Kultur Biji Amorphophallus decus-silvae pada Beberapa Kombinasi Sitokinin dan Auksin secara in vitro

KULTUR BIJI Amorphophallus decus-silvae PADA BEBERAPA
KOMBINASI SITOKININ DAN AUKSIN SECARA IN VITRO

INDRA WIRIANTO

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
KULTUR BIJI Amorphophallus decus-silvae PADA BEBERAPA
KOMBINASI SITOKININ DAN AUKSIN SECARA IN VITRO
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kultur Biji
Amorphophallus decus-silvae pada Beberapa Kombinasi Sitokinin dan Auksin
Secara In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014

Indra Wirianto
NIM A24090030

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari komposisi zat pengatur tumbuh
yang sesuai untuk kultur biji dan pertumbuhan tunas mikro Amorphophallus
decus-silvae. Rancangan yang digunakan adalah RAL satu faktor dengan 9 taraf
komposisi media dengan 0.5 MS + B5 sebagai dasar. Setiap perlakuan terdiri dari
20 ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 1 botol kultur yang ditanami satu
eksplan, sehingga terdapat total 180 satuan amatan. Eksplan yang digunakan
yakni biji Amorphophallus decus-silvae berumur 3-4 minggu setelah antesis.
Sterilisasi biji dengan perendaman dalam larutan antiseptik selama 1 menit,
dilanjutkan dengan larutan pemutih 15% selama 15 menit menghasilkan 81.67%
eksplan steril. Persentase eksplan biji yang berkecambah mencapai 94.1% pada
media 2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA. Media terbaik pada kultur biji

Amorphophallus decus-silvae yakni 2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA menghasilkan
rata-rata tunas 10.3 (pada eksplan bagian atas) dan 7.3 (pada eksplan bagian
bawah) pada 18 minggu setelah tanam. Pada minggu ke 28 total tunas mikro yang
dihasilkan dari media 2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA sebanyak 30.4 tunas. Tinggi
tunas tertinggi 5.4 cm diperoleh pada media 3 ppm GA3 yang berasal dari tunas
mikro yang ditanam pada perlakuan tanpa ZPT.
Sejumlah planlet
Amorphophallus decus-silvae (20 planlet) yang dihasilkan, berhasil hidup setelah
aklimatisasi selama 2 minggu setelah tanam.
Kata kunci: Amorphophallus decus-silvae, glukomanan, organogenesis, planlet,
tunas mikro

ABSTRACT
Amorphophallus decus-silvae is focused in this research study specifically
in plant growth regulator for seed germination and shoot production. The statistic
model used was completely randomized design one factor with 9 medium
composition with 0.5 MS basal medium + B5. Each medium had 20 bottle culture
and totally 180 explants culture. The explants used were 3-4 week after
pollination. In Amorphophallus decus-silvae seed tissue culture, 81.67 %
sterilization success by using a method of seed immersion for 1 minute in

antiseptic liquid and 15 minute in bleach 15 %. Medium 2 ppm BAP + 0.1 ppm
IBA resulted in 94.1% explants germination. After 18 weeks planted in medium 2
ppm BAP + 0.1ppm IBA, the seed culture of Amophophallus decus-silvae
produced 10.3 (top explants) and 7.3 (bottom explants) shoot. After 28 week, the
total number of micro shoot are 30.4 in medium 2 ppm BAP + 0.1 ppm. Explants
from 0.5 MS0 without growth regulator had 5.4 cm height after 28 week in 3
ppm GA3 medium. In acclimatization all plant (20 plantlet) could survived for 2
week observation.
Keywords: Amorphophallus decus-silvae, glukomanan, organogenesis, micro
shoot, planlet

2

KULTUR BIJI Amorphophallus decus-silvae PADA
BEBERAPA KOMBINASI SITOKININ DAN AUKSIN
SECARA IN VITRO

INDRA WIRIANTO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Kultur Biji Amorphophallus decus-silvae pada Beberapa
Kombinasi Sitokinin dan Auksin secara in vitro
Nama
: Indra Wirianto
NIM
: A24090030

Disetujui oleh


Dr Ir Diny Dinarti, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Kultur Biji Amorphophallus decus-silvae pada Beberapa
Kombinasi Sitokinin dan Auksin secara in vitro
: Indra Wirianto
Nama
: A24090030
NIM

Disetujui oleh

Dr Ir Diny Dinarti, MSi

Pembimbing

i

Tanggal Lulus:

J

_

a

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah organogenesis,
dengan judul Kultur Biji Amorphophallus decus-silvae pada beberapa kombinasi
auksin dan sitokinin secara in vitro.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Diny Dinarti MSi sebagai dosen
pembimbing, Prof Dr Ir Sandra A. Aziz, MS dan Dr Maya Melati, MSc sebagai

dosen penguji yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Greek Hambali, Kusnadi, Kurnia Ungkul,
Cyrille Clude yang telah membantu selama pelaksanaan dan kelangsungan
penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

Indra Wirianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

Hipotesis

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

METODE

5

Lokasi dan Waktu Penelitian

5


Bahan Penelitian

5

Peralatan Penelitian

5

Perosedur Percobaan

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Keadaan Umum Kultur

8


Perkecambahan Biji Amorphophallus decus-silvae

8

Tunas Mikro Amorphophallus decus-silvae

9

Subkultur

11

Subkultur tunas mikro ke media dengan GA3

13

Aklimatisasi

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

17
17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Komposisi media perlakuan Amorphophallus decus-silvae
Tabel 2 Persentase perkecambahan eksplan biji Amorphophallus decussilvae
Tabel 3 Jumlah tunas mikro Amorpophallus decus-silvae 2-7 MST
Tabel 4 Jumlah tunas pada kultur biji Amorphophallus decus-silvae 10-18
MST.
Tabel 5 Pertumbuhan jumlah tunas mikro Amorphophallus decus-silvae
pada 20-28 MST pada media 3 ppm GA3
Tabel 6 Pertumbuhan jumlah akar eksplan bagian bawah Amorphophallus
decus silvae pada media 3 ppm GA3
Tabel 7 Pertumbuhan tinggi tunas eksplan bagian atas Amorphophallus
decus-silvae pada media 3 ppm GA3 20-28 MST
Tabel 8 Persentase plantlet Amorphophallus decus-silvae pada 28 MST
pada media 3 ppm GA3

7
9
10
11
13
14
15
16

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Fase vegetatif (kiri) dan generatif (kanan), serta bagian dalam dari
bunga Amorphophallus (Mayo 1997)
3
Gambar 2 Fase generatif Amorphophallus decus-silvae, a. bunga utuh, b. spathe
dan spadix, c. bagian dalam spadix setelah spathe dibuang
4
Gambar 3 Buah Amorphophallus decus-silvae yang digunakan sebagai
bahan tanam
6
Gambar 4 Tahap kulturAmorphophallus decus-silvae (a. biji pada awal kultur,
b. inisiasi tunas, c. tunas yang membentuk planlet).
8
Gambar 5 Pertumbuhan jumlah akar Amorphophallus decus-silvae
11
Gambar 6 Pertumbuhan jumlah akar eksplan bagian atas Amorphophallus
decus-silvae
12
Gambar 7 Pertumbuhan jumlah akar eksplan bagian bawah Amorphophallus
decus-silvae
12
Gambar 8 Pertumbuhan jumlah akar eksplan bagian atas Amorphophallus
decus silvae pada media dengan 3 ppm GA3
14
Gambar 9 Pertumbuhan tinggi tunas eksplan bagian bawah Amorphophallus
decus-silvae pada media 3 ppm GA3
15
Gambar 10 Plantlet Amorphophallus decus-silvae, a. plantlet dalam botol
kultur, b. planlet yang diaklimatisasi, c. plantlet yang bertahan
setelah aklimatisasi
16
Gambar 11 Kristal glukomannan pada Amorphophallus decus-silvae,
pegamatan dengan mikroskop stereo
20

