Kasus Infeksi Cacing Parasit Pada Rusa Totol (Axis Axis) Di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung

KASUS INFEKSI CACING PARASIT PADA RUSA TOTOL
(Axis axis) DI KAWASAN WISATA ALAM KAMPUNG BATU
MALAKASARI KABUPATEN BANDUNG

NOVITA SEPTIA LINGGA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kasus Infeksi Cacing
Parasit pada Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu
Malakasari Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015
Novita Septia Lingga
NIM B04110170

ABSTRAK
NOVITA SEPTIA LINGGA. Kasus Infeksi Cacing Parasit pada Rusa Totol (Axis
axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung.
Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA.
Rusa totol (Axis axis) termasuk kedalam satwa liar yang dilindungi di
Indonesia. Upaya pelestarian rusa totol perlu dilakukan dengan memperhatikan
kesehatan hewan tersebut. Penelitian ini dirancang untuk mempelajari prevalensi dan
derajat infeksi cacing parasitik pada rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung
Batu Malakasari Kabupaten Bandung. Sampel feses diambil dua kali dalam
setahun pada musim kemarau (19 ekor) dan musim hujan (20 ekor) untuk
pemeriksaan mikroskopik menggunakan metode McMaster dan metode filtrasi
bertingkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19 ekor rusa yang diperiksa
pada musim kemarau, sebanyak 11 ekor rusa (57.89%) menderita kecacingan
yang disebabkan oleh Toxocara vitulorum dan/atau Fasciola sp. Dua ekor rusa
(10.53%) terinfeksi T. vitulorum dalam bentuk infeksi tunggal maupun campuran

dengan Fasciola sp. Sebanyak 10 ekor rusa (52.63%) menderita fasciolosis akibat
infeksi tunggal Fasciola sp. (9 ekor) maupun campuran dengan T. vitulorum (1
ekor). Kecacingan pada musim hujan disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. yang
ditemukan pada 5 ekor rusa (25%). Rataan jumlah telur per gram tinja (TTGT)
Fasciola sp. pada musim kemarau sebanyak 0.70±0.35 dan musim hujan
1.30±1.79. Rataan jumlah telur Toxocara sp. pada musim kemarau sebanyak
350.00±70.71. Tingkat prevalensi Fasciola sp. tertinggi ditemukan pada rusa totol
betina di musim kemarau (60%) dan musim hujan (27.3%), sedangkan tingkat
prevalensi Toxocara sp. tertinggi ditemukan pada rusa totol jantan (11.1%) di
musim kemarau. Infeksi cacing pada rusa totol di Kawasan Wisata Alam
Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung termasuk dalam kategori infeksi
ringan.

Kata kunci: Axis axis, Fasciola sp., Toxocara sp., Prevalensi, Derajat Infeksi

ABSTRACT
NOVITA SEPTIA LINGGA. Helminth Infection in Spotted Deer (Axis axis) in
Kampung Batu Malakasari Natural Tourism Park Bandung Regency. Supervised
by FADJAR SATRIJA.
Spotted deer (Axis axis) belongs to the wildlife in Indonesia. Spotted deer

conservation efforts need to be done with due regard to the health of the animal.
This study was designed to study the prevalence and degree of parasitic worm
infection in the spotted deer in the area of Kampung Batu Malakasari Nature
Tourism Bandung regency. Stool samples were taken twice a year during the dry
season (19 animals) and the rainy season (20 animals) for microscopic
examination using McMaster and DBL methods. During dry season, helminthosis
was found in 11 deer (57.89%) due to Toxocara vitulorum and/or Fasciola sp.
infection. T. vitulorum infection in the form of single or mixed infection with
Fasciola sp. was found in two deer (10.53%). Ten deer (52.63%) suffered from
fasciolosis due to single (9 deer) or mixed Fasciola sp.-T. vitulorum infection (1
deer). Helminthosis in the rainy season due to Fasciola sp. infections were found
in 5-tailed deer (25%). Mean number of Fasciola sp. eggs per gram fecal sample
(EPG) in the dry season were 0.70±0.35 and 1.30±1.79 during rainy and dry
season, respectively. Mean number of Toxocara sp. eggs in the dry season was
350.00±70.71 EPG. The prevalence rate of Fasciola sp. the highest was found in
female spotted deer in the dry season (60%) and the rainy season (27.3%), while
the prevalence rate of Toxocara sp. the highest was found in male spotted deer
(11.1%) in the dry season. Helminth infections in the spotted deer is categorized
as mild infection.
Keywords: Axis axis, Fasciola sp., Toxocara sp., Prevalence, Intensity of

Infection

KASUS INFEKSI CACING PARASIT PADA RUSA TOTOL
(Axis axis) DI KAWASAN WISATA ALAM KAMPUNG BATU
MALAKASARI KABUPATEN BANDUNG

NOVITA SEPTIA LINGGA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah infeksi cacing
parasit. Judul yang dipilih untuk tema tersebut adalah Kasus Infeksi Cacing
Parasit pada Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu
Malakasari Kabupaten Bandung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Fadjar Satrija MSc PhD selaku
pembimbing skripsi, Dr Ir Etih Sudarnika MSi sebagai pembimbing akademik,
serta Dr Drh Sri Murtini Msi yang selalu memberikan motivasi. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ugun, Bapak Ilham dan Bapak
Beni dari kawasan wisata alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung
yang telah membantu selama pengumpulan data, serta Bapak Sulaiman beserta
staf laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu selama
pengamatan dan pelaksanaan di laboratorium. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Anambas dan Badan Kepegawaian
Daerah atas partisipasinya, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih
sayangnya terutama Ayah, Ibu, Dwi Hariyanto serta adik-adik yang selalu
memberikan semangat dan motivasinya. Rasa terima kasih ini juga penulis

sampaikan kepada Hasna yang membantu sejak awal pengambilan data, rekan
seperjuangan BUD Kabupaten Anambas, Nia, Delin, Atun, Jefy, Vina, Nurrul,
Umi serta teman-teman FKH 48 yang selalu siap sedia membantu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015
Novita Septia Lingga

