Latar Belakang Penelitian S SEJ 1001841 Chapter1

Moch Wildan Ramadhan, 2015 PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG TAHUN 1970-1998 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis yang tersebar di seluruh dunia. Ini berarti etnis Tionghoa ada di setiap negara. Jutaan orang Tionghoa menyebar mulai dari kawasan Asia Tenggara Filipina, Vietnam, Thailand, Burma, Kamboja, Malaysia, Singapura, Indonesia hingga Mauritius, Afrika Selatan, Eropa, Amerika Utara, Amerika Selatan, Kepulauan Pasifik Forum Kajian Rakyat, 2004, hlm. 1. Kontak pertama etnis Tionghoa dengan penduduk asli negara-negara di Asia Tenggara diperkirakan terjadi pada abad ke-13 SM mulai dari Tongkin dan Aman ke Kamboja, Siam, Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Jawa Hidajat, 1977, hlm. 3. Proses tersebut berlangsung selama berabad-abad dan puncak penyebarannya terjadi pada abad ke-19 dan 20 mencakupi wilayah yang sangat luas Forum Kajian Rakyat, 2004, hlm. 1. Indonesia merupakan salah satu negara tempat persebaran etnis Tionghoa. Sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa, kemudian Sumatera dan Kalimantan Skinner, G. W., 1963 dalam http:neumann.43i.orgsarlitochinese_fam.html. Jumlah etnis Tionghoa di Indonesia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Pada permulaan abad ke-19, jumlah penduduk etnis Tionghoa di Batavia lebih dari 100.000 orang, dari populasi penduduk pulau Jawa kurang lebih 5.000.000 orang Scott Merrillees dalam Setiono, 2003: 18. Pada permulaan abad ke-20, penduduk etnis Tionghoa di Indonesia berkembang menjadi 1.233.856 orang, kurang lebih setengah dari jumlah tersebut tinggal di pulau Jawa. Kemudian berdasarkan penelitian Victor Purcell pada tahun 1951, jumlah etnis Tionghoa di Indonesia kurang lebih 2.100.000 dengan pertambahan 2,5 setiap tahun Hidajat, 1977, hlm. 8. Pada tahun 1961, jumlah etnis Tionghoa yang menetap di Jawa dan Madura adalah 1.230.000 jiwa 2 dari total populasi 63.059.000 jiwa Skinner, G. W., 1963 dalam http:neumann.43i.orgsarlitochinese_fam.html. Pada tahun 2004, etnis Tionghoa di Indonesia diperkirakan mencapai 10 juta orang Forum Kajian Rakyat, Moch Wildan Ramadhan, 2015 PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG TAHUN 1970-1998 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu 2004, hlm. 15. Dengan kata lain pertumbuhan yang fantastis seperti itu etnis Tionghoa di Indonesia bila digabungkan di satu tempat yang sama, maka hampir setengah populasi penduduk Indonesia. Hanya karena mereka cenderung menyebar populasinya diseluruh bagian Indonesia, mereka cenderung menjadi kelompok minoritas. Tidak menutup kemungkinan dimasa yang akan datang konsep mayoritas-minoritas antara etnis Tionghoa dan non-Tionghoa akan terbalik Suryadinata, 1999, hlm. 188. Program keluarga berencana di Indonesia dimulai sekitar tahun 1957. Pada tahun tersebut didirikan Perkumpulan Keluarga Berencana PKB. Program KB masuk ke Indonesia melalui jalur urusan kesehatan bukan urusan kependudukan. Program KB masih dianggap belum terlalu penting. Kegiatan penyuluhan dan pelayanan masih terbatas dilakukan karena masih ada pelarangan tentang penyebaran metode dan alat kontrasepsi Ahmadi Kaelany, 1982, hlm 195. Darahim 2010, hlm. 21-25 mengungkapkan bahwa begitu memasuki Orde Baru, program KB mulai menjadi perhatian pemerintah. Saat itu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI sebagai organisasi yang mengelola dan concern terhadap program keluarga berencana mulai diakui sebagai badan hukum oleh departemen kehakiman. Pemerintahan Orde Baru yang menitik beratkan pada pembangunan ekonomi, mulai menyadari bahwa program KB sangat berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi. Kemudian pada tahun 1970 resmilah program KB menjadi program pemerintah dengan didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN Melalui Keputusan Presiden Kepres Nomor 8 tahun 1970 sebagai sebuah lembaga Non Departemen yang mempunyai tanggung jawab pada bidang pengendalian penduduk di Indonesia. Peresmian tersebut ditandai dengan pencanangan hari