Arsitektur dan Pemiskinan Budaya pdf

Arsitektur dan Pemiskinan Budaya

Antariksa

Perkembangan arsitektur sudah sedemikian rupa mengimbas kesegala pelosok
daerah di Indonesia. Perubahan banyak terjadi pada bangunan (rumah tinggal) yang
terdapat di kota-kota besar maupun di perdesaan. Menyerapnya informasi serta
perkembangan industri, teknologi, dan perdagangan telah merubah mereka menjadi
masyarakat penikmat, dan pemakai hasil arsitektur. Di mana masyarakat awam sendiri
hanya mengikuti apa yang terjadi, tidak tahu menahu tentang asal usul bentuk arsitektur
rumahnya, bahkan juga konsep serta ide-ide dasarnya. Apakah ini akibat globalisasi kotadesa atau dampak perubahan status sosio-budaya masyarakat di perkotaan dan juga di
perdesaan. Sebagian besar hal ini terjadi karena untuk meningkatkan status sosial mereka
terhadap lingkungannya agar dapat dipandang lebih tinggi secara sosio-kultural dengan
masyarakat yang berada di sekitarnya. Kehidupan masyarakat merupakan bagian dari
identitas yang dihasilkan dari konteks budaya dan sosial mereka. Maka, identitas dapat
dianggap sebagai individual dan diri sendiri, tetapi juga identitas dapat semata
bertransformasi menjadi bentuk yang berbeda mengikuti transformasi yang terjadi pada
lingkungan sekitar kita. Dapat disimpulkan, bahwa tanpa usaha ber’arsitektur’ yang layak
sebuah kota akan kehilangan sejarah dan identitas yang menghubungkan kita untuk
menjelajah masa depan. Sebuah ’ideologi visual’ yang terkadang salah-letak secara
geografis di dalam menetapkannya, dan hal itu dianggap sebagai budaya yang spesifik.

Perubahan stilistik sepanjang waktu pun dapat membuka kunci dalam ber’evolusi budaya’,
mencoba mentransformasikan ide dan keinginannya untuk dijadikan sebagai permainan
objek desain belaka.

Peran gaya atau style dalam arsitektur
Masalah utama yang dihadapi adalah beragamnya pemberian makna pada arsitektur
baik langgam ataupun style. Kata ‘style’ berasal dari bahasa Latin, stilus, yang berarti
‘peralatan menulis’, maka itulah ide tulisan tangan sebagai ekspresi langsung karakter
individual. Jelaslah ini merupakan asal muasal teori ekspresi yang sangat berpengaruh
dalam sejarah estetika; itu juga bisa disebut ‘teori tanda tangan’ (Walker 2010:170). Style
berkembang menjadi bagian mendasar dari penerjemahan fisik arsitektural yang
memberikan wajah-wajah arsitektur perkotaan menjadi tempat eksebisi bagi para arsitek.
Keraguan ini akhirnya muncul setelah pemahaman tentang gaya atau style tadi menjadi
bagian dari peradaban ber’arsitektur’. Kemudian Walker (2010:171) juga menjelaskan
bahwa, gaya atau style tadi dapat dipandang sebagai faktor dalam produksi artistik, yang
dengan begitu sekalinya sejumlah gaya eksis, para seniman bisa memilih gaya mana yang
ingin mereka gunakan atau diolah lagi. Mereka juga dapat memilih untuk menggabungkan
berbagai gaya untuk menciptakan hibrida.
Dengan mengambil dasar iklim tropis (karena situasi geografis) pada bentuk
desainnya, ternyata tidak dapat memberikan hasil yang sempurna. Kemudian muncul

