Beban pencemaran limbah cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik di Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon

BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI
KECIL MENENGAH (IKM) BATIK DI KLASTER TRUSMI
KABUPATEN CIREBON

ADI SULAKSONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*1
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fungsi Biaya dalam
Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM) Batik di Klaster
Trusmi Kabupaten Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Adi Sulaksono
NIM P052137594

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB
harus didasrkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

RINGKASAN
ADI SULAKSONO. Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah
(IKM) Batik di Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon. Dibimbing oleh HEFNI
EFFENDI dan BUDI KURNIAWAN.
Tumbuhnya jumlah IKM batik di Indonesia dimulai sejak UNESCO
menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia sejak 2009.
Sayangnya keadaan ini juga memberikan dampak negatif terkait dengan
pencemaran lingkungan. Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air dari
sektor IKM, perlu dilakukan inventarisasi besarnya beban pencemar termasuk dari
sektor batik. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung total beban pencemar
limbah cair yang dikeluarkan oleh klaster Trusmi Kabupaten Cirebon dengan cara
menentukan faktor beban pencemar per unit produk untuk parameter kunci limbah

cair untuk industri tekstil yaitu BOD5, COD dan TSS.
Dengan mempertimbangkan jenis zat warna yang biasa digunakan di
Cirebon (golongan Naphtol, dan golongan Indigosol) dan juga jenis kain (katun
dan sutra), faktor beban pencemar dihitung berdasarkan kualitas dan kuantitas
limbah cair yang dikeluarkan di setiap tahapan proses produksi batik (pewarnaan,
pelorodan dan pencucian). Limbah cair yang diambil mewakili produksi 2 meter
kain batik dengan tiga warna (merah, hitam, dan biru), yang mana resep
pewarnaannya ditentukan berdasarkan konsensus terhadap kebiasaan yang paling
umum dilakukan oleh pengerajin yang ada di klaster Trusmi. Nilai beban
pencemar dihitung dengan cara mengalikan konsentrasi dengan volume limbah di
setiap proses kemudian dibagi dengan panjang kain yang diproduksi.
Dengan melakukan rancangan percobaan dua faktor dengan tiga kali
pengulangan kemudian dilanjutkan dengan analisis ANOVA dua arah pada selang
kepercayaan 90%, maka dapat diketahui faktor beban pencemar untuk parameter
BOD5 dan TSS dipengaruhi oleh variabel jenis kain, sedangkan untuk parameter
COD dipengaruhi oleh variabel jenis zat warna. Sedangkan nilai faktor beban
pencemar untuk parameter BOD5 adalah 41,6 ± 37,5 g/m untuk kain katun dan
84,0 ± 35,1 g/m untuk kain sutra; nilai faktor beban pencemar untuk parameter
TSS adalah19,0 ± 9,29 g/m untuk katun dan 40,5 ± 25,8 g/m untuk kain sutra; dan
faktor beban pencemar untuk parameter COD adalah sebesar 739 ± 436 g/m untuk

zat warna Naphtol dan 295 ± 164 g/m untuk zat warna Indigosol. Dengan
mengalikan nilai faktor beban pencemar dan total kapasitas produksi batik di
klaster Trusmi, maka diketahui bahwa total nilai beban pencemar limbah cair
terhitung sebesar 5,9-39,5 ton/tahun untuk BOD5, 112-426 ton/tahun untuk COD,
dan 4,88-16,3 ton/tahun untuk TSS.
Kata Kunci : Batik, Klaster IKM, Faktor Beban Pencemar, Limbah Cair
.

SUMMARY
ADI SULAKSONO. Wastewater Pollution Load from Batik Small Medium
Enterprises (SMEs) In Trusmi Cluster, Cirebon District. Supervised by HEFNI
EFFENDI and BUDI KURNIAWAN.
Growing number of Batik SMEs in Indonesia is started since UNESCO
announced batik as world heritage in 2009. However, this condition lead to some
negative impact including water pollution. In order to enhance wastewater
pollution prevention management from batik SMEs, yet pollution load inventory
data is needed. This research aimed to estimate total wastewater pollution load
generated from Trusmi cluster at Cirebon district by calculating pollution load
factor per unit product of some key parameters such as BOD5, COD, and TSS.
Considering the type of dyestuff (Naphtol and Indigosol) and also type of

fabric (Cotton and Silk), pollution load factor can be calculated based on the
quantity and quality of all batik production processes (coloring, wax removal, and
rinsing). The collected wastewater represent two meter of batik product that have
three colors (red, black and blue). The coloring recipes of each color decided
trough consensus of batik producers which represent the most common recipes
used by Trusmi clusters SMEs. The value of wastewater pollution load calculated
by multiplying wastewater concentration with the volume in each processes, and
then divided by the long of the fabric that produced.
By using experimental design with two variables and three time repetition,
and followed by two ways ANOVA with 90% confidential level, it can be known
that the variable that affect the value of BOD5 and TSS pollution load parameters
is type of fabric, and COD pollution load value affected by the type of dyestuff
variable. Therefore the values of wastewater pollution load factors for BOD5
parameter is 41,6 ± 37,5 g/m for cotton material and 84,0 ± 35,1 g/m for silk
material; the value of wastewater pollution load factors for TSS parameter is 19,0
± 9,29 g/m for cotton material and 40,5 ± 25,8 g/m for silk material; the pollution
load factors for COD parameter is 739 ± 436 g/m for Naphtol dyestuff and 295 ±
164 g/m Indigosol dyestuff. By multiplying these pollution load factor with the
overall capacity of batik production in Trusmi Cluster, it can be estimated that the
total wastewater pollution load from batik production in Trusmi Cluster are 5,939,5 ton/year for BOD5 parameter, 112-426 ton/year for COD parameter, and

4,88-16,3 ton/year for TSS parameter.
Keywords: Batik, SMEs Cluster, Pollution Load Factor, wastewater

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR
INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM) BATIK DI KLASTER
TRUSMI KABUPATEN CIREBON

ADI SULAKSONO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar komisi pembimbing pada ujian tesis: Dr. Ir. Sigid Hariyadi, MSc.

