BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI

(1)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

IMPLEMENTASI

DISKRIPSI DAN RELEVANSI

Bab ni akan membahas berbagai faktor yang dapat mempengaruhi proses implementasi kebijakan dan hasil akhirnya, yang disimpulkan dari hasil telaah para akademisi yang meneliti berbagai kasus kegagalan implementasi. Faktor-faktor tersebut adalah Tipe-tipe kebijakan yang berdasarkan tujuan dan metodenya dapat menjadi faktor pembatas dalam pengimplementasiannya. Selain itu karena nyaris tidak ada kebijakan yang hanya dilaksanakan oleh agen/lembaga tunggal, maka faktor-faktor yang berkaitan dengan aktor-aktor pembuat dan pelaksana kebijakan, serta pola hubungan kerja horizontal dan vertikal antar aktor dan antar instansi akan mempengaruhi tingkat kesulitan implementasi. Faktor-faktor lain yang akan dibahas secara singkat adalah faktor lingkungan tempat kebijakan tersebut diimplementasikan yang dengan karakteristiknya sendiri dapat memberikan hasil implementasi yang berbeda pula.

Relevansi mempelajari bab ini bagi mahasiswa adalah memahami cara kerja implementasi kebijakan dan program-program turunannya dalam menyentuh kehidupan masyarakat, dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektifitasnya. Melalui pemahaman tersebut diharapkan kelak saat bekerja mereka mampu merancang program-program implementasi yang lebih baik.


(2)

Bahasan dalam Bab ini juga berkaitan dengan Teori Politik, Teori Organisasi dan Teori Kebijakan Publik secara umum.

TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu mengidentifikasikan Tujuan Keijakan dan Tipe Kebijakan yang dapat mempengaruhi proses implementasi Kebijakan. 2. Mahasiswa mampu mengidentifikasikan perbedaan struktur organisasi

pelasana yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan

3. Mahasiswa mampu mengidentifikasikan aktor-aktor pelaksana dan pola hubungannya yang dapat mempengaruhi proses implementasi

4. Mahasiswa mampu mengidentifikasikan faktor-faktor sumberdaya dan lingkungan yang dapat mempengaruhi proses implementasi

PENGANTAR ISI BAB

Dokumen kebijakan yang dihasilkan dari proses formulasi selain memuat dasar hukum dan konsideran – konsiderannya, juga biasanya memuat tujuan baik tersurat maupun tersirat yang ingin dicapai, organisasi – organisasi pelaksanaan, walau tidak secara detail. Dari tujuan – tujuan tersebut dapat dibuat kategori tipe – tipe kebijakan.

Selain tipe kebijakan, maka tentu saja para aktor implementasilah yang berpengaruh langsung terhadap berhasil-tidaknya kebijakan mencapai tujuannya. Sebagai sumberdaya utama, kapasitas, kapabilitas, persepsi, kepentingan, serta pola dan dinamika hubungan antar aktor yang terlibat akan sangat menentukan bagaimana jalannya proses


(3)

implementasi tsb. Faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi lingkungan tempat kebijakan tersebut diimplementasikan. Kondisi lingkungan saat di lapangan yang bisa berbeda dari perhitungan sebelumnya menyebabkan timbulnya pemikiran tentang perlunya diskresi bagi para implementor.

II.1.TIPE KEBIJAKAN

Dokumen kebijakan yang dihasilkan dari proses formulasi selain memuat dasar hukum dan konsideran – konsiderannya, juga biasanya memuat tujuan baik tersurat maupun tersirat yang ingin dicapai, organisasi – organisasi pelaksanaan, walau tidak secara detail. Dari tujuan – tujuan tersebut dapat dibuat kategori tipe – tipe kebijakan.

Pengkatagorian tipe kebijakan ini dibuat untuk kepentingan analisis kebijakan publik, khususnya bagi studi implementasinya, karena tidak ada kaitan langsung antara tipe kebijakan dengan manfaat praktis dalam praktek kebijakan. Bagi studi implementasi kategorisasi kebijakan berguna untuk membantu pemahaman tingkat kesulitan implementasi tiap tipe kebijakan, yang ada pada akhirnya mungkin bisa menghasilkan rekomendasi yang berguna bagi proses implementasi.

Theodore Lowie adalah yang pertama kali melakukannya pengkategorian kebijakan sebagai salah satu alat bantu analisis kebijakan. Kategori tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ripley menjadi tipologi kebijakan yang berguna dalam menganalisis proses dan masalah – masalah implementasi. Selain Ripley & Franklin) juga ada George Edwards III dan beberapa nama lainnya. Namun yang dibahas


(4)

dalam babi ni adalah kategori yang dikembangkan oleh kedua tokoh tersebut. Berikut ini adalah tipologi kebijakan yang mereka lakukan.

II.1.1. Tipologi Kebijakan menurut Ripley & Franklin:

Menurut Ripley kebijakan publik dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar yakni Kebijakan Dalam Negeri dan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan. Masing – masing kategori tersebut memiliki beberapa tipe kebijakan berdasarkan tujuannya. Ripley yang menelaah hubungan antara berbagai tipe kebijakan dengan dinamika interaksi antara aktor yang terlibat dalam pengimplemnetasian menyimpulkan bahwa

kebijakan – kebijakan dengan tipe tertentu secara substansi memiliki tingkat kesulitan pengimplementasian yang berbeda- beda. Tipe – tipe kebijakan tersebut adalah :

A. Kebijakan Dalam Negeri (Domestic Policy): 1. Distributive Policy (Kebijakan Distributif)

adalah kebijakan dan program yang diarahkan untuk mendorong sector privat untuk melakukan aktifitas yang tidak akan dilakukan apabila tidak disubsidi oleh pemerintah. Dengan kata lain : “Apabila masyarakat melakukan tindakan “A” maka akan diganjar dengan keuntungan “B”. Kebijakan untuk mendorong produktivitas pertanian dan kebijakan – kebijakan yang bersifat memberikan subsidi biasanya merupakan jenis kebijakan ini (misalnya subsidi bibit tanaman dan pupuk untuk mendorong petani menanam tebu, dll).

Kebijakan tipe ini relatif lebih mudah dalam pengimplementasiannya, karena hubungan antar factor yang terlibat tidak rawan timbul konflik


(5)

kepentingan. Kalaupun kebijakan atau program tipe ini di Indonesia tidak mencapai hasil yang diharapkan, biasanya berkaitan dengan perilaku oknum aktor pelaksana yang mencurangi subsidi.

