Pemanggangan Produk Pangan Fermentasi ( Tempe Kedelei, Tempe Ampas Kelapa, Tempe Campuran Kedelei dan Ampas Kelapa ) Terhadap Peningkatan Mutu Produk Pangan Fungsional.

(1)

PENGARUH PEMANGGANGAN PRODUK PANGAN

FERMENTASI ( Tempe Kedelei,Tempe Ampas Kelapa,

Tempe campuran Kedele dan Ampas Kelapa ) TEHADAP

PENINGKATAN MUTU PRODUK PANGAN FUNGSIONAL

SKRIPSI

OLEH

DAVID ARIZONA SITOMPUL

040305042 / TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH PEMANGGANGAN PRODUK PANGAN

FERMENTASI ( Tempe Kedelei,Tempe Ampas Kelapa,

Tempe campuran Kedele dan Ampas Kelapa ) TEHADAP

PENINGKATAN MUTU PRODUK PANGAN FUNGSIONAL

SKRIPSI

OLEH

DAVID ARIZONA SITOMPUL

040305042 / TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Melakukan Penelitian Di Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Ir.Setyohadi, M.Sc

Ketua Anggota

Ridwansyah, STP, M.Si

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ROASTING OF FERMENTATION PRODUCT ( SOYBEAN TEMPE, COCONUT TEMPE, AND SOYBEAN-COCONUT

MIXTURE WASTE TEMPE ) ON INCREASING QUALITY OF FUNCTIONAL FOOD

The aim of this research was to know the effect of tempe processing ( soybean tempe, coconut waste tempe and soybean-coconut mixture tempe ) and tempe’s benefit of health. This research had been performed using completely randomized design with 2 factors, i.e: kind of extracted tempe’s fermentation product ( T ) : 100% soybean tempe, 100% coconut waste tempe and 50%:50% mixture of soybean-coconut waste tempe and the time of roasting (W) : 10, 15, 20 minutes. Parameter analyzed were moisture content, Protein content, fat content, total soloble solid, acidity, microbiological test and qualitative test ( chitin test ).

The result showed the kind of extracted tempe’s fermentation product had highly significant effect on moisture content, protein content, fat content, total soluble solid, acidity and chitin, and had no significant effect on microbiological test. The time of roasting had highly effect on moisture content, protein content, fat content, total soluble solid, microbiological test and chitin, and had no significant effect on acidity. The interaction of the kind of extracted tempe’s fermentation product and the time of roasting had highly significant effect on moisture content, protein content, fat content, total soluble solid and acidity and had no significant effect on microbiological test. The soybean tempe and the 10 minutes roasting time gave the better and more acceptable quality of tempe fermentation product.


(4)

RIWAYAT HIDUP

David Arizona Sitompul dilahirkan di Lahat, Sumatera Selatan pada tanggal 23 Mei 1986. Anak pertama dari 4 bersaudara dari ayahanda H. Sitompul dan ibunda S. Siburian dan beragama Kristen Protestan.

Pada tahun 1992, penulis memasuki SD Negeri 091614 di Pematang Siantar dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 1998 memasuki SLTP Negeri 2 Tapian Dolok dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis memasuki SMU Negeri 4 Pematang Siantar dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 diterima di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota KMK ( Kegiatan Mahasiswa Kristen ) pada tahun 2004 – 2009. Penulis juga aktif sebagai pengurus Pemerintahan Mahasiswa ( PEMA ) pada tahun 2006 – 2008. Penulis telah mengikuti Praktek Kerja Lapangan di PTPN IV Bah Butong, Simalungun pada tahun 2007.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini berjudul “ Pemanggangan Produk Pangan Fermentasi ( Tempe Kedelei, Tempe Ampas Kelapa, Tempe Campuran Kedelei dan Ampas Kelapa ) Terhadap Peningkatan Mutu Produk Pangan Fungsional “ yang disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir.Setyohadi M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ridwansyah STP, M.Si selaku anggota Komisi Pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama penulisan skripsi ini.

Akhir kata penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada di dalam skripsi ini dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Agustus 2009 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Pangan Fungsional ... 5

Tempe Kedelei ... 6

Ragi ... 8

Fermentasi... 10

Sumber gizi kedelei ... 14

Khasiat tempe kedelei ... 21

Tempe Ampas Kelapa ... 24

Bahan Mentah ... 24

Cara Pembuatan Tempe Ampas Kelapa ... 25

Mikroba Dalam Tempe Ampas Kelapa ... 27

Tempe Campuran ... 36

Sekilas Tentang Tempe Campuran ... 36

BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 39

Tempat dan Waktu Penelitian... 39

Bahan dan Alat Penelitian ... 39

Bahan ... 39

Reagensia ... 39

Alat ... 40

Metode Penelitian ... 41

Model Rancangan ... 42


(7)

Parameter yang Diamati ... 45

Penentuan kadar air ( % ) ... 45

Penentuan kadar protein ... 46

Penentuan kadar lemak ( % ) ... 47

Penentuan total soluble solid ( TSS/0 Penentuan derajat keasaman ( pH ) ... 48

Brix ) ... 47

Uji mikrobiologi ( metode cakram ) ... 48

Uji kualitatif ( kandungan senyawa khitin ) ... 48

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

Nilai Parameter yang Diamati pada Masing Masing Jenis Tempe Dengan Tidak Dilakukan Pemanggangan ... 51

Pengaruh Jenis Tempe Terhadap Parameter yang Diamati... 52

Pengaruh Lama Pemanggangan Terhadap Parameter yang Diamati ... 53

Kadar Air ( % ) ... 54

Pengaruh jenis tempe terhadap kadar air ( % ) ... 54

Pengaruh lama pemanggangan terhadap kadar air ( % ) ... 56

Pengaruh interaksi antara jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap kadar air ( % ) ... 58

Kadar Protein ( % ) ... 60

Pengaruh jenis tempe terhadap kadar protein ( % ) ... 60

Pengaruh lama pemanggangan terhadap kadar protein ( % ) ... 63

Pengaruh interaksi antara jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap kadar protein ( % ) ... 65

Kadar Lemak ( % ) ... 69

Pengaruh jenis tempe terhadap kadar lemak ( % ) ... 69

Pengaruh lama pemanggangan terhadap kadar lemak ( % ) ... 71

Pengaruh interaksi antara jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap kadar lemak ( % ) ... 74

Total Soluble solid ( 0 Pengaruh jenis tempe terhadap total soluble solid ( Brix )... 74

0 Pengaruh lama pemanggangan terhadap total soluble solid ( Brix ) ... 74

0 Pengaruh interaksi antara jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap total soluble solid ( Brix ) ... 76

0 Derajat Keasaman ( pH ) ... 78

Brix ) ... 77

Pengaruh jenis tempe terhadap derajat keasaman ... 78

Pengaruh lama pemanggangan terhadap derajat keasaman ... 80

Pengaruh interaksi antara jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap derajat keasaman ... 81

Uji Mikrobiologis ... 81

Pengaruh jenis tempe terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri ... 81

Pengaruh lama pemanggangan terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri ... 85

Pengaruh interaksi antara jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri ... 87


(8)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

Kesimpulan... 93

Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96


(9)

DAFTAR TABEL

1. Komposisi gizi pada kedelei dan tempe ... 18

2. Komposisi ampas kelapa ... 25

3. Nilai parameter yang diaamati pada masing masing jenis tempe dengan tidak dilakukan pemanggangan ... 51

4. Pengaruh jenis tempe terhadap parameter yang diamati ... 52

5. Pengaruh lama pemanggangan terhadap perameter yang diamati ... 53

6. Uji LSR efek utama pengaruh jenis tempe terhadap kadar air ... 54

7. Uji LSR efek utama pengaruh lama pemanggangan terhadap kadar air. ... 56

8. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap kadar air. ... 58

9. Uji LSR efek utama pengaruh jenis tempe terhadap kadar protein ... 60

10. Uji LSR efek utama pengaruh lama pemangangan terhadap kadar protein . 63 11. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap kadar protein. ... 66

12. Uji LSR efek utama pengaruh jenis tempe terhadap kadar lemak ... 69

13. Uji LSR efek utama pengaruh lama pemanggangan terhadap kadar lemak . 71 14. Uji LSR efek utama pengaruh jenis tempe terhadap total soluble solid ( TSS ) ... 74

15. Uji LSR efek utama pengaruh lama pemanggangan terhadap total soluble solid (TSS) ... 76

16. Uji LSR efek utama pengaruh jenis tempe terhadap derajat keasaman ( pH )78 17. Uji LSR efek utama pengaruh lama pemanggangan terhadap derajat keasaman ( pH ). ... 80

18. Uji LSR efek utama pengaruh jenis tempe terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri. ... 82

19. Uji LSR efek utama pengaruh lama pemanggangan terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri... .. 85


(10)

20. Uji LSR efek utama interaksi jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap

Penghambatan pertumbuhan bakteri……….. ... 87


(11)

DAFTAR GAMBAR

1. Grafik fase pertumbuhan mikroba ... 23

2. Skema pengujian mutu produk pangan fungsional (Tempe) ... 50

3. Grafik pengaruh jenis tempe terhadap kadar air ... 55

4. Grafik pengaruh lama pemanggangan terhadap kadar air ... 57

5. Grafik pengaruh interaksi jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap kadar air ... 59

6. Grafik pengaruh jenis tempe terhadap kadar protein ... 61

7. Grafik pengaruh lama pemanggangan terhadap kadar protein ... 64

8. Grafik pengaruh interaksi jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap kadar protein ... 67

9. Grafik pengaruh jenis tempe terhadap kadar lemak ... 70

10. Grafik pengaruh lama pemanggangan terhadap kadar lemak... 72

11. Grafik pengaruh jenis tempe terhadap total soluble solid ( TSS ) ... 75

12. Grafik pengaruh lama pemanggangan terhadap total soluble solid ( TSS ) ... 77

13. Grafik pengaruh jenis tempe terhadap derajat keasaman (pH) ... 79

14. Grafik pengaruh jenis tempe terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri.82 15. Grafik pengaruh lama pemanggangan terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri ... 86

16. Grafik pengaruh interaksi jenis tempe dan lama pemanggangan terhadap penghambatan pertumbuhan bakteri ... 88


(12)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ROASTING OF FERMENTATION PRODUCT ( SOYBEAN TEMPE, COCONUT TEMPE, AND SOYBEAN-COCONUT

MIXTURE WASTE TEMPE ) ON INCREASING QUALITY OF FUNCTIONAL FOOD

The aim of this research was to know the effect of tempe processing ( soybean tempe, coconut waste tempe and soybean-coconut mixture tempe ) and tempe’s benefit of health. This research had been performed using completely randomized design with 2 factors, i.e: kind of extracted tempe’s fermentation product ( T ) : 100% soybean tempe, 100% coconut waste tempe and 50%:50% mixture of soybean-coconut waste tempe and the time of roasting (W) : 10, 15, 20 minutes. Parameter analyzed were moisture content, Protein content, fat content, total soloble solid, acidity, microbiological test and qualitative test ( chitin test ).