Judul Tesis : Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Kecil Menengah (IKM)
Batik Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon
Nama
: Adi Sulaksono
NIM
: P052137594
Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Budi Kurniawan, MEng
Anggota

Dr Ir Hefni Effendi, MPhil
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya
Alam dan Lingkungan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 22 Juni 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah beban
pencemaran limbah cair, dengan judul Kajian Beban Pencemaran Limbah Cair
Industri Kecil Menengah (IKM) Batik Klaster Trusmi Kabupaten Cirebon.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hefni Effendi MPhil dan
Bapak Dr Ir Budi Kurniawan MEng selaku pembimbing, serta Bapak Sulaeman,
Bapak Djambrung dan Bapak Nuraidi yang telah banyak memberi saran. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Erona dan Bapak
Sumiskad dari Klaster Trumsi, Ibu Ari dari BLH Kabupaten Cirebon, Bapak Dani
Hendratno dari Disperindag Kab Cirebon serta Reza Mulyawan beserta staf
Laboratorium Uji AKA Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Alm. Soedijono bin
Martosentono dan Ibunda tercinta Nunuk Regowati, Istri tersayang Ely Rahmy
Tapriziah, Anak-anak Eldi Ahsan Alamgir, Adly Shabran Al Klalifi, Dide Baik

Mikail, seluruh keluarga serta sahabat atas segala doa, dukungan dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Adi Sulaksono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Batik
Zat Warna Batik
Kain Batik
Pencemaran Air
Klaster Industri Kecil Menengah


3
3
7
12
13
15

METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Prosedur Analisis Data

17
17
17
17

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis profil produksi
Analisis Beban Pencemaran
Sintesis

21
21
27
42

SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

48
48
49

DAFTAR PUSTAKA

50

LAMPIRAN

54

RIWAYAT HIDUP

64

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Baku mutu limbah cair industri tekstila)
Kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah
Jenis zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan batika)
Metode analisis kualitas limbah cair
Hasil analisis limbah cair IKM batik
Data volume limbah cair pada tiap proses pembuatan batik
Nilai beban pencemar limbah cair IKM batik dalam (g/m)
Rata-rata nilai faktor beban pencemar untuk 3 parameter untuk
keseluruhan proses dalam gram/meter
Profil contoh limbah cair untuk validasi
Nilai faktor beban pencemar contoh validasi
Faktor beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi untuk
parameter BOD5, COD, dan TSS (g/m)
Estimasi total beban pencemar limbah cair ikm batik Trusmi
Kisaran beban pencemar yang dikeluarkan tiap ikm batik per tahun
Berat jenis kain batik
Nilai beban pencemar per ton produk untuk parameter BOD5, COD,
dan TSS
Estimasi paparan bahan kimia terhadap pengerajin di proses
pewarnaan

15
16
19
20
30
30
31
31
32
32
35
36
36
36
37
39

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Proses pembuatan batik
Proses pembatikanan menggunakan canting (a) batik tulis (b) batik
cap
Proses pewarnaan (a) pencelupan (b) penirisan zat warna
Proses pelorodan
Proses Pencucian
Struktur zat warna Naphtol AS-BO
Reaksi pewarnaan Naphtol dalam serat katun (Susanto, 1973)
Struktur Indigosol
Reaksi pewarnaan Indigosol
Struktur kimia dari serat selulosa
Skema hubungan zat warna dan serat pada kain katun
Motif batik cirebon (a) Mega mendung (b) Paksi naga liman (c) Singa
barong (d) Ayam alas (e) Taman arum sunyaragi (f) Supit urang (g)
Piring aji (h) Wadasan
Bahan untuk pembuatan sampel produk batik
Contoh limbah cair IKM batik (a) sisa zat warna (b)homogenisasi
(c) pengawetan contoh
Hasil produksi batik dengan variabel jenis kain dan jenis zat warna
Grafik rata-ratafaktor beban pencemar parameter BOD5 (g/m) untuk
setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol,
(SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol

4
5
6
6
7
9
10
11
11
12
12
22
28
29
29
33

17
18
19
20
21
22
23
24
25

Grafik rata-ratafaktor beban pencemar parameter COD (g/m) untuk
setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol,
(SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol
Grafik faktor beban pencemar parameter TSS (g/m) per tahapan
proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra
Naphtol, (SI) Sutra Indigosol
Sebaran beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi
Pekerja yang terpapar bahan kimia pada proses pewarnaan
Saluran pembuangan air yang tercemar limbah batik
Aplikasi kalkulator beban pencemaran limbah cair IKM batik
Pengendapan sisa zat warna Naphtol yang dicampur dengan Garam
Diazonium
Konsep rancangan bak pengendap sisa zat warna Naphtol
Tanaman Pristia stratioles untuk minimisasi beban pencemar limbah
cair IKM batik

34
35
38
39
41
42
44
45
46

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Sertifikat analisis kualitas limbah cair IKM batik parameter BOD
Hasil laboratorium kualitas limbah parameter BOD5 untuk uji
validasi
Analisis ANOVA dua arah terhadap nilai beban pencemaran total
keseluruhan proses untuk parameter BOD COD dan TSS
Tabel atribut sebaran beban pencemaran limbah cair IKM batik
Klaster Trusmi
Hasil analisis kualitas limbah Naphtol parameter COD (dalam mg/L)
setelah pengendapan selama 6 bulan

55
58
60
62
63

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setelah mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai warisan dunia pada
tahun 2009, industri batik di Indonesia makin berkembang pesat. Pada akhir tahun
2010 usaha Industri Kecil Menengah (IKM) pembatikan di Indonesia berjumlah
55.778 unit dengan total tenaga kerja yang terserap mencapai 916.783 orang (Jusri
dan Idris 2012). Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian tahun 2010,
Industri batik di Indonesia selama lima tahun terakhir memiliki nilai produksi
rata-rata mencapai Rp 3,94 triliun dan nilai ekspor rata-rata mencapai US$ 65,58
juta.
Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten
Cirebon, pada tahun 2013 terdapat 530 IKM batik yang menyerap 4.408 tenaga
kerja. Sebagian besar pengerajin batik tradisional tersebut terdapat di Desa Trusmi
Wetan dan Trusmi Kulon, sehingga daerah ini berkembang menjadi Obyek Wisata
belanja Batik Trusmi.
Limbah cair dari industri tekstil memiliki dampak buruk terhadap
lingkungan karena beberapa diantaranya bersifat tidak dapat diurai secara alami
dan karsinogenik sehingga harus dikelola secara benar (Babu et al. 2007).
Terlebih proses pewarnaan dengan teknik pencelupan seperti yang dilakukan di
Cirebon lebih rendah produktivitas airnya dibandingkan dengan pewarnaan
dengan teknik padding seperti yang dilakukan di Pekalongan (Sari et al. 2012).
Buangan sisa zat warna merupakan pencemar yang dampaknya paling cepat
terdeteksi secara kasat mata walaupun kadarnya dibawah 1 ppm (Pareira dan
Alves 2012). Minimnya modal usaha, tekanan ekonomi pengerajin dan kesadaran
lingkungan dari pemilik IKM batik yang telah beroperasi sejak lama membuat
upaya pengolahan limbah cair belum menjadi prioritas.
Walaupun limbah cair dari IKM batik hanya dikeluarkan dari proses
pewarnaan, pelepasan lilin (pelorodan), dan pencucian, namun variasi kualitas
limbah cair yang dikeluarkan dari IKM batik sangat besar. Kondisi ini tentunya
menyulitkan pembuat kebijakan untuk menetapkan besarnya faktor beban
pencemar dari sektor ini (UGM 2013). Berdasarkan Chakraborty (2014) terdapat
ribuan variasi warna yang dapat dihasilkan dari satu kelompok jenis zat warna
Naphtol dan garam diazoniumnya saja, sedangkan pada proses pewarnaan di IKM
batik terdapat 12 kelompok jenis zat warna. Selain dari sisa zat warna, limbah cair
yang dikeluarkan oleh IKM batik juga mengandung bahan kimia pendukung
proses produksi seperti NaOH, NaNO2, HCl, Na2CO3, dan Na2O3Si dengan
konsentrasi yang bervariasi tergantung warna batik yang ingin dihasilkan.
Langkah awal dalam strategi pencegahan pencemaran sumber daya air
adalah dengan melakukan audit dan karakterisasi dari limbah cair yang berasal
dari kegiatan industri (Rathore 2012). Informasi terkait dengan faktor beban
pencemar per unit produk dapat digunakan untuk mengestimasi secara cepat total
beban pencemaran yang ada di suatu daerah sehingga bermanfaat untuk
memecahkan masalah pengendalian pencemaran dari sektor tertentu (Kung dan
Yu 2000). Kajian tentang faktor beban pencemar limbah cair IKM batik perlu
dilakukan dengan mempertimbangkan variabel produksi yang dapat memengaruhi

