Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian Timur

KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI
WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN TIMUR

RIFQI NAUFALDI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik
Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian Timur adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Rifqi Naufaldi
NIM G24100075

ABSTRAK
RIFQI NAUFALDI. Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan
Bagian Timur. Dibimbing oleh MUH TAUFIK.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik kekeringan
hidrologi pada komponen groundwater recharge dan menganalisis hubungan
karakteristik kekeringan tersebut dengan fenomena ENSO. Metode neraca air
dengan input curah hujan dan evapotranspirasi bulanan digunakan untuk menduga
nilai recharge bulanan selama periode 1901-2009. Kekeringan recharge dihitung
apabila nilai recharge bulanan berada di bawah ambang batas kekeringan. Nilai
ambang batas kekeringan ditentukan dengan menggunakan metode ambang batas
bervariasi (varying threshold). Nilai ambang batas bervariasi berdasarkan lokasi
dan kondisi tanah pada tiap-tiap daerah kajian. Hasil analisis menunjukkan
semakin lama durasi kekeringan, nilai defisit recharge akan meningkat signifikan.
Semakin panjang durasi kekeringan, frekuensi kekeringan yang terjadi akan
semakin rendah. Wilayah Samarinda dengan kondisi tanah gambut bervegetasi

hutan termasuk yang paling rentan terhadap kekeringan. Hal ini diindikasikan
dengan frekuensi kekeringan yang cukup besar (56) dan terdapat durasi
kekeringan panjang (10 bulan berturut-turut). Sedangkan wilayah Banjarmasin
dengan kondisi tanah mineral bertutupan vegetasi hutan memiliki tingkat
kerentanan terendah yang diindikasikan dengan frekuensi kekeringan terendah
(19). Pada kondisi EL-Niňo kuat, kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan
bagian timur cenderung mengalami peningkatan frekuensi, durasi, dan nilai defisit
volume recharge.
Kata kunci: recharge, volume defisit, ambang batas, durasi, ENSO

ABSTRACT
RIFQI NAUFALDI. Hydrological Drought Characteristics in the Eastern part of
Kalimantan. Supervised by MUH TAUFIK.

This study aimed to identify the hydrological drought using groundwater
recharge component and analyze the relation between hydrological drought and
ENSO phenomena. Water balance model with monthly rainfall and ETp input was
used to assess the monthly recharge value from 1901 to 2009. In this study we
used a monthly varying threshold method. The threshold varied depending on the
climate regime and soil condition. Drought in groundwater was considered when

the monthly recharge is below the drought threshold. We found that the longer
drought duration, the volume deficit would significantly increase. Additionally,
the longer drought duration, the number of drought events would significantly
reduce. This study indicates that Samarinda region under peat soil and forest cover
is more prone to drought as indicated by the highest drought frequency (56). In
other hand, Banjarmasin region under mineral and forest cover is less vulnerable
to drought. Furthermore, this study shows that peat soils are more pronounced to
severe drought than mineral soils. Our findings also confirmed that strong El-Niňo
would trigger severe hydrological droughts.
Key words: recharge, volume deficit, threshold, duration, ENSO

KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI DI
WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN TIMUR

RIFQI NAUFALDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Karakteristik Kekeringan Hidrologi di Wilayah Kalimantan Bagian
Timur
Nama

: Rifqi Naufaldi

NIM

: G24100075

Disetujui oleh


Muh Taufik, SSi MSi.
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Tania June, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini telah berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian ini ialah karakteristik kekeringan hidrologi di
wilayah Kalimantan bagian timur, yang sudah dilaksanakan sejak Bulan Februari
2014.
Banyak terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Muhammad Taufik
selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, masukan, dan ilmu yang
sangat bermanfaat bagi kehidupan saya kedepan. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada kakak angkatan Taufiq Yuliawan yang telah banyak

membantu memecahkan masalah dalam penelitian yang saya lakukan. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga dan
teman-teman atas segala doa, semangat, motivasi dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

Rifqi Naufaldi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN


xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE


2

Data

2

Metode Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Profil Iklim

8

Ambang Batas Kekeringan


9

Durasi dan Frekuensi Kekeringan Hidrologi

10

Defisit Volume Kekeringan Hidrologi

11

Hubungan antara Fenomena SOI dengan Karakteristik Kekeringan

14

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan


16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

28

DAFTAR TABEL
1 Faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu

2 Nilai ambang batas kekeringan (Q80) di ketiga wilayah kajian (Tarakan,
Samarinda dan Banjarmasin) dengan tipe tanah dan tutupan vegetasi
yang berbeda
3 Lama durasi dan jumlah kejadian kekeringan pada setiap jenis tanah
dan tutupan vegetasi di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan
Banjarmasin) periode 1901-2009
4 Karakteristik kekeringan meteorologi pada ketiga daerah kajian
(Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode 1901-2009

4

9

10
11

DAFTAR GAMBAR

1 Peta wilayah kajian (sumber: BAPPENAS)
2 Sebaran nilai curah hujan (kiri) dan evapotranspirasi potensial (kanan)
bulanan pada wilayah Kalimantan bagian timur periode 1901-2009
3 Rerata nilai defisit (mm) pada tanah gambut untuk setiap tingkat durasi
kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode 1901-2009
4 Rerata nilai defisit (mm) pada tanah mineral untuk setiap tingkat durasi
kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode 1901-2009
5 Karakteristik kekeringan hidrologi pada tanah gambut bervegetasi
hutan di ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin
saat kejadian ENSO kuat (SOI < -5.5)

3
8
12
13

15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut
bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan
2 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral
bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan
3 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut
bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda
4 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral
bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda
5 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah gambut
bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Banjarmasin
6 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah mineral
bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Banjarmasin

18
20
22
24
26
27

0

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kekeringan merupakan fenomena hidro-meteorologi yang memberi dampak
negatif serta kerugian sosial ekonomi masyarakat yang hidup di suatu daerah
(Wilhite 1993). Secara umum kekeringan dapat dipengaruhi oleh faktor
variabilitas dan perubahan iklim. Kedua faktor ini mampu mengakibatkan
perubahan pada pola curah hujan dan sebaran suhu permukaan. Seiring dengan
tekanan pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan perubahan iklim,
terdapat kecenderungan peningkatan dampak, area, dan frekuensi kekeringan yang
terbentuk di suatu wilayah (Jing et al. 2012).
Pada kondisi tropis, Indonesia memiliki dua musim berupa musim hujan dan
musim kering yang terjadi pada setiap tahun. Secara garis besar, musim kering
dipengaruhi oleh tingkat curah hujan yang berada di bawah normal. Hal ini
mengakibatkan kelembaban tanah yang tersedia di suatu lahan menjadi tidak
seimbang antara suplai dengan kebutuhan air pada periode waktu tertentu.
Kekeringan dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yakni kekeringan
meteorologi, kekeringan pertanian, dan kekeringan hidrologi. Kekeringan
meteorologi adalah defisit curah hujan dalam jangka waktu lama. Kekeringan
meteorologi menyebabkan perubahan pada kapasitas simpanan air di dalam tanah,
yang apabila nilai simpanan air tersebut semakin turun dapat menyebabkan
kekeringan pertanian. Lalu apabila kekeringan pertanian dikaitkan dengan kondisi
pengurangan air bumi maka kekeringan tersebut dinyatakan sebagai kekeringan
hidrologi (Wilhite 2000; Tallaksen dan Van Lanen 2004). Kekeringan ini
mengakibatkan sumber air, waduk, serta jumlah aliran air yang masuk sebagai air
tanah (groundwater) semakin berkurang.
Kekeringan hidrologi berkembang secara perlahan pada area luas dengan
periode waktu yang panjang (mulai dari bulanan hingga tahunan) yang dapat
disebabkan oleh curah hujan pada kondisi di bawah normal (Van Lanen et al.
2012). Kekeringan hidrologi yang intensif dan berdurasi lama menjadi penyebab
kelangkaan dan pengurangan suplai air untuk irigasi, yang berdampak negatif
pada produksi pertanian di suatu wilayah.
Kekeringan hidrologi di wilayah Kalimantan dapat dianalisa dengan
menggunakan komponen groundwater recharge. Nilai recharge bulanan yang ada
di suatu daerah dapat dihitung dengan menggunakan model neraca air lahan. Nilai
recharge ini berfungsi untuk menentukan sifat-sifat dan pola kekeringan, yang
disebut sebagai karakteristik kekeringan. Karakteristik kekeringan dibentuk dari
beberapa komponen dan parameter utama berupa durasi, defisit, dan waktu
kejadian (Hisdal et al. 2004). Karakteristik kekeringan hidrologi dapat
diaplikasikan pada skala regional, serta mampu menyediakan informasi yang
handal dalam memprediksi kejadian kekeringan.

