The comparison of the stability on electrocardiogram in anesthetized domestic dogs between ketamine with propofol, and its combination

PERBANDINGAN STABILITAS ELEKTROKARDIOGRAM
PADA ANJING DOMESTIK YANG DIANESTESI ANTARA
KETAMIN, PROPOFOL DAN KOMBINASINYA

I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul: “Perbandingan
Stabilitas Elektrokardiogram pada Anjing Domestik yang Dianestesi Antara
Ketamin, Propofol, dan Kombinasinya”, adalah karya saya sendiri dengan
bimbingan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan
telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2012

Yang Membuat Pernyataan

I Putu Gede Yudhi Arjentinia
B351080011

ABSTRACT
I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA. The comparison of the stability on
electrocardiogram in anesthetized domestic dogs between ketamine with propofol,
and its combination. Under the supervision Setyo Widodo and Deni Noviana.
The aim of this study is to determine the comparison of stability on
electrocardiogram in anesthetized dogs between ketamine, propofol, and its
combination. The study was divided into 2 steps. In the first step, eighteen (18)
experimental dogs were divided into three groups, group I received ketamine
(4 mg/kgBW), group II propofol (4 mg/kgBW), and group III received
combination of ketamine (4 mg/kgBW) and propofol (4 mg/kgBW). All groups
were preanesthetized with combination of atropine sulphate (0,03 mg/kgBW) and
xylazine (2 mg/kgBW), 10 minutes prior to the experiment. The observed
parameters were the amplitude of P, R, and T, the interval of QRS, PQ, and QT
electrocardiogram (ECG) wave of lead II, as well as heart rate and cardiac axis.
The combination of ketamine and propofol yeilded a good depth of anesthesia,

provide stability of the ECG is better than single administration of ketamine HCl
anesthesia or propofol. In the second step, eighteen (18) experimental dogs were
divided in to three groups. All groups are received 0.03 mg/kgBW atropin
sulphate and 2 mg/kgBW xylazine intramuscularly and were induced with 4
mg/kgBW ketamine and propofol 4mg/kgBW intravenously respectively 10
minutes prior the experiment, and then received intravenous infusion by a
gravimetric method to maintain the anaesthesia status, 20 minutes prior to the
experiment. Group I were received ketamine (0.4 mg/kgBW/minutes) infusion,
group II propofol (0.4 mg/kgBW/minutes), and group III combination of ketamine
(0.4 mg/kgBW/minutes) and propofol (0.4 mg/kgBW/minutes) respectively. The
observed parameters were the amplitude of P, R, and T, the interval of QRS, PQ,
and QT ECG wave of lead II, as well as heart rate and cardiac axis. The
intravenous drip by gravimetric infusion anaesthesia in combination with
ketamine and propofol provides stability of the ECG better than single ketamine
or propofol.
Keyword: Anaesthesia, Propofol, Ketamine, Electrocardiogram, Dogs

RINGKASAN
I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA. Perbandingan stabilitas
elektrokardiogram pada anjing domestik yang dianestesi antara ketamin, propofol,

dan kombinasinya. Dibimbing oleh Setyo Widodo dan Deni Noviana.
Pemberian anestetik jangka panjang dapat menyebabkan perubahanperubahan pada sistem kardiovaskular yang cenderung menimbulkan aritmia
jantung. Penilaian elektrokardiogram (EKG) selama hewan teranestesi dapat
mencegah terjadinya aritmia jantung. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang dianestesi ketamin HCl,
propofol, dan kombinasinya serta perbandingan stabilitas listrik jantung anjing
yang teranestesi dengan ketamin HCl, propofol dan kombinasinya dengan tetes
infus secara gravimetrik. Penelitian dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama
dilakukan untuk melihat gambaran EKG sadapan II pada anjing yang diberikan
ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya dengan preanestesi kombinasi atropin
sulfat–xylazin HCl. Digunakan 18 ekor anjing, dibagi menjadi tiga kelompok
masing-masing terdiri dari 6 ekor anjing, yaitu kelompok I, II, dan III, yang
diberikan kombinasi preanestesi atropin sulfat dosis 0,03 mg/kgBB dan xylazin
HCl dosis 2 mg/kgBB secara intramuskular (IM) dan 10 menit kemudian
diinduksi secara intravena (IV) dengan ketamin HCl dosis 4 mg/kgBB (kelompok
I), propofol dosis 4 mg/kgBB (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl dosis 4
mg/kgBB dan propofol dosis 4 mg/kgBB (kelompok III). Pengambilan data
dilakukan sebelum perlakuan atau menit ke-0, setiap 10 menit sampai menit ke90. Parameter yang diamati adalah amplitudo gelombang P, R, dan T; interval
gelombang QRS, PQ, dan QT pada sadapan II; serta denyut jantung dan aksis
jantung. Kestabilan EKG anjing yang paling baik terlihat pada pemberian anestesi

kombinasi ketamin HCl-propofol dibandingkan dengan pemberian tunggal
anestesi ketamin HCl atau propofol. Penelitian kedua dilakukan untuk melihat
gambaran EKG anjing yang diberikan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus
intravena secara gravimetrik. Digunakan 18 ekor anjing yang dibagi menjadi tiga
kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor anjing. Semua anjing diberikan
preanestesi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB) dan xylazine HCl (2 mg/kgBB) secara
IM, 10 menit kemudian diinduksi dengan kombinasi ketamin HCl (4 mg/kgBB)
dan propofol (4 mg/kgBB) secara IV, dan 10 menit kemudian dilanjutkan dengan
pemeliharaan anestesi dengan dengan metode tetes infus intravena secara
gravimetrik dengan ketamin HCl 0,4 mg/kgBB/menit (kelompok I), propofol 0,4
mg/kgBB/menit (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl 0,4 kg/kgBB/menit
dan propofol 0,4 mg/kgBB/menit (kelompok III). Infus IV diberikan sampai menit
ke-120. Pengukuran EKG diambil dari menit ke-0 sampai dengan menit ke-140.
Parameter yang diamati adalah amplitudo gelombang P, R, dan T; interval
gelombang QRS, PQ, dan QT pada sadapan II; serta denyut jantung dan aksis
jantung. Kestabilan EKG anjing yang paling baik terlihat pada pemberian
pemeliharaan anestesi tetes infus intravena secara gravimetrik dengan kombinasi
ketamin HCl-propofol dibandingkan dengan pemberian tunggal ketamin HCl atau
propofol saja.
Kata kunci: Anestesia, Propofol, Ketamin HCl, Elektrokardiogram, Anjing







Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PERBANDINGAN STABILITAS ELEKTROKARDIOGRAM
PADA ANJING DOMESTIK YANG DIANESTESI ANTARA
KETAMIN, PROPOFOL DAN KOMBINASINYA


I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si., APVet.

Judul Tesis

:

Perbandingan Stabilitas Elektrokardiogram pada

Anjing Domestik yang Dianestesi Antara
Ketamin, Propofol dan Kombinasinya

Nama

:

I Putu Gede Yudhi Arjentinia

NRP

:

B351080011

Program Studi

:

Ilmu Biomedis Hewan


Menyetujui
Komisi Pembimbing

Dr. drh. Setyo Widodo
Ketua

drh. Deni Noviana, PhD.
Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi
Ilmu Biomedis Hewan

Dekan Sekolah Pascasarjana-IPB

drh. H. Agus Setiyono, MS., Ph.D., APVet

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


Tanggal Ujian: 19 Maret 2012

Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa, karena atas
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Perbandingan Stabilitas Elektrokardiogram pada Anjing Domestik yang
Dianestesi Antara Ketamin, Propofol dan Kombinasinya”. Tesis ini merupakan
salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu
Biomedis Hewan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Setyo Widodo dan
drh. Deni Noviana, Ph.D. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan
nasehat, pengarahan, saran, serta pembimbingan dengan penuh ketulusan dan
kesabaran. Rasa terima kasih penulis sampaikan pula kepada Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi, Rektor Universitas Udayana, Dekan FKH Universitas
Udayana, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Dekan Sekolah Pascasarjana
IPB, Ketua Program Mayor IBH Sekolah Pascasarjana IPB, Direktur Rumah Sakit
Hewan Pendidikan IPB, dan Ketua Departemen KRP FKH IPB yang telah

membantu fasilitas dan pelayanan selama studi. Penulis juga menyampaikan rasa
terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IPB, teman-teman
Punawacana serta adik-adik asrama Wyata Brahmacarya atas dukungan, motivasi,
dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada istri tercinta
Ni Ketut Nova Ariani, SE serta kedua anak-anak tersayang Putu Kartika Widya
Arjentinia dan Made Sastra Dhyatmika Arjentinia atas segala doa, kesabaran,
motivasi, pengorbanan, dan kasih sayangnya. Tidak lupa juga penulis sampaikan
rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta, mertua, dan
seluruh keluarga atas doa, motivasi, dan pengorbanan yang tak pernah putus.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir
kata, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2012
Penulis

RIWAYAT HIDUP
I Putu Gede Yudhi Arjentinia, dilahirkan di Mendoyo Dangin Tukad pada
tanggal 14 Juli 1978, merupakan putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan
Ayah I Wayan Jendra, SPd (Alm.) dan Ibu Ni Putu Armoni, SPd. Menikah dengan

Ni Ketut Nova Ariani, SE dan telah dikaruniai dua orang putra Putu Kartika
Widya Arjentinia dan Made Sastra Dhyatmika Arjentinia.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan
Sekolah Menengah Umum (SMU) penulis tempuh di Kabupaten Jembrana, Bali.
Pada tahun 1997 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor (FKH–IPB) lewat jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Pada tahun 2001 penulis berhasil memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
(SKH) IPB dan di tempat yang sama penulis meraih gelar Dokter Hewan (drh)
pada tahun 2003. Sejak tahun 2005 penulis diangkat menjadi PNS (dosen) di FKH
Universitas Udayana, Bali ditempatkan pada Bagian Klinik Hewan.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................................

i

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

iii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang ......................................................................................
Kerangka Pemikiran .............................................................................
Tujuan Penelitian ..................................................................................
Manfaat Penelitian ................................................................................
Hipotesis ..............................................................................................

1
3
4
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Fisioanatomi Jantung ............................................................................
Syaraf Jantung ......................................................................................
Elektrofisiologi dan Konduksi Jantung ................................................
Elektrokardiografi .................................................................................
Aksis Jantung ........................................................................................
Xylazin HCl ..........................................................................................
Atropin Sulfat .......................................................................................
Ketamin HCl .........................................................................................
Propofol .................................................................................................

5
6
10
15
21
23
24
24
26

MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian ...............................................................
Materi Penelitian ...................................................................................
Metode Penelitian dan Parameter Penelitian ........................................
Alat dan Bahan ......................................................................................
Pengambilan Sadapan EKG ..................................................................
Protokol Pengukuran EKG ....................................................................
Rancangan Penelitian dan Intepretasi Hasil Penelitian .........................

29
29
30
30
31
31
32

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Fisik .................................................................................
Pemberian Preanestesi dan Induksi Anestesi ........................................
Amplitudo Gelombang P .................................................................
Amplitudo Gelombang R .................................................................
Interval Gelombang QRS .................................................................
Interval Gelombang PQ ...................................................................
Interval Gelombang QT ...................................................................
Amplitudo Gelombang T .................................................................

