Metode Inferensial Bayes Untuk Menentukan Basic Reproduction Number Dalam Model Epidemi

METODE INFERENSIAL BAYES UNTUK MENENTUKAN BASIC REPRODUCTION
NUMBER DALAM MODEL EPIDEMI
TESIS
Oleh NILAWATI WARDANI
097021065/MT
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

METODE INFERENSIAL BAYES UNTUK MENENTUKAN BASIC REPRODUCTION
NUMBER DALAM MODEL EPIDEMI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam
Program Studi Magister Matematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Oleh NILAWATI WARDANI
097021065/MT
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
Universitas Sumatera Utara

Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi


: METODE INFERENSIAL BAYES UNTUK MENENTUKAN BASIC REPRODUCTION NUMBER DALAM MODEL EPIDEMI
: Nilawati Wardani : 097021065 : Matematika

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Tulus, M.Si.) Ketua

(Prof. Dr. Drs. Iryanto, M.Si.) Anggota

Ketua Program Studi

Dekan

(Prof. Dr. Herman Mawengkang)

(Dr. Sutarman, M.Sc)

Tanggal lulus : 15 Juni 2011


Universitas Sumatera Utara

Telah diuji pada Tanggal : 15 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Tulus, M.Si Anggota : 1. Prof. Dr. Drs. Iryanto, M.Si
2. Prof. Dr. Herman Mawengkang 3. Drs. Open Darnius, M.Sc
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Penyakit menular merupakan permasalahan kesehatan yang penting di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Beberapa penyakit menular dapat menyebar di dalam populasi hingga menyebabkan epidemi. Seseorang dapat terinfeksi jika megalami kontak yang cukup dengan infected. Salah satu model probabilistik yang menggambarkan proses penyebaran penyakit yaitu model epidemic SIR (Suspectible Infected Recovery). Laju infeksi pada model epidemic SIR didefinisikan sebagai probabilitas kontak antara setiap infected dengan suspectible. Pada penelitian ini, Metode Inferensial Bayes digunakan untuk menentukan Basic Reproduction Number (Bilangan Reproduksi Dasar) disimbolkan dengan R0. Dalam epidemiologi,bilangan reproduksi dasar adalah jumlah orang yang terinfeksi oleh individu tunggal yang akan menginfeksi dalam suatu populasi yang tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit. Ketika R0 < 1 maka dikatakan infeksi akan mati tetapi jika R0 > 1 maka dikatakan penyakit akan menyebar secara eksponensial, sehingga akan ada epidemi besar dan jumlah individu yang rentan akan habis. Mereka akan mati (tidak tahan terhadap infeksi) atau memperoleh kekebalan terhadap suatu penyakit sehingga membatasi penyebaran penyakit. Jika R0 = 1 maka dikatakan infeksi akan menjadi endemik dalam populasi. Semakin besar R0maka semakin sulit untuk mengontrol epidemi. Pengetahuan tentang R0 juga penting untuk menginformasikan ukuran kontrol misalnya cakupan vaksinasi minimum yang dibutuhkan untuk mencegah epidemi. Estimasi menggunakan metode inferensial Bayes memanfaatkan distribusi prior dan fungsi Likelihood sebagai sample datanya. Distribusi prior dan fungsi Likelihood digunakan untuk menentukan distribusi posterior. Distrbusi posterior digunakan untuk menentukan probabilitas laju infeksi.
Kata kunci : Bayes, Model epidemi SIR, Basic reproduction number
i
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Promatical Contagion important health in almost all countries, entered Indonesia. Some contagions can disseminate in population till cause epidemic. One can infected if megalami contact that enough with infected. One of model probabilistik that depict process of disease spreading that is model epidemic SIR (SuspectibleInfectedRecovery). Accelerate infection at model epidemic SIR are defined as [the] contact probability between every infected and suspectible. At this research, Method Inferensial Bayes is used to determine Basic Reproduction Number (NumberReproduksiDasar) disimbolkan with R. In pidemiology, elementary reproduction number is one who amount is infected by single individual that of infection in a population that not have impenetrability to disease. When R < 1 then told infection will die but if R > 1 then told disease will disseminate in exponential, until there will be big epidemic and individual amount that rentan will be used up/finished. They will die (is not resistant to infection) or getting the impenetrability to a disease until limit disease spreading. If R = 1 then told infection will become endemic in population. Ever greater R then growing difficult to control epidemic. The science of R also important to inform control size for example coverage of minimum vaccination that required to prevent epidemic. Estimation uses method inferensial Bayes exploits distribution prior and function Likelihood as [the] its data reading copy. Distribution prior and function Likelihood is used to determine distribution posterior. Distrbusi posterior are used to determine fast probability infection.
Keyword : Inferensial bayes, Model epidemi SIR, Basic reprodustion number.
ii
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Dengan rendah hati penulis ucapkan segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Program Magister Matematika pada FMIPA USU. Tesis ini merupakan salah satu syarat penyelesaian studi pada Program Studi Magister Matematika SPs USU. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar besarnya kepada :
Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H. M.Sc. (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Bapak Dr. Sutarman, M.Sc. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, yang juga menjadi pembimbing tesis ini. Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Bapak Prof. Dr. Herman Mawengkang selaku Ketua Program Studi Magister Matematika FMIPA Universitas Sumatera Utara juga sebagai dosen pembanding dan penguji tesis ini. Bapak Dr. Saib Suwilo, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Magister Matematika FMIPA USU. Bapak Prof. Dr. Tulus, M.Si., selaku Ketua Komisi pembimbing tesis ini, yang telah dengan penuh kesabaran memotivasi dan membimbing penulis hingga selesainya tesis ini dengan baik. Bapak Prof. Dr. Drs. Iryanto, M.Si., selaku anggota Komisi Pembimbing tesis ini, yang telah banyak memberikan saran dan masukan, juga motivasi belajar selama masa perkuliahan. Bapak Drs. Open Darnius, M.Sc., selaku pembanding dan penguji atas segala saran dan petunjuk yang diberikan. Bapak Gubernur Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan beasiswa pendidikan kepada penulis melalui BAPPEDASU. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Matematika SPs USU; Prof. Dr. Opim
iii
Universitas Sumatera Utara

Salim S, M.Sc., Drs. Marwan Harahap, M.Eng., Drs. Open Darnius, M.Sc., Drs. Marihat Situmorang, M.Kom., Drs. Suwarno Arriswoyo, M.Si. dan Ibu Dra. Mardiningsih, M.Si., yang telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan hingga selesai. Ibu Misiani, S.Si selaku Staf Administrasi Program Studi Magister Matematika FMIPA USU yang telah memberikan pelayanan administrasi selama mengikuti pendidikan. Rekan rekan mahasiswa Tahun Ajaran 2009/2010 (Ibu Lisbet, Tan, Erna, Indri, Adel, Siti, Yusleni, Novin, Suaibatul, serta Bapak Edy, Lesman, Sopar, Elo, Muda, Malem, Tohom, Atur, Geviner, Agus, Salamat, Bistok, Sindak, Nelson, Rofief dan Jalil) atas kerja sama dan kebersamaan yang indah selama perkuliahan dan rekan Guru SMA Negeri 1 Kisaran yang turut memberi motivasi. Juga kepada suami tercinta Mansyur Ali, S.Ag., dan ananda tersayang Annisa Azzahra sebagai inspirator dan motivator bagi penulis hingga selesainya tesis dan studi penulis pada Program Studi Magister Matematika di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih dan sayang yang mendalam kepada orang tua penulis yakni Ayahanda Ahmad Thoyib (Alm) dan Ibunda Musriyah, adinda Muhammad Alamsyah, Budi Alimuddin, SS dan semua keponakan penulis yang senantiasa memberikan dukungan dan mendoakan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis berterima kasih atas semua bantuan yang diberikan ,semoga Allah SWT membalaskan segala kebaikan yang telah diberikan, Amin Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca dan pihak pihak yang memerlukannya. Sekian dan terimakasih.
Medan, Juni 2011 Penulis,
Nilawati Wardani
iv
Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP

A. Data Pribadi :

Nama

: Nilawati Wardani

Tempat / tanggal lahir : Rawang Pasar IV / 14 Januari 1974


Agama

: Islam

Alamat rumah

: Jl. Husni Thamrin, Gg. Kartini, Kel: Selawan, Kec : Kota Kisaran Timur, Kab: Asahan.Sumut. Indonesia.

Nama Orang Tua

: (Alm) Ahmad Thoyib, (ayah)

Musriyah (Ibu)

Tanggal Pernikahan

: 14 Januari 2000

Nama Suami


: Mansyur Ali, S.Ag.

Nama Anak

: Annisa Azzahra

Nama Saudara kandung : 1. Muhammad Alamsyah.

2. Budi Alimuddin, SS

B. Riwayat Pendidikan :

1980 - 1986 : SD Negeri No 013851, Rawang Pasar IV 1986 - 1989 : SMP Negeri 1 Kisaran 1989 - 1992 : SMA Negeri 1 Kisaran 1992 - 1997 : S-1 FPMIPA, jurusan Matematika IKIP Medan 2009 - 2011 : S-2 Magister Matematika USU Medan
C. Pengalaman Kerja :

1997 - 1998

: Guru honorer di SMU Swasta Josua Medan


1997 - 1998

: Guru honorer di SMU Swasta Dharmawangsa Medan

1998 - 2006

: Guru honorer di Madrasah Aliyah Muhammadiyah-2 Kisaran

1998 - 2006

: Guru honorer di SMU Swasta Daerah Kisaran

1998 - sekarang : Guru PNS di SMA Negeri 1 Kisaran

v
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI

Halaman


ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Metode Penelitian
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

i ii iii v vi viii
1
1 4 4 4 4
6

BAB 3 LANDASAN TEORI

8

3.1 Metode Infernsial Bayes 3.2 Model SIR Standar Sebagai Model Epidemi 3.3 Basic Reproduction Number 3.4 Data dan Notasi 3.5 Ratio Distribusi Gamma Saling Lepas 3.6 Masa Infeksi Eksponensial 3.7 Likelihood 3.8 Distribusi Priori Parameter

8 11 11 12 12 13 13 14

vi

Universitas Sumatera Utara

3.9 Distribusi Posterior Parameter 3.10 Model Epidemi
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Metode Inferensi Bayes 4.2 Pembatasan Mean Posterior dari R0 4.3 Batas-batas Bila Masa Infeksi Awal Tidak Diamati 4.4 Batas-batas Distribusi 4.5 Masa Infeksi Konstan 4.6 Analisis Kesetimbangan Model Epidemi SIR
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA

15 16
18
18 18 22 23 24 26
27
27 27 28

vii
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

Nomor


Judul

Halaman

3.1 Himpunan data untuk suatu pengklasifikasian penggunaan bayes

9

viii
Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Penyakit menular merupakan permasalahan kesehatan yang penting di hampir semua negara, termasuk Indonesia. Beberapa penyakit menular dapat menyebar di dalam populasi hingga menyebabkan epidemi. Seseorang dapat terinfeksi jika megalami kontak yang cukup dengan infected. Salah satu model probabilistik yang menggambarkan proses penyebaran penyakit yaitu model epidemic SIR (Suspectible Infected Recovery). Laju infeksi pada model epidemic SIR didefinisikan sebagai probabilitas kontak antara setiap infected dengan suspectible. Pada penelitian ini, Metode Inferensial Bayes digunakan untuk menentukan Basic Reproduction Number (Bilangan Reproduksi Dasar) disimbolkan dengan R0. Dalam epidemiologi,bilangan reproduksi dasar adalah jumlah orang yang terinfeksi oleh individu tunggal yang akan menginfeksi dalam suatu populasi yang tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit. Ketika R0 < 1 maka dikatakan infeksi akan mati tetapi jika R0 > 1 maka dikatakan penyakit akan menyebar secara eksponensial, sehingga akan ada epidemi besar dan jumlah individu yang rentan akan habis. Mereka akan mati (tidak tahan terhadap infeksi) atau memperoleh kekebalan terhadap suatu penyakit sehingga membatasi penyebaran penyakit. Jika R0 = 1 maka dikatakan infeksi akan menjadi endemik dalam populasi. Semakin besar R0maka semakin sulit untuk mengontrol epidemi. Pengetahuan tentang R0 juga penting untuk menginformasikan ukuran kontrol misalnya cakupan vaksinasi minimum yang dibutuhkan untuk mencegah epidemi. Estimasi menggunakan metode inferensial Bayes memanfaatkan distribusi prior dan fungsi Likelihood sebagai sample datanya. Distribusi prior dan fungsi Likelihood digunakan untuk menentukan distribusi posterior. Distrbusi posterior digunakan untuk menentukan probabilitas laju infeksi.
Kata kunci : Bayes, Model epidemi SIR, Basic reproduction number
i
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
Promatical Contagion important health in almost all countries, entered Indonesia. Some contagions can disseminate in population till cause epidemic. One can infected if megalami contact that enough with infected. One of model probabilistik that depict process of disease spreading that is model epidemic SIR (SuspectibleInfectedRecovery). Accelerate infection at model epidemic SIR are defined as [the] contact probability between every infected and suspectible. At this research, Method Inferensial Bayes is used to determine Basic Reproduction Number (NumberReproduksiDasar) disimbolkan with R. In pidemiology, elementary reproduction number is one who amount is infected by single individual that of infection in a population that not have impenetrability to disease. When R < 1 then told infection will die but if R > 1 then told disease will disseminate in exponential, until there will be big epidemic and individual amount that rentan will be used up/finished. They will die (is not resistant to infection) or getting the impenetrability to a disease until limit disease spreading. If R = 1 then told infection will become endemic in population. Ever greater R then growing difficult to control epidemic. The science of R also important to inform control size for example coverage of minimum vaccination that required to prevent epidemic. Estimation uses method inferensial Bayes exploits distribution prior and function Likelihood as [the] its data reading copy. Distribution prior and function Likelihood is used to determine distribution posterior. Distrbusi posterior are used to determine fast probability infection.