1

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk: (i) mengidentifikasi karakteristik kekeringan
hidrologi menggunakan komponen groundwater recharge, (ii) menganalisis
hubungan antara kekeringan hidrologi dengan fenomena ENSO yang terjadi di
Indonesia.

Manfaat Penelitian
Analisis kekeringan pada groundwater recharge digunakan untuk
mengetahui pola dan tingkat kekeringan hidrologi yang terjadi di wilayah
Kalimantan bagian timur. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal
pengelolaan irigasi pertanian, manajemen sumber daya air, serta untuk antisipasi,
adaptasi, dan mitigasi bencana kekeringan.

METODE

Data
Pemodelan neraca air lahan untuk mengestimasi groundwater recharge
dilakukan dengan menggunakan satu set parameter data dan masukan sebagai
berikut:
1.

2.

3.

4.

Data time-series bulanan berupa suhu udara dan curah hujan dalam kurun
waktu 109 tahun (1901-2009). Data suhu udara dan curah hujan bulanan
pada penelitian ini merupakan data dari Climate Research Unit (CRU)
(http://badc.nerc.ac.uk/data/cru). Data ini merupakan data grid hasil
pemetaan satu set data iklim dari observasi bulanan di seluruh daratan
stasiun meteorologi yang ada di dunia (Harris et al. 2004).
Komponen soil water retention berupa: SMfc (soil moisture at field
capacity, SMwp (soil moisture at wilting point), dan SMcp (soil moisture at
critical point) yang berasal dari kurva soil water retention pada lapisan atas
tanah dan lapisan bawah tanah. Kurva tersebut diperoleh berdasarkan acuan
dari Sayok et al. (2008) dan Shaliha et al. (2012).
Data SOI bulanan dalam kurun waktu 109 tahun yang tersedia dari situs
Bureau of Meteorology
http://www.bom.gov.au/climate/current/soihtm1.shtml.
Nilai koefisien tanaman berupa tutupan vegetasi hutan dan non-hutan.

Data curah hujan dan suhu permukaan diperoleh berdasarkan letak wilayah
kajian masing-masing. Area wilayah kajian untuk Provinsi Kalimantan Utara
menggunakan data grid Tarakan (3°14 23 -3°26 37 LU dan 117°30 50 117°40 12 BT). Sedangkan area kajian untuk Provinsi Kalimantan Timur
menggunakan data grid Samarinda koordinat (00o19’02”- 00o42’34” LS dan
117o03’00” - 117o18’14”). Lalu untuk area kajian Provinsi Kalimantan Selatan

2

menggunakan data grid Banjarmasin (3o16’40”- 3o22’54” LS dan 114o31’40” 114o39’55”). Lokasi untuk ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan
Banjarmasin) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta wilayah kajian (sumber: BAPPENAS)

Metode Penelitian
Analisis neraca air lahan dimulai dengan perhitungan evapotranspirasi
pertanaman dengan memasukkan data suhu udara dan koefisien tanaman (kc).
Setelah itu diperlukan data curah hujan dan kapasitas simpanan air tanah untuk
menentukan nilai kadar air tanah (soil moisture), recharge, dan evapotranspirasi
aktual, dengan menggunakan model neraca air lahan. Data recharge tersebut
digunakan untuk memperoleh nilai ambang batas kekeringan pada berbagai
macam tipe tanah dan tutupan vegetasi. Dalam penelitian ini, kejadian kekeringan
hidrologi didefinisikan sebagai nilai recharge bulanan yang berada di bawah nilai
ambang batas. Nilai recharge bulanan yang termasuk kedalam kategori
kekeringan, digunakan untuk menganalisa karakteristik kekeringan hidrologi
berupa durasi dan defisit volume kekeringan. Karakteristik kekeringan tersebut
dikaitkan dengan kejadian ENSO untuk melihat pengaruh variabilitas iklim
terhadap kejadian kekeringan.

3

1.

Evapotranspirasi potensial (ETp)
Menurut Chen et al. (2005) evapotranspirasi potensial merupakan
kombinasi proses evaporasi dan transpirasi yang dipengaruhi oleh jumlah energi
dan kondisi atmosfer, dengan anggapan ketersediaan air tidak menjadi faktor
pembatas pada proses tersebut. Penentuan ETp dilakukan dengan menggunakan
model evapotranspirasi potensial Thornthwaite. Model ini hanya menggunakan
parameter input berupa data suhu udara bulanan pada wilayah yang dikaji.
Formulasi perhitungan evapotranspirasi Thornthwaite dilakukan dengan
menghitung indeks panas pada Persamaan (1) terlebih dahulu.
i
= (t/5)1.514
(1)
Melalui Persamaan (1), dapat ditentukan jumlah nilai indeks bulanan (I), dengan
formulasi berikut:
(2)
I
=∑

Persamaan (3) dicari dengan memformulasikan I pada persamaan (2).
a
= (0.675 * 10-6 * I3) – (0.77 * 10-4 * I2) + 0.01792*I + 0.49

(3)

Dengan menggunakan persamaan (2) dan (3), evapotranspirasi potensial dapat
dirumuskan seperti pada Persamaan (4) di bawah ini:
PEx = 16 * (10t/I)a
(4)
Persamaan (4) masih perlu dikoreksi kembali terhadap letak lintang dan waktu
dengan menggunakan nilai-nilai faktor koreksi yang ada pada Tabel 1. Sehingga
didapat rumus seperti pada persamaan (5):
ETp = PEx*(f)
(5)
Keterangan:
PEx
ETp
t
f
I

: Evapotranspirasi potensial belum terkoreksi (mm)
: Evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm)
: suhu rata-rata bulanan (oC)
: faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu
: jumlah nilai i (indeks panas) dalam setahun
Tabel 1 Faktor Koreksi Berdasarkan Letak Lintang dan Waktu

Lintang
3
2
1
0
-1
-2
-3
-4

Bulan
1
1.03
1.04
1.04
1.04
1.04
1.05
1.05
1.06

2
0.94
0.94
0.94
0.94
0.94
0.94
0.95
0.95

3
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04

4
1.02
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1

5
1.05
1.05
1.04
1.04
1.04
1.04
1.03
1.03

6
1.02
1.02
1.01
1.01
1.01
1.01
1
1

7
1.05
1.05
1.04
1.04
1.04
1.04
1.03
1.03

8
1.05
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.03

9
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1

10
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.05
1.05

11
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.02
1.02
1.03

12
1.03
1.04
1.04
1.04
1.04
1.05
1.05
1.06

4

2.