33
33
36
38
40
42
44
46

i

Denyut Jantung ................................................................................
Aksis Jantung ...................................................................................
Pemberian Preanestesi, Induksi, dan Pemeliharaan Anestesi ...............
Amplitudo Gelombang P .................................................................
Amplitudo Gelombang R .................................................................
Interval Gelombang QRS .................................................................
Interval Gelombang PQ ...................................................................
Interval Gelombang QT ...................................................................
Amplitudo Gelombang T .................................................................
Denyut Jantung ................................................................................
Aksis Jantung ...................................................................................
Pembahasan Hipotesis .....................................................................

47
49
51
53
55
57
59
61
62
64
66
68

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ...........................................................................................
Saran .....................................................................................................

71
71

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

73

LAMPIRAN ..................................................................................................

77

ii

DAFTAR TABEL

No.
1.

2.

3.

4.

5.

Teks

Halaman

Kisaran sadapan elektrokardiogram (EKG) normal pada
anjing .............................................................................................

21

Metode penentuan aksis jantung dengan metode defleksi
tertinggi .........................................................................................

23

Rata-rata 18 ekor hasil pemeriksaan anjing yang dipergunakan
untuk penelitian .............................................................................

33

Nilai rata-rata dan simpangan baku (rata-rata ± SD)
elektrokardiogram (EKG) sadapan II amplitudo gelombang P,
amplitudo gelombang R, amplitudo gelombang T, gelombang
QRS, interval PQ, interval QT, denyut jantung, dan aksis jantung
sebelum teranestesi, selama preanestesi dengan atropin sulfat
sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi dengan ketamin HCl HCl,
propofol, dan kombinasi ketamin HCl HCl-propofol ...................

35

Nilai rata-rata dan simpangan baku (rata-rata ± SD)
elektrokardiogram (EKG) sadapan II amplitudo gelombang P,
amplitudo gelombang R, amplitudo gelombang T, gelombang
QRS, interval PQ, interval QT, denyut jantung, dan aksis jantung
sebelum teranestesi, selama preanestesi dengan atropin sulfatxylazin, induksi anestesi dengan kombinasi ketamin HClpropofol, dan pemeliharaan anestesi tetes infus intravena secara
gravimetrik dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasi
ketamin HCl-propofol ...................................................................

52

iii

DAFTAR GAMBAR

No.
1.

Teks

Halaman

Peranan EKG pada perubahan sistem kardiovaskular karena
pemberian anestesi ........................................................................

3

2.

Gambaran penampang jantung ......................................................

6

3.

Pengaruh perangsangan oleh syaraf vagus ....................................

7

4.

Pengaruh perangsangan syaraf simpatis pada jantung ..................

8

5.

Mekanisme terjadinya curah jantung ............................................

9

6.

Diagram fase potensial aksi ..........................................................

11

7.

Gambaran skematik terjadinya depolarisasi dan repolarisasi pada
otot jantung ....................................................................................

13

8.

Gambaran skematik penyebaran sistem konduksi jantung ............

14

9.

Ilustrasi diagram bidang frontal pada potongan melintang
jantung yang ditandai dengan derajat-derajat sudut orientasi ......

16

Ilustrasi enam sadapan ekstremitas yang bergantian berperan
sebagai kutub positif atau negatif ..................................................

17

11.

Kertas rekam EKG beserta gambaran EKG normal ......................

18

12.

Gambaran aksis jantung anjing .....................................................

22

13.

Perubahan rata-rata gelombang P sadapan II sebelum teranestesi,
setelah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl
HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol
(kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(kelompok III) ...............................................................................

36

Perubahan rata-rata amplitudo gelombang R sadapan II sebelum
teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat
sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl
(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin
HCl-propofol (kelompok III) ........................................................

39

10.

14.

iv

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

Perubahan rata-rata interval gelombang QRS sadapan II sebelum
teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat
sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl
(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin
HCl-propofol (kelompok III) .........................................................

41

Perubahan rata-rata interval PQ sadapan kedua sebelum
teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat
sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl
(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin
HCl-propofol (kelompok III) .........................................................

42

Perubahan rata-rata interval QT sadapan II sebelum teranestesi
dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin
HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I),
propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(kelompok III) ...............................................................................

44

Perubahan rata-rata amplitudo gelombang T sadapan kedua
sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin
sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin
HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi
ketamin HCl-propofol (kelompok III) ...........................................

46

Perubahan rata-rata denyut jantung sebelum teranestesi dan
sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl
HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol
(kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(kelompok III) ...............................................................................

48

Perubahan rata-rata aksis jantung sebelum teranestesi dan
sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl
HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol
(kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(kelompok III) ...............................................................................

50

Perubahan rata-rata amplitudo gelombang P sadapan II sebelum
teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfatxylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol,
dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I),
propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(Kelompok III) ..............................................................................

53

v

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

Perubahan rata-rata amplitudo gelombang R sadapan II sebelum
teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfatxylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol,
dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok
I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HClpropofol (Kelompok III).................................................................

55

Perubahan rata-rata interval gelombang QRS sadapan II sebelum
teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfatxylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol,
dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok
I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HClpropofol (Kelompok III) ................................................................

57

Perubahan rata-rata interval PQ sadapan II sebelum teranestesi
dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl,
induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan
pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I),
propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(Kelompok III) ..............................................................................

59

Perubahan rata-rata interval QT sadapan II sebelum teranestesi
dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl,
induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan
pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I),
propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(Kelompok III) ..............................................................................

61

Perubahan rata-rata amplitudo gelombang T sadapan II sebelum
teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfatxylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol,
dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok
I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HClpropofol (Kelompok III) ................................................................

63

Perubahan rata-rata denyut jantung sebelum teranestesi dan
sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl,
induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan
pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I),
propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(Kelompok III) ..............................................................................

65

Perubahan rata-rata aksis jantung sebelum teranestesi dan
sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl,
induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan
pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I),
propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol
(Kelompok III) ..............................................................................

