Kajian Proses Pemotongan Sapi Secara Halal dan Produktivitas RPH di Beberapa Daerah

KAJIAN PROSES PEMOTONGAN SAPI SECARA HALAL
DAN PRODUKTIVITAS RPH DI BEBERAPA DAERAH

AYUB RIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Proses
Pemotongan Sapi Secara Halal Dan Produktivitas RPH di Beberapa Daerah
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014
Ayub Rizal
NIM 151110121

RINGKASAN
AYUB RIZAL. Kajian Proses Pemotongan Sapi Secara Halal Dan Produktivitas
RPH di Beberapa Daerah. Dibimbing oleh HENNY NURAINI, RUDY
PRIYANTO dan MULADNO.
Proses penyembelihan halal dan teknik pemotongan sapi di RPH diduga
dapat mempengaruhi evaluasi produktivitas ternak guna mendapatkan produk
ASUH (aman, sehat, halal, utuh) dari RPH. Permasalahan pokok yang terjadi di
RPH adalah sangat beragamnya kondisi penyembelihan, teknik penanganan, dan
pemotongan karkas, terutama banyak terjadi pada RPH tingkat daerah.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi, mendeskripsikan, menganalisa
kondisi penyembelihan halal, keragaman teknik penanganan, dan pemotongan
karkas di beberapa RPH serta pengaruhnya terhadap produksi karkas dan daging.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi, sosialisasi kepada
masyarakat dan pelaku usaha, serta pemerintah guna membantu penyusunan
kebijakan tentang proses penyembelihan halal dan standarisasi teknik pemotongan
sapi yang tepat. Penelitian menggunakan 72 sapi silangan lokal jantan yang

berasal dari tujuh RPH dan tiga propinsi di Indonesia dengan metode pemilihan
sampel RPH secara purposive random sampling. Penelitian ini menggunakan
analisa deskriptif, sedangkan untuk mengitung produktivitas ternak berupa bobot
karkas, persentase karkas, dan persentase non karkas dianalisa menggunakan
analisa kovarian (ANCOVA).
Teknik pengambilan data yang digunakan ialah pengamatan rumpun,
bobot potong sapi dan lebar leher; penyembelihan sapi dan teknik pemotongan
karkas yang dilakukan secara berurutan, sedangkan wawancara lapang berupa
form aplikasi penyembelihan halal dilakukan terhadap pelaku usaha di RPH,
meliputi pengelola, juru sembelih halal, pemilik sapi/jagal, dan pekerja.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan penyembelihan halal
sebagai bagian dari komponen sistem jaminan halal (SJH) di beberapa RPH
provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat telah sesuai dengan ketentuan
Syari’at Islam dan persyaratan LPPOM-MUI. Akan tetapi, perlu adanya perbaikan
pada sumber daya manusia, alat penyembelihan, penanganan pra penyembelihan,
aktivitas penyembelihan, dan pasca penyembelihan sesuai standardisasi LPPOMMUI.
Terdapat beragam teknik penanganan dan pemotongan sapi yang tejadi di
RPH Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, meliputi proses
merebahkan dan penyembelihan sapi, pemisahan kulit, pemisahan ekor, proses
evicerasi, potongan karkas, dan trimming lemak sub kutan. Dampak perbedaan

teknik penanganan karkas berpotensi terjadinya kelebihan maupun kekurangan
produksi karkas dan non karkas dari RPH.
Kata kunci:

Aplikasi penyembelihan halal, Teknik penanganan karkas,
Produktivitas karkas, Sapi silangan lokal, RPH

SUMMARY
AYUB RIZAL. Study of Halal Slaughtering Process And Produktivity
Slaughterhouse in the Distric’s. Supervised by HENNY NURAINI, RUDY
PRIYANTO and MULADNO.
Cattle’s technic dressing and halal slaughtering process in slaughterhouse
could be expected to affect of catlle productivity evaluation to get ASUH product
from slaughterhouse. The main problem happened in slaughterhouse the
slaughtering condition , carcass dressing, and hadling technic was very variation,
mainly very happened on level local abatoirs.
The objectives of this study were to identification, to describe, to analyze
variation of slaughtering condition, handling and dressing technic of cattle in
abattoirs, and their effects to the meat yielded. The result are expeted to give
information and sosialitation to public and business also government to help

strategic policy about halal slaughtering process and the right cattle dressing
technic standaritation. A total of 72 local-cross cattle which is collected from 7
slaughterhouse in three provinces of Indonesia were used, with slaughterhose
sample choosen method by purposive ramdom sampling. This study used
description analized, while to catlle productivity calculate such as weight carcass,
carcass percentage and non carcass percentage were analized by analysis of
covariance/ANCOVA.
Data collection technic used varietas observation, catlle dressing weight
and neck wide , catlle slaughtering, and carcass dressing technic done step by
step. While interview of halal slaughtering application technic this done to abatoir
business such as managers, slaughtermen, catlle owner/jagal, and worker.
The result showed that halal slaughtering application as part of component
halal assurance sistem (HAS) at East Java abattoir, Central Java abattoir, West
Java abattoir have been right with syari’a principle and LPPOM-MUI guidance.
But, human resources, slaughtering tool, pra slaughtering handling, slaughtering
activity, and post slaughtering are still need improvement according to LPPOMMUI standaritation
Cattle slaughtering and handling technic in abattoir at province East Java,
Central Java, West Java are varied technically, such as knocking down process
and catlle slaughtering, skinning, cutting of oxtail, evisceration process, carcass
splitting, trimming of subcutaneous fat. The affect of different carcass handling

technic has potentially occurrence over or under carcass and non carcass
production from slaugterhouse.

Keyword:

Halal slaughtering apllication, Carcass handling technic, Carcass
productivity, Lokal cross breed catlee, Slaugterhouse.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN PROSES PEMOTONGAN SAPI SECARA HALAL
DAN PRODUKTIVITAS RPH DI BEBERAPA DAERAH


AYUB RIZAL

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :

Dr Ir Niken Ulupi, MS

Judul Tesis : Kajian Proses Pemotongan Sapi Secara Halal dan Produktivitas
RPH di Beberapa Daerah

Nama
: Ayub Rizal
NIM
: D151110121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Henny Nuraini, MSi
Ketua