Evapotranspirasi pertanaman (ETc)
Menurut Allen et al. (1997) ETc merupakan evapotranspirasi dalam kondisi
potensial dimana tanaman berada pada kriteria sehat, berkecukupan hara, dan
bebas hama penyakit. Formulasi perhitungan ETc dimodelkan melalui Persamaan
(6).
ETc = ETp * kc
Keterangan:
ETp : Evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm)
kc
: Koefisien tanaman

(6)

Berdasarkan penelitian Harahap dan Darmosarkoro (1994) dalam Widodo
dan Dasanto (2010), nilai koefisien untuk tanaman kelapa sawit berkisar antara
0.82 (untuk LAI < 2) sampai 0.93 (untuk LAI > 5). Kelapa sawit dengan
kelompok umur > 7 tahun memiliki nilai LAI berkisar antara 4.9 – 5.1. Oleh
karena itu, nilai koefisien tanaman yang digunakan dalam penelitian ini sebesar
0.93 dengan asumsi rata-rata tanaman kelapa sawit yang ada di wilayah
Kalimantan Utara telah berumur lebih dari 25 tahun. Koefisien tanaman hutan
dalam penelitian ini bernilai 1.1. Sue et al. (2011) menyatakan bahwa selama
musim pertumbuhan, koefisien tanaman untuk hutan konifer basah dapat
melampaui nilai 1.0.
3.

Pemodelan neraca air lahan
Recharge merupakan besarnya aliran air yang masuk ke dalam tanah
menuju ke groundwater. Aliran air tersebut merupakan air gravitasi yang berhasil
melewati gaya kohesi dan adhesi disekitar pori-pori tanah. Pada kondisi tertentu
seperti pada muka air dangkal (shallow water table), groundwater mensuplai air
ke permukaan dengan gaya capillary rise sehingga kelembaban tanah meningkat
hingga kapasitas lapang. Nilai recharge ditentukan oleh kadar air tanah dan soil
water retention. Formulasi perhitungan recharge dilakukan menggunakan
persamaan Van Lanen et al. (2013).
SMCi

= SMCi-1 + P – ETc

(7)

Dengan menggunakan persamaan (7), dapat ditentukan nilai recharge pada jenis
lahan berupa mineral dengan menggunakan asumsi sebagai berikut:
Apabila (SMCi ≥ SMfc) maka:
ETa
= ETc
Recharge
= SMCi - SMfc
Apabila (SMCi ≥ SMcp) dan (SMCi ≤ SMfc), maka:
ETa
= ETc
Recharge
= 0.2 * ((SMCi - SMcp) / (SMfc - SMcp))3.4
Lalu apabila (SMCi < SMcp) dan (SMCi > SMwp), maka:
ETa
= ((SMCi - SMwp) / (SMcp - SMwp)) * ETc
Recharge
=0

5

Lalu yang terakhir apabila SMCi < SMwp, maka:
ETa
=0
Recharge
=0
Pada kondisi lahan gambut, diasumsikan nilai evapotranspirasi selalu dalam
kondisi potensial. Kondisi water table di lahan ini tergolong dangkal dengan
kedalaman kurang dari 2 meter. Nilai kadar air tanah yang terukur akan selalu
mendekati kapasitas lapang. Bahkan bisa saja mencapai tingkat kejenuhan (pF 1).
Hal ini akan berdampak pada perhitungan nilai recharge seperti pada formulasi
berikut:
ETa
Recharge
SMCi

= ETc
= P-ETc
= SMfc

Keterangan:
ETc
ETa
pF 1
SMfc (pF 2.54)
SMwp (pF 4.2)
SMcp (pF 3)

= Evapotranspirasi Tanaman (mm)
= Evapotranspirasi aktual (mm)
= Kondisi tanah pada saat keadaan jenuh air
= Simpanan air pada saat kapasitas lapang (mm)
= Simpanan air pada saat mencapai titik layu permanen
(mm)
= Simpanan air pada saat mencapai critical point (mm)

Nilai soil water retention terbagi menjadi empat kategori yakni pF 1 (tingkat
saturasi), pF 2.54 (tingkat kapasitas lapang), pF 3 (tingkat titik kritis: berada
diantara tingkat kapasitas lapang dan titik layu permanen), serta pF 4.2 (tingkat
titik layu permanen). Keempat kategori ini memiliki nilai simpanan yang berbedabeda. Pada lahan berupa mineral, nilai pF 2.54, pF 3, dan pF 4.2 secara berturutturut adalah 381.3, 347.9, dan 171 (Shaliha et al. 2012). Sedangkan pada lahan
berupa gambut, nilai pF 2.54, pF 3, dan pF 4.2 secara berturut-turut sebesar 472,
403, dan 300 (Sayok et al. 2008).
4.

Penentuan nilai ambang batas kekeringan (Q0)
Penetapan ambang batas/threshold kekeringan (Q0) pada penelitian ini
menggunakan metode ambang batas bervariasi bulanan (varying threshold).
Perhitungan ambang batas recharge bulanan ini merujuk pada nilai ambang batas
(threshold) tersebut, yaitu sebesar 80% data terlampaui. Ambang batas bervariasi
digunakan untuk mengidentifikasi kekeringan pada recharge. Fleig et al. (2006)
menyebutkan nilai threshold sebesar 70-90% sering digunakan dalam analisis
kekeringan hidrologi.

5.

Analisis durasi dan volume defisit kekeringan
Durasi merupakan jangka waktu kekeringan yang dihitung dari awal hingga
akhir kejadian kekeringan. Sedangkan volume defisit merupakan akumulasi
defisit disepanjang durasi kekeringan dalam satuan mm. Pada saat menentukan
durasi dan volume defisit dibutuhkan komponen parameter seperti awal kejadian

6

(onset) dan akhir kejadian (end) kekeringan.. Berikut ini merupakan tahapan
perhitungan analisis durasi dan volume defisit dalam menentukan karakteristik
kekeringan yang terjadi di suatu wilayah:
1. Memilih seluruh tanggal dan kejadian yang memiliki nilai recharge berada
di bawah ambang batas Q80.
2. Menghitung nilai defisit kekeringan dengan rumusan berikut:
Defisit = Q80 – Recharge.
3. Menentukan lama periode dari awal hingga akhir kejadian kekeringan
(durasi) dalam satuan bulan.
4. Menghitung volume defisit dengan rumusan sebagai berikut.
Vdefisit ∑
Setelah komponen karakteristik kekeringan hidrologi (durasi dan volume
defisit) diperoleh, kejadian kekeringan akan dikaitkan dengan nilai SOI untuk
mengetahui pengaruh variabilitas iklim terhadap karakteristik kekeringan
hidrologi di suatu wilayah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Iklim
Berdasarkan data iklim yang diperoleh dari ketiga daerah kajian, Tarakan
dan Samarinda memiliki pola hujan ekuatorial yang dicirikan dengan bentuk
bimodal (dua puncak hujan) yang terjadi disekitar Bulan Maret dan Oktober
(Gambar 2). Pada daerah Banjarmasin (Gambar 2), pola hujan yang terbentuk
cenderung bertipe muson yakni dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat
unimodal (satu puncak musim hujan disekitar Bulan Desember).
Sebaran nilai curah hujan bulanan di daerah Tarakan cenderung lebih
beragam dibandingkan kedua daerah yang lain (Gambar 2). Sebarah curah hujan
bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Mei dan November, yang secara
berturut-turut memiliki nilai median sebesar 287 mm dan 306 mm. Sedangkan
daerah Samarinda memiliki sebaran nilai curah hujan bulanan yang cenderung
tidak lebih bervariasi dibandingkan daerah kajian Tarakan dan Banjarmasin.
Sebaran curah hujan bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Mei dan
Desember, yang secara berturut-turut memiliki nilai median sebesar 250 mm dan
247 mm. Banjarmasin memiliki sebaran nilai curah hujan bulanan yang cenderung
lebih fluktuatif dibandingkan kedua daerah kajian yang lain. Sebaran curah hujan
bulanan tertinggi di daerah ini jatuh pada Bulan Desember dan Januari, yang
secara berturut-turut memiliki nilai median sebesar 345 mm dan 321 mm. Secara
berturut-turut dari Bulan Juni hingga Oktober, sebaran curah hujan dan median
pada daerah Banjarmasin mengalami penurunan nilai yang cukup besar. Hal ini
dapat mengakibatkan defisit suplai air dalam jangka waktu yang cukup lama.