2. Competitive Regulatory Policy (Kebijakan Pengaturan Persaingan)

Adalah kebijakan dan program yang dibuat untuk membatasi aktifitas sector privat untuk memproduksi jasa – jasa dan barang – barang tertentu dengan menetapkan criteria – criteria yang harus dipenuhi karena banyaknya peminat. Regulasi alat dan sarana transportasi umum biasanya merupakan jenis kebijakan ini.

Kebijakan tipe ini memiliki tingkat kesulitan pengimplementasian “sedang” karena meski akan ada intervensi kepentingan dari pihak yang terkena akibat kebijakan, namun tingkat konflik yang timbul tidak begitu besar.

3. Protective Regulatory Policy (Kebijakan Pengaturan Perlindungan)

adalah kebijakan dan program yang didesain untuk membatasi aktifitas – aktifitas sector privat yang bisa membahayakan atau merugikan sebagian masyarakat yang lain (misalnya polusi kendaraan dan pabrik, pembuatan obat – obatan, minuman keras, dll). Berbagai kebijakan yang menyangkut kelestarian lingkungan hidup biasanya juga termasuk tipe kebijaksanaan ini.

Kebijakan tipe ini relatif “sulit” dalam pengimplementasian. Benturan kepentingan antara pelaku ‘bisnis’ dengan ‘keamanan’ masyarakat yang dilindungi melalui kebijakan ini rawan menimbulkan konflik


(6)

dalam skala yang cukup tinggi, demikian juga kemungkinan benturan kepentingan antar aktor pelaksana yang terlibat.

4. Redistributive Policy (Kebijakan Pendistribusian Ulang)

adalah kebijakan dan program yang diasumsikan dapat menghasilkan ‘perkembangan’ kesejahteraan, kepemilikan, hak, dan nilai – nilai lain di antara kelas – kelas social (ataupun kelompok etnis/ suku). Dengan kata lain tujuan kebijakan dan program ini adalah untuk mendistribusikan kembali nilai – nilai yang lebih dari satu kelompok masyarakat pada kelompok masyarakat yang kekurangan (misalnya penetapan harga BBM dan energi listrik berdasarkan perbedaan penggunaannya: industri, industri rumah tangga, rumah tangga, dst: Pajak Pertambahan Nilai: Inpres Daerah Tertinggal, dll).

Kebijakan tipe ini juga relatif sulit dilaksanakan, karena tingkat konfliknya bisa sangat tinggi, terutama dari yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini. Misalnya saat subsidi BBM dicabut walau diganti dengan Program Kompensasi Pencabutan BBM (PKPS – BBM) yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat miskin, namun kebijakan ini tetap menuai protes keras dan demonstrasi terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

B. Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan 1. Structural Policy

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memperoleh, menyebarkan dan mengatur personel – personel dan kebutuhan – kebutuhan militer. Kebijakan dan program ini dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah sebagaimana pada distributive policy, namun


(7)

tentang siapa, berapa banyak dan kapan dilakukan, harus dputuskan terlebih dahulu. (Misalnya pembangunan atau penutupan instalasi militer, system persenjataan untuk pertahanan negara, dll). Untuk jenis kebijakan ini pengimplementasiannya dilakukan langsung oleh Angkatan Bersenjata, bukan oleh pemerintah (c/q Birokrat).

2. Strategic Policy

Kebijakan dan program strategi ini untuk menegaskan sikap dan menjalankan kebijaksanaan luar negeri dan militer pada negara lain (misalnya kebijakan perdagangan luar negeri, pemberian bantuan pada negara lain yang sedang mengalami musibah, keikutsertaan dalam pertahanan perdamaian dunia, dll).

3. Crisis Policy

Kebijakan ini dilakukan dengan sebagai respon atas masalah – masalah luar negeri yang tiba – tiba dihadapi oleh negara (misalnya ada invasi dari negara asing).

Dari tipologi kebijakan yang dilakukan oleh Ripley tersebut, untuk kondisi Indonesia pada umumnya kebijakan – kebijakan domestiklah yang memiliki relevansi dengan permasalahan implementasi dalam konteks admnistrasi publik. Kebijakan yang menyangkut masalah Pertahanan/ militer umumnya diputuskan dan diimplementasikan untuk kalangan dan lingkup yang khusus : militer dan relatif tertutup bagi administrasi publik.


(8)

Namun perlu juga diingat bahwa tipologi tersebut dibuat terutama berdasarkan kenyataan empirik di Amerika Serikat, yang dalam banyak hal yang berebda kondisi bangsa Indoenesia. Tidak semua kebijakan yang dilakukan di negara kita bisa dengan tepat dikategorikan ke dalam salah satu tipe tersebut, kendati Ripley & Franklin juga mengatakan bahwa bisa jadi sebuah kebijakan mengandung ciri lebih dari satu tipe kebijakan.

II.1.2. Tipologi Kebijakan menurut George C. Edwards III

George Edward III mengakatagorikan kebijakan secara berbeda dengan yang dilakukan oleh Ripley & Franklin (yang mengkaitkannya dengan interaksi antar aktor). Edwards mengkatagorikan berdasarkan sifat atau karakteristik kebijakan. Menurutnya ada beberapa jenis kebijakan yang pada dasarnya mudah menemui permasalahan dalam pengimplementasiannya. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang bersifat:

1. New Policies

Yang dimaksud dengan kebijakan baru disini bukan sekedar kebijakan – kebijakan atau program – program yang baru disyahkan, tapi kebijakan yang memang belum pernah dilaksanakan sebelumnya.

2. Decentralized Policies

Kebijakan ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun program pengimplementasiannya di serahkan pada masing – masing daerah. Kesulitan yang timbul dikarenakan interpretasi yang bisa jadi beragam antar daerah dan juga kesiapan daerah yang masing


(9)

– masing tidak sama, sehingga pengimplementasian dan hasilnya pun bisa berbeda dari tujuan utama kebijakan tersebut.

3. Controvercial Policies

Kebijakan yang controversial adalah kebijakan yang mengandung reaksi – reaksi dan penafsiran – penafsiran yang saling bertentangan secara tajam. Sudah dengan sendirinya kebijakan demikian mudah menemui kesulitan saat diimplementasikan karena yang merasa dirugikan akan berusaha menggagalkannya. Contoh kebijakan ini adalah Kebijakan Anti Prostitusi di Kabupaten Tangerang baru – baru ini, dan rencana UU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang sampai saat ini belum mendapat persetujuan karena mengundang kontroversi dari berbagai kalangan secara tajam.

