Analisis Pengaruh Faktor Cuaca Terhadap Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata Lugens Stal).

ANALISIS PENGARUH FAKTOR CUACA TERHADAP
DINAMIKA POPULASI WERENG BATANG COKLAT
(Nilaparvata lugens Stal)

DEVIED APRIYANTO SOFYAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Faktor
Cuaca terhadap Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens
Stal) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Devied Apriyanto Sofyan
NIM G251120041

RINGKASAN
DEVIED APRIYANTO SOFYAN. Analisis Pengaruh Faktor Cuaca
terhadap Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal).
Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan RINI HIDAYATI.
Wilayah pantai utara Jawa merupakan lumbung beras nasional yang juga
merupakan wilayah endemis hama tanaman padi Wereng batang coklat (WBC).
WBC merupakan hama utama tanaman padi yang serangannya dapat
menyebabkan penurunan produksi padi dalam skala luas sehingga merugikan
petani. Upaya peningkatan produksi dilakukan dengan memproteksi padi dari
serangan WBC secara dini.
Kelimpahan populasi WBC di pertanaman padi dipengaruhi oleh faktor
cuaca. Indikasi awal kelimpahan populasi WBC di pertanaman dapat dilihat dari
jumlah WBC yang tertangkap lampu perangkap. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan parameter faktor cuaca terhadap kelimpahan populasi
WBC tangkapan lampu perangkap dengan uji statistik dan menyusun model

prediksi menggunakan perangkat lunak Dymex.
Metode analisis statistik yang digunakan untuk menilai pengaruh dari
masing-masing faktor cuaca terhadap dinamika populasi WBC adalah analisis
korelasi dan regresi linier berganda. Masalah multikolinearitas antar faktor cuaca
yang berpengaruh dianalisis menggunakan metode regresi komponen utama.
Curah hujan, kelembaban minimum dan hari hujan memiliki korelasi kuat
terhadap dinamika populasi WBC pada periode musim tanam ataupun diluar
periode musim tanam. Persamaan regresi yang dihasilkan dalam uji statistik
cukup baik dalam menggambarkan hubungan antara kelimpahan populasi WBC
tangkapan lampu dengan peningkatan curah hujan dan kelembaban minimum
yang fluktuatif di lapangan. Nilai koefisien determinasi yang dihasilkan adalah R2
= 41.8% tanpa faktor koreksi musim tanam dan R2 = 65.5% dengan faktor koreksi
musim tanam.
Hasil kalibrasi data luaran model Dymex dan data observasi menunjukan
korelasi positif yang kuat dengan nilai koefisien determinasi R2=70.5%. Nilai
tersebut memiliki arti bahwasannya model sudah cukup baik dalam
menggambarkan kelimpahan populasi WBC di lapangan. Pada validasi data
luaran model dan data obeservasi, nilai R2 yang dihasilkan lebih rendah yaitu
sebesar 37.4%. Meskipun nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil
kalibrasi, namun nilai ini masih dapat dikatakan cukup baik dalam

menggambarkan hubungan kelimpahan populasi WBC dengan faktor cuaca. Uji
kehandalan model hasil validasi menghasilkan nilai RMSE sebesar 1.8, hasil ini
cukup baik menunjukkan kemampuan model menggambarkan pola kelimpahan
yang terjadi di lapangan. Pendekatan distribusi normal antara data luaran model
dengan data observasi juga menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan
antara model dengan observasi, dengan kata lain model cukup baik memprediksi
data hasil observasi.
Tingkat akurasi model masih dapat ditingkatkan dengan mengeksplorasi
interaksi antara WBC dan tanaman inang, luasan wilayah serta parasitasi musuh
alami, menjadi variabel yang dapat ditambahkan sebagai input dalam model
Dymex. Hal ini akan menjadikan model lebih kompleks, namun dapat

mencerminkan kondisi nyata populasi WBC di lapangan sehingga dapat
digunakan sebagai alat bantu untuk merumuskan perencanaan dan manajemen
pola pengendalian WBC secara terpadu pada kondisi cuaca saat ini dan masa
depan.

Kata kunci: dinamika populasi, dymex, kelimpahan, lampu perangkap, wereng
batang coklat


SUMMARY

DEVIED Apriyanto SOFYAN. An Analysis of Weather Factor Impact to
Population Dynamics of Brown Planthopper (Nilaparvata lugens Stal).
Supervised by YONNY KOESMARYONO and RINI HIDAYATI.
The north coast of Java is the national rice barn which is also an endemic
area of rice pest Brown Planthopper (BPH). BPH is a major pest of rice plants
whose attacks can cause a drop in rice production on a wide scale to the detriment
of farmers. Efforts to increase rice production is done by protecting the plant
against BPH.
The abundance of BPH population in rice crops affected by weather factors.
An earlier indication of the BPH population in the crops can be seen from the
number of captured BPH in light trap. This study aimed to analyze the
relationship between the parameters of weather factors on BPH population
abundance catches by light trap with statistical test and develop predictive models
using the Dymex software. Statistical methods, correlation analysis and linear
regression were used to observed the effect of these weather factors on the
population dynamics of BPH. Multicollinearity problem among the factors that
influence the weather was analyzed using principal component regression method.
Rainfall, minimum humidity and number of rainy days has a strong correlation to

