Karakteristik Kekeringan Hidrologi pada Wilayah Kalimantan Bagian Barat

KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI PADA
WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN BARAT

PIPIT PUTRI AJI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik
Kekeringan Hidrologi pada Wilayah Kalimantan Bagian Barat adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Pipit Putri Aji
NIM G24100052

ABSTRAK
PIPIT PUTRI AJI. Karakteristik Kekeringan Hidrologi pada Wilayah Kalimantan
Bagian Barat. Dibimbing oleh MUH. TAUFIK
Kekeringan hidrologi merupakan kekeringan yang berpengaruh terhadap
ketersediaan air pada badan-badan air termasuk groundwater. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis karakteristik kekeringan hidrologi dan menganalisis
hubungan kejadian kekeringan hidrologi dengan El Niño (ENSO) di wilayah
Kalimantan bagian barat. Penelitian ini menggunakan model neraca air tanah yang
disusun untuk menduga nilai groundwater recharge bulanan dengan inputan data
suhu udara dan curah hujan bulanan periode 1901-2009. Analisis kekeringan
dibedakan berdasarkan dua tipe tanah utama yaitu tanah mineral dan tanah gambut
dengan penutupan hutan alam. Analisis kekeringan hidrologi pada groundwater
recharge diidentifikasi dengan metode ambang batas bervariasi bulanan (monthly
varying threshold). Berdasarkan hasil analisis selama periode 1901-2009,
kekeringan hidrologi pada tipe tanah gambut dan mineral lebih sering terjadi di

wilayah bagian selatan dengan frekuensi kejadian kekeringan pada tanah gambut
53 kejadian sedangkan tanah mineral hanya 33 kejadian. Durasi kekeringan pada
kedua tipe tanah yaitu dua sampai lima bulan berurutan yang dibedakan dengan
volume defisit pada tanah gambut lebih besar dibanding tanah mineral. Pada
kondisi ekstrim terdapat satu kejadian kekeringan hidrologi dengan durasi sebelas
bulan berturut-turut untuk tanah gambut yang menunjukkan kekeringan hidrologi
berlangsung lebih lama dibandingkan dengan kekeringan meteorologi. Temuan
lain berupa kekeringan yang bertepatan dengan El Niño kuat menyebabkan
volume defisit kekeringan yang semakin besar.
Kata kunci: ambang batas, durasi, ENSO, recharge, volume defisit.

ABSTRACT
PIPIT PUTRI AJI. Hydrological Drought Characteristic in the Western Part of
Kalimantan. Supervised by MUH. TAUFIK
Hydrological drought is a drought type, which influences the availability
of water bodies including groundwater. This study aimed to analyze the
characteristics of hydrological drought and their relationship with El Niño
(ENSO) in the western part of Kalimantan. This study used a soil water balance
model to estimate monthly groundwater recharge with an input of monthly air
temperature and rainfall for 1901-2009. The model was run for two different two

soil types (mineral and peat) under natural forest. Hydrological drought on
groundwater recharge was identified using monthly varying threshold method. We
found that drought duration was about two to five consecutive months either in
peat or mineral soil. The southern part of the region was more prone to drought
particularly for peat soil. Furthermore, our study confirmed that hydrological
drought are more severe than meteorological drought as indicated by the largest
duration of drought in recharge until eleven months, whereas meteorological
drought only nine months. In strong El Niño years, drought occurences are more
severe as indicated by high deficit volume.
Keywords: threshold, duration, ENSO, recharge, deficit volume.

KARAKTERISTIK KEKERINGAN HIDROLOGI PADA
WILAYAH KALIMANTAN BAGIAN BARAT

PIPIT PUTRI AJI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi


DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Karakteristik Kekeringan Hidrologi pada Wilayah Kalimantan
Bagian Barat
Nama
: Pipit Putri Aji
NIM
: G24100052

Disetujui oleh

Muh Taufik, S.Si, M.Si.
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr. Ir. Tania June, M. Sc.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan judul
“Karakteristik Kekeringan Hidrologi pada Wilayah Kalimantan Bagian Barat”.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Bapak Muh. Taufik, S.Si, M.Si selaku pembimbing atas segala bantuan,
bimbingan, kritik dan saran.
2. Keluarga tercinta, Bapak Harjito dan Ibu Eni Kusrini serta kakak
Kaswari Niviaji dan adik Chanari Rizki Aji atas dukungan, doa dan
kasih sayangnya.
3. Ibu Dr Ir Tania June, M. Sc. selaku Ketua Departemen, Bapak Bregas
Budianto, Ass.dpl. selaku dosen pembimbing akademik, serta seluruh

