Formulasi dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads Dari Metronidazol Dengan Basis Alginat-Kitosan

(1)

FO

ORMULA

FLOAT

ME

PROG

UN

ASI DAN

TING MU

ETRONID

ALG

ALI W

GRAM ST

FAK

NIVERSIT

N EVALU

UCOADHE

DAZOL D

GINAT-K

SKRIP OLEH WARDAN NIM 1015

TUDI SA

KULTAS F

TAS SUM

MEDA

UASI SEC

ESIVE BE

DENGAN

KITOSAN

PSI H: NA SITEPU 01043

ARJANA F

FARMAS

MATERA

AN

ARA IN

EADS DA

N BASIS

N

U

FARMAS

SI

UTARA

VITRO

ARI

SI


(2)

FO

ORMULA

FLOAT

ME

Diajukan Gela

PROG

UN

ASI DAN

TING MU

ETRONID

ALG

n sebagai s ar Sarjana F

Unive ALI W

GRAM ST

FAK

NIVERSIT

N EVALU

UCOADHE

DAZOL D

GINAT-K

SKRIP salah satu s Farmasi pa ersitas Sum OLEH WARDAN NIM 1015

TUDI SA

KULTAS F

TAS SUM

MEDA

2014

UASI SEC

ESIVE BE

DENGAN

KITOSAN

PSI syarat untu ada Fakult matera Utar H: NA SITEPU 01043

ARJANA F

FARMAS

MATERA

AN

4

ARA IN

EADS DA

N BASIS

N

uk mempero as Farmasi ra U

FARMAS

SI

UTARA

VITRO

ARI

oleh i

SI


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

FORMULASI DAN EVALUASI SECARA

IN VITRO

FLOATING MUCOADHESIVE BEADS

DARI

METRONIDAZOL DENGAN BASIS

ALGINAT-KITOSAN

OLEH:

ALI WARDANA SITEPU NIM 101501043

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 26 Agustus 2014

Pembimbing I,

Prof. Dr. M.T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. NIP 195212041980021001 

Panitia Penguji

Prof. Dr. Karsono, Apt. NIP 195409091982011001

Prof. Dr. M.T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. NIP 195212041980021001

Dr. Kasmirul R. Sinaga, M.S., Apt. NIP 195504241983031003

Dra. Lely Sari Lubis, M.Si., Apt. NIP 195404121987012001  Medan, Oktober 2014

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Pembimbing II,

Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt. NIP 195201171980031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Formulasi Dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads Dari Metronidazol Dengan Basis Alginat-Kitosan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bantuan serta fasilitas selama pendidikan, kepada Prof. Dr. M.T. Simanjuntak, M.Sc., Apt., dan Prof. Dr. Hakim Bangun, Apt., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Karsono, Apt., Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt., dan Dra. Lely Sari Lubis, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, arahan, kritik, dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini, kepada T. Ismanelly Hanum, S.Si., M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama ini, serta Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ayah dan Ibunda tercinta Kasinan Sitepu dan Sukahati br Milala, serta Karmila Sitepu, Karolita Sitepu, Ade Pranata Sitepu dan Kartika Sitepu selaku saudara


(5)

penulis dan kepada sahabat-sahabat terdekat yang begitu mendukung dan mendoakan penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Oktober 2014

Penulis,

Ali Wardana Sitepu NIM 101501043


(6)

Formulasi dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads dari Metronidazol dengan Basis Alginat-Kitosan

Abstrak

Salah satu kendala utama pada pengobatan ulkus yang disebabkan oleh H. pylori dengan sediaan konvensional adalah waktu tinggal obat yang singkat didalam lambung. Adapun beberapa sistem penghantaran obat ke lambung adalah

floating dan mucoadhesive. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan yang dapat bertahan lebih lama dalam lambung yang memiliki sifat floating dan mucoadhesive.

Floating mucoadhesive beads dibuat dengan menggunakan basis alginat kitosan dan dibuat dalam 11 formula dengan 3 kelompok formula. Kelompok 1 (F1) tanpa penyalutan, kelompok 2 (F2-F6) salut Eudragit RS 100, dan kelompok 3 (F7-F11) salut pertama dengan Eudragit RS 100 dan salut kedua dengan kalsium alginat. Diameter sediaan diukur dengan menggunakan micrometer.

Floating lag time dan floating time diukur pada gelas beker yang berisi medium lambung. Sifat mucoadhesive dari beads diuji dengan menggunakan tensiometer DuNoy menggunakan lambung tikus. Efisiensi penjeratan diukur terhadap 20 beads dan ditentukan jumlah metronidazol yang terjerat didalam beads. Pelepasan metronidazol dari beads dilakukan dengan menggunakan metode dayung USP dalam medium lambung buatan (pH 1,2). Kadar metronidazol diukur dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 277 nm.

Dari pengukuran didapat diameter beads adalah 2,70 mm sampai 3,27 mm.

Floating lag time dari semua beads adalah 0 menit sedangkan floating time lebih dari 12 jam. Dari uji mucoadhesive didapat gaya mucoadhesive adalah 1,14 sampai 2,06 dyne/mm2. Efisiensi penejaratan dari floating mucoadhesive beads berada pada rentang 62,24% sampai 76,46%. Pada uji pelepasan metronidazol dari beads menunjukkan bahwa beads dapat dijadikan pelepasan terkontrol, dimana semakin tinggi konsentrasi Eudragit RS 100 maka laju pelepasan metronidazol dari beads semakin lambat. Dari percobaan ini didapat hasil maksimal yaitu pada F11 dimana beads dapat melepaskan 83% metronidazol dalam 12 jam. Kinetika pelepasan metronidazol dari beads mengikuti kinetika pelepasan model Higuchi. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa F11 adalah potensial digunakan sebagai sediaan sustained release gastro retentive drug delivery system dari metronidazol.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Ulkus Peptikum (Peptic Ulcer) ... 6

2.2 Gastroretentive Drug Delivery Sistem ... 7

2.3 Sistem Floating ... 8


(8)

2.3.1.1 Bentuk sediaan floating effervescent ... 9

2.3.1.2 Bentuk sediaan floating non-effervescent ... 9

2.3.2 Keuntungan FDDS ... 9

2.3.3 Kerugian FDDS ... 10

2.4 Sistem Mucoadhesive ... 10

2.4.1 Pengertian bioadhesive ... 10

2.4.2 Mekanisme bioadhesive ... 11

2.4.3 Teori bioadhesive ... 13

2.5 Metronidazol ... 15

2.5.1 Sifat fisika kimia metronidazol ... 15

2.5.2 Farmakologi ... 15

2.5.3 Farmakokinetik ... 16

2.5.4 Efek samping ... 16

2.6 Alginat ... 16

2.6.1 Struktur kimia ... 18

2.6.2 Sifat alginat ... 19

2.7 Kitosan ... 19

2.7.1 Struktur kimia kitosan ... 20

2.7.2 Sifat kitosan ... 21

2.7.3 Aplikasi farmasetik kitosan ... 21

2.8 Eudragit ... 22

2.8.1 Struktur kimia ... 22

2.8.2 Jenis polimer ... 23


(9)

2.9 Disolusi ... 25

2.9.1 Faktor faktor yang mempengaruhi laju disolusi ... 27

2.9.2 Metode disolusi ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Alat - Alat Penelitian ... 31

3.2 Bahan – Bahan Penelitian ... 31

3.3 Prosedur Penelitian ... 31

3.3.1 Pembuatan larutan kalsium klorida 0,15 M ... 31

3.3.2 Pembuatan medium lambung buatan medium pH 1,2 . 31 3.3.3 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi metronidazol ... 32

3.3.3.1 Pembuatan larutan induk baku metronidazol dalam medium pH 1,2 ... 32

3.3.3.2 Pembuatan kurva serapan metronidazol dalam medium pH 1,2 ... 32

3.3.3.3 Pembuatan kurva kalibrasi metronidazol dalam medium pH 1,2 ... 32

3.3.4 Pembuatan beads alginat – kitosan ... 32

3.3.5 Pembuatan beads salut eudragit rs 100 ... 33

3.3.6 Pembuatan beads salut eudragit rs 100 dan kalsium alginat ... 33

3.3.7 Penentuan diameter floating mucoadhesive beads ... 33

3.3.8 Pengukuran floating lag time ... 34

3.3.9 Pengukuran floating time ... 34

3.3.10 Efisiensi penjeratan ( entrapment efficiency) ... 34


(10)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Pembuatan Floating Mucoadhesive Beads ... 36

4.2 Penenentuan Diameter Floating Mucoadhesive Beads ... 36

4.3 Scanning Electron Microscopy ... 39

4.3.1 Beads alginat-kitosan ... 39

4.3.2 Beads alginat-kitosan salut eudragit rs 100 30% ... 40

4.3.3 Beads alginat-kitosan salut eudragit rs 100 30% dan kalsium alginat ... 41

4.4 Pengukuran Floating Lag Time ... 41

4.5 Pengukuran Floating Time ... 43

4.6 Uji Mucoadhesive ... 44

4.7 Efisiensi Penjeratan (Entrapment Efficiency) ... 45

4.8 Pelepasan Metronidazol dari Floating Mucoadhesive Beads 46 4.8.1 Tanpa penyalutan ... 46

4.8.2 Salut eudragit rs 100 ... 47

4.8.3 Salut eudragit rs 100 dan kalsium alginat ... 49

4.8.4 Perbedaan jenis penyalut ... 52

4.9 Kinetika Pelepasan Metronidazol dari Beads Alginat .Kitosan ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1 Kesimpulan ... 67

5.2 Saran ... 67


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Tabel 2.1: Menunjukkan perbandingan asam uronat dalam berbagai

sepsies Alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field ... 17 Table 2.2: Jenis dan pemerian polimer eudragit ... 24 Tabel 3.1: Formula floating mucoadhesive beads... 34 Table 4.1: Diameter sediaan floating mucoadhesive beads dari

.Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 37

Tabel 4.2: Floating lag time floating mucoadhesive beads dari

.Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 42

Tabel 4.3: Floating time floating mucoadhesive beads dari

.Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 43

Tabel 4.4: Daya mucoadhesive dari floating mucoadhesive beads dari

.Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 45

Tabel 4.5: Persen efisiensi penjeratan floating mucoadhesive beads dari

Metronidazol dengan basis alginat-kitosan ... 46 Tabel 4.6: Pelepasan metronidazol dari beads salut eudragit rs 100 ... 47 Tabel 4.7: Pelepasan metronidazol dari beads salut eudragit rs 100 dan