the BPH population dynamics inside the growing season period or outside the
growing season. The value of determination coefficient outside the growing
season is R2 = 41.8% and the value of determination coefficient inside the
growing season is R2 = 65.5%. The regression model generated in statistical tests
quite well in describing the relationship between the abundance of BPH
population catches by light trap with the increased of rainfall and fluctuated
minimum humidity in the crop field.
Calibration results between Dymex model outputs and field data showed a
strong positive correlation. Determination coefficient of the callibration is R 2 =
70.5%. This values is means that the Dymex model are good enough in describing
the BPH population behavior in the paddy crop fields. Further, validation between
Dymex model output dan field data showed the value of R2 = 37.4%. Although
this value is lower than the calibration result, but this value is still considered
good in describing the relationship between population abundance of BPH with
weather factors. Reliability test of the validation model resulted RMSE values of
1.8. The result is pretty well demonstrated the ability of the model to describes the
abundance pattern of BPH population that occured in the paddy crop fields.
Normal distribution approach between Dymex model output and observed data
also states that there are no significant differences between the models and data
observations. Equally, the model is good enough to predict data observation.

The level of accuracy of the model can be improved by exploring the
interaction between the BPH and host plants, increased the area as well as
parasitism natural enemies, become a variable that can be added as an input in the
model Dymex. This will make the model more complex, but it can reflect the real
conditions of the population of the BPH in the field so it can be used as a tool to

formulate plans and management in an integrated pattern control BPH on current
weather conditions and the future.

Keywords: abundance, brown planthopper, dymex, light trap, population
dynamics

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS PENGARUH FAKTOR CUACA TERHADAP
DINAMIKA POPULASI WERENG BATANG COKLAT
(Nilaparvata lugens Stal)

DEVIED APRIYANTO SOFYAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Rahmat Hidayat


Judul Tesis : Analisis Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Dinamika Populasi
Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal)
Nama
: Devied Apriyanto Sofyan
NIM
: G251120041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS
Ketua

Dr Ir Rini Hidayati, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Klimatologi Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Impron, MAgrSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
1 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini ialah
hubungan cuaca dan hama tanaman, dengan judul Analisis Pengaruh Fakor Cuaca
terhadap Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal).
Ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS

dan Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Rahmat
Hidayat, SSi, MSi dan Bapak Dr. Akhmad Faqih yang telah banyak memberi
saran dan perbaikan. Disamping itu penulis sampaikan pula penghargaan kepada
rekan-rekan sejawat serta pihak-pihak terkait yang telah membantu selama
penyusunan hasil penelitian ini. Ungkapan terima kasih pula disampaikan kepada
ayah, ibu, istri, anak dan saudara-saudariku atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat dibutuhkan
untuk kesempurnaan penelitian ini, sehingga kelak dapat pula menjadi masukan
dalam penyusunan penelitian lainnya. Akhirnya besar harapan kami, semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi para praktisi dan petugas teknis dibidang
pertanian khususnya perlindungan tanaman, akademisi dan peneliti.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Devied Apriyanto Sofyan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Bioekologi Wereng Batang Coklat
Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat
Hubungan Faktor Cuaca dan Wereng Batang Coklat
Beberapa Penelitian menggunakan Pemodelan Dymex

4
4
6
7
9

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

10
10
10
11
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah Studi
Lampu perangkap dan Kelimpahan Populasi WBC
Periodisasi Musim Tanam Padi
Hubungan Faktor Cuaca dan Kelimpahan Populasi WBC
Pemodelan Dinamika Populasi dengan Dymex
Kalibrasi Model Dymex
Validasi Model Dymex
Uji Kehandalan Model

17
17
18
19
19
27
29
31
33

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

34
34
34

DAFTAR PUSTAKA

35

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

50

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Lama perkembangan nimpha dan imago WBC pada suhu konstan
Nilai inisialisasi model Dymex
Korelasi antara faktor iklim terhadap populasi WBC tangkapan lampu
Nilai rataan, maksimum dan minimum faktor cuaca dengan korelasi
nyata
Nilai korelasi, rataan dan nilai kisaran minimum dan maksimum
hubungan populasi WBC terhadap faktor cuaca
Suhu, lama perkembangan dan laju perkembangan WBC tangkapan
lampu
Persamaan regresi, nilai T0, nilai K dari tahapan siklus hidup WBC
Nilai inisialisasi kalibrasi model
Uji kehandalan model validasi