4. Complex Policies

Kebijakan yang komoleks adalah kebijakan yang mengandung banyak aspek sekaligus melibatkan berbagai badan dalam pengimplementasiannya. Banyak aspek yang terkait dan beragamnya pihak yang terlibat (lintas sektoral dan lintas departemen) menyebabkan kebijakan jenis ini mudah menemui permasalahan dalam. Contohnya adalah UU Lingkungan Hidup. Aspek yang terkait sangat beragam mulai air, udara, tanah, hutan, dsb: aktor yang terkaitpun sangat banyak.

5. Crisis Policies

Kebijakan krisis adalah kebijakan yang dibuat untuk menanggapi situasi – situasi krisis yang mendesak dilakukannya tindakan segera. Program – program dari kebijakan seringkali tidak terencana dan


(10)

terorganisasi dengan baik, akibatnya pengimplementasian program mudah menghadapi kesulitan. Contoh kebijakan ini adalah program – program pemulihan Indoenesia paska krisis ekonomi tahun 1997, misalnya program BLBI yang tak juga tuntas dan berhasil mengembalikan kerugian negara akibat hutang – hutang pengusaha swasta. Juga kebijakan pembangunan kembali Aceh paska badai Tsunami akhir tahun 2004.

6. Judicial Policies

Kebijakan ini adalah kebijakan yang mengandung penerapan sanksi hukum bagi pelanggarnya. Pada dasarnya kebijakan ini mudah menemui kesulitan saat implementasi karena melibatkan badan lain yang berlainan fungsi dan kewenangan. Misalnya pada kasus pencemaran lingkungan ditemukan adanya pelanggaran oleh aparat administrasi publik, maka penyelidikan dan pembukitan harus dilakukan oleh lembaga – lembaga yang berbeda, yang persepsi dan penafsirannya atas pelanggaran tersebut juga bisa berbeda. Selain itu seringkali kebijakan demikian justru belum dilengkapi dengan perangkat – perangkat hukum yang jelas (kebijakannya sudah ada dan diimplementasikan, tapi aturan – aturannya belum ada). Batas – batas kewenangan dan koordinasi adalah masalah yang umumnya terjadi pada kebijakan – kebijakan jenis ini, segingga seringkali terjadi saling lempar tanggung jawab atau justru berebut wewenang.

7. Combination of characteristics

Sebuah kebijakan bisa memiliki beberapa karakteristik sekaligus, sehingga tingkat kesulitan dalam pelaksanannya niscaya juga lebih


(11)

tinggi dibanding implementasi yang hanya memiliki satu karakteristik. Jika RUUAPP berhasil menjadi UU, maka kebijakan ini akan memiliki karakteristik sebagai new policy, yudicial policy, sekaligus controvercial dan complex policy.

Relevansi tipe kebijakan Edward III ini bagi studi implementasi adalah bahwa jika proses implementasi dipahami sebagai kombinasi “problem generating” dan ‘problem solving’ yang saling berkaitan, maka apabila telah diketahui bagaimana permasalahan dalam implementasi itu muncul, akan lebih mudah mengupayakan problem solvingnya. Jika

problem generating berkaitan dengan implement atau teknik yang digunakan pemerintah dalam kebijakan tersebut

(enforcement, inducement, benefaction, dan gabungan dari ketiganya), maka problem solving berkaitan dengan komponen utama sumber daya yang harus ada untuk melaksanakan kebijakan yang dimaksud. Komponen – komponen sumber daya tersebut adalah dukungan politik, dana, kompetensi administrative, dan kepemimpinan yang kreatif, yang harus tersedia dengan derajad yang berbeda – beda bergantung kebijakan yang diimplementasikan.

Sebagai contoh kebijakan yang harus diimplementasikan adalah kebijakan yang harus menggunakan teknik enforcement, misalnya kebijakan Anti-Terorisme, atau kebijakan menaikkan harga BBM, maka komponen utama yang harus tersedia adalah dukungan politik sebab tanpa dukungan politik yang kuat, niscaya kebijakan tersebut tak dapat diimplementasikan dengan baik. Demikian pula jika kebijakan yang


(12)

diimplementasikan menggunakan teknik inducement, maka sumberdaya berupa kompetensi administrasif implementor haruslah kuat, dan seterusnya tergantung pada teknik yang digunakan dalam menginterpretasikan kebijakan yang harus diimplementasikan.

II.2. AKTOR KEBIJAKAN DAN HUBUNGAN ANTAR AKTOR

Dari tujuan yang tercantum dalam dokumen kebijakan, selain tersirat tipe atau jenis kebijakannya, juga tersurat aktor – aktor (badan/ instansi) yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikannya. Tipe kebijakan dan aktor – aktor ini sama – sama mempengaruhi implementasi dalam cara yang berbeda.

Jika tipe kebijakan berpengaruh terhadap tingkat kesulitan yang dapat terjadi dalam proses implementasi, maka aktor – aktor pelaksana dan hubungan antar aktor berpengaruh langsung terhadap keberhasilan implementasi. Umumnya penjelasan mengenai aktor dan pola hubungan mereka menggunakan teori-teori yang dipinjam dari disiplin ilmu organisasi, psikologi dan ilmu politik. Istilah ”Disposisi” atau ”kepatuhan” misalnya digunakan untuk menggambarkan sikap mental aktor pelaksana terhadap kebijakan yang harus ia implementasikan. ”Interest” atau ”kepentingan”, yang digunakan untuk menggambarkan bahwa adanya hubungan emosi dalam wujud kepentingan (apapun itu), akan mempengaruhi cara implementor melaksanakan tugasnya, dll.

Hubungan antar aktor ini bisa bersifat horizontal (layers), vertikal (levels), maupun antar lembaga (locus-loci). Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin banyak aktor (layers, levels, loci) yang terlibat


(13)

dalam implementasi sebuah kebijakan, maka akan semakin sulit pula kebijakan tersebut diimplementasikan dan mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini mudah dipahami karena semakin banyak aktor yang terlibat, maka akan semakin banyak pula biaya koordinasi yang dbutuhkan, semakin banyak pula kepentingan yang bersaing untuk didahulukan, belum lagi masalah kewenangan dan tanggung-jawab antar aktor yang mesti diperjelas terlebih dahulu.

