Keadaan Penduduk Keadaan Agama

statistik status tanah, akan tetapi tidak dapat penulis sampaikan karena baik dari Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali maupun dari Kecamatan Selo belum memiliki data-data tanah yang lengkap. Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali mempunyai kendala dimana wilayah cakupannya terlalu luas sehingga proses pendataan terhambat dan sampai saat tesis ini dibuat sedang diusahakan realisasinya. Sedangkan kendala yang dihadapi oleh Kantor Kecamatan Selo, dimana setiap pemohon yang meminta surat keterangan dari Kecamatan untuk pensertipikatan tanah dan setelah selesai mendapatkan persetujuan dari Kantor Pertanahan pemohon tersebut tidak melaporkan kembali kepada Kantor Kecamatan, sehingga untuk memperoleh data yang lengkap akan sangat sulit. Kantor Kecamatan Selohanya dapat memperkirakan sekitar 45 tanah yang berada di wilayah Kecamatan Selotelah disertipikatkan.

4.1.5. Keadaan Penduduk

Kabupaten Boyolali memiliki wilayah seluas 77.449.6745 Ha yang terdiri dari : - Tanah kering seluas 54.6373.4747 Ha. - Tanah basah seluas 23.4657.7858 Ha, dan dengan jumlah penduduk 1.390.600 jiwa pada tahun 2005, yang tersebar di 27 Kecamatan seKabupaten Boyolali. Adapun jumlah desanya adalah 299 desa, dengan jumlah kelurahan sebanyak 30. Dari 27 Kecamatan, penulis hanya mengambil satu Kecamatan yaitu Kecamatan Boyolali. Sementara itu jumlah penduduk Kabupaten Boyolali dan pertambahan penduduk pertahunnya terlihat dalam tabel 1 berikut ini : TABEL 3 PENDUDUK KECAMATAN BOYOLALI DAN PERTUMBUHANNYA PERTAHUN Tahun Rumah Tangga Jumlah dalam jiwa 2000 51.013 304.490 2001 51.308 306.514 2002 51.565 308.427 2005 51.575 340.867 2004 51.926 344.919 2005 53.635 355.426 Sumber data : Kantor Statistik Boyolali Tahun 2005. Dari jumlah penduduk yang terlihat dalam Tabel 3 penduduk Kabupaten Boyolali mengalami kenaikan pada setiap tahunnya, tingkat kenaikan atau perkembangan penduduknya itu rata- rata 0,70 per tahunnya.

4.1.6. Keadaan Agama

Menurut data Monografi Kantor Statistik , adapun jumlah penduduk yang beragama Islam sebanyak 183.885, Khatolik sebanyak 5.494, Protestan 1.876, Hindu 34, Budha 209 dan sisanya adalah kepercayaan lainnya. Berdasarkan data tersebut maka dapat diketahui bahwa sebagian besar adalah beragama Islam yang taat. Sedangkan sisanya adalah beragama lain dengan tingkat kerukunan yang tingga diantara sesama pemeluk agama yang ada. 4.2. Pelaksanaan pendaftaran tanah yang berasal dari jual beli tanah menurut hukum adat pada masyarakat di Kecamatan Selo Dalam memberikan penjelasan terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah yang berasal dari jual beli tanah menurut hukum adat di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali akan dilihat melalui angket dengan daftar pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu. Angket pertanyaan tersebut disebarkan dan diperoleh data sebagai berikut : TABEL 4 PENGETAHUAN RESPONDEN TERHADAP PENDAFTARAN TANAH YANG BERASAL DARI JUAL BELI MENURUT HUKUM ADAT No Alternatif Frekuensi Prosentase 1 Mengetahui 4 40 2 Tidak mengetahui 6 60 Jumlah 10 100 Sumber data : Hasil penelitian lapangan yang diolah. Berdasarkan tabel 4 diatas dapat diketahui bahwa sebagian responden belum mengetahui dan memahami tata cara pendaftaran hak. Hal ini terlihat sebanyak 4 responden atau sebesar 40 tidak mengetahui tata cara pendaftaran peralihan hak, sedangkan yang mengetahui hanya 6 responden atau sebesar 60 responden saja yang mengetahui tata cara pendaftaran peralihan hak. Kemudian untuk mengetahui yang telahbelum melaksanakan pendaftaran peralihan hak atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini : TABEL 5 PELAKSANAAN PENDAFTARAN TANAH YANG BERASAL DARI JUAL BELI TANAH MENURUT HUKUM ADAT DI KANTOR PERTANAHAN OLEH PARA PEMEGANG HAK No Alternatif Frekuensi Prosentase 1 Yang melaksanakan 4 40 2 Yang tidak melaksana- kan 6 60 Jumlah 10 100 Sumber data : hasil penelitian lapangan yang diolah. Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui sebanyak 4 responden atau sebesar 40 responden yang melaksanakan pendaftaran peralihan menurut hukum adat, sedangkan 6 responden atau 60 responden tidak melaksanakan kewajibannya dalam pendaftaran perolehan menurut hukum adat, maka surat tanda bukti kepemilikan masih atas nama penjual. Kemudian untuk mengetahui responden yang melakukan pendaftaran jual beli menurut hukum adat ke Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini. TABEL 6 ALASAN RESPONDEN MENDAFTARKAN PERALIHAN HAKNYA No Alasan Frekuensi Prosentasi 1 Kepastian hukum 8 80 2 Jaminan Hutang di bank 2 20 Jumlah 10 100 Sumber data : Hasil penelitian lapangan yang diolah. Berdasarkan tabel 6 dapat diuraikan bahwa 8 responden yang telah mendaftarkan peralihan haknya dengan alasan untuk menjamin kepastian hukum supaya memperoleh sertipikat sebagai tanda bukti yang kuat agar tidak ada permasalahan di kemudian hari. Mereka mengetahui bahwa peralihan menurut hukum adat atas tanah yang diperoleh melalui jual beli harus