67

vi

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemberian anestetikum pada hewan akan membuat hewan tidak peka
terhadap rasa nyeri, sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan
diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar
(Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Anestesikum dapat diberikan secara tunggal
maupun dalam bentuk balance anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa
agen anestetikum maupun agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead
2003; Tranquilli et al. 2007).
Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan oleh ketidaksadaran
reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau
inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri, ingatan, respon
terhadap rangsangan atau refleks serta gerak spontan dan kesadaran. Anestesi
umum terdiri atas beberapa tahapan, yaitu preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan
pemulihan. Pemberian anestetikum dapat mempengaruhi otak, otot, sistem
respirasi, dan sistem kardiovaskular. Pada tahap induksi dan pemeliharaan
anestesi, sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan status teranestesi
terhadap sistem kardiovaskular dan respirasi. Jantung merupakan salah satu organ
tubuh yang paling terpengaruh oleh pemberian anestetikum (McKelvey dan
Hollingshead 2003; Narbutas dan Lekas 2002; Tranquilli et al. 2007).
Jantung merupakan organ tubuh yang bekerja sebagai pompa darah dengan
melakukan tekanan terhadap darah sehingga dapat mengalir ke jaringan. Secara
fisiologis fungsi jantung sebagai organ sirkulasi untuk memenuhi kebutuhan
jaringan tubuh, yaitu membawa zat makanan ke jaringan tubuh dan produkproduk tidak berguna dari jaringan tubuh, menghantarkan hormon dari satu bagian
tubuh ke bagian tubuh yang lain, dan secara umum memelihara lingkungan yang
sesuai dalam seluruh jaringan tubuh agar sel dapat bertahan hidup dan berfungsi
secara optimal (Guyton dan Hall 2006). Jantung diinervasi oleh sistem syaraf
otonom yaitu syaraf simpatis dan parasimpatis. Syaraf parasimpatis berasal dari
pusat syaraf vagus di medula oblongata, serabut-serabutnya akan bergabung
dengan serabut simpatis di dalam plexus cardialis. Syaraf parasimpatis (syaraf

2

vagus) terutama menginervasi pada nodus sinoatrial (NSA), atrioventrikular
(NAV), serabut-serabut otot atrium, dan menyebar ke ventrikel kiri (Guyton dan
Hall 2008). Penurunan denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal,
akibat adanya pengaruh sebagian besar anestetikum yang dapat menekan jantung
dan fungsi miokardium. Hanya beberapa anestetikum yang dapat meningkatkan
denyut jantung seperti atropin sulfat, ketamin, dan tiletamin (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Selama dalam keadaan teranestesi, jantung dapat diamati dengan alat
elektrokardiograf untuk melihat gambaran elektrokardiogram (EKG). Rekaman
konduksi listrik jantung digunakan secara klinis untuk mendiagnosa fungsi
kelistrikan jantung. Alat elektrokardiograf digunakan untuk melihat gambaran
EKG dan denyut jantung (Cunningham 2002). Gambaran EKG memberikan
informasi perubahan-perubahan fungsi elektrofisiologis yang berhubungan dengan
jantung diantaranya ritme jantung, konduksi, depolarisasi dan repolarisasi yang
tidak dapat menggunakan metode yang lain (Hanton dan Rabemampianina 2006).
Denyut jantung, gambaran EKG dan tekanan darah arteri adalah parameter
penting pada sistem kardiovaskular yang harus diperhatikan selama melakukan
tindakan anestesi maupun pembedahan (Muir et al. 2000).
Gambaran EKG direkam berdasarkan perbedaan potensial listrik melalui
elektroda-elektroda yang diletakkan pada permukaan tubuh. Hasil rekaman
digambarkan ke dalam kertas rekaman yang mempunyai garis kalibrasi. Fungsi
alat elektrokardiograf adalah sebagai alat pemeriksaan rutin digunakan untuk
mengevaluasi adanya kelainan jantung, pengawasan selama anestesi dan
pembedahan, pemeriksaan rutin jantung, mengetahui adanya abnormalitas
elektrolit tubuh, dan sumber data untuk informasi dan konsultasi terutama pada
pemberian obat yang berhubungan dengan jantung (Edwards 1993; Hanton dan
Rabemampianina 2006; Nelson 2003).

Kerangka Pemikiran
Anestetikum yang ideal memenuhi kriteria anestesi, yaitu sedasi, analgesi,
relaksasi, ketidaksadaran, aman untuk sistem vital tubuh, ekonomis, dan mudah
diaplikasikan. Anestesi umum inhalasi yang dipandang aman, memerlukan

3

perangkat yang rumit, mahal, dan mempunyai waktu induksi yang relatif lambat
serta tidak praktis untuk penanganan hewan di lapangan. Anestesi umum secara
parenteral merupakan alternatif yang mungkin dilakukan karena lebih ekonomis
dan praktis untuk penanganan hewan di lapangan, tetapi menghasilkan anestesi
yang kurang stabil dan sering memerlukan penambahan dosis jika tidakan medis
memerlukan waktu yang lebih lama. Metode anestesi yang lebih praktis adalah
metode tetes infus intravena (IV) secara gravimetrik. Metode infus gravimetrik
menggunakan anestetikum parenteral melalui tetes infus IV secara terus menerus,
anestetikum dicampur dalam kantong cairan infus dan dialirkan melalui tetes infus
IV berdasarkan gaya gravitasi dengan dosis dan kecepatan tertentu.
Pemberian anestetikum dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada
sistem kardiovaskular yang cenderung menimbulkan terjadinya aritmia jantung.
Penilaian EKG selama hewan teranestesi mempunyai arti yang sangat penting
untuk nantinya mencegah terjadinya aritmia jantung akibat timbulnya kondisi
stress yang berhubungan dengan pembedahan dan prosedur anestetika. Untuk
mengetahui kestabilan gambaran EKG pada anjing yang diberikan anestesi
kombinasi ketamin HCl–propofol sebagai agen induksi anestesi dan pemeliharaan
anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan premedikasi atropin
sulfat–xylazin HCl. Alur kerangka pemikiran terhadap peranan EKG pada
perubahan listrik jantung karena pemberian anestesi seperti pada Gambar 1.