Dinamika hubungan antar aktor/instansi/organisasi/lembaga dalam implementasi kebijakan dibahas oleh semua teori implementasi meski dengan intensitas dan sebutan berbeda, mengingat sangat jarang kebijakan yang hanya diimplementasikan oleh organisasi tunggal. Bardach memasukkannya sebagai bagian yang harus diperhatikan dalam ”scenario writing’ proses implementasi; Van Meter dan Van Horn membahasnya dalam ”Penguatan dan Komunikasi inter organisasi”; Edwards III membahasnya dalam ”Struktur Birokrasi”, Sabatier dan Mazmanian membahasnya dalam variabel ”Kemampuan Kebijakan menstrukturkan implementasi”; Grindle membahasnya dalam ”kedudukan Pengambil Keputusan” dan dalam ”kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat”, dlsb (teori mereka akan dibahas pada bab berikutnya). Mereka memberikan perhatian terhadap pentingnya pengaruh hubungan antar aktor/organisasi dari perspektif pembuat kebijakan (top-down), yang memandang bahwa hubungan antar aktor berpotensi menimbulkan kerumitan, bukan sebagai faktor yang dapat mendukung keberhasilan implementasi.


(14)

Berikut ini dibahas aktor – aktor yang umumnya terlibat dalam keseluruhan proses kebijakan. Istilah aktor merupakan isitlah yang biasa digunakan dalam buku – buku teks kebijakan publik (John W. Kingdon menggunakan isitlah “participants”untuk badan – badan atau orang – orang yang terlibat dalam proses kebijakan). Sebagimana disebutkan sebelumnya, kegagalan paradigma textbook pada analisis proses kebijakan publik karena dianggap terlalu ‘top down’ sehingga melupakan peran aktor – aktor lainnya. Tapi siapakah aktor – aktor lainnya, selain pembuat kebijakan, yang dianggap mampu mempengaruhi proses implementasinya ? Secara umum aktor – aktor atau yang terlibat dalam proses kebijakan publik dibagi dalam dua katagori besar yakni :

1. Aktor inside government dan 2. Aktor outside government II.2.1. Aktor Inside Government

Aktor inside government dalam konteks negara kita (yang bisa jadi berbeda dengan negara – negara lain) meliputi :

1. Eksekutif (Presiden: staf penasihat Presiden: para Menteri, para Kepala Daerah) yang umumnya merupakan jabatan politis

2. Anggota – anggota dari badan perwakilan rakyat (Legislatif/ DPR & MPR)

3. Badan dan orang – orang Yudikatif secara parsial

4. Birokrasi dari Sekwilda, kepala Kanwil sampai level terbawah (misalnya: petugas Trantip sebagai street level bureaucrat) yang mengamankan Perda Ketertiban di daerah – daerah)


(15)

II.2.2. Aktor Outside Government:

1. Kelompok – kelompok kepentingan (interest groups) yang bisa berwujud LSM (NGO): Kelompok/ ikatan professional, kelompok bisnis, perserikatan buruh, bahkan organisasi atau lembaga keagamaan (NU: Muhammadiyah: FPI, dll)

2. Akademisi, Peneliti dan Konsultan, pihak swasta (perush yg memberikan layanan sesuai permintaan pemerintah)

3. Politisi

4. Media massa 5. Opini public

6. Kelompok Sasaran Kebijakan (beneficiaries)

7. Lembaga-lembaga Donor (diantaranya adalah Bank Dunia; IMF; yang di Indonesia cukup berpengaruh dalam menentukan kebijakan dan implementasinya).

II.2.2. Lokus Peran Aktor dalam Proses Kebijakan

Pada tahap mana atau pada fungsi apa dan bagaimana mereka berperan ? Merujuk pada siklus kebijakan, maka peran – peran mereka kurang lebih dapat dideskripsikan sebagai berikut:

1. Tahap Identifikasi masalah menjadi Agenda kebijakan :

a. Untuk kebijakan – kebijakan pembangunan yang rutin dan sudah terprogramkan melalui GBHN atau repelita, maka peran inside government, khususnya birokrat dalam tahap atau fungsi identifikasi masalah biasanya lebih besar. Hal ini disebabkan sebagai pejabat karier mereka jauh lebih menguasai teknis – teknis


(16)

permasalahan dibanding pejabat – pejabat politis. Meski pada saat penyusunan GBHN tentu saja peran aktor legislative lebih menonjol, juga aktor outside government terutama kelompok kepentingan dan kalangan akademisi. Tingkat konflik dalam memperebutkan jakan menjadi agenda kebijakan biasanya rendah.

b. Untuk kebijakan – kebijakan situasional yang harus diambil untuk mersepon kondisi – kondisi social yang terjadi atau isu – isu social yang hangat maka peran outside government sangat besar. Contoh isu – isu social yang berhasil menjadi agenda (bahkan kebijakan publik) misalnya beberapa paket kebijakan di bidang perekonomian saat negara kita mengalami krisis ekonomi tahun 1997, Undang – undang anti teroris, kebijakan otonomi daerah, Undang – undang anti kekerasan dalam rumah tangga, bahkan kebijakan khusus pembangunan kembali Aceh Darussalam paska badai Tsunami, sampai rencana undang – undang pornografi dan pornoaksi, dll.

Aktor – aktor dari berbagai kelompok kepentingan yang terkait pada permasalahan kebijakan politisi non legislative, media massa, opini publik, akademisi, dll saling bersaing untuk memasukkan kepentingannya menjadi agenda pemerintah. Pada proses agenda setting kebijakan yang dihasilkan seringkali jauh dari sempurna baik karena tekanan waktu maupun karena informasi yang tidak lengkap. Akibatnya pada proses implementasinya resiko kegagalan bisa lebih besar dibanding pengimplementasian kebijakan – kebijakan rutin dan terprogram.


(17)

2. Tahap Formulasi Kebijakan

a. Pada tahap inisiasi formulasi kebijakan aktor – aktor yang banyak berperan adalah eksekutif dan birokrat. Permasalahan yang berhasil menjadi agenda kebijakan pemerintah, biasanya diolah dulu oleh eksekutif (Presiden beserta staf penasehat dan menteri – menteri) serta jajaran birokrat level atas menjadi rancangan UU, Perpu, Program dsb. Untuk kebijakan yang menjadi wewenang daerah otonom yang berperan tentu saja Kepala Daerah beserta Stafnya). b. Pada tahap legislasi kebijakan maka yang paling berperan adalah

aktor – aktor dari badan legislative, karena rancangan atau proposal program (berikut rencana anggarannya) harus mendapatkan persetujuan aktor – aktor legislative sebelum dapat dijalankan. Revisi, reinterpretasi atas proposal yang diajukan pemerintah sangat mungkin terjadi pada tahap ini. Partai – partai politik (melalui wakil – wakilnya) saling berebut pengaruh. Kompromi, koalisi, negosiasi dan advokasi juga terjadi dalam proses ini.