The result showed the kind of extracted tempe’s fermentation product had highly significant effect on moisture content, protein content, fat content, total soluble solid, acidity and chitin, and had no significant effect on microbiological test. The time of roasting had highly effect on moisture content, protein content, fat content, total soluble solid, microbiological test and chitin, and had no significant effect on acidity. The interaction of the kind of extracted tempe’s fermentation product and the time of roasting had highly significant effect on moisture content, protein content, fat content, total soluble solid and acidity and had no significant effect on microbiological test. The soybean tempe and the 10 minutes roasting time gave the better and more acceptable quality of tempe fermentation product.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan fungsional didefinisikan sebagai pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Pangan fungsional memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Produk pangan fungsional yang memiliki potensi untuk dikembangkan ditinjau dari segi manfaatnya untuk kehidupan adalah tempe.

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelei tebesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelei Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 Kg.

Istilah tempe mempunyai konotasi yang sepele, murah atau tingkat sosial yang rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena pembuatan tempe yang sangat sederhana, kurang higienis serta harganya yang murah. Citra tempe menjadi lebih menurun khususnya di zaman orde lama karena adanya pernyataan politik yang melibatkan nama tempe (Winarno, 1996).


(14)

Tempe adalah makanan yang terbuat dari kacang kedelei yang difermentasikan menggunakan kapang rhizopus (ragi Tempe). Namun selain itu, dikenal juga bahan baku yang lainnya, seperti ampas kacang untuk membuat tempe bungkil, ampas kelapa untuk membuat tempe bongkrek, ampas tahu untuk mebuat tempe gembus, dan biji bengkuk untuk membuat tempe bengkuk. Namun di antara semua jenis bahan itu, tempe kedeleilah yang paling digemari konsumen karena dari segi gizi tempe kedelei mengandung gizi yang lebih tinggi.

Perhatian yang begitu besar terhadap tempe sebenarnya telah dimulai sejak zaman pendudukan jepang di Indonesia. Pada saat itu, tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Menurut onghokham, dengan adanya tempe dan kandungan gizi yang dimilikinya, serta harga yang sangat terjangkau, menyelamatkan masyarakat miskin dari malagizi (malnutrition).

Bagi orang-orang yang sedang diet, tempe merupakan kabar gembira karena rendahnya kalori yaitu hanya 157 kal per 100 gr (beberapa makanan lain di atas 350 kal per 100 gr). Kadar karbohidratnya sangat rendah 9,4 dan tak mengandung pati dan gula, sehingga sesuai bagi penderita diabetes. Kholesterolnya tidak ada sama kali.

Bagi mereka yang suka makanan yang berlemak atau mengandung kolesterol, seperti pada santapan fast food yang kini makin laris di kota-kota besar, sebaiknya mengkonsumsi tempe kedelei tiap hari. Sebab, tempe ini mengandung asam lemak tak jenuh yang mampu mencegah pengapuran dalam pembuluh darah akibat asupan lemak atau kolesterol berlebihan juga mengandung antioksida berupa isoflavon. Selain membahas tentang tempe kedelei murni, disini


(15)

penulis juga membahas tentang tempe ampas kelapa dan tempe campuran kedelei dan ampas kelapa. Salah satu alasan penulis memanfaatkan ampas kelapa sebagai salah satu bahan utama pembuatan tempe disini adalah sebagai salah satu usaha pengolahan limbah tradisional serta untuk menguji apakah ampas kelapa memiliki peranan penting sebagai salah satu bahan pangan alternatif bagi manusia.

Meskipun terdapat berbagai jenis tempe, yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah tempe yang terbuat dari kedelei, ampas kelapa dan campurannya. Ditinjau dari segi manfaat dan potensi yang baik untuk dikembangkan terkhusus dalam bidang kesehatan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Proses Pemanggangan Produk Pangan Fermentasi (Tempe Kedelei, Tempe Ampas Kelapa, Tempe Campuran Kedelei dan Ampas Kelapa) Terhadap Peningkatan Mutu Produk Pangan Fungsional” dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai pemanfaatan produk tempe secara lebih spesifik lagi.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan tempe (tempe kedelei, tempe ampas kelapa, tempe campuran kedelei dan ampas kelapa) dan manfaat tempe untuk kesehatan.


(16)

Kegunaan Penelitian

- Sebagai sumber informasi dalam pembuatan dan pemanfaatan tempe sebagai salah satu produk pangan fungsional

- Sebagai sumber data dalam penyusunan skripsi di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

Hipotesa Penelitian

Diduga ada pengaruh pemanggangan dan perbedaan jenis tempe terhadap manfaat tempe sebagai salah satu produk pangan fungsional terhadap kesehatan.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Pangan Fungsional

Pangan fungsional memiliki beberapa karakteristik yang harus dipenuhi. Paling tidak ada dua hal pokok: pertama, makanan itu disajikan dan dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman; kedua, diterima oleh konsumen berdasarkan karakteristik sensori yang dimilikinya termasuk penampakan, warna,

tekstur, atau konsistensi dan citaras

Kelompok senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar (karbohidrat, protein, dan lemak) yang terkandung dalam pangan yang bersangkutan, yaitu: (1) serat makanan (dietary fiber), (2) oligosakarida, (3) gula alkohol (polyol), (4) asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acids = PUFA), (5) peptida dan protein tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7) polifenol dan isoflavon, (8) kolin dan lesitin, (9) bakteri asam laktat, (10) phytosterol, dan (11) vitamin dan mineral tertentu (Tarigan, 1986)..

Pangan fungsional bukanlah untuk tujuan kuratif (pengobatan), tetapi lebih pada preventif (pencegahan) dan tak mungkin dikonsumsi dalam dosis yang besar. Perlu diketahui bahwa tiap komponen aktif selalu mempunyai 2 mata pisau yang selalu harus kita perhatikan, yaitu sisi khasiat dan sisi ´efek samping´. Keberadaannya bersama komponen lain dapat bersifat sinergi (saling menguatkan) atau sebaliknya saling meniadakan baik sifat positif maupun sifat negatifnya. Pengaruh pengolahan dan pencernaan dapat juga mengubah aktifitas


(18)

komponen bioaktif. Aktifitas komponen bioaktif ini pun dapat berbeda pada

kondisi tubuh konsumen yang berbeda

Tempe dan tiwul merupakan makanan fungsional kaya serat yang sering kita anggap enteng. Kacang kedelei yang kaya akan isoflavonoid merupakan bahan baku pangan yang dilaporkan mempunyai banyak keunggulan bagi kesehatan tubuh seperti kemampuan anti-kanker prostat pada pria atau anti kanker payudara pada wanita. Kedelei yang dapat diolah menjadi tahu dan susu kedelei dinilai kaya akan zat fitokimiawi yang juga dikenal mampu mencegah pengaruh negatif menopause terhadap kesehatan pada wanita terutama pada kasus terjadinya osteoporosis. Keunggulan kedelei makin nampak jelas pada tempe yang merupakan produk hasil fermentasi kedelei ini. Selain protein yang lebih mudah dicerna, proses fermentasi juga akan menghasilkan zat-zat derivative (senyawa turunan) yang lebih mudah diserap oleh tubuh, baik senyawa-senyawa isoflavonoid yang sudah disebutkan, juga terbentuknya vitamin B12 misalnya

Tempe Kedelei

Tempe adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelei yang difermentasikan menggunakan kapang rhizopus (ragi tempe). Selain tempe berbahan dasar kacang kedelei, terdapat pula berbagai jenis makanan berbahan non-kedelei yang disebut tempe. Terdapat dua golongan besar tempe menurut bahan dasarnya, yaitu tempe berbahan dasar legume dan tempe berbahan dasar non legume (http://www.wikipedia.com., 2008).


(19)

Tempe berbahan dasar non-legum mencakup tempe mungur (dari biji mungur, Enterolobium samon), tempe bongkrek (dari bungkil kapuk atau ampas kelapa, tekenal di daerah Banyumas), tempe garbanzo (dari ampas kacang atau ampas kelapa, banyak ditemukan di Jawa Tengah), tempe biji karet (dari biji karet, ditemukan di daerah Sragen, jarang digunakan untuk makanan), dan tempe jamur merang (dari jamur merang).

Tempe kedelei merupakan produk kompak, terbungkus oleh misellium kapang sehingga nampak berwarna putih dan bila diiris kelihatan keping biji kedelei berwarna kuning pucat, diantara miselium.

Degradasi komponen-komponen kedelei pada fermentasi pembuatan tempe memiliki rasa khas. Tujuan perendaman pada pembuatan tempe adalah untuk membiarkan terjadinya pertumbuhan bakteri asam laktat, sehingga kedelei menjadi asam (terjadi penurunan pH). Kemudian kedelei direbus selama 1 jam menggunakan air perendamannya, lalu ditiriskan, setelah dingin diinokulasi dengan inokulum bubuk (laru tempe) dengan perbandingan 1 gram laru untuk setiap 1kg kedelei matang (Koswara, 1992).

Inokulum tempe disebut juga sebagai starter tempe. Starter tempe adalah bahan yang mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agensia pengubah kedelei rebus menjadi tempe akibat tumbuhnya jamur tempe pada kedelei dan melakukan proses fermentasi yang menyebabkan kedelei berubah karakteristiknya menjadi tempe. Clamydomucor oryzae adalah jamur benang yang disebut sebagai jamur tempe (Hidayat, et al., 2006).


(20)

Secara tradisional masyarakat Indonesia membuat laru tempe dengan menggunakan tempe yang sudah jadi.Tempe tersebut diiris tipis-tipis, dikeringkan dengan oven pada suhu 40-45 ˚C atau dijemur sampai kering, digiling menjadi bubuk halus dan hasilnya digunakan sebagai inokulum bubuk. Di Jawa Tengah banyak digunakan inokulum tempe yang disebut usar. Usar dibuat dengan membiarkan spora kapang dari udara tumbuh pada kedelei matang yang ditaruh antara dua lapisan daun waru dan jati. Permukaan bagian bawah kedua daun tersebut memiliki rambut-rambut halus (trikoma) sebagai tempat spora dan miselium kapang dapat melekat (Koswara, 1992).

Di samping usar, dewasa ini telah mulai diperkenalkan dan diterapkan inokulum tempe dalam bentuk bubuk. Inokulum bubuk dengan substrat beras yang menggunakan kultur campuran (inokulum pasar) sebagai starter, memberikan rata-rata aktivitas proteolitik yang lebih tinggi dari pada starter Rhyzopus oligosporus. Tetapi dengan inokulum pasar sebagai starter, kandungan bakteri rata-rata dalam inokulum bubuknya lebih tinggi (Rachman, 1989).