Keyword : Inferensial bayes, Model epidemi SIR, Basic reprodustion number.
ii
Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi (infectious disease), yang juga dikenal sebagai communicable disease atau transmissible disease adalah penyakit yang nyata secara klinik (yaitu, tanda-tanda dan/atau gejala-gejala medis karakteristik penyakit) yang terjadi akibat dari infeksi, keberadan dan pertumbuhan agen biologik patogenik pada organisme host individu. Dalam hal tertentu, penyakit infeksi dapat berlangsung sepanjang waktu. Patogen penginfeksi meliputi virus, bakteri, jamur, protozoa, parasit multiseluler dan protein yang menyimpang yang dikenal sebagai prion. Patogen-patogen ini merupakan penyebab epidemi penyakit, dalam artian bahwa tanpa patogen, tidak ada epidemi infeksi terjadi.
Penularan patogen terjadi dengan berbagai cara yang meliputi kontak fisik, makanan yang terkontaminasi, cairan tubuh, benda, inhalasi yang ada di udara atau melalui organisma vektor. Penyakit infeksi yang sangat infektif ada kalanya disebut menular dan dapat dengan mudah ditularkan melalui kontak dengan orang yang sakit. Penyakit infeksi dengan infeksi yang lebih khusus, seperti penularan vektor, penularan seksual, biasanya tidak dianggap sebagai menular karenanya korban tidak diharuskan adanya karantina medis.
Istilah infektivitas menyatakan kemampuan organisma untuk masuk, bertahan hidup dan berkembang biak di dalam tubuh, sementara daya tular penyakit mengindikasikan penyakit dengan mudah ditularkan kepada tubuh lainnya. Infeksi tidak bersinonim dengan penyakit infeksi, karena sebagian infeksi tidak menyebabkan penyakit. (Anonim, 2011)
Epidemiologi adalah studi tentang penyebaran dan faktor-faktor prevalensi penyakit pada manusia. Fungsi pertama dari epidemiologi adalah untuk menguraikan penyebaran penyakit, yaitu mencari tahu siapa yang mengalami, seberapa besar, dariman, di mana dan kapan. Fungsi kedua adalah untuk mengidentifikasi sebab-sebab atau faktor-faktor risiko penyakit guna mencari tahu mengapa semua
1
Universitas Sumatera Utara

2
orang tidak mengalami hal yang sama secara merata. Fungsi ketiga dari epidemiologi untuk membangun dan menguji teori. Fungsi keempat adalah untuk merencanakan, mengimplementasikan dan mengevaluasi program deteksi, pengendalian dan pencegahan. Pemodelan epidemiologi bisa memegang peranan penting dalam kedua fungsi terakhir ini. Penelitian ini fokus pada pemodelan penyakit infeksi pada populasi manusia dengan tidak mempertimbangkan model untuk penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung. Pemodelan epidemiologi berkenaan dengan pemodelan deterministik dinamis di mana populasi dibagi dalam kompartemenkompartemen yang didasarkan pada status epidemiologi misalnya, yang rentan, terinfeksi, yang sudah pulih. Pergerakan antar kompartemen menjadi terinfeksi, berkembang terus, pulih atau bermigrasi dispesifikasi dengan persamaan diferensial.
Sekalipun vaksin ada tersedia untuk banyak penyakit infeksi, penyakit ini tetap menyebabkan morbiditas dan mortalitas di dunia, terutama di negara-negara sedang berkembang. Di negara-negara maju penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung mendapat lebih banyak perhatian daripada penyakit infeksi, tetapi penyakit infeksi tetap merupakan penyebab kematian yang lebih umum di dunia. Penyakit yang muncul dan muncul kembali menimbulkan bangkitnya kembali perhatian pada penyakit infeksi. Mekanisme penularan dari penginfeksi kepada yang rentan. Untuk hampir semua penyakit infeksi dan penyebaran penyakit melalui rantai infeksi sudah diketahui. Akan tetapi, interaksi penularan pada populasi sangat kompleks, sehingga sulit memahami dinamika penyebaran penyakit berskala besar tanpa struktur formal dari model matematika. Model epidemiologi menggunakan deskripsi mikroskopik atau peranan individu penginfeksi untuk memprediksi perilaku makroskopik dari penyebaran penyakit melalui populasi.(Hethcote, 2011)
Di tahun-tahun belakangan ini pemodelan epidemiologi atas penularan penyakit infeksi semakin berpengaruh pada teori dan praktek penanganan dan pengendalian penyakit. Pemodelan matematika pada penyebaran penyakit infeksi telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan kebijakan epidemiologi di banyak negara, termasuk United Kingdom, Belanda, Canada dan Amerika Serikat. Studi pemodelan epidemiologi penyakit seperti gonorrhea, HIV/AIDS, penyakit kuku dan mulut, campak, rubella dan pertussis berdampak pada kebijakan kesehatan peme-
Universitas Sumatera Utara

3

rintah di negara-negara tersebut. Dengan demikian pendekatan pemodelan menjadi sangat penting untuk pengambilan keputusan tentang program pengendalian penyakit infeksi. Pendekatan model ini meliputi model deterministik, simulasi komputer, model Monte Carlo Rantai Markov, model network dunia kecil dan model network lainnya, model simulasi stokastik dan mikrosimulasi individu di dalam komunitas. Teknik ini sering diimplementasikan secara perhitungan dengan menggunakan data tentang kejadian penyakit dan demografi populasi. Epidemiologi, immunologi dan evolusi penyakit semuanya haruslah dipertimbangkan. Sebagai contoh, penelitian yang mengkaji rancangan rasional vaksin influenza dengan mempertimbangkan efek pada immunologi kekebalan influenza pada orang-orang dari epidemi influenza varian A setiap tahunnya, komposisi vaksin setiap tahun, dan penyimpangan evolusi varian virus A influenza setiap tahunnya. (Hethcote, 2011)
Ambang batas untuk banyak model epidemiologi adalah jumlah / bilangan reproduksi dasar (Basic Reproduction Number) atau R0, yang didefinisikan sebagai jumlah rata-rata infeksi sekunder yang dihasilkan bila seorang individu yang terinfeksi masuk ke dalam populasi di mana semua orang rentan. Untuk banyak model endemik deterministik, infeksi bisa dimulai pada populasi yang benar-benar rentan jika dan hanya jika R0 > 1. Dengan demikian jumlah reproduksi dasar R0 sering dianggap sebagai kuantitas ambang batas yang menentukan kapan infeksi bisa menginvasi dan tetap bertahan pada populasi yang baru. Peranan R0 dalam tiga model dasar dan ambang batas ditaksir dari data tentang beberapa penyakit dan implikasi taksiran dipertimbangkan untuk penyakit seperti cacar, polio, campak, rubella, cacar air dan influenza (Hethcote, 2011).
Pengetahuan tentang R0 menginformasikan ukuran kontrol misalnya cakupan vaksinasi minimum yang dibutuhkan untuk mencegah epidemi adalah fungsi dari R0 dan juga pengetahuan tentang mean posterior dari R0 dalam menentukan bagaimana ukuran kontrol sedemikian harus diimplementasikan. Clancy dan ONeils (2008) menyatakan begitu pentingnya menentukan R0 dalam persoalan epidemi sehingga penulis mengajukan judul penelitian dengan Metode Inferensial Bayes untuk menentukan Basic Reproduction Number dalam model epidemi
Universitas Sumatera Utara