.kalsium alginat ... 50

Tabel 4.8: Nilai AUC0-80% dari floating mucoadhesive beads ... 52 Tabel 4.9: Korelasi kinetika pelepasan metronidazol orde nol, orde satu,


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1.1: Kerangka penelitian ... 5

Gambar 2.1: Mekanisme sistem floating ... 8

Gambar 2.2: Skematik tegangan permukaan antara material polimer bioadhesif dan mukosa saluran cerna ... 13

Gambar 2.3: Ikatan mekanis melalui interpentrasi rantai polimer Bioadhesif dan rantai polimer mukus ... 14

Gambar 2.4: Struktur kimia metronidazol ... 15

Gambar 2.5: Struktur kimia alginat (a. monomer alginat, b. konformasi alginat, c. distribusi monomer) ... 18

Gambar 2.6: Struktur kimia kitosan ... 20

Gambar 2.7: Struktur kimia eudragit ... 23

Gambar 2.8: Disolusi obat dari suatu padatan matriks ... 27

Gambar 4.1: A. Formula 1, B. Formula 2, C. Formula 3, D. Formula 4, E. Formula 5, F. Formula 6, G. Formula 7, H. Formula 8, I. Formula 9, J. Formula 10, K. Formula 11 ... 39

Gambar 4.2: Foto SEM beads alginat-kitosan (perbesaran 50x, 500x .dan 1000x) ... 40

Gambar 4.3: Foto SEM beads alginat-kitosan salut eudragit rs 100 30% (perbesaran 50x, 500x dan 1000x) ... 40

Gambar 4.4: Foto SEM beads alginat-kitosan salut eudragit rs 100 30% dan kalsium alginat (perbesaran 50x, 500x dan 1000x) ... 41

Gambar 4.5: Pengukuran floating lag time dari floating mucoadhesive beads ... 42

Gambar 4.6: Pengukuran floating time dari floating mucoadhesive beads ... 43

Gambar 4.7: Grafik pengaruh konsentrasi eudragit rs 100 terhadap laju pelepasan metronidazol dari beads ... 48

Gambar 4.8: Grafik pengaruh konsentrasi eudragit rs 100 yang disalut alginat terhadap laju pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads ... 51


(13)

Gambar 4.9: Pengaruh penyalutan beads terhadap laju pelepasan

metronidazol dari beads ... 53 Gambar 4.10: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 1 ... 55 Gambar 4.11: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 1 ... 56 Gambar 4.12: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 2 ... 56 Gambar 4.13: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 2 ... 57 Gambar 4.14: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 3 ... 57 Gambar 4.15: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 3 ... 58 Gambar 4.16: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 4 ... 58 Gambar 4.17: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 4 ... 59 Gambar 4.18: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 5 ... 59 Gambar 4.19: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 5 ... 60 Gambar 4.20: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 6 ... 60 Gambar 4.21: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 6 ... 61 Gambar 4.22: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 7 ... 61 Gambar 4.23: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 7 ... 62 Gambar 4.24: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 8 ... 62 Gambar 4.25: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 8 ... 63 Gambar 4.26: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan


(14)

Gambar 4.27: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 9 ... 64 Gambar 4.28: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 10 ... 64 Gambar 4.29: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari

pelepasan metronidazol dari beads Formula 10 ... 65 Gambar 4.30: Grafik kinetika pelepasan orde Higuchi dari pelepasan

metronidazol dari beads Formula 11 ... 65 Gambar 4.31: Grafik kinetika pelepasan orde Korsmeyer-peppas dari


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1: Sertifikat analisis metronidazol ... 71

Lampiran 2: Kurva serapan larutan metronidazol 12 mcg/ml dalam medium lambung buatan pH 1,2 ... 72

Lampiran 3: Pengukuran kurva kalibrasi larutan metronidazol dengan berbagai konsentrasi pada panjang gelombang 277 nm dalam mMedium pH 1,2 ... 73

Lampiran 4: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 1 ... 74

Lampiran 5: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 2 ... 76

Lampiran 6: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 3 ... 78

Lampiran 7: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 4 ... 80

Lampiran 8: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 5 ... 83

Lampiran 9: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 6 ... 86

Lampiran 10: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 7 ... 89

Lampiran 11: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 8 ... 92

Lampiran 12: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 9 ... 95

Lampiran 13: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 10 ... 97

Lampiran 14: Data pelepasan metronidazol dari beads Formula 11 ... 101

Lampiran 15: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 1 ... 104

Lampiran 16: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 2 ... 105

Lampiran 17: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 3 ... 106

Lampiran 18: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 4 ... 107

Lampiran 19: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 5 ... 108


(16)

Lampiran 20: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating

mucoadhesive beads Formula 6 ... 109

Lampiran 21: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 7 ... 110

Lampiran 22: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 8 ... 111

Lampiran 23: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 9 ... 112

Lampiran 24: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 10 ... 113

Lampiran 25: Data AUC pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads Formula 11 ... 114

Lampiran 26: Uji statistik Formula 1-6 ... 115

Lampiran 27: Uji statistik Formula 7-11 ... 117

Lampiran 28: Uji statistik pengaruh penyalutan ... 118

Lampiran 29: Gambar alat ... 119


(17)

Formulasi dan Evaluasi Secara In Vitro Floating Mucoadhesive Beads dari Metronidazol dengan Basis Alginat-Kitosan

Abstrak

Salah satu kendala utama pada pengobatan ulkus yang disebabkan oleh H. pylori dengan sediaan konvensional adalah waktu tinggal obat yang singkat didalam lambung. Adapun beberapa sistem penghantaran obat ke lambung adalah

floating dan mucoadhesive. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat sediaan yang dapat bertahan lebih lama dalam lambung yang memiliki sifat floating dan mucoadhesive.

Floating mucoadhesive beads dibuat dengan menggunakan basis alginat kitosan dan dibuat dalam 11 formula dengan 3 kelompok formula. Kelompok 1 (F1) tanpa penyalutan, kelompok 2 (F2-F6) salut Eudragit RS 100, dan kelompok 3 (F7-F11) salut pertama dengan Eudragit RS 100 dan salut kedua dengan kalsium alginat. Diameter sediaan diukur dengan menggunakan micrometer.

Floating lag time dan floating time diukur pada gelas beker yang berisi medium lambung. Sifat mucoadhesive dari beads diuji dengan menggunakan tensiometer DuNoy menggunakan lambung tikus. Efisiensi penjeratan diukur terhadap 20 beads dan ditentukan jumlah metronidazol yang terjerat didalam beads. Pelepasan metronidazol dari beads dilakukan dengan menggunakan metode dayung USP dalam medium lambung buatan (pH 1,2). Kadar metronidazol diukur dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 277 nm.

Dari pengukuran didapat diameter beads adalah 2,70 mm sampai 3,27 mm.

Floating lag time dari semua beads adalah 0 menit sedangkan floating time lebih dari 12 jam. Dari uji mucoadhesive didapat gaya mucoadhesive adalah 1,14 sampai 2,06 dyne/mm2. Efisiensi penejaratan dari floating mucoadhesive beads berada pada rentang 62,24% sampai 76,46%. Pada uji pelepasan metronidazol dari beads menunjukkan bahwa beads dapat dijadikan pelepasan terkontrol, dimana semakin tinggi konsentrasi Eudragit RS 100 maka laju pelepasan metronidazol dari beads semakin lambat. Dari percobaan ini didapat hasil maksimal yaitu pada F11 dimana beads dapat melepaskan 83% metronidazol dalam 12 jam. Kinetika pelepasan metronidazol dari beads mengikuti kinetika pelepasan model Higuchi. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa F11 adalah potensial digunakan sebagai sediaan sustained release gastro retentive drug delivery system dari metronidazol.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sistem penghantaran obat tinggal di lambung sangat menguntungkan untuk beberapa obat untuk meningkatkan bioavailabilitas dan menurunkan dosis terapinya. Diantara berbagai sediaan sistem tinggal di lambung, floating dan bio (muco)-adhesive adalah yang paling banyak diteliti untuk meningkatkan efek terapi dan meningkatkan bioavailabilitas sediaan yang tinggal di lambung (Malakar dan Nayak, 2013).

Daya mengapung sistem floating dibatasi jumlah cairan lambung yang hanya mempunyai persentase yang sedikit pada komposisi isi lambung untuk mengapung sehingga sediaan dapat jatuh dan terbawa keluar dari lambung, daya mengapung dari sediaan mungkin sangat terbatas yaitu hanya 3-4 jam (waktu pengosongan lambung normal). Sistem bioadhesive menempel pada lapisan epitel mukosa lambung, yang mana dapat terlepas dari mukosa dan dibawa keluar dari lambung akibat adanya pengaruh dari motilitas lambung. Keterbatasan dari sistem

floating dan mucoadhesive tersebut memungkinkan untuk menggabungkannya menjadi sistem floating bioadhesive yang akan dapat meningkatkan waktu kontak dengan lapisan epitel lambung, efikasi terapetik dan bioavailabilitas obat (Rathi, et al., 2012).

Bahan bahan yang berpotensi pada pembuatan sediaan mucoadhesive untuk penghantaran obat merupakan biopolimers yang dapat digunakanan pada makanan dan memiliki sifat bioadhesive pada lapisan mukosa seperti yang


(19)

dilaporkan dari penelitian sebelumnya yaitu pektin, natrium karboksi metil selulosa (Na CMC), natrium alginat dan kitosan ( Ali dan Bakalis, 2011).

Menurut penelitian sebelumnya, polielektrolit kompleks dalam bentuk mikrosphere dan beads yang dibentuk oleh polimer kationik dan polimer anionik dapat meningkatkan waktu pelepasan obat atau pelepasan terkontrol. Contoh polielektrolit kompleks untuk mengontrol pelepasan obat yang sering digunakan yaitu alginat/kitosan, kitosan-mikropartikel multicore selulosa, kitosan berlapis pektin, kitosan/poli (asam akrilat) kompleks, poli (vinil alkohol)/natrium alginat, poli (acid-g-metakrilat etilena glikol) partikel (Piyakulawat, et al., 2007).