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Komposisi Media Murashige-Skoog
Lampiran 2 Metode pengujian kadar glukomannan secara visual

20
20

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Beberapa jenis Amorphophallus telah dikembangkan karena memiliki
potensi untuk dijadikan makanan diet disebabkan karena kandungan
glukomanannya yang tinggi dan telah dikonsumsi seperti Amorphophallus albus,
Amorphophallus bulbifer, Amorphophallus konjac, Amorphophallus muelleri,
Amorphophallus prainii, Amorphophallus variabilis (Hu et al.2008, Imelda et al.
2008, Sugiyama dan Santosa 2008, Mayo et al.1997). Di Jepang, tepung umbi
Amorphophallus dimanfaatkan sebagai bahan pembuat konyaku dan shirataki atau
pengganti agar-agar dan gelatin (Ermiati 1996 dalam Imelda et al. 2008).
Salah satu jenis Amorphophallus yang berpotensi untuk dikembangkan
adalah Amorphophallus decus-silvae, sebagai penghasil glukomanan, juga
tanaman hias yang unik dan langka. Amorphophallus decus-silvae mengandung
glukomanan, berdasarkan pengujian secara sederhana, tetapi pengujian kadar
glukomanan secara akurat perlu dibuktikan. Glukomanan pada umbi
Amorphophallus dapat dideteksi dengan melukai umbi dan pada perlukaan umbi
dapat terlihat lendir kristal yang merupakan glukomanan1).Amorphophallus decussilvae merupakan tanaman yang tergolong dalam famili Aracea. Amorphophallus
decus-silvae termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilindungi di Indonesia
tercantum dalam peraturan pemerintah no. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa, tetapi tidak terdaftar dalam redlist. Menurut Yuzami (2009)
lokasi distribusi Amorphophallus decus-silvae berada di Jawa Barat.
Amorphophallus memiliki potensi sebagai tanaman hias eksotik. Bunga
Amorphophallus memiliki bentuk dan bau yang khas. Genus Amorphophallus
memiliki ukuran bunga yang beragam, beberapa species memiliki bunga yang
kecil, beberapa species memiliki bunga yang besar. Amorphophallus decus-silvae,
Amorphophallus gigas, Amorphophallus titanium memiliki bunga yang besar.
Bunga Amorphophallus memiliki aroma yang khas seperti bau daging busuk,
sehingga dikenal sebagai bunga bangkai. Keunikan dari Amorphophallus menjadi
daya tarik tersendiri bagi kalangan kolektor, sehingga potensi pemasaran dengan
harga tinggi memungkinkan pada species-species yang langka. Umbi
Amorphophallus decus-silvae dengan diameter 5 cm dapat terjual dengan harga
$50 US2).
Amorphophallus decus-silvae merupakan tanaman yang perkembang
biakannya menggunakan biji serta umbi. Perbanyakan menggunakan biji memiliki
kendala, yaitu waktu pembungaan tanaman yang jarang terjadi, serta tipe
penyerbukan yang menyerbuk silang. Perbanyakan tanaman menggunakan umbi
dapat dilakukan dengan memotong umbi menjadi beberapa bagian (Soesmono
1984). Pembiakan tanaman menggunakan umbi dapat menghasilkan bibit yang
seragam, tetapi terdapat kendala dalam jumlah bibit yang dihasilkan. Umbi
Amorphophallus memiliki nilai ekonomi sebagai bahan pangan alternatif,
sehingga akan lebih baik perbanyakan bahan tanaman ini menggunakan bagian
selain umbi. Umbi Amorphophallus umumnya dapat dipanen 1.5-3 tahun setelah
penanaman. Umbi Amorphophallus decus-silvae dapat mencapai ukuran diameter
20 cm dalam waktu 4-5 tahun setelah penyemaian dari biji2).
1)

Hasil komunikasi pribadi dengan Dr. Ir. Fred Rumawas, 2013

2)

Informasi dari kolektor pada tahun 2013

2

Kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman yang
dapat menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah besar. Teknik kultur jaringan
dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan ketersediaan bibit
Amorphophallus di lapangan. Bahan tanaman yang dapat digunakan meliputi
petiole, seperti yang diteliti pada Amorphophallus muelleri, yang merupakan
sumber eksplan terbaik (Imelda et al. 2008). Kultur Amorphophallus decus-silvae
diduga dapat dilakukan dengan menggunakan bagian petiole, biji dan umbi
sebagai eksplan. Menurut Morel dan Wetmore (1951) biji dan umbi dapat
digunakan sebagai eksplan. Sugiyama dan Santosa (2008) menyatakan bahwa
perbanyakan Amorphophallus secara in vitro memerlukan waktu yang lama, tetapi
akan berguna untuk menghasilkan tanaman bebas patogen.
Perbanyakan in vitro pada beberapa jenis Amorphophallus telah dilakukan
oleh beberapa peneliti. Pada Amorphophallus oncophyllus (Amorphophallus
bulbifer) diketahui sterilisasi terbaik diperoleh dengan merendam eksplan dalam
larutan pemutih dengan konsentrasi 25% v/v selama 15 menit (Chotigamas et al.
2010). Pada Amorphophallus albus diketahui pemunculan tunas dalam jumlah
yang cukup banyak terjadi pada konsentrasi 1 ppm BA + 0.2 ppm NAA (Hu et al.
2008). Pada Amorphophallus muelleri pembentukan kalus efektif terjadi pada
media dengan penambahan ZPT NAA 0.2 ppm dan BAP 1.5 ppm (Mayasari
2007). Tunas in vitro Amorphophallus muelleri optimum pada media MS yang
mengandung 2 ppm BAP (Imelda et al. 2008). Kultur Amorphophallus decussilvae perlu dilakukan agar diperoleh tanaman steril yang dapat digunakan sebagai
sumber plasma nutfah steril untuk perdagangan skala Internasional dan sebagai
plasma nutfah dalam bidang konservasi.
Perumusan Masalah
Perbanyakan Amorphophallus decus-silvae perlu dilakukan secara in vitro
agar diperoleh tanaman steril, tanaman dapat terlindungi dari kepunahan atau
sebagai bentuk konservasi serta untuk mendapatkan informasi pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Biji Amorphophallus decus-silvae yang matang fisiologis
jarang ditemukan, sehingga biji yang belum matang diharapkan mampu menjadi
sumber eksplan yang efektif, selain itu biji lebih mudah dalam sterilisasi
dibandingkan dengan petiole.
Tujuan Penelitian
Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari komposisi zat pengatur
tumbuh yang sesuai untuk kultur biji dan pertumbuhan
tunas mikro
Amorphophallus decus-silvae.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat diperolehnya tunas
mikro
Amorphophallus decus-silvae untuk dikembangkan pada tahap penelitian
selanjutnya.

3

Hipotesis
Kombinasi auksin dengan
sitokinin yang sesuai akan meningkatkan
perkecambahan biji, pembentukan dan pertumbuhan tunas Amorphophallus
decus-silvae. Penanaman tunas mikro Amorphophallus decus-silvae pada media
dengan kandungan GA3 dapat meningkatkan pertumbuhan planlet yang siap
diaklimatisasi.