4
1.2 Rumusan Masalah Bagaimana menentukan Basic Reproduction Number dalam model epidemi de-
ngan menggunakan metode Inferensial Bayes .
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menentukan Basic Reproduction Number dalam
model epidemi dengan menggunakankan metode Inferensial Bayes.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Memberikan informasi kepada stakeholder bagian kesehatan, bahwa pentingnya mengetahui laju SIR sebagai probabilitas kontak antara setiap infected dan suspectible sehingga dapat meminimalisir penyebaran penyakit menular hingga menyebabkan epidemi.
2) Memberikan informasi kepada masyarakat luas pada umumnya dan stake holder bagian kesehatan pada khususnya tentang transmisi penyakit menular pada suatu populasi yang diprediksi dengan menggunakan model epidemi SIR untuk menetapkan apakah virus akan menyebar atau tidak pada suatu populasi dengan cara menentukan Basic Reproduiction Number atau R0.
3) Dengan ditentukannya R0 pada penelitian ini maka dapat memberikan informasi pada stakeholder kesehatan tentang ukuran kontrol misalnya cakupan vaksinasi minimum yang dibutuhkan untuk mencegah epidemi
1.5 Metode Penelitian Penelitian inl merupakan penelitian literatur dengan mengumpulkan, mengo-
lah dan membangun metode dari informasi yang didapatkan dari referensi buku, jurnal dan hasil hasil penelitian yang berhubungan dengan judul tersebut dengan langkah langkah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara

5 1) Mengumpulkan informasi dari literatur melalui buku, dan jurnal penelitian
tentang: a. Model epidemi, b. Inferensial bayes c. Basic reproduction number. 2) Menentukan hubungan metode inferensial bayes untuk menentukan basic re-
production number. 3) Menggunakan metode inferensial bayes untuk menentukan basic reproduction
number dalam model epidemi. 4) Mengenalkan dan menjabarkan / mempresentasekan hasil studi literatur dan
hasil penelitian dari tesis ini serta, 5) Menetapkan kesimpulan dan saran yang diperoleh dari hasil penelitian pada
tesis ini.
Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Metode untuk analisa data Bayes dari data penyebaran penyakit infeksi dengan menggunakan model epidemi stokastik telah berkembang pesat. Hampir semua literatur menggunakan metodologi Monte Carlo rantai Markov (MCMC), yang menawarkan kemampuan dan fleksibilitas dibandingkan dengan pendekatan lainnya (Gibson dan Renshaw,1998; ONeill dan Roberts,1999; ONeill et al., 2000; Streftaris dan Gibson,2004; ONeill dan Roberts,2005). Metode ini diaplikasikan pada banyak patogen dan penyakit manusia, binatang dan tumbuhan, contohnya penularan pneumococcus (Auranen et al.,2000), campak (Li et al.,2002), demam babi (Hohle et al.,2005), influenza (Cauchemez et al.,2004; Demiris dan ONeill,2005), neorovirus (ONeill dan Marks,2005) dan infeksi nosocomial (Mc Bryde et al.,2006).
Meskipun dengan kemajuan-kemajuan yang disebutkan di atas, dalam literatur penanganan inferensi Bayes salah satu dari sebagian besar model epidemi, yaitu model SIR (Suspectible Infected Recovered atau Rentan-Infektif-Pulih), dilakukan tanpa menempuh jalur metode MCMC. Situasi ini sangat berbeda dengan kasus khusus metode panaksiran yang digunakan untuk model SIR oleh model Markov (Becker,1989; Anderson dan Britton,2000).
Analisa Bayes atas model SIR menghasilkan pengetahuan yang berguna dalam analisa model yang lebih kompleks dan realistis. Model SIR sering digunakan sebagai komponen dari model epidemi yang lebih kompleks, misalnya model yang bercirikan populasi dibagi menjadi kelas-kelas. (Demiris dan ONeill, 2005) atau jaringan epidemik (Anderson dan Britton,2000).
Salah satu yang dibahas secara rinci adalah sampai sejauh mana sebelumnya penyebaran penyakit benar-benar terjadi agar parameter-parameter model dapat mempengaruhi kesimpulan yang dihasilkan.
Penelitian dalam tesis ini difokuskan pada Basic Reproduction Number R0, yang didefinisikan secara informal sebagai jumlah rata-rata kasus sekunder yang disebabkan individu penginfeksi tunggal di dalam populasi rentan yang besar. Kuan-
6
Universitas Sumatera Utara

7 titas ini sangat penting dalam pemodelan epidemi karena, jika R0 ≤ 1 maka epidemi sangat tidak mungkin terjadi. Penaksiran R0, atau parameter-parameter ekuivalen dalam model yang lebih kompleks, biasanya dicapai melalui metode MCMC. Dikembangkan rumus untuk kepadatan posterior R0 dengan adanya data lengkap yang cocok, dan batas-batas untuk berbagai kuantitas (misalnya, mean) .
Aplikasinya untuk mengetahui model penyebaran penyakit menular pada suatu daerah/wilayah tertentu, misalnya penyebaran penyakit yang diakibatkan oleh virus. Untuk mengetahui proses penyebaran penyakit menular, dikenal beberapa model penyebaran penyakit, baik model yang bersifat deterministik, maupun model yang bersifat stokastik. Model-model tersebut antara lain SI, SIS, SIR, dan SEIR. Model-model tersebut memiliki karakteristik tersendiri, berdasarkan jenis dan bentuk penyebaran penyakit menular yang diamati. SIR merupakan model epidemi dengan karakteristik bahwa setiap individu rentan terinfeksi suatu penyakit, kondisi ini dinotasikan dengan s (susceptibles), individu yang rentan terinfeksi berinteraksi dengan individu yang terinfeksi, dan akhirnya terinfeksi. Individu yang terinfeksi tersebut dinotasikan dengan i (infected). Dengan pengobatan medis atau proses alam, individu yang terinfeksi mungkin akan sembuh, yang dinotasikan dengan r (removed). Adapun contoh penyakit yang model penyebarannya merupakan model epidemi SIR adalah campak, cacar, dan gondog.
Universitas Sumatera Utara

BAB 3 LANDASAN TEORI

3.1 Metode Infernsial Bayes

Metode Bayes memberikan cara yang mendasar dalam memasukkan informasi eksternal ke dalam proses analisa data. Proses ini diawali dengan distribusi probabilitas yang sudah ada diberikan untuk himpunan data yang dianalisa. Karena distribusi diberikan sebelum ada data yang dipertimbangkan, sehingga disebut distribusi priori. Himpunan data baru menjadikan distribusi priori ini menjadi distribusi posterior. Perubahan yang terjadi dari priori ke posterior merujuk pada Teorema Bayes.

Teorema Bayes merupakan latar belakang teoritis untuk pendekatan statistik terhadap masalah pengambilan kesimpulan induktif. Penulis akan terlebih dahulu menjelaskan konsep-konsep dasar yang didefinisikan dalam Teorema Bayes dan kemudian menggunakan teorema ini dalam penjelasan tentang Proses Klasifikasi Bayes Naif, atau Klasifikator Bayes Sederhana.