Ragi

Ragi atau dikenal juga dengan sebutan “yeast” merupakan semacam tumbuh-tumbuhan bersel satu yang tergolong dalam keluarga cendawan. Ragi akan bekerja jika ditambahkan gula dan kondisi suhu yang hangat. Kandungan karbondioksida yang dihasilkan akan membuat suatu adonan menjadi mengembang dan terbentuk pori-pori. Ada dua jenis ragi yang ada dipasaran yaitu: ragi padat dan ragi kering. Jenis ragi kering ini ada yang berbentuk butiran


(21)

kecil-kecil dan ada juga berupa bubur halus. Jenis ragi yang butirannya halus dan berwarna kecokelatan ini umumnya digunakan dalam pembuatan roti. Sedangkan ragi padat yang bentuknya bulat pipih, sering digunakan dalam pembuatan tapai. Ragi ini dibuat dari tepung beras, bawang putih dan kayu manis yang diaduk hingga halus, lalu disimpan dalam tempat yang gelap selama beberapa hari hingga terjadi proses fermentasi . setelah tumbuh jamur yang berwarna putih susu kemudian ragi ini dijemur kembali hingga benar-benar kering

Ragi padat memiliki aroma yang sangat tajam dengan aroma alkohol yang sangat khas. Yeast adalah group non filamentus fungi, uniseluler dan berkembangbiak dengan cara “budding”. Khamir yang memproduksi askospora termasuk dalam golongan Ascomycetes. Saccharomycess cereviseae adalah khamir yang digunakan untuk fermentasi alkohol (Muslimin, 1996).

Manfaat dan penggunaan ragi adalah sebagai berikut.

1. Ragi padat, selain dimanfaatkan untuk fermentasi pembuatan tapai terkadang juga untuk mengempukan ikan atau membuat pindang bandeng. Dalam penggunaanya, ragi padat harus dihaluskan sebelum ditaburkan dalam bahan lainnya.

2. Ragi kering yang berbentuk butiran dan bubuk ini bisa membuat adonan roti menjadi mengembang, empuk dan mulus.

3. Untuk pemakaiaannya, ragi kering bentuknya butiran harus dicampur dengan air hangat dan gula agara terbentuk “adonan biang” sebelum dicampur dengan adonan tepung. Sedangkan ragi kering yang bentuknya


(22)

butiran halus atau ragi instan, cara pemakaiannya bisa langsung dicampur dalam adonan tepung, gula, air, dan bahan lainnya

(Tim Penulis UNAIR, 2007).

Ragi yang mengandung mikroflora seperti kapang, khamir dan bakteri dapat berfungsi sebagai starter fermentasi. Selain itu ragi juga kaya akan protein yaitu sekitar 40-50%, jumlah protein ragi tersebut tergantung dari jenis bahan penyusunnya (Susanto dan Saneto, 1994).

Fermentasi

Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobic (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaeobik, akan tetapi terdapat defenisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobic dengan tanpa akseptor electron eksternal (http://dirmanto.web.id., 2006).

Fermentasi dapat diartikan sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan jamur. Contoh perubahan kimia dari fermentasi meliputi pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula menjad alcohol dan karbondioksida, serta oksidasi senyawa nitrogen organic (Hidayat, et al., 2006).

Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula yang paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi dan digunakan pada


(23)

C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2

Dijabarkan sebagai:

+ 2ATP (Energi yang dilepaskan: 118 kj per mol) dijabarkan sebagai Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) Alkohol (etanol) + Karbondioksida + Energi (ATP) (Nurdyastuti, 2008).

Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + Energi (ATP)

Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang telibat, tetapi umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap awal respirasi aerobikpada sebagian besar organisme. Jalur terakhir akan bervariasi tergantung produk akhir yang dihasilkan.

Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelei atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizhopus, seperti Rhizhopus oligosporus, Rh.oryzae, Rh. Stolonifer (kapang roti), atau Rh. Arrhizus, sehingga membentuk padatan kompak yang berwarna putih. Sedioaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai “ragi tempe”. Warna putih pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang menghubungkan biji-biji kedelei tersebut. Banyak sekali jamur-jamur yang aktif selama fermentasi, tetapi umumnya para peneliti menganngap Rhizopus sp merupakan jamur yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelei tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhanasehingga senyawa tersebut dengan cepat dapat dipergunakan oleh tubuh. Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4 – 6. Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin


(24)

meningkat sampai pH 8,4, sehingga jamur semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya tetapi kebutuhan air pada jamur lebih sedikit dari pada bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai dengan pertumbuhan jamur, jumlah nutrien dalam bahan juga dibutuhkan oleh jamur. Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim-enzim protase. Perombakan senyawa kompleks protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana adalah penting dalam fermentasi tempe, dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas tempe, yaitu sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna yang amat tinggi. Kandungan protein yang dinyatakan sebagai kadar total nitrogen memang tidak berubah selama fermentasi perubahan terjadi atas kadar protein terlarut dan kadar asam amino bebas.

Jamur yang berperan dalam fermentasi: Rhizopus arrhizus dengan ciri-ciri mempunyai aktifitas pektinase, aktivitas amilase kedua setelah R.oryzae; Rhizopus stolonifer dengan ciri-ciri tidak memiliki aktifitas amilase, bagus untuk tempe serelia/kedelei, aktifitas prtotease paling rendah, tumbuh pada suhu rendah (25˚C); Rhizopus oligosporus dengan ciri-ciri aktifitas protease dan lipase paling kuat, aktifitas amilase paling lemah, baik untuk tempe serelia atau campuran kedelei-serelia; Rhizopus oryzae dengan ciri-ciri aktifitas amilase paling kuat, tidak baik untuk tempe serelia, aktifitas protease di bawah R.oligosporus.

Berdasarkan suatu penelitian, pada tahap fermentasi tempe ditemukan adanya bakteri Micrococcus sp. Bakteri Micrococcus sp. Adalah bakteri berbentuk kokus, gram positif, berpasangan tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak


(25)

berspora, bisa tumbuh baik pada medium nutrien agar pada suhu 30˚C di bawah kondisi aerob. Bakteri ini menghasilkan senyawa isoflavon.

Adanya bakteri Micrococcus sp. Pada proses fermentasi tempe tidak terlepas dari tahapan pembuatan tempe, yang meliputi: penyortiran, pencucian biji kedelei di ruang preparasi, pengupasan kulit, perebusan kedelei, perendaman kedelei, penirisan, peragian, pembungkusan dan pemeraman. Selain itu faktor lingkungan juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain; waktu, suhu, air, pH, suplai makanan dan ketersediaan oksigen.

Di dalam proses fermentasi, kapasitas mikroba untuk mengoksidasi tergantung dari jumlah acceptor electron terakhir yang dapat dipakai. Sel-sel melakukan fermentasi menggunakan enzim-enzim yang akan mengubah hasil dari reaksi oksidasi, dalam hal ini yaitu asam menjadi senyawa yang memiliki muatan positif, sehingga dapat menangkap electron terakhir dan menghasilkan energi (Winarno dan Fardiaz, 1990).

Untuk memperoleh hasil fermentasi yang optimum, persyaratan untuk pertumbuhan ragi harus diperhatikan kondisi berikut:

- pH dan kadar karbohidrat dari substrat - Temperatur selama fermentasi

- Kemurnian dari ragi itu sendiri (Winarno, et.al., 1980).

Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelei yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Jamur yang berperan dalam proses fermentasi tersebut adalah Rhizopus oligosporus. Beberapa sifat penting


(26)

dari Rhizopus oligosporus antara lain: aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin-vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penertisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelei (Kasdmidjo, 1990)

Selama proses fermentasi pada pembutan tempe , kedelei akan mengalami perubahan fisik terutama tekstur. Tekstur kedelei akan semakin lunak karena terjadi penurunan selulosa menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hifa kapang juga mampu menembus permukaan kedelei sehingga dapat menggunakan nutrisi yang ada pada biji kedelei sehingga nilai gizi tempe lebih baikdari kacang kedelei. Perubahan fisik lainnya adalah peningkatan jumlah hifa kapang yang menyelubungi kedelei yang satu dengan yang lainnya menjadi satu kesatuan (Hidayat, et al., 2006).

Kadang-kadang tidak digunakan kultur murni untuk fermentasi sebagai laru (starter). Misalnya pada pembuatan tempe atau oncom digunakan hancuran tempe dan oncom yang sudah jadi , pada pengumpalan susu untuk membuat keju dilakukan dengan memasukkan “curd” yang telah mengumpal ke dalam cairan susu, atau pada pembuatan anggur dengan cara memasukkan anggur yang telah jadi ke dalam sari buah anggur (Winarno, et al., 1988).

Banyak perubahan kimia yang terjadi dalam bahan pangan fermentasi tidak seluruhnya sebagai akibat kerja mikroorganisme dan diperkirakan bahwa enzim-enzim yang telah terdapat dalam bahan pangan juga ikut berperan. Umumnya kegiatan semacam ini berhubungan dengan perendaman larutan garam (curing), pemasakan (ripening) dan pematangan (daging) dan bukan pada fermentasi sebenarnya (Buckle, et al., 1987).


(27)

Sumber Gizi Tempe kedelei

Tempe berpotensi digunakan untuk melawan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dll). Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidatnya tidak banyak berubah dibandingkan kedelei. Namun karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan dengan kedelei. Oleh karena itu tempe sangat baik diberikan kepada segala kelompok umur. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas,

asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein serta skor proteinnya (Meyer, 1966).

Protein

Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yangdiharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil. Beberapa reaksi yang tidak diinginkan dapat dikurangi. Penstabil seperti polifosfat


(28)

dan sitrat akan mengikat Cadan ini akan meningkatkan stabilitas panas protein whey pada pH netral. Laktosa yang terdapat pada whey pada konsentrasi yang cukup dapat melindungi protein dari denaturasi selama pengeringan semprot (spray drying). Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanasakan pada suhu yang moderat (60-90˚C) selama satu jam atau kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada kondisi terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada kelarutannya. Dari segi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat dengan demikian dapat meningkatkan daya cerna protein tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disamping itu, dengan pemanasan yang moderat dapat menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase dan enzim oksidatif dan hidrolotik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan mengakibatkan off-flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan. Sebagai contoh, kacang-kacangan kaya enzim lipoksigenase. Selama penghancuran bahan, untuk mengisolasi protein atau lipidnya, dengan adanya oksigen enzim ini bekerja sehingga dihasilkan senyawa hasil oksidasi lipid yang menyebabkan off-flavour. Oleh karena itu, sering dilakukan inaktivasi enzim dengan menggunakan pemanasan sebelum penghancuran. Sebagai tambahan, perlakuan panas yang moderat juga berguna


(29)

untuk menginaktivasi beberapa faktor aninutrisi seperti enzim antitripsin dan lektin (Jay, 1996).

Asam Lemak

Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adnya peningkatan derajat ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak tidak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids, PUFA) meningkat jumlahnya. Dalam proses itu asam palmitat dan asam linolenat sedikit mengalami penuunan sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelei). Asam lenak tidak jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga dapat menetralkan efek negatif steol dalam tubuh (Syarief dan Halid, 1993).

Vitamin

Dua kelompok vitamin tedapat pada tempe, yaitu larut air (vitamin B kompleks) dan larut lemak (A, D, E, K). Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkandung dalam tempe antara lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (pridoksin), dan B12(sianakobalamin). Vitamin B12 umumnya terdapat pada produk-produk hewani dan tidak dijumpai pada makanan nabati, namun tempe mengandung B12 sehingga tempe menjadi satu-satunya sumber vitamin yang potensial dari bahan pangan nabati. Kenaikan kadar vitamin B12 paling mencolok pada pembuatan tempe; vitamin B12 aktifitasnya meningkat


(30)

sampai 33 kali selama fermentasi dari kedelei, roboflavin naik sekitar 8 – 47 kali, pridoksin 4 – 14 kali, niasin 2 – 5 kali, biotin 2 – 3 kali, asam folat 4 – 5 kali dan asam pantotenat 2 kali lipat. Vitamin ini tidak diproduksi oleh kapang tempe, tetapi oleh bakteri kontaminan seperti Klebsiella pneumoniae dan Citrobacter freundii. Kadar vitamin B12 dalam tempe berkisar antara 1,5 – 6,3 mikrogram per 100 gram tempe kering. Jumlah ini dapat mencukupi kebutuhan vitamin B12 seorang per hari.