dosen dan staf Departemen Geofisika dan Meteorologi yang
memberikan dukungan.
4. Taufiq Yuliawan, Teungku Haikal, dan Rifqi Naufaldi atas bantuan yang
luar biasa.
5. Muhamad Nurfajri atas semangat, bantuan, motivasi dan dukungan
dalam mengerjakan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabat Gembelle (Yadisti E.P, Anggi R, Annisa N, Shailla R
dan Irza A.N) dan DORTE (Farha, Nursinta, dan Ginna) yang selalu
memberi keceriaan, semangat dan dukungan.
7. Sahabat-sahabat GFM 47 (Tri A, Alan, Jeffry, Taufiq Rizki, Syafei,
Frimadi, Hasby, Linda, Ilmina, Wahyu SD, Dewi S, Srimani, Deti, Roni,
Himma, Hasan, Duwi, Sri M, Jeanny, Putri, Andrini, Aden, Ryan,
Dirgha, Iftah, Muhjidin, Murni, Givo, Adi, Ryco, Ichakar, Firdaus, Basit
dan lain lain) yang memberikan cerita indah pada masa kuliah.
8. Seluruh keluarga besar GFM baik itu kakak atau adik kelas dan semua
pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

Pipit Putri Aji

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Bahan

2

Alat


3

Prosedur Analisis Data

3

Perhitungan Evapotranspirasi Potensial

3

Perhitungan Neraca Air

4

Metode Ambang BatasKekeringan

5

Karakteristik Kekeringan Hidrologi


5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kondisi Daerah Penelitian

6
6

Kondisi Iklim

6

Curah hujan dan Evapotranspirasi Potensial

7

Sebaran Gambut

8


Variabilitas Recharge RCH

8

Ambang Batas Kekeringan Hidrologi

10

Karakteristik Kekeringan Hidrologi

11

Durasi Kekeringan

11

Volume Defisit Recharge

12

Perbandingan Kejadian Kekeringan Tanah Gambut dengan Tanah Mineral

13

Pengaruh ENSO terhadap Kejadian Kekeringan

14

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan

16

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Karakteristik soil moisture tanah gambut dan tanah mineral
Faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu
Profil iklim lokasi penelitian meliputi suhu udara (ºC), curah hujan
(mm/thn), dan ETp (mm/thn)
Nilai ambang batas kekeringan untuk dua jenis tanah yang berbeda
(mm/bulan)
Frekuensi kejadian kekeringan tanah gambut
Frekuensi kejadian kekeringan tanah mineral

2
4
6
10
11
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Peta lokasi penelitian: Pontianak, Ketapang, Sintang, Pangkalan
Bun dan Palangkaraya
Diagram alir prosedur penelitian
Sebaran curah hujan bulanan (kiri) dan nilai evapotranspirasi
potensial (kanan) pada lokasi kajian periode 1901-2009
Sebaran recharge (RCH) rataan bulanan tanah gambut ( ) dan
tanah mineral ( ) periode 1901-2009
Hubungan volume defisit kekeringan dengan durasi kekeringan
pada tanah gambut periode 1901-2009
Hubungan volume defisit kekeringan dengan durasi kekeringan
pada tanah mineral periode 1901-2009
Hubungan defisit recharge (x), durasi (p) dengan SOI periode
1901-2009 pada tanah gambut (kiri) dan tanah mineral (kanan)

3
6
7
9
12
13
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Pontianak
untuk tanah gambut
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Sintang untuk
tanah gambut
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Ketapang
untuk tanah gambut
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Pangkalan
Bun untuk tanah gambut
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Palangkaraya
untuk tanah gambut
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Pontianak
untuk tanah mineral
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Sintang untuk
tanah mineral
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Ketapang
untuk tanah mineral
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Pangkalan
Bun untuk tanah mineral
Tabulasi data karakteristik kekeringan hidrologi grid Palangkaraya
untuk tanah mineral