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Klasifikasi

2


Morfologi

2

Pakan

3

Helminthosis

3

METODE

4

Waktu dan Tempat Penelitian

4


Rancangan Penelitian

5

Teknik Parasitologi

5

Data Cuaca

5

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

6


Manajemen Pemeliharaan Rusa Totol (Axis axis)

6

Kondisi curah hujan di Kawasan Wisata Alam

6

Infeksi Cacing pada Rusa Totol

7

Temuan Telur Cacing Gastrointestinal dan Cacing Hati

7

Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing pada Rusa Totol

8


Tingkat Prevalensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Pengendalian Helminthosis
SIMPULAN DAN SARAN

10
11
12

Simpulan

12

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

15

DAFTAR TABEL
1 Tingkat prevalensi dan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT)
2 Prevalensi (%) infeksi Fasciola sp. dan Toxocara sp. berdasarkan jenis
kelamin

9
10

DAFTAR GAMBAR
1 Jumlah curah hujan di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu
Malakasari Kabupaten Bandung
2 Telur cacing yang ditemukan pada rusa totol

7
7

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman hayati
termasuk satwa liarnya, salah satunya adalah rusa. Rusa merupakan salah satu
satwa liar Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sejak tahun 1931,
rusa termasuk hewan yang dilindungi Undang-Undang Perlindungan Binatang
Liar No. 134 dan 260, akan tetapi masih banyak masyarakat yang menangkap dan
memeliharanya dengan bebas. Pemerintah berusaha menghindari kepunahan rusa
ini melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistem, memasukkan rusa sebagai satwa langka yang perlu
dilindungi. Rusa termasuk dalam kategori satwa harapan sehingga mempunyai
peluang pengembangan yang intensif. Istilah satwa harapan memiliki arti sebagai
hewan yang mempunyai potensi produksi daging tinggi yang dimanfaatkan dalam
rangka diversifikasi sumber protein hewani baru. Oleh sebab itu, Kementerian
Pertanian dengan SK Menteri Pertanian No. 362/Kpts/TN Tahun 1990,
menggolongkan rusa ke dalam kelompok aneka ternak yang dapat dibudidayakan
sebagaimana ternak lainnya (Semiadi 1996).
Rusa totol (Axis axis) merupakan jenis rusa yang didatangkan dari India
untuk dipelihara di Istana Bogor oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas
Stanford Raffles sekitar tahun 1814. Perkembangbiakan rusa yang cepat
mendorong penyaluran rusa totol ini ke lokasi lain untuk menghindari terjadinya
kelebihan populasi yang sesuai dengan daya dukung hijauan yang tersedia di
halaman Istana Bogor (Garsetiasih dan Herlina 2005). Kawasan Wisata Alam
Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung merupakan salah satu penerima
rusa totol yang disalurkan dari Istana Kepresidenan Bogor.
Rusa totol seperti ruminansia lainnya, bisa terinfeksi berbagai macam
penyakit diantaranya disebabkan oleh cacing parasit seperti yang pernah
ditemukan pada rusa totol di Istana Bogor (Pribadi 1991). Kejadian infeksi cacing
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya iklim, umur inang dan manajemen
pemeliharaan hewan (Hansen dan Perry 1994). Berdasarkan pertimbangan
tersebut perlu dipelajari kejadian infeksi rusa totol di Kawasan Wisata Alam
Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung yang menjadi habitat baru dari
rusa totol.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat kejadian dan derajat
infeksi cacing parasit pada rusa totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam
Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
keragaman jenis, tingkat prevalensi dan derajat infeksi cacing pada rusa totol serta
cara perawatan kesehatan yang akan digunakan untuk upaya pengendalian
penyakit parasitik yang efektif.

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi

Taksonomi rusa totol (Axis axis) menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994)
termasuk dalam Filum Chordata, Sub filum Vertebrata, Kelas Mamalia, Ordo
Artiodactyla, Sub ordo ruminansia, famili Cervidae, sub famili Cervinae, genus
Axis, spesies Axis axis. Hewan ini memiliki nama lokal rusa totol, uncal (Sunda),
atau chital (India). Genus Axis terbagi menjadi lima spesies, yaitu Axis axis
terdapat di India dan Cylon, Axis porcinus calamianensis terdapat di pulau
Calamian bagian barat Filipina, Axis porcinus kuhli terdapat di pulau Baween,
Axis porcinus porcinus terdapat di daerah bagian utara India, dan Axis porcinus
annamiticus terdapat di daerah bagian selatan India (Grzimek 1972).

Morfologi
Rusa totol yang baru lahir mempunyai totol putih, warna dasar cokelat,
warna bulu cokelat terang, ekor berambut sikat dengan warna cokelat pada bagian
atas dari pangkal ekornya, dan leher berwarna putih (Jacoeb dan Wiryosuhanto
1994). Penampilan rusa totol (Axis axis) memiliki kepala yang pendek, memiliki
senjata di kepalanya, kaki yang panjang, tubuh yang panjang, dan memiliki ekor
yang panjang. Daerah punggung memiliki garis gelap yang membujur dari kepala
sampai dengan pangkal ekor. Daerah dada terdapat bintik-bintik yang menyerupai
garis putih, biasanya satu atau dua deretan bintik-bintik (Grzimek 1972).
Rusa mempunyai ukuran badan yang berbeda antar spesiesnya, ukuran
jantan lebih besar daripada betina. Menurut Semiadi (1998), berat jantan 70-90 kg
dengan tinggi gumba 90 cm, berat betina 40-50 kg dengan tinggi gumba 80 cm,
dan berat lahir 3.5 kg.
Anatomi rusa yang khas dan unik adalah tanduknya (antler) yang biasa
disebut ranggah. Tanduk ini merupakan alat pertahanan yang dibentuk dari
jaringan tulang, mempunyai percabangan yang diawali dari bungkul kepala, dan
tumbuh hanya pada rusa jantan. Pertumbuhan ranggah tersebut memerlukan
waktu selama empat bulan dan mencapai kesempurnaan setelah umur 15-16 bulan.
Tanduk rusa totol mencapai sempurna dengan percabangan tiga cabang (Jacoeb
dan Wiryosuhanto 1994).