Menurut Honary, et al., (2009), telah terjadi peningkatan minat dalam studi alginat-kitosan sebagai mikropartikel untuk penghantaran terkontrol pada protein dan obat karena sifatnya yang biokompatibel, biodegradable dan sifat mucoadhesivenya. Sebuah studi pada penggabungan kitosan dengan alginat menggunakan label radioaktif pada kitosan menunjukkan bahwa ikatan kedua polimer menunjukkan dengan jelas adanya sifat mengurangi berat molekul rata-rata kitosan dan meningkatkan porositas dari alginat gel.

Kitosan (diperoleh dari deasetilasi kitin) adalah polimer kationik yang telah banyak diusulkan untuk digunakan dalam pembuantan sediaan beads oleh sejumlah peneliti. Kitosan terpilih sebagai polimer dalam pembuatan mucoadhesive microsphere/beads karena memiliki sifat mucoadhesive yang baik dan bersifar biodegradable (Patel, et al., 2005). Sedangkan alginat memiliki sifat yang unik dalam pembentukan gel dengan adanya kation multivalent seperti ion-ion kalsium dalam medium air. Penambahan polikation-ion seperti kitosan dengan karakteristik polikation yang unik menyebabkan interaksi kuat dengan alginat


(20)

yang bermuatan negatif. Ketika butiran kalsium-alginat ditambahkan ke dalam larutan kitosan, interaksi elektrostatik gugus karboksilat dari alginat dengan gugus amin dari kitosan menghasilkan pembentukan sebuah membran. Proses ini telah banyak digunakan dalam pembuatan membran alginat-kitosan dengan inti gel kalsium-alginat yang padat. Ada banyak keuntungan penyalutan dengan kitosan, seperti peningkatan jumlah muatan obat dan sifat bioadesive, juga sifat pelepasan obat yang diperlama (Farahani, et al., 2006).

Untuk penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan alginat dan kitosan maka peneliti tertarik untuk meneliti pembuatan floating mucoadhesive beads dari alginat kitosan dengan menggunakan metronidazol sebagai model obat. Metronidazol adalah obat antibiotik yang digunakan terutama dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh organisme yang rentan, terutama bakteri anaerob dan protozoa. Metronidazol diserap dengan baik secara oral dengan eliminasi plasma dengan waktu paruh mulai 6 - 7 jam (Mourya, et al., 2010). Karena waktu paruh eliminasinya singkat, maka metronidazol perlu dibuat dalam bentuk sediaan pelepasan terkontrol yang bertahan dalam lambung seperti mucoadhesive beads.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, diambil perumusan masalah yaitu:

a. Apakah beads dari metronidazol dengan basis alginat-kitosan merupakan sediaan floating-mucoadhesive?

b. Apakah pelepasan metronidazol dari beads floating-mucoadhesive dengan basis alginat kitosan merupakan pelepasan terkontrol?


(21)

1.3Hipotesis

a. Beads dari metronidazol dengan basis alginat – kitosan merupakaan sediaan floating-mucoadhesive.

b. Pelepasan metronidazol dari beads floating-mucoadhesive dengan basis alginat kitosan merupakan pelepasan terkontrol.

1.4Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui sifat floating-mucoadhesive sediaan beads dari metronidazol dengan basis alginat–kitosan.

b. Untuk mengetahui pelepasan terkontrol metronidazol dari beads floating -mucoadhesive dengan basis alginat-kitosan.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat floating -mucoadhesive dan profil pelepasan metronidazol dari beads floating -mucoadhesive alginat - kitosan dalam perkembangan penelitian tentang pemanfaatan alginat dan kitosan untuk aplikasi formulasi pelepasan terkontrol.


(22)

1.6Kerangka Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengacu pada kerangka konsep seperti ditunjukkan pada Gambar 1:

Latar Belakang Penyelesaian Variabel Bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1. Kerangka penelitian

  Kendala pada penghantaran obat ke lambung dari sediaan konvesional adalah waktu tinggalnya yang singkat dalama lambung Pembuatan sediaan yang dapat tinggal dalam lambung seperti: floating dan mucoadhesive ataupun gabungan keduanya Pelepasan Metronidazol dari beads Kinetika Pelepasan Metronidazol dari beads Daya Mucoadhesiv Floating Lag time Floating time Efisiensi penjeratan menit menit Persen penjeratan (%) Dyne/cm Jumlah obat terlepas (%) Orde Reaksi Diameter

Sediaan mm

Konsentras i Eudragit RS 100 Salut Eudragit RS 100 Salut Eudragit RS 100 dan Kalsium


(23)

BAB II

TI NJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Peptikum (Peptic Ulcer)

Ulkus peptikum merupakan daerah ekskoriasi mukosa yang disebabkan kerja pencernaan getah lambung. Penyebab ulkus peptikum yang biasa adalah terlalu banyak sekret getah lambung dalam hubungannya dengan derajat perlindungan yang diberikan oleh lapisan mukus lambung dan duodenum serta netralisasi asam lambung oleh getah duodenum. Diingatkan bahwa semua daerah yang dalam keadaan normal terpapar getah lambung disuplai banyak kelenjar mukosa, mulai dengan kelenjar mukosa komposita pada bagian bawah esofagus, kemudian lambung, sel leher mukosa glandula gastrika, glandula pilorika dalam yang terutama menyekresi mucus, akhirnya kelenjar Brunner pada duodenum atas yang menyekresi mukus yang sangat alkali (Guyton, 1990).

Selain dari perlindungan mukus dari mukosa, duodenum juga dilindungi oleh sekresi usus halus yang alkali, yang mengandung banyak natrium bikarbonat yang menetralkan asam hidroklorida getah lambung, jadi menonaktifkan pepsin sehingga mencegah pencernaan mukosa. Dua mekanisme tambahan yang menjamin netralisasi getah lambung (Guyton, 1990) adalah:

1. Bila asam yang berlebihan masuk duodenum ia secara refleks menghambat sekresi dan peristaltik lambung, karena itu mengurangi kecepatan pengosongan lambung. Hal ini memungkinkan sekret pankreas mempunyai waktu yang lebih lama untuk masuk ke duodenum dan menetralkan asam yang sudah ada. Setelah netralisasi berlangsung, refleks menghilang dan isi


(24)

2. Adanya asam dalam usus halus mengeluarkan sekretin dari mukosa usus halus, kemudian sekretin melalui darah menuju ke pancreas untuk merangsang sekresi cepat getah pankreas mengandung natrium bikorbat konsentrasi tinggi, jadi membuat lebih banyak natrium bikarbonat tersedia untuk menetralkan asam.

2.2 Gastroretentive Drug Delivery Sistem

Sistem penghantaran obat tinggal di lambung (GDDS) adalah salah satu cara untuk memperpanjang waktu tinggal sediaan di dalam lambung, dengan maksud untuk pemberiaan obat lokal pada saluran cerna bagian atas ataupun untuk efek sistemik (Nayak, et al., 2010). Keuntungan dari penggunaan sistem penghantaran obat tinggal di lambung adalah untuk menurunkan perubahan pelepasan obat, pengobatan lokal dan aksi lokal, dan untuk meningkatkan bioavailabilitas obat yang absorpsinya terbatas di dalam saluran cerna. Adapun metode untuk membuat sediaan tinggal di lambung adalah:

- Penambahan bahan yang memperlambat pelepasan, seperti makanan, atau obat, sebagai contoh propanthilen.

- Penggunaan bahan yang berat jenisnya tinggi: bahan dengan berat jenis tinggi ( 2.5g/cm3) akan mempunyai waktu tinggal yang lama di saluran cerna. Hal ini dapat dicapai dengan penambahan bahan seperti barium sulfat.

- Pengubahan ukuran/bentuk sistem penghantaran dengan menggunakan lapisan polimer, balon hidrogel yang mengembang, atau polimer yang mempunyai ukuran besar untuk melewati sphingter pylorus.

- Sistem bioadesi. Sistem ini memunyai daya lengket terhadap mukosa.


(25)

pengosongan lambung. Sistem ini tidak dipengaruhi waktu pengosongan lambung dan mempunyai pengaruh gravitasi yang kecil dibandingkan bahan bahan lain yang terdapat di lambung (Aulton, 2008).

2.3 Sistem Floating

Sistem floating atau Hydrodynamically controlled sistem adalah sistem yang memiliki berat jenis rendah yang mempunyai kemampuan untuk mengapung (floating) diatas isi lambung dan kemampuan di dalam lambung tanpa dipengaruhi laju pengosongan lambung pada suatu periode waktu yang lama. Ketika sistem ini mengapung pada komposisi lambung, obat dilepas secara perlahan pada laju yang diinginkan. Setelah melepaskan obat, sisa dari sediaan akan dikeluarkan dari lambung (Arora, et al., 2005).

2.3.1 Pembagian sistem floating

Sistem penghantaran floating dibagi berdasarkan pada variable formulasinya: effervescent dan sistem non-effervescent.


(26)

2.3.1.1 Bentuk sediaan floating effervescent

Ada beberapa jenis matriks yang dipakai untuk membantu pembuatan sediaan floating yaitu polimer yang dapat mengembang seperti metil selulosa dan kitosan dan berbagai bahan effervescent, sebagai contoh natrium bikarbonat, asam tartrat, dan asam sitrat. Sistem ini diformulasi dimana ketika sediaan kontak dengan asam lambung, akan dilepaskan gas CO2 dan gas terperangkap dalam hidrokoloid yang mengembang sehingga sediaan akaan mempunyai kemampuan untuk mengapung.

2.3.1.2 Bentuk sediaan floating non-effervescent

Bentuk sediaan floating non-effervescent menggunakan bentuk gel atau jenis hidrokoloid selulosa yang dapat mengembang, polisakarida, dan polimer bentuk matriks seperti polikarbonat, poliakrilat, polimetakrilat, dan polistiren. Metode formulasi mecakup pendekatan sederhana dengan cara mencampur obat dengan pembentuk gel-hidrokoloid. Setelah pemberian oral sediaan akan mengembang ketika kontak dengan cairan lambung dan membentuk massa dengan berat jenis 1. Udara yang terjerat di dalam matriks yang mengembang membuat sediaan akan mengapung (Arora, et al., 2005).