Anjing sehat teranestesi

Dilihat gambaran EKG normal

Perubahan sistem
kardiovaskular

EKG: lead II
Denyut jantung, Aksis jantung

Cegah Stres karena pembedahan
dan anestetikum

Gambar 1 Peranan EKG pada perubahan listrik jantung karena pemberian
anestesi

4

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Memperoleh perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang dianestesi
ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya dengan preanestesi atropin sulfatxylazin HCl
2. Memperoleh perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang teranestesi
dengan metode tetes infus intravena (IV) secara gravimetrik antara ketamin
HCl, propofol dan kombinasinya.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu:
1. Memberikan informasi mengenai anestetikum yang memberikan kestabilan
listrik yang paling baik antara ketamin HCl dan propofol dengan
kombinasinya.
2. Memberikan informasi mengenai bahan untuk pemeliharaan status anestesi
dengan metode tetes infus IV secara gravimetrik antara ketamin HCl dan
propofol dengan kombinasinya

Hipotesis
1. Kombinasi ketamin HCl-propofol memberikan kestabilan listrik jantung yang
lebih baik daripada pemberian tunggal ketamin HCl atau propofol saja.
2. Pemberian pemeliharaan anestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol
dengan metode infus IV secara gravimetrik memberikan kestabilan listrik
jantung yang lebih baik daripada pemberian tunggal ketamin HCl atau
propofol saja.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Fisioanatomi Jantung
Anatomi jantung terdiri dari empat ruang yaitu atrium kanan dan kiri, serta
ventrikel kanan dan kiri yang dipisahkan oleh septum. Jantung dibungkus oleh
suatu lapisan jaringan ikat yang disebut perikardium. Darah vena mengalir ke
dalam jantung melalui vena cava superior dan inferior kemudian masuk ke dalam
atrium kanan, yang tertampung selama fase sistol ventrikel. Ventrikel kanan
berbentuk bulan sabit atau setengah bulatan. Secara fungsional ventrikel kanan
dapat dibagi dalam alur masuk dan alur keluar. Ruang alur masuk ventrikel kanan
(right ventricular inflow tract) dibatasi oleh katup trikuspidalis, trabecular
anterior dan dinding inferior ventrikel kanan. Sedangkan alur keluar ventrikel
kanan (right ventricular outflow tract) berbentuk tabung atau corong, berdinding
licin terletak di bagian superior ventrikel kanan yang disebut infundibulum atau
conus arteriosus. Alur masuk dan alur keluar dipisahkan oleh crista
supraventrikular yang terletak tepat di atas daun katup trikuspidalis (Guyton dan
Hall 2008).
Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonal yang bermuara
pada dinding postero-superior atau postero-lateral, masing-masing sepasang vena
kanan dan kiri. Dinding atrium kiri sedikit lebih tebal daripada dinding atrium
kanan. Ventrikel kiri berbentuk lonjong seperti telur, dimana bagian ujungnya
mengarah ke antero-inferior kiri menjadi apex cordis. Bagian dasar ventrikel
tersebut adalah annulus mitral. Tebal dinding ventrikel kiri adalah 2-3 kali lipat
dinding ventrikel kanan (Guyton dan Hall 2008; Sherwood 2001).
Katup jantung terdiri atas empat katup yaitu katup trikuspidalis yang
memisahkan atrium kanan dengan ventrikel kanan, katup mitral atau bikuspidalis
yang memisahkan antara atrium kiri dengan ventrikel kiri, serta dua katup
semilunar yaitu katup pulmonal dan katup aorta, sedangkan katup pulmonal
adalah katup yang memisahkan ventrikel kanan dengan arteri pulmonalis. Katup
aorta adalah katup yang memisahkan ventrikel kiri dengan aorta (Sherwood
2001). Gambar skematik penampang jantung seperti pada Gambar 2.

6

Gambar 2 Gambaran penampang jantung anjing (O’Grady dan O’Sullivan 2004)
Syaraf Jantung
Efektivitas pompa jantung dikendalikan oleh syaraf parasimpatis (syaraf
vagus) yang sangat banyak menyuplai jantung dan syaraf simpatis. Perangsangan
syaraf vagus akan menyebabkan pelepasan hormon asetilkolin pada ujung syaraf
vagus. Hormon asetilkolin akan dapat menurunkan irama nodus sinus dan
menurunkan eksitabilitas serabut-serabut penghubung nodus atrioventrikular
(NAV), sehingga akan menghambat penjalaran impuls jantung yang menuju
ventrikel. Hormon asetilkolin juga akan meningkatkan permeabilitas membran
terhadap ion kalium, sehingga akan mempermudah terjadinya kebocoran kalium
yang cepat dari serabut-serabut konduksi yang mengakibatkan peningkatan
kenegatifan di dalam serabut (hiperpolarisasi). Kejadian hiperpolarisasi dapat
menyebabkan penurunan denyut jantung. Peningkatan permeabilitas membran
terhadap ion kalium akan menghambat masuknya ion kalsium, sehingga dapat
menyebabkan penurunan kekuatan kontraksi ventrikel dan denyut jantung yang
disebut

sebagai

inotropik

negatif.