Misalkan x adalah sampel data yang label kelasnya tidak diketahui. Misalkan H adalah hipotesa: sedemikian sehingga sampel data x termasuk dalam kelas khusus c. Penulis ingin menentukan P (H/x), probabilitas bahwa hipotesa H berlaku dengan diberikannya sampel data hasil pengamatan x. P (H/x) adalah probabilitas posterior yang menggambarkan keyakinan kita pada hipotesa setelah x diberikan. Sebaliknya, P (H) adalah probabilitas H sebelumnya untuk sesuatu sampel, terlepas dari bagaimana bentuk data dalam sampel. Probabilitas posterior P (H/x) didasarkan pada lebih banyak informasi daripada probabilitas priori P (H). Teorema Bayes memberikan cara menghitung probabilitas posterior P (H/x) dengan menggunakan probabilitas P (H), P (x) dan P (x/H). Hubungan dasar adalah

P (H/x) = [P (x/H)(P (H)]/P (x)

(3.1)

Andaikan sekarang bahwa terdapat suatu himpunan dari m sampel S = {S1, S2, . . . , Sm} ( himpunan data ) di mana setiap sampel Si digambarkan sebagai vektor dimensi-n
8
Universitas Sumatera Utara

9

{x1, x2, . . . , xn}. Nilai xi bersesuaian dengan sifat-sifat A1, A2, . . . , An. Juga, terdapat k kelas c1, c2, . . . , ck, dan setiap sampel termasuk ke dalam salah satu kelas ini. Diberikan sampel data tambahan x ( kelasnya tidak diketahui ), dimungkinkan memprediksi kelas untuk x dengan menggunakan probabilitas bersyarat tertinggi P (ct/x), di mana i = 1, . . . , k. Yaitu ide dasar dari klasifikator Bayes Naif. Probabilitas ini dihitung dengan menggunakan Teorema Bayes:

P (ct/x) = [P (x/ci)(P (ci)]/P (x)

(3.2)

Karena P (x) adalah konstan untuk semua kelas, maka hanya perkalian P (x/ci)(P (ci) yang perlu dimaksimalkan. Probabilitas priori dihitung dari kelas sebagai P (ci) = jumlah sampel dari kelas ct/m, (m adalah jumlah total sampel). Karena penghitungan P (x/ci) sangat kompleks, terutama untuk himpunan data besar, diajukanlah asumsi naif atas sifat saling lepas bersyarat. Dengan menggunakan asumsi ini, dapat dikatakan P (x/ci) sebagai perkalian, yaitu:

P (x/ci) = [P (x/ci)(ct/m]/P (x)

(3.3)

di mana xt adalah nilai-nilai untuk sifat-sifat dalam sampel x. Probabilitas P (xt/ci) dapat ditaksir dari himpunan data. Tabel di atas menunjukkan bahwa klasifikasi

Tabel 3.1

Himpunan data untuk suatu pengklasifikasian penggunaan bayes Sampel A1 A2 A3 Kelas c 1 121 1 2 001 1 3 212 2 4 121 2 5 012 1 6 222 2 7 101 1

bayes adalah suatu proses yang perhitungannya untuk himpunan data besar. Himpunan data diberikan tujuh sampel empat dimensi (Tabel 1), diprediksi klasifikasi sampel baru x = {1, 2, 2, c}. Untuk masing-masing sampel, A1, A2 dan A3 adalah dimensi input dan c adalah klasifikasi output.
Dalam contoh, dimaksimalkan perkalian P (x/ci)(P (ci) untuk i = 1, 2 karena hanya terdapat dua kelas. Pertama, dihitung probabilitas priori P (ci) dari kelas:
P (c = 1) = 4/7 = 0, 5714

Universitas Sumatera Utara

10
P (c = 2) = 3/7 = 0, 4286 Kedua, dihitung probabilitas bersyarat P (xt/ci) untuk setiap nilai yang diberikan dalam sampel baru x = {1, 2, 2, c =?}, atau lebih tepatnya, x = {A1 = 1, A2 = 2, A3 = 2, c =?}) dengan menggunakan himpunan data tersebut diperoleh:
P (A1 = 1/c = 1) = 2/4 = 0, 50
P (A1 = 1/c = 2) = 1/3 = 0, 33 P (A2 = 2/c = 1) = 1/4 = 0, 25 P (A2 = 2/c = 2) = 2/3 = 0, 66 P (A3 = 2/c = 1) = 1/4 = 0, 25 P (A3 = 2/c = 2) = 2/3 = 0, 66 Dari asumsi saling bebas bersyarat, probabilitas bersyarat P (x/ci) akan menjadi:
P (X/c = 1) = P (A1 = 1/c = 1)(P (A2 = 2/c = 1)(P (A3 = 2/c = 1)
= (0, 50)(0, 25)(0, 25) = 0, 03125 P (x/c = 2) = P (A1 = 1/c = 2)(P (A2 = 2/c = 2)(P (A3 = 2/c = 2)
= (0, 33)(0, 66)(0, 66) = 0, 14375 Dengan mengalikan probabilitas bersyarat ini dengan probabilitas priori, diperoleh nilai yang sebanding dengan P (ci/x) yang ditentukan, yaitu:
P (c1/x)(P (x/c = 1)(P (c = 1) = 0, 03125(0, 5714 = 0, 0179
P (c2/x)(P (x/c = 2)(P (c = 2) = 0, 14375(0, 4286 = 0, 0616 Sehingga diperoleh:
P (c2/x) = max P (c1/x), P (c2/x) = max 0, 0179, 0, 0616 = 0, 0616
Hasil akhir dari klasifikator Bayes, dapat diprediksi sampel baru x yang termasuk ke dalam kelas c = 2. Perkalian probabilitas untuk kelas P (x/c = 2)(P (c = 2) lebih tinggi, dan karena itu P (c = 2/x) lebih tinggi karena berbanding lurus dengan perkalian probabilitas hasil perhitungan.
Universitas Sumatera Utara