‘arsitektur ramah lingkungan’ yang sepadan dengan ‘arsitektur berkelanjutan’ dan akhirnya
muncul istilah green architecture, yang terkadang penerjemahannya secara fisik menjadi
salah kaparah. Keramahan menjadi tidak adaptif terhadap lingkungan, dan tradisi budaya
masyarakat di daerah kota maupun perdesaan baik dari golongan masyarakat menengah
sampai bawah belum mengenal hal itu sebagai tatanan arsitekturnya. Hal inilah yang
menjadikan permasalahan baru di dalam pendekatan arsitektur lingkungan binaan dengan
1

sosio-kulturalnya. Bahan-bahan bangunan yang menjadi tuntutan secara arsitektural,
terbentur dengan daya beli masyarakat menengah-bawah terhadap keadaan yang
ditawarkan, dan akhirnya membuat masyarakat menjauhinya. Seorang arsitek dari Jepang
Kurokawa (1988), mengatakan bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai sejarah dan
tradisi. Pertama, adalah sejarah yang dapat kita lihat seperti, bentuk arsitektur, elemen
dekorasi, dan simbol-simbol yang telah ada pada kita. Kemudian yang kedua, adalah
sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti, sikap, ide-ide, filosofi, kepercayaan, keindahan,
dan pola kehidupan. Penjelajahan arsitektur terkadang memberikan makna istilah lebih
spesifik yang oleh Meyer Schapiro dijelaskan bahawa dengan gaya yang dimaksudkan
adalah bentuk konstant-dan terkadang berbagi elemen, kualitas dan ekspresi kontras-dalam
seni individual atau kelompok- di atas semuanya, gaya adalah sistem bentuk......deskripsi
gaya merujuk kepada tiga aspek seni: motif atau elemen bentuk, berbagai hubungan bentuk

dan kualitas (termasuk seluruh kualitas yang bisa kita sebut ’ekspresi’) (Walker 2010:171).
Dengan adanya ‘style’ tadi akhirnya memicu adanya simbol-simbol, seperti atap joglo
dengan istilah-istilah seperti ‘tradisional’, ‘ciri-khas daerah’, ‘arsitektur Jawa’ dan lain
sebagainya (yang seperti apa?). Ternyata penggunaan atap joglo di sini digunakan sebagai
ungkapan simbol saja, tidak mencerminkan makna bagi penghuninya. Terkadang mereka
hanya mengambil bentuk atapnya bukan ruang dalam serta struktur bangunannya. Pada hal
joglo itu dibangun pada waktu lampau dimaksud agar ruang tersebut dapat menampung
banyak orang, digunakan oleh para penguasa untuk bertatap muka dengan rakyatnya, dan
dimiliki oleh kaum kebanyakan. Kecenderungan sekarang justru lain, adanya satu keinginan
dari mereka agar istilah ‘ciri-khas daerah’ atau ‘arsitektur Jawa’ melekat pada bangunan
mereka meskipun perilaku dan tatanan budayanya tidak mencerminkan sebagai orang
Jawa. Bahkan dari pemilik rumah tersebut yang menggunakan atap joglo pada
kenyataannya bukan orang Jawa. Di sini dinamisme sosial dan budaya telah mengawali
perubahan pada masyarakat yang berakibat dan berpengaruh terhadap tempat huniannya.
Adanya pengaruh tadi terlihat dari adanya perubahan tingkat ekonomi masyarakat yang
dapat menaikkan derajat “status sosial” bentuk rumah mereka, dan bukan pada
penghuninya. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Rapoport (1990), bahwa budaya sebagai
suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia bersifat tidak teraga. Kebudayaan ini akan
terwujud melalui pandangan hidup (world view), tata nilai (value), gaya hidup (life style) dan
akhirnya aktifitas (activities) yang bersifat konkrit. Sebuah kecenderungan eklektis di dalam