didaftarkan pada waktu mereka melaksanakan transaksi jual beli yang dilakukan dihadapan PPAT yaitu dari penjelasan PPAT tersebut. Oleh karena itu setelah mereka melaksanakan transaksi jual beli dihadapan PPAT maka mereka segera mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan. Hal ini juga dikarenakan mereka merasakan manfaat dan pentingnya sertipikat bagi diri sendiri dan anak cucunya terhadap pihak lain apabila ada permasalahan di kemudian hari, karena sertipikat berfungsi sebagai tanda bukti hak atas tanah yang kuat, maksudnya dengan mempunyai sertipikat, maka dapat diketahui adanya : - Kepastian hak atas tanahnya, - Kepastian subyek hak atas tanahnya, - Kepastian obyek hak atas tanahnya. Sedangkan 2 responden yang telah mendaftarkan peralihan haknya dengan alasan untuk dapat dijadikan jaminan hutang di Bank. Pelaksanaan pendaftaran peralihan menurut hukum adat atas tanah dengan tujuan untuk mendapatkan sertipikat sebagai tanda bukti hak sebagai jaminan hutang di Bank biasanya merupakan alasan para pedagangswasta. Hal ini dikarenakan pedagang memerlukan modal untuk berdagang dan modal tersebut dapat diperoleh dengan meminjam dari bank dan pihak Bank bersedia memberikan pinjaman dengan jaminan sertipikat atas nama pemohon sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh responden yang melakukan peralihan menurut hukum adat atas tanah karena jual beli hanya sampai di hadapan PPAT akan tetapi tidak didaftarkan belum selesai proses pendaftarannya dapat dulihat pada tabel 7 berikut ini : TABEL 7 ALASAN RESPONDEN TIDAK MENDAFTARKAN PERALIHAN HAKNYA No Alasan Frekuensi Prosentase 1 BiayaEkonomi 5 50 2 Jangka waktu tak terbatas 4 40 3 Tidak ada sanksi 1 10 Jumlah 10 100 Sumber data : Hasil penelitian lapangan yang diolah. Berdasarkan tabel 7 dapat dikemukakan alasan – alasan responden yang belum melaksanakan pendaftaran peralihan menurut hukum adat atas tanahnya yakni 10 responden yang tidak mendaftarkan peralihan haknya dengan alasan karena tidak mampu membiayai pendaftaran peralihan hak tersebut meskipun sudah melaksanakan jual beli dan mempunyai akta jual beli PPAT dan mereka menunda waktu pendaftaran tersebut untuk menyiapkan biaya pendaftaran peralihan hak selanjutnya. Karena ketidakmampuan ekonomi tersebut membuat mereka beranggapan bahwa biaya pendaftaran peralihan hak yang sesuai dengan peraturan yang berlaku sangat mahal karena mereka juga harus membayar pungutan desakelurahan yang dikenal dengan istilah uang desa, apalagi bila mereka dalam melaksanakan pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut tidak dilakukan sendiri tetapi melalui perantaraan orang lain berarti mereka harus memberi uang jasa terhadap orang tersebut. TABEL 8 PENGETAHUAN RESPONDEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 No Alternatif Frekuensi Prosentase 1 Mengetahui 3 30 2 Tidak mengetahui 7 70 Jumlah 10 100 Sumber data : Hasil Penelitian Lapangan yang diolah Berdasarkan pada tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 3 responden atau sebesar 30 responden telah mengetahui tentang ketentuan pendaftaran peralihan hak atas tanah Menurut hukum adat yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 sedangkan 70 tidak mengetahuinya. Hukum tanah nasional konsepsinya di dasarkan pada hukum adat dan pelaksanaannya mengingat bahwa hukum agraria sekarang ini memakai sistem dan asas-asas hukum adat maka jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik atau penyerahan tanah untuk selama-lamanya oleh penjual kepada pembeli yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual. 33 Pelaksanaan jual beli tanah pada masyarakat Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali masih banyak dengan jual beli menurut hukum adat atau secara di bawah tangan. Syarat sahnya jual beli tanah menurut hukum adat adalah terpenuhinya tiga unsur yaitu tunai, riil dan terang. Yang dimaksud dengan tunai adalah penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak sudah beralih. Harga yang dibayarkan itu tidak harus lunas, selisih harga dianggap sebagai hutang pembeli kepada penjual yang termasuk dalam lingkup hukum hutang piutang bukan hukum pertanahan. Sifat riil berarti bahwa kehendak yang telah diucapkan oleh penjual dan pembeli harus diikuti dengan perbuatan nyata, misalnya dengan diterimanya uang pembayaran oleh penjual dan dibuatnya perjanjian dihadapan kepala desa. Perbuatan hukum jual beli secara terang maksudnya adalah jual beli dilakukan di hadapan kepala desa untuk memastikan bahwa perbuatan itu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku. 33 Boedi Harsono, Hukum Agraria, Djambatan, Jakarta, 2000, hal 23. Mengenai ikut sertanya kepala desaketua adat dalam jual beli tanah, Makamah Agung dalam Yurisprudensinya tanggal 13 Desember 1958 No. 4KRUP1958 menyatakan bahwa belumlah ternyata ikut sertanya kepala desa diharuskan sebagai syarat mutlak oleh hukum adat, hanya percampuran kepala desa atau kesaksian kepala desa itu merupakan faktor yang lebih menyatakan keyakinan bahwa suatu jual beli tanah adalah sah. Dalam putusan Makamah Agung tanggal 12 Juni 1975 No. 952KSIP1975 dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa jual beli menurut hukum adat sah apabila dilakukan secara riil dan tunai serta diketahui oleh kepala desa. Keputusan dari Makamah Agung tersebut sesuai dengan asas dari hukum adat. Apabila jual beli tersebut tidak dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT jual beli tersebut tetap sah karena UUPA berdasarkan hukum adat dan pengertian jual beli menurut UUPA menggunakan asas dari hukum adat yaitu konkrit dan nyata. 