Advokasi pada proses hearing (dengar pendapat) juga melibatkan peran aktor dari badan eksekutif dan birokrat, serta aktor Outside Government yang terkait dengan permasalahan. Tingkat konflkik yang terajdi dalam tahap ini cenderung lebih tinggi dibandingkan pada tahap – tahap lainnya. Contoh kebijakan yang alot dalam proses legislasi ini (yang bahkan sampai tulisan ini dibuat belum juga lolos) adalah Undang – undang anti Pornoaksi dan Pornografi.


(18)

Pada tahap ini aktor yang paling berperan tentu saja para birokrat dari semua level. Namun demikian juga terdapat peran aktor – aktor inside government lainnya (misalnya dari kepolisian dan badan Yudikatif) serta aktor – aktor outside government (misalnya LSM, peneliti dan bahkan para konsultan) pada implementasi – implementasi kebijakan yang sesuai.

a. Pada kebijakan yang bersifat top-down, program – program yang harus diimplementasikan biasanya bersifat multi dan lintas sektoral, sehingga makin banyak pula aktor yang terlibat. Semakin banyak lapisan secara vertical maupun secara horizontal dalam struktur birokrasi yang terlibat maka akan semakin rentan pula timbul konflik kepentingan, sementara revisi program tidak mudah dilakukan. b. Pada kebijakan tingkat daerah (otonom), tujuan kebijakan bisa jadi

gagal tercapai bukan hanya disebabkan kegagalan pada tahap implementasi, tapi juga karena kebijakan itu sendiri yang jauh dari sempurna dan seringkali hanya bersifat reaktif pada permasalahan yang timbul di daerah.

Contoh menarik yang bisa dikaji kasus ini misalnya Perda anti Prostitusi di Kabupaten Tangerang yang baru – baru ini diberlakukan. Pada saat mulai diimplementasikan, petugas Trantip (sebagai street level actors) tanpa pandang bulu menangkap perempuan – perempuan yang masih berada di jalanan setelah pukul 22.00 WIB. Akibatnya terjadi banyak salah tangkap. Perempuan baik – baik yang baru pulang kerja sebagai buruh pabrik shift sore, bahkan ibu rumah tangga, dirtangkap dan digiring ke kantor Polisi bersama –


(19)

sama dengan wanita Tuna Susila. Kebijakan ini menuai kritik dan protes keras khususnya dari kaum perempuan yang merasa haknya dilanggar. Kendati Kepala Daerah yang menelurkan kebijakan ini bertekad memperbaiki prosedur pengimplementasiannya, kemungkinan besar tetap tidak akan menuai hasil (output) yang diharapkan, yakni terbebasnya Kabupaten Tangerang dari prostitusi. Apalagi bisa mencapai dampak (outcomes) yang disecara tersirat diinginkan, yakni makin membaiknya moral masyarakat. Akan semakin buruk jika ternyata kebijakan ini adalah kebijakan artificial yang dibuat hanya untuk emenangkan simpati golongan tertentu sebab yang di ‘garuk’ hanya yang tampak di pinggir jalan yang notabene dari ekonomi lemah, sedang prostitusi yang tersembunyi di hotel – hotel tidak tersentuh maka dampak yang tak diharapkan justru akan lebih besar dari dampak yang diharapkan terjadi.

Dalam kerangka system, implementasi adalah proses konversi (throughput) yang mengubah input (kebijakan, tujuan dan sarananya) menjadi output dan outcomes. Persepsi, disposisi dan kapabilitas para implementers akan sangat mempengaruhi bagaimana suatu program dijalankan. Sangat mungkin terjadi kebijakan yang sama diinterpretasikan dan diimplementasikan secara berbeda oleh aktor – aktor pelaksana pada daerah yang berbeda sehingga hasilnya pun tidak akan sama.

c. Pada Kebijakan yang berasal dari pusat namun pelaksanaan di daerah diserahkan pada kebijakan masing-masing kepala Daerah, hasil implementasinya juga akan sangat beragam.


(20)

Kemampuan/kapabilitas, kepentingan, dan persepsi actor daerah sangat mempengaruhi hasil implementasi. Sebagai contoh kebijakan otonomi daerah dan kebijakan sumber keuangan daerah yang ditafsirkan sangat beragam oleh masing-masing daerah sehingga hasilnya pun sangat beragam. Ada daerah yang menjadi sangat kaya raya namun kemampuan mengelola pembangunan daerahnya minim (Kutai Kertanegara, yang sebelum otonomi tak pernah bajir, setelah otonomi tiap musim penghujan dilanda banjir, sementara Kepala Daerahnya tersengkut kasus korupsi), dan ada pula daerah yang minus PAD namun menjadi lebih berkembang setelah otonomi (Kab. Jembrana di Bali).

4. Tahap evaluasi Kebijakan

Pada tahap evaluasi ini aktor yang secara formal memiliki otoritas adalah lem,baga legislative. Namun secara emprik di Indonesia proses evaluasi seringkali dimulai (dan biasanya lebih efektif) dan disuarakan terlebih dahulu oleh aktor –aktor outside government seperti LSM, Media massa, opini publik. Hal ini disebabkan belum berfungsinya lembaga Yudikatif di Indonesia secara optimal sebagai lembaga kontrol. Bagi negara berkembang seperti Indoensai, banyak program –program kebijakan yang dananya berupa pinjaman lunak atau bantuan dari Luar Negeri atau lembaga – lembaga keuangan internasional (negara – negara G 7, IMF, World Bank), dalam kondisi seperti ini maka penilaian dan evaluasi dari lembaga – lembaga donor tersebut juga mempengaruhi ‘nasib’ selanjutnya dari program/ kebijakan tersebut.


(21)

Evaluasi berarti menilai seberapa jauh program –program yang dilaksanakan dapat menghasilkan dampak perusahaan (outcomes) yang diinginkan oleh kebijakan termaksud. Hasil evaluasi biasanya berwujud justifikasi, rekomendasi atau bahkan terminasi atau penghentian program/ kebijakan jika dampak yang tak diharapkan justru yang terjadi.