2.3.2 Keuntungan FDDS

Keuntungan FDDS adalah sebagai berikut:

1. Sistem floating sangat menguntungkan untuk obat yang dimaksudkan untuk aksi lokal seperti lambung. Contoh: antasida

2. Obat obat yang bersifat asam seperti aspirin dapat menyebabkan iritasi pada dinding lambung ketika berkontak dengan lambung. Oleh karena itu FDDS dapat digunakan untuk penghantaran aspirian ataupun obat obat yang serupa.


(27)

3. Sistem floating sangat menguntungkan untuk obat obat yang diabsorpsi di saluran cerna. Contoh: Garam Fero, antasida

4. Penghantaran obat yang diperpanjang seperti sediaan floating, tablet atau kapsul, akan terdisolusi di dalam cairan lambung. Sediaan floating terlarut pada cairan lambung akan segera diabsorbsi di usus halus setelah waktu pengosongan lambung.

5. Semua obat akan diabsorpsi secara sempurna dari bentuk sediaan floating

walaupun dalam larutan dengan pH alkali di saluran pencernaan. 2.3.3 Kerugian FDDS

Adapaun kerugian dari sistem FDDS adalah:

1. Sistem floating tidak cocok untuk obat obat yang mempunyai kelarutan dan stabilitas yang rendah di saluran pencernaan.

2. Sistem ini membutuhkan cairan lambung yang banyak untuk menjaga sediaan tetap mengapung.

3. Obat obat yang secara cepat dieliminasi dari tubuh seperti obat-obat yang megalami first pass metabolism tidak cocok menjadi kandidat obat ini (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

2.4 Sistem Mucoadhesive

2.4.1 Pengertian bioadhesive

Isitilah bioadhesive digunakan untuk menjelaskan ikatan antara dua permukaan biologi atau ikatan antara permukaan biologi dengan permukaan bahan bahan sintesis. Pada sistem penghantaran obat dengan bioadhesive ini digunakan untuk menjelaskan ikatan antara polimer, baik polimer sintesis maupun polimer


(28)

penghantaran obat sistem bioadhesive adalah jaringan sel halus (seperti sel epitel), pada kenyataannya ikatan mungkin terjadi dengan lapisan sel, lapisan mukus, ataupun kombinasi dari keduanya. Ikatan antara mukus dengan polimer, disebut juga dengan mucoadhesive yang digunakan sebagai sinonim bioadhesive. Pada umumnya, bioadhesive adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ikatan dari sistem biologis atau derivat substansi biologis, dan mucoadhesive

hanya digunakan untuk menggambarkan ikatan yang mencakup mukus dan permukaan mukosa (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

2.4.2 Mekanisme bioadhesive

Untuk membuat sistem penghantaran obat sistem bioadhesive, ini sangat penting untuk menggambarkan dan menngetahui gaya yang berperan penting dalam pembentukan bentuk ikatan adhesif. Banyak penelitian yang focus untuk menganalisis interaksi bioadhesive dengan polimer hidrogel dan jaringan halus. Adapun proses yang mencakup pembentukan ikatan bioadhesive telah digambarkan dalam tiga langkah yaitu: (a) pembasahan dan pengembangan polimer untuk memulai kontak dengan jaringan biologis, (b) Interpenetrasi rantai polimer bioadhesive dan penggabungan rantai polimer dan rantai mukus, (c) pembentukan ikatan kimia yang lemah pada penggabungan rantai polimer dan mukus (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

a. Ikatan kimia

Tipe ikatan kimia mencakup ikatan yang kuat yaitu ikatan primer seperti ikatan kovalen), dan juga ikatan kimia yang lemah seperti ikatan sekunder seperti ikatan ion, interaksi van der Waals, dan ikatan hydrogen. Seperti yang


(29)

digambarkan pada buku ini, kedua jenis interaksi tersebut telah dimanfaatkan untuk membuat sediaan sistem bioadhesive (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

Meskipun sistem ini didesain untuk membentuk ikatan kovalen dengan protein pada permukaan sel akan mengasilkan beberapa keuntungan, namun ada tiga faktor yang membatasi kegunaan dari ikatan yang permanen. Pertama, lapisan mukus mungkin menghambat secara langsung kontak antara polimer dengan jaringan. Kedua, ikatan kimia yang permanen dengan epitel mungkin tidak akan menghasilkan yang dapat bertahan lama karena pada umumnya sel epitel diregenerasi setiap 3 sampai 4 hari. Ketiga, biokompatibilas dari ikatan yang dapat menghasilkan masalah signifikan (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

Untuk alasan itu, maka banyak penelitian yang difokuskan pada pembuatan hidrogel, sistem mucoadhesive yang memiliki ikatan kimia yang lain seperti interaksi van der Waals atau ikatan hydrogen. Selanjutnya, polimer yang memiliki berat bolekul besar dan dengan konsentrasi reaktif yang tinggi, yaitu gugus polar (seperti –COOH dan –OH) yang berperan dalam pembuatan ikatan

mucoadhesive (Chickering dan Mathiowitz, 1999). b. Ikatan mekanis atau fisika

Ikatan mekanis dapat terjadi seperti interaksi fisika antara permukaan yang sama untuk menggambungkan dua bentuk susunan. Secara makroskopik, ikatan ini dapat dilihat penggabungan fisik dari rantai mukus dengan rantai polimer yang fleksibel dan/atau interpenetrasi dari rantai mukus kedalam pori dari substrat polimer. Laju penetrasi rantai polimer kedalam lapisan mukus tergantung pada fleksibelitas rantai dan koefisien difusi masing masing. Kekuatan dari ikatan adhesive secara langsung tergantung dari penetrasi rantai polimer. Faktor lain


(30)

yang mempengaruhi kekuatan ikatan mencakup keberadaan air, waktu kontak antar material, dan panjang dan fleksibilitas rantai polimer (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

2.4.3 Teori bioadhesive

A. Teori elektronik

Hipotesis dari teori elektronik didasarkan pada asumsi bahwa material

bioadhesive dan material target biologis mempunyai struktur elektorn yang berbeda. Pada asumsi ini, ketika dua material kontak satu sama lain, akan terjadi perpindahan electron untuk menghasilkan bentuk yang stabil, yang menyebabkan pembentukan dua lapisan pada muatan electron yaitu pada material bioadhesive – permukaan material biologis (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

B. Teori adsorpsi

Teori adsorpsi menyatakan ikatan bioadhesive dibentuk antara suatu substrat bioadhesive dan jaringan atau mukosa melalui interaksi van der Waals, ikatan hydrogen, dan gaya yang berkaitan. Meskipun gaya yang dihasilkan lemah, namun jumlah dari interaksi dapat menghasilkan adhesive yang kuat (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

C. Teori pembasahan

Gambar 2.2. Skematik tegangan permukaan antara material polimer


(31)

Kemampuan dari bioadhesive atau mukus untuk menyebar dan membentuk kontak yang mandalam dengan substrat yang cocok adalah salah satu faktor yang penting pada pembentukan ikatan. Teori pembasahan, ditemukan pada umumnya pada adhesive cairan, menggunakan tegangan antar permukaan untuk memperhitungan penyebaran dan sifat adhesifnya (Chickering dan Mathiowitz, 1999).

D. Teori difusi

Konsep dari interpenetrasi dan penggabungan rantai polimer bioadhesive

dengan rantai polimer mukus menghasilkan ikatan adhesive yang semipermanen yang disebut dengan teori difusi. Teori ini menganggap ikatan akan semakin kuat dengan meningkatnya tingkat penetrasi dari rantai polimer kedalam lapisan mukus. Penetrasi dari rantai polimer kedalam lapisan mukus, tergantung dari gradien konsentrasi dan koefisien difusi.

Gambar 2.3: Ikatan mekanis melalui interpentrasi rantai polimer bioadhesive

dan rantai polimer mukus E. Teori fraktur

Barangkali teori yang paling banyak diaplikasikan pada pemahaman tentang bioadhesive melalui pengukuran secara mekanis adalah teori fraktur. Teori ini menganalisis gaya yang dibutuhakan untuk memisahkan dua permukaan


(32)

2.5 Metronidazol

2.5.1 Sifat fisika kimia metronidazol

Struktur metronidazol dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini:

Gambar 2.4. Struktur kimia metronidazol

Rumus kimia metronidazol adalah C6H9N3O3 dengan nama kimia 2-metil-5-nitroimidazol-1-etanol, mempunyai berat molekul 171,16. Metronidazol mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C6H9N3O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemberiannya antara lain: hablur atau serbuk hablur; putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara, tetapi lebih gelap bila terpapar oleh cahaya. Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

2.5.2 Farmakologi

Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung. Pada biakan E. histolytica dengan kadar metronidazol 1 - 2 µg/mL, semua parasit musnah dalam 24 jam. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap metronidazol. Metronidazol juga memperlihatkan daya trikomonoiasid langsung. Pada biakan Trichomonas vaginalis, kadar metronidazol 2,5 µg/mL dapat mengancurkan 99% parasit dalam waktu 24 jam. Trofozit Giardia lambia juga dipengaruhi langsung pada kadar antara 1 - 50 µg/mL. Namun, saat ini telah dilaporkan bahwa Trichomonas vaginalis dan Giardia lambia secara klinis resisten terhadap metronidazol (Syarif dan Elysabeth, 2011).


(33)

2.5.3 Farmakokinetik

Metronidazol diserap dengan baik setelah pemberiaan oral dan dianjurkan sebagai obat penyeling atau pengganti pada penyakit intestinal yang ringan dan berat, serta yang tanpa gejala. Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10 µg/mL. umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang sensitif, rata rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 µg/mL (Syarif dan Elysabeth, 2013; Foye, 1996)

Waktu paruhnya berkisar antara 8-10 jam. Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh absorpsi yang buruk atau metabolisme terlalu cepat. Obat ini diekskresi melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolit hasil oksidasi dan glukuronidasi. Metronidazol juga diekskresi melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah (Syarif dan Elysabeth, 2013).