Dr Ir Rudy Priyanto
Anggota

Prof Dr Ir Muladno, MSA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Salundik, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 18 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 adalah kajian
teknik pemotongan sapi dengan judul Kajian Proses Pemotongan Sapi Secara
Halal di Beberapa RPH.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Henny Nuraini, MSi, Bapak
Dr Ir Rudy Priyanto dan Bapak Prof Dr Ir Muladno, MSA selaku pembimbing,

serta Ibu Dr Ir Niken Ulupi, MS yang telah banyak memberi saran. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
yang telah membantu pendanaan penelitian serta rekan-rekan Tim Survey Karkas
Tahun 2012 yang telah membantu pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda Arifien Kartono,
ibunda Endang Susilo Murti, istriku Aniska Novita Sari, SSi, kedua anakku
Hannaan Rijalul ‘Ubadah dan Hanin Muthmainnah, serta seluruh keluarga besar
Arifien Kartono dan H Kargiyanto, SPd atas segala doa dan perhatian yang
diberikan kepada penulis. Tak lupa terima kasih penulis sampaikan kepada
seluruh dosen ITP atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan, rekan-rekan
Pasca ITP angkatan 2011 dan 2012, staf Laboratorium Ruminansia Besar, dan staf
administrasi Pasca ITP atas dukungan dan kerja samanya selama penulis
menyelesaikan studi. Tak terlupakan juga penulis ucapkan terima kasih kepada
sahabatku Muhammad Ismail, SPt MSi dan Wike Andre Septian, SPt MSi atas
segala support, bantuan dan motivasi selama menyelesaikan study di IPB. Semoga
kelak ilmu yang telah diperoleh berguna untuk generasi berikutnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Ayub Rizal


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian


1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Potong Hewan (RPH)
Proses Penyembelihan Halal
Good Slaughtering Practise (GSP)
Karkas dan Non Karkas
Produktivitas

2
2
3
4
5
6

3 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Analisis Data

7
7
7
7
9

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Teknik Penanganan dan Pemotongan Karkas
Proses Penyembelihan Halal
Produktivitas Karkas dan Non Karkas

9
9
9
14
19

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

22
22
22

DAFTAR PUSTAKA

23

LAMPIRAN

26

RIWAYAT HIDUP

31

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Gambaran umum lokasi penelitian
Kondisi proses pemotongan di lokasi penelitian
Rekapitulasi pembobotan proses penyembelihan halal di RPH
Produktivitas komponen karkas sapi potong silangan lokal di RPH
Produktivitas komponen non karkas sapi potong silangan lokal di RPH

10
11
15
19
20

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kondisi proses merebahkan dan penyembelihan di RPH
Kondisi proses pemisahan kulit dan pengeluaran jeroan di RPH
Kondisi proses pemisahan ekor di RPH
Kondisi proses pemisahan lemak sub kutan (trimming)
Kondisi proses pemotongan karkas di RPH
Kondisi penyembelihan di RPH
Kondisi alat penyembelih di RPH
Kondisi model penyembelihan di RPH
Kondisi pasca penyembelihan di RPH

12
12
13
13
14
16
17
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

ANOVA bobot potong
ANCOVA bobot karkas
ANCOVA persentase karkas
ANCOVA bobot kulit
ANCOVA bobot ofal merah
ANCOVA bobot ofal hijau kosong
ANCOVA bobot lemak
ANCOVA bobot kaki
ANCOVA bobot kepala
ANCOVA bobot ekor
ANCOVA persentase kulit
ANCOVA persentase ofal merah
ANCOVA persentase ofal hijau kosong
ANCOVA persentase lemak
ANCOVA persentase kaki
ANCOVA persentase kepala
ANCOVA persentase ekor
Form aplikasi penyembelihan halal

27
27
27
27
27
27
28
28
28
28
28
28
29
29
29
29
29
30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan daging sapi dan produk olahannya senantiasa mengalami
peningkatan dari waktu ke waktu. Menurut Ditjen Peternakan Kesehatan Hewan
(2012) konsumsi daging sapi antara tahun 2009, 2010, dan 2011 sebanyak 313,
365, dan 417 g kapita-1 tahun-1. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan
dari tahun sebelumnya sebesar 52 g. Peningkatan konsumsi daging sapi domestik
menurut Khasrad dan Ningrat (2010) dipengaruhi oleh pertambahan populasi
penduduk, peningkatan pendapatan, kesadaran masyarakat akan gizi, dan
keberadaan masyarakat luar negeri.
Laju peningkatan konsumsi daging domestik merupakan peluang untuk
memproduksi daging sapi yang memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan
halal (ASUH). Hal ini merupakan suatu peluang dan tantangan besar bagi
Indonesia yang sudah membuka keran lebar-lebar kesepakatan AFTA berupa era
globalisasi tentang perdagangan bebas 2015. Pemenuhan daging ASUH dapat
dilakukan melalui optimalisasi peran rumah pemotongan hewan (RPH). Upaya
peningkatan produksi daging dapat dilakukan selama proses penyembelihan
hingga menghasilkan karkas di rumah potong hewan (RPH), salah satunya dengan
penerapan teknik penyembelihan dan pemotongan karkas secara benar dan tepat,
sehingga dapat dihasilkan produk yg ASUH.
Peraturan Menteri Pertanian RI (2010) menjelaskan pemotongan hewan
potong adalah kegiatan untuk menghasilkan daging yang terdiri dari pemeriksaan
ante mortem, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post
mortem, sedangkan daging adalah bagian-bagian hewan potong yang disembelih
termasuk isi rongga perut dan dada yang lazim dimakan manusia.
Kualitas dan kuantitas karkas yang dihasilkan dari seekor ternak selain
dipengaruhi faktor on farm juga dipengaruhi oleh faktor off farm meliputi
penanganan ternak pasca panen dari kandang hingga di RPH. Penanganan ternak
pasca panen yang tidak baik berpotensi menyebabkan cekaman bagi ternak,
sehingga dapat menurunkan kualitas dan kuantitas karkas yang dihasilkan
(Priyanto dan Hafid 2005). Contoh penanganan yang tidak baik adalah ternak
diperlakukan secara kasar pada saat pra pemotongan sampai pada proses
pemotongan.
Efisiensi produksi pada teknik pemotongan sapi tercermin dari hasil bobot
dan persentase karkas, jumlah dan kualitas daging yang dihasilkan, serta potongan
karkas yang dapat dijual (Soeparno 2005). Pada proses penanganan ternak di RPH
terdapat tahap yang kritis ditinjau dari segi kehalalan yaitu proses penyembelihan
hewan, sehingga untuk menghasilkan karkas/daging ASUH membutuhkan proses
yang sesuai dengan syari’at Islam. Tahap yang kritis ini adalah tahapan ketika
ternak dapat dinyatakan halal atau tidak halal berawal dari proses
penyembelihannya.
Pelaksanaan pemotongan sapi, terutama teknik penanganan karkas di RPH
saat ini menurut hasil penelitian survei karkas Fapet IPB (2012) sangat beragam.
Hal ini karena pemotongan sapi lokal umumnya dilakukan oleh jagal-jagal yang
dibawa langsung pemilik sapi dan erat kaitannya dengan budaya adat/kebiasaan