seni, khususnya arsitektur, untuk menghidupkan kembali pelbagai gaya di masa lalu alih-alih
mengembangkan gaya-gaya baru yang sesuai dengan era di mana para seniman itu hidup.
Istilah tersebut digunakan dalam pengertian ini oleh Pevsner. Historisisme artistik, dalam
pandangannya, bersifat retrogresif: ”Semua pambangkitan gaya di masa silam adalah tanda
kelemahan, sebab ketika membangkitkan pemikiran independen dan perasaan,
permasalahannya tidak lebih dari kurangnya pilihan akan pola-pola.... Historisisme adalah
keyakinan terhadap kekuatan sejarah sampai pada tingkat mematahkan aksi dan
menggantinya dengan aksi yang diilhami oleh periode ditiru (Walker 2010:105) Pada sisi lain
orang berbicara bagaimana bangunan lama dapat dipertahankan sebagai aset budaya
bangsa, tetapi sisi lain memgembangkan arsitektur sebagai penerapan komersialisasi
profesi. Warisan masa lalu terglobalisasi oleh perjalanan peradaban teknologi ber’arsitektur’,
dan menjadi tempat untuk mengekspresikan ide-ide mereka yang mungkin bertentangan
dengan sosio-kultural masyarakat. Salah satu yang banyak dikeluhkan dalam
perkembangan kota modern adalah, hilangnya ciri khas wajah-wajah kota yang tergantikan
oleh bangunan-bangunan bergaya internasional. Wajah-wajah tersebut menjadi anonimus
dan tak berjiwa. Karena itulah warisan budaya menjadi penting mengingat gencarnya
kegiatan modernisasi dan globalisasi kota-kota di dunia yang bila tidak dikendalikan akan
memberikan wajah kota yang sama disetiap kota. Keprihatinannya dalam bidang arsitektur
dan perkotaan di Indonesia dikemukakan oleh Budihardjo (1985), bahwa arsitektur dan kota
di Indonesia saat ini banyak yang menderita sesak nafas. Bangunan-bangunan kuno bernilai

sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. Banyak
perencanaan arsitektur dan kota yang dikerjakan tidak atas dasar cinta dan pengertian
2

sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi yang bermotif komersial,
sehingga menghasilkan karya berkualitas rendah. Gedung-gedung baru dari kaca dan
benton yang mendominasi kota-kota adalah produk dari modernitas ini. Dalam hal ini,
gedung-gedung itu adalah bagian dari modernisme, produksi gaya-gaya yang dimaksudkan
sebagai inovatif, ekspresi kebaruan, dan biasanya menjadi kuno dalam satu-dua dekade.
Mereka yang mendukung gagasan tentang gelora modernitas, ”para pembangun”, tidak
melihat perbedaan antara modernitas dan modernisasi (Vickers 2009:173). Bahkan oleh
Walkers (2010:104) dijelaskan bahwa sejarahwan seni menganggap gaya itu vital karena
mereka memikirkannya sebagai manifestasi luaran dari wujud batin seorang person,
kelompok sosial atau zaman. Dengan demikian, seseorang dapat memahami suatu gaya
dengan melihat taerhadap keseluruhan nilai fisik arsitektural yang terpampang dalam bentuk
bangunan tersebut. Apakah arsitektur bangunan itu mempunyai nilai dari suatu budaya
asing, atau ungkapan masa lalu dari tampilan bentuknya atau memberikan tampilan strata
sosial bentuk serta kawasan dimana bangunan itu berada.

Tradisi dan ke’daerah’an

Penyebab utama adalah adanya kebijakan-kebijakan yang diberikan oleh para
penentu kebijakan (dalam hal ini pemerintah) yang ingin mentransformasikan budaya “kedaerahan atau identitas ciri-khas” dengan cara memaksa serta mengharuskan mereka untuk
mengubah bagian dari bentuk rumahnya. Sebagai contoh misalnya, pada permukiman di
daerah perkotaan maupun di tingkat perdesaan banyak atap rumahnya harus
mencerminkan ciri-khas daerah setempat, dinding ataupun atap rumah harus dicat warna
tertentu, harus diberi pagar yang seragam, dan masih banyak lagi. Di sini terjadi ekspansi
ide dasar yang menjurus kepada vandalisme arsitektur. Yang seolah-olah menutup
kreatifitas masyarakat lingkungan sosial-kulturalnya dalam mengikuti perkembangan jaman.
Kalau meminjam istilah psikolog Darmanto Jatman disebut pemaksaan jatidiri secara
atributif. Hal ini akan mengundang persepsi yang serba salah kaprah.
Perjalanan bias dari atrsitektur dalam ide desain pun akhirnya menjadi bagian dari pop
architecture (bentuk atau style arsitektur yang dapat muncul kembali setiap saat), yang
berkembang merajalela di sekitar tahun 80-an. Salah satunya adalah style bangunan rumah
tinggal dengan gaya kapsul betonnya. Dapat dikatakan bahwa style semacam itu sebagai
impian model rumah tinggal modern. Pergeseran desain pun terjadi, bentuk yang tadinya
menjadi populer saat itu, akhirnya bergeser ke sebuah bentuk baru, yaitu gaya Spanyolan
dengan arsitektur ionic atau doric dengan lengkung-lengkungan dan kolom ala Yunani,
menjadikan kearoganan baru dalam tatanan sosial bagi penghuni rumah tinggal tersebut.
Popularitas gaya arsitektur itu pun akhirnya juga tenggelam, dan muncul sebuah tatanan
baru, yaitu style mediteranean. Sebuah visi arsitektur adaptif yang mengkombinasikan unsur