34 Di dalam hukum adat sistem yang dipakai berkenaan dengan jual beli tanah dikenal dengan sistem konkrit atau kontan dan terang yaitu perpindahan hak atas tanah serentak begitu pembayaran harga tanah 34 Wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Boyolali, 12 Maret 2006. diserahkan kepada pembeli. Demikian pula pertemuan kehendak harus dikonkritkan dengan penyerahan panjar supaya mengikat secara hukum adat. Transaksi jual beli tanah tersebut dapat dibuat diatas kertas segel atau tanpa kertas segel dan harus dibubuhi materai secukupnya yang dibuat oleh para pihak di hadapan kepala desa yang bersangkutan dan sekaligus sebagai penyerahan menurut hukum adat atas tanah telah beralih kepada pembeli. 35 Apabila jual beli tidak dilakukan dihadapan kepala desa, jual beli itu bisa dianggap sah sepanjang syarat materiilnya sudah dipenuhi oleh para pihak yaitu harga telah dibayar oleh pembeli begitu pula hak atas tanah yang dijual telah diserahkan sepenuhnya oleh penjual kepada pembeli. 36 Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam jual beli tanah adalah subjeknya yaitu penjual dan pembeli. Penjual yang berhak untuk menjual suatu bidang tanah adalah pemegang sah dari hak atas tanah itu. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang maka ia berhak untuk menjualnya sendiri. Tetapi apabila pemiliknya lebih dari satu orang maka harus dilakukan secara bersama-sama. Akibat dari 35 Wawancara dengan Camat SeloKabupaten Boyolali, 12 Maret 2006. 36 Ibid. jual beli tanah menurut hukum adat yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah jual belinya batal demi hukum. 37 Berdasarkan Pasal 5 UUPA maka jual beli tanah setelah UUPA mempergunakan sistem dan asas-asas dalam hukum adat. Dalam konsiderans UUPA disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan perundang- undangan dan selama peraturan itu belum ada maka hukum adatlah yang berlaku. Kenyataannya bahwa peraturan perundang-undangan yang diadakan justru mengadakan penggantian norma-norma hukum adat yang berlaku sebelumnya. Sebagai contoh ketentuan mengenai jual beli tanah yang semula cukup dilakukan dihadapan kepala desa, oleh Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 diubah menjadi dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT. Menurut pendapat Boedi Harsono bahwa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang terbuka misalnya lembaga jual beli tanah menurut hukum agraria mengalami model modernisasi dan penyesuaian adalah tanpa mengubah hakekat dalam hukum adat yaitu perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran 37 Wawancara dengan Camat SeloKabupaten Boyolali, 20 Maret 2006. harganya secara tunai serta sifat dan cirinya sebagai perbuatan riil dan terang. 38 Jual beli tanah menurut PP No. 10 tahun 1961 yang telah disempurnakan dengan PP No. 24 tahun 1997 harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh seorang PPAT. Jual beli tanah yang semula cukup dilakukan dihadapan kepala desa dan sekarang oleh peraturan agraria harus di hadapan PPAT adalah suatu perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu alat bukti yang dilakukan menurut hukum adat yang masyarakatnya terbatas lingkup personal dan tertorialnya yaitu cukup dibuatkan surat oleh penjual sendiri dan diketahui oleh kepala desa.Perubahan tata cara ini bukan meniadakan ketentuan hukum adat yang mengatur segi materiil lembaga jual beli tanah. 39 Berdasarkan hasil penelitian penulis di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali masyarakatnya banyak melakukan jual beli menurut hukum adat atau secara dibawah tangan yaitu jual beli yang dilakukan di hadapan kepala desa, tetapi ada sebagian yang melakukan jual beli dihadapan PPAT dengan melakukan penggulangan jual beli. Maksudnya penjual dan pembeli setelah melakukan jual beli dihadapan kepala desa untuk kemudian 38 Boedi Harsono, Op.cit, hal 56. 39 Sudargo Gautama, Tafsiran UUPA, Alumni, Bandung, 1981, hal.204. melakukan jual beli lagi dihadapan PPAT. Hal ini dimaksudkan karena pembeli ingin mendapatkan sertipikat tanah atas namanya atau dengan membalik nama sertipikat atas nama penjual menjadi atas nama pembeli pada Kantor Pertanahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditegaskan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli, tukar menukar, hibah dan perbuatan hukum pemindahan hak lain kecuali lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 40 Jual beli tanah sah secara hukum dengan dibuatnya akta jual beli yang merupakan pembuktian bahwa telah terjadi jual beli hak atas tanah yaitu pembeli telah menjadi pemilik. Pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli di Kantor Pertanahan bukanlah merupakan syarat sahnya jual beli yang telah dilakukan tetapi hanya untuk memperkuat pembuktian terhadap pihak ketiga. 