Mineral

Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Jumlah mineral besi, tembaga, dan zink berturu-turut adalah: 9,39; 2,87; dan 8,05 mg setiap 100 gram tempe. Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium,

magnesium, dan zink) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh (Potter, 1978 ).

Tempe memiliki kandungan zat gizi yang tinggi dan memiliki fungsi yang sangat baik di dalam tubuh. Adapun komposisi zat gizi pada tempe dapat dilihat pada tabel 1.


(31)

Tabel 1.Komposisi Gizi Pada Kedelei dan Tempe

Zat Gizi Satuan Komposisi Zat Gizi 100 gram bdd Kedelei Tempe Energi Protein Lemak Hidrat arang Serat Abu Kalsium Fosfor Besi Karotin Vitamin A Vitamin B Vitamin C 1 Air

Bdd (berat yang dapat dimakan)

(kal) (gram) (gram) (gram) (gram) (gram) (mg) (mg) (mg) (mkg) (SI) (mg) (mg/100 gr) (gram) (%) 381 40,4 16,7 24,9 3,2 5,5 222 682 10 31 0 0,52 0 12,7 100 201 20,8 8,8 13,5 1,4 1,6 155 326 4 34 0 0,19 0 55,3 100

Sumber: Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Depkes RI Dir.Bin.Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi 1991

Zat Bioaktif pada Tempe kedelei

Di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas (http://www.trubus.com.,2006).

Dalam kedelei terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu: daidzen, glisitein, dan genistein dan secara struktural mirip dengan estrogen alami dalam tubuh (Frerking, 2003 dan miladiyah, 2004). Ketiga isoflavon ini akan mengalami proses metabolisme oleh beta-glukosida yang akan diubah dalam bentuk tidak


(32)

teikat dengan gula/aglikon (Arditi, 2003 dalam maladiyah 2004). Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelei. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelei menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium. Penuaan (daging) dapat dihambat bila makanan yang dikonsumsi sehari-hari mengandung antioksidan yang cukup

Isoflavon pada tempe berpotensi sebagai anti tumor/anti kanker. Dari sejumlah senyawa isoflavon yang banyak disebut sebagai anti tumor/kanker adalah genistein yang merupakan isoflavon aglikon (bebas). Potensi tersebut antara lain menghambat perkembangan sel kanker payudara dan sel kanker hati (Pawiroharsono, 2001). Isoflavon menurunkan devesitas kanker payudara pada wanita-wanita monopause tetapi tidak terjadi pada wanita premonopause.

Penghambatan sel kanker oleh genistein dikemukakan oleh Peterson dkk melalui mekanisme: penghambatan pembelahan sel (baik sel normal maupun sel yang terinduksi oleh faktor pertumbuhan sitokinin) akibat penghambatan dan pembentukan protein yang mengandung tirosin, sifat anti oksidan dan antiangiogenik, sifat mutagenik pada gen endogen, penghambatan aktifitas enzim DNA isomerase (Adiyadi, 2004).

Peran isoflavon dalam mengurangi resiko kanker diduga melalui beberapa mekanisme (Letuasan and Brands, 1961) yaitu:


(33)

1. Penghambatan terhadap enzim tirosin kinase yaitu suatu enzim yang memacu pertumbuhan sel-sel kanker. Hal ini diyakini merupakan mekanisme utama pencegah kanke oleh isoflavon

2. Penghambatan angiogenesis oleh genestein, sehingga akan menghambat pertumbuhan sel-sel kanker. Angiogenesios merupakan faktor penting yang menyebabkan sel kanker dapat berkembang

3. Sebagai antioksidan. Antioksidan paling potensi dala isoflavon kedelei adalah genistein, diikuti oleh daidzein bekerja dengan menghambat timbulnya radikal bebas yang dapat merusak DNA sehingga dalam jangka panjang dapat mengurangi resiko kanker

4. Pengaktifan sitem imun. Dimana penelitian terbaru (Amerika dan Cina) terhadap tikus percobaan, didapat bahwa daidzein mengurangi resiko kanker dengan cara meningkatkan aktirasi sel + dan makrofog.

Tempe diketahui juga mengandung enzim superoksida dismutase (SOD), yaitu suatu enzim yang dapat mengendalikan radikal bebas hidroksil yang sangat ganas, sekaligus memicu tubuh untuk membentuk superoksida itu sendiri. Superoksida dismutase (SOD) ini merupakan salah satu senyawa kunci kehebatan tempe untuk mencegah kanker sebab enzim superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu dari senyawa yang berperan sebagaipembersih radikal bebas (http://www.wikipedia.com.,2008).

Superoksida dismutase (SOD) mempunyai substrat yang spesifik yaitu ion superoksida. Aktifitas SOD terhadap ion superoksida akan dihasilkan hydrogen peroksida. Di dalam sel, terdapat dua macam SOD yaitu Cu-Zn SOD yang aktif dalam sitosol dan Mn SOD yng aktif dalam mitokondria. Peran tembaga sebagai


(34)

kofaktor maupun pengatur enzim SOD cukup besar

Sel mikroba menghasilkan senyawa bioaktif selama pertumbuhannya melakukan proses biodegradasi dan biosintesa, menghasilkan senyawa-senyawa organik khusus seperti; vitamin B, zat antibiotika dan senyawa-senyawa zat bioaktif dalam jumlah kecil yang berfungsi untuk kesehatan dalam tubuh, misalnya: senyawa glucosamin, kondroitin, SMMC (Metil Sulfonil Metan) sebagai suplemen untuk memelihara kesehatan (membantu meredakan nyeri sendi dan otot) (Koswara, 1992).

Khasiat Tempe

Adapun khasiat yang terdapat dalam tempe kedelei, yaitu:

1. Adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelei. Oleh karena itu, tempe sangat baik untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia), sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur

2. Senyawa dalam tempe yang diduga memiliki aktifitas anti penyakit degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes mellitus, kanker, dll) antara lain: Vitamin E, Karatenoid, Superoksida desumutase dan isoflavon. Dimana vitamin E dan karotenoid adalah antioksidan non enzimatik dan lipolitik yang mampu membeikan satu ion hidrogen kepada


(35)

radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut stabil dan tidak ganas lagi (Anonimous, 2004).

3. Konsumsi kedelei mampu mencegah jumlah penyakit yang ditimbulkan oleh mikroba. Ternyata ekstrak tempe yang digunakan dalam percobaannya amat efektif untuk membunuh bakteri Bacillus Subtilis, Vibrio Cholera Ettor, dan Staphylococcus aureus. Hasil riset memperlihatkan, ekstrak tempe dalam kadar larutan memiliki aktivitas anti mikroba yang tinggi, dimana kepekaan daya hambat tertinggi adalah pada bakteri Vibrio cholerae Eltor. Dengan demikian, ekstrak tempe dimungkinkan pengembangannya untuk antibiotik di masa depan (Sarwono, 1987).

4. Tempe mengandung asam lemak tak jenuh yang mampu mencegah pengapuran dalam pembuluh darah akibat asupan lemak atau kholesterol berlebihan juga mengandung anti oksida berupa isoflavon dan zat ini mampu menormalkan tekanan darah tinggi, di samping melancarkan sirkulasi darah di seluruh tubuh. Dampaknya amat positif untuk tercapainya kondisi jantung yang sehat. Sedangkan zat isoflavon dengan segala turunannya mepunyai efek-efek kardiovaskuler, seperti efek terhadap sirkulai darah pada pembuluh mikro (Judoamidjojo, et.al.,1992). 5. Tempe juga mengandung cukup banyak lesitin dan niasin, yakni dua zat

yang diketahui mampu mencegah kenaikan kadar kolesterol pada serum darah, disamping menurunkan resiko timbulnya atherosklerosis


(36)

6. Sewaktu kedelei diperiksa lewat penelitian laboratorium diketahui kedelei mempunyai zat kimia yang disebut pithoestrogen. Fungsi pithoestrogen menghalangi terjadinya penumpukan estrogen dalam tubuh. Jadi, akibat terjaganya estrogen yang selalu rendah maka kanker payudara tak sempat

muncul

7. Tempe juga merangsang kekebalan tubuh terhadap E.coli, bakteri penyebab diare. Lazimnya penyakit ini datang lantaran buruknya sanitasi lingkungan dan kurang bersihnya makanan. Untuk mengatasinya, berikan pertolongan pertama dengan memberi si sakit racikan tempe. Caranya, tempe dikukus lalu dihaluskan, kemudian dicampur dengan air tajin dan

gara

III

II IV I

Gambar 1. Grafik Fase Pertumbuhan Mikroba

Keterangan:

I : Fase Lag (Adaptasi)


(37)

III : Fase Stationer (Fase Biosintesa) IV : Fase Kematian

Pada fase Log terjadi pertumbuhan mikroba sehingga menimbulkan degradasi protein dalam bahan pangan menjadi asam-asam amino dan asam-asam organik. Kemudian pada fase stationer senyawa-senyawa protein yang terdegradasi akan mengalami biosintesa. Kemudian secara bertahap dan sesuai

dengan kondisi media tumbuh mikroba tersebut akan memasuki fase kematian (Syarief dan Irawati, 1988).

Adapun yang menjadi keunggulan dari tempe kedelei, yaitu: mempunyai kandungan senyawa aktif, teknologi pembuatan sederhana, harganya murah, cita rasa yang enak dan mudah dimasak, dapat dikonsumsi dengan berbagai variasi

olahan

Tempe Ampas Kelapa Bahan mentah

Tempe ampas kelapa adalah sejenis tempe yang terbuat dari ampas kelapa atau bungkil kelapa, baik sebagian maupun seluruhnya, dan dapat digolongkan kepada jenis lauk-pauk sebagai pengantar atau perangsang makan. Di pasaran lokal dikenal sebagai istilah yang digunakan untuk ampas kelapa yaitu sebagai berikut:

a. Bungkil kelapa, limbah pabrik minyak, dikenal dengan istilah setempat sebagai bungkil pabrik atau gaplek (harap jangan disalah artikan dengan singkong yang dikeringkan). Dalam bentuk lempengan bahan tersebut juga


(38)

dikenal sebagai “ paslingan”, atau kamplongan kalau diproduksi secara kecil-kecilan. Bahan tersebut dapat dibeli di toko atau warung.

b. Bungkil kelapa, limbah pembuat minyak di kampung secarta “botokan”, yang dikenal dengan istilah setempat sebagai “bungkil kampung” atau “bungkil botokan”. Bungkil ini disamping pembuatan tempe ampas kelapa juga digunakan untuk campuran tempe kedelei.

c. Bungkil kelapa, limbah pembuatan minyak secara “klentikan” yang menghasilkan sisa yang dikenal dengan istilah setempat sebagai “ampas gabar” atau kelapa parut yang telah diperas santannya. Bahan sisa ini juga sering disebut ketek. Ampas gabar ini digunakan sebagai campuran jenis tempe, semanyi, gula semut dan sebagainya.