Keadaan

hiperpolarisasi

pada

NAV

menyebabkan perangsangan syaraf vagus akan menyulitkan serabut atrium

7

mencetuskan listrik dalam jumlah yang cukup untuk merangsang serabut nodus.
Penurunan arus listrik yang sedang hanya akan memperlambat konduksi impuls,
namun penurunan yang besar akan menghambat konduksi secara keseluruhan
(Guyton dan Hall 2008; Rogers 1999). Mekanisme perangsangan syaraf vagus
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Perangsangan
Syaraf Vagus

Nodus Sinoatrial
(NSA)

Meningkatkan
Permeabilitas
Membran Terhadap
Ion Kalium

Hiperpolarisasi

Nodus
Atrioventrikular
(NAV)

Penurunan Arus
Listrik

Penurunan
Konduksi Impuls
(Dromotropik
Negatif)

Otot Atrium

Penghambatan
Masuknya Ion
Kalsium Melalui
Membran

Penurunan Kontraksi
Otot Jantung
(Inotropik Negatif)

Denyut Jantung
Menurun
(Kromotropik
Negatif)
Gambar 3 Mekanisme perangsangan oleh syaraf vagus (Guyton dan Hall 2008)

Perangsangan syaraf simpatis pada jantung akan menimbulkan pengaruh
yang berlawanan dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh perangsangan syaraf
vagus. Perangsangan syaraf simpatis akan melepaskan hormon norepinefrin yang
dapat meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion natrium dan kalsium.
Pada nodus sinus, peningkatan permeabilitas natrium-kalsium akan menyebabkan
potensial membran istirahat akan menjadi lebih positif dan dapat menyebabkan
peningkatan kecepatan penyimpangan ke atas dari potensial membran diastolik

8

menuju nilai ambang untuk mempercepat self exitation sehingga akan
meningkatkan frekuensi denyut jantung. Di dalam NAV dan berkas AV,
peningkatan permeabilitas natrium–kalsium akan membuat potensial aksi lebih
mudah merangsang serabut berikutnya sehingga akan meningkatkan konduksi
impuls. Adanya pengaruh syaraf simpatik, peningkatan permeabilitas ion kalsium
dapat menyebabkan peningkatan kontraksi jantung, sebab ion kalsium mempunyai
peran yang sangat kuat dalam merangsang proses kontraksi miofibril otot jantung,
sehingga dapat bersifat inotropik positif (Guyton dan Hall 2008; Rogers 1999).
Mekanisme perangsangan syaraf simpatis pada jantung seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.
Perangsangan Syaraf
Simpatis

Nodus Sinoatrial
(NSA)

Permeabilitas
Membran Terhadap
ion Na dan Ca
Meningkat,
penurunan ion K

Hipopolarisasi

Nodus
Atrioventrikular
(NAV)

Otot Atrium
dan Ventrikel

Perangsangan
BerkasNAV

Peningkatan
Permeabilitas Ion
Kalsium

Peningkatan
Konduksi Impuls
(Dromotropik
Positif)

Peningkatan
Kontraksi Otot
Jantung
(Inotropik Positif)

Denyut Jantung
Meningkat
(Kromotropik
positif)
Gambar 4 Pengaruh perangsangan syaraf simpatis pada jantung (Guyton dan Hall
2008)

9

Pengaruh perangsangan syaraf vagus dan syaraf simpatis pada jantung
juga dapat mempengaruhi cardiac output (curah jantung). Perangsangan syaraf
simpatis akan dapat meningkatkan jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap
menitnya (curah jantung), karena adanya peningkatan tekanan atrium. Sebaliknya,
perangsangan syaraf parasimpatis akan menurunkan nilai curah jantung, bahkan
pada titik nol. Selain karena pengaruh denyut jantung, curah jantung diperngaruhi
juga oleh stroke volume pada otot jantung. Stroke volume dipengaruhi oleh
perangsangan syaraf simpatis, hormon epinefrin pada plasma, dan volume akhir
diastolik. Perangsangan syaraf simpatis dan pengaruh hormon epinefrin akan
menyebabkan peningkatan stroke volume. Volume akhir diastolik juga berbanding
lurus dengan stroke volume. Hubungan volume akhir diastolik dengan stroke
volume berlaku hukum Frank-Starling pada jantung, yaitu semakin besar otot
jantung direnggangkan selama pengisian, semakin besar kekuatan kontraksi dan
semakin besar pula jumlah darah yang dipompa ke dalam aorta (Guyton dan Hall,
2008; Rogers 1999). Mekanisme terjadinya curah jantung digambarkan seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.

Aktivitas Syaraf
Parasimpatis
(Menurun)



Aktivasi Syaraf
Simpatis
Epinefrin
(Meningkat)



Denyut Jantung/
Nodus SA
(Meningkat)

Volume Akhir
Diastolik
(Meningkat)

Stroke Volume
(Meningkat)

Cardiac Output
(Curah Jantung)

Gambar 5 Mekanisme terjadinya curah jantung (Guyton dan Hall 2008)

10

Elektrofisiologi dan Konduksi Jantung
Setiap sel termasuk sel jantung, dilapisi oleh membran sel yang
memisahkan bagian luar dan bagian dalam sel. Adanya membran sel akan
memungkinkan terjadinya perpindahan ion yang mempunyai konsentrasi berbeda
untuk menjaga keseimbangan pada bagian intraseluler dan ekstraseluler.
Perbedaan voltase antara di dalam dan luar sel otot jantung akan menyebabkan
terbuka

atau

menutupnya

ion-channel.