41 Pelaksanaan pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau oleh orang yang dikuasakan dengan surat kuasa 40 Boedi Harsono, Op.cit, 86. 41 Wawancara dengan PPAT Bapak Mulyoto, 29 April 2006. tertulis sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pembuatan akta jual beli juga harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jual beli tanah yang tidak dilakukan di hadapan PPAT atau dilakukan menurut hukum adat, maka berkaitan dengan pendaftaran tanah menurut UUPA yaitu pada Pasal 37 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 telah ditegaskan bahwa setiap peralihan hak atas tanah karena jual beli harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Jadi untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah pada Kantor Pertanahan diperlukan suatu alat bukti bahwa telah dilakukan perbuatan hukum jual beli yang menurut Pasal 37 ayat 1 bahwa alat bukti harus berupa akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Untuk dapat memenuhi ketentuan tersebut maka cara yang dapat dilakukan pemohon pembeli untuk dapat melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli adalah dengan terlebih dahulu melakukan pengulangan transaksi jual beli di hadapan PPAT untuk mendapatkan akta jual beli yang merupakan salah satu persyaratan pendaftaran peralihan hak atas tanah. Selain melakukan pengulangan transaksi jual beli di hadapan PPAT masyarakat Kecamatan SeloKabupaten Boyolali untuk dapat mendaftarkan peralihan hak atas tanahnya di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali adalah dengan meminta putusan pengadilan yang menyatakan bahwa jual beli menurut hukum adat yang pernah terjadi adalah sah menurut hukum dan pemohon pembeli adalah pemilik sah dari tanah yang bersangkutan. Dengan adanya putusan pengadilan tersebut dapat dijadikan dasar untuk digunakan sebagai salah satu persyaratan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali. Jual beli tanah yang telah dilakukan menurut hukum adat di Kabupaten Boyolali apabila di daftarkan maka Kantor Pertanahan akan menolak dengan alasan Kantor Pertanahan khususnya seksi pengukuran dan pendaftaran tanah akan menunjuk pada Pasal 19 PP No. 10 tahun 1961 atau Pasal 37 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 dimana menentukan bahwa jual beli tanah harus dilakukan di hadapan PPAT untuk mendapatkan akta jual beli. 42 Jual beli dibawah tangan atau dilakukan menurut hukum adat yang masih dilakukan di desa-desa khususnya banyak dilakukan masyarakat Kecamatan SeloKabupaten Boyolali apabila kemudian di daftarkan pada Kantor Pertanahan ternyata ditolak, tetapi pemilik tanah pemohon dapat meminta putusan pengadilan yang menyatakan benar telah terjadi jual beli tanah dan pemohon adalah pemilik sah 42 Wawancara dengan Ka. Seksi pendaftaran tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali, 29 April 2006. tanah yang bersangkutan. Putusan ini nantinya dapat dipergunakan sebagai bukti dan dapat dijadikan salah satu syarat dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli di Kantor Pertanahan. 42 Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa jual beli pada masyarakat di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dilakukan menurut hukum adat yang dalam pelaksanaannya hanya dilakukan di hadapan kepala desa yang bersifat tunai, riil dan terang. Jual beli tersebut tetap sah walaupun telah diatur dalam PP No. 10 tahun 1961 yang telah disempurnakan dengan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah sepanjang syarat-syarat materiil terpenuhi yaitu adanya para pihak, tanah sebagai objek jual beli dan harga yang telah disepakati. Demi kepastian hukum bagi pembeli selaku pemilik tanah dibuktikan dengan sertipikat tanah sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 19 UUPA. Untuk mendapatkan sertipikat tanah dengan atas nama pembeli maka masyarakat di Kecamatan SeloKabupaten Boyolali yang melakukan jual beli tanah menurut hukum adat melakukan pengulangan transaksi jual beli tanah di hadapan PPAT untuk mendapatkan akta jual beli dan atau meminta putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa jual beli tanah telah sah 42 Wawancara dengan Agus Setyawan, Hakim PN Kabupaten Boyolali, 29 April 2006. dilakukan menurut hukum dan pemohon dalam hal ini pembeli adalah pemilik dari tanah yang bersangkutan. Dengan dilaksanakannya salah satu cara tersebut baru dapat dilakukan pendaftaran peralihan hak karena jual beli menurut hukum adat di Kantor Pertanahan.Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 37 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 yang menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli, tukar menukar, hibah dan perbuatan hukum pemindahan hak lain kecuali lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT. 4.2.1.Pelaksanaan pendaftaran tanah yang berasal dari jual beli menurut hukum adat di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali. Pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena jual beli menurut hukum adat di Kabupaten Boyolali tidak terlepas dari prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Oleh karena itu bagi pemohon yang berkepentingan untuk mendaftarkan tanahnya diwajibkan untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan. Untuk pendaftaran jual beli tanah yang sudah bersertipikat syarat-syaratnya adalah sebagai berikut : a. Sertipikat asli dari tanah yang bersangkutan. b. Bukti bahwa tanah yang akan dijual tidak sedang dalam sengketa. c. Surat tanda bukti pembayaran pendaftaran. d. Surat kuasa kalau penjual diwakili oleh seorang kuasa. e. Ijin Mendirikan Bangunan kalau ada bangunan yang ikut dijual. f. Melampirkan foto kopi KTP pembeli dan penjual yang dilegalisir oleh Camat setempat. g. Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT. Yang untuk jual beli tanah yang belum sertipikat maka syaratnya adalah : 43 a. Akta jual beli dari PPAT. b. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah SKPT dari Kantor Pertanahan yang menyatakan antara lain tanah sebagai berikut belum sertipikat. Bila tanah tersebut di luar kota SKPT diganti pernyataan tanah belum sertipikat yang dikuatkan Kepala Desa dan Pemerintahan Desa. c. Surat bukti hak tanah itu. d. Surat keterangan kepala desa dikuatkan Camat yang membenarkan surat bukti hak tanah. e. Surat tanda biaya pendaftaran pendaftaran tanah. 43 Wawancara dengan Ka.si Pendaftaran tanah Kantor Pertanahan Kab. Boyolali, 6 Juni 2006. Setelah syarat-syarat oleh pemohon dipenuhi serta pemohon membayar biaya administrasi pendaftaran dan biaya ukur bila belum bersertipikat, maka kepadanya diberikan kwitansi pembayaran dari Kantor Pertanahan dan SKPT bila belum bersertipikat. Selanjutnya pembeli dan penjual bersama-sama dengan saksi yaitu kepala desa lurah dan seorang dari pemerintahan desa menghadap PPAT setempat dengan membawa surat-surat yang diperlukan untuk membuat akta jual beli. Akta jual beli yang dibuat oleh Camat yang bertindak selaku PPAT dibuat rangkap empat antara lain : 44 a. Lembar pertama yang asli untuk disimpan di PPAT. b. Lembar kedua dikirim ke Kantor Pertanahan setempat. c. Lembar ketiga dan keempat diberikan kepada pemohon atau yang berkepentingan. Pada dasarnya pihak yang dibebani membayar biaya pembuatan akta di Kecamatan adalah pihak pembeli, namun dapat pula pembayaran biaya pembuatan akta dibebankan kepada kedua belah pihak atas dasar kesepakatan bersama. Akta jual beli, sertipikat atau SKPT dan warkah-warkah lainnya yang diperlukan untuk pembuatan akta segera dikirim ke Kantor 44 Ibid. Pertanahan seksi pengukuran dan pendaftaran tanah untuk dibukukan dalam daftar buku tanah dan dicatat pada sertipikatnya atas nama pemilik baru kepadanya diberikan sertipikat tanda bukti hak. Akta jual beli beserta warkah-warkah lainnya dapat pula dibawa sendiri oleh yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan cq seksi pengukuran dan pendaftaran tanah, hal ini dimaksudkan agar orang tersebut mengetahui proses pendaftaran tanah. Jika terjadi jual beli tanah yang belum bersertipikat maka penjual diwajibkan untuk mendaftarkan tanahnya terlebih dahulu setelah diperoleh sertipikat atas nama penjual, pembeli dapat mendaftarkan peralihan hak dan tanahnya kepada Kantor Pertanahan setempat untuk dilakukan peralihan haknya berdasarkan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Jadi pendaftaran peralihan atas tanah bersertipikat yang terjadi karena jual beli prosesnya lebih lama sebab sebelumnya harus diadakan pengumuman selama 2 bulan berturut-turut di Kantor Kepala Desa Lurah, Kantor Kecamatan dan Kantor Pertanahan dan pengukuran atas bidang tanah tersebut. Berdasarkan hasil penelitian penulis mengenai prosedur pendaftaran tanah menurut hukum adat pada Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali secara garis besarnya adalah : 45 45 Wawancara dengan Ka.seksi pendaftaran tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali,29 April 2006. 1. Baik penjual maupun pembeli sebelum terjadinya jual beli harus bermusyawarah untuk mendapatkan kata sepakat baik mengenai harganya maupun segala biaya yang timbul dalam pengurusan surat-surat serta mengenai luas tanah yang akan di jual. 2. Pemeriksaan surat-surat Untuk lebih jelasnya jual beli itu harus juga memperhatikan surat-suratnya, apakah tanah itu ada sertifikatnya atau tidak. Kalau tanah itu belum ada sertifikatnya maka diperlukan kohir atau petok. Kohir atau petok adalah suatu surat ketetapan pajak, dan bukan hak atas tanah, tetapi petok ini dapat dipakai sebagai tanda bukti. Kalau tanah itu adalah tanah adat diperlukan surat- surat seperti surat keterangan Lurah atau Kepala Desa yang dibuat oleh Camat serta isinya menyatakan “Bahwa tanah tersebut memang milik penjual dan