Keluarga Nasional pada tanggal 29 Juni 1970. Sejak itu pemerintah mulai memperkuat dan memperluas program KB ke seluruh Indonesia. Merencanakan dan mengatur keluarga adalah soal kemanusiaan yang sekarang ini sedang diusahakan pelaksanaannya oleh pemerintah dan rakyat Indonesia. Jika pembangunan itu adalah pembangunan manusia, maka kelahiran manusia pun harus diatur. Di samping itu pertumbuhan penduduk yang tidak disertai dengan pertumbuhan yang cukup dalam produksi nasional dapat juga menimbulkan berbagai masalah yang berkaitaan dengan kurangnya fasilitas pendidikan, kurangnya penyediaan makanan, pelayanan kesehatan, kesempatan kerja, dan sebagainya. Usaha perencanaan keluarga Moch Wildan Ramadhan, 2015 PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG TAHUN 1970-1998 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu harus dilakukan sedemikian rupa supaya tidak bertentangan dengan hukum yang berjalan dinegeri ini, juga tidak bertentangan dengan ajaran agama yang merupakan sumber rasa susila dan rasa peri kemanusiaan. Ini semua harus diatur oleh pemerintah dan harus didukung pula oleh segenap rakyat Lestari, dkk. , 2007, hlm. 1. Akan tetapi di Indonesia masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang sudah menjadi rahasia umum mereka kurang berpartisipasi dalam melaksanakan program keluarga berencana sesuai dengan anjuran pemerintah. Menurut Suliyati Tanpa tahun: 12 bahwa : Partisipasi wanita Tionghoa dalam program KB dipandang penting karena budaya mereka menganggap bahwa anak yang banyak akan mendatangkan banyak rejeki. Pandangan ini sudah tidak sesuai dengan program pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Untuk menunjang program tersebut wanita Tionghoa yang sudah mengikuti program keluarga berencana terutama wanita Tionghoa yang berpendidikan dan berpikiran maju. Walaupun demikian masih banyak wanita Tionghoa yang belum menyadari pentingnya program KB bagi pembangunan Indonesia. Sedangkan pengaturan kelahiran itu harus diadakan, agar supaya kenaikan produksi tidak dikalahkan oleh kenaikan kelahiran anak. Hal yang ditakutkan pun terjadi pada masa sekarang ini, dimana kelahiran anak mengalahkan kenaikan produksi terutama produksi pangan Ahmadi Kaelany, 1982, hlm. 104. Dengan demikian suksesnya suatu program pemerintah dalam hal ini program KB, tergantung dari aktif atau tidak aktifnya partisipasi masyarakat untuk mensukseskan program tersebut. Sehingga dalam posisi ini peran aktif masyarakat sangat penting artinya bagi tercapainya tujuan secara mantap. Program KB dicanangkan dalam rangka usaha pemerintah untuk membangun manusia Indonesia yang berkualitas. Pada dasarnya pemerintah berkeinginan untuk membuat perubahan dari suatu kondisi tertentu ke keadaan lain yang lebih bernilai. Agar proses perubahan itu dapat menjangkau sasaran-sasaran perubahan keadaan yang lebih baik dan dapat digunakan sebagai pengendali masa depan, di dalam melaksanakan pembangunan itu perlu sekali memperhatikan segi manusianya. Karena dalam arti proses, pembangunan itu menyangkut makna bahwa manusia itu obyek pembangunan dan sekaligus subyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan manusia harus diperhitungkan, sebab dia punya nilai dan potensi yang luar biasa. Oleh karena itu proses pembangunan perlu sekali dalam mengajak subyek pembangunan tadi Moch Wildan Ramadhan, 2015 PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG TAHUN 1970-1998 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu untuk ikut berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan secara berkelanjutan Pasaribu Simanjuntak, 1986, hlm. 62. Persepsi warga masyarakat terhadap program tertentu merupakan landasan atau dasar utama bagi timbulnya kesediaan untuk ikut terlibat dan berperan aktif dalam setiap kegiatan program tersebut. Makna positif atau negatif sebagai hasil persepsi seseorang terhadap program akan menjadi pendorong atau penghambat baginya untuk berperan dalam kegiatannya Mubyarto, 1984, hlm. 70. Sikap terbuka untuk secara jujur menyatakan persepsi dan pandangannya