambangan Batubara
(Studi Kasus Kota SamarindaKaltim)

1


Samarinda,
Kalimantan Timur

2

Siti Maimunah

1

Jakarta, DKI Jakarta

3

Irmawati Daeng So’na

TIME Institute

Pertambangan Pasir mengusik
petani dan peternak Desa

1

Takalar, Sulawesi
Selatan

Joko Mariyono

Fakultas Ekonomi,
Universitas Pancasakti –
Tegal

Diskriminasi Jender di Sektor
Pertanian Pedesaan: Kasus
Masyarakat Petani Sayuran di
Jawa dan Bali

1

Tegal, Jawa Tengah

4

Penghancuran Ibu Bumi,
Jaringan Advokasi Tambang
Pemiskinan & Gerakan Perempuan
(JATAM)
Melawan Kolonialisme Baru

5

Sri Wiyanti Eddyono

6

Christina Josefien
Hutubessy

7

Khalisah Khalid

8

Mida Saragih

Kandidat PhD pada The
School of Political and
Social Inquiry, Faculty of
Art, Monash University.

Kebijakan Penanggulangan
Kemiskinan dan Pemiggiran
Perempuan Miskin di Perkotaan

1

Jakarta dan
Makassar

Perempuan Pomalaa dalam
Pertambangan yang Menindas

1

Kabupaten Kolaka,
Sulawesi Tenggara

WALHI

Perempuan dan Sumber Daya
Alam, Dimana Negara? Dan
kumpulan puisi SYA V dan SYA 6

1

Jakarta, DKI Jakarta

KIARA

Relasi Gender dan Konflik
Sumberdaya Alam, dan judul
tentang “Pentingnya
Kepemimpinan Perempuan
Nelayan.”

1

Jakarta, DKI jakarta

Pengalaman Pendampingan
Dampak Perusahaan Tambang
Marmer Terhadap Pemiskinan
Perempuan

1

Makassar, Sulsel

9

Hijrah Lahaling

10

Muntaza Erwas

Sajogjo Institute

Perampasan Tanah Global sebagai
Jalan Pemiskinan Perempuan adat
Malind: Konteks MIFEE

1

Bogor, Jawa Barat

11

Eva Bande

WHRD Banggai

Refleksi PENGORGANISASIAN
rakyat di arena konflik agraria

1

Sulawesi Tengah

12

Tati Krisnawaty

1

Karawang

Melawan Kemiskinan Pedesaan
Aktifis HAM dan Perempuan Bersama Anak-Anak Petani Dan
Anak-Anak Buruh Migran

13

14

Dr.Argyo Demartoto,
M.Si

Paulus Rudolf Yuniarto,
M.Si

Jurusan Sosiologi Fakultas
Perjuangan TKW di Luar Negeri :
Ilmu Sosial dan Ilmu
Merajut Asa dengan Bayangan
Politik. Universitas Sebelas
Perangkap Perdagangan Manusia
Maret

2

Solo, Jawa Tengah

BURUH MIGRAN PEREMPUAN DI
RUMAH TANGGA DAN KOMUNITAS:
Antara Pengelolaan Remitansi,
Siasat Bertahan, dan Usaha
Ketengan

2

Jakarta, DKI Jakarta

Upaya Pengentasan Kemiskinan Di
Departemen Antropologi
Kalangan Purna Buruh Migran
FISIP Universitas Airlangga Perempuan di Kecamatan Bantur
Surabaya
dan Dampit Kabupaten Malang
Jawa Timur

2

Surabaya, Jawa
Timur

PUSLIT SUMBERDAYA
REGIONAL – LIPI

15

Sri Endah Kinasih,
S.Sos.,M.Si

16

Adriana Rahajeng,
S.Hum

Kajian Gender, Program
Pascasarjana UI

Pemiskinan Dan Peminggiran
Perempuan Koban Perdagangan
Manusia

2

17

Husnawati

SP

Pengalaman Perempuan Sebagai
Pekerja Migran Asal Kab Konawe,
Prov Sultengg

2

Kendari, Sulawesi
Tenggara

18

RR. Nurul Saadah
Andriani

SAPDA Jogjakarta (Sentra
Advokasi Perempuan,
Difabel dan Anak)

Perempuan Penyandang
Disabilitas Berhadapan Dengan
Hukum (Kekerasan Terhadap
Perempuan Penyandang
Disabilitas)

3

Yogyakarta

19

Eva Bande

WHRD Banggai

Hukum tidak untuk keadilan
(catatan dari penjara)

3

Sulawesi Tengah

20

Sri Nurherwati

Komnas Perempuan

Pentingnya Perubahan :
Sistem Hukum Memiskinkan
Perempuan Korban Kekerasan
Yang Berhadapan dengan hukum

3

Jakarta, DKI Jakarta

3

Jakarta, DKI Jakarta

21

Iva Kasuma

Pusat Kajian Wanita dan
Jender Universitas
Indonesia

Kajian terhadap Akses Perempuan
yang Menikah Siri kepada Hukum
dan Keadilan (Studi Kasus
Perempuan yang Menikah Siri di
Kampung Rawa Badung Kelurahan
Jatinegara Jakarta Timur)

22

Otto Gusti Madung

TRUK-F dan STF Katolik
Ledalero, Maumere

PEREMPUAN DI HADAPAN HUKUM
ADAT BELIS (Sebuah Catatan dari
Sikka-Flores)