menyatakan tentang dimana letak tanah, batas-batasnya, tanah pertanian atau perumahan serta tidaklah dalam keadaan sengketa”. Disamping itu juga harus diperhatikan surat dari Kantor Pertanahan Kabupaten yaitu surat keterangan pendaftaran tanah SKPT yang menegaskan bahwa tanah tersebut belum dibukukan, jadi belum ada sertifikatnya. Surat lain yang dipandang perlu juga adalah segel-segel lama, surat keterangan riwayat tanah, atau surat dari IPEDA dan surat penugasan konversi. Apabila tanah yang dijual itu sudah ada sertifikatnya atau sudah dibukukan, tidaklah ada suatu masalah yang menjadi perhatian, karena hal-hal yang diperlukan sudahlah jelas, namun dalam hal ini haruslah perlu saksi-saksi yang dapat diambil dari orang lain yang dikehendakinya. Kalau pejabat merasa ragu tentang kewenangan orang-orang melakukan jual beli tersebut, maka pejabat dapatlah memanggil Kepala Desa dan seorang anggota pemerintah desa untuk memberikan penegasan. Sesudah persyaratan jual beli itu dianggap memadai, maka diperlukanlah pembuatan akte, yang disebut sebagai akte jual beli. Cara untuk mendapatkan akte ini adalah pertama-tama harus ada surat keterangan dari kepala desa yang ditanda-tangani oleh Camat dan sudah ada surat keterangan pendaftaran tanah, maka pembeli membawa surat-surat tersebut ke Kantor seksi pendaftaran tanah, untuk membayar biaya pendaftaran uang muka. Setelah mendapatkan kuitansi pembayaran, pembeli dan penjual kembali kepada Camat atau PPAT. Di hadapan PPAT penjual dan pembeli menandatangani akte jual beli tersebut dan disaksikan oleh 2 dua orang saksi serta pejabat tersebut. Harga tanah dilunasi sesuai dengan harga yang disebutkan dalam akte jual beli. Apabila pembayaran itu dilakukan sebelum dihadap-kan pada PPAT, maka pejabat tersebut menyatakan “apakah harga tanah yang sesuai dengan akte telah diserahkan kepada pembeli, kepada penjual dan apakah penjual telah menerima harga tanah tersebut”. Pernyataan tersebut sangat diperlukan, karena dalam akte ditulis bahwa uang pembelian telah dibayar lunas sehingga akte juga berarti sebagai tanda terima yang sah. Akte jual beli tanah itu ada yang 2 dua lembar dan ada yang 3 tiga lembar. Yang 2 dua lembar dipergunakan 1 satu lembar untuk arsip pejabat dan 1 satu lembar lagi dikirim ke sub Direktorat Agraria. Kemudian yang 3 tiga helai diperuntukkan yaitu 2 dua lembar untuk pembeli dan penjual dan 1 satu lembar lagi untuk keperluan permohonan ijin balik nama. Mengenai biaya akte jual beli tanah juga harus diperhatikan dalam prosedurnya, apakah ditanggung penjual atau pembeli ataupun ditanggung bersama-sama. Adapun biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak karena jual beli di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali adalah sebagai berikut : 46 46 Wawancara dengan Ka. Seksi pendaftaran tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali, 29 April 2006. 1 Biaya untuk sebidang tanah yang belum terdaftar atau hak milik dalam hukum adat. Terhadap penjualan seluruh bidang tanah, maka biaya yang dikenakan adalah : a. Biaya untuk pejabat pembuatan akta tanah. Menurut Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 tahun 1987 ditetapkan biaya PPAT ½ setengah persen dari harga taksiran umum dari obyeknya. Hal ini tidaklah berlaku mutlak karena biasanya harga yang tercantum dalam akta jual beli dibuat lebih rendah dari harga yang sebenarnya dibayar oleh pembeli dan PPAT tidaklah terikat pada harga yang tercantum dalam akta tersebut sehingga mereka menggunakan taksiran yang ada pada KPT. b. Biaya saksi Yang biasanya menjadi saksi atas tanah bekas hak adat atau tanah yang belum bersertipikat adalah Kepala Desa Lurah dan seorang anggota pemerintaha desa. Biaya untuk mereka berdua sebesar 1 satu persen dari harga transaksi jual beli Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 10 tahun 1961. c. Biaya pendaftaran hak atas tanah bekas hak adat. Tanah bekas hak adat biaya pendaftarannya dikenakan sebesar ½ setengah persen dari biaya pengukur dan pembuatan peta. Kemudian ½ setengah persen lagi untuk pembuatan sertipikatnya. Biaya ini dihitung berdasarkan taksiran harga tanah masing-masing setelah dibukukan. d. Biaya formulir dan meterai. Pembelian formulir biayanya biasanya tergantung dari kebijaksanaan dari masing-masing pejabat yang bersangkutan dan biaya materai tergantung dari harga jual beli tersebut. 