Contoh kasus: Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah salah satu kebijakan pemerintah tahun 2005 yang dananya diperoleh dari Program Kompenasai Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM. Outcomes yang diharapkan adalah membantu meringankan beban biaya pendidikan yang dikeliarkan orang tua karena nilai penghasilan menjadi berkurang akibat kekurangan biaya operasional sekolah yang selama ini menyebabkan terjadinya pungutan/ iuran di luar SPP. Namun karean instrumen yang dipilih tidak tepat dan petunjuk pelaksanaan yang tidak jelas, maka yang terjadi adalah output yang tercapai: Sekolah – sekolah mendapatkan bantuan operasional, sedang outcomes – pemerataan akses dan peningkatan mutu pendidikan -tidak tercapai. Sekolah – sekolah cenderung menggelembungkan RAPBSnya sehingga iuran tetap ada dan beban orang tua dalam pembiayaan pendidikan tetap tidak berkurang, bahkan pada beberapa kasus malah cenderung bertambah akibat kegiatan yang diajukan oleh sekolah – sekolah pada RAPBS makin bertambah.


(22)

II.2.4. Hubungan Horizontal, Vertikal dan Antar

Lembaga dalam Proses Kebijakan

Dalam konteks implementasi, memberikan perhatian yang cukup besar pada pola hubungan antar actor ini sangatlah penting, sebab pada hakekatnya merekalah yang menentukan bagaimana sebuah kebijakan dilaksanakan. Hubungan horizontal antar actor secara organisasional dimaknai sebagai hubungan kerja yang memiliki status kewenangan sederajad. Hubungan ini bisa menjadi masalah manakala struktur implementasi memiliki hubungan interdependensi dan pola sekuensial pada pelaksanaan program. Keterlambatan penyelesaian tugas oleh satu bagian akan berakibat terhambatnya pula kelanjutan pelaksanaan tugas yang lain. Hubungan horizontal ini jelas membutuhkan koordinasi yang kuat serta komunikasi yang jelas dan lancar.

Hubungan Vertikal secara organisasional dimaknai sebagai hubungan kewenangan dan tanggung-jawab antar actor yang berbeda tingkatannya. Semakin jauh jarak antara pengambil keputusan dengan pelaksana paling bawah, maka akan semakin besar pula kemungkinan keterlambatan pengambilan keputusan yang sesuai, semakin besar pula kemungkinan terjadinya miskomunikasi dan penyimpangan dari tujuan. Pada kasus-kasus implementasi kebijakan demikian (biasanya yang bersifat sentralistis) biasanya diperlukan Petunjuk Pelaksanaan dan SOP yang jelas dan rinci, selain juga pengawasan yang ketat agar implementasi berjalan sesuai dengan struktur yang telah ditentukan.

Hubungan antar lembaga/instansi secara organisasional dimaknai sebagai hubungan kerjasama yang biasanya sederajad yang


(23)

masing-masing memiliki tugas dan kewenangan berbeda atas penyelesaian suatu program. Hubungan actor antar lembaga ini seringkali terdapat pada kebijakan yang besar dan luas cakupannya, misalnya kebijakan pengentasan kemiskinan, kebijakan peningkatan ekonomi dan kebijakan-kebijakan sejenisnya. Hubungan ini tentu saja lebih rumit dan lebih membutuhkan kerjasama, koordinasi dan komunikasi yang lebih intens, dan yang merupakan masalah besar di negeri kita, mengingat adanya arogansi instansi yang menganggap dirinya lebih berwenang dan lebih penting; terlebih lagi manakala tidak ada rumusan yang tegas yang mengatur bentuk kerjasama tersebut. Sering terjadi suatu instansi menahan data yang diperolehnya kendati diperlukan oleh instansi lainnya dengan alasan bukan wewenang dan kewajibannya memberikan data tersebut. Akibatnya pekerjaan yang sama dapat dilakukan oleh beberapa instansi, yang ironisnya kadang memberikan hasil yang berbeda.

Beberapa studi bahkan mengatakan bahwa keberhasilan implementasi mencapai tujuan kebijakan akan lebih tinggi manakala peran utama diserahkan pada satu lembaga tunggal yang bersifat otonom. Desentralisasi implementasi juga menjadi pilihan untuk meminimalkan kerumitan hubungan yang bersifat horizontal, selain juga agar implementor dapat menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut diterapkan. Studi-studi implementasi pada decade belakangan juga mengkaji dan mengambil model dari pendekatan teori komunikasi untuk menstrukturkan pola komunikasi yang efektif dalam pengimplementasian program.


(24)

II.3. LINGKUNGAN

Tak pelak bahwa kondisi lingkungan akan dapat mempengaruhi hasil akhir sebuah implementasi kebijakan, meski tidak secara langsung. Bahwa sebuah kebijakan telah diperhitungkan secara masak dan rasional, struktur implementasi telah dipersiapkan sebaik mungkin, actor-aktor pelaksana dan pola komunikasi juga telah persiapkan secara matang, namun hasil akhir bisa berbeda tergantung pada kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Perbedaan factor kondisi lingkungan inilah yang kemudian melahirkan istilah diskresi dalam implementasi kebijakan public (walau tidak pernah dinyatakan secara implicit dalam model-model implementasi).

Secara umum factor-faktor kondisi lingkungan yang dipandang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah factor-faktor sistem politik, sistem ekonomi, dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku. Faktor-faktor sistem politik/tata pemerintahan misalnya berpengaruh terhadap bagaimana seharusnya penstrukturan proses implementasi. Ada yang distrukturkan secara legal formal dan ada yang cenderung lebih pragmatis. Manakala kontrol publik sangat besar terhadap kinerja pemerintahan, maka struktur yang legal formal lebih disukai implementor untuk menghindari klaim public atau sebagai tameng dalam akuntabilitas public. Oleh karenanya implementasi diterapkan sesuai “textbook” dan diskresi dihindari. Faktor lingkungan ekonomi misalnya apakah yang dianut adalah sistem ekonomi pasar, terpimpin, atau campuran, karena masing-masing sistem akan melahirkan kebijakan dan cara pengimplementasian yang berbeda pula.