3

Maumere, Nusa
Tenggara Timur

23

Ni Nengah Budawati

LBH APIK Bali

Pemiskinan Perempuan Saat
Haknya Diabaikan, Bagaimana
Hukum Adatnya

3

Denpasar, Bali

4

Ciamis, Jawa Barat

24

Edwin Hadiyan

25

Haryo Ksatrio Utomo

26

Triana Sofiani, SH.MH

Problematika dan Permasalahan
Institut Agama Islam Latifah
Yang Terjadi Pada Buruh
Mubarokiyah Pondok
Perempuan (Analisis Ketimpangan
Pesantren Suryalaya,
dan Ketidakadilan Gender Pada
Ciamis
Perusahaan)

Magister Ilmu Politik FISIP
UI

Economic Exploitation dan
Feminisme kemiskinan: Studi
Kasus Industri Rokok

4

Jakarta, DKI Jakarta

STAIN Pekalongan

SANGGAN DAN MARGINALISASI
BURUH BATIK PEREMPUAN (Potret
Peminggiran Terhadap Buruh Batik
Perempuan Berbasis Putting Out
System Di Gamer Kota
Pekalongan)

4

Pekalongan, Jawa
Tengah

Yeni Afrida

Industrialisasi Bordir dan
Pemiskinan Perempuan Pedesaan
di kec Canduang Kab Agam
Sumbar

4

Sumbar

28

Desintha Dwi

Staf Pengajar Jurusan
Sosiologi UGM

Perempuan Buruh, Kemiskinan
dan Artikulasi Tubuh: Studi
tentang Pengalaman Perempuan
Buruh dalam Memahami dan
menjalankan idealisasi ASI
Eksklusif

4

Jogjakarta

29

Susi Ratna Sari, S.Pd.I

Visi Press Lembaga Kajian
Sosial dan Keislaman

Jadi ”Babu” di Perantauan Nasib
Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang
Tidak Berubah dari Kemiskinan

4

Sumatera Barat

30

Daniel S Stephanus

LPPM Universitas Ma Chung Selayang Pandang Wanita Pekerja
Malang
Rumahan

4

Malang, Jawa Timur

31

Kartika Manurung

Pemiskinan Perempuan di
Perkebunan; sebuah Grand Design
Penghisapan

4

Sumatera Utara

PENEGAKAN HAK PEREMPUAN
DAN TRANSGENDER Ditengah
Kemiskinan, Sanksi Sosial, Hukum,
Global Inklusi untuk
Ancaman Hilangnya Hak Bekerja
Perlindungan AIDS (GIPA)
dan Bahaya HIV (Inisiatif
Penguataan Otonomi ODHA dan
Yang Rentan HIV)

5

Makassar, Sulawesi
Selatan

Wajah Pemiskinan Pada Kelompok
Waria

5

Jakarta, DKI Jakarta

27

32

Nur Aini Gee Gee
Siemen La Husein,
Herzanti, Melani
Khaterina, Harisah

33

Jen Kattleya

Perempuan Mahardhika

Ourvoice – Jakarta

34

Henni Indarriyanti

ThePost Institute

PENGARUH PERDA NO 15 TAHUN
2008 TENTANG PELARANGAN
PROSTITUSI DAN PENANGANAN
WANITA TUNA SUSILA DAN PRIA
TUNA SUSILA TEHADAP WARGA
LOKALISASI DI KABUPATEN BLITAR
( STUDY KASUS DI 3 LOKALISASI
KABUPATEN BLITAR)

35

Nining Muktamar

Yayasan KAKAK Surakarta

BEASISWA SEBAGAI PROSES
PENGUATAN EKONOMI UNTUK
ANAK YANG DILACURKAN

5

Surakarta, Jawa
Tengah

36

Noor Rohman

Universitas Gajah Mada
(Mahasiswa S2 Politik dan
Pemerintahan)

PROSTITUSI DAN HAK ASASI
PEREMPUAN

5

Yogyakarta

37

Syamsinar Alwy

MENATA KEKUATAN HUKUM DAN
HAK PERLINDUNGAN PEREMPUAN

5

DKI Jakarta

MITOS SIAL DAN MALU DALAM
PRAKTIK BUDAYA MERARIK:
Hilangnya Otoritas Perempuan
dalam Menentukan Pasangan
Hidup

5

Jakarta, DKI Jakarta

38

39

40

Iklilah Muzayyanah dan Program Studi KajianGender
Dini Fajriyah
UI

5

Blitar, Jawa Timur

Hajar

SP Anging Mammiri
Makassar

PENGALAMAN KU BERSAMA
PEREMPUAN-PEREMPUAN DESA
PADANG

5

Makassar, Sulawesi
Selatan

Iva Hasanah

Perkumpulan KPS2K
(Kelompok Perempuan dan
Sumber-sumber Kehidupan)
Jawa Timur

Second Chance Program dan
Pekerja seks komersial

5

Sidoarjo, Jawa
Timur

41

Dr. Rosmala Nur, M.Si

Univ. Muhammadiyah Palu

Uang Perkawinan, Seksualitas
Tubuh dan Kekerasan Terhadap
Perempuan Hamil

5

Palu, Sulawesi
Tengah

6

Solo, Jateng

42

Sri Marwanti

Universitas Sebelas Maret
Solo

Penguatan Kapasitas Perempuan
Miskin Melalui Pengembangan
Kewirausahaan Keluarga Menuju
Ekonomi Kreatif Di Kabupaten
Karanganyar

43

Riwanto Tirtosudarmo

Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI)