11
Dalam teori, klasifikator Bayes mempunyai angka error minimum dibandingkan dengan semua klasifikator lainnya yang dikembangkan dalam penambahan data. Akan tetapi, di dalam praktek tidak selalu demikian halnya karena ketidakakuratan dalam asumsi sifat-sifat dan saling bebas bersyarat.
3.2 Model SIR Standar Sebagai Model Epidemi
Dengan mengingat kembali definisi model standar epidemik stokastik SIR (Suspectible-Infected-Recovery atau rentan-terinfeksi-pulih) populasi yang terdiri dari N individu, diasumsikan bercampur secara homogen. Pada setiap waktu t ≥ 0, setiap individu dalam populasi rentan, terinfeksi atau pulih, dengan jumlah dalam masing-masing kategori dinotasikan dengan S(t), I(t) dan R(t), sehingga S(t) + I(t) + R(t) = N . Pada waktu t = 0, populasi hanya mencakup yang terinfeksi dan rentan, sehingga S(0) ≥ 1, I(0) ≥ 1 dan R0 = 0. Setiap individu infektif tetap statusnya demikian selama suatu periode waktu yang disebut masa infeksi dan mempunyai distribusi sebarang tetapi dispesifikasi TI , sebelum menjadi pulih. Individu yang pulih tidak memegang peranan lebih lanjut dalam epidemi. Masa infeksi dari orang-orang yang berbeda diasumsikan saling lepas. Selama masa infeksinya, sewaktu-waktu orang yang terinfeksi mengalami kontak infeksi dengan setiap orang yang rentan mengalami titik-titik proses Poisson homogen dengan laju N, dengan saling lepas. Setiap kontak sedemikian menyebabkan yang rentan menjadi infektif. Karena jumlah pasangan rentan dan infektif pada waktu t ≥ 0 adalah S(t)I(t), maka laju infeksi secara keseluruhan pada waktu t adalah S(t)I(t)/N . Epidemi berakhir setelah tidak ada lagi tersisa orang yang infektif di dalam populasi.
3.3 Basic Reproduction Number
Dalam teori epidemi, Basic Reproduction Number (R0) didefinisikan sebagai jumlah rata-rata infeksi baru yang disebabkan infektif tunggal dalam populasi rentan yang besar (Dietz, 1993). Kuantitas ini penting karena secara umum, pada populasi yang besar, penyebaran epidemi dalam ukuran besar dapat terjadi jika dan hanya jika R0 > 1. Bila R0 > 1 epidemi disebut berada di atas ambang batas. Pengetahuan tentang nilai R0 memungkinkan dapat dihitung proporsi dari suatu populasi yang harus divaksinasi untuk mencegah terjadinya epidemi. Baik definisi maupun
Universitas Sumatera Utara

12
penafsiran ambang batas R0 dijadikan secara tepat dengan memungkinkan ukuran populasi mendekati takberhingga, sehingga R0 pada pokoknya menjadi ukuran ratarata dari proses percabangan infeksi baru (Andersson dan Britton, 2000). Untuk model SIR standar didefinisikan, R0 = (E[T1].
3.4 Data dan Notasi
Pada perjangkitan epidemi yang menghasilkan sebanyak n yang pulih, di mana 1 ≤ n ≤ N . Pengambilan kesimpulan ditujukan pada parameter-parameter epidemi, dan khususnya R0, dengan pengamatan atas proses pemulihan. Pengamatan lengkap atas proses epidemi, yaitu mengamati infeksi dan pemulihan.
Andaikan bahwa epidemi dimulai dengan infeksi tunggal pada waktu i1, sehingga (S(i1); I(i1); R(i1)) = (N − 1; 1; 0). Infeksi selanjutnya terjadi pada waktu i2 ≤ i3 ≤ . . . ≤ in, di mana i2 ≤ i1, dan pemulihan terjadi pada waktu r1 ≤ r2 ≤ . . . ≤ rn.
Andaikan bahwa masa pengamatan adalah [i1, rn], sehingga diasumsikan bahwa epidemi secara keseluruhan diamati, dan didefinisikan ri = rn di mana r = (r1, r2, . . . , rn) dan i = (i2, i3, . . . , in).
Masa infeksi dan pemulihan harus memenuhi ketaksamaan ik+1 ≤ rk untuk k = 1, 2, . . . , n − 1. Batasan ini menjamin agar jumlah infektif tidak mencapai nol sampai waktu pemulihan berakhir, rn. Untuk r tertentu definisikan Er merupakan himpunan semua masa infeksi (i1, i) yang memenuhi ik ≤ ik+1 ≤ rk untuk k = 1, 2, . . . , n − 1. Dengan demikian Er memuat semua konfigurasi masa infeksi yang mungkin untuk himpunan masa pemulihan r.
3.5 Ratio Distribusi Gamma Saling Lepas
Bhoj dan Schiefermayr (2001) menotasikan Γ(a, b) variabel acak Gamma dengan parameter bentuk dan skala masing-masing a dan b yaitu, dengan mean dan variansi a/b dan a/b2. Misalkan x ∼ Γ(a, b) dan y ∼ Γ(c, d) saling bebas, dan W = x/y. Dimana W mempunyai distribusi-F dengan fungsi kepadatan probabili-
Universitas Sumatera Utara

13

tas yang diberikan oleh:

Fw (w) =

b d

a Γ(a + c) Γ(a)Γ(c)

bw d

wa−1 +1

a+c

;

w

0

dan

E Wk =

d b

k

Γ(a

+ k)Γ(c − Γ(a)Γ(c)

k), k

=

1, 2,

..

.

,

[c]

di mana |c| menotasikan bilangan bulat terbesar yang lebih kecil dari atau sama

dengan c. Lebih jauh lagi, W mempunyai mode 0 ∨ d(a − 1)/b(c + 1), di mana ∨

menotasikan maksimum, dan fungsi distribusi:

Fw (w) =

b d

a

Γ(a + c) Γ(a)Γ(c)

wa a2

F1

(a

+

c,

a;

a

+

1;

−bw/d)

,

w

0

(3.4)

di mana pFq(n1, . . . , np; m1, . . . , mq; x) menotasikan fungsi hipergeometrik yang didefinisikan dengan:

pFq

(n1, ..., np; m1, ..., mq; x)

=

∞ k=0

xk k!

(n1)k (n2 )k ...(np)k (m1)k(m2)k...(mq)k

di mana (x)0 = 1 dan untuk k = 1, 2, . . . , (x)k = (x)(x + 1) . . . (x + k − 1).

3.6 Masa Infeksi Eksponensial
Andaikan bahwa distribusi masa infeksi adalah eksponensial dengan mean E[T1] = γ−1. Model ini sering dikenal sebagai epidemi stokastik umum, dan merupakan model epidemi stokastik SIR yang paling banyak dikaji. Model ini juga merupakan analog dari model epidemi SIR deterministik, yang didefinisikan dalam bentuk persamaan diferensial (Bailey,1975), yang merupakan komponen dari banyak model epidemi deterministik.

3.7 Likelihood

Likelihood masa infeksi dan masa pemulihan dengan parameter-parameter model β, γ dan i1 dinyatakan dengan:

n

π(i, r|β, γ, i1) =

βN −1S(ij−)I(ij−)

j=2

n
I (rj −
j=1

× exp



t t1

βN

−1(t)I

(t)

+

γI

(t)dt

l{(i1,j)∈Er}

(3.5)

Universitas Sumatera Utara

14

di mana S(t−) = lims↑t S(s), sesuai dengan penelitian ONeill dan Roberts (1999).

3.8 Distribusi Priori Parameter

Andaikan bahwa β dan γ, secara apriori, saling bebas dan masing-masing berdistribusi Γ(mβ, λβ) dan Γ(mγ, λγ ). Pilihan distribusi dalam bentuk inferensi Bayes karena konjugasi (ONeill dan Roberts,1999). Fleksibilitas distribusi Gamma digunakan dalam sebagai distribusi untuk laju parameter dalam model epidemi (Auranen et al.,2000; Cauchemez et al.,2004; Streftaris dan Gibson, 2004).