7

Tarakan
Rainfall
(mm/month)

ETp
(mm/month)

Samarinda
Rainfall
(mm/month)

ETp
(mm/month)

Banjarmasin
Rainfall
(mm/month)

ETp
(mm/month)

Gambar 2 Sebaran nilai curah hujan (kiri) dan evapotranspirasi potensial (kanan)
bulanan pada wilayah Kalimantan bagian timur periode 1901-2009
Berdasarkan hasil perhitungan, sebaran ETp selama 12 bulan cenderung
memiliki pola yang sama untuk ketiga wilayah kajian (Gambar 2). Sebaran ETp
bulanan tertinggi dan terendah di ketiga wilayah kajian secara berturut-turut jatuh
pada Bulan Mei dan Februari. Daerah Tarakan secara umum memiliki sebaran
nilai ETp yang paling bervariasi, dengan nilai median ETp bulanan tertinggi
dibandingkan kedua daerah yang lain. Sedangkan pada daerah Banjarmasin dan
Samarinda memiliki sebaran nilai ETp yang tidak begitu besar.

8

Apabila dilihat pada Gambar 2, terindikasi bulan-bulan dengan sebaran nilai
curah hujan yang tinggi memiliki sebaran nilai evapotranspirasi potensial di atas
rata-rata. Namun ketika sebaran nilai curah hujan bulanan tersebut bernilai
rendah, evapotranspirasi potensial yang tercatat menjadi tidak begitu besar.
Sehingga semakin tinggi curah hujan yang ada di suatu wilayah, dapat
meningkatkan proses evapotranspirasi potensial secara signifikan.

Ambang Batas Kekeringan
Nilai ambang batas recharge yang dimiliki setiap wilayah kajian berbedabeda (Tabel 2). Hal ini dikarenakan pengaruh evapotranspirasi tanaman, curah
hujan dan karakteristik tanah (soil water retention) yang dimiliki oleh tiap
wilayah berbeda.
Tabel 2 Nilai ambang batas kekeringan (Q80) di ketiga wilayah kajian (Tarakan,
Samarinda dan Banjarmasin) dengan tipe lahan dan tutupan vegetasi
yang berbeda
Ambang Batas
Bulan

Tarakan

Samarinda

Banjarmasin

GH

GNH MH

MNH

GH

GNH MH

Jan

13.11

35.62 11.39

34.23

37.1

58.67 36.07

58.67 113.64 138.97 125.99

151

Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des

-8.18
7.15
5.18
18.68
-34.16
-55.65
-18.81
-27.14
28.82
74.09
48.02

11.79
33.82
31.68
46.32
-6.61
-26.93
7.76
-0.67
52.98
97.94
71.04

11.79
27.14
31.16
42.4
0.04
0
0.08
0.08
43.4
89.51
66.67

24.22
53.55
59.89
43.89
4.59
-23.31
-34.41
-36.37
-14.93
38.19
61.59

43.23
74.83
82.24
68.19
27.65
0.35
-10.12
-14.22
9.77
61.14
83.62

43.23
74.83
82.24
66.2
27.65
0.13
0
0
0.06
55.93
82.98

99
101
27
0.13
0.01
0
0
0
0
0
150

0.06
0.15
2.56
12.44
0
0
0
0
9.84
61.55
43.8

24.22
50.26
58.25
42.27
3.19
0
0
0
0
20.47
61.34

MNH

GH
64.21
62.08
-11.72
-43.41
-54.02
-94.95
-122.79
-120.95
-116.15
-35.4
120.07

GNH

MH

MNH

87.86 78.43
87.99 77.23
14.33 3.514
-16.6
0
-29.09
0
-70.71
0
-97.62
0
-95.41
0
-88.98
0
-8.75
0
145.63 121

Keterangan: GH = Gambut Hutan | GNH = Gambut Non Hutan | MH = Mineral Hutan | MNH = Mineral Non Hutan

Berdasarkan hasil analisa, setiap jenis lahan dan tutupan vegetasi pada
daerah Banjarmasin memiliki rerata varying threshold terendah dibandingkan
kedua daerah yang lain (Tabel 2). Hal ini dikarenakan jumlah curah hujan di
daerah Banjarmasin tidak sebesar dengan yang ada di daerah Tarakan dan
Samarinda (Gambar 2). Kondisi sebaliknya terjadi pada daerah Samarinda,
dimana rerata ambang batas recharge bulanan yang tercatat di daerah ini secara
umum tergolong lebih besar dibandingkan kedua daerah lain untuk tipe tanah
gambut dan mineral.
Ambang batas yang dimiliki oleh tutupan lahan bervegetasi non hutan
(kelapa sawit) secara umum bernilai lebih besar dibandingkan dengan tutupan
lahan bervegetasi hutan (Tabel 2). Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah
evapotranspirasi potensial yang ada pada vegetasi non hutan tidak sebesar dengan
yang ada pada vegetasi hutan.

9

Durasi dan Frekuensi Kekeringan Hidrologi
Ketiga daerah kajian memiliki frekuensi kekeringan yang berbeda-beda
(Tabel 3). Frekuensi kekeringan terbesar untuk setiap jenis tanah dan tutupan
vegetasi yaitu pada durasi selama 2 bulan (durasi terendah).
Daerah Samarinda secara keseluruhan memiliki frekuensi kekeringan
terbesar untuk kedua tipe tanah dan tutupan vegetasi yakni sebanyak 56 kejadian
untuk GH, 54 kejadian untuk GNH, 35 kejadian untuk MH, 47 kejadian untuk
MNH (Tabel 3). Durasi kekeringan terpanjang (10 bulan berturut-turut) terdapat
di daerah ini pada jenis tanah gambut dengan frekuensi yang terjadi hanya sekali
dalam periode 109 tahun.
Pada daerah Banjarmasin, frekuensi kekeringan yang terjadi tidak begitu
tinggi, yakni sebanyak 28 kejadian untuk GH, 29 kejadian untuk GNH, 19
kejadian untuk MH, dan 31 kejadian untuk MNH (Tabel 3). Tanah gambut dan
mineral di daerah ini banyak mengindikasikan tidak terjadi kekeringan hidrologi
untuk setiap tingkat durasi yang cukup lama. Beberapa faktor yang mempengaruhi
hal ini disebabkan oleh pola curah hujan yang ada di daerah tersebut, sebaran
curah hujan yang tidak begitu beragam, serta besar nilai ambang batas recharge
yang dimiliki daerah Banjarmasin.
Berdasarkan Tabel 3, durasi kekeringan yang berlangsung semakin lama
mendapati jumlah kejadian defisit recharge yang semakin sedikit. Hal ini
disebabkan karena kekeringan dengan durasi yang semakin lama menunjukkan
akumulasi dari kekeringan hidrologi yang semakin besar dan kuat. Oleh karena itu
durasi kekeringan yang panjang sangat jarang terjadi lagi dalam suatu periode
waktu tertentu di suatu wilayah. Sedangkan untuk durasi kekeringan yang
semakin singkat memiliki kemungkinan yang tinggi untuk bisa terjadi kembali
dalam suatu periode waktu tertentu.
Tabel 3 Lama durasi dan jumlah kejadian kekeringan pada setiap jenis tanah dan
tutupan vegetasi di ketiga daerah yang berbeda (Tarakan, Samarinda, dan
Banjarmasin) periode 1901-2009
Frekuensi
Durasi
Tarakan
Samarinda
Banjarmasin
Kekeringan
(Bulan)
GH GNH MH MNH GH GNH MH MNH GH GNH MH MNH
2
22
21
14
25
34
31
19
29
16
15
15
23
3
15
15
12
10
10
11
9
11
6
8
4
7
4
5
6
2
7
5
6
6
5
0
3
2
1
5
1
1
3
1
3
2
0
1
0
0
2
2
6
1
1
1
3
2
2
1
1
0
0
0
1
7
2
2
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
8
1
1
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9
0
0
0
2
1
1
0
0
0
0
0
0
10
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
Jumlah
47
47
34
48
56
54
35
47
28
29
19
31
Keterangan: G H = Gambut Hutan | G NH = Gambut Non Hutan | M H = Mineral Hutan | M NH = Mineral Non Hutan