Pembangunan vs HAM:
Implikasinya bagi Perempuan
Indonesia

6

Jakarta, DKI Jakarta

LRC-KJHAM

Terbatasnya Hak dan Sumber
Daya Perburuk Pemiskinan
Perempuan Pedesaan di Jawa
Tengah (Diolah dari Pelaksanaan
FPAR dan WRIA di Kabupaten
Grobogan, Semarang, Kendal, dan
Kota Semarang, Jawa Tengah)

6

Semarang, Jawa
Tengah

44

Nur Laila Hafidhoh

45

Umi Lasminah

wartafeminis.wordpress.co Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal:
m
Mengatasi Pemiskinan Perempuan

6

Jakarta, DKI Jakarta

46

Yuliana

PERAN PEREMPUAN PENGUSAHA
MIKRO DALAM MEMPERJUANGKAN
Yayasan Satu Karsa Karya
HAK EKONOMI-NYA DI
(YSKK)
KECAMATAN NGAWEN KABUPATEN
GUNUNGKIDUL

6

Solo, Jateng

47

Yustina Fendrita

Yayasan Lambu Ina
Sulawesi Tenggara

Perempuan Muna dan Kemiskinan

6

Muna, Sulawesi
Tenggara

48

Dewi Rana Amir

Kajian Gender, Program
Pascasarjana UI

Ketika Sistem Pembangunan
“berselingkuh” dengan sistem
Patriarkhi: Dimana Perempuan?

6

Nuning Suryatiningsih

Ciqal Jogyakarta

HASIL TEMUAN LAPANGAN:
Perempuan Disabilitas dan
kemiskinan di DIY

6

Jogjakarta

50

Dyah Ningrum
Roosmawati

PPRBM (Pusat
Pengembangan dan
Pelatihan Rehabilitasi
Bersumberdaya
Masyarakat), Solo

Pemiskinan Difabel

6

Solo, Jawa Tengah

51

Risnawati Utami

Konas Difabel

relasi antara Disability, Gender
dan Kemiskinan

6

Jogjakarta

Savy Amira dan Fakultas
Psikologi Universitas
Surabaya

Mencegah Pemiskinan Berlanjut:
Penguatan Peran Pencegahan Dini
Kekerasan terhadap Perempuan
dari Petugas Kesehatan
Puskesmas – sebuah Pemikiran
Untuk Kebijakan Layanan
Kesehatan Primer

6

Surabaya, Jawa
Timur

49

52

N.K. Endah Triwijati

http://ferdhiputra.blogspot.com/2008/04/pemiskinan-perempuanindonesia_18.html (Sitasi, 9 sept 2013)

J U M A T, 1 8 A P R I L 2 0 0 8

PEMISKINAN PEREMPUAN INDONESIA

Kemiskinan Untuk Perempuan
Kemiskinan di seluruh dunia sudah menjadi hal yang biasa dan sulit diatasi. Walaupun ada beberapa
usaha dari lembaga-lembaga seluruh dunia untuk memberantas kemiskinan. Di beberapa negara di
Afrika, kemiskinan sudah menjadi “budaya” hidup mereka. Dengan berbagai kesulitan memenuhi
kebutuhan hidup, mereka seolah sudah akrab dengan gaya hidup miskin. Di negara kita, Indonesia,
kemiskinan juga sudah mulai mengakar di masyarakat. Terlebih lagi semenjak terjadi krisis ekonomi
pasca-Orde Baru. Kemiskinan meningkat tajam, jumlah pengangguran juga meningkat dengan pesat.
Hutang luar negri yang melilit Indonesia membuat negara ini semakin bergantung dan terjebak
persyaratan yang membuat Indonesia semakin terpuruk.
Di Indonesia, saat ini hidup semakin sulit, harga bahan kebutuhan pokok semakin tak terjangkau.
Bahan bakar minyak sudah menjadi barang langka—minyak tanah. Dengan program pemerintah
mengkonversi energi dari minyak ke gas, semakin meminimalisasi jatah minyak bagi rakyat miskin.
Lahan pekerjaan yang semakin sulit, membuat lulusan sekolah mengengah atas ataupun perguruan
tinggi menjdai manusia yang tidak produktif. Padahal usia lulus sekolah adalah usia yang paling
produktif, dengan semangat dan tenaga mereka yang masih fresh. Pemerintah yang selama ini
kurang bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan masyarakat, masih belum bisa bekerja dengan
maksimal. Walaupun beberapa program sudah dilaksanakan untuk mengatasi semua masalah
tersebut, tapi masih saja belum menemui titik terang.
Populasi manusia di seluruh Indonesia, lebih banyak perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Angka kemiskinan di Indoneisa pun sebagian besar didominasi oleh perempuan. Mengapa demikian?
itu dapat dilihat dari banyaknya perempuan yang hidup dibawah garis kemiskinan. Banyak dari
pekerja perempuan yang bisa dibilang hanya bekerja untuk bertahan hidup, tapi pekerjaan tersebut
tidak bisa untuk membuat mereka hidup sejahtera. Itu semua tidak terlepas dari kultur yang mengakar