3
Pakan
Rusa termasuk satwa liar yang sifat pertumbuhannya musiman, artinya
pertumbuhan meningkat pada musim hujan, sedangkan pertumbuhan cenderung
menurun pada musim kemarau dikarenakan hijauan menurun baik kualitas,
kuantitas maupun kontinuitasnya (Takandjandji 1993). Kualitas dan kuantitas
pakan rusa harus diperhatikan karena pakan merupakan faktor pembatas dan
seringkali menjadi kendala dalam penangkaran (Kwatrina et al. 2011).
Kebutuhan pakan bagi tiap jenis satwa berbeda-beda sesuai jenis, umur,
bobot badan, keadaan fisiologis dan lingkungannya. Rusa memiliki tingkat
kesukaan atau palatabilitas berbeda dari jenis-jenis hijauan. Faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi palatabilitas yaitu umur hijauan, intensitas penggembalaan,
kecepatan pemulihan (recovery), ketahanan terhadap kekeringan, makanan yang
diberikan sebelumnya dan perbedaan-perbedaan individual satwa (Aziz 1996).
Selain makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak dan air rusa
juga membutuhkan mineral. Menurut Semiadi (1998) mineral berfungsi sebagai
pembentuk tulang, gigi, rambut, kuku dan ranggah, pembentukkan jaringan lunak
dan sel darah, penyeimbang tekanan osmosis cairan tubuh, pembentukan enzim,
hormon dan bagian komponen vitamin.

Helminthosis
Helminthosis atau kecacingan merupakan salah satu penyakit yang sering
menyerang hewan ternak sehingga dapat mempengaruhi produktivitasnya.
Meskipun jarang menimbulkan kematian ternak, morbiditas kecacingan yang
tinggi menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Kerugian yang dapat
ditimbulkan akibat infeksi cacing pada ternak diantaranya adalah pertumbuhan
yang tidak optimal, penurunan berat badan, reduksi laju konversi pakan,
penurunan produksi susu, penurunan daya tahan tubuh, penurunan daya
reproduksi, penurunan mutu karkas, pengafkiran organ yang terinfeksi, hingga
mengurangi nilai estetika penampilan hewan (Winarso et al. 2015).
Infeksi cacing pada ternak disebabkan oleh tiga jenis cacing yaitu Cestoda,
Nematoda dan Trematoda. Cestoda atau cacing pita termasuk dalam filum
platyhelminthes. Cestoda memiliki bentuk pipih dorso-ventral, tidak memiliki
rongga tubuh dan umumnya hermafrodit. Cestoda yang menyerang sapi satu
diantaranya adalah Moniezia sp. Moniezia sp. ditemukan didalam usus halus sapi,
domba dan kambing (Bowman 2014).
Cacing Nematoda termasuk dalam filum nemathelminthes. Secara umum,
cacing ini memiliki ukuran yang berbeda-beda mulai dari 2 cm sampai 1 meter
dengan bentuk bulat panjang seperti benang, tidak bersegmen dan kulit dilapisi
kutikula (Natadisastra dan Agoes 2009). Cacing Nematoda yang umum ditemukan
pada ruminansia terutama sapi adalah Toxocara vitulorum. T. vitulorum
menyerang sapi dan kerbau (pedet atau kerbau yang berumur di bawah 6 bulan).
Infeksi paten Toxocara sp. umumnya terjadi pada hewan-hewan yang masih muda
dan sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Estuningsih 2005). Sapi
dewasa apabila menelan telur T. vitulorum yang infektif, larva yang menetas akan
bermigrasi ke organ tubuh dan tidak mengalami perkembangan lebih lanjut

4
(dorman). Induk betina yang terinfeksi telur T. vitulorum, larva kedua (L2) tidak
berkembang menjadi larva ketiga (L3) tetapi akan tetap tinggal di dalam jaringan
(arrested larva). Larva ketiga akan terinduksi saat betina bunting pada trimester
ke-3 umur kebuntingan. Larva yang berdiam di organ atau jaringan tubuh akan
aktif kembali dan bermigrasi ke ambing, anak sapi yang dilahirkan akan terinfeksi
melalui air susu (transmamary infection). Larva yang aktif tersebut juga
bermigrasi ke plasenta dan bisa menginfeksi fetus yang masih dalam kandungan
induknya (transplacental infection). Pedet yang terinfeksi larva T. vitulorum, larva
tersebut akan tetap tinggal di usus halus sampai berkembang menjadi cacing
dewasa (Hansen dan Perry 1994). Sapi yang terinfeksi T. vitulorum dapat
mengalami pneumonia akibat adanya migrasi larva ke paru-paru, serta toksemia
apabila infeksinya berat (Estuningsih 2005).
Cacing Trematoda termasuk dalam filum platyhelminthes. Cacing ini
memiliki bentuk pipih, tidak memiliki rongga tubuh, tidak bersegmen. Cacing
Trematoda yang sering menginfeksi sapi satu diantaranya adalah Fasciola sp.
Kelangsungan hidup serta penyebaran Fasciola sp. tergantung pada kehadiran
siput (Lymnea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Sapi dapat terinfeksi
cacing hati apabila meminum air atau memakan rumput yang tercemar
metaserkaria (Corwin dan Randle 1993). Metaserkaria merupakan bentuk infektif
dari Fasciola sp. Telur cacing diproduksi oleh cacing dewasa dan dikeluarkan
bersama feses. Telur yang menetas mengeluarkan mirasidium pada kondisi
lingkungan yang cocok. Mirasidium akan bergerak menembus tubuh siput,
kemudian berkembang menjadi sporokista dalam waktu 24 jam. Sporokista akan
berkembang menjadi redia dalam waktu 8 hari. Redia menjadi serkaria yang
memiliki ekor untuk bergerak, kemudian keluar dari tubuh siput dan menempel
pada tumbuhan yang terendam air, seperti padi dan rumput. Serkaria melepaskan
ekor dan membentuk kista yang disebut metaserkaria. Saat metaserkaria yang
termakan oleh sapi mencapai usus, metaserkaria tersebut akan keluar dari kista
dan menembus dinding usus menuju ke hati. Metaserkaria akan tumbuh menjadi
dewasa dan memproduksi telur dalam waktu 16 minggu. Sapi yang mengalami
fasciolosis akut akan mengalami konstipasi, diare, lemah dan anemia, sedangkan
sapi yang mengalami fasciolosis kronis akan mengalami penurunan produktivitas.
Sapi yang terinfeksi Fasciola sp. juga mengalami udema di sekitar rahang bawah
(bottle jaw) (Martindah et al. 2005).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari September 2014 hingga April 2015.
Pengambilan sampel feses dan data sekunder dilakukan di Kawasan Wisata Alam
Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung. Pengamatan dan identifikasi
terhadap jenis telur cacing dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