(25)

Diskresi merupakan keleluasaan implementor kebijakan, utamanya yang berhadapan langsung dengan kelompok sasaran, untuk menafsirkan dan memilih cara yang mungkin berbeda dengan yang disepakati sebelumnya, sepanjang tidak keluar dari tujuan utamanya. Namun kewenangan untuk melakukan diskresi juga harus dilakukan dengan hati-hati, sebab bisa memerangkap pelakunya dengan “pelanggaran prosedur’ walau dengan tujuan yang mulia, atau bisa juga kewenangan tersebut disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi. Sementara itu manakala tingkat kepercayaan public relative tinggi, maka struktur implementasi bisa bersifat lebih pragmatis sesuai kebutuhan yang ada, sehingga diskresi bagi para implementor menjadi dimungkinkan. Studi yang dilakukan oleh F. van Waarden (dalam Hill & Hupe, 165-167) membahas tentang hal tersebut secara lebih rinci, dan akan sangat bermanfaat dibaca guna pemahaman lebih lanjut.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN

Bab ini membahas mengenai factor-faktor yang mempengaruhi implementasi yang dielaborasi dari berbagai pendekatan dan teori yang dihaslkan oleh para akademisi kebijakan. Secara garis besar disimpulkan bahwa proses dan struktur implementasi dipengaruhi oleh tipe-tipe kebijakan yang dilaksanakan, karena kebijakan yang berbeda membutuhkan penstrukturan proses implementasi yang berbeda pula. Tipe kebijakan tertentu secara substansial memiliki tingkat kesulitan implementasi lebih tinggi dibanding tipe lainnya, yang karenanya membutuhkan struktur implementasi yang lebih kompleks.


(26)

Struktur implementasi dapat dikatakan sebagai pengadministrasian proses-proses implementasi yang melibatkan para actor dan hubungan kerja antar mereka.. Jika Tipe Kebijakan bertindak sebagai ‘antecedent variables’ (yang mempengaruhi struktur dan proses implementasi), maka dapat dikatakan bahwa Para aktor pelaksana dan pola hubungan kerja antar mereka inilah yang berpengaruh langsung terhadap keberhasilan implementasi. Sedang factor-faktor kondisi lingkungan dapat dikatakan sebagai ‘intervening variables’ yang mempengaruhi system dan cara kerja para actor implementasi.

SENARAI

Kebijakan domestik Kebijakan luar negeri Pertahanan

Kebijakan Distribusi Kebijakan Pengaturan Persaingan

Kebijakan Pengaturan Perindungan New Policy Crisis Policy Judicial Policy

Complex Policy Controversial Policy

Aktor-aktor Kebijakan Inside Government Actors Outside Government Actors Hubungan horizontal Kewenangan Hubungan Vertikal Komunikasi Hubungan antar Organisasi Koordinasi Diskresi


(27)

TUGAS – TUGAS MAHASISWA :

Tugas 1. Cari satu contoh untuk masing – masing tipe kebijakan menurut Randal P. Ripley dan menurut George Edwards III dan berikan alasan mengapa kebijakan tersebut bisa lebih sulit diimplementasikan dibanding tipe lainnya.

Tugas 2. Pilih sebuah kebijakan yang anda minati, tentukan tipe kebijakan tersebut, kemungkinan-kemungkinan pengaruhnya terhadap struktur implementasi beserta alasan logisnya.

Tugas 3. Dari kasus Kebijakan yang sama, tentukan aktor – aktor inside government dan outside government yang terlibat dalam keseluruhan proses implementasi tersebut, beserta pola hubungan kerja antar mereka.

Tugas 4. Dari kebijakan yang anda pilih tersebut, tentukan factor lingkungan apa saja yang berpengaruh terhadap proses implementasi, beserta alasan logisnya.

Tugas 5. Selanjutnya diskusikan bagaimana kemungkinan pengimplementasiannya. Faktor-faktor apa yang dapat menjadi penghambat dan pendukung dalam keberhasilan implementasinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Randall B. Ripley, Policy Analysis in Political Science, Nelson Hall, Chicago, 1985

2. Randall B. Ripley & Grace A. Franklin, Bureaucracy and Policy Implementation; Dorsey Press: Homewood III, 1982


(28)

4. Michael Hill & Peter Hupe, Implementing Public Policy: Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London, 2002.

5. Riant Nugroho, Public Policy, Elekmedia Komputindo, Jakarta; 2008

6. Grindle, Merilee S., (ed.), Politics and Policy Implementation in The Third World: Baltimore : John Hopkins university Press, 1980 7. Arnold J. Meltsner, Policy Analysist in the Bureaucracy, University

of California Press, 1976

8. Donald S. van Meter & Carl E. van Horn, The Policy Implementation Process, Administration & Soiaty Juornal, 1975. 9. Eugene Bardach, The Implementation Game- What Happens After

a Bill Becomes a Law, MIT Press, 1978

10. Jeffrey L. Pressman & Aaron Wildavsky, Implementation, Unversity of California Press, 1984.


(1)

masing memiliki tugas dan kewenangan berbeda atas penyelesaian suatu program. Hubungan actor antar lembaga ini seringkali terdapat pada kebijakan yang besar dan luas cakupannya, misalnya kebijakan pengentasan kemiskinan, kebijakan peningkatan ekonomi dan kebijakan-kebijakan sejenisnya. Hubungan ini tentu saja lebih rumit dan lebih membutuhkan kerjasama, koordinasi dan komunikasi yang lebih intens, dan yang merupakan masalah besar di negeri kita, mengingat adanya arogansi instansi yang menganggap dirinya lebih berwenang dan lebih penting; terlebih lagi manakala tidak ada rumusan yang tegas yang mengatur bentuk kerjasama tersebut. Sering terjadi suatu instansi menahan data yang diperolehnya kendati diperlukan oleh instansi lainnya dengan alasan bukan wewenang dan kewajibannya memberikan data tersebut. Akibatnya pekerjaan yang sama dapat dilakukan oleh beberapa instansi, yang ironisnya kadang memberikan hasil yang berbeda.

Beberapa studi bahkan mengatakan bahwa keberhasilan implementasi mencapai tujuan kebijakan akan lebih tinggi manakala peran utama diserahkan pada satu lembaga tunggal yang bersifat otonom. Desentralisasi implementasi juga menjadi pilihan untuk meminimalkan kerumitan hubungan yang bersifat horizontal, selain juga agar implementor dapat menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut diterapkan. Studi-studi implementasi pada decade belakangan juga mengkaji dan mengambil model dari pendekatan teori komunikasi untuk menstrukturkan pola komunikasi yang efektif dalam pengimplementasian program.