di Indonesia.
Patriarki, menempatkan perempuan menjadi manusia kelas dua atau sub-human. Budaya ini
membuat termarjinalkannya perempuan dari kehidupan normatif. Perempuan hanya berkutat di dapur,
memasak, mencuci, perempuan hanya tinggal dirumah, perempuan hanya mengurus anak, stigmastigma seperti inlah yang menyebabkan perempuan sulit mengembangkan diri. Adapun pekerjaan
publik yang diberikan kepada perempuan adalah posisi-posisi marjinal atau yang tidak begitu vital.
Banyak orang yang menganggap bahwa itu merupakan kodrat perempuan yang diberikan Tuhan.
Tapi paradigma yang seperti ini adalah salah besar. Sebenarnya itu merupakan hasil konstruksi
sosial-kultural yang terbentuk dari jaman dahulu, yang menganggap bahwa laki-laki berada di atas
perempuan. Dan tugas laki-laki bukanlah mengurus anak dan menjaga rumah. Padahal, kaum
perempuan, jika suaminya mengalami kesulitan dalam mencari nafkah, ia akan membantu sang
suami mencari nafkah untuk keluarganya. Tapi disatu sisi ia pun tidak bisa terlepas dari pekerjaan
rumahnya, yang merupakan pekerjaan hasil konstruksi sosial tadi—mengurus rumah, mengurus
anak, memasak dan lain sebagainya. Dengan kata lain ia melaksanakan fungsi ganda dalam sebuah
keluarga. Bukankah itu hebat? Ia bahkan bisa melaksanakan dua fungsi sekaligus dalam satu waktu.
Setelah mencari nafkah ia harus membereskan rumah, melayani suami dan anaknya. Lalu
bagaimana dengan sang suami? Sehabis pulang bekerja ia hanya bersantai dan meminta dilayani
oleh istrinya. Jadi apakah layak, jika dengan kondisi sosial yang seperti itu, perempuan masih
dianggap sebagai manusia kelas dua?

Marjinalisasi Perempuan di Tengah Derasnya Krisis Ekonomi
Pekerja usia produktif di Indonesia lebih banyak didominasi kaum hawa. Tenaga kerja Indonesia yang
bekerja di luar negri lebih banyak perempuan. Buruh pabrik yang tersebar di seluruh Indonesia juga
lebih banyak perempuan. Ini mengisyaratkan betapa kesulitannya perempuan dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi mereka, dengan kata lain mereka telah terhimpit dalam kemiskinan. Banyak dari
mereka yang menjadikan luar negri sebagai tujuan bekerja dengan harapan mendapatkan upah yang
lebih besar. Tapi apa yang mereka dapat? Penganiayaan atau bahkan kematianlah yang mereka
dapat. Seperti banyak kasus kematian dan penganiayaan yang terjadi di Malaysia dan Arab Saudi.
Mereka merupakan salah satu penghasil devisa terbesar bagi negara ini, namun ksejahteraan
mereka tidak pernah terjamin. Dianiaya dinegri orang dan ditodong di negri sendiri. Itulah potret
kehidupan para tenaga kerja wanita di Indonesia. Setelah mereka pulang bekerja dari luar negri,
mereka malah ditodong dengan pungutan-pungutan liar, dan bahkan sampai pada penipuan yang
menyebabkan mereka kehilangan uang hasil jerih payah selama bertahun-tahun.
Pepatah yang mengatakan “lebih baik hujan batu di negri sendiri daripada hujan emas di negri orang”
sepertinya sudah tidak berlaku lagi. Dimanapun mereka berada—para tenaga kerja wanita—selalu
menemui “hujan batu”. Kesengsaraan sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Di dalam negri, para

buruh pabrik yang juga didominasi oleh perempuan mengalami nasib yang sama. Upah yang kecil
sedangkan tenaga yang porsir sebegitu besarnya, merupakan ketimpangan dan ketidakadilan yang
terjadi. Para buruh selalu menuntut kesejahteraan dari perusahaan dan pemerintah, namun tidak
pernah terwujud. Peran pemerintah yang seharusnya dapat menjadi penengah yang adil antara
perusahaan dengan para buruh, tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Regulasi yang
dibuat pemerintah selalu berpihak kepada perusahaan, sedangkan para buruh semakin dikebiri. Dan
iu semua lebih banyak menimpa para perempuan.
Itu semua jika kita lihat dari pekerjaan yang dianggap layak. Lalu bagaimana pekerjaan yag dianggap
tidak layak yang dilakoni para permpuan? Dalam pekerjaan yang dianggap layak pun mereka masih
mendapatkan kesulitan, apalagi pekerjaan yang dianggap tidak layak. Banyak dari perempuan yang
terhimpit masalah ekonomi mencari jalan pintas. Banyak dari mereka yang menjalankan profesi yang
melanggar nilai dan norma, seperti menjadi PSK atau pekerja seks komersil. Pada dasarnya mereka
tidak mau melakukan profesi tercela tersebut, karena resiko terkena penyakit yang mematikan asngat
besar. Tapi karena desakan ekonomi yang semakin hebat, mau tidak mau mereka melakoni
pekerjaan itu hanya untuk bertahan hidup.