2.5.4 Efek Samping

Efek samping nampaknya banyak dan terutama menyangkut saluran lambung-usus, persendian, dan saraf rasa. Adapaun efek samping tersebut adalah mual, muntah, gangguan pengecapan, lidah kasar, gangguan saluran cerna, ruam, urtikaria dan angioudem; kadang kadang timbul rasa lesu, mengantuk pusing, ataksia, urin bewarna gelap dan anafilaksis. Neuritis perifer pada penggunaan jangka panjang, serangan epilepsy transein, leukopenia (Foye, 1996; Sukandar, dkk., 2008).

2.6 Alginat


(34)

Alginat adalah kopolimer yang tersusun dari α-L-Guluronat dan β-D-Mannuronat. Alginat komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan Sargassum sp (Draget, et al., 2005).

Berikut ini adalah tabel perbandingan asam uronat dari berbagai spesies alga, yaitu:

Tabel 2.1. Menunjukkan perbandingan asam uronat dalam berbagai sepsies alga .. ..yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field.

Jenis FG FM FGG FMM FGM,MG

Laminaria japonica Laminaria digitata

Laminaria hyperborea, blade Laminaria hyperborea, stipe

Laminaria hyperborean, outer cortex Lessonia nigerescens

Ecklonia maxima Macrocystis pyrifera Durviella antarctia

Ascophyllum nodosum, fruiting body Ascophyllum nodosum, old tisue

0,35 0,41 0,55 0,68 0,75 0,38 0,45 0,39 0,29 0,10 0,36 0,65 0,59 0,45 0,32 0,25 0,62 0,55 0,61 0,71 0,90 ,64 0,18 0,25 0,38 0,56 0,66 0,19 0,22 0,16 0,15 0,04 0,16 0,48 0,43 0,28 0,20 0,16 0,43 0,32 0,38 0,57 0,84 0,44 0,17 0,16 0,17 0,12 0,09 0,19 0,32 0,23 0,14 0,06 0,20

Perbandingan yang bervariasi dari asam uronat menyebabkan perbedaan sifat produk yang dihasilkan. Alginat yang mengandung asam guluronat yang tinggi akan cenderung mempunyai struktur yang kaku (rigid) serta mempunyai


(35)

porositas y mempuny 2.6.1 Stru

Al dari (1→4 hidrolisis Dua dari Guluorona asam man disimpulk yang mem Gambar 2 yang besar, yai struktur y

uktur kimia ginat terma 4) β-D-asam

parsial den fraksinya a at (G) dan a nnuronat dan kan bahwa a mpunyai gug

2.5: Struktu c. distr

sedangkan yang tidak k a

asuk dalam m mannoro ngan asam k adalah berup asam Mannu n asam gluk alginat terd gus sama (D

ur kimia alg ribusi mono

n yang meng kaku atau le

copolimer onat (M) d

klorida, alg pa homopo uronat (M), koronat den diri dari hom Draget, et al

ginat (a. mon omer)

gandung as ebih fleksibe

yang tidak dan α-L-asa ginat dapat olimer yang dan fraksi ngan jumlah mopolimer ., 2005). nomer algin am mannur el (Draget, bercabang, am guluron dibagi men terdiri dar ketiga terdi h yang sama M dan G s

nat, b. konfo

ronat yang t et al., 2005

alginat ter nat (G). M njadi tiga f ri molekul A

iri dari gabu a. Dari sini serta bagian ormasi Algi tinggi ). susun elalui fraksi. Asam ungan dapat n MG nat,


(36)

2.6.2 Sifat alginat

Kelarutan alginat dalam air ditentukan oleh tiga parameter, yaitu:

- pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat

- Kekuatan ionik total zat terlarut juga memainkan peranan penting (efek

salting-out kation-kation non-gelling), dan

- Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan (Draget, et al., 2005).

Alginat secara luas digunakan pada pambuatan produk makanan dan sediaan farmasi oral maupun topikal. Alginat dipilih karena sifatnya yang nontoksik dan juga tidak mengiritasi. Pada pembuatan tablet dan kapsul, alginat digunakan sebagai pengikat dan bahan desintegran pada konsentrasi 1-5% w/w. Alginat juga banyak digunakan sebagai bahan pengental dan suspending agent pada pembuatan pasta, krim, dan gel; dan juga sebagai stabilizing pada pembuatan emulsi minyak dalam air (Rowe, et al., 2009).

2.7 Kitosan

Kitin adalah salah satu polisakarida yang melimpah terdapat di alam. Kitosan adalah polisakarida alam yang diperoleh melalui deacetilasi kitin yang banyak ditemukan ditemukan pada kulit kepiting dan udang, kulit ari serangga, dan pada dinding sel fungi. Kitosan mempunyai sifat yang aman, biokompatibel dan biodegradebel. Penggunaan kitosan telah banyak dipakai pada penelitian biopharmaceutical seperti mucoadhesive, peningkat penetrasi, teknologi vaksin, terapi gen, dan penyembuh luka. Adapaun aplikasi kitosan adalah pada sediaan ophthalmic, nasal, sublingual, bukal, periodontal, gastrointestinal, colon-spesific,


(37)

vaginal, p kitosan ju langsung, penyampa Yogeshku 2.7.1 Stru Na rumus mo larut. Kiti glukosa ( hidroksil dalam air, Kitosan, p dalam air. Str yang beru (hasil dea tidak mera Ga penghantara uga diguna sebagai d aian terkont umar, et al., uktur kimia

ama kimia K olekul adala

in terdiri te (N-acetil-d-g pada C-2 larutan asa polimer yag ruktur mole ulang pada r asetilasi) da ata pada ran

ambar 2.6:

an obat tran akan pada disintegrant trol untuk m

2013). a kitosan

Kitosan ada h (C6H11O4 erutama da glukosamin diganti den am, alcohol, g sebagian

ekul kitin, m antai β-1→ an N-acetil-ntai raN-acetil-ntai β

Struktur ki nsdermal da industri fa tablet, un meningkatk alah 2-amin 4N)n. kitosan ari rantai li ne). Ini ser ngan gugus , dan denga diasetilasi

menunjukka →4. Struktur -D-glukosam

-1→4 (Yog

imia kitosan an mucosal armasi pad ntuk produ kan disolus no-2-deoxy-n juga dikeno-2-deoxy-n iner β-(1→ rupa denga s acetamido an ketergant

dengan

N-an adN-anya d dari kitosan min (hasil geshkumar, n -vaksin dan da pembuat uksi bentuk i obat (Sha

-b-D-glucop nal dengan

4)-2-acetam an selulosa,

o. Kitin pra tungan pada -Acetil-D-gl

dua unit N-a n, terdiri da

asetilasi) y et al., 2013)

n pembawa tan tablet k sediaan aji, et al., 2

pyranose de kitin yang mino-2-deox

, dimana g aktis tidak a produk as

lukosamin, acetilglukos ari D-glukos yang terdistr ). a gen. cetak padat 2010; engan dapat xy-D-gugus larut linya. larut samin samin ribusi


(38)

2.7.2 Sifat kitosan

Kitosan dapat larut pada asam organic seperti asam formiat dan asam asetat pada pH dibawah 6,2 melalui protonasi gugus amino bebas pada struktur molekulnya. Kitosan sukar larut pada asam asetat murni. Pada umunya, sifat larutan kitosan tergantung pada beberapa parameter seperti tingkat deacetilasi, kekuatan ion, konsentrasi, temperature, konsentrasi asam, jenis asam, dan distribusi gugus asetil di sepanjang rantai.

Sama seperti polimer alam pada umunya, kitosan mempunyai sifat ampifilik yang mana dapat mempengaruhi sifat fisikanya dalam larutan dan padatan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gugus hidrofil amino dan gugus hidrofob acetamido pada struktur molekul. Tidak seperti polisakarida pada umumnya, kitosan dapat mempunyai muatan positif yang kuat karena dia memiliki jumlah gugus amino yang banyak, dengan demikian polimer ini mempunyai banyak sifat yang sangat dapat digunakan seperti kemampuan untuk bergabung dengan polimer lain ketika dicampur. Kitosan juga memiliki banyak sifat yang menguntungkan seperti biodegredebel, biokompatibilitas, tidak toksik dan mempunyai aktivitas antibakteri (El-Hefian dan Yahaya, 2010).

2.7.3 Aplikasi farmasetik kitosan

Kitosan mendapat perhatian yang serius sebagai bahan tambahan dalam aplikasi farmasetik beberapa tahun belakangan ini, karena mempunyai bikompatibilitas yang baik dan sifatnya yang tidak toksik pada penggunaan pembuatan sediaan konvensional maupun bentuk sediaan yang baru. Adapaun aplikasi dari kitosan (Yogeshkumar, et al., 2013) adalah sebagai berikut:


(39)

- Bahan pengikat pada granulasi basah - Pembawa obat pada sistem mikropartikel - Sistem penghantaran obat melalui Film

- Untuk membuat hidrogel, bahan yang digunakan untuk meningkatkan viskositas.

- Bahan pembasah, dan untuk meningkatkan disolusi obat yang mempunyai kelarutan yang rendah

- Disintegrant - Polimer bioadesif

- Penghantaran obat terkontrol - Untuk meningkatkan laju absorpsi. 2.8 Eudragit

Eudragit adalah suatu nama dagang dari perusahaan Jerman yaitu Rohm GmbH & Co. KG. Darmstadt, yang pertama kali dipasarkan pada tahun 1950an. Eudragit dibuat dengan cara polimerisasi asam akrilat atau asam metakrilat atau bentuk esternya seperti butyl ester atau dimetilaminoetil ester. Polimer Eudragit tersedia dalam banyak jenis dengan bentuk fisik yang berbeda (larutan dalam air, larutan dalam pelarut organic, granul, dan serbuk). Tipe polimer Eudragit terbagi atas (lihat Tabel 2.2).

2.8.1 Struktur Kimia

Polimer Eudragit adalah suatu kopolimer derivat bentuk ester dari akrilat dam asam metakrilat, yang sifat fisika-kimianya ditentukan oleh gugus fungsinya (R).