5
Rancangan Penelitian
Pengambilan sampel feses dari semua rusa yang ada di Kawasan Wisata
Alam dilakukan dua kali yaitu pada bulan September 2014 (musim kemarau) dan
April 2015 (musim hujan). Pada musim kemarau sampel feses yang diambil
sebanyak 19 ekor terdiri atas 10 ekor betina dan 9 ekor jantan. Musim hujan
sampel yang diambil sebanyak 20 ekor terdiri atas 11 ekor betina dan 9 ekor
jantan. Sampel feses dianalisis laboratorik secara kuantitatif untuk
mengidentifikasi jenis telur serta menghitung persentase dan derajat infeksi cacing.
Semua rusa totol diobati dengan Albendazol per oral pada bulan November 2014.

Teknik Parasitologi
Pengambilan Sampel
Feses dikoleksi dengan mengenakan sarung tangan dan menggunakan
sendok plastik, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik. Plastik diberi
keterangan berupa nomor identifikasi dan tanggal, kemudian langsung
dimasukkan kedalam coolbox.
Metode McMaster (Permin dan Hansen 1998)
Pemeriksaan kuantitatif dilakukan untuk mengetahui jumlah telur Nematoda
dan Cestoda tiap gram tinja serta menghitung derajat infeksi cacing pada rusa
totol. Sampel feses ditimbang sebanyak dua gram, kemudian dicampurkan dengan
58 ml larutan gula-garam ke dalam gelas plastik, lalu diaduk hingga homogen.
Campuran disaring menggunakan saringan 30 mesh sebanyak tiga kali, kemudian
dihomogenkan kembali. Larutan yang telah dihomogenkan diambil dengan pipet
lalu dimasukkan ke dalam kedua sisi kamar hitung McMaster hingga penuh dan
ditunggu selama 5 menit. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan di bawah
mikroskop untuk mengidentifikasi dan menghitung jumlah telur cacing. Telur tiap
gram tinja (TTGT) diperoleh dengan mengalikan jumlah tiap tipe telur yang
ditemukan dengan 100.
Metode Filtrasi Bertingkat/DBL (Willingham et al. 1998)
Metode ini dilakukan untuk mengisolasi dan menghitung jumlah telur
Trematoda (TTGT). Sampel feses ditimbang sebanyak dua gram, kemudian
dicampurkan dengan 50 ml aquades ke dalam gelas dan diaduk hingga homogen.
Larutan tersebut disaring menggunakan saringan 30 mesh. Setelah itu, sampel
disaring menggunakan filter dengan ukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm. Filtrat
hasil penyaringan diperiksa di bawah mikroskop setelah ditetesi dengan larutan
methylene blue untuk membedakan telur Fasciola sp. dan Paramphistomum sp.

Data Cuaca
Data cuaca merupakan data sekunder yang didapatkan dari Badan
Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. Data tersebut
merupakan hasil pemantauan curah hujan bulanan selama tahun 2014 dan curah

6
hujan April-Juni 2015 dari Stasiun Klimatologi Cemara/Sukajadi-Bandung yang
merupakan stasiun terdekat dari lokasi penelitian.

Analisis Data
Prevalensi infeksi dari setiap parasit dihitung pada setiap waktu
pengambilan sampel. Derajat infeksi dihitung dengan melihat rataan TTGT dari
setiap jenis parasit. Analisis data dilakukan dengan uji Duncan menggunakan
software SPSS 18.0 untuk mengetahui perbedaan tingkat prevalensi fasciolosis
dan toxocariasis berdasarkan jenis kelamin.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Manajemen Pemeliharaan Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam
Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung
Pemeliharaan rusa totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu
Malakasari Kabupaten Bandung menggunakan sistem kandang umbaran, yaitu
rusa dipelihara di dalam kandang yang luas sehingga dapat bergerak bebas. Luas
areal secara keseluruhan yaitu 63 m x 29 m. Rusa totol dipelihara secara intensif
(dikandangkan terus menerus). Pemeliharaan secara intensif dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya infeksi cacing karena pakan diberikan secara teratur di
dalam kandang. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari, pakan yang
diberikan berupa rumput dan ubi jalar. Rumput diberikan pada pagi dan sore hari,
sedangkan ubi jalar diberikan pada siang hari. Sumber rumput diperoleh dari tiga
tempat yaitu, kebun di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari, kebun
sekitar pabrik Ranca Bungur, dan lapangan bola.