2
setempat. Dampak teknik pemotongan yang berbeda akan menghasilkan
persentase karkas yang beragam.
Kurangnya informasi tentang teknik penyembelihan halal dan pemotongan
karkas yang baik, beragamnya pemahaman pelaku usaha tentang definisi karkas,
dan belum banyak RPH yang memenuhi syarat standarisasi pelaksanaan
pemotongan di RPH menjadi permasalahan tersendiri dalam menghasilkan daging
sapi yang ASUH. Berdasarkan uraian tersebut, maka dilakukan penelitian tentang
kajian proses pemotongan sapi secara halal di beberapa RPH dengan tujuan
melakukan identifikasi kondisi penyembelihan halal dan penanganan pemotongan
di RPH. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan sosialisasi
kepada masyarakat, pelaku usaha, serta pemerintah guna membantu sosialisasi
kebijakan tentang proses penyembelihan halal dan standarisasi teknik pemotongan
sapi yang tepat.
Perumusan Masalah
Adanya suatu fenomena di lapangan yaitu beragamnya teknik penanganan
dan pemotongan karkas. Hal ini dikarenakan aktivitas pemotongan sapi lokal
dilakukan tim petugas yang dibawa langsung pemilik sapi maupun adanya
kebiasaan setempat terkait potongan karkas, sehingga dapat mempengaruhi hasil
produk yang di hasilkan dari RPH.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi kondisi pemotongan
sapi di RPH meliputi proses penyembelihan halal dan teknik pemotongan karkas
di RPH.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sosialisasi
kepada masyarakat, pelaku usaha, serta pemerintah guna membantu sosialisai
tentang proses penyembelihan halal dan standarisasi teknik pemotongan karkas
yang tepat.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini yaitu melakukan pengamatan proses
penyembelihan halal dan teknik pemotongan karkas dari beberapa rumah potong
hewan (RPH) di tiga Provinsi di Indonesia. Pengelompokkan penilaian proses
penyembelihan halal mengacu pada sistem jaminan halal (SJH) LPPOM-MUI 2012.
Pengelompokkan teknik pemotongan karkas didasarkan pada kesamaan teknik
pemotongan di RPH. Peubah penelitian yang diamati adalah persyaratan
penyembelihan halal serta produktivitas hasil karkas dan non karkas yang dihasilkan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Rumah Potong Hewan (RPH)
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan
dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat pemotongan

3
hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pemotongan hewan merupakan kegiatan
untuk menghasilkan daging hewan yang terdiri atas pemeriksaan ante-mortem,
penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post-mortem
(Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010). Berdasarkan
SNI 01-6159-1999 disebutkan bahwa RPH adalah kompleks bangunan dengan
desain khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higien tertentu serta
digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi
masyarakat.
Berdasarkan Keputusan Kementerian Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.
140/1/2010 tentang persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan unit
penanganan daging (meat cutting plant) telah ditetapkan persyaratan teknis RPH.
RPH merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman,
sehat, utuh dan halal serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan :
1. Pemotongan hewan secara benar (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, dan syariat agama);
2. Tempat melaksanakan pemeriksaan hewan sebelum dipotong (ante-mortem
inspection), pemeriksaan karkas dan jeroan (post-mortem inspection) untuk
mencegah penularan penyakit zoonosa ke manusia;
3. Tempat pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang
ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem guna pencegahan;
pengendalian; dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di
daerah asal hewan. Selain itu, rumah potong hewan harus memenuhi beberapa
syarat seperti :
a. Berlokasi di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran
lingkungan serta mudah dicapai oleh kendaraan;
b. Komplek RPH harus dipagar yang berfungsi untuk memudahkan penjagaan
keamanan;
c. Memiliki ruangan yang digunakan sebagai tempat penyembelihan; dinding dan
lantai kedap air; ventilasi yang cukup;
d. Mempunyai perlengkapan yang memadai;
e. Pekerja berpengalaman dalam bidang kesehatan masyarakat veteriner; dan
f. Bangunan utama RPH, kandang dan tempat penyimpanan alat-alat untuk
pemotongan babi harus terpisah dengan alat dan tempat pemotongan sapi,
kerbau dan kambing.
Berdasarkan luasan peredaran daging yang dihasilkan oleh usaha
pemotongan hewan, RPH terdiri atas empat kelas yaitu: kelas A untuk penyediaan
daging kebutuhan ekspor, kelas B menyediakan kebutuhan daging antar Provinsi
Daerah Tingkat I, kelas C untuk penyediaan daging antar Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II dalam satu provinsi, dan kelas D untuk penyediaan kebutuhan
daging di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
Proses Penyembelihan Halal
Permasalahan halal dan haram dalam Agama Islam diatur dalam AlQur’an dan Hadits. Halal dan haram dalam proses penyembelihan ternak telah
diatur sedemikian rupa guna memenuhi hak manusia untuk mendapatkan makanan
yang halal dan baik. Selain menjelaskan hewan yang halal dan haram untuk
dikonsumsi, Islam juga menetapkan ketentuan-ketentuan personal yang syah hasil

4
sembelihannya, alat-alat yang digunakan untuk sembelih, serta tata cara
pelaksanaan penyembelihan agar hasil penyembelihan tersebut halal dan baik.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Maidah Ayat 3 yang artinya : “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan diharamkan bagimu yang disembelih untuk berhala”. Selain itu, Allah SWT
juga berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 173 yang artinya “Sesunguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Upaya untuk menghasilkan produk pangan asal hewan tidak terlepas dari
adanya tahapan yang dilakukan untuk menghasilkannya. Tahapan tersebut sangat
berpengaruh dalam menentukan halal atau tidaknya produk pangan asal hewan.
Karkas, daging dan/atau jeroan adalah jenis pangan segar asal hewan yang dapat
bersifat halal atau haram, sehingga dalam upaya untuk memenuhi persyaratan
kehalalan pada karkas, daging, dan jeroan tersebut perlu adanya tahapan/proses.
Tahapan yang dilalui untuk menghasilkannya harus berasal dari hewan yang halal,
disembelih, dan diproses sesuai syariat Islam; serta dalam proses produksi,
pengemasan, dan pengangkutannya tidak mengandung/terkontaminasi/tercampur
dengan produk pangan asal hewan yang diragukan kehalalannya.
Konsep kehalalan daging hewan tidak hanya dilihat dari proses
penyembelihannya, akan tetapi meliputi semua aspek mulai dari pakan, perlakuan
terhadap ternak sebelum disembelih yang mengacu kepada kaidah kesejahteraan
hewan, saat penyembelihan, penanganan karkas/daging, peralatan yang digunakan
bebas dari bahan yang najis, bahkan diidentifikasi sampai pada manajemen
penjualan karkas/daging. Untuk memproduksi karkas/daging yang halal, maka
perusahaan atau RPH harus memiliki komitmen dalam menghasilkan hasil
sembelihan yang halal. Selain itu, diperlukan pengawasan secara kontinu di RPH
oleh LPPOM-MUI terhadap seluruh tahapan proses yang dilakukan, mulai dari
pemilihan hewan, penyembelihan sampai pengiriman produk kepada konsumen
sesuai dengan aturan halal yang telah ditetapkan.
Good Slaughtering Practices (GSP)
Good Slaughtering Practices (GSP) merupakan seluruh praktik di RPH
yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk menjamin
keamanan dan kelayakan pangan pada seluruh tahapan dalam rantai pangan (CAC
2004). Persyaratan untuk memperoleh hasil pemotongan ternak yang baik yaitu:
(1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, (2) ternak tidak mengalami stres,
(3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin,
(4) kerusakan karkas harus minimal, (5) cara pemotongan harus higienis, (6)
ekonomis, dan (7) aman bagi para pekerja abatoar (Swatland 1984).
Harris & Jeff (2003) menyatakan bahwa pelaksanaan GSP berfungsi untuk
meminimalkan kontaminasi penyakit mulai dari pra pemotongan, penanganan
ternak dikandang, memandikan ternak, stunning, penyembelihan, bunging,
skinning, eviserasi, splitting, final trim, pencucian karkas sampai dihasilkan