tentang suatu program yang diselenggarakan pemerintah. Karena sering dilandasi oleh persepsi yang kurang positif, maka keterlibatan yang ada sering merupakan partisipasi semu. Keadaan yang demikian itu bila sering terjadi maka akan berakibat kurang lancarnya kegiatan sesuai dengan rencana sehingga menyulitkan usaha pencapaian tujuan program secara utuh dan mantap. Hambatan yang sering muncul ketika psrtisipasi masyarakat terhadap suatu program pemerintah kurang maksimal bisa secara internal berupa hambatan sosio-kultural, dan eksternal hambatan dari birokrasi pemerintah itu sendiri. Lestari, dkk. 2007, hlm. 2 mengungkapkan bahwa hambatan internal, merupakan hambatan dari dalam masyarakat itu sendiri, yang merupakan keragu- raguan sebagian besar warga masyarakat untuk terlibat langsung dalam suatu program kegiatan. Hal ini disebabkan karena keadaan sosio-kultural mereka yang belum memungkinkan untuk secara aktif menyuarakan keinginan mereka. Sementara mereka lebih memilih diam. Hambatan ini masih bisa diperbaiki dengan cara memberikan masukan informasi-informasi baru yang positif dan bersifat membangun. Mereka harus dikenalkan dengan penemuan-penemuan dan perkembangan baru di daerah lain, yang nantinya akan membuka cakrawala berpikir mereka. Tetapi kadang-kadang mereka masih memiliki kesadaran yang rendah karena adanya beberapa keterbatasan. Sedangkan hambatan eksternal, yakni hambatan dari birokrasi pemerintah itu sendiri bisa berupa akses untuk mengikuti program tersebut masih sulit, keterbatasan pemerintah dalam menyediakan Petugas Lapangan Keluarga Berencana PLKB, atau bahkan dimana ketidakstabilan politik suatu negara pemerintah dapat mengombang- ambingkan kedudukan kelembagaan yang mengurusi masalah program keluarga berencana tersebut. Moch Wildan Ramadhan, 2015 PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG TAHUN 1970-1998 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Kata “persepsi” seringkali digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, apa makna sebenarnya dari persepsi itu sendiri?. Menurut pengertian dari beberapa para ahli adalah sebagai berikut: Persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisir suatu pengamatan, kemampuan untuk membedakan, kemampuan untuk mengelompokan, dan kemampuan untuk memfokuskan. Oleh karena itu seseorang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda, walaupun objeknya sama. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam hal sistem nilai dan ciri kepribadian individu yang bersangkutan Sarwono, 1983, hlm. 89. Sedangkan menurut Leavit dalam Triska, 2007, hlm. 8 menambahkan bahwa persepsi memiliki pengertian dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit persepsi yaitu penglihatan: bagaimana seseorang melihat sesuatu, dan dalam arti luas persepsi yaitu: pandangan atau pengertian, bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu menggunakan makna. Dengan demikian, penulis coba simpulkan secara sederhana bahwa setiap individu dalam kehidupan sehari-hari akan menerima stimulus atau rangsang berupa informasi, peristiwa, objek, dan lainnya yang berasal dari lingkungan sekitar, stimulus atau rangsang tersebut akan diberi makna atau arti oleh individu, proses pemberian makna atau arti tersebut dinamakan persepsi. Lestari, dkk. 2007, hlm. 3 juga berpendapat bahwa persepsi seseorang sangat tergantung pada banyak faktor yang membentuk pengalamannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, kaitannya dengan program KB sebagai usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Partisipasi aktif warga masyarakat akan sangat ditentukan oleh persepsinya terhadap program keluarga berencana, baik latar belakang sosial ekonominya maupun budayanya yang khusus. Penelitian ini akan mengambil daerah Pecinan di Kota Bandung yang terletak di Jalan Pecinan Lama sekitaran Pasar Baru, tepatnya di Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, wilayah pemerintahan Kota Bandung sebagai wilayah kajiannya. Sebagai suatu wilayah yang dapat dikatakan daerah Pecinan, dimana disana masih terlihat