Perempuan dan Pendapatan Asli Daerah
Kemudian terkait dengan pendapatan asli daerah (PAD), perempuan merupakan penyumbang
terbesar dalam pendapatan asli daerah. Mengapa perempuan? Karena pendapatan daerah lebih
banyak datang dari retribusi pelayanan kesehatan, pajak penerangan jalan, retribusi pelayanan pasar
dan berbagai sektor pajak yang ternyata banyak dibayarkan oleh orang miskin dan sebagian besar
mereka adaah perempuan. Retribusi pelayanan kesehatan, dibayarkan oleh orang-orang sakit yang
meminta pelayanan kesehatan dari puskesmas maupun RSUD . Dan orang-orang yang
memanfaatkan fasilitas tersebut kebanyakan manula, ibu hamil dan balita sakit yang berasal dari
keluarga miskin . Kemudian pajak penerangan jalan, pajak ini diambil dari para pelanggan PLN setiap
bulannya, dan data yang cukup mencengangkan adalah tarif yang dibayarkan masyarakat umum
lebih besar dibandingkan dengan industri. Tarif yang harus dibayarkan masyarakat berkisar antara
8% - 10%, sedangkan yang harus dibayarkan industri adalah sebesar 4 %. Lalu ada lagi retribusi
pelayanan pasar, dimana setiap pedagang di pasar akan dikenakan pajak ini, yang sebagian
besarnya adalah pedagang kecil dan mereka adalah perempuan . Lihatlah jika kita berkunjung ke
pasar-pasar tradisional, siapakah yang berdagang disana? Lebih banyak perempuan.
Tapi dari sumbangan itu apa yang mereka dapat? Mereka tidak mendapatkan apa-apa. Habis manis
sepah dibuang, setelah memberikan sumbangan yang besar, tidak banyak dana yang dialokasikan
bagi mereka. Lihat tabel dibawah yang akan mengungkap betapa besarnya peran perempuan dalam
pendapatan asli daerah.

Daerah Tahun Pos PAD Terbesar Jumlah
Retribusi Pelayanan Kesehatan Rp 10,3 M
Bantul 2004 Retribusi Penerangan Jalan Rp 6,1 M
Retribusi Tempat Rekreasi Rp 2,71 M
Pajak Hotel Rp 15 M
Kota Yogya 2004 Pajak Penerangan Jalan Rp 12,7 M
Retribusi Pelayanan Kesehatan Rp 5,14 M
Retribusi Pelayanan Kesehatan Rp 5,43 M
Gunung Kidul 2003 Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah Rp 2,74 M
Pajak Penerangan Jalan Rp 1, 383 M
Pajak Penerangan Jalan Rp 4,5 M
Kebumen 2003 Retribusi Pelayanan Kesehatan Rp 3,5 M
Pajak Pelayanan Pasar Rp 1,210 M
Sumber : Diolah dari Perda APBD Berbagai Daerah .

Dari data diatas ditemukan bahwa PAD yang diterima provinsi Yogyakarta berasal dari pajak yang
lebih banyak di bayarkan oleh orang miskin, dan banyak dari mereka adalah perempuan. Terlihat
retribusi pelayanan kesehatan tidak pernah absen mengisi tabel pendapatan asli daerah. Seperti
yang dijelaskan sebelumnya bahwa pelayanan kesehatan lebih banyak dimanfaatkan oleh manula,
ibu hamil dan balita. Dengan kata lain, peran perempuan dalam pendapatan asli daerah sangatlah
signifikan, sehingga seharusnya tidak boleh diabaikan. Kemudian retribusi pelayanan pasar yang
banyak disumbangkan pedagang kecil dan sebagaian besar perempuan. Data ini sudah mewakili
realita yang terjadi saat ini. Perempuan yang menjadi pemasok terbesar APBN maupun APBD malah
sering dilupakan. Bayangkan jika tidak ada mereka, darimana pemerintah mendapatkan dana untuk
APBN dan APBD?

Kesimpulan
Perempuan merupakan makhluk yang penting dalam kehidpan bermasyarakat. Tapi mengapa
seringkali perempuan terabaikan dan dilupakan? Dari yang sudah disebutkan diatas, terlihat betapa
besarnya peran perempuan bagi keluarga, masyarakat dan negara. Mungkin karena budaya yang
mengekang merekalah—patriarki—yang harus di dekonstruksi. Dimana perempuan dianggap sebagai
sub-human dan posisi mereka harus berada dibawah laki-laki. Saat ini pun dalam bidang politik, mulai
digencarkan isu peranan perempuan. Perempuan mendapatkan kuota sebesar 30 % di parlemen,
padahal seharusnya mereka bisa mendapatkan lebih dari itu.
Perempuan dan laki-laki hanya berbeda secara fisik. Memang sex mempunyai pengaruh dalam
pembentukan kecerdasan, kepribadian, kemampuan fisik dan lain sebagainya, namun pada dasarnya

perempuan dan laki-laki mempunyai derajat yang sama. Dalam kasus Indonesia, budaya mempunyai
peran yang sangat besar dalam pembentukan pola pikir gender. Masyarakat mempunyai paradigma
seperti itu karena sejak kecil telah ditanamkan oleh orang tuanya bahwa “perempuan tempatnya
didapur”, dan itu terjadi secara turun-temurun. Padahal secara natural dan menurut hukum alam,
semua manusia adalah sama, baik laki-laki dan perempuan. Dan genderisasi merupakan konstruksi
sosial-kultural yang dibentuk oleh masyarakat sendiri, dan bukan merupakan takdir. Tapi dengan
maraknya semangat kesetaraan gender yang digemakan diseluruh dunia, diharapkan akan mengikis
stigma-stigma yang mendiskreditkan perempuan.
D I P O S KA N O L E H F E R D H I P U T RA D I 1 4 . 2 9
LABEL: FEMINISME

http://rakyatmiskin.wordpress.com/2008/03/04/pemiskinan-perempuan-danjaringan-sosial/ (Sitasi, 10 Pebruari 2104)