5
produk akhir. Selain itu, tahapan GSP juga ditinjau dari kebersihan fasilitas
produksi, air yang digunakan selama proses, pelaksanaan program sanitasi, dan
proses validasi.
Soeparno (2005) menyatakan bahwa terdapat dua teknik pemotongan
ternak yaitu (a) teknik pemotongan ternak secara langsung dan (b) secara tidak
langsung. Pemotongan ternak secara langsung dilakukan setelah ternak dinyatakan
sehat dan dapat disembelih pada bagian leher dengan memutuskan arteri karotis,
vena jugularis, dan esofagus. Pemotongan ternak secara tidak langsung adalah
dengan perlakuan pemingsanan terlebih dahulu yang bertujuan untuk
memudahkan penyembelihan ternak, agar ternak tidak stres, agar kualitas kulit,
dan karkas lebih baik.
Karkas dan Non Karkas
Karkas menurut BSN (1995) didefinsikan sebagai tubuh sapi sehat yang
telah disembelih, utuh atau dibelah membujur sepanjang tulang belakangnya;
setelah dikuliti; isi perut dikeluarkan tanpa kepala; kaki bagian bawah; dan alat
kelamin pada sapi jantan atau ambing pada sapi betina yang telah melahirkan
dipisahkan dengan atau tanpa ekor. Kepala dipotong diantara tulang occipital (os
occipitale) dengan tulang tengkuk pertama (atlas). Kaki depan dipotong diantara
carpus dan metacarpus; kaki belakang dipotong diantara tarpus dan metatarpus.
Jika diperlukan untuk memisahkan ekor, maka paling banyak dua ruas tulang
belakang coccygeal (caudalis) terikut karkas.
Menurut BSN (2008) karkas didefinisikan sebagai bagian dari tubuh sapi
yang sehat yang telah disembelih secara halal sesuai dengan CAC/GL 24-2007,
telah dikuliti, dikeluarkan jeroan, dipisahkan kepala, dan kaki; mulai dari tarsus
dan karpus kebawah; organ reproduksi dan ambing; ekor serta lemak yang
berlebihan.
Komponen utama dari karkas adalah tulang, daging, dan lemak (Aberle et al.
2001; Field dan Taylor 2008). Proporsi jaringan tulang, daging, dan lemak akan
dipengaruhi umur, bangsa, bobot tubuh, jenis kelamin, dan pakan (Berg dan
Butterfield 1976). Pertumbuhan yang lebih cepat biasanya terjadi saat ternak
masih muda. Pertumbuhan akan menurun sampai suatu saat tidak terjadi lagi
pertumbuhan tulang ataupun daging dan selanjutnya pertambahan bobot badan
hanya merupakan pertumbuhan dan penumpukan jaringan lemak (Preston dan
Wilis 1974).
Proporsi daging mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan bobot
badan. Menurut Berg dan Butterfield (1976) selama masa pertumbuhan, laju
pertumbuhan otot berlangsung relative cepat dan proporsi daging terbesar terjadi
saat sapi tersebut berumur muda. Kemudian setelah mencapai masa pubertas
proporsinya mulai mengalami penurunan. Laju pertumbuhan lemak berbanding
terbalik dengan laju pertumbuhan otot dan tulang. Menurut Cunningham et al.
(2005) saat sapi berusia muda proporsi lemak relative lebih sedikit. Proporsi
tersebut mengalami peningkatan setelah sapi mencapai fase pubertas. Setelah
masa pubertas, sapi yang telah dewasa umumnya memiliki proporsi lemak yang
tinggi, sedangkan proporsi otot dan tulang mengalami penurunan.
Hasil karkas umumnya dinyatakan dalam bentuk persentase karkas, yaitu
perbandingan antara bobot karkas dengan bobot potong (Forrest et al. 1975).

6
Persentase karkas dapat ditentukan berdasarkan bobot karkas panas atau layu.
Persentase karkas sapi berkisar dari 50 sampai 60% (Soeparno 2005). Karkas
kategori superior menurut Field dan Taylor (2008) memiliki karakteristik yaitu
proporsi tulang yang sedikit, proporsi daging (lean) yang tinggi, dan proporsi
lemak dalam jumlah yang optimal sesuai permintaan pasar.
Karkas sapi umumnya berukuran besar dan berat, sehingga untuk
mengangkut ke lokasi pemasaran dan pengolahan (processing) menjadi tidak
praktis. Oleh karena itu, karkas dibelah menjadi dua bagian; dan setiap belahan
karkas dipotong lagi menjadi seperempat bagian depan (forequarter); dan
seperempat bagian belakang (hindquarter). Empat bagian ini dapat dipotong lagi
menjadi potongan utama/potongan komersial (primal atau Wholesale Cut) dan
potongan subprimal (Retail Cut), misalnya bahu, rusuk, dada, paha depan dan
belakang, termasuk sirloin (Forrest et al. 1975; Suparno 1994).
Komponen non karkas menurut Forrest et al. (1975) adalah semua hasil
pemotongan ternak karkas, sehingga bagian-bagian non karkas meliputi : (a)
bagian yang layak dimakan (edible offal), yaitu kepala (otak, lidah, dan otot-otot
kepala), darah trachea, paru-paru, jantung, hati, limpa, pankreas, kulit, keempat
kaki mulai dari persendian carpal dan tarpal ke bawah, serta saluran pencernaan;
(b) bagian yang tidak layak dimakan (inedible offal) yaitu tanduk, kuku, tulang,
dan kepala (tulang tengkorak). Komponen non karkas dipengaruhi pakan dan
berat potong (Forrest et al. 1975), bangsa, dan jenis kelamin (Soeparno 1994),
pengaruh bangsa dan jenis kelamin terfokus pada kepala dan usus kecil.
Menurut Forrest et al. (1975) mengklasifikasikan bagian-bagian non
karkas seperti kepala (otak, lidah, dan otot-otot kepala), darah, trakea, paru-paru,
jantung, hati, limpa, pancreas, kulit, keempat kaki mulai dari persendian carpal
dan tarpal ke bawah, serta saluran pencernaan sebagai bagian yang layak
dimakan; sedangkan bagian-bagian non karkas seperti tanduk, kuku, tulang, dan
kepala (tulang tengkorak) sebagai bagian yang tidak layak dimakan.
Menurut Liu dan Ockerman (2001) memaparkan bahwa klasifikasi non
karkas secara komersial di Inggris yaitu offal merah (meliputi jantung, hati, paruparu, kepala, lidah, dan ekor) dan lemak, saluran pencernaan dan
kantung/kelenjar; babat (tripe) dan keempat bagian kaki; serta bagian trimming
lemak.
Produktivitas
Produktivitas dalam usaha pemeliharaan ternak sapi adalah produksi yang
dihasilkan selama proses pemeliharaan berlangsung yang ditunjukkan dengan
pertambahan bobot badan yang dihasilkan selama periode tersebut (Sobang 1996).
Produktivitas ternak ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu pakan, tata laksana,
pemuliabiakan, dan pemasaran
Ditinjau dari segi produksi dan suplai daging sapi potong, produktivitas
senantiasa diukur dari produksi daging rata-rata untuk setiap unit ternak atau
setiap ekor ternak. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa berat karkas, jumlah
daging yang dihasilkan, kualitas daging dari karkas yang bersangkutan, serta
potongan karkas yang dapat dijual merupakan faktor-faktor yang menentukan
nilai produktivitas karkas seekor ternak.