Kondisi Curah Hujan di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu
Malakasari Kabupaten Bandung
Jumlah curah hujan di Kawasan Wisata Alam tahun 2014-2015 disajikan
pada Gambar 1. Data BMKG (2014) menunjukkan curah hujan pada bulan
September 2014 sebesar 0.6 mm dan bulan April 2015 sebesar 225 mm (Gambar
1). Musim kemarau ditandai dengan rendahnya jumlah curah hujan yaitu dibawah
100 mm (BMKG 2014). Dengan demikian pada bulan September 2014
merupakan musim kemarau, sedangkan bulan April 2015 termasuk musim hujan.
Berdasarkan data curah hujan maka pengambilan sampel dilakukan sesuai dengan
kedua musim yang ada.

7
Gambar 1 Jumlah curah hujan di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu
Malakasari Kabupaten Bandung
450

Curah Hujan (mm)

400
350
300
250
200

2014

150

2015

100
50
0

(BMKG 2014)

Infeksi Cacing pada Rusa Totol
Temuan Telur Cacing Gastrointestinal dan Cacing Hati
Hasil identifikasi telur cacing yang ditemukan dalam sampel feses
menunjukkan rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari
Kabupaten Bandung terinfeksi cacing Nematoda dari genus Toxocara serta
Trematoda dari genus Fasciola. Telur dari genus Toxocara hanya ditemukan pada
rusa totol di musim kemarau, sedangkan telur dari genus Fasciola ditemukan pada
rusa totol di musim kemarau maupun musim hujan. Jenis-jenis telur cacing yang
ditemukan dari hasil pengamatan disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Telur cacing yang ditemukan pada rusa totol
Genus

Gambar (Pengamatan)
(Perbesaran: 40x10)

Gambar (Literatur)

Toxocara sp.

(Tavassoli et al. 2008)
Fasciola sp.

(Purwanta et al. 2009)

8
Toxocara sp. merupakan jenis cacing yang umum menginfeksi hewan.
Spesies yang menyerang sapi dan kerbau (pedet atau kerbau yang berumur di
bawah 6 bulan) adalah Toxocara vitulorum. Telur cacing ini berbentuk bulat,
berwarna cokelat, berdinding cukup tebal dan memiliki ukuran telur sekitar 75-95
x 60-75 µm (Tavassoli et al. 2008). Jenis telur yang ditemukan pada pengamatan
memiliki tipe yang sama dengan genus Toxocara, terlihat memiliki dinding sel
yang cukup tebal berbentuk bulat dan berwarna cokelat.
Telur dari genus Fasciola berwarna emas, memiliki operkulum pada salah
satu kutubnya (Purwanta et al. 2009). Fasciola sp. merupakan jenis parasit yang
paling banyak menyerang ruminansia terutama sapi Bali. Jenis Fasciola yang
menyerang sapi, kerbau, domba, kambing, dan ruminansia lainnya adalah
Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica (Guntoro 2002).
Pemeriksaan sampel feses dari rusa totol di halaman Istana Kepresidenan
Bogor pernah dilakukan oleh Pribadi (1991). Jenis telur cacing yang ditemukan
dalam penelitian tersebut adalah Haemonchus sp., Cooperia sp., Strongylus sp.
dan Gongylonema sp. (Nematoda), Moniezia sp. (Cestoda), serta Fasciola sp.
(Trematoda).
Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing pada Rusa Totol
Hasil pemeriksaan feses menunjukkan rusa totol di kawasan wisata alam
Kampung Batu Malakasari terinfeksi cacing Nematoda dan Trematoda. Jenis
cacing Nematoda yang ditemukan adalah Toxocara vitulorum, dan jenis cacing
Trematoda yang ditemukan adalah Fasciola sp. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dari 19 ekor rusa yang diperiksa pada musim kemarau, sebanyak 11 ekor
rusa (57.89%) menderita kecacingan yang disebabkan oleh Toxocara vitulorum
dan/atau Fasciola sp. Dua ekor rusa (10.53%) terinfeksi T.vitulorum dalam bentuk
infeksi tunggal maupun campuran dengan Fasciola sp. Sebanyak 10 ekor rusa
(52.63%) menderita fasciolosis akibat infeksi tunggal Fasciola sp. (9 ekor)
maupun campuran dengan T. vitulorum (1 ekor). Dari sebanyak 20 sampel feses
musim hujan ditemukan telur Fasciola sp. pada 5 sampel (25%) (Tabel 1).
Prevalensi infeksi Fasciola sp. pada musim kemarau lebih tinggi
dibandingkan pada musim hujan. Hal ini dimungkinkan karena pemberian
anthelmintik yang diberikan sebelum pengambilan sampel pada musim hujan.
Sayuti (2007) melaporkan bahwa persentase kasus positif cenderung lebih tinggi
pada musim hujan, meskipun perbedaannya tidak signifikan antara infeksi
fasciolosis pada musim hujan dan musim kemarau.
Kelangsungan hidup serta penyebaran Fasciola sp. tergantung pada
kehadiran siput (Lymnea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Siput Lymnea
rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan kekeringan dan akan mati
apabila tidak menemukan tempat yang berair (Kusumamiharja 1992). Tingkat
prevalensi penyebaran cacing hati (Fasciola sp.) pada ternak masih menunjukkan
angka yang tinggi, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Prevalensi pada ruminansia diperkirakan berkisar hingga 90% di beberapa Negara,
misalnya Indonesia mencapai 80-90%, Kamboja 85.2%, Wales 86%, Tunisia
68.4% dan Vietnam 30-90% (Nguyen 2012).
Infeksi Toxocara sp. pada rusa hanya terjadi pada musim kemarau dengan
prevalensi sebesar 10.53%. Hal ini berkaitan dengan anthelmintik yang diberikan

9
pada rusa. Anthelmintik mampu mengurangi kejadian penyakit pada rusa di
musim hujan.
Jenis cacing yang umum ditemukan pada ruminansia terutama sapi adalah
Toxocara vitulorum. Infeksi paten Toxocara sp. umumnya terjadi pada hewanhewan yang masih muda dan sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa
(Estuningsih 2005). Pedet dapat terinfeksi T. vitulorum apabila menelan larva dari
air susu yang terinfeksi bukan menelan telur T. vitulorum dari lingkungan, dan
melalui infeksi prenatal (transplacental infection) (Mia et al. 1975). Toxocarosis
pada sapi dilaporkan di Indonesia dengan prevalensi berkisar 21.33%-36.4%
(Agustina et al. 2013).
Tabel 1 Tingkat prevalensi dan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT)
Musim

Jenis Cacing

Kemarau

Fasciola sp.
Toxocara sp.
Fasciola sp.
Toxocara sp.