Pemiskinan Perempuan dan Jaringan Sosial

Oleh Titik Hartini*
Pengantar
Di berbagai wilayah, dapat diperoleh kondisi miskin menurut masyarakat sendiri, yaitu antara
lain dalam perspektif yang wajar, miskin adalah mereka yang secara ekonomis dan politik
menderita kekurangan dan tidak dimilikinya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
material secara layak, kegagalan untuk mencapai tingkat “kelayakan minimum tertentu”.
Karena dipahami sebagai kegagalan mencapai tingkat kelayakan minimum dari standart
masyarakat umumnya, yang dapat diartikan bahwa kemiskinan yang mereka alami adalah
dalam kondisi ekonomi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan akan sandang, pangan serta
biaya lainnya, termasuk biaya sekolah bagi anak mereka yang terkadang harus mereka cari
dengan berhutang ataupun menjual barang berharga yang mereka miliki. Sebab kenyataannya

mereka tidak memiliki penghasilan tetap karena di PHK ataupun karena usaha mereka miliki
menjadi gulug tikar akibat krisis ekonomi.
Salah satu aktor yang senantiasa ada dalam kantong kemiskinan dan jumlahnya selalu
bertambah adalah perempuan. Fenomena lebih miskinnya perempuan disebanding laki-laki
dalam kelompok miskin bukanlah suatu hal yang baru. Sehingga kenaikan persantase
kemiskinan senantiasa berkorelasi dengan kenaikan persantase perempuan miskin (Nelson,
1986). Dengan kata lain telah terjadi feminisasi kemiskinan dimana kemiskinan perempuan
merupakan penyumbang terbesar pada peningkatan kemiskinan.
Belitan kemiskinan menyebabkan perempuan menanggung beban yang lebih berat dibanding
laki-laki. Menghadapi beban kemiskinan tersebut perempuan mengembangkan strategi untuk
mereka bertahan, dan bahkan melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Penelitian Akatiga
menunjukkan bahwa pembagian peran dan posisi dalam rumah tangga – yang juga meluas ke
komunitas – melahirkan strategi dan peluang untuk memperbaiki kondisi perempuan
(Akatiga, 2001).
Tulisan ini akan menjelaskan beberapa isu yang secara spesifik berkaitan dengan masyarakat
miskin kota hubungannya dengan persoalan gender dan strategi mereka bertahan hidup
melalui lingkungan sosialnya.
Memahami Hubungan Perempuan Miskin dan Jaringan Sosial
Dalam analisanya, saya akan menggunakan feminist Political Ecology, ada 4 dimensi
pendekatan yang mempengaruhi adalah:
1. Analisa yang memikirkan sumbangan lingkungan sosial (kelompok sosial, nilai-nilai dan
organisasi) dan tingkat ketergantungannya.
2. Perbedaan jenis lingkungan sosial mungkin akan berpengaruh secara signifikan pada hasil
yang berhubungan dengan masa depan mereka.
3. Isu Gender dengan melihat bagaimana peran perempuan, hambatan yang dihadapi
perempuan dan juga kepentingan perempuan.
4. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya baik melalui institusi formal maupun informal
Intitusi Formal dan Informal.
Pemiskinan
Kemiskinan pada kenyataannya sering dipahami lebih dilihat dari sudut ekonomi semata.
Batasan Definisi kemiskinan yang dibanyak dipakai adalah suatu kondisi dimana orang tidak
memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan dibawah batasan nominal tertentu. Tingkat
kemiskinan dinilai atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang telah
didefinisikan sebelumnya seperti: kondisi fisik dari bangunan atau lingkungan pemukiman.
Kebijakan Pembangunan di Indonesia telah melahirkan dampak yang telah melahirkan
keterbelakangan dan kemiskinan struktural. Keterbelakangan dan kemiskinan dalam
perspektif wilayah terjadi di perkotaan dan di pedesaan. Akan tetapi pada wilayah perkotaan
ditengarahi dengan “korban”dari pembangunan yang lebih berat ketimbang wilayah
pedesaan. Bahkan ada kesan kuat yang menunjukkan kota sebagai realitas yang penuh
dengan konflik dan pergulatan yang bisa dikatakan sangat kasar bila dibandingkan dengan
dinamika konflik di pedesaan. Dinamika pergulatan konflik yang mewarnai perkotaan
menunjukan kecenderungan “negatif”, mulai dari konflik pertanahan akibat penggusuran,
penyelesaian konflik dalam bentuk kekerasan dan kriminalitas sebagai cirri keseharian serta
banyak lagi, dan bentuk-bentuk lainnya.
“Gambaran itu menunjukkan warna kemiskinan di wilayah kota. Secara definitif makna
kemiskinan adalah tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia. Setidaknya ada lima persoalan