1

2
besaran beban pencemar (Correia et al. 1994). Besarnya beban pencemaran dari
jenis industri tekstil sangat bervariasi dan tergantung dari jenis dan jumlah bahan
kimia yang digunakan. Selain itu tiap jenis serat kain memiliki karakteristik daya
serap yang berbeda terhadap zat warna (Susanto 1973).
Berdasarkan Peraturan Menteri LH No 1 Tahun 2010 tentang tata laksana
pengendalian pencemaran air, tahapan awal dalam pengendalian pencemaran air
adalah dengan melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar air.
Dalam rangka inventarisasi terkait dengan beban pencemaran air dari sektor IKM
batik yang merupakan salah satu sektor unggulan di Kabupaten Cirebon, kajian
mengenai total beban pencemar limbah cair perlu dilakukan.
Perumusan Masalah
Pengendalian pencemaran limbah cair di IKM tidak mungkin dapat
dilakukan dengan pendekatan yang sama seperti pada industri skala besar.
Kesadaran lingkungan, keterbatasan finansial dan sebaran lokasi IKM merupakan
beberapa faktor penghambat dalam upaya pengendalian limbah cair. Trusmi
merupakan sentra batik tradisional yang terdapat di Kabupaten Cirebon. Dengan
lokasinya yang relatif dekat dengan ibukota, klaster ini telah menjadi sentra wisata
batik dan memiliki potensi pertumbuhan produksi serta pencemaran limbah cair
yang tinggi. Selain permasalahan pencemaran, IKM batik Trusmi juga dihadapi
dengan tantangan produk batik printing dari luar daerah serta fluktuasi harga
bahan baku, sehingga permasalahan sosial ekonomi yang ada juga dapat
mempengaruhi kapasitas produksi hingga kesadaran dalam mengelola lingkungan.
Pada umumnya proses pembuatan batik hampir sama dengan proses
produksi di industri tekstil, namun pada IKM batik terdapat komponen
lilin/malam sebagai zat perintang. Limbah cair yang muncul akibat proses
produksi batik dihasilkan dari proses pewarnaan, pelorodan, dan pencucian.
Variasi terkait dengan jumlah zat warna, jenis zat warna air, jenis kain, jumlah
lilin, dan bahan kimia pendukung mengakibatkan konsentrasi maupun beban
pencemaran dari limbah cair IKM batik menjadi sangat beragam. Hal ini tentu
saja menyulitkan pemerintah dalam menghitung beban pencemaran yang terjadi
dari sektor ini.
Permasalahan yang perlu dikaji adalah :
1. Bagaimana profil produktivitas dan pencemaran limbah cair IKM batik di
Klaster Trusmi?
2. Berapa besar beban pencemar limbah cair yang dihasilkan oleh seluruh
IKM batik di Klaster Trusmi?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mencoba menghitung faktor beban pencemar per unit produk
untuk parameter kunci limbah cair untuk industri tekstil yaitu BOD5, COD dan
TSS dengan mempertimbangkan jenis zat warna yang biasa digunakan di Cirebon
(golongan Naphtol, dan golongan Indigosol) dan juga jenis kain (katun dan sutra).
Dengan mengetahui nilai faktor beban pencemar, ditambah dengan informasi

3
kapasitas produksi yang berasal dari profil IKM batik klaster Trusmi maka
estimasi dari total beban pencemar limbah cair dapat diketahui.
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis profil IKM batik di klaster Trusmi Kabupaten Cirebon.
2. Menganalisis faktor beban pencemar limbah cair IKM serta mengestimasi
total beban pencemaran akibat limbah cair dari industri batik Klaster Trusmi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat:
1. Sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan terkait dengan pengendalian
pencemaran dari sektor IKM.
2. Sebagai informasi kepada IKM batik terkait besarnya beban pencemaran yang
disumbangkan serta alternatif pengelolaan limbah cair untuk kelestarian
sumber daya air.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji beban pencemaran limbah
cair yang dihasilkan dari aktivitas produksi IKM batik yang masuk dalam klaster
Trusmi Kabupaten Cirebon dengan menggunakan pendekatan simulasi rancangan
percobaan terhadap contoh limbah cair yang diambil dari tiap proses produksi
pada perwakilan IKM batik tulis dan cap.

TINJAUAN PUSTAKA
Batik
Menurut Jusri dan Idris (2012) secara terminologi, batik berasal dari kata
“mba” (dari bahasa Jawa) artinya menulis dan “tik” (dari bahasa melayu) yang
berarti tik-tik atau tetes, sehingga batik didefinisikan sebagai menulis titik-titik
yang dibuat dengan menggunakan alat canting atau cap menggunakan malam/lilin
sebagai bahan perintang warna di atas media kain. Pada tanggal 2 Oktober 2009,
badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya (UNESCO) mengukuhkan
batik sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Oleh sebab itulah setiap tanggal 2
Oktober diperingati hari batik di Indonesia.