(Winarno, 1986).

Cara Pembuatan Tempe Ampas Kelapa

Tempe ampas kelapa dapat dibuat dari bahan mentah yang beraneka ragam; baik yang murni dari ampas kelapa maupun campuran dari bahan lain seperti misalnya kedelei dan bungkil kacang tanah dengan perbandingan yang berbeda. Adapun komposisi gizi dari ampas kelapa dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2.Komposisi Ampas Kelapa dan Bungkil Kelapa Pabrik

Komposisi Ampas Kelapa Desa Ampas Kelapa pabrik

Air Lemak Protein Karbohidrat

31.5 % 13,7 % 15.8 % 17.7 %

12 % 8.98 % 17 % 31.5 % Harsono (1960)


(39)

Ampas atau bungkil kelapa direndam dalam air bersih selama 24 jam kemudian, diperas atau “dipipit” dengan alat dari kayu hingga “kering”. Tujuan perlakuan tersebut adalah untuk memeras ampas agar minyaknya berkurang. Kadar lemaknya ternyata turun 60 – 90 % dengan perlakuan tersebut.

Ampas atau bungkil dikukus hingga masak dan kemudian diletakkan di atas tampah dengan diaduk-aduk hingga menjadi dingin tetapi masih hangat kemudian diberi laru tempe dan dicampur hingga merat, setelah dicampur dihamparkan di atas tampah atau balai-balai dengan ketebalan 2 – 4 cm, bahan tersebut ditutupi dengan daun pisang atau karung goni dan ditaruh di tempat yang gelap. Selama sehari calon tempe menjadi panas (38 – 40 ˚C) dan setelah dibiarkan semalam, tutup deibuka sebentar, untuk menurunkan suhu dan mengeluarkan CO2

Tempe ampas kelapa yang baik biasanya mempunyai tekstur yang kompak penuh dengan kapang yang berwarna putih bersih dan berbau harum tidak busuk tidak bongkah-bongkah dan rapuh.

yang berlebihan. Setelah 2 atau 3 hari inkubasi, jadilah tempe ampas kelapa (Winarno, 1986)

Pembungkus tempe ampas kelapa biasanya terdiri dari pelepah pohon pisang, khususnya tempe ampas kelapa yang terbuat dari bungkil kelapa. Disamping pelepah pohon pisang kadang-kadang digunakan daun pisang atau bahan lembaran plastik.

Pada “tempe dulu” pembuatan tempe ampas kelapa sering dilakukan di dalam wasah yang terbuat sari tembaga. Dan karena itulah dugaan yang keras bahwa zat atau senyawa tembaga yang terlarut di dalam ampas dicuragai sebagai biang keladi terjadinya keracunan. Dan sejak itu alat-alat dari tembaga tidak


(40)

digunakan lagi dalam proses pembuatan tempe ampas kelapa dan diganti alat dari tanah liat, kayu atau bambu. Meskipun tembaga telah praktis hilang peranannya dalam pembuatan tempe ampas kelapa, tetapi dalam kenyataannya keracunan masih terus berlangsung.

Sebagian besar tempe dari ampas atau bungkil kelapa jarang yang dicampur dengan bahan lain, misalnya kedelei atau biji-bijian lain. Namun demikian meskipun kandungan ampas kelapa hanya serendah 10 %, masih memungkinkan menyebabkan keracunan yang fatal (Winarno, 1986).

Mikroba dalam Tempe Ampas Kelapa Kapang

Mikroba utama pada tempe ampas kelapa adalh kapang atau jamur yang dikenal sebagai kapang atau “ragi” tempe, termasuk dalam genus Rhizopus, family Mucoraceae. Mycelliumnya berwarna putih sedang sporanya berwarna hitam atau coklat tua. Pada tiap tempat dari stolon timbul satu sporangiospora columella, mycelliumnya tidak berseptum, bercabang dan sering tumbuh sebagian di dalam substrat. Pada umumnya kapang ampas kelapa tidak berbeda dengan kapang tempe kedelei, yaitu Rhizopus sp.

Rhizopus termasuk saprophyt yang hidup dari bahan organik dalam makanan diserap setelah sebagian dipecah atau dicerna oleh enzim yang dikeluarkan di luar sel kapang. Dalam proses transformasi substrat menjadi bahan makanan yang lebih mudah dicerna dan rasanya enak, sel-sel kapang mengkonsumsi 1 sampai 5 persen dari jumlah substrat.


(41)

Rhizopus sp pada umumnya dapat tumbuh cepat dengan memproduksi berbagai jenis enzim dan memproduksi cita rasa dan bau yang harum. Tumbuh baik pada suhu 25 – 37 ˚C dengan relatif kelembaban 65 – 85 %, dan bersifat aerobik. Pada umumnya tumbuh pada medium yang netral atau sedikit asam. Bakteri (de Bruin et al., 1973)

Selama proses fermentasi tempe ampas kelapa, diperkirakan banyak jenis baktei yang tumbuh dan terlibat dalam proses fermentasi tempe ampas kelapa diantaranya adalah bakteri asam laktat dan beberapa ragi. Masih sangat terbatas penelitian mengenai mikroflora dalam tempe ampas kelapa. Namun demikian bakteri yang penting untuk dibahas disini khususnya yang tumbuh pada tempe ampas kelapa dan mampu membentuk racun yang membahayakan kesehatan manusia. Meskipun wabah keracunan tempe ampas kelapa sudah dikenal sejak 1895 tetapi penelitian penyebabnya baru dimulai tahun 1930-an.

Tahun 1932, setelah bekerja keras lebih dari dua tahun lamanya, Van Veen dan Merten berhasil mengisolasi suatu bakteri yang telah lama dicari-cari sebagai penyebab keracunan tempe ampas kelapa. Racun dari bakteri tersebut kemudian dicoba terhadap binatang percobaan tikus dan kera, ternyata dapat menimbulkan keracunan dan kematian. Pada mulanya bakteri tersebut disebut “bongkrek bakteri”, kemudian diberi nama “Bacillus cocovenenans”. Penelitian tersebut dilakukan di laboratorium yang dikenal sebagai Eykman Institute di Batavia atau yang kini disebut Laboratorium Eykman Jakarta. Dalam penemuan bakteri tersebut perlu diingst jasa-jasa Bapak Soekarmen Kertorejo yang bekerja sebagai analis di Laboratorium Eykman tersebut (Arbianto, 1971)


(42)

Dari sampel yang dikirim oleh dr.Purwo Suwarjo, seorang dokter di Purbolinggo berupa bungkil kelapa ke laboratorium tersebut di atas, kemudian dapat disolasi beberapa mikroba dan diantaranya terdapat Pseudomonas yang waktu itu masih lebih dikenal sebagai Bacillus, kemudian ternyata jenis bakteri tersebut yang merupakan penyebab keracunan tempe ampas kelapa.

Bakteri tersebut ternyata juga dapat diisolasi dari sampel yang dikirim dari karanganyar dan penican. Setelah perang dunia selesai dr. Van Veen mengangkut beberapa tabung pupukan bakteri termasuk “bongkrek bakteri” untuk diteliti kembali di microbiologisch Institute di Techniche Hogeschool, Delft Nederland Institute inilah yang pertama memberikan genus Pseudomonas sehingga namanya menjadi “Pseudomonas cocovenenans”, nama pertama kali digunakan oleh Nugteren tahun 1957.

Sifat Bakteri P.cocovenenans

Bakteri ini termasuk famili Pseudomonadaceae, genus Pseudomonas berbentuk batang dapat bergerak dan memiliki 5 silia (rambut) pada salah satu ujungnya. Bentuk bakteri tersebut dapat berubah-ubah tergantung pada jenis medium yang dipergunakan. Karena itu kadang-kadang bentuknya mikrokokus, dan kadang-kadang berbentuk batang.

P.cocovenenans bersifat anaerobe fakultatif, dapat tumbuh di berbagai media dan biasanya mengeluarkan zat yang berwarna kuning. Bersifat gram negatif, bersel tunggal dan dapat tumbuh pada suhu kamar atau suhu 37 ˚C.

Mikroba Pseudomonas cocovenenans aktif memecahkan atau menghidrolisa gliserida (lipida) dari minyak kelapa menjadi gliserol dan asam


(43)

lemak. Fraksi gliserol setelah mengalami reaksi-reaksi biokemis menjadi senyawa yang berwarna kuning yang disebut toksoflavin sedang asam lemaknya, khususnya asam oleat dapat menjadi asam bongkrek yang tidak berwarna.

Bakteri Pseudomonas tumbuh pada kisaran pH 6 – 8 dengan pertumbuhan optimum pada pH 8.0, Arbianto (1971) melaporkan bahwa pada pH 6.0 atau lebih rendah dapat menekan atau menghambat produksi racun tempe ampas kelapa. Sedangkan pada pH 5.0 atau lebih rendah diperlukan untuk menghambat pertumbuhan Pseudomonas. Ia juga melaporkan bahwa asam bongkrek diproduksi selama fase pertumbuhan stationer, yang suatu fase dimana jumlah baktei kurang lebih sama jumlahnya.

Penyebab terjadinya keracunan tempe ampas kelapa ialah adanya jenis bakteri gram negatif yang bernama Pseudomonas cocovenenans. Baktei tersebut bekerja antagonistis tehadapkapang tempe, karena itu bila kapangnnya tidak tumbuh dengan baik (wurung), kemungkinan besar ampas kelapa mengandung racun. Pada udara yang sangat lembab akan lebih menguntungkan pertumbuhan bakteri ampas kelapa, sedang sebaliknya udara kering menguntungkan bagi pertumbuhan kapang.

Ada dua jenis racun yang diduga sangat berbahaya dalam tempe ampas kelapa, yaitu asam ampas kelapa (AB) dan Toksoflavin (TF). Kedua racun tersebut dapat diproduksi oleh mikroba Pseudomonas cocovenenans. Daya racun asam ampas kelapa pada umumnya lebih kuat dari toksoflavin. Diperkirakan bahwa asam ampas kelapa merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan tersebut. Tosoflavin sebagian besar akan rusak dilambung karena tidak tahan pH yang rendah (Van Dame et al., 1960).


(44)

Menurut Soekini S. (1975), asam ampas kelapa dan toksoflavin diduga berasal dari satu molekul. Racun murni yang merupakan gabungan asam ampas kelapa dan tosoflavin tersebut kemungkinan mempunyai daya toksisitas yang lebih kuat daripada fraksi-fraksi yang telah terpisah. Meskipun demikian cara ekstraksi molekul secara utuh sedemikian jauh belum berhasil dilakukanatu belum dilaporkan.

Racun tempe ampas kelapa hanya ditemukan bila sumber karbonnya berupa lipida (glycerol + asam lemak). Racun-racun tempe ampas kelapa dproduksi di dalam sel dan dilepaskan bila sel-sel mikro tersebut mengalami kematian atu lysis. Ternyata racun juga tidak diproduksi pada pH rendah, sekitar pH 4,2.