(40)

2.8.2 Jeni 1. Poli(m Polim garam 2. Poli(m Polim conto Eudragit R1, R3= C R2= H R4=CH3 Eudagit F R1= H R2= H, CH R3=CH3 R4=CH3

Gamb

is polimer meth) akrila mer ini laru

m. Sebagai c meth) akrila mer ini tidak

h dari polim E

CH3

FS

H3

bar 2.7. Stru

at yang larut ut dalam c contoh adala at tidak larut k larut tetap mer ini adala

uktur kimia

t

cairan penc ah polimer E

t pi permiabe ah Polimer E R R R R E 4 R R (R eudragit cernaan me Eudragit L, el terhadap Eudragit RL Eudragit RL R1=H, CH3 R2=CH3, C2 R3=CH3 R4= CH2CH Eudragit NE 40 D

R1, R3= H, C R2, R4= CH

Rowe, et al

elalui prose S, FS, dan

cairan penc L dan RS. L dan Eudr

H5

H2N(CH3)3+C E 30 D dan

CH3 H3, C2H5

.,2009) es pemben E. cernaan. Ad ragit RS Cl -n Eudragit tukan dapun NE


(41)

2.8.3 Aplikasi Eudragit pada penghantaran obat - Pada sistem penghantaran ke ophthalmik

Masalah utama yang dihadapi pada pengobatan mata adalah kemampuan untuk mencapai konsentrasi yang optimal pada tempat kerja. Bioavailabilitas yang rendah dari obat pada sediaan obat mata adalah disebabkan oleh produksi air mata, absorpsi yang kurang baik, lama tinggal obat, dan impermeabilitas dari Table 2.2. Jenis dan pemerian polimer Eudragit

Nama Bentuk Sediaan Pelarut yang Direkomendasikan Kelarutan / Permeabilitas Aplikasi Eudragit E 12,5 Eudragit E 100 Eudragit E PO Eudragit L 12,5 P Eudragit L 12,5 Eudragit L 100 Eudragit L 100-55 Eudragit L 30 D-55 Eudragit RL 12,5 Eudragit RL 100 Eudragit RL PO Eudragit RL 30 D Eudragit RS 12,5 Eudragit RS 100 Eudragit RS PO Eudragit RS Larutan Organik Granul Serbuk Larutan Organik Larutan Organik Serbuk Serbuk Larutan Dispersi Larutan organik Granul Serbuk Larutan dispersi Larutan organik Granul Serbuk Larutan Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Air Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alkohol Air Aseton, alkohol Aseton, alkohol Aseton, alcohol Air Larut dalam cairan lambung sampai pH 5

Larut dalam cairan pencernaan sampai pH 6 Larut dalam cairan lambung sampai pH 5,5 Permiabilitas tinggi Permiabilitas tinggi Permiabilitas tinggi Permiabilitas tinggi Permiabilitas rendah Permiabilitas rendah Permiabilitas rendah Permiabilitas Film Coating Film Coating Film Coating Salut Enterik Salut Enterik Salut Enterik Salut Enterik Salut Enterik Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release Sustained release Sustained


(42)

epitel kornea. Eudragit memperlihatkan sifat yang baik, seperti tidak toksik, bermuatan positif dan memiliki sifat sebagai pelepasan terkontrol yang membuatnya cocok untuk aplikasi pada sediaan obat mata.

- Bukal dan sublingual drug delivery

Masalah yang umum dihadapi pada penghantaran obat ke bukal adalah kurangnya waktu kontak sediaan dengan tempat absorpsi obat. Akibatnya, polimer bioadesif merupakan pilihan yang tepat pada sistem penghantaran obat melalui bukal. Polimer yang dapat lengket jaringan keras dan lunak telah digunakan beberapa tahun terakhir pada dunia pembedahaan dan kedokteran gigi. Ada beberapa golongan polimer yang telah diselidiki yang dapat digunakan sebagai mukoadesif. Adapaun polimer sintetik yang tersusun dari monomer cyanoakrilat, asam poliakrilat, dan derivate polimethacrylate .

- Gastroretentive Drug Delivery

Adapun sediaan gastroretentive yang diingini saat ini adalah; mempunyai berat jenis yang rendah sehingga dapat membuat sediaan mengapung di dalam cairan lambung, mempunyai berat jenis yang tingggi sehingga sediaan dapat tinggal di bagian bawah lambung, membesar atau mengembang di dalam saluran cerna (lambung) sehingga tidak akan dapat melewati sphinkter pylorus. Semua teknik yang diiinginkan tersebut dapat kita dapat dengan menggunakan Eudragit yang berbeda beda ( Joshi, 2013).

2.9 Disolusi

Disolusi adalah suatu proses dimana suatu fase padat dimasuki oleh suatu pelarut dan membentuk suatu kesetimbangan larutan. Proses disolusi obat melalui beberapa langkah reaksi heterogen/ interreaksi antara fase zat terlarut- zat terlarut


(43)

dan fase pelarut-pelarut dan interaksi zat terlarut –pelarut. Reaksi yang heterogen yang merupakan keseluruhan proses pemindahan masa dapat dikategorikan menjadi: (i) Pemindahan zat terlarut dari fase padat, dan (ii) Penyesuaian antara zat terlarut didalam fase cair, dan (iii) Difusi dan/atau perpindahan zat terlarut melalui antarmuka padat/cair ke dalam fase bulk (Kramer dan Dressman, 2005).

Disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini merupakan tahapan yang paling lambat dan berbagai tahapan yang ada dalam tahapan pelepasan obat dari bentuk sediaanya dan perjalanannya kedalam sirkulasi sistemik.

Laju dimana suatu padatan melarut didalam suatu pelarut dapat dihitung dengan persamaan:

atau

Ket: M: massa zat terlarut

D: Koefisien difusi dari zat terlarut Cs: kelarutan zat padat S: luas permukaan kontak’ C: konsentrasi zat terlarut h: ketebalan lapisan difusi V: volume larutan

Dalam teori disolusi dianggap bahwa lapisan difusi air atau lapisan cairan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang berdisolusi. Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner didalam mana molekul molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari Cs sampai C. Dibelakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama, C, pada seluruh fase bulk (Martin, dkk., 1993).


(44)

Gambar 2

2.9.1 Fakt 1. Fakto a. Kelar

Ke disolusi d pula laju b. Ukura

Pe partikel, semakin b meningka c. Bentu Se dan polim bentuk am disolusi ya 2.8: Disolus

tor faktor y or fisikokim rutan obat elaruran ob dari suatu s

disolusi. an partikel o

ningkatan l dimana den besar luas p atkan laju d uk kristal ob

diaan padat morf yang ju morf dari n ang lebih tin

si obat dari

yang memp mia dari ob

at dalam a ediaan. Sem obat laju disolus ngan pengu permukaan isolusi. bat

t memiliki b ga sangat b novobiocin m

nggi diband

suatu padat

pengaruhi bat

air adalah makin tingg

si dapat dic urangan uk

kontak ant berbagai ka berpengaruh mempunya dingkan den tan matriks laju disolu faktor yan gi kelarutan apai dengan kuran partik tara larutan arakteristik s h terhadap la i kelarutan ngan bentuk

(Martin, dk

si

ng sangat m n maka akan

n cara peng kel dari sed dan sediaa seperti amo aju disolusi yang lebih k kristalnya. kk., 1993). menentukan n semakin t

gurangan uk diaan maka an sehingga

orf, kristal, h i. Sebagai co h besar dan

n laju tinggi kuran akan akan hidrat ontoh n laju


(45)

2. Faktor yang berhubungan dengan bentuk sediaan obat a. Faktor formulasi

Laju disolusi obat murni dapat dipengaruhi secara siknifikan dengan penambahan bahan tambahan selama proses produksi pada pembuatan sediaan padat.

b. Diluent dan desintegran

Dengan peningkatan konsentrasi desintegran (pati dari 5% - 20%) menghasilkan peningkatan laju disolusi. Dengan penambahan bahan yang bersifat hidrofobik akan menurunkan luas permukaan obat yang kontak sedangkan dengan penambahan bahan hidrofilik akan meningkatkan luas permukaan kontak sehingga akan meningkatkan laju disolusi dari obat.

c. Efek bahan pengikat dan bahan penggranulasi

Perbedaan bahan pengikat yang digunakan pada pembuatan tablet akan menghasilkan profil disolusi yang berbeda pula. Granulasi basah adalah yang paling umum digunakan untuk meningkatkan laju disolusi dari bahan obat yang kurang larut dengan cara pemasukan bahan hidrofilik ke permukaan granul.

3. Faktor faktor yang berhubungan uji disolusi a. Temperature

Kelarutan obat sangan tergantung pada temperature, oleh karena itu selama disolusi temperature harus dijaga dengan ketat dan dijaga perbedaannya tidak lebih dari 0.5oC. Pada umumnya, temperature disolusi dijaga 37oC selama disolusi.


(46)

b. pH medium disolusi

Pada umumnya dalam penelitian digunakan medium berupa 0,1 N HCl atau larutan buffer yang pH nya disesuaikan dengan pH caira lambung (pH 1,2).

c. Tegangan permukaan medium disolusi

Tegangan permukaan medium menunjukkan pengaruh yang siknifikan terhadap laju disolusi dari obat dan laju pelepasan dari sediaan padat.

d. Viskositas medium disolusi

Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat (Gennaro, 2000).

2.9.2 Metode disolusi

United States Pharmacopeia (USP) XXX memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

a. Metode Keranjang

Metode keranjang menggunakan bejana yang dibuat dari gelas atau bahan yang inert, dan transparan dan silinder berbentuk keranjang. Bejana disolusi dimasukkan kedalam penangas air yang cocok dan dengan ukuran yang tepat atau dipanaskan dengan alat yang cocok seperti jaket pemanas. Penangas air atau alat pemanas diatur sedemikian rupa sehingga suhu pada pejana dapat dijaga 37 ± 0,5 o

C sepanjang pegujian dan dijaga suhu tetap konstan. Kecepatan pengadukan didasarkan pada kecepatan putaran batang penyangga dimana harus dijaga dengan teliti sesuai dengan monografi dari obatnya dengan deviasi ± 4%.


(47)

b. Metode Dayung

Menggunakan alat yang sama seperti alat 1 (metode keranjang), kecuali keranjang yang ada pada alat 1 diganti dengan dayung sebagai pengaduk. Batang penyangga diatur sedemikian rupa supaya jaraknya dari pusat tidak lebih dari 2 mm dari poros vertikal dari bejana dan berputar secara halus sehingga tidak ada pengaruh siknifikan yang dapat mempengaruhi hasil pengujian. Jarak antara dasar dayung dengan sampel (dasar labu) selama penghujian berada pada rentang 25 ± 2 mm dan dijaga tetap konstan.