deretan toko milik warga Tionghoa yang ada di setiap kawasan Pecinan pada umumnya. Kemudian penulis juga mendapati banyak warga masyarakat etnis Tionghoa yang hidup berkelompok disana. Skober 2006, hlm. 6 juga ikut menambahakan bahwa di Bandung orang-orang Cina semula tinggal di Banceuy. Setelah jumlah orang Cina bertambah, kemudian disediakan tempat di kota bagian barat sekarang disebut Pasar Baru yang disebut “Pecinan”. Seperti yang terlihat dalam realitas masyarakat Moch Wildan Ramadhan, 2015 PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG TAHUN 1970-1998 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Tionghoa sekarang ini, sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kota- kota. Perkampungan etnis Tionghoa di kota-kota itu, termasuk dalam hal ini di Bandung, biasanya merupakan deretan rumah-rumah yang berhadapan di sepanjang jalan pusat pertokoan Kustedja, 2012, hlm. 125. Sampel dalam penelitian ini merupakan masyarakat urban dimana sudah dapat ditentukan tingkat pendidikan mereka sebetulnya tinggi, akan tetapi kesadaran mereka untuk ber-KB rendah. Kemudian untuk periode tahun, karena dalam penelitian sejarah harus dibatasi ruang dan waktu penulis menentukan tahun 1970-1998 sebagai acuan. Tahun 1970 sebagai tahun acuan peneliti karena sejak awal Orde Baru, pada tahun 1967 Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia yang berisikan kesadaran betapa pentingnya menentukan atau merencanakan jumlah anak, dan menjarangkan kelahiran dalam keluarga sebagai hak asasi manusia. Pada tanggal 16 Agustus 1967 di depan sidang DPRGR, Presiden Soeharto pada pidatonya mengungkapkan “ Oleh karena itu kita harus menaruh perhatian secara serius mengenai usaha-usaha pembatasan kelahiran, dengan konsepsi keluarga berencana yang dapat dibenarkan oleh moral agama dan moral Pancasila ” BKKBN, 2012 dalam http:riau.bkkbn.go.idViewProfil.aspx?ProfilID=31.html. Sebagai tindak lanjut dari pidato presiden tersebut, pada tahun 1970 didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN dan sebagai Kepala BKKBN adalah Dr. Suwardjo Suryaningrat melalui Keputusan Presiden Kepres Nomor 8 tahun 1970 sebagai sebuah lembaga non departemen yang mempunyai tanggung jawab pada bidang pengendalian penduduk di Indonesia. program KB ini merupakan salah satu program yang digadang-gadang dalam repelita I Darahim, 2010, hlm. 22. Rencana Pembangunan Lima Tahun repelita merupakan perencanaan pembangunan lima tahun kedepan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di Indonesia. Penulis menjadikan implementasi program KB pada masa Repelita sebagai acuan penelitiannya, sedangkan 1998 merupakan tahun dimana berakhirnya pemerintahan Orde Baru itu sendiri. Penulis merasa tertarik menyelidiki keengganan mereka untuk ber-KB sesuai yang dianjurkan pemerintah. Apa persepsi mereka tentang program KB?, apa faktor yang mempengaruhi persepsi mereka?, tentu bisa berbagai macam hal baik internal atau eksternal, sosial-kultural maupun dari birokrasi pemerintahnya. Moch Wildan Ramadhan, 2015 PERSEPSI MASYARAKAT TIONGHOA TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA DI KAWASAN PECINAN KOTA BANDUNG TAHUN 1970-1998 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Berdasarkan pemaparan yang sudah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menggali lebih dalam temuannya mengenai persepsi masyarakat Tionghoa terhadap program KB di kawasan Pecinan Kota Bandung. Dimana masyarakat Tionghoa disana sudah dikategorikan menjadi masyarakat urban, yakni masyarakat berpendidikan dan memiliki ekonomi lebih mapan. Tetapi partisipasi mereka masih kurang terhadap program keluarga berencana yang telah diupayakan pemerintah dalam pembangunan kependudukan. Dengan demikian untuk mengetahui persepsi masyarakat Tionghoa di kawasan Pecinan Kota Bandung terhadap program keluarga berencana, maka penulis akan menuliskan temuannya kedalam sebuah skripsi dengan judul : “Persepsi Masyarakat Tionghoa Terhadap Program Keluarga Berencana Di Kawasan Pecinan Kota Bandung Tahun 1970-1998 ”.

1.2 Rumusan dan Batasan Masalah