Jika

ion-channel

terbuka

akan

memungkinkan terjadinya perpindahan ion melewati membran sel. Perbedaan
konsentrasi antara intraseluler dan ekstraseluler dibentuk dan dijaga oleh adanya
pompa sodium, yaitu ion Na+, K+, ATP-ase yang sudah terdapat di dalam sel.
Pompa sodium berperan penting dalam menjaga keseimbangan proses
bioelektrikal sel-sel pacu jantung (Kusumoto 2009).
Kontraksi otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan oleh potensial
aksi yang menyebar melalui membran sel otot. Jantung berkontraksi atau
berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkan sendiri, suatu
sifat yang dikenal dengan otoritmisitas. Terdapat dua jenis sel otot jantung yaitu
sebagian besar terdiri atas sel otot jantung kontraktil yang melakukan kerja
mekanis, yaitu memompa. Sel-sel pekerja ini dalam keadaan normal tidak
menghasilkan sendiri potensial aksi. Sebaliknya, sebagian kecil sel sisanya adalah
sel otoritmik, sel yang tidak berkontraksi namun mengkhususkan diri
mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi yang bertanggung jawab terhadap
kontraksi sel-sel pekerja (Guyton dan Hall 2008).
Perbandingan muatan ion antara di dalam dan luar sel relatif seimbang,
dimana pada fase polarisasi muatan ion positif khususnya Na+ berada di luar sel.
Secara fisiologi bahwa proses terjadinya bioelektrikal secara terus menerus tanpa
adanya pengaruh luar. Proses ini dapat berjalan lambat atau cepat akibat pengaruh
sistem inervasi syaraf serta gangguan keseimbangan elektrolit. Jika permeabilitas
membran sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga ion Na+ masuk ke dalam sel
secara mendadak (fase ke-0), setelah itu proses depolarisasi terjadi pada fase ke-1
dan ke-2 dimana muatan dalam sel relatif positif, sesaat setelah depolarisasi ion
K+ keluar dari dalam sel. Fase ke-2 atau fase plateau, setelah ambang tercapai,
terjadi fase naik dari potensial aksi sebagai respon terhadap pengaktifan saluran

11

ion Ca2+. Pada fase ke-3, pompa sodium akan berperan optimal untuk
mengembalikan keseimbangan muatan ion antara di dalam dan luar sel. Pompa
sodium akan mengeluarkan ion Na+ dari sel dan memasukan ion K+ dari luar sel.
Pada fase ke-4, membran sel siap untuk menerima perubahan untuk mengulang
aksi potensial (Kusumoto 2009; Luna 2007). Fase diagram potensial aksi jantung
seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram fase potensial aksi (http://www.cvphysiology.com)

Menurut Thaler (2009) dari sudut pandang elektrokardiografi, jantung
tersusun atas tiga tipe sel, yaitu 1) sel pacu jantung, 2) sel penghantar listrik, dan
3) sel miokardium.
Sel pacu jantung banyak terdapat di bagian atas atrium kanan yang disebut
nodus sinoatrial (NSA). Sel-sel NSA mencetuskan impuls bergantung pada
aktivitas syaraf otonom misalnya stimulasi simpatik dari adrenalin akan
mempercepat NSA sedangkan syaraf vagus memperlambat serta bergantung pada
kebutuhan tubuh akan adanya peningkatan curah jantung.
Sel penghantar listrik merupakan sel yang tipis dan panjang. Seperti
halnya kabel sirkuit listrik, sel-sel ini menghantarkan arus listrik dengan cepat dan
efisien ke seluruh daerah jantung. Sel penghantar listrik di ventrikel akan
membentuk jalur listrik yang berbeda. Sistem jalur konduksi di atrium lebih
bervariasi, salah satunya adalah adanya serabut-serabut di puncak septum intra-

12

atrium di berkas Bachman yang memungkinkan adanya aktivasi yang cepat dari
atrium kiri ke atrium kanan.
Sel miokardium adalah sel yang menyusun jaringan jantung. Miokardium
bertanggung jawab atas kerja kontraksi dan relaksasi berulang-ulang sehingga
dapat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Sel miokardium banyak mengandung
protein kontraktil aktin dan miosin. Adanya depolarisasi menyebabkan kalsium
dilepaskan ke dalam sel miokardium yang memungkinkan protein kontraktil aktin
dan miosin berinteraksi dan menyebabkan sel berkontraksi. Sel miokardium dapat
menghantarkan arus listrik sama seperti sel penghantar listrik tetapi kurang
efisien.
Setiap siklus jantung terdiri dari urutan peristiwa listrik dan mekanik yang
saling terkait. Gelombang arus listrik tersebar dari NSA melalui sistem penghantar
menuju miokardium untuk merangsang kontraksi otot yang dikenal dengan
depolarisasi, kemudian diikuti oleh pemulihan listrik kembali yang disebut
repolarisasi. Respon mekaniknya adalah sistolik yaitu kontraksi otot dan diastolik
yaitu relaksasi otot.
Aktivitas listrik dari sel dicatat secara grafik dengan perantaraan elektroda
intrasel mempunyai bentuk yang khas, yang disebut potensial aksi. Aktivitas
listrik dari sel miokardium dapat dilihat pada suatu gambaran elektrokardiogram
(EKG). Gelombang-gelombang EKG berkorelasi dengan penyebaran rangsangan
listrik melalui sistem penghantar dan miokardium (Kusumoto 2009).
Dalam keadaan istirahat, sel jantung berada dalam keadaan terpolarisasi
secara elektris, yaitu bagian dalamnya bermuatan lebih negatif daripada luarnya.
Polaritas listrik ini dijaga oleh pompa membran yang menjamin agar ion-ion
(terutama Na+, Cl-, K+, dan Ca2+) yang diperlukan untuk mempertahankan bagian
dalam sel supaya relatif bersifat elektronegatif, seperti ditunjukkan pada Gambar
7.1 (Thaler 2009).

13

1

4

2

5

3

6

Gambar 7 Gambaran skematik terjadinya depolarisasi dan repolarisasi pada otot
Jantung (Kusumoto 2009)

Menurut Guyton dan Hall (2008) dan Kusumoto (2009) proses
depolarisasi dan repolarisasi dijelaskan sebagai berikut:
1. Proses depolarisasi diperlihatkan sebagai muatan positif di sisi dalam dan
muatan negatif di sisi luar. Separuh bagian pertama dari serabut sudah
terdepolarisasi, sementara separuh lagi masih dalam keadaan polarisasi. Oleh
karena itu, elektroda kiri yang terletak di luar serabut berada pada daerah
kenegatifan dan elektroda kanan berada pada daerah kepositifan, seperti pada
Gambar 7.2.
2. Pada Gambar 7.3 dan 7.4, digambarkan proses depolarisasi telah menyebar ke
seluruh serabut otot dan rekaman sebelah kanan sudah kembali ke garis dasar
nol karena kedua elektroda memiliki kenegatifan yang sama. Gelombang yang
telah mengakhiri penjalarannya disebut gelombang depolarisasi, karena
gelombang ini timbul dari penyebaran depolarisasi sepanjang membran
serabut otot.
3. Pada Gambar 7.5 menunjukkan proses repolarisasi pada separuh bagian yang
terjadi di dalam serabut otot yang sama, dengan kepositifan kembali ke sisi
luar dari serabut otot. Pada titik ini, elektroda kiri berada pada daerah