Hujan

Jumlah
Sampel
19
20

Jumlah Rusa
Terinfeksi
10
2
5
0

Prevalensi
(%)
52.63
10.53
25
0

TTGT
0.70±0.35
350.00±70.71
1.30±1.79
0

Hasil pemeriksaan feses menunjukkan rusa totol pada musim kemarau dan
hujan terinfeksi cacing Trematoda dengan kategori infeksi ringan, dengan jumlah
TTGT Fasciola sp. musim kemarau 0.70±0.35 dan musim hujan 1.30±1.79 (Tabel
1). Menurut Thienpont et al. (1995), berdasarkan keterangan standar infeksi maka
derajat infeksi dapat dibedakan yaitu infeksi ringan jika jumlah telur 1-499 butir
per gram tinja, infeksi sedang ditunjukkan jika jumlah telur 500-5000 butir per
gram tinja, dan infeksi berat ditunjukkan juka telur yang dihasilkan >5000 butir
per gram tinja. Pada musim hujan, jumlah rusa yang terinfeksi menurun, tetapi
pada pemeriksaan feses ada rusa yang jumlah telur cacingnya meningkat sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah TTGT.
Rusa totol juga terinfeksi cacing Nematoda pada musim kemarau dengan
kategori infeksi ringan, dengan rataan jumlah TTGT Toxocara sp. 350.00±70.71
(Tabel 1). Menurut Akhtar et al. (1982) infeksi Toxocara sp. digolongkan menjadi
3 yaitu infeksi ringan jika jumlah TTGT 10000. Menurut Tantri et al.
(2013), kisaran infeksi ringan atau rendah umumnya tidak mengganggu kesehatan
namun mempengaruhi produktivitas ternak.
Infeksi Fasciola sp. pada rusa berkaitan dengan rumput maupun air minum
yang tercemar oleh metaserkaria dan keberadaan inang antara yaitu siput Lymnea
rubiginosa. Infeksi Toxocara sp. berkaitan dengan pemeliharaan secara intensif,
terutama pemberian pakan. Pakan yang diberikan pada rusa totol di Kawasan
Wisata Alam Kampung Batu Malakasari umumnya berupa rumput. Pemberian
rumput pada rusa totol berisiko menimbulkan infeksi Fasciola sp. maupun
Toxocara sp.
Infeksi Fasciola sp. dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, peradangan
hati dan empedu, obstipasi, serta gangguan pertumbuhan. Tingkat infeksi
fasciolosis bergantung pada jumlah metaserkaria yang tertelan dan infektivitasnya
(Guntoro 2002). Infeksi Toxocara sp. menyebabkan diare, kehilangan nafsu
makan, kurus, dan anemia. Sapi yang terinfeksi Toxocara vitulorum dapat
mengalami pneumonia akibat adanya migrasi larva ke paru-paru, selain itu sapi

10
juga mengalami kerusakan hati dan paru-paru, serta toksemia apabila infeksinya
berat (Estuningsih 2005).
Kondisi fisik rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari
Kabupaten Bandung cukup baik ditandai dengan tingkah laku yang aktif dan
selalu waspada, sesuai dengan sifat alami rusa totol. Salah satu gejala klinis dari
infeksi cacing adalah kekurusan. Kondisi tubuh rusa totol yang memiliki derajat
infeksi ringan tidak berbeda jauh dengan rusa totol yang tidak terinfeksi cacing.
Oleh karena itu, infeksi cacing di Kawasan Wisata Alam ini tidak menunjukkan
gejala klinis yang signifikan. Gejala klinis dapat timbul tergantung pada beberapa
faktor, salah satunya adalah status gizi hewan. Status gizi yang baik akan
menyebabkan gejala klinis yang disebabkan oleh helminthosis tidak terlihat.
Selain itu, konsistensi feses pada seluruh rusa totol juga tidak menunjukkan gejala
diare.
Tingkat Prevalensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan infeksi Fasciola sp. tertinggi ditemukan pada
rusa totol betina di musim kemarau maupun di musim hujan, sedangkan infeksi
Toxocara sp. tertinggi ditemukan pada rusa totol jantan dibandingkan betina pada
musim kemarau (Tabel 2). Secara statistik, tingkat prevalensi antara rusa totol
betina dan jantan tidak berbeda nyata.
Tabel 2 Prevalensi (%) infeksi Fasciola sp. dan Toxocara sp. berdasarkan jenis
kelamin
Fasciola sp.
Prevalensi (%)
Positif
(positif/n)
Kemarau
Betina
6
60.0 (6/10)
Jantan
4
44.4 (4/9)
Hujan
Betina
3
27.3 (3/11)
Jantan
2
22.2 (2/9)
Keterangan: n = total sampel
Musim

Jenis
Kelamin

Toxocara sp.
Prevalensi (%)
Positif
(positif/n)
1
10.0 (1/10)
1
11.1 (1/9)
0
0.0 (0/11)
0
0.0 (0/9)

Nilai-p
0.100
0.110
0.090
0.110

Perbedaan tingkat prevalensi ini dapat disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya pakan, kondisi individu dan lingkungan. Menurut Suweta (1982), sapi
jantan memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap infeksi cacing hati dibandingkan
sapi betina, hal tersebut berkaitan dengan hormon estrogen. Menurut Dobson
(1966) yang diacu oleh Suweta (1982), hormon estrogen pada ternak betina
memiliki sifat pemacu sel-sel Reticulo Endotelial System (RES) dalam
membentuk antibodi terhadap parasit. Akibatnya ternak betina relatif lebih tahan
terhadap berbagai jenis penyakit.
Menurut Winarso et al. (2015) jenis kelamin merupakan salah satu faktor
risiko yang mempengaruhi kejadian infeksi Toxocara vitulorum. Avcioglu dan
Balkaya (2011) juga menemukan bahwa kejadian infeksi T. vitulorum pada sapi
jantan cenderung lebih tinggi daripada betina sebagaimana penelitian-penelitian
lainnya, meskipun tidak berbeda nyata secara statistik.