TINJAUAN PUSTAKA
Amorphophallus tergolong dalam famili Araceae tribe Thomsonieae,
merupakan tanaman tahunan ( Mayo 1997, Sugiyama dan Santosa 2008, Grayum
1991). Genus Amorphophallus terdiri dari 180 species yang tersebar di berbagai
belahan dunia, khususnya wilayah tropis Asia dan Afrika (Sugiyama dan Santosa
2008). Terdapat 25 jenis Amorphophallus di Indonesia, 18 di antaranya
merupakan jenis yang endemik; 8 spesies di Sumatra, 3 spesies di Kalimantan, 5
spesies di Jawa, 1 spesies di Sulawesi (Yuzami 2009). Batang tanaman yang
terlihat pada Amorphophallus merupakan petiole. Batang yang sesungguhnya
merupakan umbi. Amorphophallus memiliki masa dormansi, sehingga terdapat
perbedaan antara fase vegetatif dan fase generatif. Amorphophallus memiliki
karakteristik protogynous, yakni bunga betina matang terlebih dahulu sebelum
bunga jantan mengeluarkan polen (Lebot 2009). Gambar 1 terlihat morfologi
umum dari Amorphophallus.

Gambar 1 Fase vegetatif (kiri) dan generatif (kanan), serta bagian dalam dari
bunga Amorphophallus (Mayo 1997)
Amorphophallus memiliki jumlah kromosom 2n = 26 (2x), 28 (2x), 39 (3x)
(Ishida 2004, Mayo 1997). Berdasarkan IPCN Chromosome Reports (2004)
jumlah kromosom untuk Amorphophallus decus-silvae belum dilaporkan,
sedangkan beberapa jenis Amorphophallus telah dilaporkan seperti
Amorphophallus albus 26, Amorphophallus paeoniifolius 28, Amorphophallus
muelleri 39. Fase vegetatif Amorphophallus membentuk batang semu yang
merupakan petiole/tangkai daun. Fase generatif menghasilkan bunga dengan bau
busuk. Sumber dari bau yang dihasilkan yakni berasal dari dimetil disulfida dan
dimetil trisulphida (Kite dan Hetterschieid 1997). Bau muncul dua hari menjelang
antesis hingga satu hari setelah antesis (Sugiyama dan Santosa 2008).

4

Amorphophallus decus-silvae dibandingkan Amorphophallus lainnya
memiliki perbedaan morfologi pada bagian generatif. Perbedaan jelas terlihat dari
bentuk bunga (Gambar 2a-c) dan perbedaan dari petiole berdasarkan corak warna
dan tekstur. Petiole Amorphophallus decus-silvae memiliki corak yang rapat
berupa bintik-bintik kecil pada bagian pangkal dan akan menjadi bintik bulat
putih jarang pada bagian atas dari petiole. Posisi biji pada tangkai mempengaruhi
besarnya daya perkecambahan Amorphophallus (Azmi 2006). Biji
Amorphophallus memiliki masa dormansi 5-6 bulan (Ravi 2009). Buah
Amorphophallus memiliki beberapa ragam warna seperti biru, ungu, hijau, kuning
yang merupakan evolusi dari buah warna merah, orange, putih (Sedayu et al.
2010).
Menurut Yuzammi (2009) Amorphophallus decus-silvae merupakan
Amorphophallus terbesar yang ditemukan di Jawa, termasuk jenis yang langka
dan endemik Jawa Barat dengan lokasi distribusi yang tercatat seperti hutan
Karang dan hutan Lengkong. Amorphophallus memiliki habitat pada hutan tropis,
timbunan humus di atas batu, pinggir sungai dan hutan sekunder (Yuzammi 2009,
Sugiyama dan Santosa 2008 dan Mayo 1997). Konservasi Amorphophallus decussilvae perlu dilakukan, agar tanaman terhindar dari kepunahan. Salah satu bentuk
konservasi yang dapat dilakukan yakni melalui kultur jaringan, dengan
menyimpan eksplan steril.

(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Fase generatif Amorphophallus decus-silvae, a. bunga utuh, b. spathe
dan spadix, c. bagian dalam spadix setelah spathe dibuang
Perbanyakan Amorphophallus decus-silvae memiliki perbedaan dengan
perbanyakan Amorphophallus muelleri, dimana perbanyakan Amorphophallus
muelleri menggunakan stek daun, umbi serta bulbil/umbi daun (Sumarwoto 2007).
Pada Amorphophallus decus-silvae bulbil tidak dihasilkan. Ukuran umbi pada
Amorphophallus menentukan waktu terjadinya pembungaan, ukuran bunga serta
jumlah biji yang akan dihasilkan (Dwiyono 2004). Umbi Amorphophallus decussilvae tidak terbentuk tunas anakan, berbeda dengan Amorphophallus
paeoniifolius yang membentuk tunas anakan dari umbi. Amorphophalllus decussilvae akan berbunga setelah umbi berdiameter minimal 20 cm, memerlukan
waktu 4-5 tahun setelah penyemaian dari biji3).
Perbanyakan secara in vitro telah dilakukan pada beberapa jenis
Amorphophallus. Bahan tanaman yang dapat digunakan adalah petiole. Pada
Amorphophallus muelleri petiole merupakan sumber eksplan paling baik (Imelda
et al. 2008). Petiole yang telah ditanam pada media kultur menghasilkan kalus.
3)

Informasi dari kolektor

5

Pada media MS dengan penambahan 0.5 mg/l 2,4-D dan 0.75 mg/l 2,4-D dapat
mengubah bentuk kalus kompak menjadi kalus remah pada Amorphophallus
oncophyllus (Chotigamaset al.2010). Pada Amorphophallus muelleri kalus
terbentuk pada media dengan penambahan NAA 0.2 mg/l dan BAP 1.5 mg/l
(Mayasari 2007). Pada Amorphophallus albus kalus terbentuk dalam frekuensi
yang tinggi pada media MS dengan penambahan 5.37 μM NAA dan 4.44 μM BA
( Huet al. 2008). Kalus yang terbentuk diinduksi untuk menghasilkan tunas. Pada
Amorphophallus muelleri pemberian BAP sebesar 2 mg/l memacu pertumbuhan
tunas yang paling tinggi (Imelda et al. 2008). Pemberian Triazole (triadimefon
(TDM), paclobutrazol (PBZ) dan propiconazole (PCZ)) pada media kultur dapat
memberikan dampak terhadap karakteristik anatomi (ketebalan daun, jumlah
stomata, lebar stomata, jumlah kloroplas) Amorphophallus campanulatus (Gopi et
al. 2008).

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3 Departemen
Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB. Periode waktu dilaksanakannya
percobaan dari bulan Januari sampai September 2013.
Bahan Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan adalah buah Amorphophallus decussilvae yang memiliki kisaran umur 3-4 minggu setelah antesis. Bahan yang
digunakan membuat media dasar adalah larutan 0.5 MS (Murashige and skoog)
modifikasi dengan vitamin B5, gula, BAP (Benzylaminopurine), NAA (1Naphthaleneacetic acid), IBA (Indole-3-butyric acid), GA3 dan gerlite. Bahan
pendukung lainnya yang dibutuhkan adalah larutan pemutih (bayclin) 25% v/v,
disinfekan cair antiseptik (chloroxylenol/C8H9ClO) dan alkohol 96%.
Peralatan Penelitian
Alat yang digunakan dalam percobaan ini antara lain berupa botol kultur,
rak kultur yang dilengkapi dengan lampu fluorescence, alat ukur gelas, cawan
petri, pipet, autoclaf, pemanas air, pengaduk, alat diseksi, magnetic stirrer, kertas
pH, neraca analitik, dan laminar air flow cabinet. Alat analisis data yang
digunakan adalah SAS v9 Portable.
Perosedur Percobaan
A. Persiapan bahan tanam
Buah dari tanaman Amorphophallus decus-silvae diperoleh di Desa Waluran,
Sukabumi diperkirakan berusia 3-4 minggu setelah masa antesis. Prediksi umur
biji didasarkan pada perbandingan umur bunga dengan tanaman induk
Amorphophallus decus-silvae yang berbunga di Bogor.