Uji disolusi merupakan salah satu uji yang kritis dalam penentuan kuliatas suatu produk. Pada umumnya, uji disolusi dari suatu sediaan padat oral menggunakan metode keranjang (USP Appratus 1) atau metode dayung (USP Appratus 2) dengan kecepatan pengadukan (100 rpm untuk metode keranjang dan 50 – 75 rpm dengan metode dayung), dengan menggunakan larutan buffer dengan kisaran pH 1,2 - 6,8. Sampel disolusi dianalisis setiap interval 15 menit untuk sedian lepas cepat (konvensional) atau interval satu jam pada sediaan extended release sampil didapat persen kumulatis tidak kurang dari 85%. Untuk sediaan yang tidak larut didalam air ditambahkan sedikit surfaktan untuk membentuk kondisi sink (Kramer dan Dressman, 2005).


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Alat-Alat Penelitian

Alat disolusi metode dayung (Erweka), Spektrofotometer (Shimadzu UV1800), TM3000 (BSE COMPO), Neraca Analitik (Boeco), Tensiometer DuNoy, Magnetic Stirrer, gelas arloji, stopwatch, termometer, pH meter (Hanna), jangka sorong, labu tentukur 1000 ml (MBL), labu tentukur 25 ml (Pyrex), beaker glass 1000 ml (Pyrex), gelas ukur 1000 ml (Pyrex), gelas ukur 10 ml (Pyrex), mat pipet 2 ml (MBL) dan alat-alat laboratorium yang biasa digunakan.

3.2 Bahan–Bahan Penelitian

Natrium alginat 500-600 cp (Wako Pure Chemical Industries, Ltd. Japan), Metronidazol (Aarti Drugs, Ltd. India), Kitosan (Funakoshi, Co. Ltd. Japan), Eudragit RS 100 dan bahan-bahan yang berkualitas pro analysis (E Merck): kalsium klorida, asam klorida, natrium klorida, dan aseton. Aquadest diperoleh dari laboratorium Farmasi Fisik, Fakultas Farmasi, USU.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan larutan kalsium klorida 0,15 M

Kalsium klorida ditimbang 22,053 gram kemudian dilarutkan dengan aqua bebas CO2 secukupnya sampai 1000 ml (Ditjen POM, 1995).

3.3.2 Pembuatan medium lambung buatan (medium pH 1,2)

Natrium klorida sebanyak 2 g ditambahkan asam klorida pekat sebanyak 7 ml ditambahkan air suling hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1995).


(49)

3.3.3 Pembuatan kurva serapan dan kurva kalibrasi metronidazol

3.3.3.1 Pembuatan larutan induk baku Metronidazol dalam medium pH 1,2 Metronidazol ditimbang 25 mg kemudian dimasukkan dalam labu tentukur 100 ml, diaduk sampai larut, kemudian dicukupkan dengan medium lambung buatan (medium pH 1,2) sampai garis tanda. Konsentrasi metronidazol adalah 250 mcg/ml.

3.3.3.2 Pembuatan kurva serapan Metronidazol dalam medium pH 1,2

Dari larutan induk baku metronidazol dipipet 1,2 ml, dimasukkan kedalam labu tentukur 25 ml, kemudian dicukupkan dengan medium lambung buatan (medium pH 1,2) sampai garis tanda. Konsentrasi metronidazole adalah 12 mcg/ml. serapan diukur pada panjang gelombang 200–400 nm.

3.3.3.3 Pembuatan kurva kalibrasi Metronidazol dalam medium pH 1,2 Dari larutan induk baku metronidazol dibuat larutan metronidazol dengan berbagai konsentrasi yaitu 1, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 mcg/ml dengan cara memipet larutan induk baku masing-masing 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1; 1,2; 1,4 dan 1,6 ml kedalam labu tentukur 25 ml, kemudian ditambahkan dengan medium lambung buatan (medium pH 1,2) sampai garis tanda. Serapan diukur pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh.

3.3.7 Penentuan diameter floating mucoadhesive beads

Beads yang sudah kering dipilih secara acak dan diameter beads ditentukan dengan menggunakan micrometer.


(50)

3.3.12 Uji pelepasan obat secara in vitro

Uji pelepasan obat dilakukan dengan menggunakan metoda dayung USP. Kedalam wadah disolusi dimasukkan 900 mL medium disolusi dan diatur suhu 37±0,5OC dengan kecepatan pengadukan diatur 50 rpm. Ke dalam wadah tersebut dimasukkan sejumlah beads yang setara 250 mg metronidazol. Pada interval waktu tertentu diambil aliquot sebanyak 2 mL dan dijaga volumenya tetap 900 mL. Pengambilan dilakukan pada tempat yang sama yaitu pertengahan antara permukaan medium disolusi dan bagian atas dari dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah (Ditjen POM, 1995).


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pembuatan Floating Mucoadhesive Beads

Beads dibuat dengan menambahkan metronidazol ke dalam larutan alginat kitosan yang kemudaian diteteskan ke dalam larutan CaCl2 menggunakan pipet Komagome dan dibiarkan selama 15 menit dan selanjutnya dicuci dengan aquadest selama 15 menit dan dikeringkan (Formula 1).

Untuk Formula 2-6, beads alginat kitosan yang sudah kering disalut dengan larutan Eudragit RS 100 dengan konsentrasi tertentu. Beads dari Formula 1 dimasukkan kedalam larutan Eudragit RS 100 dan di stirrer selama 30 menit. Setelah itu beads dikumpulkan dan dimasukkan kedalam lemari asam dibiarkan sampai semua pelarut organik yang digunakan menguap sempurna sehingga tidak terdapat residu pelarut organik di dalam beads yang dibuat.

Beads dari Formula 2-6, disalut kembali dengan larutan alginat 2% lalu direndam dalam larutan CaCl2 dan langsung dibilas dengan aquadest lalu dikeringkan (Formula 7-11).

4.2 Penenentuan Diameter Floating Mucoadhesive Beads

Diameter dari beads ditentukan dengan menggunakan alat micrometer. Sebanyak lima buah beads diambil secara acak dan ditentukan diameternya. Diameter dari beads masing masing formula dapat dilihat pada table 4.1.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan ANOVA (Analysis of variance) pada interval konfidensi 95% (α = 0,05%) terhadap diameter beads tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada diameter sediaan yang dibuat. Namun secara


(52)

langsung dapat dilihat adanya tiga kelompok diameter beads. Kelompok 1 yaitu F1 yang memiliki diameter terkecil, kelompok 2 yaitu F2-F6 yang memiliki diameter lebih besar dari kelompok 1, hal ini disebabkan karena pada F2-F6 adanya penyalutan dengan Eudragit RS 100, dan kelompok 3 yaitu formula 7-11 yang mempunyai diameter paling besar dari semuanya karena selain disalut dengan Eudragit RS 100 formula ini juga disalut lagi dengan kalsium-alginat. Table 4.1. Diameter floating mucoadhesive beads

Ket:

- F1: Alginat-Kitosan - F2: Eudragit RS 100 5% - F3: Eudragit RS 100 10% - F4: Eudragit RS 100 15% - F5: Eudragit RS 100 20% - F6: Eudragit RS 100 30%

- F7: Eudragit RS 100 5% - kalsium alginat - F8: Eudragit RS 100 10% - kalsium alginat - F9: Eudragit RS 100 15% - kalsium alginat - F10: Eudragit RS 100 20% - kalsium alginat - F11: Eudragit RS 100 30% - kalsium alginat

Gambar 4.1: Formula 1 Gambar 4.2: Formula 2 Formula

Diameter   Floating Mucoadhesive

Beads (mm)

F1 2,70±0,27 F2 2,92±0,12 F3 2,82±0,15 F4 2,91±0,16 F5 2,78±0,12 F6 2,73±0,09 F7 3,07±0,13 F8 2,89±0,16 F9 3,03±0,20 F10 3,03±0,43 F11 3,27±0,43


(53)

Gambar 4.3: Formula 3 Gambar 4.4: Formula 4

Gambar 4.5: Formula 5 Gambar 4.6: Formula 6


(54)

Gambar 4.11: Formula 11

4.8 Pelepasan Metronidazol dari Floating Mucoadhesive Beads 4.8.1 Tanpa Penyalutan

Data pelepasan metronidazol dari Floating mucoadhesive beads pada F1 (tanpa penyalutan) dapat dilihat pada Tabel 4.6. Dari tabel dapat dilihat bahwa

floating mucoadhesive beads melepaskan metronidazol sebanyak 94,30% pada waktu 180 menit. Dengan nilai AUC0-80% adalah 3215,22±28.11 %.menit.

4.8.2 Salut Eudragit RS 100

Pelepasaan metronidazol dari Floating Mucoadhesive beads F2-F6 yang disalut dengan Eudragit RS 100 dapat dilihat pada tabel 4.6:

4.8.4 Perbedaan Jenis Penyalut

Pengaruh penyalutan floating mucoadhesive beads terhadap laju pelepasan metronidazol dari beads dapat dilihat pada Gambar 4.19:


(55)

Gambar 4.19: Pengaruh penyalutan floating mucoadhesive beads terhadap laju pelepasan metronidazol dari beads

Dari Grafik 4.19 dapat dilihat dengan jelas penyalutan beads sangat mempengaruhi laju pelepasan metronidazol dari floating mucoadhesive beads. Dengan penyalutan Eudragit RS 100 didapat laju pelepasan metronidazol dari beads semakin lambat dan ketika disalut lagi dengan kalsium-alginat, laju pelepasan menjadi lebih lambat lagi.

Berdasarkan hasil uji statistik dengan Nonparametric Test (Kruskal Wallis test) interval konfidensi 95% (α = 0,05%) terhadap AUC0-80% ketiga formula didapat perbedaan yang signifikan nilai AUC dari setiap formula dengan nilai signifikansi 0,027. Dimana urutan dari rendah ke tinggi adalah F1, F6, dan F7.