14

kenegatifan. Akibatnya, rekaman yang ditunjukkan di sebelah kanan akan
menjadi negatif.
4. Pada Gambar 7.6, seluruh serabut otot telah mengalami repolarisasi dan kedua
elektroda mengalami kepositifan, sehingga tidak ada perbedaan potensial
listrik yang dapat direkam di antara kedua elektroda. Gelombang negatif yang
telah mengakhiri penjalaran disebut gelombang repolarisasi, sebab gelombang
ini berasal dari penyebaran proses repolarisasi di sepanjang membran serabut
otot.
Sistem konduksi jantung menggambarkan arah arus listrik jantung yang
akan terekam sebagai hasil sadapan EKG. Sistem konduksi jantung yang berperan
dalam EKG antara lain nodus sinoatrial (NSA), nodus atrioventrikular (NAV),
berkas His, dan serabut Purkinje. Gambar skematis penyebaran sistem konduksi
jantung melalui jaringan khusus seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Aorta

Atrial exitation
Exitation across AV node
Exitation of ventricles begins

Sino-atrial (SA)
node
Pulmonary
artery
Left atrium

Atrioventricular
Bundle (HIS)
Right
atrium
Left
ventricle

Atrio
ventricular (AV)
node

Right
ventricle

Interventricular
septum

Gambar 8 Gambaran skematik penyebaran
(http://faculty.ksu.edu.sa)

sistem konduksi

jantung

Impuls listrik jantung dihasilkan oleh NSA, yang disebut juga Pacemaker.
NSA terletak di batas atrium kanan dan vena cava superior. Sel-sel NSA bekerja
secara otomatis dan teratur mengeluarkan impuls listrik yang kemudian menjalar
ke atrium menuju NAV yang terletak di sekat internodus bagian sebelah kanan di

15

atas katup trikuspidalis, sehingga menyebabkan terjadinya depolarisasi atrium.
Proses penyebaran pacuan jantung dalam miokardium atrium berlangsung dari sel
yang satu ke sel yang lainnya, berkat adanya syncitial myocardium (Kusumoto
2009).

Elektrokardiografi
Alat elektrokardiograf ditemukan pertama kali oleh Willem Einthoven
pada abad ke-19 dan penemuan tersebut telah mengantarkannya mendapatkan
hadiah Nobel pada bidang fisiologi dan kedokteran pada tahun 1924.
Elektrokardiograf digunakan untuk melihat rekaman EKG dan denyut jantung
(Cunningham 2002).
Untuk mendapatkan gambaran EKG, dipasang dua elektroda di sekitar
letak jantung. Satu elektroda dihubungkan pada kutub positif alat EKG dan
dinamakan elektroda positif, sedangkan elektroda lainnya dipasang pada kutub
negatif dan dinamakan elektroda negatif. Selain itu masih diperlukan satu
elektroda lagi untuk menghubungkan pasien melalui elektrokardiograf dengan
tanah. Elektroda ini dinamakan elektroda G (Grounding). Pasangan elektroda
dalam perekaman EKG dinamakan sadapan atau hantaran atau disebut juga lead
(Kertohoesodo 1987).
Sadapan EKG standar pada hewan biasanya menggunakan sadapan
ekstremitas, yang terdiri dari enam sadapan. Enam sadapan standar direkam dari
elektroda yang dipasang pada ekstremitas. Enam sadapan ekstremitas terdiri dari
tiga buah sadapan bipolar standar, yaitu sadapan I, II, dan III, serta tiga buah
sadapan lengan sebagai sadapan tambahan, yaitu aVR, aVL, dan aVF (Hampton
2003; Thaler 2009).
Sadapan ekstremitas memandang jantung dalam sebuah bidang vertikal
yang disebut bidang frontal. Bidang frontal dapat dibayangkan sebagai satu
lingkaran yang berhimpitan dengan tubuh hewan. Lingkaran ini kemudian
ditandai dengan derajat-derajat sudut orientasi yang dikenal sebagai vektor-vektor
EKG. Skema dari vektor EKG diilustrasikan seperti pada Gambar 9 (O’Grady dan
O’Sullivan 2004; Thaler 2009).

16

Gambar 9 Ilustrasi diagram bidang frontal pada potongan melintang jantung
ditandai dengan sudut orientasi (O’Grady dan O’Sullivan 2004)
Hasil sadapan yang diperoleh dapat menggambarkan permukaan jantung
secara anatomik. Sadapan II, III, dan aVF dapat memandang permukaan inferior
jantung, karena sadapan ini dapat menggambarkan hampir keseluruhan jantung,
sehingga disebut juga sadapan inferior. Sadapan I dan aVL mempunyai
pandangan paling jelas terhadap dinding lateral kiri jantung, sehingga disebut juga
sadapan lateral kiri. Secara klinis standar sadapan yang dipergunakan adalah
sadapan II (Thaler 2009).
Untuk menghasilkan enam sadapan bidang frontal, setiap elektroda secara
bergantian berperan sebagai kutub positif atau negatif. Setiap sadapan mempunyai
sudut orientasi, yakni sudut pandangnya sendiri yang khas terhadap jantung.
Sudut tiap sadapan dapat ditentukan dengan cara menarik garis dari elektroda
negatif ke elektroda positif (Martin 2007; Thaler 2009). Ilustrasi dari gambaran
sud