10

Defisit Volume Kekeringan Hidrologi
Jumlah defisit volume recharge di ketiga daerah kajian (Tarakan,
Samarinda, dan Banjarmasin) secara umum akan semakin meningkat seiring
dengan lama durasi kekeringan yang terjadi (Gambar 3 dan Gambar 4). Nilai
defisit volume recharge tertinggi di wilayah Tarakan ada pada jenis lahan berupa
gambut bertutupan vegetasi hutan, yakni sebesar 657 mm pada 8 bulan durasi
kekeringan. Sedangkan jika dilihat dari sisi kekeringan meteorologi, justru dalam
periode 7 bulan durasi kekeringan jumlah defisit curah hujan tercatat yang paling
tinggi, yakni sebesar 412 mm (Tabel 4). Sehingga kejadian antara defisit recharge
dan defisit curah hujan yang terbentuk di wilayah tersebut memiliki keterkaitan
yang cukup erat.
Rerata defisit volume recharge terendah pada setiap jenis tanah dan tutupan
vegetasi terdapat di daerah Banjarmasin (Gambar 3 dan Gambar 4). Lahan
mineral di wilayah ini kurang mengindikasikan defisit recharge yang berarti pada
kedua tutupan vegetasi (Gambar 4). Nilai defisit recharge tertinggi pada daerah
ini terdapat pada jenis tanah gambut bervegetasi non hutan, yakni sebesar 148 mm
untuk 7 bulan durasi kekeringan. Berdasarkan aspek kekeringan meteorologi,
pada durasi 7 bulan kekeringan ini didapati pula nilai defisit curah hujan tertinggi,
yakni sebesar 317 mm. Sehingga antara defisit kekeringan hidrologi dan defisit
kekeringan meteorologi yang terjadi di daerah ini memiliki kaitan yang erat.
Pada daerah Samarinda, rerata defisit recharge yang terjadi pada lahan
gambut untuk setiap jenis tutupan lahan (223 mm dan 224 mm) bernilai lebih
besar dibandingkan dengan lahan mineral (42 mm dan 77 mm). Lahan gambut
bervegetasi hutan memiliki nilai defisit recharge tertinggi (677 mm) pada 9 bulan
durasi kekeringan. Dilihat dari aspek kekeringan meteorologi, defisit curah hujan
yang terbentuk bernilai besar (606 mm) pada saat periode 8 bulan durasi
kekeringan (Gambar 5). Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekeringan
meteorologi memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap besar defisit recharge
yang terjadi di daerah Samarinda.
Tabel 4 Karakteristik kekeringan meteorologi pada ketiga daerah kajian
(Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) periode 1901-2009
Durasi
Kekeringan
(Bulan)

Tarakan

Samarinda

Banjarmasin

2
3
4
5
6
7
8
9
10

24
16
6
1
2
1
0
0
0

31
12
6
4
1
0
1
0
1

31
8
6
3
2
1
0
0
0

Defisit rerata curah hujan(mm)

Frekuensi

Tarakan Samarinda
88
133
231
519
187
412
0
0
0

61
119
171
215
354
0
606
0
414

Banjarmasin
49
94
136
150
253
317
0
0
0

11

Deficit

Deficit

Deficit

Deficit

Deficit

Tarakan

Deficit

Samarinda
Banjarmasin

Gambar 3 Rerata nilai defisit (mm) pada lahan gambut untuk setiap tingkat
durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode 19012009

12

Deficit

Deficit

Deficit

Tarakan

Deficit

Samarinda

Deficit

Deficit

Banjarmasin

Gambar 4 Rerata nilai defisit (mm) pada lahan mineral untuk setiap tingkat
durasi kekeringan di wilayah Kalimantan bagian timur, periode 19012009
13

Secara umum, defisit recharge yang terjadi pada lahan mineral di ketiga
daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) tidak begitu besar
dibandingkan dengan defisit recharge yang terjadi pada lahan gambut (Gambar 3
dan Gambar 4).

Hubungan antara Fenomena SOI dengan Karakteristik Kekeringan
Menurut Pearcy dan Spoener (1987), fenomena ini merupakan corak dan
ciri khas yang dimiliki oleh Samudera Pasifik. El-Niňo dan La Nina merupakan
proses fluktuasi temperatur di permukaan laut Samudera Pasifik bagian timur.
Fenomena El-Niňo biasa terjadi pada saat waktu natal disekitar pantai barat
Amerika Selatan. Pada tahun 1997 fenomena El-Niňo sangat kuat hingga
mengakibatkan kekeringan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis, nilai SOI yang tercatat pada setiap waktu
kekeringan mengidentifikasi bahwa sebagian besar defisit air lahan terjadi ketika
SOI bernilai negatif (Gambar 5). Pada saat SOI bernilai lebih kecil dari -5 dalam
kurun waktu lebih dari 5 bulan, maka dapat dikatakan telah terjadi fenomena ElNiňo di wilayah Indonesia. Fenomena ENSO bukanlah faktor utama penyebab
kekeringan hidrologi. Namun pengaruhnya terhadap karakteristik kekeringan
hidrologi di wilayah Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Selatan cukup kuat dan signifikan. Ini semua dibuktikan pada saat keadaan jumlah
defisit volume recharge bernilai tinggi atau maksimal, kejadian SOI yang tercatat
selalu bernilai negatif. Sama halnya dengan defisit volume, lama durasi
kekeringan yang terjadi pada saat fenomena El-Niňo memiliki tren yang akan
semakin meningkat seiring dengan nilai SOI yang semakin negatif.
Pada tahun 1997, kekeringan yang terjadi di ketiga daerah kajian dapat
dikatakan sebagai yang paling parah (Gambar 5). Defisit volume recharge pada
tahun tersebut tercatat sebagai yang paling besar dibandingkan tahun-tahun yang
lain. Pada tahun tersebut, rerata SOI bernilai kurang dari -10, yang mana
mengindikasikan telah terjadi peristiwa El-Niňo yang sangat kuat.
Berdasarkan Gambar 5, durasi kekeringan yang terbentuk pada saat nilai
SOI yang semakin negatif, maka cenderung akan semakin lama. Terlihat pada
tahun 1997, durasi kekeringan hidrologi di ketiga daerah kajian (Tarakan,
Samarinda, dan Banjarmasin) tergolong diatas rata-rata, yakni secara berturut
selama 8, 9, dan 7 bulan.
Defisit volume recharge terendah di daerah Tarakan (Kalimantan Utara),
jatuh pada tahun 1906 dari Bulan Maret hingga April (Gambar 5). Nilai SOI yang
tercatat di bulan ini tidak begitu besar, sehingga fenomena El-Niňo yang terbentuk
tidak begitu kuat. Lalu untuk defisit volume recharge terendah (23 mm) di daerah
Samarinda, terdapat pada tahun 2006 dari Bulan Juli hingga Agustus ketika SOI
bernilai -12.4. Sedangkan untuk defisit volume recharge terendah (6.91 mm) di
daerah Banjarmasin terdapat pada tahun 1977 mulai dari Bulan September hingga
Oktober ketika SOI bernilai -11. Sehingga dapat dikatakan bahwa fenomena
ENSO memiliki pengaruh yang cukup kuat dengan peningkatan karakteristik
kekeringan hidrologi di ketiga daerah kajian.