7
Kempster et al. (1982) mengemukakan bahwa nilai dari karkas tergantung
pada ukuran, struktur, dan komposisi. Struktur dan karakteristik karkas dapat
ditentukan oleh proporsi jaringan (otot, tulang, dan lemak), distribusi jaringan
pada karkas, ketebalan otot, komposisi kimia, sifat fisik dari jaringan, dan kualitas
daging. Swatland (1984) mengemukakan bahwa produktivitas dapat ditentukan
dengan indikator-indikator kualitas karkas yang meliputi bobot karkas, ketebalan
lemak sub kutan, luas urat daging mata rusuk, dan lemak penyelubung dari organ
ginjal, pelvis, dan jantung.

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yang terdiri atas dua tahap,
yaitu tahap I (Juni-Agustus 2012) dan tahap II (April-Mei 2013). Tahap 1:
Pengumpulan data produktivitas karkas dan non karkas. Tahap II: Pengambilan
data teknik pemotongan dan aplikasi penyembelihan halal. Penelitian dilakukan di
7 unit rumah potong hewan (RPH) yang berada di 3 Provinsi (Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat) dengan metode pemilihan sampel RPH yaitu purposive
random sampling.
Bahan dan Alat Penelitian
Sapi jantan dewasa dari rumpun sapi silangan lokal. Jumlah sapi yang
digunakan sebanyak 72 ekor. Peralatan yang digunakan yaitu peralatan rumah
potong hewan, timbangan digital untuk menimbang (bobot potong, bobot karkas,
dan bobot non karkas), caliper, kamera digital, dan borang isian.
Prosedur Penelitian
Pengamatan Rumpun Sapi, Bobot Potong, dan Lebar Leher
Penelitian dimulai dengan pengamatan rumpun, umur, pengukuran lebar leher
dan penimbangan bobot potong sapi. Rumpun sapi yang digunakan merupakan sapi
silangan lokal jantan dengan mengklasifikasikan umur ternak antara I0 hingga I4
dengan ketentuan (Torell et al. 2003) yaitu I0 (umur sapi < 24 bulan), I1 (umur
sapi 24-30 bulan), I2 (umur sapi 30-42 bulan), I3 (umur sapi 42-54 bulan), dan I4
(umur sapi > 60 bulan), kemudian dicatat dalam bentuk I0, I1, I2, I3 dan I4. Lebar
leher adalah ukuran melintang leher yang diukur pada bagian tengah
menggunakan caliper (Prabowo et al. 2012).

Penyembelihan dan Teknik Pemotongan Karkas
Penyembelihan dilakukan secara halal dengan memotong bagian leher
dekat tulang rahang bawah, sehingga oesophagus, vena jugularis, arteri carotis,
dan trachea dapat terpotong sempurna dan proses pendarahan berlangsung
maksimal. Setelah sapi dipastikan telah mati, proses pemotongan yang akan
menghasilkan karkas mengacu kepada standar nasional (BSN 2008).
Tahap pemotongan diawali dengan pemotongan kepala yang dilakukan
diantara tulang occipitalis dengan tulang atlas, dilanjutkan dengan penimbangan
bobot kepala. Pemotongan keempat kaki dilakukan diantara tulang carpus dan
metacarpus untuk kaki depan, sedangkan untuk kaki belakang dilakukan diantara
tulang tarsus dan metatarsus, kemudian ditimbang sebagai bobot keempat kaki.

8
Pengulitan dilakukan dengan membuat irisan dari anus hingga leher
melewati bagian perut dan dada, kemudian dari arah kaki belakang dan kaki depan
menuju irisan sebelumnya, kemudian kulit dilepas dan ditimbang sebagai bobot
kulit basah. Pemisahan ekor dilakukan paling banyak dua ruas tulang belakang
coccygeal terikut pada karkas, kemudian ditimbang sebagai bobot ekor.
Tahap selanjutnya adalah pengeluaran jeroan (offal). Pengeluaran offal
dilakukan dengan pembelahan tulang pubis, dilanjutkan dengan pembelahan
abdomen, dan tulang sternum sehingga offal dapat dikeluarkan dengan mudah
tanpa mengalami kerusakan atau robek. Offal merah meliputi jantung, trakea,
paru-paru, ginjal, limpa, dan hati dipisahkan dan ditimbang sebagai bobot offal
merah. Saluran pencernaan, meliputi lambung (rumen, retikulum, omasum, dan
abomasum), usus, dan lemak yang menyelimuti organ dalam dipisahkan dan
ditimbang sebagai bobot offal hijau isi. Pekerjaan selanjutnya yaitu pembersihan
saluran pencernaan kemudian ditimbang sebagai bobot offal hijau kosong. Tahap
terakhir yaitu pembelahan karkas dilakukan dengan membelah bagian tubuh sapi
menjadi dua atau empat bagian yang simetris kemudian karkas ditimbang.
Teknik Pengkarkasan
Teknik pengkarkasan dikelompokan berdasarkan tipe pemotongan karkas
yang serupa diantara ketujuh RPH lokasi penelitian. Terdapat empat teknik
pemotongan karkas dari ketujuh RPH, yaitu (A) potongan karkas sesuai SNI
dengan proses trimming lemak subkutan seperlunya, (B) ekor dipotong hingga
bagian bonggol/pelvis dengan proses trimming lemak subkutan seperlunya, (C)
ekor dipotong hingga bagian bonggol/pelvis dengan proses trimming lemak
subkutan dihabiskan/lean, dan (D) ekor tidak dipotong dan masuk kedalam bagian
karkas dengan tidak dilakukan proses trimming lemak subkutan dan/atau
minimum dilakukan.
Proses Penyembelihan Halal
Pengambilan data proses penyembelihan halal dilakukan dengan
wawancara lapang berupa aplikasi penyembelihan halal dilakukan terhadap
pelaku usaha di RPH, meliputi pengelola, juru sembelih halal, pemilik sapi/jagal,
dan pekerja. Borang isian yang digunakan mengacu pada LPPOM-MUI (2012)
tentang pedoman pengelolaan rumah potong hewan halal. Pembobotan kriteria
aplikasi penyembelihan halal mengacu pada Kuntoro (2012).
Untuk pembobotan proses penyembelihan halal (Tabel 3) dilakukan dengan
cara membandingkan dan menilai antara kondisi riil di RPH dengan kondisi yang
seharusnya mengacu pada form aplikasi penyembelihan halal. Keterangan kondisi
“YA” artinya sudah sesuai dengan kondisi seharusnya sedangkan keterangan
kondisi “TIDAK” artinya tidak/belum sesuai dengan kondisi seharusnya. Nilai
angka yang didapat dari pembobotan proses penyembelihan halal berasal dari nilai
konversi pada kriteria aplikasi penyembelihan halal. Kemudian dilakukan
pengelompokan penilaian berdasarkan persepsi peneliti dengan kriteria sebagai
berikut: 0-20 (sangat buruk), 21-40 (buruk), 41-60 (sedang), 61-80 (baik), 81-100
(sangat baik). Kriteria ini digunakan untuk menilai kualitas proses penyembelihan
halal.