6

B. Pembuatan media tanam
Pembuatan media tanam dilakukan 1 minggu sebelum penanaman. Proses
pembuatan media diawali dengan sterilisasi botol dalam autoklaf sebelum media
dibuat. Pemipetan larutan stok media dasar dan zat pengatur tumbuh sesuai
perlakuan seperti yang tercantum pada Tabel 1. Setelah peracikan media selesai,
media dimasak dan dituang ke dalam botol steril sebanyak 25 ml. Botol yang telah
berisi media ditutup dengan plastik dan diberi label kode media. Seluruh media
yang telah dibuat disterilkan dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121 oC,
tekanan 1.5 kg cm-3. Media yang yang telah disterilkan dipindahkan ke ruang
penyimpanan.
C. Sterilisasi bahan tanam
Biji yang digunakan hanya biji yang telah diserbuki, terlihat dari ukuran buah
yang membesar (Gambar 3). Buah dipetik dari tongkol bunga dan dicuci dengan
air bersih. Buah yang telah dicuci direndam dengan disinfektan cair antiseptik
(chloroxylenol/C8H9ClO) selama 1 menit, kemudian dibilas dengan air mengalir.
Selajutnya buah direndam dalam larutan pemutih 15% selama 15 menit.

Gambar 3 Buah Amorphophallus decus-silvae yang digunakan sebagai bahan
tanam
D. Penanaman bahan tanam
Penanaman eksplan dilakukan didalam Laminar air flow dengan
mempersiapakan media tanam dan buah yang telah steril. Buah yang telah steril
diambil dengan pinset kemudian dicelupkan kedalam air steril dan diletakkan ke
dalam cawan petri. Buah yang telah dibilas kemudian dibelah untuk mendapatkan
biji. Biji dilepaskan dari selaput yang melindungi, biji kemudian ditanam ke
dalam media yang telah dipersiapkan.
E. Pemeliharaan
Eksplan yang telah ditanam disimpan pada ruang kultur dengan suhu 25oC.
Pemeliharaan botol-botol kultur yang telah ditanami eksplan dilakukan dengan
cara menyemprotkan alkohol 96% ke botol kultur setiap minggu. Penyemprotan
formaldehida di ruang kultur dilakukan 2 bulan sekali. Subkultur eksplan
dilakukan pada 7 dan 18 minggu setelah tanam (MST).

7

F. Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan interval setiap 1 minggu, dengan peubah yang
diamati yakni jumlah kontaminasi, persentase perkecambahan, jumlah tunas,
tinggi tunas dan jumlah akar yang muncul. Keberhasilan aklimatisasi diamati pada
2 minggu setelah aklimatisasi pada 20 planlet yang dihasilkan dari seluruh kultur.
Analisis data
Kultur biji Amorphophallus decus-silvae terbagi dalam 3 tahap yaitu 1)
kultur biji utuh hingga 7 MST, 2) subkultur I eksplan dibelah hingga 18 MST dan
3) subkultur II kultur dalam media pemanjangan sel hingga 28 MST. Tahap
pertama menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan faktor tunggal
yang terdiri atas 9 taraf kombinasi zat pengatur tumbuh terlihat pada Tabel 1.
Setiap perlakuan terdiri atas 20 ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 1
botol kultur yang ditanami satu eksplan, sehingga terdapat total 180 satuan amatan.
Minggu ke 1-4 eksplan ditempatkan pada ruang gelap, pada akhir minggu ke 4
explan dipindahkan ke kondisi terang.
Tahap kedua merupakan lanjutan dari tahap pertama, dengan perbedaan
eksplan dari tahap pertama dibelah menjadi 2 bagian secara horizontal sehingga
menghasilkan bagian atas yang bermata tunas dan bagian bawah tanpa mata tunas.
Rancangan yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan faktor
tunggal yang terdiri dari 9 taraf kombinasi media. Setiap perlakuan terdiri dari 20
ulangan untuk tiap bagian, masing-masing ulangan terdiri atas 1 botol kultur yang
ditanami satu eksplan, sehingga terdapat total 360 satuan amatan.
Tahap ketiga merupakan lanjutan dari tahap kedua, dengan perbedaan
eksplan dari tahap kedua dibelah menjadi 2 bagian secara vertikal. Rancangan
yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan faktor tunggal yaitu asal
media pada tahap sebelumnya. Setiap perlakuan terdiri dari 20 ulangan untuk tiap
bagian, masing-masing ulangan terdiri atas 1 botol kultur yang ditanami dua
eksplan, sehingga terdapat total 360 satuan amatan. Tahap ini merupakan tahap
pemanjangan sel.
Tabel 1 Komposisi media perlakuan Amorphophallus decus-silvae
Tahapan kultur
Tahap I (perkecambahan dan induksi
tunas)

Tahap II (subkultur, multiplikasi
tunas)

Tahap III ( subkultur, pemanjangan
tunas)

Media
0.5 MS0*
0.5 MS0 + 1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
0.5 MS0 + 1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
0.5 MS0 + 2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
0.5 MS0 + 2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
0.5 MS0 + 1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
0.5 MS0 + 1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
0.5 MS0 + 2 ppm BAP + 0.1ppm IBA
0.5 MS0 + 2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
0.5 MS0 + 3 ppm GA3