Menurut SNI No 41/st/74 dalam Nurdalia (2006), batik adalah bahan kain
tekstil hasil pewarnaan menurut motif khas batik Indonesia yang pembuatannya
menggunakan malam/lilin sebagai zat perintang. Perkembangan produk batik
sangat dipengaruhi oleh selera konsumen dan perubahan waktu maupun model.
Hingga saat ini teknik membatik tidak hanya diaplikasikan di media kain saja,
namun juga di berbagai media lainnya seperti kayu dan kulit.
Batik dapat digolongkan berdasarkan cara melekatkan lilin batik maupun
berdsarkan cara penyelesaiannya. Berdasarkan cara pelekatan lilin batik, batik
dapat dikelompokan menjadi batik cap, batik tulis, dan batik kombinasi cap-tulis.
Proses penyelesaian batik, penggolongan batik sangat bervariasi dan terus
berkembang sesuai perkembangan teknologi dan kreativitas pembatik seperti batik

4
kerokan, batik lorodan, batik remukan, batik lukis, dan sebagainya (ProLH-GTZ,
2007).
Teknik membatik telah dikenal sejak rubuan tahun silam, sayangnya tidak
ada yang mengetahui secara pasti tentang asal usul batik. Namun Menurut
Nurainun et al. (2008) ada yang menduga teknik ini berasal dari Sumeria dan
dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh pedagang India. Saat ini pembuatan
batik terdapat di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Sri Langka,
India bahkan hingga beberapa negara di Benua Afrika. Walaupun demikian batik
yang paling terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia khususnya
dari Jawa. Hal ini mungkin disebabkan oleh rumitnya proses pembuatan batik
serta desainnya yang spesifik (Nurainun et al. 2008).
Proses Pembuatan Batik
Secara umum pembuatan batik dilakukan dengan beberapa tahapan proses.
Dimulai dari proses persiapan, kemudian dilanjutkan dengan proses pembatikan,
pewarnaan, pelorodan, dan diakhiri dengan proses pencucian (Gambar 1).

Gambar 1 Proses pembuatan batik

5

Penjelasan untuk tiap tahapan proses produksi batik adalah sebagai berikut:
1. Pembatikan
Pada proses ini kain yang telah diberi motif menggunakan pensil
ditutup dengan malam atau lilin batik menggunakan alat yang disebut
canting (Gambar 2). Canting dapat berupa cap (untuk menghasilkan batik
cap) maupun canting tulis (untuk membuat batik tulis). Suhu lilin batik
pada waktu dilekatkan berkisar antara 100 - 110 °C untuk batik tulis dan
sekitar 150 °C untuk batik cap (Nurdalia, 2006). Bagian kain yang ditutup
dengan malam tidak akan terwarnai pada saat proses pewarnaan.

(a)

(b)

Gambar 2 Proses pembatikanan menggunakan canting (a) batik tulis
(b) batik cap
Menurut Kudiya et al (2014) komposisi lilin yang digunakan untuk
proses pembatikan terdiri dari mata kucing, gondorukem, mikro wax,
parafin, kote, dadu, kendal. Komposisi komponen malam ini dibuat
sedemikian rupa agar dapat sesuai dengan jenis batik yang ingin dibuat.
2. Pewarnaan
Proses pewarnaan adalah pemasukan zat pewarna ke dalam seratserat kain, sehingga diperoleh warna-warna yang bersifat kuat. Pada
umumnya proses pewarnaan melalui dua tahap, yaitu pewarnaan
(memasukkan zat warna ke dalam serat kain) dan fiksasi (mengubah
struktur zat warna sehingga terikat dengan serat kain). Zat fiksator yang
digunakan sangat tergantung pada spektrum warna yang diinginkan jenis
zat warna yang digunakan.
Pewarnaan pada pembatikan dilakukan secara pencelupan (Gambar
3). Celupan batik pada umumnya dilakukan sesuai dengan kondisi dan
keadaan batik, yaitu:
 Dilakukan pada suhu dingin, agar lilin batik yang menempel tidak
meleleh.
 Perbandingan air larutan kecil dan konsentrasinya dibuat
tinggi, karena menggunakan alat celup sederhana.

6


Pencelupan dilakukan dalam waktu yang singkat, bila dikehendaki

(a)
(b)
Gambar 3 Proses pewarnaan (a) pencelupan (b) penirisan zat warna
warna yang lebih tua, maka proses pencelupan tetap dilakukan dengan
waktu yang singkat namun dengan pengulangan yang lebih banyak.
3. Pelorodan
Proses pelepasan lilin dilakukan melalui dua cara yaitu melepas
sebagian lilin (kerokan) dan seluruhnya (melorod). Kerokan yaitu melepas
lilin dengan alat cawuk setelah kain batik direndam dalam air selama satu
malam. Setelah dikerok kain batik disikat sambil dibasahi dengan larutan
NaOH. Sedangkan pada proses melorod, kain batik dimasukkan ke dalam
air mendidih yang ditambah tepung tapioka atau soda abu (Na2CO3).
Penambahan soda abu yang bersifat basa dimaksudkan untuk
menimbulkan reaksi penyabunan pada lilin yang menempel, sehingga
mudah terlepas dari kain. Pada umumnya proses pembuatan batik di
Cirebon menggunakan teknik lorodan (Gambar 4) untuk melepaskan lilin.

Gambar 4 Proses pelorodan

7
4. Pencucian
Merupakan salah satu proses pembuatan batik yang dilakukan untuk
menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk pada serat kain dan juga
sisa lilin yang menempel dari proses pelorodan. Proses pencucian
(Gambar 5) umumnya dilakukan hanya menggunakan air bersih tanpa
ditambah dengan detergen.
Pada proses pembuatan batik terdapat dua fasa proses pencucian,
yaitu:
a. Pencucian setelah proses pewarnaan yang bertujuan untuk
menghilangkan sisa zat warna yang tidak masuk ke dalam serat
kain
b. Pencucian setelah proses pelorodan yang bertujuan untuk
menghilangkan sisa lilin yang masih menempel pada kain.