tropis dengan arsitektur indis ini berkembang sampai akhir tahun 2000-an. Dengan tradisi
dan budaya beberbeda mencoba memberikan sebuah wacana dalam fisik dimensional
bentuk tatanan rumah tinggal. Style ini pun tidak lama bertahan, suatu langgam baru muncul
dengan bentuk minimalis sampai pada tatanan interior dan furniturenya. Secara simbolik
menjadi kebanggaan baru bagi masyarakat konsumer yang mendambakaan sebuah tatanan
rumah tinggal baru. Kecenderungan ini sudah menyusup keseluruh bagian tatanan
permukiman di Indonesia baik yang dikota maupun perdesaan meskipun hanya secara
eklektis mengambil konsep style minimalis. Di sini urbanisme menjebak masyarakat dalam
kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan berarsitektur. Sebenarnya pekerjaan
merancang bangunan atau merencanakan suatu kota harus mempertimbangakan
keharmonisan antar bangunan dan kawasan barunya dengan sosio-kultural masyarakat
sekitarnya. Menurut temuan McKinnon, para arsitek kreatif memiliki ketenangan dan
percaya diri, meskipun terlalu suka bergaul. Secara watak mereka pun cerdas, memikirkan
diri sendiri, berani bicara, dan bahkan agresif. Mereka juga memiliki opini yang sangat tinggi
tentang diri mereka (Lawson 2007:160). Dengan demikian, diharapkan adanya
kesinambungan style antar bangunan baru dengan kawasan lamanya tanpa mengganggu
3

lingkungan ber’arsitektur’ dan kehidupan sosio-kultural mereka. Hal ini penting, karena
perkotaan dengan segala peradaban fisik arsitektural atau bangunannya dapat memberikan

identitas atau karakteristik dari suatu kota terhadap sejarah masa lalunya. Salah satu
manifestasi arsitektur adalah upaya berpegang teguh pada masa lalu, dan bahkan
mengabstrasikan atau mengesensialkan unsur-unsur masa lalu sebagai bagian dari sejarah
atau pusakanya.
Arsitektur itu diciptakan sebagai wadah untuk proses kehidupan manusia, melindungi
dan memberikan akan kebahagiaan penghuninya. Dengan bentuk dan tatanan yang sangat
beragam, kondisi geografis-kultural yang berbeda serta memunculkan adanya kearifan lokal.
Di dalam arsitektur style ataupun langgam berjalan tanpa ada batas-batasnya. Proses
perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi
penting agar tradisi budaya mereka tidak terhenti. Kita berada pada “budaya citarasa” yang
menawarkan berbagai macam gaya yang tidak ada habisnya (Grenz 2001:35)
Dengan demikian, kehendak untuk membisniskan kota menjadi ladang komersialisasi
arsitektur hendaknya dipertimbangkan masak-masak, karena setiap kota mempunyai
budaya dan sejarah yang mungkin berbeda dengan kota-kota lainnya. Demikian juga, kalau
kita bandingkan dengan beberapa kota-kota di negara Asia lainnya mempunyai sejarah dan
warisan budaya yang sangat panjang. Masyarakat dari masing-masing kota tersebut hidup
dengan masa lalu dan masa sekarang dalam tatanan arsitektur perkotaannya, sekaligus
juga dengan fisik dan spiritualnya. Adalah benar bahwa sistem tradisi di Asia didapati sangat
berat untuk menghadapi tantangan dari dunia Barat dalam konteks globalisasi arsitektur,
pada kenyataannya arus yang dikatakan global itu tak dapat dibendung. Modern biasanya