14

800
700
600
500
400
300
200
100
0
Mar-Apr 06
Mar-Apr 09
Jan-Feb 12
Sep-Okt 14

2

Des-Feb 14 15

2

Deficit

3

Okt-Nov 69

5

Sep-Des 82
Feb-Apr 83

3

Jul-Ags 006

Sep-Okt 91
Jan-Jul 92
Nov-Jan 93

2

8 3
33 4

Jan-Mar 98

soi

9

3

Sep-Nov 94
Mar-Jun 97

2

Okt-Nov 006

Ags-Okt 002

40

20

0

IOS

-20

-40

-60

-80

IOS

Ags-Mar 97 98

-100

40
20
0
-20
-40
-60
-80
-100

40

20

0

-20

-40

-60

-80

-100

15

IOS

Nov-Jan 72 73

Feb-Mar 87

7

Apr-Jun 05

Des-Feb 69

Durasi

Sep-Okt 94

Jun-Mar 91 92

Mar-Nov 97

3

Mei-Nov 97

Ags-Sep 93

2

soi

5

Sep-Nov 94

Mei-Jul 92

2

2

soi

Jun-Okt 91

Feb-Mei 83

4 10 3

Durasi

4

Feb-Mar 90

Jan-Feb 66

6

Jul-Des 82

2

Sep-Des 82

2

2

Durasi

Jan-Feb 78

Apr-Ags 65

Okt-Nov 65
Feb-Mar 81

Sep-Okt 77

Des-Jan 58 59

Tarakan

5

Deficit

Sep-Nov 65

2 2 2 2 2 3 2 5 2 2 3 3 4 3 2 2 7

2

Sep-Jan 63 64

Mar-Apr 05

Samarinda

Apr-Mei 57

Jun-Jul 65

2

Ags-Des 72

2

Jan-Feb 12

2

Mei-Jun 72

2

3

Jan-Feb 69

800
700
600
500
400
300
200
100
0

3

Jul-Sep 65

Mar-Apr 09

Banjarmasin

2

Sep-Nov 57

DEFICIT (mm)

DEFICIT (mm)

800
700
600
500
400
300
200
100
0
Mei-Jun 29

Deficit

Gambar 5 Karakteristik kekeringan pada tanah gambut bervegetasi hutan di
ketiga daerah kajian (Tarakan, Samarinda, dan Banjarmasin) saat
kejadian ENSO kuat (SOI < -5.5)

DEFICIT (mm)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi yang ada di wilayah Kalimantan
bagian timur memiliki karakteristik kekeringan hidrologi yang berbeda-beda.
Secara umum, lama durasi kekeringan menentukan besar defisit volume recharge
yang terjadi. Diantara ketiga daerah kajian, Samarinda dengan kondisi tanah
berupa gambut merupakan wilayah yang paling rentan terhadap kekeringan.
Ambang batas recharge bulanan, durasi, dan frekuensi kekeringan yang terbentuk
di wilayah ini merupakan yang tertinggi diantara kedua daerah yang lain.
Sedangkan untuk daerah Tarakan memiliki sebaran defisit volume terbesar
dibandingkan daerah Samarinda dan Banjarmasin. Namun sebaliknya, daerah
Banjarmasin mendapati sebaran defisit volume dan ambang batas recharge
terendah untuk setiap jenis tanah dan tutupan vegetasi. Oleh sebab itu tingkat
kekeringan yang ada di daerah Banjarmasin tidak begitu besar dibandingkan
dengan kedua daerah yang lain. Secara keseluruhan, daerah bertipe lahan gambut
memiliki rerata defisit volume recharge yang lebih besar dibandingkan lahan
mineral.
Pola kekeringan hidrologi yang terbentuk di ketiga daerah ini memiliki
keterkaitan yang erat dengan nilai SOI. Mayoritas kejadian dan tingkat kekeringan
hidrologi terjadi ketika SOI bernilai negatif, yaitu pada saat Indonesia sedang
mengalami fenomena El-Niňo kuat.

Saran
Sampai saat ini, analisa dan pendugaan karakteristik kekeringan belum
dapat dimodelkan dengan metode yang cocok dan benar-benar 100% akurat.
Perhitungan defisit recharge saja belum cukup untuk merepresentasikan besar
tingkat kekeringan hidrologi yang ada di suatu wilayah. Oleh karena itu,
dibutuhkan satu kesatuan metode yang bersifat universal dan berkualitas tinggi
dengan rumusan yang disesuaikan dengan kondisi iklim, geografis, dan
lingkungan di tiap-tiap negara, untuk bisa menduga tingkat dan frekuensi
kekeringan dengan persentase keakuratan yang jauh lebih besar dibandingkan
dengan metode-metode yang pernah ada.

DAFTAR PUSTAKA
Allen RG, Smith M, Pereira LS, dan Pruitt WO. 1997. Proposed revision to the
FAO procedure for estimating crop water requirements. In: Chartzoulakes,
K. S. (ed.). Proc. 2nd. Int. Sym. on Irrigation of Horticultural Crops, ISHS,
Acta Hort. Vol. I: 17-33.

16

Chen D, Gao G, Xu CY, Guo J, dan Ren G. 2005. Comparison of the
Thornthwaite method and pan data with the standard Penman-Monteith
estimates of reference evapotranspiration in China. J. Clim. Res. 28: 123–
132.
Fleig AK, Tallaksen LM, Hisdal H, dan Demuth S. 2006. A global evaluation of
streamflow drought characteristics. Hydrol.Earth Syst. Sci. 10: 535-552.
Harris, Jones PD, Osborn TJ, dan Lister DH. 2014. Updated high-resolution grids
of monthly climatic observations – the CRU TS3.10 Dataset. Int. J.Climatol.
34: 623–642.
Hisdal H, Tallaksen LM, Clausen B, Peters E, Gustard A. 2004. Hydrological
drought characteristics. Di dalam: Tallaksen LM, Van Lanen HAJ, editor.
Hydrological Drought: Processes and Estimation Methods for Streamflow
and Groundwater. Volume 48. Development Water in Science. Amsterdam
(NL): Elsevier. hlm 139-198.
Jing F, Baisha W, Peng Z, Qing W. 2012. The recognition of drought and its
driving mePanism based on “Natural-artificial” dual water cycle. Procedia
Engineering. 28:580-585.
Pearcy WG, Spoener A. 1987. Panges in the marine biota coincident with the
1982–83 El Niño in the northeastern subarctic Pacific Ocean. J. Geophys.
Res. P. 92 (C13): 14417–14428.
Sayok AK, Nik AR, Melling L, Samad RA, Efransjah E. 2008. Some
characteristics of peat in Loagan Bunut National Park, Sarawak, Malaysia.
In: International Symposium, Workshop and Seminar on Tropical Peatland,
Yogyakarta, Indonesia, 27-31 August 2007. [tersedia di: CARBOPEAT
website (www.geog.le.ac.uk/carbopeat/yogyaproc.html].
Shaliha JA, Arifin A, Hazandy AH, Latib A, Majid NM, Shamshuddin J. 2012.
Emphasizing the properties of soils occuring in different land use types of
tropical rainforest in Sarawak, Malaysia. African J. Agric. Res. 7(48) : 64796487. doi : 10.5897/AJAR11.1785.
Sue G, Alstad K, Chen J, Chen S, Ford C R, Lin G, Liu C, Lu N, McNulty S G,
Miao H, Noormets A, Vose J M, Wilske B, Zeppel M, Zhang Y, Zhang Z.
2011. A general predictive model for estimating monthly ecosystem
evapotranspiration. Ecohydrol. 4, 245–255. doi: 10.1002/eco.194.
Tallaksen LM. dan van Lanen HAJ. (Eds.). 2004: Hydrological Drought –
Processes and Estimation Methods for Streamflow and Groundwater,
Developments inWater Sciences 48, Elsevier B.V. Amsterdam.
Van Lanen HAJ, Wanders N, Tallaksen LM, Van Loon AF. 2013. Hydrological
drought across the world: impact of climate and physical catchment
structure. J. Hydrol. Earth Syst. Sci.doi:10.5194/hess-17-1715-2013.
Widodo IT dan Dasanto BD. 2010. Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan
Kelapa Sawit Ditinjau Dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit (Studi
Kasus:Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak,
Propinsi Riau). Agromet. Vol. 24, No.1. ISSN 0126 3633. Pp. 23-32.
http://journal. ipb.ac.id/index.php/agromet.
Wilhite DA. 1993. Drought Assessment, Management and Planning: Theory and
Case Studies. Natural Resources Management and Policy Series. A. Dinar
and D. Zilberman, Series Editors, Kluwer Publishers. April , 293 pp.