9
Analisis Data
Analisis yang digunakan untuk mengevaluasi proses penerapan
penyembelihan halal dan teknik pemotongan secara deskriptif. Data produktivitas
ternak berupa bobot potong dianalisis dengan menggunakan analisa ragam
(analysis of variance/ANOVA), sedangkan bobot dan persentase karkas serta
bobot dan persentase komponen non karkas dianalisis dengan menggunakan
analisis kovarian (analysis of covariance/ANCOVA) (Steel & Torrie 1991).
Apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati dilanjutkan
dengan menggunakan uji Least Square Means (SAS 1985).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Rumah pemotongan hewan (RPH) di lokasi penelitian diklasifikasikan
menjadi tiga bentuk usaha, yaitu RPH milik pemerintah dalam bentuk Unit
Pelayanan Teknis Daerah (UPTD); RPH yang modal penyertaan berasal dari
pemerintah dalam bentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); dan RPH yang
dikelola pihak swasta yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), perusahaan
komanditer (CV), maupun unit dagang (UD). Masing-masing bentuk usaha
memiliki karakteristik yang berbeda. Hasil pengamatan di lapangan terdapat
beberapa faktor pembeda, meliputi tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi); struktur
organisasi; proses pemotongan; bentuk pelayanan yang dihasilkan; dan model
pembiayaan. Rekapitulasi dari kondisi masing-masing RPH dapat dilihat pada
Tabel 1.
Perbedaan karakteristik antar RPH tampak pada struktur organisasi, proses
pemotongan ternak, bentuk pelayanan, dan aspek pembiayaan. Selain itu,
perbedaan karakteristik masing-masing RPH berdampak terhadap proses
penyembelihan halal, teknik pemotongan karkas, dan produktivitas karkas.
Teknik Penanganan dan Pemotongan Karkas
Teknik penanganan dan pemotongan karkas merupakan faktor utama yang
dapat mempengaruhi karkas baik secara kuantitas maupun kualitas (Priyanto dan
Hafid 2005). Pada penelitian ini terdapat enam aspek kritis yang dapat
mempengaruhi kuantitas maupun kualitas karkas, yaitu proses merebahkan dan
penyembelihan sapi, pemisahan kulit, pemisahan ekor; proses pengeluaran jeroan
(eviscerasi); pemisahan lemak subkutan (trimming); dan pemotongan karkas.
Proses merebahkan dan penyembelihan sapi dilakukan melalui tiga cara
yaitu menggunakan tali, ruang pembatas (restraining box), dan pemingsanan
(stunning). Proses merebahkan dan penyembelihan sapi erat kaitannya dengan
kualitas mutu daging yang akan dihasilkan. Penggunaan restraining box dan
stunning merupakan sarana untuk meminimalisir cekaman pada sapi sebelum
disembelih (Grandin 2010). Sapi yang mengalami cekaman sebelum disembelih
berpotensi menghasilkan daging dengan sifat warna daging gelap, tekstur keras,
kering, dan timbulnya bercak darah (Daszkiewicz et al. 2009; Adzitey 2011).