Karena R0 = β/γ, mengaplikasikan hasil pada Bagian (3.4) dihasilkan R0 mempunyai kepadatan:

f (R0) =

λβ λγ



Γ(mβ + mγ) Γ(mβ )Γ(mγ )

λβ R0 λγ

Rm0 β −1 + 1 mβ

+

, R0 mγ

0,

dan mean, modus dan variansi diberikan oleh:

E[R0]

=

mβ λγ (mγ − 1)λβ

,

mode(R0)

=

λγ (mβ λβ (mγ

− 1) + 1)



0,

var[R0]

=

mβ(mβ + mγ − 1) (mγ − 1)2(mγ − 2)

λγ 2 λβ

di mana distribusi Γ(m, λ) yang non informatif diberikan, (m, λ) = (1, ε) atau

(m, λ) = (ε, ε) di mana ε suatu bilangan positip kecil, atau nol. Jika mγ ≤ 1 maka R0 mempunyai mean takberhingga a priori, dan jika mγ ≤ 2 maka R0 mempunyai variansi takberhingga. Dengan kata lain, nilai sebelumnya yang tak jelas

atas β dan γ menghasilkan nilai sebelumnya yang tak jelas untuk R0.

Seperti yang telah disebutkan dalam Bagian (3.3), dipertanyaan apakah R0 > 1 penting. Andaikan sekarang bahwa β dan γ diberikan distribusi sebelumnya yang sama, sehingga m = mβ = mγ, λ = λβ = λγ ; dalam kasus yang umum m = 1, λ suatu bilangan positip kecil. Dengan demikian diperoleh E(R0) > 1. Ini menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam menggunakan mean posterior dari R0 sebagai satu-satunya cara menilai apakah epidemi di atas ambang batas atau tidak. Akan tetapi, juga ada kasus bahwa P (R0 > 1) = 0, 5, sehingga a priori epidemi sama kemungkinannya di atas atau di bawah ambang batas. Tentu saja, mean posterior dari R0 tetap penting. Pertama, pengetahuan tentang R0 penting untuk

Universitas Sumatera Utara

15
menginformasikan ukuran dari epidemi yang memberikan indikasi alami tentang seberapa cepat epidemi menyebar. Kedua, pengetahuan tentang R0 penting untuk menginformasikan ukuran kontrol misalnya cakupan vaksinasi minimum yang dibutuhkan untuk mencegah epidemi merupakan fungsi dari R0 dan juga pengetahuan tentang mean posterior dari R0 berguna dalam menentukan bagaimana ukuran kontrol sedemikian harus diimplementasikan.

3.9 Distribusi Posterior Parameter

Dengan Teorema Bayes, kepadatan posterior gabungan dari β dan γ diketahui i, r dan i1 dengan π(β, γ?i, r, i1)απ(i, r?β, γ, ii)π(β)π(γ). Karena itu dari diperoleh:

π(β?i, r, i1) ∼ Γ(n + mβ − 1, λβ + N −1ξSI )

(3.6)

π(γ?i, r, i1) ∼ Γ(n + mγ, λγ + ξI )

(3.7)

di mana,

tt
ξI = I(t)dt, ξSI = S(t)I(t)dt,
i1 i1

Seperti yang dikemukakan oleh ONeill dan Roberts (1999). Selain itu, kepadatan

posterior dari β dan γ saling lepas, dengan demikian distribusi dari R0 dengan

diketahui i, r dan i1 adalah ratio dari dua variabel acak Gamma yang saling lepas.

Karena itu,

π (R0|i, r, i1) =

λβ+N −1 ξSI n+mβ −1 λγ +ξI

× Γ(2n+mβ +mγ −1) Γ(n+mβ −1)Γ(n+mγ )

, RR0n+mβ −2

λβ N −1ξSI λγ +ξI

2n+mβ +mγ −1
R0+1

0

0,

(3.8)

E[R0|i, r, i1]

n + mβ − 1 n + mγ − 1

λγ + ξI λβ + N −1ξSI

Mode E[R0|i, r, i1] =

n + mβ − 2 n + mγ − 1

λγ + ξI λβ + N −1ξSI

dan untuk n + mγ > 2,

∨0

var[R0|i, r, i1]

=

(2n + mβ + mγ − 2)(n + mβ − 1) (n + mγ − 1)2(n + mγ − 2)

λγ + ξI λβ + N −1ξSI

2

(3.9) (3.10)
(3.11)

Dari (3.8) kepadatan posterior dari R0 tergantung pada masa infeksi dan masa pemulihan melalui kuantitas (λγ + ξt)/(λβ + N −1ξSI ). Ini sesuai dengan estimator

Universitas Sumatera Utara

16
atas R0 diberikan oleh ratio estimator likelihood maksimum dari β dan γ dengan i1, i dan r, yaitu Rˆ0 = N (n − 1)ξt/nξSI (Andersson dan Britton, 2000).
Karena S(t) ≤ N − 1 untuk i1 < 1 ≤ τ , maka diperoleh ξSI ≤ (N − 1)ξI < N ξI ketaksamaan mengharuskan i1 < τ , yang diasumsikan benar. Berdasarkan (3.9) jika distribusi sebelumnya dari β dan γ identik maka E[R0|i, r, i1] > (n+m−2)(n+m+1), di mana m = mβ = mγ, sementara estimator Rˆ0 memenuhi Rˆ0 > (n − 1)/n.

3.10 Model Epidemi

Model epidemi dapat digunakan untuk mengkaji dampak infeksi di dalam populasi. Model ini sering melibatkan parameter-parameter yang tidak diketahui dengan pasti. Anderson dan May (1979) meneliti model SIRS dengan berbagai mekanisme antara kelas-kelas populasi, tetapi dengan mengasumsikan total populasi konstan yaitu dengan mengasumsikan tidak ada kematian dalam populasi atau jumlah kelahiran orang yang rentan setara dengan jumlah kematian dari seluruh kelas populasi. Penelitiannya membahas penggunaan pemodelan pada berbagai jenis penyakit, termasuk campak, cacar air dan tetanus. Hethcote (1976) meneliti berbagai model antara kelas-kelas populasi dan interaksinya yang merupakan himpunan bagian dari model SEIRS. Asumsi pada model epidemi SIR deterministik adalah jumlah populasi N berukuran tetap (konstan), laju kelahiran dan kematian sama, semua populasi yang baru lahir adalah individu yang rentan. Model epidemi SIR dinyatakan sebagai berikut: Model SIR ini mengasumsikan total populasi konstan n = s + i + r. Karena menentukan populasi yang sembuh dari r = n − s − i, maka hanya membutuhkan keseimbangan populasi atas kelas rentan dan kelas terinfeksi, dan masalah ini dinotasikan dengan:

ds dt

=

−βsi +

γr

=

−βsi + γ(n − s



i)

Suku pertama ruas kanan kehilangan individu yang rentan karena infeksi yaitu peralihan dari kelas rentan ke kelas terinfeksi, dan suku kedua pertambahan individu yang rentan disebabkan kehilangan kekebalan yaitu peralihan dari kelas pulih ke kelas rentan. Masalah ini dinotasikan dengan:

di dt

=

βsi



vi

Universitas Sumatera Utara

17 di mana suku kedua ruas kanan menyatakan peralihan dari kelas terinfeksi ke kelas pulih.
Universitas Sumatera Utara