17

LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah
gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan
Gambut + Hutan
No

Awal

1
2

Gambut + Non Hutan

Akhir

Durasi

Defisit

SOI

Awal

Akhir

Durasi

Defisit

Mar-03

Jun-03

4

Mar-05

Apr-05

2

84

10.6

63

-36.4

3

Mar-06

Apr-06

2

1

4

Jan-08

Jun-08

6

229

5
6

Mar-09

Apr-09

2

Jan-12

Feb-12

2

7

Jun-12

Des-12

8

Mar-14

SOI

Mar-03

Jun-03

4

86

10.6

Mar-05

Apr-05

2

65

-36.4

-7.0

Mar-06

Apr-06

2

3

-7.0

1.8

Jan-08

Jun-08

6

233

1.8

114

-7.4

Mar-09

Apr-09

2

116

-7.4

71

-13.5

Jan-12

Feb-12

2

70

-13.5

7

388

-4.5

Jun-12

Des-12

7

392

-4.5

Mei-14

3

174

-1.8

Mar-14

Mei-14

3

174

-1.8

9

Sep-14

Okt-14

2

88

-10.5

Sep-14

Okt-14

2

87

-10.5

10

Des-14

Feb-15

3

113

-8.4

Des-14

Feb-15

3

111

-8.4

11

Nop-28

Des-28

2

33

7.2

Nop-28

Des-28

2

32

7.2

12

Agu-38

Sep-38

2

55

10.3

Agu-38

Sep-38

2

54

10.3

13

Feb-39

Mar-39

2

53

9.7

Feb-39

Mar-39

2

55

9.7

14

Mei-43

Jun-43

2

65

-2.6

Mei-43

Jun-43

2

64

-2.6

15

Des-58

Jan-59

2

112

-7.6

Des-58

Jan-59

2

114

-7.6

16

Apr-61

Jun-61

3

162

2.5

Apr-61

Jun-61

3

166

2.5

17

Agu-61

Sep-61

2

140

0.5

Agu-61

Nop-61

4

263

0.8

18

Mei-64

Agu-64

4

205

7.8

Mei-64

Agu-64

4

215

7.8

19

Apr-65

Agu-65

5

431

-12.0

Apr-65

Agu-65

5

445

-12.0

20

Okt-65

Nop-65

2

207

-14.5

Okt-65

Nop-65

2

206

-14.5

21

Jan-66

Feb-66

2

121

-8.1

Jan-66

Feb-66

2

122

-8.1

22

Jul-66

Sep-66

3

44

0.3

Jul-66

Sep-66

3

48

0.3

23

Apr-67

Mei-67

2

190

-3.3

Apr-67

Mei-67

2

193

-3.3

24

Agu-67

Okt-67

3

86

3.6

Agu-67

Okt-67

3

89

3.6

25

Des-68

Feb-69

3

57

-6.1

Des-68

Feb-69

3

59

-6.1

26

Agu-71

Sep-71

2

94

15.4

Agu-71

Sep-71

2

95

15.4

27

Nop-72

Jan-73

3

177

-6.2

Nop-72

Jan-73

3

173

-6.2

28

Okt-79

Nop-79

2

49

-3.6

Okt-79

Nop-79

2

49

-3.6

29

Sep-82

Des-82

4

259

-23.5

Sep-82

Des-82

4

252

-23.5

30

Feb-83

Apr-83

3

292

-26.1

Feb-83

Apr-83

3

282

-26.1

31

Okt-84

Nop-84

2

93

-0.6

Okt-84

Nop-84

2

91

-0.6

32

Feb-87

Mar-87

2

76

-14.6

Feb-87

Mar-87

2

73

-14.6

33

Nop-89

Des-89

2

24

-3.5

Nop-89

Des-89

2

20

-3.5

34

Jul-90

Agu-90

2

99

0.3

Jul-90

Agu-90

2

96

0.3

35

Jan-91

Mar-91

3

90

-1.6

Jan-91

Mar-91

3

85

-1.6

36

Sep-91

Okt-91

2

138

-14.8

Sep-91

Okt-91

2

134

-14.8

18

37

Jan-92

Jul-92

7

386

-13.8

Jan-92

Jul-92

7

375

-13.8

38

Nop-92

Jan-93

3

150

-7.0

Nop-92

Jan-93

3

149

-7.0

39

Sep-94

Nop-94

3

226

-12.9

Sep-94

Nop-94

3

218

-12.9

40

Jun-95

Jul-95

2

71

1.4

Jun-95

Jul-95

2

69

1.4

41

Mei-96

Agu-96

4

107

6.7

Mei-96

Agu-96

4

100

6.7

42

Mar-97

Jun-97

4

252

-17.8

Mar-97

Jun-97

4

247

-17.8

43

Agu-97

Mar-98

8

657

-18.5

Agu-97

Mar-98

8

632

-18.5

44

Jun-98

Agu-98

3

72

11.4

Jun-98

Agu-98

3

63

11.4

45

Jan-02

Mar-02

3

162

1.7

Jan-02

Mar-02

3

156

1.7

46

Agu-02

Okt-02

3

162

-9.9

Agu-02

Okt-02

3

155

-9.9

47

Agu-04

Okt-04

3

165

-4.7

Agu-04

Okt-04

3

158

-4.7

19

Lampiran 2 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah
mineral bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Tarakan
Mineral + Hutan