19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kejadian bencana alam terkait iklim yang sering terjadi di Indonesia adalah
banjir dan kekeringan. Secara umum kekeringan merupakan pasokan air yang
kurang pada suatu daerah selama periode tertentu. Sedangkan dalam perspektif
hidrologi kekeringan merupakan kondisi cadangan air tanah yang berkurang pada
badan-badan air. Van Loon dan Van Lanen (2013) berpendapat bahwa kekeringan
berbeda dengan kelangkaan air (water scarcity), kekeringan merupakan fenomena
alami, sedangkan kelangkaan air berasal dari faktor antropogenik. Faktor yang
paling berpengaruh terhadap kekeringan adalah curah hujan. Curah hujan di
wilayah tropis secara umum terpengaruh oleh fenomena El Niño. Wooster et al.
(2012) mempelajari hubungan antara El Niño dengan kekeringan dan kebakaran
hutan selama periode 1980-2000. Selama periode tersebut El Niño memberikan
pengaruh terhadap curah hujan yang berkurang sehingga mengakibatkan
kekeringan dan kebakaran hutan.
Batasan kekeringan sulit untuk ditentukan, sebab kekeringan memiliki
definisi berbeda berdasarkan bidang ilmu, daerah, kebutuhan dan sudut pandang.
Sebagai contoh definisi kekeringan berdasarkan daerah yaitu Bali terjadi
kekeringan ketika tidak terjadi hujan selama enam hari berturut-turut (Suryanti
2008). Berdasarkan sudut pandang, kekeringan didefinisikan sebagai defisit curah
hujan, kondisi saat hutan mudah terbakar, hasil panen pertanian kurang dari yang
diharapkan serta kelembaban tanah yang menunjukkan pada titik kritis (Fleig
2004).
Fleig et al. (2006) berpendapat tipe kekeringan dibedakan berdasarkan
defisit air yang mempengaruhi siklus hidrologi. Kekeringan yang berkaitan
dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim disebut
kekeringan meteorologi. Jika kekeringan meteorologi diperparah dengan defisit
kandungan air dalam tanah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman
tertentu, maka kekeringan ini disebut kekeringan pertanian. Setelah itu,
kekeringan yang berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air
tanah disebut kekeringan hidrologi. Kekeringan hidrologi terdiri dari kekeringan
debit sungai (streamflow drought) dan air bumi (groundwater drought) (Fleig et
al. 2006). Kejadian kekeringan dapat dijelaskan dengan analisis karakteristik
kekeringan suatu wilayah. Fleig (2004) menyatakan karakteristik kekeringan
hidrologi meliputi “durasi kekeringan, waktu kejadian, tanggal awal dan akhir,
defisit, dan aliran minimum suatu sungai”.
Penelitian mengenai kekeringan hidrologi di wilayah tropis belum banyak
dilakukan. Oleh karena itu, terdapat peluang untuk menganalisis karakteristik
kekeringan hidrologi di wilayah tropis, lebih khusus wilayah Kalimantan bagian
barat seperti mengetahui durasi dan volume defisit maksimum pada dua tipe tanah
utama yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Selanjutnya kekeringan hidrologi
akan dihubungkan dengan fenomena El Niño.

2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. menganalisis karakteristik kekeringan hidrologi,
2. menganalisis hubungan kejadian kekeringan hidrologi dengan ENSO
di Kalimantan bagian barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk kepentingan
perencanaan, desain, manajemen dan pengembangan sumber daya air.

METODE
Penelitian ini terdiri dari pengolahan data iklim sekunder (curah hujan dan
suhu) untuk perhitungan neraca air bulanan. Merujuk pada Gambar 2, hasil
perhitungan neraca air bulanan digunakan untuk analisis kekeringan hidrologi
pada komponen groundwater recharge di lokasi yang dipilih. Metode ambang
batas bervariasi bulanan (monthly varying threshold) digunakan untuk analisis
kekeringan pada recharge. Karakteristik kekeringan yang dianalisis terdapat dua
komponen yaitu durasi kekeringan dan volume defisit dari kejadian kekeringan.
Selanjutnya, kejadian kekeringan dikaitkan dengan kejadian El Niño.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa:
1. Data curah hujan bulanan dan suhu bulanan dalam kurun waktu 109
tahun (1901-2009) yang merupakan data CRU TS3.10. Menurut
Harris et al. (2014) Data ini merupakan data stasiun hasil pemetaan
satu set data iklim dari observasi bulanan di seluruh daratan stasiun
meteorologi di dunia.
2. Komponen soil water retention (Tabel 1) berupa: SMfc (soil moisture
at field capacity), SMwp (soil moisture at wilting point), dan SMcp
(soil moisture at critical point) tanah gambut dan tanah mineral.
Tabel 1 Karakteristik soil moisture tanah gambut dan tanah mineral
Konstanta
Soil moisture content (mm)
Kapasitas lapang (SMfc)
Titik kritis (SMcp)
Titik layu permanen (SMwp)
Konstanta curva retention
Kfc
B
Konstanta lain
Koefisien Evapotranspirasi Tanaman (Kc)

*) Sayok et al. (2008)