Aspek Pengamatan Tata Kelola
RPH

10

No

Tabel 1 Gambaran umum lokasi penelitian
RPH BUMD
RPH SWASTA

RPH UPTD

RPH A

RPH B

RPH C

RPH D

RPH E

RPH F

RPH G

1 Status perusahaan

BUMD

Swasta

Swasta

UPTD

UPTD

UPTD

UPTD

2 Struktur organisasi (Kepala RPH)

Direktur
umum

Manajer

Manajer

Kepala
UPTD

Kepala
UPTD

Kepala
UPTD

Kepala
UPTD

a. Penyembelihan

Difasilitasi
RPH

Difasilitasi
RPH

Difasilitasi
RPH

Difasilitasi
RPH

Difasilitasi
RPH

Difasilitasi
RPH

Difasilitasi
RPH

b. Teknik pengeluaran darah

Digantung

Dilantai

Digantung

Digantung

Dilantai

c. Pengkarkasan

Difasilitasi
jagal

Difasilitasi
RPH

Difasilitasi
RPH

Difasilitasi
jagal

Difasilitasi
jagal

Difasilitasi
jagal

Difasilitasi
Paguyuban
pekerja

d. Pelayuan

Tidak
dilakukan

Dilakukan

Dilakukan

Tidak
dilakukan

Tidak
dilakukan

Tidak
dilakukan

Tidak
dilakukan

4 Jenis pelayanan

Jasa
pelayanan dan
produk olahan

Produk
plahan

Jasa
pelayanan dan
produk
olahan

Jasa
pelayanan

Jasa
pelayanan

Jasa
pelayanan

Jasa
pelayanan

35 000

-

120 000

55 000

38 000

51 000

90 000

3 Proses pemotongan ternak

5 Pembiayaan (Rp.)
Keterangan: Hasil pengamatan survei lapangan

Ditusuk
Ditusuk
dengan pisau dengan pisau

No

Aspek Pengamatan Proses
Pemotongan

Tabel 2 Kondisi proses pemotongan di lokasi penelitian
RPH BUMD
RPH SWASTA
RPH A

RPH B

RPH C

RPH UPTD

RPH D

RPH E

RPH F

RPH G

Dengan tali

Dengan tali
dan stuning

Proses merubuhkan dan
1
penyembelihan sapi

Dengan tali,
restraining
box dan
stuning

Dengan
stuning

Dengan
stuning

Dengan tali

Dengan
restraining
box dan
stuning

2 Pemisahan Kulit

di cradel &
digantung

digantung

digantung

dilantai

digantung

digantung

dicradel &
digantung

3 Pemisahan Ekor

Ekor
disertakan
karkas

Ekor tidak
disertakan
karkas dan
tanpa kulit

Ekor tidak
disertakan
karkas dan
tanpa kulit

Ekor
disertakan
karkas

Ekor tidak
disertakan
karkas dan
tanpa kulit

Ekor
disertakan
karkas

Tidak
disertakan
karkas dan
dengan kulit

4 Proses Eviserasi

Digantung

Digantung

Digantung

Dilantai

Digantung

Digantung

Digantung

5 Potongan Karkas

Dibagi 1/4
karkas pada Dibagi 1/2
posisi daerah karkas
panggul

Dibagi 1/2
karkas

Dibagi 1/4
karkas pada
posisi rusuk
ke 6-7

Dibagi 1/4
karkas pada Dibagi 1/2
posisi rusuk karkas
ke 6-7

6 Trimming Lemak Subkutan

Dilakukan

Dilakukan

Tidak
dilakukan

Dilakukan

Tidak
dilakukan

Dilakukan

11

Keterangan: Hasil pengamatan survei lapangan

Dilakukan

Dibagi 1/4
karkas pada
posisi rusuk
ke 9-10

12
Hasil Tabel 2 menunjukkan bahwa di lokasi penelitian mulai
memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare). Tercatat tujuh dari
sebelas aktivitas merubuhkan sapi (63.64%) menggunakan restraining box dan
stunning. Adapun proses merebahkan dan penyembelihan di RPH terlihat pada
Gambar 1.

Gambar 1 Kondisi proses merebahkan dan penyembelihan sapi di RPH
Proses pemisahan kulit dan pengeluaran jeroan merupakan teknik
penanganan karkas yang erat kaitannya dengan higienitas bahan pangan. NarváezBravo et al. (2013) melaporkan keragaman prevalensi keberadaan Salmonella
pada bagian kulit dan karkas. Pada kulit prevalensi Salmonella mencapai 36.25%.
Keberadaan Salmonella di bagian flank, rump, dan brisket terjadi peningkatan
prevalensi sebelum dan sesudah eviscerasi sebesar 1.68% dari 5.49 menjadi
7.17%. Hasil Tabel 2 menunjukkan hampir seluruh RPH di tujuh lokasi penelitian
memperhatikan aspek higienitas dengan langsung menggantung sapi yang telah
disembelih. Pada proses pengulitan empat dari tujuh RPH di lokasi penelitian
sebesar 57.14% telah sesuai prosedur, sedangkan pada proses pengeluaran jeroan
enam dari tujuh RPH dilokasi penelitian sebesar 85.71% telah sesuai prosedur.
Adapun kondisi proses pemisahan kulit dan pengeluaran jeroan di RPH terlihat
pada Gambar 2.

Gambar 2 Kondisi proses pemisahan kulit dan pegeluaran jeroan di RPH

13
Proses pemisahan ekor, pemisahan lemak subkutan (trimming), dan
pemotongan karkas merupakan teknik penanganan karkas yang erat kaitannya
dengan kuantitas karkas dan efisiensi produksi. McKiernan et al. (2007)
memaparkan teknik pemotongan yang termasuk rangkaian prosedur kerja
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persentase karkas. Pada
Tabel 2 tampak adanya keragaman proses pemotongan ekor, trimming, dan
pemotongan karkas. Alasan terjadinya keragaman erat kaitannya dengan
permintaan konsumen yang telah lama terbentuk dan secara tidak langsung
menjadi suatu kebiasaan atau budaya kearifan lokal. Adapun kondisi proses
pemisahan ekor, pemisahan lemak subkutan (trimming) dan pemotongan karkas di
RPH terlihat pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5.

Gambar 3 Kondisi proses pemisahan ekor di RPH

Gambar 4 Kondisi proses pemisahan lemak subkutan (trimming)

14

Gambar 5 Kondisi proses pemotongan karkas di RPH
Proses Penyembelihan Halal
Proses penyembelihan ternak secara halal menurut Nakyinsige et al. (2013)
meliputi pengendalian ternak, pemingsanan (jika diperlukan), dan pemotongan
tiga saluran yaitu trakea, esofagus, arteri carotid serta vena jugularis.
Penyembelihan menjadi faktor penting karena merupakan bagian dari rantai
penyediaan daging yang harus terjaga kehalalannya dari bahan baku, fasilitas,
maupun proses yang dilarang dalam hukum Islam (van der Spiegel et al. 2012;
Ceranić dan Božinović 2009). Bahkan Apriyantono (2001); Riaz dan Chaudry
(2004a) memaparkan lima dari sebelas komponen titik kritis kehalalan produk
(Halal Critical Control Points/HaCCP) pada rantai penyediaan daging terjadi di
proses penyembelihan. Lima titik kritis meliputi (1) petugas penyembelih dan
supervisor halal, (2) pisau penyembelih, (3) aktivitas pra penyembelihan, (4)
aktivitas penyembelihan, dan (5) aktivitas pasca penyembelihan
Sistem jaminan halal (SJH) didefinisikan sebagai suatu sistem yang
mengelaborasikan, menghubungkan, mengakomodasikan, dan mengintegrasikan
konsep-konsep syari’at Islam khususnya terkait dengan halal haram; etika usaha
dan manajemen keseluruhan; prosedur dan mekanisme perencanaan; implementasi
dan evaluasinya pada suatu rangkaian produksi bahan yang akan dikonsumsi umat
Islam (BKP 2010). Proses penyembelihan halal merupakan bagian dari komponen
SJH yang meliputi sumber daya manusia, alat penyembelihan, aktivitas pra
penyembelihan, aktivitas penyembelihan, dan aktivitas pasca penyembelihan.
Hasil penilaian penerapan proses penyembelihan halal dari masing-masing
RPH yang dijadikan sampel penelitian disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rekapitulasi Pembobotan Proses Penyembelihan Halal di RPH
NO