2 Biaya untuk sebidang tanah yang telah bersertipikat adalah sebagai berikut : a. Biaya untuk pejabat pembuatan akta tanah. Menurut Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 tahun 1987 ditetapkan biaya PPAT ½ setengah persen dari harga taksiran umum dari obyeknya. b. Biaya saksi Yang biasanya menjadi saksi adalah Kepala Desa Lurah dan seorang anggota pemerintaha desa. Biaya untuk mereka berdua sebesar 1 satu persen dari harga transaksi jual beli Pasal 7 Peraturan Menteri Agraria No. 10 tahun 1961. c. Biaya perangko atau biaya cetak lembar. Biaya ini kenakan apabila terjadi penjualan tanah untuk sebagian. Biaya ini termasuk biaya pemisahan yaitu sebesar Rp.1.350,- d. Biaya ukur sementara. e. Biaya lain-lain Biaya MPO yaitu 2 dua persen dari pembeli atau penerima hak dan 2 dua persen dari penjual atau pelepas hak. Masing-masing dihitung dari harga yang tertera di dalam akta jual beli. 3 Biaya pembuatan sertipikat Pembuatan sertipikat dikenakan biaya sebesar ¾ dari harga taksiran tanah yang meliputi : a. pembuatan sertipikat untuk konversi sebesar ½ dari harga taksiran. b. Pembuatan sertipikat untuk jual beli 14 dari harga taksiran Pasal 4 ayat 1 PMDN No. SK 41DDA1969. Setelah diselenggarakannya pendaftaran peralihan hak karena jual beli menurut hukum adat dan telah membayar semua biaya yang ditentukan Kantor Pertanahan maka sertipikat telah tercatat atas nama pembeli.Dengan telah di dapatkannya sertipikat tanah tersebut oleh pembeli, maka sertipikat dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang kuat terhadap pihak yang bersangkutan dan yang berkepentingan atas tanah tersebut nantinya. 4.3.Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yang berasal dari jual beli tanah menurut hukum adat di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali Dari hasil penelitian di lapangan diperoleh data bahwa faktor yang menjadi penghambat di dalam pelaksanaan pendaftaran jual beli menurut hukum adat adalah disebabkan karena 2 faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor hukum. Adapun faktor ekonomi tersebut dapat berupa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat apabila melakukan jual beli di hadapan PPAT, hal mana tidak hanya biaya formal yang telah ditentukan melainkan faktor lainnya yang bersifat teknis. Sedangkan faktor hukumnya adalah persyaratan yang banyak serta prosedur yang rumit. Namun apabila kita telusuri lebih jauh sebagaimana yang dikatakan oleh Soerjono Soekanto 47 . Dikatakan ada lima faktor yang mempengaruhi berlakunya suatu hukum, yaitu : 1. Faktor hukumnya sendiri undang-undang; 2. Faktor penegak hukumnya; 3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung pelaksanaan hukum; 4. Faktor masyarakat; 5. Faktor kebudayaan. Dengan mengacu kepada pendapat tersebut maka pada masyarakat Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali dimana faktor yang lebih dominan adalah faktor yang ke-4 faktor masyarakat dan faktor ke-5 faktor kebudayaan. Selain faktor tersebut di atas, juga disebabkan oleh faktor hukum dimana dapat kita ketahui bahwa pengetahuan masyarakat tentang hukum itu sendiri khususnya pengetahuan tentang pendaftaran peralihan hak atas tanah menurut hukum adat seimbang dalam arti antara yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui adalah sama, hal ini berarti fiksi hukum yang menyatakan semua orang tahu akan hukum tidaklah dapat diterima seratus persen, hal lain juga disebabkan karena budaya hukum serta adat istiadat setempat, yang 47 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, hal. 19. mengakibatkan adanya persepsi yang salah dari pemegang menurut hukum adat mengenai pendaftaran peralihan hak. Adapun hal yang perlu diketahui hukum yang dimaksud adalah PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 4.3.1. Hambatan-hambatan dalam pendaftaran jual beli menurut hukum adat di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali Pelaksanaan pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah menurut hukum adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali dalam menjamin kepastian hukum tidak terlepas dari hambatan-hambatan yang timbul dalam prakteknya, walaupun hambatan yang timbul tidak berat, namun perlu mendapatkan perhatian dalam penyelesaiannya. Hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yang berasal dari jual beli tanah menurut hukum adat di Kabupaten Boyolali antara lain : 48 1. Kurangnya peralatan teknis; 2. Pada waktu petugas pengukur datang ke lokasi tanah yang akan diukur, pemilik tanah belum memberikan tandatanda batas tidak jelas sehingga tidak jarang petugas mengalami kesulitan dalam menentukan batas-batas tanah yang akan diukur secara pasti; 48 Wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolai, 18 Juli 2006. 3. Lokasi tanah yang akan diukur terletak di daerah pedesaan, misalkan pegunungan jauh dari Kantor Pertanahan sehingga memerlukan waktu lebih lama untuk memberitahukan kepada pemohon maupun desa ; 4. Permohonan tidak sesuai dengan persyaratan yang ditentukan sehingga permohonan yang seharusnya saat itu bisa didaftarkan terpaksa ditangguhkan ; 5. Kurangnya penerangan atau informasi yang diberikan oleh pihak Kantor Pertanahan kepada masyarakat, terutama di daerah yang jauh dari jangkauan Kantor Pertanahan. Hambatan-hambatan yang timbul dari masyarakat dalam pelaksanaan pendaftaran jual beli tanah menurut hukum adat di Kabupaten Boyolali sebagai berikut : 49 1. Masyarakat Kabupaten Boyolali terutama di daerah pedesaan berkeyakinan bahwa petukletter C dan D sebagai alat bukti pemilik yang sah dan cukup dijamin oleh hukum dan undang-undang. Sehingga kadang jual beli cukup di bawah tangan. 