A. Asam ampas kelapa

Rumus empiris asam ampas kelapa adalah C28H38o7

Nugteren dan Berends (1956) telah berhasil mengisolasi asam kelapa mereka menyatakan bahwa strukturasam ampas kelapa terdiri dari trikarboksilat alifatik, yang bercabang dan tidak jenuh, mempunyai 7 ikatan rangkap dua dan paling sedikit membentuk dua sistem konyugasi.

. Asam ampas kelapa memiliki gugus metoksi tertier dan tiga gugus karboksilat.

Letak ikatan rangkapnya masih belum dapat dipastikan benar yaitu apakah C2-3 atau C3-4

Sifat – sifat Asam Ampas Kelapa

. Demikian halnya dengan adanya rantai cabang dan gugus cincin. Yang jelas asam ampas kelapa merupakan suatu asam karboksilat yang mengandung beberapa ikatan rangkap. Karena jumlah atom karbonnya relatif banyak, maka asam ampas kelapa bersifat tidak larut dalam air.


(45)

Adapun sifat-sifat asam ampas kelapa, yaitu:

1. Asam ampas kelapa mempunyai sifat antibiotik, yang dapat ditunjukkan secara mikrobiologi dengan metode-metode yang lazim dikenal seperti dengan metoda pengenceran dan lain-lain.

2. Asam ampas kelapa bersifat menghambat respirasi jasad renik yang dapat dibuktikan dengan menggunakan alat respiromete Warburg. Hal ini memberikan petunjuk bahwa ada kemungkinan oksidasi fosforilasi atau kegiatan-kegiatan yang erat hubungannya dengan proses biologis tersebut terganggu. Pada umumnya kegiatan tersebut terdapat pada mitochondria atau organela semacam mitochondria.

3. Asam ampas kelapa tidak menghambat respirasi ragi yang tidak mempunyai mitochondria. Ragi yang ditumbuhkan pada media yang mengandung glukosa yang kadarnya lebih dari 2% tidak memiliki mitochondria, sedang ragi yang ditumbuhkan pada kadar glukosa yang rendah (lebih rendah dari 1%) kan memiliki mitochondria (Soedigdo, 1975). 4. Asam dari ampas kelapa tidak stabil di udara pada suhu kamar karena itu

agar tidak mengalami kerusakan harus disimpan di dalam lemari es. Asam ampas kelapa juga tidak tahan pada lingkungan asam, tetapi cukup stabil pada lingkungan basa pada suhu kamar. Karena ada gugusan tak jenuh, diperkirakan tidak stabil oleh oksidasi dan dapat diinaktifkan.


(46)

Mekanisme Kerja Toksin Asam Ampas kelapa a. Asam Ampas Kelapa terhadap Enzim

Asam ampas kelapa pada kadar (10-4

b. Asam Ampas Kelapa terhadap Hormon

M) menghambat keaktifan enzim papain dan juga fixin sampai sekitar 80%, sedang tripsin tidak terhambat. Karena itu asam ampas kelapa termasuk inhibitor keras bagi golongan enzime S-H. Welling et al., (1960) telah membuktikan bahwa asam ampas kelapa menghambat proses fosforilasi oksidatif di mitochondria. Karena itu produksi ATP di mitochondria akan terganggu. Apabila sel-sel jantung yang terserang, maka jantung akan berhenti bekerja.

Asam ampas kelapa tidak mempengaruhi hormon insulin dan adrenalin. Secara mikroskopis sel-sel dalam pulau-pulau langerhans pada makhluk yang mengalami keracunan tidak mengalami kerusakan.

c. Asam Ampas Kelapa sebagai Antibiotik

Baik asam ampas kelapa dan tosoflavin bersifat antibiotik tapi toksoflavin dapat disebut sebagai “pseudo antibiotik” karena enghasilkan H2O2, sedang asam ampas kelapa tidak menghasilkan H2O2 karena itu benar-benar merupakan antibiotik. Bila pertumbuhan P.cocovenenans berkembang dengan baik, maka kapang tempenya kalah bersaing dan tidak tumbuh dengan baik, sehingga tempe menjadi “gemblung”, gagal atau “wurung”. Sebelum tempe ampas kelapa dikonsums, biasanya telah melalui proses pemasakan. Bakterinya sendiri akan mati dan sel-selnya mengalami lysis (hancur) sehingga asam ampas kelapanya akan keluar dari sel dalam bentuk tidak murni dan masih mempunyai zat-zat pelindung seperti protein, sehingga masih memiliki daya racun yang kuat


(47)

d. Kematian oleh asam bongkrek

Masih banyak terjadi kontroversi mengenai mekanisme kerja asam dari tempe ampas kelapa sebagai inhibitor fosforilasi oksidatif. Banyak yang berpendapat bahwa terganggunya produksi ATP disebabkan oleh asam dari ampas kelapa melakukan penghambatan terhadap kerja enzim translokase pada membrana mitokondria. Enzim translokase berfungsi memberikan kemudahan – kemudahan bagi nukleotida sehingga dapat memasuki mitokondria dan adenin nukleotida diubah menjadi ATP. Dengan adanya gangguan atau penghambatan enzim translokase oleh asam dari ampas kelapa, maka akibatnya produksi ATP di dalam mitokondria terganggu.

Secara tepat masih belum dapat ditentukan di bagian mana asam dari ampas kelapa tersebut bereaksi dengan membran mitokondria. Karena kekurangan ATP sebagai sumber energi , ( mitokondria tidak mampu lagi memproduksi ATP, maka cara lain yang biasanya ditempuh adalah melalui jalan glikolisis, akan tetapi dengan jalan glikolisis jumlah ATP masih kurang cukup untuk memenuhi fungsi jantung secara normal. Dengan adanya kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya pemecahan glikogen yang tertimbun di hati, jantung dan di dalam daging.

Akibat pemecahan glikogen di berbagai tempat penimbunan tersebut terjadilah gejala hypoglycaemia yang hebat sehingga penderita akan meninggal.

Mula – mula kadar gula akan mengalami peningkatan yang cukup tinggi,

tergantung tersedianya glikogen, kemudian menurun sampai 50% ( Winarno, 1986 ).


(48)

B. Toksoflavin

Toksoflavin adalah racun tempe ampas kelapa yang berwarna kuning. Warna kuning toksoflavin disebabkan karena adanya pembentukan pigmen. Sedang toksoflavin merupakan gugus prostetik dari pigmen tersebut. Pigmen tersebut hanya dibentuk bila mikroba Pseudomonas cocovenenans ditumbuhkan pada media tertentu misalnya pada ampas kelapa.

Rumus empiris toksoflavin yang disarankan oleh Van Veen dan Martens (1933 ) adalah C6H6N4O2.

1. Sifat – sifat toksoflavin

Berbeda dengan asam dari ampas kelapa, toksoflavin bersifat sedikit basa dan larut dalam air, etanol dan kloroform serta pelarut polar lainnya. Dalam keadaan murni toksoflavin berbentuk kristal berwarna kuning dengan titik lebur 170o

Warna kuning yang kuat yang dimiliki oleh toksoflavin disebabkan adanya gugus kromofor yang terkonjugasi disamping adanya gugus auxocrom (gugus penguat warna).

C.

Toksoflavin larut dalam air, alkohol, sukar larut dalam petroleum eter, pada suhu 120oC sudah mulai inaktif dan melebur pada suhu 150oC. Karena itu meskipun telah dimasak racunnya masih aktif, kecuali bila digoreng dalam minyak (suhu 180oC - 190o

2. Mekanisme kerja toksoflavin

C) racunnya dapat inaktif (Winarno, 1986).

Racun toksoflavin, sebenarnya bersifat racun terhadap sel – sel badan, khususnya yang tidak banyak mengandung katalase. Menurut Letuasan dan Berends (1961) toksoflavin dapat berfungsi sebagai pembawa elektron dengan


(49)

adanya toksoflavin memungkinkan terjadinya pemindahan elektron tanpa melalui sistem peroksida yang sangat beracun terhadap sel – sel tubuh.Tetapi sel – sel yang mampu memproduksi enzim katalase ternyata tidak akan banyak mengalami gangguan. Disamping itu menurut Stern (1953) racun toksoflavin mampu menstimulasi pengambilan oksigen oleh sel – sel darah merah, sedangkan oksihemoglobin akan diubah menjadi methemoglobin.

Asam dari ampas kelapa memang dapat mempengaruhi pH darah, karena banyaknya terbentuk asam laktat dalam darah. Infuse yang banyak dilakukan adalah infuse glukosa yang biasanya dilakukan dengan garam NaCl fisiologis untuk mengatasi kelebihan asam laktat. Dapat pula dilakukan dengan bikarbonat tetapi biasanya hanya bersifat sementara (Winarno, F.G., 1986).

Tempe campuran (Kedelei dan Ampas kelapa) Sekilas Tentang Tempe Campuran

Seiring dengan meningkatnya harga kedelei sebagai bahan baku utama pembuatan tempe maka untuk menindak lanjuti hal tersebut maka dibuatlah tempe dengan kedelei yang dikonversikan dengan bahan – bahan lain seperti ampas kelapa, kacang tanah, jagung dan lain sebagainya. Penggunaan bahan tambahan ini dianggap dapat mengurangi beban para pengusaha tempe seiring dengan meningkatnya harga kedelei di pasaran.

Penggunaan ampas kelapa yang dikonversikan dengan kedelei sebagai bahan pembuatan tempe banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Ada yang berpendapat bahwa penggunaan ampas kelapa dapat


(50)

memberikan efek yang negatif terhadap konsumen seiring dengan munculnya kasus keracunan yang muncul di daerah jawa beberapa waktu yang lalu. Penggunaan ampas kelapa ini dikhawatirkan dapat merusak kandungan gizi dari kedelei serta dapat menimbulkan efek toksik yang sangat berbahaya bagi konsumen. Potensi keracunan akibat racun yang ditimbulkan oleh bakteri Pseudomonas cocovenenans yang terdapat pada ampas kelapa dapat membahayakan kesehatan manusia.

Menurut Winarno (1986), sebagian besar dari ampas kelapa atau bungkil kelapa jarang yang dicampur dengan bahan lain. Tetapi kadang – kadang tempe tersebut dicampur dengan bahan lain, misalnya kedelei atau biji – bijian lainnya. Namun demikian meskipun kandungan ampas kelapa hanya serendah 10%, masih memungkinkan menyebabkan keracunan yang fatal.

Teknik pengolahan tempe yang kurang baik serta alat – alat yang kurang higienis juga memberikan pengaruh buruk terhadap hasil akhir dari tempe campuran tersebut. Dari berbagai hasil penelitian muncul anggapan bahwa penambahan garam dapur serta teknik pemberian laru padat spora sebelum dilakukan fermentasi tempe tersebut serta kondisi lingkungan dan alat yang higienis serta pengolahan yang dilakukan dengan benar sesuai dengan prosedur mempunyai prospek yang baik dalam usaha pencegahan keracunan tempa yang ditimbulkan dari ampas kelapa tersebut.