*media MS dengan penambahan vitamin B5

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Kultur
Eksplan yang steril akan menentukan tingkat keberhasilan dalam kultur
jaringan. Sterilisasi buah Amorphophallus decus-silvae dengan peredaman dalam
cairan antiseptik selama 1 menit dan larutan pemutih 15% selama 15 menit,
menghasilkan eksplan steril sebesar 81.67 % pada 1 minggu setelah tanam (MST).
Eksplan steril pada setiap perlakuan adalah 1) 80%, 2) 80%, 3) 85%, 4) 90%, 5)
70%, 6) 80%, 7) 85%, 8) 80%, 9) 85%. Pada minggu ke 7 dilakukan subkultur
dan pembelahan eksplan, dengan tingkat keberhasilan sebesar 82.3 %, dihitung
dengan asumsi eksplan hasil sterilisasi awal sebagai 100%. Eksplan steril setiap
perlakuan pada minggu ke 8 adalah 1) 81.3%, 2) 100%, 3) 88.2%, 4) 88.9%, 5)
85.7%, 6) 68.8%, 7) 93.8%, 8) 82.3%, 9) 52.9%. Pada minggu ke 18 dilakukan
subkultur dan pembelahan eksplan, dengan tingkat keberhasilan sebesar 80.9 %,
dihitung dengan asumsi eksplan hasil subkultur sebagai 100%. Eksplan steril
setiap perlakuan pada minggu ke 19 adalah 1) 76.9%, 2) 93.7%, 3) 86.7%, 4) 50%,
5) 83.3%, 6) 81.8%, 7) 86.7%, 8) 100%, 9) 66.7%. Kontaminasi disebabkan oleh
bakteri maupun cendawan, kontamiasi bakteri ditandai dengan timbulnya lendir di
sekitar eksplan sedangkan kontaminasi cendawan ditandai dengan munculnya
hifa di sekitar eksplan. Munculnya kontaminan pada eksplan yang ditanam
dipengaruhi oleh beberapa faktor; eksplan yang berasal dari habitat langsung,
sterilisasi yang belum maksimal, serta kecerobohan pada saat penanaman maupun
subkultur.
Perkecambahan Biji Amorphophallus decus-silvae
Pertumbuhan kultur Amorphophallus decus-silvae dimulai dengan tahap
pembesaran eksplan, sehingga eksplan akan memiliki ukuran beberapa kali lebih
besar dari ukuran pada saat ditanam (Gambar 4a, 4b). Pembesaran eksplan terjadi
karena adanya absorsi hara dan zat pengatur tumbuh oleh eksplan, sehingga
diduga terjadi pembelahan dan pembesaran sel. Pertumbuhan ukuran eksplan
Amorphophallus decus-silvae akan meningkat pada minggu-minggu awal dan
akan terhenti pada beberapa minggu berikutnya. Pada Feronia limonia eksplan
akan membesar setelah 3-4 minggu dalam media kultur (Hiegoudar et al. 2003).
Kecepatan perbesaran eksplan dipengaruhi oleh komposisi zat pengatur tumbuh
dari media yang digunakan (George et al. 2007). Kalus remah muncul pada
beberapa kultur (± 1.3 %), yang disebabkan masih melekatnya testa (selaput
pelindung biji) pada biji Amorphophallus decus-silvae yang ikut tertanam di
media perlakuan. Eksplan yang tidak memiliki testa tidak membentuk kalus.

(a)
(b)
(c)
Gambar 4 Tahap kulturAmorphophallus decus-silvae (a. biji pada awal kultur, b.
inisiasi tunas, c. tunas yang membentuk planlet).

9

Perkecambahan biji Amorphophallus decus-silvae (Gambar 4b) pada
media kultur mulai berlangsung dari minggu ke 2 setelah tanam. Data pada Tabel
2 menunjukkan bahwa pada minggu ke 7 persentase perkecambahan terkecil
terdapat pada media 2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA sebesar 33.3%, sedangkan pada
media 2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA menunjukkan hasil 94.1%. Pada minggu ke 5
terlihat adanya penurunan persentase perkecambahan pada media 0.5 MS0, 1 ppm
BAP + 0.1 ppm NAA dan 1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA yang diduga disebabkan
oleh proses pemindahan eksplan dari kondisi gelap ke kondisi terang. Eksplan
dengan pertumbuhan yang tetap stabil pada media tanpa terpengaruh oleh adanya
perubahan cahaya di ruang simpan, diduga disebabkan karena terdapat
kesetimbangan (perimbangan) zat pengatur tumbuh pada eksplan. Hingga akhir
minggu ke 7 tidak semua eksplan berkecambah, sehingga diduga adanya pengaruh
dari dormansi biji. Biji yang belum mengalami kematangan akan mengalami
dormansi, pematahan dormansi dapat terjadi dengan penyimpanan benih di tempat
dengan suhu 20oC selama 60 hari (Toogood 1999). Usia biji Amorphophallus
decus-silvae yang digunakan sebagai eksplan memiliki perbedaan yang
disebabkan oleh perbedaan waktu penyerbukan biji yang terjadi secara acak, serta
sumber polen yang tidak seragam, sehingga memberikan respon yang beragam
pada perkecambahan biji.
Tabel 2 Persentase perkecambahan eksplan biji Amorphophallus decus-silvae
MST (%)
1
2
3
4
5
6
7
0
50
62.5 75
56.3 62.5 56.3
0.5 MS0*
0
62.5 93.8 93.8 81.3 81.3 87.5
1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
0
64.7 87.5 87.5 87.5 93.8 87.5
1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
0
44.4 77.8 77.8 77.8 77.8 82.4
2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
0
35.7 69.2 76.9 84.6 84.6 84.6
2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
0
40
60
60
46.7 46.7 50
1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
0
68.9 81.3 81.3 81.3 81.3 81.3
1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
0
76.5 88.2 88.2 94.1 94.1 94.1
2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
0
18.9 20
20
26.7 26.7 33.3
2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
*Semua media perlakuan menggunakan media dasar 0.5 MS0 dengan vitamin B5
Media

Tunas Mikro Amorphophallus decus-silvae
Beberapa komposisi zat pengatur tumbuh pada perlakuan ini berpengaruh
meningkatkan jumlah tunas mikro Amorphophallus decus-silvae pada 2-7 MST.
Pertumbuhan tunas pada Amorphophallus decus-silvae mulai berlangsung pada 2
MST, seperti tercantum pada Tabel 2 dan 3. Pertumbuhan tunas terjadi selama
kultur tanpa cahaya (gelap) dan terang. Eksplan yang ditempatkan pada kondisi
gelap selama 4 MST bertujuan supaya terjadi pemanjangan hipokotil (Bradford
dan Nonogaki 2007). Menurut Hopkins dan Huner (2008) pada benih Avena fatua
perkecambahan dapat terhambat jika benih terpapar sinar secara langsung. Selama
eksplan berada pada kondisi gelap, eksplan berwarna putih, sedangkan setelah
eksplan dipindahkan ke kondisi terang terjadi perubahan warna menjadi cokelat.
Warna eksplan yang menjadi kecoklatan diduga disebabkan oleh adanya aktivitas

10

oksigen maupun oksidasi pada substrat (George et al. 2007). Pada minggu ke 4-5
jumlah tunas menurun karena perubahan lingkungan dari kondisi gelap ke terang,
sehingga tunas tertentu mengalami kematian.
Pada akhir minggu ke 7 eksplan yang ditanam pada media 1 ppm BAP +
0.05 ppm IBA menghasilkan jumlah tunas 2.3, sedangkan media 2 ppm BAP +
0.05 IBA menghasilkan jumlah tunas 0.4. Pada eksplan yang ditanam pada media
0.5 MS0 menunjukkan respon pertumbuhan karena adanya kandungan hormon di
dalam biji. Biji memiliki kandungan hormon auksin, giberelin, sitokinin dan ABA,
biji yang belum matang terutama memiliki kandungan hormon yang banyak
(Bewley dan Black 1994).
Tabel 3 Jumlah tunas mikro Amorpophallus decus-silvae 2-7 MST
Media
0.5 MS0
1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA

MST
2
0.3bc*
0.5abc
0.6ab
0.3bc
0.4bc
0.3bc
0.7a
0.7a
0.2c

3
0.4bc
1.1a
1.1a
0.9ab
0.9ab
0.5abc
1.1a
1ab
0.2c

4
0.7abc
1.3ab
1.1ab
1.1ab
1.5a
0.5bc
1.3ab
1.3ab
0.2c

5
0.6cd
1.2ab
1abc
0.9abcd
1.3a
0.5cd
1.5a
1.4a
0.3d

6
0.6cde
1.1abcd
1.4abc
1bcde
1.6ab
0.5de
1.9a
1.5ab
0.3e

7
0.6c
1.2bc
1.2bc
1.1bc
1.6ab
0.6c
2.3a
1.6ab
0.4c

*angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Semua media perlakuan menggunakan media

dasar 0.5 MS0
Akar pada eksplan Amorphophallus decus-silvae mulai tumbuh pada saat
yang berbeda-beda antar perlakuan. Tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan
terhadap peubah jumlah akar pada 2-7 MST. Pada Gambar 5 terlihat beberapa
perlakuan belum dapat menginduksi akar hingga 7 minggu setelah tanam.
Menurunnya pertumbuhan jumlah akar disebabkan oleh adanya akar yang
mengalami kematian, menyebabkan grafik pertumbuhan akar menjadi menurun
dan kembali meningkat disebabkan munculnya akar baru. Persentase eksplan yang
berakar hingga akhir minggu ke 7 sebesar 9.5%. Terdapat beberapa media yang
belum dapat menginduksi akar hingga minggu ke 7 yakni 0.5 MS0, 2 ppm BAP +
0.1 ppm IBA, 2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA. Eksplan pada media 2 ppm BAP +
0.05 ppm NAA memiliki jumlah akar 1.8 terbanyak diantara perlakuan yang lain.
Perimbangan auksin dan sitokinin yang belum tepat diduga merupakan salah satu
penyebab akar belum terbentuk. Selama 7 minggu kultur dapat diketahui bahwa
eksplan belum memunculkan tanaman yang sempurna, hal ini diketahui dari
pertumbuhan akar yang belum optimal.

11

2
J
u
m
l
a
h

a 1,5
k
1
a
r 0,5

0
1

2

3

4
MST

5

6

7

0.5 MS0
1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA

Gambar 5 Pertumbuhan jumlah akar Amorphophallus decus-silvae
Subkultur
Pada akhir minggu ke 7 eksplan biji dibelah menjadi dua bagian secara
horizontal (ada titik tumbuh dan tidak ada titik tumbuh) serta disubkultur pada
media yang sama. Pada Tabel 4 terlihat perbedaan pola pertumbuhan dari eksplan
yang berbeda bagian. Eksplan yang berasal dari bagian atas memberikan respon
pertumbuhan lebih baik dibandingkan eksplan yang berasal dari bagian bawah,
terlihat dari jumlah tunas yang lebih banyak. Perbedaan jumlah tunas yang
dihasilkan disebabkan karena sumber mata tunas dominan pada bagian atas,
sedangkan pada bagian bawah eksplan awal tidak memiliki titik tumbuh tunas.
Penurunan jumlah tunas pada 16 MST pada beberapa perlakuan seperti yang
terlihat pada Tabel 4 disebabkan karena terjadinya kompetisi antar tunas, sehingga
menyebabkan sebagian tunas mengalami kematian. Tunas pada eksplan bagian
bawah muncul secara langsung dari biji yang dibelah pada bagian yang
berlawanan dengan daerah potongan. Pemunculan tunas diawali dengan
munculnya bintik-bintik bakal tunas mikro yang akan membesar serta memanjang
pada minggu berikutnya.
Tabel 4 Jumlah tunas pada kultur biji Amorphophallus decus-silvae 10-18 MST.
Eksplan bagian atas
Eksplan bagian bawah
MST
MST
10
12
14
16
18
10 12
14
16
18
**
1.2 1.4c
1.7b 1.5c
1.9c
0.1 0.1b 0.1b 0.1c
0.1b**
1
1.8 3.9abc 5.6ab 5abc
5.1abc 0 0b
0.1ab 0.7bc 0.7b
2
3
1.6 4.9abc 5.9ab 5.6abc 6abc
0.5 1.4ab 1.4ab 1.5cb 1.8b
1.2 2.9bc
4.1ab 3.8bc
3.7bc 0
0b
0.2b 0.3bc 0.5b
4
2.3 5.4abc 6.7ab 6.8abc 7.6abc 0
0.5b 0.7ab 1.1bc 1.3b
5
6
1.3 2.3bc
2.3b 3.5bc
4.7abc 0
0.9b 1.4ab 1.2bc 1.7b
2.6 7.7a
9.2a 9.8a
9.7ab
0.5 3.6a
3.7a 4.5ab 3.7ab
7
1.9 6.2ab
7.9ab 9.4ab
10.4a
0 1.6ab 3.8a 6.8a
7.3a
8
1.4 2.9bc
4.8ab 4.9abc 5.4abc 0.4 1.6ab 3.4ab 4.7ab 3.7ab
9
*media 1(0.5 MS0). 2(1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA). 3(1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA).
4(2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA). 5(2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA). 6(1 ppm BAP + 0.1
ppm IBA). 7(1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA). 8(2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA). 9(2 ppm BAP
+ 0.05 ppm IBA). **angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%
Media
*

Media yang baik untuk pertumbuhan tunas ke dua jenis eksplan yakni
media dengan komposisi 2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA. Pada minggu ke 18

12

diperoleh 10.4 (eksplan bagian atas) dan 7.3 (eksplan bagian bawah) tunas.
Jumlah tunas paling sedikit dihasilkan pada media 0.5 MS0 sebanyak 1.9
(eksplan bagian atas) dan 0.1 (eksplan bagian bawah) tunas. Pada Tabel 4 terlihat
bahwa media 0.5 MS0, eksplan bagian bawah mampu bertunas, hal ini diduga
adanya hormon sitokinin pada bagian eksplan tersebut. Sitokinin pada biji
mengalami peningkatan saat biji mendekati pematangan (Bewley dan Black 1994).
Berdasarkan data pada Tabel 4 kombinasi media BAP dengan IBA memberikan
pengaruh yang lebih baik dibandingkan BAP dengan NAA, hal ini sejalan dengan
pendapat George et al. (2007) bahwa IBA dengan BAP lebih efektif dibandingkan
NAA dengan BAP.
Eksplan yang terpotong (bagian atas dan bawah) selain menghasilkan
pertambahan jumlah tunas, juga diikuti oleh pertambahan jumlah akar. Jumlah
akar meningkat seiring dengan peningkatan usia dari eksplan. Pada Gambar 6 dan
7 terlihat adanya media terbaik untuk jumlah akar berdasarkan asal eksplan.
Media 1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA menghasilkan jumlah akar tertinggi pada
pertumbuhan eksplan yang berasal dari potongan bagian atas, sedangkan media 1
ppm BAP + 0.1 ppm IBA menghasilkan jumlah akar tertinggi pada pertumbuhan
eksplan dari potongan bagian bawah. Pada tunas sempurna (tunas dengan akar
yang telah tumbuh), pertumbuhan jumlah akar mengalami peningkatan.
10
J
u
m
l
a
h

8
a
k 6
a 4
r
2

0
8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
MST

0.5 MS0
1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA

Gambar 6 Pertumbuhan jumlah akar eksplan bagian atas Amorphophallus decussilvae
9
8
J
7
u a 6
m k 5
l a 4
a t 3
2
h
1
0

0.5 MS0
1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
8

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
MST

Gambar 7 Pertumbuhan jumlah akar eksplan bagian bawah Amorphophallus
decus-silvae