Mineral + Non Hutan

No

Awal

Akhir

Durasi

Defisit

SOI

Awal

Akhir

Durasi

Defisit

1

Mar-03

Mei-03

4

2

Mar-05

Apr-05

2

15

10.7

3

-36.4

3

Jan-08

Mei-08

5

24

4

Mar-09

Apr-09

2

5
6

Jan-12

Feb-12

Okt-12

Jan-13

7

Mar-14

8

SOI

Mar-03

Jun-03

4

63

10.6

Mar-05

Apr-05

2

58

-36.4

2.6

Jan-08

Jun-08

6

117

1.8

3

-7.4

Mar-09

Apr-09

2

50

-7.4

2

11

-13.5

Jan-12

Feb-12

2

46

-13.5

5

127

-3.4

Agu-12

Jan-13

6

226

-4.8

Mei-14

3

15

-1.8

Sep-13

Okt-13

2

15

-9.3

Okt-14

Apr-15

8

59

-10.5

Mar-14

Jun-14

4

95

-5.6

9

Feb-36

Mar-36

2

0

1.2

Agu-14

Apr-15

9

151

-12.6

10

Okt-40

Des-40

3

55

-18.2

Nop-28

Des-28

2

19

7.2

11

Apr-53

Mei-53

2

6

-16.2

Feb-36

Mar-36

2

20

1.2

12

Des-58

Jan-59

2

33

-7.6

Agu-38

Sep-38

2

0

10.3

13

Apr-61

Mei-61

2

15

5.4

Feb-39

Mar-39

2

29

9.7

14

Okt-61

Nop-61

3

71

0.7

Mei-43

Jun-43

2

38

-2.6

15

Apr-65

Mei-65

2

15

-6.6

Des-58

Jan-59

2

56

-7.6

16

Okt-65

Nop-65

3

71

-9.7

Apr-61

Jun-61

3

74

2.5

17

Jan-66

Feb-66

2

11

-8.1

Agu-61

Nop-61

4

127

0.8

18

Nop-66

Des-66

2

68

-2.1

Sep-63

Nop-63

3

92

-9.1

19

Apr-67

Mei-67

2

15

-3.3

Mei-64

Jun-64

2

42

5.1

20

Des-68

Mei-69

6

28

-5.3

Apr-65

Jun-65

3

74

-8.7

21

Nop-72

Jan-73

3

117

-6.2

Agu-65

Nop-65

4

111

-13.7

22

Okt-79

Nop-79

2

18

-3.6

Jan-66

Feb-66

2

46

-8.1

23

Okt-82

Des-82

4

115

-18.2

Agu-66

Sep-66

2

0

0.9

24

Feb-83

Apr-83

3

3

-26.1

Nop-66

Des-66

2

96

-2.1

25

Feb-87

Mar-87

2

0

-14.6

Apr-67

Mei-67

2

74

-3.3

26

Nop-89

Des-89

2

7

-3.5

Agu-67

Okt-67

3

35

3.6

27

Jan-91

Mar-91

3

12

-1.6

Mei-68

Jun-68

2

42

13.5

28

Jan-92

Mei-92

5

27

-15.4

Des-68

Feb-69

3

41

-6.1

29

Nop-92

Jan-93

3

63

-7.0

Mei-69

Jun-69

2

42

-3.6

30

Okt-94

Nop-94

3

71

-7.1

Agu-71

Sep-71

2

0

15.4

31

Mar-97

Mei-97

3

15

-15.7

Nop-72

Des-72

2

148

-7.8

32

Okt-97

Apr-98

8

98

-17.2

Okt-79

Nop-79

2

31

-3.6

33

Jan-02

Mar-02

3

12

1.7

Agu-82

Des-82

5

200

-23.5

34

Okt-02

Nop-02

3

25

-4.5

Feb-83

Mei-83

4

75

-18.1

35

-

-

-

-

-

Okt-84

Nop-84

2

73

-0.6

Feb-87

Mar-87

2

39

-14.6

Nop-89

Des-89

2

8

-3.5

Jan-91

Mar-91

3

60

-1.6

Sep-91

Okt-91

2

43

-14.8

36
37
38
39

20

40
41
42
43
44
45
46
47
48

-

-

-

-

-

Jan-92

Jun-92

6

143

-15.0

Nop-92

Jan-93

3

113

-7.0

Sep-94

Nop-94

3

125

-12.9

Mei-96

Jun-96

2

42

7.6

Mar-97

Jun-97

4

91

-17.8

Agu-97

Apr-98

9

238

-19.1

Jan-02

Mar-02

3

70

1.7

Agu-02

Nop-02

4

60

-8.9

Agu-04

Okt-04

3

44

-4.7

21

Lampiran 3 Tabulasi data karakteristik kekeringan dan nilai SOI pada tanah
gambut bervegetasi hutan dan non hutan di daerah Samarinda
Gambut + Hutan

Gambut + Non Hutan

Awal

Akhir

Durasi

Defisit

SOI

Awal

Akhir

Durasi

Defisit

SOI

1

Feb-08

Mei-08

4

2

Mar-09

Apr-09

2

89

5.9

Feb-08

Mei-08

4

88

5.9

56

-7.4

3

Jan-12

Feb-12

Mar-09

Apr-09

2

56

-7.4

2

28

-13.5

4

Nop-12

Jan-12

Feb-12

2

28

-13.5

Des-12

2

71

-2.7

5

Okt-12

Des-12

3

71

-4.47

Feb-14

Mei-14

4

69

-0.85

Feb-14

Mei-14

4

68

-0.85

6

Feb-39

Mar-39

2

31

9.65

Feb-39

Mar-39

2

30

9.65

7

Feb-50

Mar-50

2

8

17.6

Feb-50

Mar-50

2

7

17.6

8

Nop-51

Jan-52

3

170

-5.2

Nop-51

Jan-52

3

171

-5.2

9

Apr-57

Mei-57

2

46

-5.5

Apr-57

Mei-57

2

47

-5.5

10

Okt-57

Nop-57

2

31

-6.6

Okt-57

Nop-57

2

32

-6.6

11

Jun-59

Agu-59

3

81

-5.43

Jun-59

Agu-59

3

86

-5.43

12

Mei-61

Jun-61

2

73

-0.9

Mei-61

Jun-61

2

76

-0.9

13

Okt-61

Nop-61

2

164

1.1

Okt-61

Nop-61

2

168

1.1

14

Sep-63

Jan-64

5

277

-8.6

Sep-63

Jan-64

5

279

-8.6

15

Mei-64

Sep-64

5

203

9.08

Mei-64

Sep-64

5

212

9.08

16

Nop-64

Des-64

2

48

-0.2

Nop-64

Des-64

2

52

-0.2

17

Jun-65

Jul-65

2

76

-17.7

Jun-65

Jul-65

2

80

-17.7

18

Sep-65

Nop-65

3

209

-14.4

Sep-65

Nop-65

3

212

-14.4

19

Apr-66

Jun-66

3

76

-5.03

Apr-66

Jun-66

3

76

-5.03

20

Sep-66

Nop-66

3

61

-1.6

Sep-66

Nop-66

3

62

-1.6

21

Okt-67

Nop-67

2

117

-2.05

Agu-67

Nop-67

4

209

1.72

22

Jan-69

Mar-69

3

126

-6.2

Jan-69

Mar-69

3

126

-6.2

23

Mei-69

Agu-69

4

218

-4.62

Mei-69

Agu-69

4

220

-4.62

24

Okt-69

Nop-69

2

39

-5.9

Okt-69

Nop-69

2

41

-5.9

25

Mei-71

Jun-71

2

51

5.9

Mei-71

Jun-71

2

51

5.9

26

Nop-72

Feb-73

4

257

-8

Nop-72

Feb-73

4

251

-8

27

Des-76

Jan-77

2

84

-3.5

Des-76

Jan-77

2

85

-3.5

28

Mar-79

Apr-79

2

19

-4.25

Feb-81

Mar-81

2

69

-9.9

29

Feb-81

Mar-81

2

72

-9.9

Jul-81

Agu-81

2

111

7.65

30

Jul-81

Agu-81

2

116

7.65

Jul-82

Des-82

6

292

-22.82

31

Jul-82

Des-82

6

294

-22.82

Feb-83

Mei-83

4

237

-18.08

32

Feb-83

Mei-83

4

247

-18.08

Agu-8