Kebangkitan Nasional 69
Bab IV Kebangkitan Nasional 69
Perlawanan gigih terhadap penjajahan Belanda juga dilakukan oleh rakyat Aceh dalam Perang Aceh. Perang ini berlangsung pada 1873-1912. Perang Aceh terjadi karena keinginan pemerintah kolonial untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara dilawan oleh rakyat Aceh. Rakyat Aceh tidak menginginkan daerah mereka diduduki oleh penjajah. Mereka memiliki kebanggaan atas kerajaan mereka yang telah berdiri sejak berabad-abad lalu. Terutama, pada zaman kejayaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang tetap berdiri pada abad ke-18 dan 19 sampai abad ke-20.
Penyebab terjadinya Perang Aceh, antara lain karena pemerintah kolonial ingin menguasai Aceh sebagai kerajaan yang kuat dan memiliki kemampuan diplomatik tinggi. Pemerintah kolonial melihat bahwa Traktat London tahun 1824 dan Traktat Sumatra tahun 1871 yang ditandatangani antara Belanda dan Inggris telah memberi kedudukan yang kuat pada Aceh. Oleh karena itu, dapat menjadi ancaman bagi kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Kekhawatiran tersebut terbukti setelah Aceh mampu menjalin hubungan diplomatik dengan banyak negara. Hal itu mulai mencemaskan Belanda. Belanda merasa takut disaingi dan mulai menuntut Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda di Nusantara.
Penolakan rakyat Aceh terhadap tuntutan Belanda mendorong Belanda untuk mengirimkan pasukannya ke Kutaraja, ibu kota Kerajaan Aceh pada April 1873. Namun, usaha untuk menguasai Aceh mengalami kegagalan. Bahkan Mayor Jenderal Kohler, pemimpin pasukan Belanda tewas di depan Mesjid Raya Aceh. Demikian juga serangan pada Desember 1873 dapat dipatahkan oleh rakyat Aceh. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Jenderal van Swieten hanya berhasil merebut istana Kerajaan Aceh dan tidak dapat menguasai seluruh Aceh. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung, walaupun istana kesultanan di Kutaraja direbut oleh Belanda.
Melihat gigihnya perlawanan rakyat Aceh, Belanda mengubah strategi perang dengan pendekatan sosial budaya. Caranya dengan mengirimkan Snouck Hurgronje, seorang ahli kajian Islam untuk menyelidiki masyarakat Aceh dan memberi masukan kepada pemerintah kolonial tentang strategi menguasai rakyat Aceh. Hurgronje menyarankan agar pemerintah kolonial memahami karakter masyarakat Aceh sambil melakukan serangan kepada para pemimpin Aceh.
Berdasarkan saran tersebut pemerintah kolonial menugaskan van der Heyden untuk memimpin pasukan dalam melakukan serangan ke Aceh Besar, salah satu kota pusat perjuangan rakyat Aceh. Melalui serangan tersebut, pada 1891, salah seorang pemimpin Aceh, Teuku Cik Ditiro gugur. Selanjutnya pada 1893, Teuku Umar ditawan dan kemudian ia berhasil meloloskan diri pada Maret 1896. Setelah bergabung kembali dengan sisa-sisa pasukannya, ia gugur di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Pemimpin lainnya, seperti Sultan Daudsyah dan Panglima Polim terus melakukan perlawanan sampai akhimya mereka dipaksa menyerah oleh Belanda.
Ternyata, gugurnya para pemimpin perjuangan Aceh tidak menyurutkan rakyat Aceh dalam melakukan serangan. Pemimpin Aceh lainnya, seperti Tjut Nyak Dien, istri Teuku Umar terus berjuang dan melakukan perang gerilya. Bersama para pengikutnya, ia
70 Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII 70 Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas VIII
Perang Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912 melalui serangan gerilya yang tidak terorganisir. Namun, Perang Aceh telah menunjukkan kepada Belanda bahwa rakyat Aceh tidak suka dengan penjajahan yang memaksakan nilai-nilai yang bertentangan dengan adat istiadat Aceh.
Di Bali, perlawanan rakyat untuk mengusir Belanda dari daerahnya dikenal dengan Perang Puputan. Perang itu ditandai dengan pengorbanan yang luar biasa dari seluruh rakyat yang cinta daerahnya, baik pengorbanan nyawa maupun materi. Perang Puputan dilakukan olah rakyat Bali demi mempertahankan daerah mereka dari pendudukan pemerintah kolonial Belanda. Rakyat Bali tidak ingin Kerajaan Klungkung yang telah berdiri sejak abad ke -9 dan telah mengadakan perjanjian dengan Belanda tahun 1841 di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putra diduduki oleh Belanda. Sikap pantang menyerah rakyat Bali dijadikan alasan oleh pemerintah Belanda untuk menyerang Bali.
Pada 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang. Hukum tersebut memberi hak kepada penguasa kerajaan untuk menguasai kapal yang terdampar beserta isinya. Dengan kejadian itu, Belanda memiliki alasan kuat untuk melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng pada 1848. Namun, rakyat Buleleng dapat menangkis serangan tersebut. Akan tetapi, pada serangan yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga.
Dengan serangan besar-besaran, rakyat Bali membalasnya dengan perang habis- habisan guna mempertahankan harga diri sebagai orang Bali. Pertempuran untuk mempertahankan Buleleng itu dikenal dengan Puputan Jagaraga. Puputan lainnya, yaitu Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba (1908), dan Puputan Klungkung (1908).
Selain perlawanan yang diuraikan tersebut, perlawanan terhadap pemerintah kolonial berlangsung di berbagai daerah dengan latar belakang dan penyebab yang berbeda-beda, seperti di Banjarmasin, Kalimantan Selatan menunjukkan perang berkecamuk di tengah- tengah persaingan anggota keluarga kerajaan untuk menduduki tahta kerajaan. Banyak anggota keluarga kerajaan yang ingin naik tahta bekerja sama dengan Belanda. Keadaan inilah yang sangat ditentang oleh Pangeran Antasari, salah seorang pangeran dari Banjarmasin. Perang Banjarmasin pada 1859 dipimpin oleh Antasari yang menentang kehadiran Belanda dalam keluarga kerajaan di Banjarmasin. la putra dari Sultan Muhammad yang sangat anti-Belanda. Pangeran Antasari melakukan pertempuran sengit sampai ia gugur pada 1862.