(2)

II.3. LINGKUNGAN

Tak pelak bahwa kondisi lingkungan akan dapat mempengaruhi hasil akhir sebuah implementasi kebijakan, meski tidak secara langsung. Bahwa sebuah kebijakan telah diperhitungkan secara masak dan rasional, struktur implementasi telah dipersiapkan sebaik mungkin, actor-aktor pelaksana dan pola komunikasi juga telah persiapkan secara matang, namun hasil akhir bisa berbeda tergantung pada kondisi lingkungan dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Perbedaan factor kondisi lingkungan inilah yang kemudian melahirkan istilah diskresi dalam implementasi kebijakan public (walau tidak pernah dinyatakan secara implicit dalam model-model implementasi).

Secara umum factor-faktor kondisi lingkungan yang dipandang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah factor-faktor sistem politik, sistem ekonomi, dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku. Faktor-faktor sistem politik/tata pemerintahan misalnya berpengaruh terhadap bagaimana seharusnya penstrukturan proses implementasi. Ada yang distrukturkan secara legal formal dan ada yang cenderung lebih pragmatis. Manakala kontrol publik sangat besar terhadap kinerja pemerintahan, maka struktur yang legal formal lebih disukai implementor untuk menghindari klaim public atau sebagai tameng dalam akuntabilitas public. Oleh karenanya implementasi diterapkan sesuai “textbook” dan diskresi dihindari. Faktor lingkungan ekonomi misalnya apakah yang dianut adalah sistem ekonomi pasar, terpimpin, atau campuran, karena masing-masing sistem akan melahirkan kebijakan dan cara pengimplementasian yang berbeda pula.


(3)

Diskresi merupakan keleluasaan implementor kebijakan, utamanya yang berhadapan langsung dengan kelompok sasaran, untuk menafsirkan dan memilih cara yang mungkin berbeda dengan yang disepakati sebelumnya, sepanjang tidak keluar dari tujuan utamanya. Namun kewenangan untuk melakukan diskresi juga harus dilakukan dengan hati-hati, sebab bisa memerangkap pelakunya dengan “pelanggaran prosedur’ walau dengan tujuan yang mulia, atau bisa juga kewenangan tersebut disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi. Sementara itu manakala tingkat kepercayaan public relative tinggi, maka struktur implementasi bisa bersifat lebih pragmatis sesuai kebutuhan yang ada, sehingga diskresi bagi para implementor menjadi dimungkinkan. Studi yang dilakukan oleh F. van Waarden (dalam Hill & Hupe, 165-167) membahas tentang hal tersebut secara lebih rinci, dan akan sangat bermanfaat dibaca guna pemahaman lebih lanjut.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN

Bab ini membahas mengenai factor-faktor yang mempengaruhi implementasi yang dielaborasi dari berbagai pendekatan dan teori yang dihaslkan oleh para akademisi kebijakan. Secara garis besar disimpulkan bahwa proses dan struktur implementasi dipengaruhi oleh tipe-tipe kebijakan yang dilaksanakan, karena kebijakan yang berbeda membutuhkan penstrukturan proses implementasi yang berbeda pula. Tipe kebijakan tertentu secara substansial memiliki tingkat kesulitan implementasi lebih tinggi dibanding tipe lainnya, yang karenanya membutuhkan struktur implementasi yang lebih kompleks.


(4)

Struktur implementasi dapat dikatakan sebagai pengadministrasian proses-proses implementasi yang melibatkan para actor dan hubungan kerja antar mereka.. Jika Tipe Kebijakan bertindak sebagai ‘antecedent variables’ (yang mempengaruhi struktur dan proses implementasi), maka dapat dikatakan bahwa Para aktor pelaksana dan pola hubungan kerja antar mereka inilah yang berpengaruh langsung terhadap keberhasilan implementasi. Sedang factor-faktor kondisi lingkungan dapat dikatakan sebagai ‘intervening variables’ yang mempengaruhi system dan cara kerja para actor implementasi.

SENARAI

Kebijakan domestik Kebijakan luar negeri

Pertahanan

Kebijakan Distribusi Kebijakan Pengaturan

Persaingan

Kebijakan Pengaturan Perindungan New Policy

Crisis Policy Judicial Policy

Complex Policy Controversial Policy

Aktor-aktor Kebijakan Inside Government Actors Outside Government Actors Hubungan horizontal

Kewenangan Hubungan Vertikal

Komunikasi Hubungan antar Organisasi


(5)

TUGAS – TUGAS MAHASISWA :

Tugas 1. Cari satu contoh untuk masing – masing tipe kebijakan menurut Randal P. Ripley dan menurut George Edwards III dan berikan alasan mengapa kebijakan tersebut bisa lebih sulit diimplementasikan dibanding tipe lainnya.

Tugas 2. Pilih sebuah kebijakan yang anda minati, tentukan tipe kebijakan tersebut, kemungkinan-kemungkinan pengaruhnya terhadap struktur implementasi beserta alasan logisnya.

Tugas 3. Dari kasus Kebijakan yang sama, tentukan aktor – aktor inside government dan outside government yang terlibat dalam keseluruhan proses implementasi tersebut, beserta pola hubungan kerja antar mereka.

Tugas 4. Dari kebijakan yang anda pilih tersebut, tentukan factor lingkungan apa saja yang berpengaruh terhadap proses implementasi, beserta alasan logisnya.

Tugas 5. Selanjutnya diskusikan bagaimana kemungkinan pengimplementasiannya. Faktor-faktor apa yang dapat menjadi penghambat dan pendukung dalam keberhasilan implementasinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Randall B. Ripley, Policy Analysis in Political Science, Nelson Hall, Chicago, 1985

2. Randall B. Ripley & Grace A. Franklin, Bureaucracy and Policy Implementation; Dorsey Press: Homewood III, 1982


(6)

4. Michael Hill & Peter Hupe, Implementing Public Policy: Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London, 2002.

5. Riant Nugroho, Public Policy, Elekmedia Komputindo, Jakarta; 2008

6. Grindle, Merilee S., (ed.), Politics and Policy Implementation in The Third World: Baltimore : John Hopkins university Press, 1980 7. Arnold J. Meltsner, Policy Analysist in the Bureaucracy, University

of California Press, 1976

8. Donald S. van Meter & Carl E. van Horn, The Policy Implementation Process, Administration & Soiaty Juornal, 1975. 9. Eugene Bardach, The Implementation Game- What Happens After

a Bill Becomes a Law, MIT Press, 1978

10. Jeffrey L. Pressman & Aaron Wildavsky, Implementation, Unversity of California Press, 1984.