disamakan dengan Barat, atau setidaknya pengaruh Barat. Salah satu pandangan yang
muncul dari persamaan populer ini adalah bahwa apapun yang modern berarti asing bagi
Asia Tenggara yang tradisional tulen (Vickers 2009:170). Ditambahkan oleh Vickers
(2009:173) bahwa istilah ”modernisasi digantikan modernitas, kata yang dipakai untuk
menyebut suatu proses subjektif (atau pembentukan subjek), kesadaran tentang menjadi
modern, pengalaman tentang perubahan, dan cara merangkul hal-hal baru. Pertanyaan
yang paling sukar adalah bagaimana untuk menetapkan nilai tradisi yang harus dimodifikasi
tanpa menghilangkan identitas kebudayaan individu di dalam proses modernisasi.
Kungkungan tradisi akan dibenturkan dengan hasrat modernitas dalam kehidupan yang
penuh kontradiksi ini. Dahulu kutub-kutub yang berlawanan seperti kapitalisme dan
sosialisme adalah kondisi material menjadi modern. Hal yang sangat mendasar adalah
keinginan akan perubahan dan kebaruan, suatu rasa memutuskan arsitektur dari segala
akar permasalahan yang melibatkan adanya sikap kembali ke masa silam. Orang Asia yang
berusaha keras menjadi modern hanya bisa dianggap melakukan itu jika mengadopsi
bentuk-bentuk dan ikon-ikon budaya Barat, dan dengan demikian menunjukkan bahwa
mereka kekurangan sesuatu yang dimiliki Barat (Vickers 2009:175).
Pemiskinan akan pemahaman berarsitektur terjadi akibat sloganisasi para arsitek dan
perencana kota dalam menstrukturkan tatanan lingkungannya. Penentuan dalam membuat
bagian kehidupan berarsitektur telah terpolarisasi, sehingga masyarakat menjadi konsumer.
Hal ini akan membuat pola ruang kota yang tadinya urban-tradisionalistik bergeser menjadi

urban-modernis. Budaya urban tersebut secara perlahan akan masuk menjadi bagian yang
akan mempengaruhi perkembangan arsitektur di Indonesia. Menjadi modernis adalah
mendapati jatidiri kita berada di lingkungan yang menjanjikan petualang akan ketakutan dan
kegembiraan yang bertranformasi pada saat yang bersamaan. Arsitektur perkotaan
menunjuk pada suasana intelektual dan ekspresi kebudayaan yang sedang mendominasi
masyarakat dewasa ini. Seolah-olah, kita sedang berpindah kepada sebuah era budaya
baru, pasca-postmodernitas, tetapi kita harus memerinci apa saja yang tercakup dalam
fenomena tersebut. Pencerahan melahirkan hal-hal yang baru dalam pemahaman budaya
global dari generasi ke generasi melalui cara radikal dengan pola pikir yang tradisional. Kini
masyarakat telah menyaksikan perubahan besar dan massal dengan bentuk-bentuk yang
beranekaragam.

4

Sumber Pustaka
Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.
Kurokawa, K. 1988. Rediscovering Japanese Space. Tokyo: Kodansha.
Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York: Plenum
Press.
Sidharta & Budihardjo, E. 1989. Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Besejarah Di

Surakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Vickers, A. 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar:
Pustaka Larasan-Udayana University Press.
Walker, J.A. 2010. Desain, Sejarah, Budaya; Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:
Jalasutra.
Lawson, B. 2007. Bagaimana Cara Berpikir Desainer (How Designer Think).
Yogyakarta&Bandung: Jalasutra.
Grenz, S.J. 2001. Pengantar Untuk Memahami Postmodernisme. Yogyakarta: Yayasan
ANDI.

Antariksa © 2012

5