**) Shaliha et al. (2012)

Gambut

Jenis Tanah
Mineral

472.0*
405.0*
300.0*

381.3**
347.9**
171**

-

0.2***
3.4***

1.1

1.1

***) Van Lanen et al. (2013)

3

3. Data SOI bulanan periode 109 tahun. Tersedia dari situs Bureau of
Meteorology http://www.bom.gov.au/climate/current/soihtm1.shtml.
Area wilayah kajian terdiri dari lima grid pewakil yang mewakili
Kalimantan bagian barat (Gambar 1). Grid pertama yaitu Pontianak yang terletak
pada 00009’ LS - 109024’ BT, selanjutnya Sintang (0004’ LU - 111028’48” BT).
Kedua grid tersebut, dalam analisis dikelompokkan ke dalam wilayah bagian
utara. Untuk wilayah bagian selatan meliputi Ketapang (01053’60” LS - 110000’
BT), Pangkalan Bun (02042’ LS - 111042’ BT), dan Palangkaraya (02013’48” LS 113056’24” BT).

Gambar 1 Peta lokasi penelitian: Pontianak, Sintang, Ketapang, Pangkalan Bun
dan Palangkaraya
Alat
Penelitian ini menggunakan Microsoft Office Excel 2007 Student Edition
berlisensi IPB Microsoft Open Value Subscription for Education Solution dan
memanfaatkan fitur Visual Basic on Application.
Prosedur Analisis Data
Model Neraca Air
Perhitungan Evapotranspirasi Potensial
Evapotranspirasi potensial (ETp) dihitung dengan menggunakan metode
Thornthwaite yang merujuk pada Thornthwaite (1948). Pendugaan ETp
berdasarkan persamaan:
ETpx = 16 * (10T/I)a…(1)
ETp

= ETpx*(f)

…(2)

ETpx : evapotranspirasi potensial yang belum terkoreksi (mm)
ETp : evapotranspirasi potensial terkoreksi (mm)

4

: suhu rata-rata bulanan (oC)
: faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu di areal Kalimantan
bagian barat (Tabel 2)
: jumlah nilai i (indeks panas) dalam setahun, dengan
i
= (T/5)1.514
… (3)

T
f
I

: 0.49 + (0.01792*I) + (0.77x 10-4* I2) + (0.675X10-6* I3) … (4)

a

Tabel 2 Faktor koreksi berdasarkan letak lintang dan waktu
Lintang
3
2
1
0
-1
-2
-3
-4

1
1.03
1.04
1.04
1.04
1.04
1.05
1.05
1.06

2
0.94
0.94
0.94
0.94
0.94
0.94
0.95
0.95

3
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04

4
1.02
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.00

5
1.05
1.05
1.04
1.04
1.04
1.04
1.03
1.03

Bulan
6
7
1.02 1.05
1.02 1.05
1.01 1.04
1.01 1.04
1.01 1.04
1.01 1.04
1.00 1.03
1.00 1.03

8
1.05
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.03

9
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.00

10
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.04
1.05
1.05

11
1.01
1.01
1.01
1.01
1.01
1.02
1.02
1.03

12
1.03
1.04
1.04
1.04
1.04
1.05
1.05
1.06

Perhitungan Neraca Air
Model neraca air pada penelitian ini merupakan model recharge air tanah
pada tutupan lahan hutan alam. Masukan yang digunakan meliputi curah hujan
(CH) dan evapotranporasi acuan (ETo) dalam menduga nilai evapotranspirasi
aktual (ETa), soil moisture storage (SM), dan recharge air tanah (RCH).
Formulasi perhitungan recharge menggunakan persamaan Van Lanen et al.
(2013).
Tanah Mineral
Untuk kondisi tanah mineral, perhitungan neraca air yang digunakan
sebagai berikut:
SMt = SMt-1 + CHt - ETat - RCHt

(5)

ETo diasumsikan sama dengan ETp yang diduga menggunakan metode
Thornthwaite. Sedangkan ETa diduga berdasarkan kondisi SMt.
ETat = ETot * kc
ETat =

* ETot * kc

jika SMcp ≤ SMt < SMfc
jika SMwp < SMt < SMcp

ETat = 0
jika SMt ≤ SMwp
SMfc adalah Soil Moisture Storage pada kapasitas lapang,
SMcp adalah Soil Moisture Storage pada critical point,
SMwp adalah Soil Moisture Storage pada titik layu permanen

(6)
(7)
(8)

Recharge adalah besarnya aliran air menuju air tanah. Penghitungan
recharge mengikuti kondisi soil moisture pada waktu tertentu (SMt).
RCH = SMt - SMfc

jika SMt ≥ SMfc

(6)