Gambar 5 Proses Pencucian
Zat Warna Batik
Penggunaan zat warna pada batik sangat bervariasi. Bahkan hampir semua
IKM selalu berupaya membuat batik dengan warna yang berbeda. Hal ini
dilakukan agar batik yang diproduksi tidak dapat ditiru oleh IKM lain. Oleh sebab
itu, terkadang resep pewarnaan dari suatu batik menjadi rahasia diantara sesama
pengerajin. Tidak hanya perbedaan resep dalam menghasilkan suatu warna,
jumlah dan kombinasi warna dari satu produk dapat berbeda dengan produk yang
lain. Hal inilah yang menyebabkan beban pencemaran dari proses pewarnaan
batik menjadi sulit diprediksi. (prinsip perbandingan konsentrasi zat warna)
terhadap arah warna adalah: 1 g/L untuk warna muda, 2 g/L untuk warna sedang,
dan 3 g/L untuk warna tua (Suleman 3 November 2014, melalui komunikasi
pribadi).
Sejarah zat warna batik
Dahulu sebelum Indonesia dibanjiri dengan zat zat warna sintetis, para
pengrajin batik di Indonesia menggunakan bahan alam (terutama tumbuhan) untuk
proses pewarnaannya. Namun setelah zat warna sintetis ditemukan oleh William

8
Henry Perkin pada tahun 1856 (Parreira dan Alves 2012), penggunaan zat
pewarna dari bahan alam untuk pembatikan mulai tergantikan. Penggunaan zat
warna sintetis ini lebih disukai oleh pengrajin batik karena memiliki ketahanan
luntur yang lebih baik dibandingkan dengan warna dari bahan alam. Sebagai
contoh untuk warna biru yang awalnya menggunakan daun indigofera diganti
dengan indigo sintetis yang dibuat dari anilin dan monochlor asetat, untuk warna
kuning yang awalnya menggunakan kunir atau tegeran berubah menjadi auramin
(suatu cat basis), dan untuk warna merah mengkudu diganti dengan Naphtol dan
garam diazonium (Susanto 1973).
Penggunaan zat warna di Trusmi
Menurut Balai Besar Kerajinan dan Batik dalam Nurdalia (2006) zat warna
berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu zat warna alam
dan zat warna sintetis. Menurut American Association of Textile Chemist and
Colorists (1956) zat warna sintetis berdasarkan cara penggunaannya dapat dibagi
kedalam beberapa golongan yang meliputi: zat warna asam, zat warna basa, zat
warna, zat warna direk, zat warna mordan, zat warna bejana, zat warna azoic, zat
warna reaktif, zat warna pigmen, zat warna sulfur dan zat warna dispersi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Clean Batik Initiative (CBI)
pada tahun 2011, zat warna yang lazim dipergunakan pada IKM batik cap dan
tulis di klaster Trusmi adalah zat warna Naphtol dari golongan azoic dan
Indigosol dari golongan soluble vat dyes (bejana larut). Jenis pewarna ini
didapatkan dari kota pekalongan melalui jalur pengecer skala kecil yang berada di
Trusmi. Selain itu, pada umumnya IKM batik di Trusmi rata-rata
memproduksi tiap lembar kain batik dengan 3 warna.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan di Yogyakarta oleh UGM pada
tahun 2013, konsentrasi limbah cair sisa proses pewarnaan untuk parameter BOD
untuk zat warna biru tua dari jenis Naphtol lebih tinggi dibandingkan warna
merah. Untuk zat warna Indigosol memiliki konsentrasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan zat warna Naphtol (UGM 2013).
Tantangan dalam menentukan faktor beban pencemar dari produk batik
terdapat pada variabel jumlah warna yang terdapat dalam produk batik. Semakin
banyak jumlah warna dari kain batik mengakibatkan makin besar volume limbah
cair sisa zat warna yang digunakan.
Paradigma pewarnaan yang terjadi di IKM batik sangat jauh berbeda dengan
prinsip pewarnaan yang efisien pada industri tekstil skala besar. Hal ini dapat
dilihat dari prinsip komposisi zat warna yang digunakan oleh industri besar adalah
dengan kombinasi zat warna sesedikit mungkin menghasilkan variasi warna
sebanyak mungkin. Sedangkan di IKM batik sebaliknya, untuk mendapatkan
suatu warna tertentu dapat digunakan kombinasi dari banyak warna. Hal ini
disebabkan oleh doktrinasi pedagang zat warna terhadap IKM agar membeli zat
warna sebanyak mungkin. Hal otomatis ini berimbas pada meningkatnya
konsentrasi limbah cair yang dihasilkan (Sulaeman 3 November 2014, komunikasi
pribadi).

9
Zat Warna Naphtol
Menurut Susanto (1973) zat warna Naphtol ditemukan oleh Griesheim dari
Jerman pada tahun 1911 dan mulai digunakan di Indonesia sekitar tahun 1930. Zat
warna jenis ini banyak disukai oleh IKM batik maupun di kalangan pertekstilan
karena mudah cara pemakaiannya dan memiliki ketahanan yang baik. Faktorfaktor yang menyebabkan zat warna Naphtol disukai oleh IKM batik adalah:
Dapat dipakai untuk mencelup secara dingin walaupun menurut William (1934)
pewarnaan menggunakan zat warna Naphtol paling baik dilakukan pada suhu 100
o
C., ketahanan dalam proses pelorodan, warna yang dihasilkan sesuai yang
dikehendaki (warna soga, wedelan, merah mengkudu, dll), dan proses
pewarnaanya tidak memakan waktu lama (Susanto 1973). Contoh struktur zat
warna Naphtol dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Struktur zat warna Naphtol AS-BO
Pada aplikasi dalam pembatikan, Menurut Susanto (1973) zat warna
Naphtol terdiri dari dua komponen. Komponen pertama disebut Azoic Kopling
Component (Naphtol-AS) dan kedua adalah komponen Azoic Diazo Component
(Garam Diazonium). Bila kedua komponen ini bertemu dalam bentuk larutan
maka akan menghasilkan senyawa berwarna yang disebut warna Napthol.
Menrurut Cristy (2001), senyawa Naphtol-AS merupakan senyawa yang tidak
larut air, sehingga harus dirubah menjadi bentuk Naphtolat yang larut air dengan
penambahan NaOH. Menurut Susanto (1973) senyawa Naptholat ini kemudian
masuk ke dalam serat kain dan bersenyawa atau kopling dengan Garam
Diazonium membentuk senyawa Naphtol yang berwarna. Reaksi pewarnaan serat
katun dengan zat warna Naphtol dapat dilihat pada Gambar 7.
Warna Napthol adalah suatu senyawa yang tidak larut air sehingga memiliki
ketahanan cuci yang baik. Di Cirebon, komponen Naphtol-AS yang dilarutkan
dengan bantuan NaOH (Senyawa Naphtolat) dikenal sebagai obat 1, dan Garam
diazo dikenal sebagai obat 2. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada
tahun 2010 melalui program CBI, proses pewarnaan Napthol pada batik di
Cirebon dilakukan secara celupan yang dilakukan dengan empat tahapan, yaitu:

10

Gambar 7 Reaksi pewarnaan Naphtol dalam serat katun (Susanto, 1973)
1. Merendam kain dalam obat 1, dengan tujuan memasukan larutan
Naphtolat ke dalam kain yang tidak tertutup lilin. Selama di rendam
biasanya ada gerakan meratakan zat warna dengan cara diraba dengan
tangan.
2. Mengatuskan kain, dengan tujuan memastikan larutan obat 1 yang tidak
masuk dalam serat kain lepas dari kain.
3. Membangkitkan warna, dengan cara merendam kain yang telah
dihatuskan kedalam obat 2. Karena reaksi pembangkitan warna
berlangsung cepat maka volume dan konsentrasi unsur garam diazonium
harus lebih besar dua sampai tiga kali lipat dari konsentrasi obat 1.
4. Pencucian dan membilasan, dilakukan dua kali yaitu setelah pencelupan
obat 2 dan setelah proses pelorodan.
Zat warna Indigosol
Sejatinya zat warna bejana tidak larut air, namun menurut Susanto (1973)
Indigosol merupakan zat warna Bejana (vat dyes) yang telah dibuat bentuk leko
ester sehingga dapat larut dalam air. Struktur zat warna Indigosol dapat dilihat
pada Gambar 8.