Selain itu, menurut Winarno (1986), bahwa Rhizopus oligosporus yang bekerja saat proses fermentasi bersifat antagones terhadap Pseudomonas cocovenenans, karena itu penggunaan jumlah spora yang tinggi 104 - 105 per gram substrat dapat mencegah produksi racun. Karena itu produksi laru tempe


(51)

yang padat spora sangat banyak membantu pencegahan munculnya racun dari ampas kelapa yang dikonversikan dengan kedelei di dalam pembuatan tempe.


(52)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan April sampai Juni 2009 di Laboratorium Teknologi Pangan, Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan

- Kacang Kedelei - Ampas Kelapa - Tepung Beras - Laru Tempe - Media Agar

Reagensia - Hexan - K2SO - CuSO 4

- H

4 2So4 - NaOH 40%

pekat

- Asam Borax 0,02 N - Indikator Mengsel


(53)

- Metil red - Metil Blue - Alkohol 96% - HCl 0,1N

Alat

- Baskom - Piring

- Oven - Plastik Tempe

- Panci - Kompor

- Ember - Sendok

- Timbangan - Ayakan

- Saringan - Kertas Saring

- Karet - Serbet

- Flanel - Tusuk Gigi

- Talenan - pH meter / Kertas pH

- Hand Refraktometer - Petridish

- Inkubator - Penggaris

- Alat Ekstraksi Soxlet - Timbangan Analitik


(54)

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Rancang Acak Lengkap (RAL), dengan dua faktor yang terdiri dari:

Faktor I : Jenis Ekstrak Produk Fermentasi Tempe (T) terdiri dari tiga jenis, yaitu:

T1 T

= Tempe kedelei 100% 2

T

= Tempe ampas kelapa 100% 3

Faktor II : Waktu proses Pemanggangan (W) terdiri dari empat taraf, yaitu: = Tempe campuran kedelei dan ampas kelapa (perbandingan

kedelei dan ampas kelapa 50% : 50%).

W1 W

= 10 menit 2

W

= 15 menit 3

Kombinasi perlakuan (T = 20 menit c

T

) = 3 x 4 = 12 dengan jumlah ulangan minimum perlakuan (n) adalah:

c

9 (n – 1) ≥ 15 (n – 1) ≥ 15

9 n ≥ 24

n ≥ 2,5 pembulatan 3 Untuk memperoleh ketelitian dilakukan ulangan sebanyak 3 kali.

Adapun W0 adalah perlakuan kontrol atau tanpa pemanggangan digunakan hanya sebagai pembanding saja.


(55)

Model Rancangan ( Bangun, 1991).

Untuk menganalisa dari hasil pengamatan dilakukan sidik ragam untuk RAL Faktorial dengan model:

=

Yijk μ + αi + βj + (αβ) ij + ∑ijk Dimana:

Yijk = Hasil pengamatan dari faktor T pada taraf i dan faktor W pada taraf ke-j dengan ulangan ke-k.

μ = Efek nilai tengah

αi = Efek dari faktor T pada taraf ke-i βj = Efek faktor W pada taraf ke-j

(αβ)ij = Efek interaksi dari faktor T pada taraf ke-i dan faktor W pada taraf ke-j Σijk = Efek galat dari faktor T pada taraf ke-i dan factor W pada taraf ke-j dalam

ulangan ke-k. Pelaksanaan Penelitian

1. Pembuatan Tempe Kedelei (Tarigan, 1986)

- Dibersihkan kacang kedelei dari kotoran dan dicuci - Direbus kacang kedelei sampai mendidih

- Dibersihkan, lalu dimasukkan karung goni dan dipukul-pukul - Direndam dalam air selama 48 jam secara anaerob

- Dicuci bersih kacang kedelei sambil dikupas kulit bijinya

- Direbus kembali kacang kedelei sampai mendidih kemudian ditiriskan sampai agak kering


(56)

- Dihamparkan di tampah

- Ditambahkan tepung beras yang telah disangrai dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 1:4

- Ditambahkan ragi (laru tempe) sebanyak 0,5% dari berat bahan yang sudah direbus

- Ditaburkan di atas hamparan kacang kedelei - Diaduk sampai merata

- Dimasukkan ke dalam cetakan plastik yang telah dilubangi dengan jarak ± 1cm

- Difermentasi selama 2-3 hari - Tempe kedelei

2. Pembuatan Tempe Ampas Kelapa ( Tarigan, 1986). - Dibersihkan ampas kelapa dari kotoran dan dicuci

- Ditiriskan untuk kemudian diperas hingga diperoleh ampas yang lembab - Dikukus ampas kelapa sampai diperoleh tekstur yang agak lembut ±

selama 1 jam

- Dihamparkan di atas tampah

- Ditambahkan tepung beras yang telah disangrai dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 1:4

- Ditambahkan ragi (laru tempe) sebanyak 0,5% dari berat bahan yang sudah dikukus

- Dimasukkan ke dalam cetakan plastik yang telah dilubangi (jarak masing-masing lubang ± 1 cm)


(57)

- Tempe ampas kelapa

3. Pembuatan Tempe Campuran (50% kedelei + 50% ampas kelapa) (Tarigan, 1986 ).

- Dicampurkan kacang kedelei yang telah direbus dengan ampas kelapa yang telah dikukus masing-masing 50%

- Dihamparkan campuran tersebut di atas tampah

- Ditambahkan tepung beras yang telah disangrai dan diaduk sampai rata dengan perbandingan 1:4

- Ditambahkan ragi (laru tempe) sebanyak 0,5% dari berat bahan

- Dimasukkan ke dalam cetakan plastik yang telah dilubangi (jarak masing-masing lubang ± 1cm)

- Difermentasikan selama 2-3 hari - Tempe campuran

Perlakuan (Pemanggangan) (Anonimous, 2008)

- Dipanggang masing-masing tempe (tempe kedelei, tempe ampas kelapa, tempe campuran) dengan beberapa perlakuan waktu yakni: 0, 5, 10 dan 15 menit

- Dihaluskan masing-masing tempe yang telah dipanggang sesuai dengan waktu yang ditetapkan untuk kemudian dihaluskan

- Dilakukan penambahan air terhadap tempe yang dipanggang secukupnya (jumlah air lebih banyak dari bubuk tempe)

- Diaduk sampai rata


(58)

- Diukur pH, TSS dan dilakukan uji mikroba serta uji kualitatif.

Pengamatan dan Pengukuran Data

Pengamatan dan pengukuran data dilakukan berdasarkan hasil analisa yang meliputi beberapa parameter:

1. Kadar Air (%) 2. Kadar Lemak (%) 3. Kadar Protein (%)

4. Total soluble solid / TSS (ºbrix) 5. Derajat Keasaman (pH)

6. Uji Mikrobiologi

7. Uji Kualitatif (Uji Khitin)

Kadar Air (AOAC, 1970).

Bahan masing-masing ditimbang sebanyak 10 gr dan diletakkan di dalam aluminium foil. Kemudian dipanaskan di dalam oven dengan suhu 100 ˚C selama 2 jam. Setelah itu didinginkan di dalam desikator selama 15 menit. Kemudian masing-masing bahan di dalam aluminium foil ditimbang kembali. Kemudian perlakuan ini diulangi sampai berat konstan.

Kadar Air = a x100%

b a

dimana:

a = berat basah (sebelum pengeringan)


(59)

Kadar Protein (AOAC, 1970).

- Ditimbang sampel sebanyak 0,2 gr dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, dan tambahkan 2 gr campuran K2SO4 dan CuCO4 dengan perbandingan 1:1 serta 2,5 ml H2SO4 pekat secara hati-hati, kalau bahan banyak mengandung serat penambahan H2SO4

- Didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih dan dibiarkan dingin pekat dapat ditambah

- Ditambahkan 10 ml aquadest dan dipindahkan ke labu suling

- Tambahkan 10 ml NaOH 40% atau lebih sampai terbentuk warna hitam dan segera didestilasi

- Hasil penyulingan ditampung dalam erlenmeyer berisi 25-50 ml asam borax 0,02 N dengan 3 tetes indikator mengsel (425 mg metil red dan 500 mg methilen blue yang dilarutkan dalam alkohol 96%

- Dititrasi hasil destilasi dengan larutan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna

- Lakukan hasil yang sama untuk blanko (tanpa bahan)

Kadar protein = ( ) 0,014 x100% a

xfk xNx

c b− Keterangan:

a 0 (ml)

c = Titrasi contoh (ml)

N = Normalitas NaOH yang digunakan fk = Faktor konversi


(60)

Kadar Lemak (AOAC, 1970).

- Diambil labu didih yang ukurannya sesuai dengan alat ekstraksi soxhlet yang akan digunakan, keringkan dalam oven, dinginkan dalam desikator dan timbang

- Ditimbang 2-5 gr sampel yang telah dihaluskan dan kering (bisa dari hasil analisa kadar air), masukkan ke dalam selongsong yang telah diketahui beratnya

- Diletakkan selongsong dari kertas saring yang berisi sampel tersebut dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian pasang alat kondensor diatasnya dan labu didih dibawahnya

- Dituangkan hexan atau pelarut lemak lainnya ke dalam labu didih sebanyak ± 2/3 bagian

- Dilakukan refluks selama ± 4 jam sampai pelarut yang turun ke labu lemak berwarna jernih

- Dikeringkan bungkusn sampel pada suhu 105 ˚C selama ± 1-2 jam, didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang

- Selisih berat dinyatakan sebagai berat lemak

% Lemak = 100%

) (

) (

x gr l BeratSampe

gr BeratLemak

Penentuan Total soluble solid (TSS) (AOAC, 1970).

Ekstrak dari masing-masing tempe (tempe kedelei, tempe ampas kelapa, tempe campuran (kedelei + ampas kelapa)) diambil sebanyak 1-2 tetes dan


(61)

diamati dengan hand refraktometer. TSS dinyatakan dengan ºbrix dengan mengalikan factor pengencerannya

Penentuan Derajat Keasaman (pH) (AOAC, 1970).

Ekstrak diperoleh dari masing-masing tempe (tempe kedelei, tempe ampas kelapa, tempe campuran (kedelei + ampas kelapa)), diambil masing-masing sebanyak 50 ml sesuai dengan waktu perlakuan. Nilai pH ditentukan dengan memasukkan kertas pH/pH meter ke dalam ekstrak tempe untuk kemudian ditentukan nilainya.

Uji Mikrobiologi (Metode Cakram) (Winarno, 1997)

Ekstrak diperoleh dari masing-masing tempe (tempe kedelei, tempe ampas kelapa, tempe campuran (kedelei + ampas kelapa)), diambil masing-masing sebanyak 50 ml sesuai dengan waktu perlakuan. Dicelupkan kertas saring ke dalam ekstrak untuk kemudian diletakkan di atas media agar lalu kemudian diinkubasi selama 24 jam, sedikit banyaknya kandungan mikroba dari amsing-masing ekstrak tempe ditentukan dengan melihat zona pertumbuhan bakteri secara visual yang terdapat pada kertas saring tersebut. Semakin luas zona pertumbuhannya maka mikroba semakin banyak dalam bahan dan sebaliknya.Adapun bakteri yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Staphylococcus aureus dengan menggunakan media agar jenis PCA.

Uji Kualitatif (Kandungan Senyawa Khitine) (Winarno, 1997).

Dengan melakukan pengamatan ada atau tidaknya kandungan khitine pada masing-masing tempe sesuai dengan waktu pemanggangan masing-masing tempe.