5

RCH =

* b * kfc

RCH = 0

jika SMcp < SMt < SMfc

(7)

jika SMt ≤ SMcp

(8)

kfc merupakan unsaturated hydraulic conductivity pada kapasitas lapang, b
merupakan konstanta yang terbentuk dari kurva soil moisture retention dan
unsaturated hydraulic conductivity.
Tanah Gambut
Kondisi water table di tanah gambut tergolong dangkal dengan kedalaman
kurang dari 200 cm. Nilai kadar air tanah yang terukur pada tanah gambut akan
selalu mendekati kapasitas lapang. Sehingga tanah gambut memiliki rumusan soil
moisture dan recharge sebagai berikut:
SMt = SMfc
ETat = ETot *kc
RCHt = CHt – Eta

(9)
(10)
(11)

Metode Ambang Batas Kekeringan
Karakteristik kekeringan hidrologi dapat diidentifikasi dengan metode
ambang batas kekeringan (threshold level method). Ambang batas dapat bernilai
tetap (fixed threshold) atau bervariasi (varying threshold). Penelitian ini
menggunakan metode ambang batas bervariasi (varying threshold) yaitu ambang
batas bervariasi bulanan (monthly varying threshold). Data recharge diolah
untuk memperoleh ambang batas (Q0). Jika nilai recharge (RCH) berada di bawah
Q0 maka dinyatakan kekeringan dan ditentukan durasi dan volume defisit. Secara
umum, ambang batas yang digunakan untuk kriteria aliran yaitu 70% sampai 95%
(Fleig et al. 2006). Ambang batas yang digunakan pada penelitian ini adalah
80%, yaitu RCH melampaui 80 persen dari panjang data, sehingga exceedance
probability hanya sebesar 20 persen dari data keseluruhan.
Karakteristik Kekeringan Hidrologi
Karakteristik kekeringan hidrologi yang dianalisis pada penelitian ini
terdiri dari dua komponen meliputi durasi dan volume defisit. Cara menentukan
durasi dan volume defisit kekeringan yaitu dengan mengidentifikasi nilai recharge
(RCH) yang berada di bawah ambang batas Q80. Ketika nilai recharge turun
mencapai ambang batas maka kekeringan dimulai (onset) dan ketika recharge
naik kembali melampaui ambang batas maka kejadian kekeringan berakhir.
Durasi adalah panjang waktu dari awal hingga akhir kekeringan dengan rentang
waktu minimal dua bulan. Akumulasi selisih antara ambang batas dengan
recharge di bawah ambang batas sepanjang durasi kekeringan disebut sebagai
volume defisit (mm).

6

Gambar 2

Diagram alir prosedur penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kondisi Daerah Penelitian
Kondisi Iklim
Secara umum daratan Kalimantan bagian barat merupakan daratan rendah
yang bersuhu bulanan rata-rata berkisar antara 26-27˚C (Tabel 3). Curah hujan
tahunan berkisar 2300-3500 mm/tahun dan rata-rata curah hujan bulanan 193-294
mm/bulan. Menurut klasifikasi Koppen secara umum Kalimantan bagian barat
termasuk tipe iklim tropika basah (Af). Hal ini dicirikan dengan suhu udara
bulanan yang lebih dari 18˚C serta curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 60 mm
(Handoko 1994).
Tabel 3 Profil iklim lokasi penelitian meliputi suhu udara (˚C), curah hujan
(mm/thn), dan ETp (mm/thn)
No

Grid

1

Suhu Udara

Curah Hujan

ETp

max

min

mean

max

min

mean

Pontianak

27.9

26.5

27.2

4653

1713

3122

1789

2

Sintang

27.,0

25.7

26.3

4501

2576

3524

1596

3

Ketapang

28.0

26.7

27.4

4652

1783

3126

1835

4

Pangkalan Bun

27.8

26.4

27.1

3813

1667

2709

1762

5

Palangkaraya

27.4

26.0

26.7

2938

1551

2309

1670

7

Curah Hujan dan Evapotranspirasi Potensial
Lokasi penelitian wilayah Kalimantan bagian barat dibagi menjadi dua
yaitu utara dan selatan. Pembagian wilayah dibagi berdasarkan pada pola curah
hujan yang terjadi. Wilayah utara yang diwakikan oleh Pontianak dan Sintang
memiliki pola hujan ekuatorial, dicirikan dengan pola curah hujan bentuk bimodal
(dua puncak) yang terjadi sekitar Bulan April dan November. Sedangkan wilayah
selatan yang diwakilkan Ketapang, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya memiliki
pola hujan monsunal, dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal
(satu puncak musim hujan sekitar Bulan Desember).