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Metode Inferensi Bayes
Inferensi Bayes adalah kesimpulan statistik, dimana bukti atau observasi yang digunakan untuk memperbaharui atau membuat probabilitas kesimpulan baru dengan hipotesis yang mungkin benar. Teorema Bayes dicetuskan oleh Thomas Bayes. Nama Bayesian digunakan karena teorema Bayes sering digunakan dalam proses pengambilan kesimpulan. Persamaan umum teorena Bayes adalah: p(H0\E) = p(E\H0)p(H0)]/p(E). Dimana metode inferensi H0 merepresentasikan suatu hipotesis, yaitu hipotesis null yang disimpulkan sebelum bukti yang baru dengan dipenuhinya E; p(H0) adalah probabilitas priori (priori probability) dari H0; p(E\H0) adalah probabilitas bersyarat (conditional probability) dari bukti E yang diberikan, bahwa hipotesis H0 adalah benar, ini disebut dengan fungsi likelihood yang diekspresikan dengan fungsi dari H0 yang memenuhi E; p(E) disebut sebagai probabilitas marginal (marginal probability) dari E yang dapat dihitung dari jumlah perkalian antara probabilitas masing-masing hipotesa dengan probabilitas bersyarat, yaitu jumlah p(E\H0)p(H0); dan p(H0\E) adalah probabilitas posteriori (posteriori probability) dari H0 yang diberikan E.

4.2 Pembatasan Mean Posterior dari R0

Diasumsikan bahwa waktu awal epidemi i1, juga diketahui tetapi asumsi ini diperlonggar kemudian. Tanpa kehilangan keumuman, ditetapkan i1 = 0.

Dalam menghitung batas-batas untuk mean posterior R0. Pertama sekali bahwa,

min i

E[R0|i,

r,

i1

]

E[ R0|r, i1]

max i

E[R0|i,

r,

i1],

dengan demikian diperoleh batas-batas meminimalkan atau memaksimalkan (3.9)

atas semua masa infeksi yang mungkin i. Hal ini ekuivalen dengan minimisasi atau

maksimisasi fungsi h(i) yang didefinisikan dengan r yang diketahui, dan i1 = 0)

18
Universitas Sumatera Utara

19

sehingga,

h(i)

=

λγ + ξI λβ + N −1ξSI

(4.1)

Ternyata, maksimisasi h(i) didefenisikan pada sebagian kasus, adalah sebagai berikut:

Untuk i1 ≤ t ≤ τ kita peroleh S(t) ≥ N n, sehingga ξSI ≥ (N −n)ξt, karenanya,

h(i)

=

λβ

+

λγ ((N

+ ξI − n)/N )ξI

(4.2)

menunjukkan bahwa ruas kanan tidak naik dalam ξt jika dan hanya jika (λβ/λγ ) ≥

(N − n)/N . Sekarang Ξt termaksimalkan bila semua infeksi terjadi pada waktu i1 =

0, di mana dalam kasus ini ξt =

n k=1

rk.

Karena

itu,

untuk

(λβ/λγ )



(N

− n)/N ,

h(i) =

λγ +

n k=1

rk

λβ + ((N − n)/N )

n k=1

rk

(4.3)

dan batas ini dicapai dalam i2 = i3 = . . . = in = 0.

Untuk perhitungan, di mana ik+1 = rk untuk k = 1, 2, . . . , n − 1, akan memberikan nilai minimal dari h(i), setidaknya bila λβ = λγ = 0 yang bersesuaian dengan distribusi sebelumnya yang tidak jelas. Contoh kontra eksplisit dibawah ini:

N = 11; n = 7; r = (3, 4, 5, 6, 7, 8, 11); λβ = λγ = 0.
Dalam kasus ini masa infeksi i = (3, 4, 5, 6, 7, 8), h(i) = 11 = 7. Jika sebagai gantinya diambil i = (1, 2, 5, 6, 7, 8) maka ditemukan bahwa h(i) = 165 = 106 < 11 = 7. Contoh ini juga menunjukkan bahwa vektor-masa-infeksi minimal tergantung pada masa epidemi, karena proses meminimalkan ratio penting untuk 0 ≤ t ≤ 3.

Untuk menentukan nilai minimal dari h(i), ada baiknya mula-mula dinyatakan integral ξt dan ξSI dalam bentuk masa pembersihan dan masa infeksi, yaitu:
n
ξI = (rk − ik)
k=1
Dengan mendefinisikan in+1 = in+2 = . . . = iN = ∞, seperti ditunjukkan (Neal dan Roberts, 2005) bahwa:

nN

ξSI =

(rk ∧ ij − ik ∧ ij)

k=1 j=1

(4.4)

Universitas Sumatera Utara

20

di mana penggunaan ∧ untuk menotasikan minimum.

Dengan mengingat ik ≤ ik+1 ≤ rk untuk k = 1, 2, . . . , n − 1 dan menggunakan fakta ik = ∞ untuk k ≥ n + 1, Persamaan (4.4) dapat ditulis sebagai berikut:

nn

n

nn

nN

ξSI = rk ∧ ij + (N − n)rk − ij − ik

k=1 j=1

k=1

k=1 j=1

k=1 j=1

n

n−1 k+1

n−2 n

n

nn

n

= ij +

ij +

rk ∧ ij + (N − n)rk −

ij − (N − k)ik

j=1 k=1 j=1 k=1 j=k+2

k=1

k=1 k=j

k=1

nn

n−2 n

n

= ij − i1 + (n − j + 1)ij +

rk ∧ ij + (N − n)rk

j=1 k=1 nn

k=1 j=k+2

k=1

− (n − j + 1)ij − (N − n)ik

k=1 k=1

nn

n−2 n

= (N − n)rk + (k + 1 − N )ik +

rk ∧ ij

k=1 k=1

k=1 j=k+2

karena i1 = 0. Dengan demikian dalam definisi persamaan (4.1) dari h(i), pembilang adalah fungsi affine dari masa infeksi i, sementara penyebut adalah fungsi affine

dari i bersama-sama dengan himpunan variabel {rk ∧ ij : k = 1, 2, . . . , n − 2, j = k + 2, k + 3+, . . . , n}. Untuk meminimalkan h(i), maka dapat dinyatakan h(i, a) =

λγ +

n k=1

rk

n k=1

ik

λβ + ((N − n)/N )

n k=1

rk

+

(1/N )(

n k=1

(k

+

1



N )ik

+

n−2 k=1

n j=k+2

akj )

(4.5)

di mana a = {akj : k = 1, 2, . . . , n − 2, j = k + 2, k + 3, . . . , n}. Dengan memperhatikan fraksional linier dapatlah dinyatakan:

[LFP]: Minimalkan h(i, a) dengan batasan,

ik ik+1, k = 1, 2, . . . , n − 1, ik+1 rk, k = 1, 2, . . . , n − 1, akj rk, k = 1, 2, . . . , n − 2, j = k + 2, . . . , n akj ij, k = 1, 2, . . . , n − 2, j = k + 2, . . . , n

(4.6)

dimana i, a memenuhi batasan (4.6) dan sedemikian sehingga akj < rk ∨ tj untuk setiap k, j. Kemudian dari bentuk ruas kanan (4.5) tampak jelas bahwa dapat

direduksi nilai h tanpa melanggar salah satu batasan (4.6) dengan meningkatkan

akj hingga rk ∧ ij dan i tidak berubah. Karen