13

Subkultur tunas mikro ke media dengan GA3
Tunas mikro yang teramati hingga minggu ke 18 sebagian besar belum
menghasilkan planlet yang siap diaklimatisasi.Ukuran tunas mikro hingga minggu
ke 18 memiliki tinggi rata-rata 1.5 cm, sehingga perlu dilakukan subkultur ke
media yang mengandung giberelin. Pada akhir minggu ke 18 dilakukan
pembelahan eksplan secara vertikal mejadi dua bagian dan di subkultur ke media
3 ppm GA3, dengan tujuan terjadi pemanjangan sel, sehingga tunas siap
diaklimatisasi. Konsentrasi giberelin pada tanaman diketahui sangat rendah,
biasanya giberelin aktif pada bagian vegetatif yakni 1-10 part per billion dan pada
biji 1-10 part per million (Taiz dan Zeiger 2002).
Berdasarkan data Tabel 5 terjadi penurunan pertumbuhan tunas pada
beberapa MST yang terjadi karena adanya kompetisi antar tunas. Eksplan yang
mengalami peningkatan jumlah tunas dipengaruhi oleh asal media sebelum
pemindahan eksplan ke dalam media giberelin. Pertumbuhan jumlah tunas
terbanyak terlihat berasal dari eksplan yang memiliki media awal 2 ppm BAP +
0.1 ppm IBA. Eksplan bagian atas memiliki jumlah pertumbuhan tunas yang lebih
banyak secara keseluruhan dibandingkan dengan eksplan bagian bawah.
Peningkatan pertumbuhan jumlah tunas eksplan bagian atas tidak nyata pada
media giberelin, karena pada media ini tahapan pemanjangan sel agar diperoleh
tunas normal yang siap di aklimatisasi. Pada Vriesea reitzii pemanjangan tunas
terlihat setelah 10 minggu kultur berada pada media GA3, eksplan yang tidak
ditanam pada media GA3 menghasilkan tunas-tunas kecil (Vesco dan Guerra
2010).
Tabel 5 Pertumbuhan jumlah tunas mikro Amorphophallus decus-silvae pada 2028 MST pada media 3 ppm GA3
Media
*
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Eksplan bagian atas
MST
20
22
24
26
3b**
4.9 6.9 6.8
3.9b
6.1 7.1 6.5
4.6ab 7.2 4.6 5.7
5.6ab 6.9 7.2 10.1
6.8ab 11.3 13.4 14.4
4.8ab 6.7 7.6 7.2
10.5ab 13.5 15 12.1
12.5a 15.8 17.5 14.8
6ab
6.2 6.5 5.5

28
20
10.4 0.7c
6.2
0.4c
6.8 1.8bc
10.3 0.4c
16.7 1.8bc
10.1 1.2c
15.5 4.6abc
16.2 8.1a
8.3 6.3ab

Eksplan bagian bawah
MST
22
24
26
28
1.3c
3b
2.8b 2.2b
0.3c
0b
0.1b 0.2b
2.5bc 2.7b 3.3b 3.7b
0.5c 0.5b 0.4b 0.5b
1.7c 1.9b 1.7b 2.2b
1.1c 3.4b 2.7b 4.1b
4.8bc 5.8b 4.2b
5b
10.4a 12.6a 11.5a 14.2a
6.8ab 5.5b 5.2b 6.8b

*media 1(0.5 MS0). 2(1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA). 3(1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA).
4(2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA). 5(2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA). 6(1 ppm BAP + 0.1
ppm IBA). 7(1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA). 8(2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA). 9(2 ppm BAP
+ 0.05 ppm IBA. **angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%

Pertumbuhan akar beriringan dengan pertumbuhan tunas. Pada Gambar 8
dan Tabel 6 terlihat pertumbuhan jumlah akar yang fluktuatif pada 20-28 MST

14

disebabkan karena adanya akar-akar yang mati dan adanya akar-akar yang baru
tumbuh. Jumlah akar yang dihasilkan dari ke dua jenis eksplan berbeda. Eksplan
bagian atas menghasilkan jumlah akar terbanyak dari media 1 ppm BAP + 0.05
ppm IBA (Gambar 8), sedangkan eksplan bagian bawah dari media 2 ppm BAP +
0.1 ppm IBA (Tabel 6). Pertumbuhan akar terlihat tidak meningkat nyata pada
media giberelin, karena terjadinya pertumbuhan pemanjangan sel yang
mengakibatkan akar menjadi memanjang.
6
J
u
m
l
a
h

a
k
a
r

0.5 MS0

5

1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA

4

1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA

3

2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA

2

1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA

1

1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA

0

2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA

19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
MST

2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA

Gambar 8 Pertumbuhan jumlah akar eksplan bagian atas Amorphophallus decus
silvae pada media dengan 3 ppm GA3
Tabel 6 Pertumbuhan jumlah akar eksplan bagian bawah Amorphophallus decus
silvae pada media 3 ppm GA3
MST
Media
*
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
0.8ab** 0.4b 0.4b 0.4b 0.4b 0.7b 0.7b
0.6b 0.4b
0.6b
1
0.4b
0.2b
0.5b
0.3b
0.2b
0.2b
0.2b
0.2b
0.3b
0.3b
2
1.4ab
1.6ab 2.1b 2.9ab 3.2b 2.9b 2.7b
2.5b 2.7b 2.9b
3
0.1b
0.2b
0.4b
1.2b
0.2b
0.3b
0.3b
0.3b 0.3b 0.4b
4
0.3b
0.7b 1.1b 1.3b 1.2b 1.4b 1.5b
1.4b 1.5b 1.6b
5
0.7ab
0.8b
1b
1.1b
1.2b
0.9b
1b
1.2b 1.1b 1.2b
6
1.8ab
2.1ab 2.2b 2.5ab 2.1b 2.3b 2.7b
2.5b 2.8b 3b
7
3.2a
4.3a
5.5a
5.7a
7.3a
6.5a
6a
5.9a
6.9a 8.1a
8
1.2ab
1b
1.6b 1.3b 2.1b 1.8b 2.4b
2b
2b
2.5b
9
*media 1(0.5 MS0). 2(1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA). 3(1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA).
4(2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA). 5(2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA). 6(1 ppm BAP + 0.1
ppm IBA). 7(1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA). 8(2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA). 9(2 ppm BAP
+ 0.05 ppm IBA. **angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama
tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%

Giberelin mengatur proses pemanjangan sel, pematahan dormansi, serta
transisi masa remaja menjadi dewasa (Taiz dan Zeiger 2002). Pada Tabel 7 dan
Gambar 9 terlihat pertumbuhan tinggi tunas eksplan pada media GA3, terlihat
bahwa tunas mengalami pertambahan tinggi pada setiap minggu. Pada beberapa
eksplan yang berasal dari media tertentu mengalami pertambahan tinggi yang
terlihat jelas. Pada Tabel 7 terlihat bahwa eksplan yang berasal dari media tanpa
ZPT nyata mengalami pertumbuhan tinggi tunas tertinggi pada akhir minggu ke

15

28, hal ini terjadi karena jumlah tunas yang dihasilkan cukup sedikit, sehingga
proses pertambahan tinggi tunas tidak memiliki saingan.
Kompetisi antar tunas menyebabkan pertumbuhan tunas yang tidak
seragam dan mengakibatkan adanya tunas-tunas yang mati. Tunas yang berasal
dari eksplan bagian atas pada 1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA memiliki tinggi tunas
terendah pada akhir pengamatan, sementara media ini memiliki 6.8 tunas (Tabel
7). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya kondisi tunas dan
ukuran tunas. Kondisi tunas yang dimaksud yakni kesehatan dari tunas, beberapa
tunas mengalami stress pada saat dipotong sehingga menjadi kecoklatan yang
mengakibatkan tunas mengalami pertumbuhan yang lambat bahkan mati. Ukuran
tunas akan mempengaruhi daya bersaing tunas untuk menjadi tanaman utuh.
Tunas yang muncul terlebih dahulu dan berukuran besar akan memiliki peluang
yang lebih besar. Pada Gambar 9 terlihat bahwa tunas yang berasal dari eksplan
bagian bawah pada media 1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA memiliki tinggi tunas
tertinggi. sedangkan eksplan yang berasal dari media 1 ppm BAP + 0.1 ppm
NAA tidak bertambah tinggi. Eksplan yang tidak mengalami pertambahan tinggi
tunas disebabkan karena eksplan belum memiliki tunas ataupun karena adanya
tunas yang mati.
3