Gambar 3 Sebaran curah hujan bulanan (kiri) dan nilai evapotranspirasi potensial
(kanan) pada lokasi kajian periode 1901-2009

8

Selama periode 1901-2009 rata-rata curah hujan untuk wilayah
Kalimantan bagian barat sebesar 2958 mm/tahun. Curah hujan minimum secara
umum terjadi pada bulan Juni-Agustus (81 mm) dan curah hujan maksimum pada
bulan Desember-Februari (384 mm). Rata-rata suhu udara pada Kalimantan
bagian Barat sebesar 26.9˚C yang berkisar dari 26.2-27.6 ˚C (periode 1901-2009).
Suhu udara yang tinggi akan mengakibatkan nilai ETp semakin meningkat.
Perhitungan evapotranspirasi potensial dilakukan dengan menggunakan metode
Thornthwaite. Hasil perhitungan menunjukkan nilai ETp rata-rata tahunan sebesar
1730 mm/tahun. ETp bulanan maksimum sebesar 167 mm pada bulan Mei dan
minimum sebesar 118 mm pada bulan Februari.
Sebaran Gambut
Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20.6 juta hektar atau sekitar
10.8 persen dari luas daratan Indonesia, dari luasan tersebut sekitar 5.7 juta ha
atau 27.8 persen terdapat di Kalimantan (Wahyunto et al 2004). Lahan gambut di
Kalimantan mempunyai tingkat kematangan yang berbeda meliputi Fibrik (belum
melapuk), Hemik (setengah melapuk), dan Saprik (sudah melapuk). Luas lahan
gambut di Kalimantan bagian barat memiliki areal gambut seluas 4.7 juta ha atau
80 persen dari luas total gambut Kalimantan. Menurut Wahyunto et al (2004),
tanah gambut yang mendominasi di Kalimantan bagian barat yaitu gambut jenis
Hemik (setengah melapuk) dengan kedalaman sedang yaitu hingga 100-200 cm.
Variabilitas Recharge (RCH)
RCH adalah besarnya aliran air menuju air tanah. Pada penelitian ini RCH
bulanan telah dihitung untuk kondisi tanah gambut dan tanah mineral. Variabilitas
RCH bulanan ditunjukkan pada Gambar 4. Secara umum variabilitas RCH
mengikuti pola curah hujan. Nilai RCH pada tanah gambut berbeda dengan RCH
pada tanah mineral. RCH pada tanah gambut bernilai lebih kecil dibandingkan
dengan RCH tanah mineral yaitu berkisar antara -68 mm sampai 220 mm hal ini
dikarenakan terjadi evapotranspirasi yang tinggi saat water table dekat dengan
permukaan, sedangkan variasi nilai RCH tanah mineral terlihat konstan yaitu
berada pada kisaran 0-233 mm. Tinggi rendah nilai RCH akan mempengaruhi
jumlah volume defisit yang akan terjadi saat kekeringan. Semakin tinggi nilai
RCH akan berdampak pada jumlah volume defisit yang semakin sedikit untuk
dinyatakan sebagai kekeringan. Sebaliknya semakin kecil nilai RCH akan
berdampak pada volume defisit yang semakin besar ketika terjadi kekeringan.
Penurunan nilai RCH pada kedua jenis tanah secara umum terjadi pada bulan
Juni-Agustus, hal ini diakibatkan oleh curah hujan yang terjadi pada bulan-bulan
tersebut berada di bawah normal.

9

Gambar 4

Sebaran recharge (RCH) rataan bulanan tanah gambut (
mineral ( ) periode 1901-2009

) dan tanah

10

Ambang Batas Kekeringan Hidrologi
Ambang batas kekeringan yang digunakan pada penelitian ini yaitu ambang
batas bervariasi bulanan (monthly varying treshold). Nilai ambang batas akan berbeda
setiap bulan dan pada tipe tanah yang berbeda (Tabel 4). Perbedaan nilai ambang
batas kekeringan dipengaruhi oleh evapotranspirasi tanaman (hutan alam), curah
hujan, dan kemampuan tanah dalam menyimpan air (water soil retention).
Tabel 4 Nilai ambang batas kekeringan untuk dua jenis tanah yang berbeda
(mm/bulan)
Bulan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Bagian Utara
Pontianak
Sintang
Gambut Mineral Gambut Mineral
18.45
33.06 108.45 121.47
-33.29
0
84.31 96.41
-13.15
0.02
63.46
73.9
28.86
36.95 121.65 135.74
3.17
13.25 46.87 60.57
-27.27
0
11.27 23.34
-68.34
0
-44.09
0
-102.12
0
-5.82
0.17
-3.19
0
33.42
44.1
60.44
71
107.97 109.23
130.47
139
134.17 147.12
59.23
73.39 142.36 155.78