(62)

Kandungan kitin dapat diketahui dengan memasukkan bakteri penyebab penyakit ke dalam ekstrak serlama 24 jam. Jika bakteri penyebab bakteri tersebut tidak berkembang atau mati berarti pada ekstrak tempe tersebut mengandung kitin.

Dengan adanya kitin pada tempe, berarti tempe tersebut memiliki kandungan glukosamin yang tinggi yang baik untuk menghambat atau membunuh pertumbuhan bakteri patogen dan di samping itu senyawa khitine terdiri atas senyawa-senyawa bioaktif fungsional untuk kesehatan. Uji ini dilakukan dengan menggunakan larutan standard dimana larutan tersebut mengandung khitine yang berasal dari kulit udang. Pengujian adanya khitine dapat dilakukan dengan penambahan I2 + KI warna cokelat. KI + H2SO4


(63)

- 10 menit - 10 menit - 10 menit - 15 menit - 15 menit - 15 menit - 20 menit - 20 menit - 20 menit

Gambar 2. Skema Pengujian Mutu Produk Pangan Fungsional (Tempe) Tempe

Kedelei Ampas Kelapa Campuran

Kedelei +

Pemanggangan Pemanggangan Pemanggangan

Dihaluskan Dihaluskan Dihaluskan

TempeDiekstrak TempeDiekstrak Tempe Diekstrak

Pengamatan Pengamatan Pengamatan

- Kadar Air - Kadar Protein - Kadar Lemak - TSS

- pH

- Uji Mikrobiologi - Uji Kualitatif (Uji


(64)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tempe dan lama pemanggangan pada tempe memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati. Pengaruh jenis tempe dan lama pemanggangan pada tempe terhadap parameter yang diamati dapat dijelaskan sebagai berikut.

Hasil penelitian menunjukkan nilai setiap masing-masing jenis tempe dengan tidak melakukan pemanggangan (waktu=0 menit) dapat dilihatpada Tabel 3 adalah:

Tabel 3. Nilai Parameter yang Diamati pada Masing-Masing Jenis Tempe Dengan Tidak Dilakukan Pemanggangan (Waktu= 0 menit)

Parameter yang Diamati Jenis Tempe

Tempe Kedelei (T1 Tempe Ampas Kelapa (T ) 2 Tempe Campuran (Kedelei dan Ampas

Kelapa) (T )

3)

Kadar Air 1,84 2,98 2,22

Kadar Protein 17,67 4,21 10,57

Kadar Lemak 4,32 3,57 3,85

Total soluble solid (TSS) 2,36 1,07 1,63

pH 4,67 5,69 5,53

Uji Kualitatif 1,54 0,70 0,70

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai kadar air, kadar protein, kadar lemak, total soluble solid (TSS), pH, dan Uji Mikrobiologi yang terkandung pada jenis tempe dengan tidak dilakukan pemanggangan (lama pemangganagan= 0 menit) adalah lebih tinggi yaitu: kadar air sebesar 2,347 %, kadar protein sebesar10,82 %, kadar lemak sebesar 3,91 %, total soluble solid sebesar 1,69 ˚Brix, pH sebesar 5,30, dan uji mikrobiologi sebesar 0,98.


(1)

atau pada umumnya selama 48 jam hingga menjadi sebuah tempe yang akan siap dikonsumsi.

4. Hanya tempe kedelei yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus untuk setiap waktu pemanggangan yang ditentukan dimana semakin lama pemanggangannya maka kemampuan tempe kedelei tersebut untuk menghambat pertumbuhan bakteri staphylococcus tersebut akan semakin menurun. Sementara untuk kedua jenis tempe yang lain yaitu tempe ampas kelapa dan tempe campuran tidak mampu sama sekali dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

5. Tempe kedelei memiliki masa simpan yang lebih panjang dari pada tempe ampas kelapa dan tempe campuran dengan perlakuan yang sama sesuai dengan prosedur. Tempe ampas kelapa lebih mudah/cepat rusak dari tempe kedelei dan tempe campuran.

Saran

1. Berdasarkan hasil penelitian, tempe kedelei memiliki kualitas gizi yang lebih baik dari tempe ampas kelapa dan tempe campuran, pemanasan dengan suhu rendah bukan dengan suhu moderat (1700C – 1900C) tidak akan merusak struktur gizi tempe kedelei, selain itu kandungan zat bioaktif pada tempe dapat mencegah penyakit degeneratif tertentu seperti diare, kanker payu dara dan lain sebagainya, untuk itu disarankan menggunakan atau mengkonsumsi tempe kedelei dengan pemanggangan kurang dari 5


(2)

menit karena kestabilan gizi tempe masih dapat terjaga (suhu kurang dari 1000C dan diatas 500

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai komposisi kimia dan gizi dari tempe ampas kelapa dan tempe campuran dan waktu pemanggangan atau pemasakan yang lebih baik agar kedua jenis tempe tersebut lebih aman untuk dikonsumsi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC, 1970. Official Method and Analisys of The Association of The Official Analytical Chemist.11th Edition, Washington D.C.

Adams, M.R., and Moss, M.O, 1995. Food Microbiology. The Royal Society of Chemistry. Cambridge.

Anonimous, 2009. Food and Nutrition in Australia. Cassel, Australia. Anonimous, 2008.Manuals of Food Quality Control. FAO, Rome.

Adiyadi, 2004. Pendinginan dan Pembekuan. Pusat antara Universitas Pangan dan Gizi. UGM-Press, Yogyakarta.

Anonim, 2004. Biokimia Tempe. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Apriantono, Anton, 2002. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi dan Keamanan Pangan. Makalah Seminar Kharisma Online. Dunia Maya. Arbianto, p., 1971. Studies on Bongkrek Acid : Toxonomy of the Producing

Bacterium, Its Production and It Physiological Function. Ph. D. Thesis University of Wisconsia, USA.

Bangun, M.K., 1991. Perancangan Percobaan. Fakultas Pertanian USU-Press, Medan.

Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah : H. Purnomo dan Adiono.UI-Press, Jakarta.

De Bruin, J.et al., 1973. The Structure of Bongkrekic Acid Tetrahedron. 29:1541. Departemen Kesehatan RI. Dir. Bin. Gizi Masyarakat dfan Puslitbang Gizi. 1991.

Daftar Komposisi Bahan Makanan.Bhratara Karya Aksara, Jakarta

Hardjohutomo Harsono, 1960.Oxalis Sepium Bagi Pembikinan Bongkrek. Dalam Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Sosial I, Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, Malang.

Hermana, M.K., 1996. Pengembangan Teknologi Tempe dalam Sapuan dan Sutrisno (ed). Bunga Rampai Tempe. Yayasan Tempe Indonesia. Jakarta. Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini, 2006.Mikrobiologi Industri. Penerbit

Andi, Yogyakarta.


(4)

[ 1 September 2008 ].

2008 ].

Pangan. [ 24 Agustus 2008 ].

Hurrel, R.F., 1984. Reaction of Food Protein During Processing and Storage and Their Nutritional Consequences. Di dalam B.J.F. Hudson ( Ed ). Development in Food Protein.

Hurrel, R.F., P.A. Pinot and J.L Cuq, 1982. Brit. J. Nutr. 47 : 191.

Jay, J.M., 1996. Modern Food Microbiology. Chapman and Hall, International Thomson Publishing, New York.

Judoamidjojo, M., A.A. Darwis dan E.S. Gumbira, 1992. Teknologi Fermentasi.IPB-Press, Bogor.

Kasmidjo, 1990. Tempe, Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan Serta Pemanfaatannya. Unika Soegijapranata- Press, Semarang.

Koswara, S., 1992.Teknologi Pengolahan Kedelei. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Leni, H.L., 2008. Teknologi Pengawetan Pangan. Alfabeta, Bandung.

Letuasan, H.E and E. Brands, 1961. On the Origin of the Toksicity of Toksoflavin. Biochim, Biophys Acta, 52:502.


(5)

Muchtadi, D., Nurheni Sri Palupi, dan Made Astawan, 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi Dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Hal.: 5-28, 82-92 dan 119-121.

Nughteren, D.H., 1956. Over de Structure van Bongkrekzuur Ph. D. Thesis Technische Hogeshoel. Delft. The Netherlands.

Nugteren. D. H and W. Berends, 1957. Rec. Trav. Chim. 76:13.

Nurdiyastuti, I., 2008. Prospek Pengembangan Pangan Fungsional. Sinarharapan.com. [ 21 Agustus 2008 ].

Nurwantoro, 1997. Teknologi Pengolahan Pangan. UNPAD-Press, Bandung. Pelczar, M. Z., Reid and Chan, 1988.Microbiology 4th Edition, Tata Mc.Graw

Hill Book Company, Inc. New York

Potter, N.N., 1978. Food Science. Avi Pub. Company Westport. .

Rachman, A., 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. IPB – Press, Bogor.

Sardjono dan D. Wibowo, 1988. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM-Press, Yogyakarta.

Sarwono, B., 1987. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta. Soedigdo Soekeni, 1975. Analisa Ceapat Toksoflavin dan Asam Bongkrek. Dalam

Seminar Tempe Bongkrek. Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto. Soedigdo, P., 1975. Mekanisme Keracunan Tempe Bongkrek dan Penelitian ke

Arah Detoksifikasinya. Dalam seminar Tempe Bongkrek Universitas Negeri Jendral Sudirman, Purwokerto.

Sorensen and Hesseltine, 1986. Validation of an in Vivo Development Toxicity Screen in the Mouse. Teratol. Mutagen. 6:361-374.

Stern, K.G., 1935. Biochem. J. 29:500.

Supardi, I., dan Sukamto, 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. UGM-Press, Yogyakarta.

Susanto, T. dan Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu, Surabaya.

Syarief, R dan H. Halid, 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan dan PAU Pangan dan Gizi, IPB-Press, Bogor.


(6)

Syarief, R dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan Untuk Industri Pertanian. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Tarigan,S., 1986. Proses Pembuatan Kecap dari Ampas Kelapa.USU – Press, Medan.

Tim Penulis UNAIR, 2007. Ragi.

[ 21 Agustus 2008 ].

Van Damme, P.A, et al., 1960. Rec. Trav. Chm. 79:225. Van Veen, A.G. and J.K. Baars, 1938.Rec Trav.Chm. 57:248.

Van Veen, A.G and W.K. Mertans. De Bongkrek Vergiftigingen in Banjoemas, Geneesk Tijdschr. V. Ned. Indie. 73:1309.

Welling, W., J.A. Cohen and W. Berends, 1960. Disturbance of Oxidative Phosphorylation by Antibioticum Produced by Pseudomonas cocovenenans : Biochemical Pharmacology, 3:122.

Winarno, F.G., 1986. Tempe Bongkrek. IPB-Press, Bogor.

Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1990. Biofermentasi dan Biosintesa Protein.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Winarno, F.G., 1996. Kimia Pangan Dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta..

Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1988. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta..

Winarno, F.G., Srikandi Fardiaz. Betty S.L. Jenie. Winiati P. Rahayu dan Ingrid S. Surono, 1981. Mempelajari Pengaruh Penambahan NaCl Terhadap Mutu Tempe Bongkrek. Pusbangtepa/FTDC-IPB.