0.5 MS0
1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA

(

2,5
T
i
2
n c
1,5
g m
1
g
i
0,5
)

0
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
MST

Gambar 9 Pertumbuhan tinggi tunas eksplan bagian bawah Amorphophallus
decus-silvae pada media 3 ppm GA3
Tabel 7 Pertumbuhan tinggi tunas eksplan bagian atas Amorphophallus decussilvae pada media 3 ppm GA3 20-28 MST
Media
*
1
2
3
4
5
6
7
8
9

MST (cm)
19
1.6a**
0.9ab
0.9ab
0.6b
0.6b
0.8ab
1.7a
0.9ab
0.6b

20
1.8a
1ab
1.1ab
0.6b
0.7b
1ab
1.8a
1.1ab
0.6b

21
2.2a
1.1b
1.2b
0.8b
0.9b
1b
2.2a
1.3ab
0.7b

22
2.5a
1.2b
1.2b
0.9b
1.2b
1.2b
2.5a
1.6ab
0.9b

23
3.2a
1.5bc
1.2bc
1.5bc
1.6bc
0.9c
2.7ab
1.8abc
1bc

24
4.1a
1.6b
1b
1.7b
1.8b
1.1b
3ab
2.1ab
1.1b

25
4.8a
1.7b
1.1b
2.3ab
2.3ab
1.2b
3.5ab
2.7ab
1.5b

26
5.1a
1.8b
1.1b
2.5ab
2.3ab
1.4b
3.8ab
3ab
1.8b

27
5.1a
1.9ab
1.1b
2.6ab
2.7ab
1.5b
3.9ab
3.2ab
1.9ab

28
5.4a
2ab
1.2b
3.1ab
2.8ab
1.5b
4.2ab
3.2ab
2.1ab

16

*media 1(0.5 MS0). 2(0.5 MS0 + 1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA). 3(0.5 MS0 + 1 ppm BAP
+ 0.05 ppm NAA). 4(0.5 MS0 + 2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA). 5(0.5 MS0 + 2 ppm BAP
+ 0.05 ppm NAA). 6(0.5 MS0 + 1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA). 7(0.5 MS0 + 1 ppm BAP +
0.05 ppm IBA). 8(0.5 MS0 + 2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA). 9(0.5 MS0 + 2 ppm BAP +
0.05 ppm IBA. **angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%

Aklimatisasi
Kultur Amorphophallus decus-silvae dapat menghasilkan plantlet yang siap
diaklimatisasi. Plantlet yang siap diaklimatisasi memiliki ciri petiole, akar, serta
daun telah membuka sempurna (Gambar 10a). Tabel 8 menunjukkan persentase
plantlet terbanyak diperoleh dari media asal 0.5 MS0 sejumlah 50% (eksplan
bagian atas) dan 2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA sebesar 23% (eksplan bagian bawah).
Media MS0 dapat memberikan persentase plantlet terbanyak disebabkan oleh
sedikitnya jumlah tunas yang muncul, sehingga tunas dapat mengalami
pemanjangan sel dan menjadi tanaman utuh. Media dengan penambahan zat
pengatur tumbuh menghasilkan plantlet dalam persentase yang kecil disebabkan
oleh banyaknya tunas yang muncul dan tunas belum menjadi plantlet. Jumlah
plantlet yang sedikit akan dapat meningkat seiring berjalannya waktu disebabkan
tunas mikro belum seluruhnya menjadi plantlet.

(a)
(b)
(c)
Gambar 10 Plantlet Amorphophallus decus-silvae, a. plantlet dalam botol kultur, b.
planlet yang diaklimatisasi, c. plantlet yang bertahan setelah
aklimatisasi
Tabel 8 Persentase plantlet Amorphophallus decus-silvae pada 28 MST pada
media 3 ppm GA3
Media asal
0.5 MS0
1 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
2 ppm BAP + 0.1 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.05 ppm NAA
1 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA
1 ppm BAP + 0.05 ppm IBA
2 ppm BAP + 0.05 ppm IBA

Eksplan bagian
atas (%)
50

Eksplan bagian
bawah (%)
10

13
27
25
0
12.5
23
38
16

0
18
0
8.3
11
23
15
0

17

Tanaman Amorphophallus decus-silvae yang diperoleh dari hasil kultur
dapat bertahan 100% setelah 2 minggu aklimatisasi, tanpa ada tanda-tanda
kematian (Gambar 10a-c). Syarat tanaman yang digunakan agar keberhasilan
dalam aklimatisasi dapat tercapai yakni tunas telah memiliki akar pada bagian
bawah tanaman, serta daun telah membuka sempurna. Tanaman dengan tunas
yang dilengkapi akar akan memiliki peluang hidup lebih besar dibandingkan
dengan tunas tanpa akar yang tidak akan bertahan jika diaklimatisasi.
Aklimatisasi planlet Amorphophallus decus-silvae memerlukan kelembaban
media serta naungan yang terjaga karena berpengaruh terhadap keberhasilan
tumbuh. Menurut Hu et al. (2008), pada kultur Amorphophallus albus lebih dari
90% planlet dapat bertahan setelah 1 bulan aklimatisasi, dan dalam 4 bulan tidak
ada perbedaan morfologi dengan tanaman induk. Naungan diperlukan karena
Amorphophallus decus-silvae merupakan tanaman yang tidak tahan terhadap
panas secara langsung.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Perkecambahan biji tertinggi 94.1% terjadi pada media dengan 2 ppm
BAP + 0.1 ppm IBA. Media terbaik untuk menghasilkan tunas pada kultur biji
Amorphophallus decus-silvae yakni 2 ppm BAP + 0.1 ppm IBA sebanyak 16.2
tunas pada ekplan bagian atas dan 14.2 tunas pada eksplan bagian bawah selama
28 minggu. Pemindahan eksplan ke media 3 ppm GA3 dapat meningkatkan
tinggi tunas mikro. Planlet yang dihasilkan dapat bertahan 100 % setelah 2
minggu aklimatisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Azmi C. 2006. Pembentukan buah dan viabilitas benih suweg ( Amorphophallus
paeoniifolius (Denst) Nicolson) dari penyerbukan silang buat koleksi
plasma nutfah kebun percobaan cikabayan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Bjowani SS, RazdanMK. 1996. Plant Tissue Culture: Theory and Practice a
Reviced Edition. Amsterdam (NL): Elselvier.
Bewley JD, Black M. 1994. Seed Physiology of Development and Germination
second edition. New York (US): Plenum Press.
Bradford K, Nonogaki H. 2007. Seed Development, Dormancy and Germination
Annual Plant ReviewsVolume 27. Oxford (US): Blackwell.
Chen FC, Wang CY, Fang JY. 2012. Micropropagation of self heading
Philodendron via direct shoot regeneration. Scientia Horticulturae 141:2329.
Chotigamas T, Sirisansaneeyakul S, Sripaoraya S, Gateprasert M, Vanichsriratana
W. 2010. Process development for konjac (Amorphophallus oncophyllus)
glukomannan production using cell suspension culture technique.

18

Proceedings TRF-master Research Congress IV (Science and Technology).
March 30 april 2