Bagian Selatan
Ketapang
Pangkalan Bun
Gambut Mineral Gambut Mineral
88.64 103.11 17.21
32.07
21.28
28.48 42.71
51.89
49.81
56.74 32.99
48.49
20.24
34.45 58.51
70.6
-35.65
0.01
4.96
20.64
-65.01
0
-21.5
0.05
-116.93
0
-81.13
0
-138.56
0
-115.27
0
-97.26
0
-95.85
0
-19.68
0
-34.13
0
52.23
62.93 21.17
10.02
118.97 124.66 70.08
73.17

Palangkaraya
Gambut Mineral
53.64
66.73
77.06
89.59
72.94
86.95
39.38
52.53
-11.21
3.37
-54.89
0
-92.7
0
-104.43
0
-58.5
0
-58.26
0
19.12
0.1
69.84
77.09

Pada tipe tanah gambut dan mineral, tanah mineral memiliki nilai ambang
batas kekeringan yang lebih besar dibandingkan dengan tanah gambut (Tabel 4).
Hal ini dikarenakan kedalaman water table pada tanah gambut tergolong dangkal.
Sehingga air di groundwater mudah terangkat ke permukaan oleh gaya capilary
rise dan berkurang secara signifikan melalui proses evapotranspirasi. Berdasarkan
Tabel 4, ambang batas untuk wilayah utara lebih besar dibanding wilayah selatan.
Hal ini dapat disebabkan oleh pola curah hujan yang berbeda untuk kedua
wilayah. Secara umum, pada Tabel 4 ambang batas pada bulan-bulan NovemberApril bernilai tinggi yang dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi. Sedangkan
untuk bulan-bulan Juni-September nilai ambang batas menunjukkan angka 0
bahkan negatif, hal ini dapat disebabkan curah hujan pada bulan-bulan tersebut di
bawah normal. Nilai 0 pada tanah mineral dan negatif pada tanah gambut
mengartikan bahwa sebagian besar nilai recharge di tiap lokasi memiliki nilai
kurang dari sama dengan nol.

11

Karakteristik Kekeringan Hidrologi
Durasi Kekeringan
Tanah Gambut
Secara umum durasi kekeringan yang terjadi di wilayah Kalimantan
bagian barat untuk tipe tanah gambut berkisar antara dua sampai lima bulan
(Tabel 5). Durasi kekeringan terpanjang terjadi pada wilayah utara yaitu
Pontianak sebesar sebelas bulan dengan frekuensi satu kali kejadian. Semakin
panjang durasi, maka peluang terjadi kekeringan semakin sedikit. Berdasarkan
hasil analisis, kekeringan dengan durasi sebelas bulan terjadi pada Maret 1940Januari 1941 yang bersamaan dengan terjadinya kekeringan meteorologi. Hal ini
diperkuat dengan hasil perhitungan bahwa pada tahun 1940 terjadi kekeringan
meteorologi selama 9 bulan. Fenomena ini menunjukkan kekeringan hidrologi
terjadi lebih parah dari kekeringan meteorologi. Begitupun pada lokasi yang lain
seperti Palangkaraya, kejadian kekeringan hidrologi dengan durasi panjang
disebabkan oleh kekeringan meteorologi pada waktu yang bersamaan. Frekuensi
kejadian kekeringan terbanyak selama 109 tahun (1901-2009) terjadi pada
wilayah bagian selatan dengan rata-rata kejadian kekeringan sebanyak 53
kejadian. Sedangkan untuk wilayah utara yang memiliki pola curah hujan bimodal
cenderung mengalami sedikit kekeringan hidrologi dibanding wilayah bagian
selatan yang memiliki pola curah hujan unimodal. Frekuensi kejadian kekeringan
rata-rata wilayah utara sebanyak 42 kejadian.
Tabel 5 Frekuensi kejadian kekeringan tanah gambut
Durasi
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Total