yang berkaitan dengan persoalan tidak tercukupinya kebutuhan mendasar asasi: Pertama,
pemenuhan kebutuhan subsistensi menyangkut tidak hanya berhubungan dengan pangan tapi
juga sandang dan papan. Kedua, pemenuhan kebutuhan afeksi, sebuah kebutuhan yang
berhubungan dengan emosi, mulai dari rasa aman, rasa damai sampai pada rasa kasih sayang.
Ketiga, persoalan identitas juga menjadi hal yang fundamental, karena persoalan pengakuan
sebagai warga kota menjadi kebutuhan orang-orang yang mengadu nasib di kota. Keempat,
kebutuhan proteksi akan hak-hanya, disamping juga memiliki kebebasan untuk melakukan
kreasi. Kelima, kebutuhan ruang untuk berpartisipasi dalam politik, guna memperjuangkan
dan mempertahankan hak-haknya” (Kikis, 2000).
Pemiskinan Perempuan
Penguasaan asset perempuan di satu sisi sangat terbatas, tetapi sisi lain sarat dengan beban,
diuangkan oleh Dankelman dan Davidson (1993) menunjukkan bahwa “meskipun perempuan
merupakan setengah populasi dunia, dan sepertiga dari tenaga kerja resmi,mereka hanya
menerima satu persen dari pendapatan dunia serta memiliki kurang dari satu persen kekayaan
dunia.”
Sementara itu Tjokrowinoto (1996) mencatat bahwa “perempuan memberikan 66% dari jam
kerjanya, akan tetapi hanya mendapatkan 10% dari upahnya, perempuan bertanggungjawab
atas 50% produksi pangan dunia, akan tetapi hanya menguasai 1% dari barang-barang
material yang ada. Hasil dan kinerja mereka, yang kerap jauh lebih lama dari jam kerja lakilaki, baik yang bersifat produksi maupun reproduksi tidak dinilai sebagai “kerja”
sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki”.
Menurut teori feminis, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan hubungan-hubungan
sosial dalam kerja tersebut, dibentuk berdasarkan gagasan-gagasan jender dalam masyarakat
dan sejak industrialisasi abad pertengahan, keluarga mempunyai peran penting dalam
produksi, oleh karena itu kerja perempuan harus dilihat dalam konteks ekonomi keluarga.
Sedangkan ‘pendapatan keluarga’. menurut Liza hadis dan Umi Lasmina (1999) dikatakan
bahwa:
“Pemasukan laki-laki, dibayarkan atas asumsi bahwa hanya laki-laki yang menjadi
penyokong ekonomi yang paling besar di dalam keluarga. Menurut Heidi Hartman
pendapatan keluarga adalah dasar kelahiran pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin,
karena dilandasi pemikiran bahwa perempuan tidak diharapkan untuk menghasilkan
kontribusi ekonomi bagi rumah tangga, dan bahwa prioritas kerja perempuan adalah pada
tanggung jawab domestik. Pada kenyataannya sedikit keluarga yang menyerupai mitos
tersebut”.
Dari uraian diatas menunjukkan bahwa karena pembagian kerja berdasarkan gender dan
hubungan-hubungan sosial dalam kerja tersebut telah terjadi proses pemiskinan pada
perempuan baik ditingkat dunia maupun di tingkat keluarga.
Peran Perempuan dalam Rumah Tangga Miskin
Temuan lapangan dari berbagai penelitian menunjukan bahwa dalam keluarga
miskin,kontribusi perempuan sangat signifikan Rangkaian penelitian dampak krisis yang
dilakukan Akatiga menemukan bahwa: (1) Perempuan sebagai pengelola keuangan rumah
tangga, (2) Penanggung jawab seluruh pekerjaan domestik, (3) sebagai pencari nafkah dalam
keluarga. (4) Sebagai salah satu simpul jaringan sosial (Akatiga, 2002).
Perempuan sebagai pengelola keuangan keluarga adalah hal yang biasa dalam masyarakat
kita, akan tetapi ada berbagai bentuk pengelolaan keluarga yang memberi ari berbeda pada
posisi mereka. Pada umumnya perempuan memang sebagai pengumpul pendapat keluarga,

dan pengeluaran uang tetapi ternyata perempuan seringkali tidak terlibat dalam pengambilan
keputusan dalam penganggaran. Sehingga, perempuan lebih diposisikan sebagai kasir dengan
otoritas pengambilan keputusan yang sangat kecil (Akatiga, 2000a).
Sebagai pengurus rumah tangga, perempuan bertanggung jawab atas semua urusan rumah
tangga. Mulai membereskan rumah hingga yang kompleks dan memakan waktu maupun
tenaga, seperti pengasuhan anak. Keterkaitan perempuan dengan pekerjaan rumah tangga
begitu erat, dan tampaknya sudah menjadi sesuatu yang diterima masyarakat dan si
perempuan sendiri (Akatiga, 2000b) . Dan pekerjaan domestik ini sering dianggap bukan
sebagai “kerja”. Tentang hal ini (Hubies 1998) berpendapat:
“Pekerjaan domestik perempuan dari generasi ke generasi tidak pernah diperhitungkan
sebagai asset yang bernilai ekonomi. Keadaan ini berjalan tanpa protes karena dianggap
merupakan kewajiban budaya. Secara tidak sengaja perempuan yang berkerja mengurus
keluarga nyaris dilihat sebagai orang ‘tidak bekerja’ dan dilegalisasi dengan kosa kata bukan
angkatan kerja”.
Menurut Andriene Rich (1976) melihat bahwa kerja perempuan dibidang domestik (di rumah
tangga) biasanya tidak dianggap sebagai kerja produktif, sehingga dianggap tidak memberi
kontribusi pada ekonomi masyarakat.
Sedangkan dalam Kamus di jurnal Perempuan yang ditulis oleh Liza Hadis dan Umi Lasmina
(1999), “Feminis liberal beragumentasi bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tidak adil
karena tidak ada pengakuan hukum terhadap pekerjaan domestik itu. Kaum feminis Marxis
menggambarkan ibu rumah tangga sebagai buruh cadangan, sedangkan feminis radikal
berpendapat bahwa karena pekerjaan rumah tangga selalu merupakan heteroseksual secara
keseluruhan (Deply, 1984)”.
“Sehingga kalangan feminis sosialis dan marxis mengatakan bahwa langkah yang pertama
harus dilakukan adalah penghapusan pembagian pekerjaan berdasarkan jenis kelamin yang
ada dalam setiap kehidupan masyarakat” (Liza Hadist dan umi Lasmina, 1999).
Sedangkan perempuan sebagai pencari nafkah, kebanyakan perempuan miskin menerjunkan
diri pada sector yang marjinal, sebagai buruh pabrik, buruh cuci, pembantu rumah tangga,
pedagang kecil, dll. Pekerjaan perempuan seringkali juga dianggap sebagai kerja sampingan
dan membantu pencari nafkah tambahan untuk membantu mencari nafkah suami. Pada
kenyataannya, mereka memberikan sumbangan yang signifikan pada “pooling income”
keluarga, baik dari sisi finansial maupun waktu (Akatiga, 2000a).
Kebijakan pemerintah yang sangat populer dalam masa krisis adalah apa yang disebut Jaring
Pengaman Sosial. Program ini bertujuan untuk menjaring masyarakat yang terkena dampak
krisis untuk tidak jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan. Berbagai program JPS telah
dilaksanakan oleh Pemerintah. Tetapi dalam realitasnya bagaimana Prgram JPS ini bisa
bermanfaat untuk rakyat miskin. Beberapa hasil penelitian berikut ini memberikan gambaran
sejauh mana JPS bermanfaat untuk rakyat yang terkena dampak krisis.
“Ditemukan kenyataan bahwa semakin jauh suatu lokasi dari pusat pemerintahan desa dan
kecamatan, maka keikutsertaan dalam program JPS cenderung menurun. Masyarakat yang
tinggal di desa terpencil dan berada di wilayah perbatasan antara dan kecamatan ternyata
sama sekali tidak mengikuti satupun dari program JPS yang ada. Program PDM-DKE adalah
program yang paling tidak berhasil dbanding dengan program JPS yang lain” (SMERU,
1999).
Program bantuan untuk pengobatan cuma-cuma melalui program Kartu Sehat dibatasi hanya
hanya untuk lansia yang tidak mampu, daripada untuk seluruh keluarga yang tidak mampu.