11
Pengendalian Helminthosis
Pengendalian kecacingan pada hewan lebih efektif dengan melakukan
manajemen pemeliharaan yang baik dan pemberian anthelmintik yang cocok.
Tindakan pengendalian bertujuan untuk menekan derajat infeksi sehingga tidak
menimbulkan kerugian. Higiene kandang merupakan salah satu tindakan yang
dapat dilakukan untuk memberantas agen infektif yang terdapat di kandang dan
lingkuangan sekitarnya. Telur Toxocara sp. yang dikeluarkan bersama feses pedet
merupakan sumber kontaminan di lingkungan kandang. Hewan dewasa akan
terinfeksi apabila menelan telur yang telah berkembang menjadi telur infektif.
Oleh karena itu, harus dihindarkan terjadinya penumpukan feses di lantai kandang.
Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara memperbaiki nutrisi
hewan. Kualitas pakan yang baik secara tidak langsung dapat meningkatkan
kekebalan inang terhadap infeksi. Menurut Purwanta et al. (2009), nutrisi
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi
cacing. Selain itu, harus dihindarkan sumber pakan atau hijauan yang berasal dari
daerah yang menjadi habitat siput Lymnea. Konsumsi hijauan yang lembab dan
tercemar metaserkaria atau telur infektif merupakan salah satu penyebab
terjadinya infeksi larva cacing saluran pencernaan dan cacing hati.
Prinsip pengendalian fasciolosis pada ternak ruminansia adalah memutus
daur hidup cacing. Secara umum, strategi pengendalian fasciolosis didasarkan
pada musim (penghujan dan kemarau). Pada musim penghujan, populasi siput
mencapai puncaknya dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi
(Martindah et al. 2005). Pengendalian untuk menekan tingkat kejadian
toxocariasis yaitu dengan melakukan manajemen pemeliharaan yang baik salah
satunya menjaga higiene kandang. Menurut Estuningsih (2005), kebersihan
kandang merupakan faktor yang sangat penting, terutama feses dari anak sapi
yang mengandung telur Toxocara sp. harus segera ditangani atau dibersihkan
sebelum telur menjadi infektif agar induknya tidak tertular.
Tindakan pengobatan dilakukan dengan memberikan obat cacing
(anthelmintik) pada rusa totol. Selain itu, sebaiknya dilakukan pemeriksaan telur
cacing pada feses untuk mengetahui jenis cacing yang menginfeksi. Tindakan ini
juga berguna untuk memberikan obat cacing yang tepat pada rusa totol.
Pemberian anthelmintik dapat mengurangi derajat infeksi dan menekan jumlah
kontaminasi di kandang yang berhubungan dengan kepadatan inang. Anthelmintik
yang digunakan pada rusa totol adalah Albendazole cair dengan dosis 10 mg/kg
bb yang diberikan secara oral. Albendazole merupakan anthelmintik berspektrum
luas, efektif menyerang cacing saluran pencernaan, cacing hati, cacing tambang
dan beberapa cacing gilig (Alexander 1985). Menurut Satrija et al. (2011),
pemberian piperazin pada infeksi T. vitulorum bisa dilakukan pada pedet yang
berumur antara 10-21 hari. Rekomendasi dari Estuningsih (2005), salah satu jenis
anthelmintik yang dapat digunakan untuk membunuh larva T. vitulorum adalah
Levamisol. Levamisol bisa membunuh larva T. vitulorum pada anak sapi 7 hari
setelah infeksi (Hossain et al. 1980). Menurut DitjenPKH (2012), pengobatan
fasciolosis menggunakan Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg sangat efektif dengan
daya bunuh 100% pada infeksi setelah 6 minggu. Namun pengobatan ini perlu
diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama.

12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten
Bandung terinfeksi cacing Nematoda dan Trematoda. Jenis cacing yang
menginfeksi adalah Toxocara sp. dan Fasciola sp. Tingkat prevalensi pada musim
kemarau sebesar 57.89% terdiri atas Fasciola sp. 52.63% dan Toxocara sp.
10.53%, serta prevalensi Fasciola sp. pada musim hujan sebesar 25%. Terdapat
perbedaan tingkat prevalensi antara rusa totol betina dan jantan. Derajat infeksi
cacing pada musim kemarau dan hujan termasuk dalam kategori infeksi ringan.

Saran
Manajemen pemeliharaan meliputi pemberian pakan dan kebersihan
kandang harus diperhatikan untuk mengurangi kejadian kecacingan pada rusa
totol. Perlu dilakukan pemeriksaan feses untuk mengontrol kesehatan ternak
terhadap infeksi parasit dan berguna untuk menentukan obat cacing yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2014. Jumlah curah
hujan di Bandung. Bogor (ID): Stasiun Klimatologi Darmaga.
[DitjenPKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012.
Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Subdit Pengamatan Penyakit Hewan,
Direktorat Kesehatan Hewan.
Agustina KK, Dharmayudha AAGO, Wirata IW. 2013. Prevalensi Toxocara
vitulorum pada induk dan anak sapi bali di wilayah Bali Timur. Buletin
Veteriner Udayana. 5(1):1-6.
Akhtar MS, Chattha MI, Chaudhry AH. 1982. Comparative efficacy of santonin
and piperazine against Neoascaris vitulorum in buffalo calves. J Vet
Phamacol and Therapeutics. 5:71-76.
Alexander F. 1985. An Introduction to Veterinary Pharmacology 4 ndedition.
London (UK): Longman.
Avcioglu H, Balkaya I. 2011. Prevalence of Toxocara vitulorum in Calves in
Erzuum, Turkey. Kafkas Universitesi Veteriner Fakultesi Dergisi.
17(3):345-347.
Aziz A. 1996. Analisis potensi hijauan pakan rusa di penangkaran rusa jonggol
BKPH Jonggol KPH Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bowman DD. 2014. Georgis’ Parasitology for Veterinerians. 10th edition. St.
Louis (US): Elsevier.