Bagian Utara
Pontianak
Sintang
32
25
8
8
3
2
1
1
2
1
45
38

Ketapang
33
14
5
2
1
55

Bagian Selatan
Pangkalan Bun
33
10
6
3
1
1
54

Palangkaraya
28
14
2
2
1
1
1
49

Tanah Mineral
Durasi kekeringan yang terjadi di lokasi penelitian untuk jenis tanah
mineral berkisar antara dua sampai lima bulan (Tabel 6). Durasi kejadian tanah
mineral lebih pendek dibandingkan tanah gambut. Frekuensi kejadian kekeringan
yang sering terjadi yaitu pada durasi dua bulan berurutan. Frekuensi kejadian pada
durasi lima bulan yaitu sebanyak 3 kali yang terjadi pada wilayah selatan.
Kekeringan pada durasi panjang ini terjadi disebabkan oleh kejadian kekeringan
meteorologi. Hal ini diperkuat dengan hasil perhitungan bahwa kekeringan
hidrologi dan meteorolgi pada waktu yang sama memiliki durasi kejadian
kekeringan yang sama yaitu lima bulan. Berbeda dengan wilayah selatan, untuk
wilayah utara durasi maksimum sebesar empat bulan. Frekuensi kejadian selama

12

periode analisis pada wilayah utara rata-rata sebanyak 32 kali. Sedangkan wilayah
selatan frekuensi kejadian rata-rata sebanyak 33 kali.
Tabel 6 Frekuensi kejadian kekeringan tanah mineral
Durasi
2
3
4
5
Total

Utara
Pontianak
Sintang
19
26
5
8
1
4
25
38

Ketapang
17
9
2
28

Selatan
Pangkalan Bun
31
5
4
40

Palangkaraya
24
7
1
32

Volume Defisit Recharge
Tanah Gambut
Jumlah defisit recharge dipengaruhi oleh lama durasi dan jumlah kejadian
kekeringan yang terjadi selama periode waktu yang ditentukan. Volume defisit
recharge akan bernilai semakin besar dengan durasi kejadian yang semakin lama
(Gambar 5). Hal ini dikarenakan semakin lama durasi kekeringan, maka volume
defisit akan terakumulasi.

Gambar 5 Hubungan volume defisit kekeringan dengan durasi kekeringan pada
tanah gambut periode 1901-2009
Hasil penelitian Taufik et al. (2013) menyatakan bahwa 85 persen
kekeringan pada tanah gambut memiliki volume defisit lebih dari 100 mm.
Volume defisit kekeringan maksimum yang terjadi pada tanah gambut di wilayah
Kalimantan bagian barat lebih dari 300 mm. Volume defisit kekeringan
maksimum untuk lokasi Pontianak, Sintang, Ketapang, Pangkalan Bun, dan

13

Palangkaraya berturut-turut sebesar 392 mm/bulan (Lampiran 1), 443 mm/ bulan
(Lampiran 2), 331 mm/bulan (Lampiran 3), 463 mm/bulan (Lampiran 4), dan 384
mm/bulan (Lampiran 5).
Tanah Mineral
Berbeda dengan tanah gambut, volume defisit pada tanah mineral secara
umum memiliki nilai di bawah 300 mm/bulan (Gambar 6). Defisit recharge pada
tanah mineral tidak begitu besar dibandingkan pada tanah gambut. Hal ini
disebabkan jarak antara permukaan dengan watertable pada tanah mineral
tergolong cukup jauh (deep). Pada penelitian ini, volume defisit kekeringan
maksimum tanah mineral untuk lokasi Pontianak, Sintang, Ketapang, Pangkalan
Bun, dan Palangkaraya berturut-turut sebesar 250 mm/bulan (Lampiran 6), 292
mm/ bulan (Lampiran 7), 191 mm/bulan (Lampiran 8), 187 mm/bulan (Lampiran
9), dan 156 mm/bulan (Lampiran 10).

Gambar 6 Hubungan volume defisit kekeringan dengan durasi kekeringan pada
tanah mineral periode 1901-2009
Perbandingan Kejadian Kekeringan Tanah Gambut dengan Tanah Mineral
Hasil analisis karakteristik kekeringan hidrologi menunjukkan, kekeringan
hidrologi lebih sering terjadi pada wilayah bagian selatan. Hal ini ditunjukkan
dengan jumlah frekuensi kejadian kekeringan untuk tanah gambut dan mineral
yang lebih besar pada wilayah selatan (53 dan 33) dibandingkan wilayah utara (42

14

dan 32). Kekeringan hidrologi di Kalimantan bagian barat secara umum lebih
sering terjadi pada tipe tanah gambut. Hal ini disebabkan oleh tanah gambut yang
berada di permukaan dangkal, sehingga saat pasokan air curah hujan kurang dan
evapotranspirasi meningkat maka tanah yang akan terkena dampak terlebih dahulu
adalah tanah gambut yang berada di permukaan dangkal. Sedangkan penyebab
lain tanah gambut lebih mudah mengalami kekeringan yaitu karena memiliki sifat
mengering tidak balik (reversible drying). Gambut yang sudah mengering dengan
kadar air