ASPEK APLIKASI HALAL

1 Sumber Daya Manusia
a. Umum
b. Petugas Penyembelih
c. Supervisor Halal
2 Alat Penyembelihan

RPH A
YA
TIDAK
19.16
4.17
3.33
0.83
8.33
1.67
7.5
1.67

RPH B
YA
TIDAK
22.5
0.83
3.33
0.83
10
0
9.17
0

RPH C
YA
TIDAK
20
3.33
3.33
0.83
9.17
0.83
7.5
1.67

RPH D
YA
TIDAK
20.27
3.06
3.33
0.83
9.44
0.56
7.5
1.67

RPH E
TIDAK
20
3.33
3.33
0.83
9.17
0.83
7.5
1.67

YA

RPH F
YA
TIDAK
10.83
12.5
0.83
3.33
5
5
5
4.17

RPH G
RATA-RATA JUMLAH
%
YA
TIDAK YA TIDAK YA+TIDAK YA
16.67
6.66 18.49
4.84
23.33
79.25
3.33
0.83
6.67
3.33
6.67
2.5

2.08

0.42

2.08

0.42

2.08

0.42

2.08

0.42

2.08

0.42

2.08

0.42

2.08

0.42

2.08

0.42

2.5

83.2

3 Pra-Penyembelihan
a. Umum
b. Perlakuan tanpa pemingsanan
c. Perlakuan dengan Pemingsanan

13.08
4.17
8.91

16.51
1.67
14.84

27.92
4.17

1.67
1.67

27.92
4.17

1.67
1.67

13.08
4.17
8.91

16.51
1.67
14.84

27.92
4.17

1.67
1.67

13.08
4.17
8.91

16.51
1.67
14.84

20.5
4.17
16.33

9.09
1.67
7.42

20.5

9.09

29.59

69.28

23.75

0

23.75

0

23.75

0

4 Proses Penyembelihan

26.67

1.67

28.33

0

26.67

1.67

26.67

1.67

26.67

1.67

24.17

4.17

26.67

1.67

26.55

1.79

28.34

93.69

5 Pasca-Penyembelihan

8.75

7.5

11.25

5

12.92

3.33

11.25

5

8.75

7.5

8.75

7.5

8.75

7.5

10.06

6.19

16.25

61.91

69.74

30.27

92.08

7.92

89.59

10.42

73.35

26.66

85.42

14.59

58.91

41.1

74.67

25.34

77.68

22.33

100

Total Penilaian

Sumber: Hasil perhitungan

15

16
Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum proporsi kesesuaian kaidah
aplikasi halal, yaitu 78.23 dari 100 point (78.23%). Terkait proporsi kesesuaian
dari masing-masing aspek memiliki nilai yang bervariasi. Aspek sumberdaya
manusia memiliki nilai 18.49 dari 23.33 point (79.25%), alat penyembelihan
memiliki nilai 2.08 dari 2.5 point (83.20%), aktivitas pra penyembelihan memiliki
nilai 20.5 dari 29.56 point (69.28%), aktivitas penyembelihan memiliki nilai 26.55
dari 28.34 point (93.69%), dan aktivitas pasca penyembelihan memiliki nilai
10.06 dari 16.25 point (61.91%).
Aspek sumberdaya manusia yaitu petugas penyembelih dan supervisor halal
merupakan komponen evaluasi kehalalan produk. Apriyantono (2001); Riaz dan
Chaudry (2004a) menjadikan sumberdaya manusia sebagai titik control kelima
dalam kaidah HaCCP produk daging. Hasil penelitian menunjukkan aspek
sumberdaya manusia termasuk dalam katagori baik (79.25%). Adapun kondisi
penyembelihan di RPH terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Kondisi penyembelihan di RPH
Kondisi yang berkontribusi tidak maksimalnya proporsi kesesuaian kaidah,
yaitu (a) kurangnya kontrol atau supervisi secara berkala dari LPPOM MUI atau
Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui terhadap pelaku penyembelihan halal, (b)
lulus pelatihan dan kepemilikan kartu identitas penyembelih halal, (c) kesesuaian
jumlah petugas penyembelih halal (modin) dengan ternak yang disembelih per
hari, (d) tidak adanya petugas yang ditugaskan khusus sebagai supervisor halal
karena umumnya tugas supervisi halal dibebankan kepada keurmaster maupun
dokter hewan, dan (e) kesesuaian jumlah petugas supervisor halal dengan ternak
yang disembelih per hari.
Alat penyembelihan merupakan komponen kehalalan keempat dalam sistem
HaCCP (Apriyantono 2001); Riaz dan Chaudry (2004a). Hasil penelitian di
beberapa RPH menunjukkan adanya variasi ukuran tajam mata pisau yang
dipergunakan oleh masing-masing penyembelih, ukuran panjang pisau berkisar
dari 23 sampai 24 cm, 25 cm, 27 sampai 28 cm. Akan tetapi, untuk ukuran lebar
leher sapi yang disembelih di RPH berkisar dari 13 sampai 20 cm. Grandin (2010)
dan LPPOM MUI (2012) mensyaratkan ketentuan alat penyembelihan yaitu pisau

17
yang digunakan harus sangat tajam dan memiliki ukuran dua kali (2x) lebar leher
ternak. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran panjang pisau yang digunakan para
penyembelih di RPH lokasi penelitian belum sesuai standar karena berdasarkan
data pengamatan seharusnya ukuran panjang pisau rata-rata yang digunakan
adalah 33 cm. Namun, secara keseluruhan aspek alat penyembelih dikatagorikan
sangat baik (83.20%). Proporsi kesesuaian alat penyembelihan belum mencapai
100% karena ukuran pisau penyembelih kurang sesuai dengan standar. Adapun
kondisi alat penyembelihan di RPH terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Kondisi alat penyembelih di RPH
Lebar leher sapi silangan berdasarkan hasil penelitian ini maupun Prabowo
et al. (2012) memiliki kisaran antara 17.50 ± 3.55 cm dan 25.15 ± 3.93 cm,
sehingga panjang bagian tajam dari pisau yang digunakan yaitu antara 35 cm dan
50 cm. Bourguet et al. (2011) dan Velarde et al. (2014) melaporkan pisau yang
digunakan pada metode penyembelihan halal memiliki panjang bagian tajam yaitu
33 cm dan 29.6 cm.
Hasil pengukuran panjang pisau yang digunakan di lokasi RPH berkisaran
dari 23 sampai 28 cm. Angka ini masih dibawah standar minimal, sehingga perlu
adanya perbaikan standarisasi panjang bagian tajam. Terkait alat penyembelihan
yang harus tajam, bukan berasal dari kuku, gigi/taring, atau tulang, dan tidak
mengasah alat di depan hewan yang akan disembelih. Hasil penelitian
mengindikasikan seluruh petugas penyembelih telah mengetahui dan menerapkan
kaidah dengan baik.
Aspek aktivitas pra penyembelihan berdasarkan Apriyantono (2001); Riaz
dan Chaudry (2004a) meliputi penanganan ternak (HaCCP 2) dan pemingsanan
(HaCCP 3). Secara umum penilaian aspek akivitas pra penyembelihan termasuk
katagori baik (69.28%). Tabel 2 menunjukkan bahwa RPH yang menerapkan
aktivitas pemingsanan seluruhnya telah memenuhi kaidah kehalalan proses
penyembelihan.
Kondisi yang berkontribusi belum optimalnya aktivitas pra penyembelihan
halal yaitu (a) tidak adanya rekaman