Secara khusus program ini tidak mampu menjangkau ibu-ibu muda miskin usia subur untuk
mendapatkan layanan KB yang lebih murah di luar program yang telah ada di Puskesmas.
Beras murah dari Operasi Pasar Khusus (OPK) menolong masyarakat desa, dimana 10 kg
beras didistribusikan selama 3-4 bulan secara terus menerus. Terdapat berbagai variasi dan
freksfensi pendristribusian, namun yang jelas 40% dari responden tidak menerima beras
apapun. Di beberapa wilayah jumlah ini terlalu sedikit, ini disebabkan karena tidak adanya
pembedaan keluarga paling miskin dengan keluarga agak, kurang mampu” (SMERU, 1999).
Hasil survey yang dilakukan di NTB (180 orang di 12 desa), untuk melihat dampak proyek
padat karya, menunjukkan bahwa :


71% responden menyatakan mereka tidak mendapat informasi secara lengkap



tentang anggaran biaya proyek padat karya d desa mereka.
56% menyatakan peserta proyek menerima manfaat hanya sebagai pekerja
sementara, bangunan yang dibuat tidak memberi manfaat langsung kepada
mereka.



62% percaya bahwa ada unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada proyek
padat karya di desa mereka, termasuk program padat karya kehutanan, pekerjaan
umum, pertanian dan program padat karya desa yang dikelola oleh pemerintah
daerah setempat.



67% mereka yakin bahwa dana yang direalisasi tidak sesuai dengan dana yang
dianggarkan, hal ini mengakibatkan mutu proyek menjadi sangat rendah.

Strategi Jaringan Sosial
Ketidakberhasilan program JPS ini menjangkau rakyat miskin, memberikan suatu kondisi
dimana rakyat miskin harus mencari solusi dan pemecahan untuk pemenuhan kebutuhankebutuhan dasar yang semakin hari semakin meningkat. Dalam masa krisis – dimana
ketidakstabilan politik dan ekonomi memperbesar tekanan kebutuhan, sementara pendapatan
menurun – bertahannya keluarga miskin sangat tergantung pada kemampuan adaptasi yang
dilakukan perempuan.
Perempuan, sebagai pengatur atau manajer pemenuhan kebutuhan keluarga, harus berupaya
keras untuk menyesuaikan pendapatan dengan kebutuhan. Kondisi yang sering terjadi adalah
kebutuhan melebihi pendapatan. Walau pengeluaran sudah ditekan sampai batas minimal
yang hanya terpusat pada kebutuhan utama: makan, kesehatan dan pendidikan (Akatiga,
2000a) pendapatan tetap tidak mencukupi.
Menghadapi hal ini, keluarga dalam hal in adalah perempuan akan melakukan strategi
transfer sosial dengan memanfaatkan jaringan social untuk menambal sulam kebutuhan.
Temuan Akatiga menunjukkan beragamnya bentuk transfer sosial dalam jaringan ini. Seperti
minjam-meminjam, meminta (suatu saat ganti memberi), tukar-menukar barang, termasuk
bertukar tenaga, seperti saling menitipkan pekerjaan domestik (mengangkat jemuran,
memasak, menjaga rumah, mengasuh anak) saat bekerja (Akatiga, 2000a).
Pengamatan menunjukkan transfer sosial dengan menfaatkan jaringan sosial seperti ini
terbukti cukup efektif dalam mempertahankan kehidupan keluarga.
Institusi