13
Corwin RM, Randle RF. 1993. Common Internal Parasites of Cattle. Columbia
(US): University of Missouri.
Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia.
Wartazoa. 15(3):136-142.
Garsetiasih R, Herlina N. 2005. Evaluasi plasma nutfah rusa totol (Axis axis) di
halaman Istana Bogor. Buletin Plasma Nutfah. 11(1):1-7.
Grzimek B. 1972. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia, Volume 13: Mammals IV.
New York (US): Van Nostrand Reinhold Company.
Guntoro S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Hansen J, Perry B. 1994. The Epidemiology, Diagnosis and Control of Helminth
Parasites of Ruminants. Nairobi (KE): The International Laboratory for
Research on Animal Diseases.
Hossain MI, Dewan ML, Baki MA. 1980. Preliminary studies on the efficacy of
tetramisole hydrochloride (ICI) against transmammary migration of
Toxocara (Neoascaris) vitulorum larvae in buffalo cows. Bangladesh
Journal of Agricultural Sciences. 7(1):25-28.
Jacoeb TN, Wiryosuhanto SD. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa. Jakarta
(ID): Penerbit Kanisius.
Kusumamiharja S. 1992. Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan
piaraan di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Bioteknologi,
Institut Pertanian Bogor.
Kwatrina RT, Takandjandji M, Bismark M. 2011. Ketersediaan tumbuhan pakan
dan daya dukung habitat rusa timorensis di Hutan Penelitian Dramaga.
Buletin Plasma Nutfah. 17(2):129-137.
Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan
kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai
penyakit infeksius. Wartazoa. 15(3):143-154.
Mia S, Dewan ML, Uddin M, Cowdhury MUA. 1975. The route of infection of
buffalo calves by Toxocara (Neoascaris) vitulorum. Trop Anim Health
Prod. 7:153-156.
Natadisastra D, Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari organ
tubuh yang diserang. Jakarta (ID): Penerbit buku kedokteran ECG.
Nguyen TGT. 2012. Zoonotic fasciolosis in Vietnam: molecular identification and
geographical distribution [disertasi]. Belgia: Universitas Gent.
Permin A, Hansen JW. 1998. Epidemology, Diagnosis, and Control Poultry
Parasites. FAO Animal Health Manual. Rome (IT): FAO United Nation.
Pribadi BA. 1991. Inventarisasi telur cacing yang ditemukan pada rusa totol (Axis
axis) di halaman Istana Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi cacing saluran
pencernaan (gastrointestinal) pada sapi bali melalui pemeriksaan tinja di
Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1):10-21.
Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB. 2011. Efficacy of piperazine dihydrochlloride
against Toxocara Vitulorum in buffalo calves. Jurnal Veteriner. 12(2):77
82.

14
Sayuti L. 2007. Kejadian infeksi cacing hati (Fasciola sp.) pada sapi bali di
Kabupaten Karangasem Bali [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Semiadi G. 1996. Tata laksana pemeliharaan rusa timorensis (Cervus timorensis)
oleh masyarakat di Pulau Timor. Proseding Seminar Nasional Peternakan
dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Departemen Pertanian. Bogor (ID). pp. 825-829.
Semiadi G. 1998. Budidaya Rusa Tropika sebagai Hewan Ternak. Masyarakat
Zoonosis Indonesia. Jakarta (ID): Armas Duta Jaya.
Suweta IGP. 1982. Kerugian ekonomi oleh cacing hati pada sapi bali sebagai
implikasi interaksi dalam lingkungan hidup pada ekosistem pertanian di
Bali [disertasi]. Bandung (ID): Universitas Padjajaran.
Takandjandji M. 1993. Penangkaran rusa timor (Cervus timorensis) di Oilsonbai
dan permasalahannya. Proseding Diskusi Hasil-hasil Penelitian BPK
Kupang. Kupang (ID). pp. 97-107.
Tantri N, Tri RS, Siti K. 2013. Prevalensi dan intensitas cacing parasit pada feses
sapi (Bos sp.) rumah potong hewan (RPH) Kota Pontianak, Kalimantan
Barat. Protobiont. 2(2):102-106.
Tavassoli M, Hadian M, Charesaz S, Javadi S. 2008. Toxocara spp. Eggs in
public parks in Urmia City, West Azerbaijan Province Iran. Iranian
Journal of Parasitology. 3(3):24-29.
Thienpont, Rochette F, Vanparijs OFJ. 1995. Diagnosting Helminthiasis Through
Coprological Examination. Belgium: Jannsen Pharmaeutica.
Willingham AL, Johansen MV, Barnes EH. 1998. A new technique for counting
Schistosoma japonicum egg in pig feces. SE Asian J Trop Med Pub Health.
29(1):128-130.
Winarso A, Satrija F, Ridwan Y. 2015. Faktor risiko dan prevalensi infeksi
Toxocara vitulorum pada sapi potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten
Bojonegoro. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 20(2):85-90.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Daik Lingga pada tanggal 12 Oktober 1993 dari ayah
Awaluddin dan ibu Nauyah sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun
2008, penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Siantan, Kepulauan
Riau. Penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Siantan pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah dengan pilihan program studi
Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa,
penulis menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia. Tugas akhir
dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul
“Kasus Infeksi Cacing Parasit pada Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata
Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung”.