11

Gambar 8 Struktur Indigosol
Dalam kondisi larut air, zat warna Indigosol masuk ke dalam serat kain
melalui proses pencelupan. Menurut Susanto (1973) Proses pembangkitan warna
Indigosol terjadi di dalam serat kain melalui proses oksidasi dengan bantuan
natrium nitrit (NaNO2) dan asam klorida (HCl), sehingga menjadi bentuk
berwarna dan tidak larut dalam air (Gambar 9).

Gambar 9 Reaksi pewarnaan Indigosol
Warna Indigosol banyak digunakan IKM untuk menghasilkan warna- warna
muda dan lembut. Berdasarkan (Sumiskad 17 September 2014, komunikasi
pribadi) di Trusmi warna Indigosol banyak dikombinasikan dengan zat warna
Naphtol dalam satu kain untuk menghasilkan variasi terang gelap. Karena
karakteristik warnanya yang muda, maka penggunaan warna Indigosol tidak dapat
menghasilkan warna hitam seperti pada naftol. Menurut Susanto (1973)
perbandingan zat warna Indigosol dan zat pengoksidasi yang digunakan untuk
pencelupan menggunakan Indigosol adalah 1 : 2-3 bagian.
Menurut Susanto (1973) Proses pewarnaan Indigosol umumnya dilakukan
dengan cara:
 Bubuk cat dipasta dengan sedikit air sampai rata basah.
 Dituangi air panas (50o – 60oC) secukupnya, diaduk hingga menjadi
larutan jernih. natrium nitrit dilarutkan, lalu dimasukkan (dicampur
dengan larutan cat).
 Tambahkan air dingin yang diperlukan, dan kemudian celup kain
kedalam larutan.
 Kain celupan diangkat dan diatuskan di atas bak (sebentar) dan dijemur
pada sinar matahari dengan dibuka rata.
 Kain kemudian dibangkitkan warnanya dengan larutan asam klorida
dalam keadaan dingin, kemudian dicuci dengan air bersih.

12
Kain Batik
Sebagai bahan dasar pembuatan batik, kain putih yang siap masuk ke
proses produksi batik sering disebut dengan mori. Menurut Susanto (1973) kata
mori berasal dari salah satu jenis ulat sutra yaitu bombyx mori yang menghasilkan
sutra putih dan halus. Dilihat dari bahan dasarnya, kain mori dapat berasal dari
katun, sutra atau sutera tiruan.
Kain katun
Menurut Susanto (1973), serat katun atau selulosa terdiri dari polimer lurus
dari glukosa, letak glukosa berselang-seling, dalam rendaman air mengembang
cukup besar sehingga pori pori dapat dimasuki zat warna, memiliki banyak gugus
OH, dimana O bersifat elektronegatif kuat dan H bersifat elektropositif lemah
sehingga serat katun dalam rendaman air bermuatan negatif. Sebuah serat katun
terdiri dari banyak sekali deretan selulosa (Gambar 10).

Gambar 10 Struktur kimia dari serat selulosa
(Sumber : Fesenden 1999)
Mekanisme masuknya zat warna pada serat katun ditentukan oleh besarnya
substansivitas zat warna. Substansivitas ini bergantung pada susunan molekul zat
warna yang linier dan koplaner, ikatan rangkap terpanjang yang terkonjugasi,
atom H dalam ikatan sisi (OH, NH2) dan berat molekul yang tinggi (Susanto
1973). Berdasarkan teori struktur katun dan struktur zat warna, maka hubungan
katun- zat warna pada pewarnaan dapat dilihat pada Gambar 11.

N

Gambar 11 Skema hubungan zat warna dan serat pada kain katun
Menurut Susanto (1973) proses pewarnaan pada bahan yang diwarna
dianggap selesai dan sempurna bila tercapai keadaan keseimbangan, yaitu pada
saat zat warna yang masuk ke dalam bahan yang diwarna mencapai titik
maksimum. Terjadinya keseimbangan pada proses pewarnaan tergantung pada
beberapa faktor, antara lain:

13
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Suhu larutan pencelupan
Pengadukan atau gerakan pada pencelupan
Keadaan bahan yang diwarna
Konsentrasi larutan celup
Afinitas dari zat warna
Elektrolit dalam larutan dan pH larutan celup.

Kain sutra
Sutra sebagai bahan batik sering juga disebut sutra mori, merupakan kain
sutra yang digunakan untuk memproduksi batik. Menurut Susanto (1973)
karakteristik serat sutra alam belum dapat ditiru oleh serat sintetis. Bila ditinjau
dari proses pembuatan batik menggunakan kain sutra, maka ada tiga macam
proses utama yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Penempelan lilin batik pada kain sutra
Lilin batik dalam keadaan panas dan cair dapat menempel pada kain sutra
tanpa menyebabkan perubahan yang nyata pada kain. Hal ini tidak seperti
serat protein yang lain seperti serat rambut bila terkena panas akan menjadi
mengkerut.
2. Pewarnaan sutera secara proses batik
Secara prinsip hampir semua warna yang biasa dipakai dalam pembatikan,
dapat digunakan untuk mewarnai sutra. Namun oleh karena pada saat proses
penghilangan lilin pada kain sutra lebih sulit, maka sebaiknya untuk sudah
dipakai warna warna yang memiliki ketahanan yang baik seperti Napthol dan
Indigosol.
3. Masalah menghilangkan lilin pada batik
Pada kain sutra, lilin mempunyai tendensi melekat lebih kuat dibandingkan
pada kain katun. Oleh sebab itu terdapat beberapa cara untuk menghilangkan
lilin dari kain sutra, yaitu:
a) Cara pelepasan dengan air panas alkali. Cara ini dapat dipergunakan
apabila lilin batik yang dipakai memiliki campuran khusus
untuk mengurangi bahan pokok lilin yang mengakibatkan sukar lepas
(seperti lilin bekas, mata kucing dan paraffin kasar). Dalam air lorodan
ini ditambahkan soda abu sehingga error dan menjadi alkalis (pada pH
tidak lebih dari 9.5 atau tidak lebih dari 0.1 %)
b) Cara melarutkan lilin. Cara ini memiliki resiko yang cukup besar, karena
lilin pada kain batik dilarutkan dengan menggunakan pelarut organik
(bensin).
c) Kombinasi antara pelepasan dan pelarutan. Cara ini merupakan
kombinasi dari kedua cara sebelumnya, dimana pelarut organik
ditambahkan kedalam larutan air panas pada proses pelepasan lilin untuk
menghindari bahaya kebakaran.
Pencemaran Air
Berdasarkan PP 82 Tahun 2001, yang dimaksud dengan pencemaran air
adalah “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai

14
dengan peruntukannya”. Berdsarkan uraian definisi tersebut maka pengertian
pencemaran air secara operasional mengandung tiga aspek pokok yaitu: (1) Aspek
kejadian, dalam artian kejadiannya bisa disengaja atau tidak disengaja ; (2) Aspek
penyebab, dimana dalam definisi pencemaran air terdapat kata oleh manusia; dan
(3) Aspek akibat, dimana kata sehingga turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai peruntukannya, istilah tingkat tertentu
mengandung makna terdapat batasan apakah suatu sumber air kualitasnya telah
tercemar. Istilah tingkatan tertentu tersebut terkait dengan pengertian baku mutu.
Berdasarkan hasil kajian dampak lingkungan sentra Industri Batik
Tradisional Kabupaten Cirebon yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup
Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Cirebon pada tahun 2007, kualitas air
tanah di Kecamatan Plered masih berada di bawah baku mutu air bersih dari
KepmenKes No 907/MENKES/SK/VII/2002. Hal ini menunjukkan air bersih
yang digunakan oleh IKM batik, kualitasnya baik. Namun seiring dengan aktivitas
kegiatan produksi batik yang dilakukan di Trusmi, maka pencemaran terhadap
sumber daya air juga terus meningkat.
Beban Pencemar
Menurut Donald et al. (2013) beban (load) adalah berat suatu zat yang
masuk melalui suatu titik tertentu ke dalam badan air. Semakin besar jumlah zat
yang masuk ke dalam badan air, semakin besar pula bebannya. Zat yang dimaksud
dapat berbentuk padat, cair maupun gas. Masuknya zat-zat ini tentu saja
memengaruhi kesetimbangan yang ada di dalam badan air.
Berdasarkan PermenLH Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air, yang dimaksud dengan Beban pencemaran air
adalah “Jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air
limbah". Berdasarkan definisi tersebut, maka informasi beban pencemaran oleh
satu atau sekumpulan kegiatan aktivitas manusia dapat digunakan untuk
memrediksi sejauh mana dan seberapa lama suatu sumber air dapat tetap
memenuhi fungsinya.
Mekanisme penetapan daya tampung beban pencemar suatu sumber air
(danau/sungai) telah diatur dalam permenLH Nomor 01 Tahun 2010, dimana
sumber air yang melintas antar provinsi atau Negara harus menunjukkan besarnya
kontribusi beban pencemar air dari masing-masing sumber pencemar air terhadap
sumber air. Atas dasar pertimbangan bahwa karakteristik air limbah dari suatu
kegiatan berbeda dengan kegiatan lainnya, maka baku mutu air limbah ditetapkan
dengan memertimbangkan aspek karakteristik air limbah yang dihasilkan. Tidak
semua parameter yang ada pada air limbah digunakan sebagai baku mutu air
limbah. Hanya parameter-parameter pokok saja yang diatur dalam baku mutu air
limbah.
Menghitung kontribusi sumber pencemar air tak tentu dalam rangka
inventarisasi sumber pencemar air nasional sangatlah diperlukan untuk
memperoleh gambaran total secara nasional. Beberapa kota yang memiliki
industri kecil yang beroperasi di antara daerah pemukiman maka inventarisasi
sumber pencemar air tak tentu membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan
sumber pencemar air tentu.
Kajian ini akan mencoba untuk menghitung beban pencemaran yang
dikeluarkan dari tiap tahapan proses yang menggunakan sumber daya air dan

15
langsung dibuang ke saluran pembuangan tanpa diolah terlebih dahulu agar dapat
diketahui strategi penanganan yang paling efektif dalam mengendalikan
pencemaran. Untuk industri tekstil, parameter penentuan baku mutu ditetapkan
berdasarkan KepmenLH No 51 tahun 1995 lampiran A IX (Tabel 1) tentang Baku
Mutu Limbah Cair Industri Tekstil yang meliputi BOD5, COD, TSS, Fenol, Cr
total, Minyak Lemak, dan pH.
Tabel 1 Baku mutu limbah cair industri tekstila)
Parameter

Kadar maksimum
(mg/L)

Beban pencemaran

Maksimum (kg/ton)
BOD
85
12,75
COD
250
37,5
TSS
60
9,0
Fenol total
1,0
0,15
Krom total (Cr)
2,0
0,30
Minyak dan lemak
5,0
0,75
pH
6,0 - 9,0
3
150 m per ton tekstil
Debit limbah
Maksimum
a) Sumber: KepmenLH No 51/1995
Namun pada kajian ini beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi
dihitung hanya untuk tiga dari tujuh parameter yang dipersyaratkan dalam
KepmenLH No 51 Tahun 1995 yaitu BOD5, COD, dan TSS yang menyatakan
bahwa ketiga parameter tersebut merupakan parameter kunci limbah batik yang
kadarnya sering kali melampaui baku mutu yang ditetapkan pemerintah (Dinas
Lingkungan Hidup Kab Cirebon, 2007). Berdasarkan Indriyani (2004)
pengukuran parameter BOD5 dan COD sangat penting untuk mengetahui tingkat
biodegradativitas dari limbah cair, sedangkan parameter TSS diperlukan untuk
mengetahui jumlah padatan baik yang terendapkan secara alami maupun tidak
dapat diendapkan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan
Hidup Kab. Cirebon (2007) konsentrasi limbah cair untuk parameter MinyakLemak, Fenol, Cr total, pH pada umumnya berada di bawah nilai baku mutu yang
ditetapkan. Hal ini dikarenakan Minyak-Lemak dan Fenol dari malam dari proses
pelorodan pada umumnya di-recovery untuk digunakan kembali pada proses
pembatikan. Untuk parameter Cr total, menurut Cristy (2001) pada zat warna
jenis Naphtol dan Indigosol tidak mengandung logam Cr seperti jenis zat warna
mordan yang digunakan dalam produk tekstil di industri besar. Sedangkan
parameter pH hanya merupakan parameter indikator derajat keasaman limbah, dan
tidak digunakan dalam perhitungan beban pencemaran.
Klaster Industri Kecil Menengah
Klaster
Dalam beberapa kegiatan, klaster IKM sering juga disebut sebagai Sentra
Industri, Sentra Produksi, Kawasan ataupun Lingkungan Industri Kecil.
Berdasarkan KNLH (2009) definisi klaster IKM adalah “Sekelompok usaha yang
terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dengan komoditas yang sejenis, dalam