0 20 40 60 80 100 120

0 10 30 60 120 180 240 300 360 420 480 540 600 660 720 Tanpa Salut

Salut Eudragit RS 100

Salut Eudragit RS 100 dan Kalsium Alginat

Waktu (menit)

Jumlah

 

obat

terlepas

 


(56)

4.9 Kinetika Pelepasan Metronidazol dari Floating Mucoadhesive Beads Kinetika pelepasan metronidazol dari beads dilakukan terhadap empat model matematika yaitu: orde nol, orde satu, model Higuchi dan Korsmeyer-peppas. Penentuan kinetika pelepasan metronidazol dari beads dilakukan untuk mengetahui berapa persen obat yang dilepaskan pada waktu-waktu tertentu.

Dengan memplotkan hasil uji pelepasan kesebelas formula dalam grafik waktu versus persen kumulatif, logaritma persen kumulatif versus waktu, persen kumulatif versus akar waktu dan logaritma persen kumulatif versus logaritma waktu maka dapat diperoleh nilai korelasi (R2) dari masing- masing formula matriks alginat- kitosan.

Tabel 4.9: Korelasi kinetika pelepasan metronidazol orde nol, orde satu, model Higuchi dan Korsmeyer-peppas dari beads

Formul a

Orde Nol

Orde Satu

Model Higuchi

Korsmeyer-peppas

Harga n Korsmeyer

-peppas

F1 0,735 0,638 0,898 0,950 0,584

F2 0,858 0,683 0,958 0,971 0,835

F3 0,849 0,655 0,953 0,965 0,943

F4 0,885 0,662 0,968 0,973 1,082

F5 0,843 0,635 0,951 0,962 1,009

F6 0,888 0,629 0,970 0,968 1,216

F7 0,843 0,600 0,953 0,953 1,130

F8 0,898 0,618 0,978 0,970 1,207

F9 0,907 0,758 0,981 0,971 1,151

F10 0,933 0,664 0,981 0,984 1,173

F11 0,977 0,713 0,985 0,995 1,002

Dari tabel 4.9 dapat dilihat harga n dari F1 dan F2 adalah 0,584 dan 0,835 yang berarti mekanisme pelepasan melalui proses Anomalus (non-Fiks) yaitu difusi dan relaksasi (erosi) secara bersamaan. Sedangkan pada F3-F11 harga n


(57)

proses Super case 2 transport yaitu dimana laju penetrasi air lebih rendah dari pada laju relaksasi polimer. Hal ini disebabkan karena Eudragit RS 100 merupakan polimer yang tidak larut dan tidak permeabel.

Dari hasil plot kesebelas formula seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.9, diperoleh bahwa kinetika pelepasan untuk kesebelas formula adalah mengikuti model Higuchi.

                                     


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

- Dari pengukuran mucoadhesive dan waktu floating menunjukkan bahwa beads floating mucoadhesive memiliki sifat floating dan mucoadhesive

dengan floating lag time 0 menit dan floating time lebih dari 12 jam serta daya mucoadhesive 1,14 – 2,06 dyne/cm2. Beads memiliki daya lengket terhadap mukosa lambung dan juga memungkinkan untuk mengapung di dalam lambung jika cairan lambung cukup tersedia.

- Profil pelepasan metronidazol dari beads menunjukkan hasil maksimal yaitu pada F11 di mana beads dapat melepaskan 83% metronidazole dalam 12 jam. Jadi dapat dibuktikan bahwa floating mucoadhesive beads dengan basis alginat kitosan dapat dijadikan sediaan pelepasan terkontrol untuk obat obat yang kerjanya di lambung ataupun saluran cerna bagian atas.

5.2 Saran

Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk melanjutkan penelitian tentang

floating mucoadhesive beads dengan basis alginat kitosan secara in vivo untuk melihat profil pelepasan obat dan mengetahui sifat floating dan mucoadhesive secara in vivo.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M.F., dan Bakalis, S. (2011). Mucoadhesive Polymers for Food Formulation.

Procedia Food Science. 11(1): 68-75.

Arora, S., Ali, J., Ahuja, A., Kharm R.K., dan Baboota, S. (2005). Floating Druf Delivery System: A Review. AAPS PharmSciTech. 6(3): 375-378.

Aulton, M.E. (2007). Aulton’s Pharmaceutics: The Design and Manufacture of Medicines. Philadelphia: Elseiver. Hal. 483-499.

Chickering III, D.E., dan Mathiowitz, E. (1999). Theories of Bioadhesion. Dalam Bioadhesive Drug Delivery System: Fundamentals, Novel Approaches, and Development. New York: Marcel Dekker Inc. Hal. 1-8.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia.Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 560-561: 1066, 1084-1085, 1143-1144.

Draget, K.I., Smidsrod O., dan Skjak, B.G. (2005). Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry. Properties, Production, and Patents. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA: Hal. 1-20.

El-Hefian, E.A., dan Yahaya, A.H. (2010). Rheological Study of Chitosan and its Blends: An Overview. Maejo International Journal of Science and Technology. 4(2): 210-220.

Farahani, T.D., Farahani, E.V., dan Mirzadeh, H. (2006). Swelling Behaviour of Alginate-N-O_Carboxymethyl Chitosan Gel Beads Coated By Chitosan.

Iranian Polymer Journal. 15(5): 405-415.

Foye, W.O. (1996). Kimia Medisinal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 1604-1605.

Gennaro, A.R. (2000). Remington: The Science and Practice of Pharmacy. Edisi Keduapuluh. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Hal. 654-665. Gopalakrishnan, S., dan Chenthilnathan, A. (2011). Floating Drug Delivery

System: A Review. Journal of Pharmaceutical Science and Technology.

3(2): 548-554).

Guyton, A.C. (1990). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal. 606-608.

Honary, S., Maleki, M., dan Karami, M. (2009). The Effect of Chitosan Molecular Weight on the Properties of Alginate/Chitosan Microparticles Containing Prednisolon. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 8(1). 53-61.


(60)

Joshi, M. (2013). Role of Eudragit in Targeted Drug Delivery. International Journal of Current Pharmaceutical Research. 5(2). 59-62.

Kramer, J., dan Dressman, J. (2005). Pharmaceutical Disolution Testing. New York: Taylor & Francis Group. Hal. 1-34; 81-95.

Malakar, J., dan Nayak,`A.K. (2013). Floating Bioadhesive Matrix Tablets of Ondansetron HCl: Optimization of Hydrophilic Polymer-Blends. Asian Journal of Pharmaceutics. October-December 2013:174-183.

Martin, A., Swarbrik, J., Cammarata, A. (1993). Dasar–dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Alih Bahasa Yoshita. Edisi Ketiga. Jakarta: UI Press. Hal. 845-853.

Mourya, D.K., Malviya, R., Bansal, M., dan Sharma, P.K. (2010). Formulation and Release Characteristics of Novel Monolithic Hydroxil Propyl Methyl Cellulose Matrix Tablets Containing Metronidazole. International Journal Of Pharma and Bio Science. 1(3): 1-7.

Nayak, A.K., Maji, R., dan Das, B. (2010). Gastroretentive Drug Delivery System: a review. Asian Journal of Pharmaceutical and Clinical Research. 3(1): 2-10.

Patel, J.K., Patel, R.P., Amin, A.F., dan Patel, M.M. (2005). Formulation and Evaluation Of Mucoadhesive Glipizide Microsphere. AAPS PharmSciTech. 6(1): E49-E55.

Piyakulawat, P., Praphairaksit, N., Chantarasiri, N., dan Muangsin, N. (2007). Preparation and Evaluation of Chitosan/Carrageenan Beads for Controlled Release of Sodium Diclofenac. AAPS PharmSciTech. 8(4).1-11.

Rathi, M., Medhekar, R., Pawar, A., Yewale, C., dan Gudsoorkar, V. (2012).

Floating and Bioadhesive Delivery System of Metoprolol Succinate: Formulation, Development, and In Vitro Evaluation. Asian Journal of Pharmaceutics. July-September 2012: 227-236.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., dan Quinn, M. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients. Edisi Keenam. Chicago: Pharmaaceutical Press. Hal. 20-22; 525-533.

Shadab, Md., Singh, G.K., Ahuja, A., Khar, R.K., Baboota, S., Sahni, J.K., dan Ali, J. (2012). Mucoadhesive Microsphere as a Controlled Drug Delivery System for Gastoretention. Systematic Reviews in Pharmacy. 3(1): 4-14. Shaji, J., Jain, V., dan lodha, S. (2010). Chitosan: A Novel Pharmaceutical

Excipient. International Journal of Pharmaceutical and Applied Science.


(61)

Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., dan Kusnandar. (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: ISFI Penerbitan. Hal. 756-757.

Syarif, A., dan Elysabeth. (2011). Amubisid. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Jakarta: Penerbit FKUI. Hal. 552-553.

United States Pharmacopoeia. (2007). The National Formulatory. Edisi Keduapuluh Lima. The United States Pharmacopoeia Convention XXX. Hal. 277.

Yogeshkumar, G.N., Gurav, A.S., dan Yadav, A.V. (2013). Chitosan and Its Applications: A review of literature. International Journal of Research in Phaarmaceutical and Biomedical Sciences. 4(1): 312-331.


(62)

(63)

Lampiran lambung b

n 2. Kurva s buatan pH 1

serapan laru 1,2


(64)

Lampiran konsentras

n 3. Penguk si pada panj

kuran kurva jang gelomb

kalibrasi la bang 277 nm

arutan metro m dalam me

onidazol den edium pH 1

ngan berbag 1,2


(65)

Lampiran 29. Gambar alat

Gambar. Spektrofotometer UV-Vis Gambar. Disolution Tester

Gambar. pH meter Gambar. Larutan Buffer (pH meter)


(66)

Lampiran 29. (lanjutan)


(67)

(1)

Lampirann 1. Sertifikkat analisis m

45

  metronidazool


(2)

Lampiran

lambung b

n 2. Kurva s buatan pH 1

serapan laru 1,2

46

 


(3)

Lampiran

konsentras

n 3. Penguk si pada panj

kuran kurva jang gelomb

47

  kalibrasi la bang 277 nm

arutan metro m dalam me

onidazol den edium pH 1

ngan berbag 1,2


(4)

48 

 

Lampiran 29. Gambar alat

Gambar. Spektrofotometer UV-Vis Gambar. Disolution Tester

Gambar. pH meter Gambar. Larutan Buffer (pH meter)


(5)

49 

 

Lampiran 29. (lanjutan)


(6)

50