2. Masyarakat menganggap bahwa biaya yang dibebankan terlalu mahal, karena untuk mendaftarkannya mereka dikenakan biaya resmi dan biaya tidak resmi. 49 Wawancara dengan PPAT Mulyoto Kabupaten Boyolali, 18 Juli 2006. Adanya biaya-biaya tersebut oleh pemilik tanah dirasakan sangat berat sehingga mereka belum mau mendaftarkan tanahnya jika tidak punya uang banyak. 3. Karena tanah yang dimiliki tidak luas dan harganya murah, sehingga biaya pendaftaran peralihan hak tidak sebanding dengan nilai harga tanah yang dimiliki. Hal ini mendorong mereka untuk tidak mendaftarkan peralihan haknya. 4. Mekanisme kerja dari aparat pertanahan seksi pengukuran dan pendaftaran tanah yang sulit dimengerti secara mudah oleh masyarakat awam sehingga tanggapan masyarakat terhadap pendaftaran tanah dirasakan masih sangat kurang. 5. Bagi daerah yang sulit dijangkau, mereka tidak tahu tentang syarat, prosedur dan biaya pendaftaran tanah. 6. Adanya anggapan bahwa karena proses pendaftaran tanah terlalu lama disamping itu prosedurnya berbelit-belit sehingga mereka enggan mendaftarkan tanah miliknya. Dari data-data yang telah penulis peroleh, baik data penelitian maupun data yang penulis peroleh dari kepustakaan terlihat bahwa saat beralihnya hak atas tanah dalam jual beli tanah adalah terjadi pada saat dibuatnya akta jual beli oleh PPAT. Hal tersebut diungkapkan juga oleh Bapak Mulyoto PPAT Kabupaten Boyolali , bahwa hak dan kewajiban terhadap tanah dalam jual beli tanah sudah beralih dari penjual pada pembeli pada saat dibuatnya akta jual beli oleh PPAT. Menurut penulis pendapat ini sangat tepat, karena pengertian tunaikontan dalam jual beli menurut hukum adat yang dijadikan dasar oleh UUPA Pasal 5 UUPA mempunyai pengertian bahwa uang pembayaran harga tanah diserahkan pembeli kepada penjual, dalam hal ini menurut UUPA terjadi di muka PPAT. Sedangkan mengenai pendaftaran tanah seperti dikatakan oleh Bapak Ngadiman Staf Seksi Pendaftaran Tanah Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali sebenarnya hanya merupakan syarat administrasi saja, sebagai bukti bahwa hak atas tanah tersebut berada pada seseorang yang namanya tercantum pada sertipikat tersebut. Menurut pendapat penulis pernyataan tersebut sudah tepat karena peristiwa yang terpenting dalam jual beli tanah yaitu peralihan menurut hukum adat terhadap tanah tersebut, sebenarnya sudah selesai yaitu sejak dibuatnya akta PPAT. Sedangkan pendaftaran tanah sebenarnya hanya untuk mempertegas saja bahwa hak atas tanah tersebut sudah beralih sehingga perlu dicatatdidaftarkan. Hal ini sebagaimana dikatakan juga oleh Boedi Harsono bahwa pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan bukanlah merupakan syarat konstitutip bagi terjadinya peralihan hak tetapi berfungsi untuk memperkuat dan memperluas kekuatan pembuktiannya terutama terhadap pihak ketiga. Sistem tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan hukum pertanahan barat, dimana pendaftaran merupakan syarat mutlak bagi terjadinya peralihan hak. Menurut hukum perdata belumlah beralih dari penjual pada pembeli sebelum adanya penyerahan secara yuridis juridische levering yang dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616 KUH Perdata. Berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana dapat diketahui bahwa tujuan dari pendaftaran tanah pada pokoknya adalah untuk menciptakan adanya kepastian hukum yang menyangkut bidang keagrariaan khususnya mengenai pemilikan dan penguasaan tanah. 4.4.Usaha-usaha Untuk Mengatasi Hambatan-hambatan yang Terjadi Berdasarkan hasil penelitian penulis pada masyarakat Kecamatan Selo dan pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali usaha-usaha untuk mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dalam menjamin kepastian hukum di Kabupaten Boyolali antara lain : 1. Menambah peralatan teknis di Kantor Pertanahan Kabupaten Boyolali dalam rangka menambah kapasitas pemberian sertipikat serta meningkatkan pemberian pelayanan kepada masyarakat sehingga penyelenggaraan pendaftaran tanah dapat berjalan sebagaimana diharapkan. 2. Memberikan ceramahpenyuluhan kepada seluruh camat yang ada di Kabupaten Boyolali dan selanjutnya menginstruksikan kepada camat untuk memberikan ceramah kepada Kepala Desa yang membawahi wilayah kerjanya agar disampaikan kepada masyarakat setempat guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pendaftaran tanah. 3. Secara rutin diadakan penyuluhan tentang prosedur, syarat pendaftaran dan lain-lain yang berkaitan dengan pendaftaran tanah terutama bagi masyarakat yang kurang informasi tentang pendaftaran tanah. 4. Pihak Kantor setempat menginstruksikan kepada Kepala Desa agar setiap ada pertemuan sesudah selesai disinggung masalah arti penting dan tujuan pendaftaran tanah. 5. Kantor pertanahan telah memberikan kebijaksanaan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadarannya akan kewajiban mendaftarkan tanah miliknya, dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah. 6. Meningkatkan sumber daya manusia untuk para aparatpetugas di Kantor Pertanahan.

BAB V PENUTUP