16
lokasi yang saling berdekatan dan terjadi suatu kerjasama. Kebersamaan dan
kerjasama antara pelaku dalam klaster dibangun melalui pembentukan wadah
yaitu forum ataupun paguyuban.” Adapun komponen pembentuk klaster terdiri
dari: (1) adanya unit-unit usaha, (2) adanya institusi-institusi penunjang, dan (3)
adanya wadah organisasi.
Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara
klaster dengan sentra adalah adanya suatu kesiapan kelembagaan, sedangkan
sentra lebih merupakan obyek dengan pelaku yang bergerak secara individual. Di
Kabupaten Cirebon terdapat dua klaster IKM batik yaitu Klaster Trusmi dan
Klaster Ciwaringin. Klaster Trusmi dikuatkan melalui kelembagaan koperasi batik
Budi Tresna, Asosiasi Pengerajin dan Pengusahan Batik yang terbentuk sejak
2009 serta paguyuban pengerajin batik warna alam. Sedangkan klaster Ciwaringin
baru membentuk koperasi batik Ciwaringin pada tahun 2012.
Industri Kecil Menengah (IKM)
Sektor IKM di Indonesia telah diakui sebagai salah satu sektor yang
memiliki kemampuan untuk menghadapi krisis ekonomi. IKM selalu
digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peran penting karena mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan juga berperan
dalam pendistribusian hasil – hasil pembangunan (Aldida dan Santosa 2013).
Di Indonesia IKM yang memproduksi barang-barang kebutuhan akhir (final
demand) maupun barang-barang kebutuhan pendukung produksi (intermediate
demand) tetap mengalami pertumbuhan walaupun menghadapi persaingan dari
industri besar. Hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan oleh IKM memiliki
cita rasa yang unik baik dari segi warna, bentuk, kemasan, harga maupun
pelayanan.
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, yang dimaksud
dengan usaha mikro, kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha milik
warga negara Indonesia yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari Usaha Besar yang memenuhi kriteria seperti pada
Tabel 2.
Tabel 2 Kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah
Kriteria

Usaha Mikro

Usaha Kecil

Usaha
Menengah

Jumlah Kekayaan (tidak paling banyak
termasuk tanah dan
Rp. 50 juta
bangunan tempat usaha)

Rp. 50 juta - 500 Rp. 500 juta juta
10 miliyar

Hasil penjualan per
tahun

Rp. 300 juta - 2.5 Rp. 2.5
miliyar - 50
miliyar
miliyar

paling banyak
Rp. 300 juta

Sumber : UU No 20 Tahun 2008
Namun menurut UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, pengertian
industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan

17
/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang
mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Oleh
sebab itu, tidak semua UMKM termasuk kedalam kategori IKM yang
mempersyaratkan adanya kegiatan pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi.
Sebagai contoh, di Trusmi terdapat UKM batik yang bukan merupakan IKM batik,
yang mana kegiatan usahanya hanya meliputi penjualan (showroom) batik saja
dan proses produksi batiknya dilakukan oleh IKM diluar usahanya.
Menurut Nurdalia (2006) sebagian besar IKM batik di Indonesia belum
menganggap pencemaran limbah sebagai suatu permasalahan. Rendahnya tingkat
kesadaran lingkungan yang dimiliki IKM dapat berpotensi menimbulkan dampak
negatif yang besar, sehingga perlu pendekatan khusus untuk meminimalisir
dampak negati terhadap lingkungan.
Menurut [BPS] dalam Nurainun (2008) penggolongan kelas IKM dilakukan
berdasarkan jumlah tenaga kerja sebagai berikut: (i) industri dengan tenaga kerja
1-4 orang digolongkan pada industri rumah tangga (IRT); (ii) 5-9 orang
digolongkan pada industri kecil; (iii) 20-99 orang digolongkan pada industri
menengah; dan (iv) lebih dari 100 orang digolongkan pada industri besar.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di sentra IKM Batik Trusmi Kabupaten Cirebon
Jawa Barat. Wilayah penelitian melimputi empat wilayah Desa yang meliputi
Desa Trusmi Kulon, Desa Trusmi Wetan, Desa Wotgali, dan Desa Kali Tengah.
Untuk analisis kualitas limbah cair dilakukan di laboratorium terakreditasi
Akademi Kimia Analisis Bogor. Penelitian ini telah selesai dilakukan pada bulan
Juni - Desember 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan meliputi kain katun tipe G dan sutra tipe super yang
telah dipotong 2 meter sebanyak 18 potong. Zat warna untuk menghasilkan warna
merah, biru dan hitam dari jenis Naphtol dan Indigosol serta bahan laboratorium
untuk menganaisis kualitas limbah parameter BOD5, COD, dan TSS. Sedangkan
alat yang digunakan meliputi peralatan produksi batik milik 12 IKM, peralatan
sampling limbah cair termasuk pH meter, pengawet sampel dan GPS Android
(software GPS Test Plus ver 1.5). Peralatan laboratorium untuk menganaisis
kualitas limbah parameter BOD5, COD, TSS. Serta alat ukur volume, panjang dan
waktu.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahapan analisis, yaitu:
1. Analisis profil produksi batik di klaster Trusmi, bertujuan untuk mengetahui
kondisi produksi batik yang meliputi potensi dan permasalahan yang ada.
Analisis ini dapat membantu menggambarkan latar belakang besarnya
kapasitas produksi batik di klaster ini.

18
2. Analisis beban pencemar limbah cair IKM batik, dilakukan untuk mengetahui
nilai beban pencemar limbah cair yang dikeluarkan untuk periode satu tahun
berdasarkan tiap tahapan proses yang mengeluarkan limbah cair.
Analisis Profil Produksi Batik
Untuk mendapatkan profil produksi batik skala klaster Trusmi, pendekatan
yang digunakan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder adalah dengan
cara pengamatan langsung di lapangan, wawancara dengan stakeholder, serta studi
literatur. Analisis profil dilakukan secara deskriptif yang ada pada IKM batik di