15
16
20
21
24
28
28
29
33

DAFTAR GAMBAR
1 Siklus hidup WBC
2 a. makroptera betina, b. makroptera jantan, c. brakhiptera betina, d.
brakhiptera jantan (Subroto et al. 1992)
3 (a) Lampu perangkap di BBPOPT, (b) Petuga BBPOPT menghitung
populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap
4 Diagram alir analisis model Dymex
5 Pola curah hujan monsun bulanan pada tahun 2002-2012
6 Populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap tahun 2002-2012
7 Plot tren hubungan populasi WBC tangkapan lampu dengan (a)
kelembaban minimum dan (b) curah hujan
8 Plot 3 dimensi antara populasi WBC tangkapan lampu dengan curah
hujan dan kelembaban minimum
9 Tren hubungan antara populasi WBC tangkapan lampu perangkap
dengan parameter faktor cuaca. a) populasi tangkapan lampu dengan
curah hujan, b) hari hujan, dan c) kelembaban minimum
10 Plot 3 dimensi antara populasi WBC tangkapan lampu dengan (a) hari
hujan dan kelembaban minimum, (b) curah hujan dan kelembaban
minimum
11 Plot data luaran model dengan data observasi dari lampu perangkap
12 (a) Plot tren hubungan data luaran model kalibrasi WBC dengan data
observasi WBC dari lampu perangkap, (b) Perbandingan pola luaran
model dan observasi
13 Plot data luaran model dengan data observasi dari lampu perangkap
hasil validasi
14 (a) Plot tren hubungan data luaran model validasi dengan data observasi
WBC dari lampu perangkap, (b) Perbandingan pola luaran model dan
observasi

5
6
10
13
17
18
21
22

24

26
30

30
31

32

DAFTAR LAMPIRAN
1 Plot hubungan antara suhu (oC) dan laju perkembangan pada fase (a)
nimpha 1, (b) nimpha 2, (c) nimpha 3, (d) nimpha 4, (e) nimpha 5, (f)
dewasa
2 Pola curah hujan bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
3 Pola suhu bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
4 Pola kelembaban bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
5 Pola radiasi matahari bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
6 Pola kecepatan angin bulanan di wilayah studi tahun 2002-2012
7 Analisis regresi komponen utama antara variable curah hujan lag 7 dan
kelembaban minimum lag 7 dengan populasi WBC tangkapan lampu
perangkap tanpa pengaruh musim tanam
8 Plot data populasi hasil tangkapan lampu perangkap dengan faktor
cuaca pada MT1. (a) populasi dengan curah hujan dan hari hujan, (b)
populasi dengan suhu, (c) populasi dengan kelembaban, (d) populasi
dengan radiasi
9 Plot data populasi hasil tangkapan lampu perangkap dengan faktor
cuaca pada MT2. (a) populasi dengan curah hujan dan hari hujan, (b)
populasi dengan suhu, (c) populasi dengan kelembaban, (d) populasi
dengan radiasi
10 Analisis regresi komponen utama antara variabel curah hujan.
Kelembaban minimum dan populasi WBC tangkapan lampu tanpa
pengaruh musim tanam
11 Tampilan model builder yang menunjukkan beberapa rincian modul
model Dymex
12 Tampilan model simulator yang menunjukkan beberapa rincian modul
model Dymex yang siap dijalankan (running)

40
41
41
42
42
43

44

45

46

47
48
49

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Komoditi pangan khususnya padi memegang peranan penting sebagai
sumber bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Pada
tahun 2014 total produksi padi di Indonesia mencapai lebih dari 70.83 juta ton
(BPS 2014), namun jumlah ini masih belum dapat mencukupi kebutuhan dalam
negeri sehingga kebijakan impor beras menjadi langkah yang diambil pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan nasional. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan produksi padi. Salah satunya adalah menargetkan kembali
swasembada beras nasional dan bahkan surplus produksi beras sebanyak 10 juta
ton pada tahun 2014 melalui program peningkatan produksi beras nasional
(P2BN). Namun usaha ini masih terkendala oleh berbagai faktor, salah satunya
adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
OPT adalah hama dan penyakit tanaman yang secara alami dapat membatasi
tercapainya produksi padi secara optimal. Serangan OPT pada lahan pertanaman
padi dapat mengakibatkan kerusakan tanaman dari ringan sampai dengan puso
(gagal panen) yang akan meningkatkan jumlah kehilangan hasil produksi. Kondisi
ini akan sangat merugikan petani dan mempengaruhi pencapaian target produksi
padi nasional. Data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan menunjukkan pada
tahun 2014 luas serangan OPT utama padi di Indonesia mencapai 445001 ha
dengan luas puso 2424 ha. Jumlah ini menurunkan luas tanam padi sebesar 0.02
persen dari total luas pertanaman padi tahun 2014. Persentase ini dapat meningkat
di musim tanam berikutnya apabila serangan OPT tidak diantisipasi dengan baik.
Salah satu OPT utama tanaman padi adalah hama wereng batang coklat
(Nilaparvata lugens Stal). Menurut Baehaki (2011), hama wereng batang coklat
(WBC) merupakan hama laten karena sulit diprediksi serangannya namun selalu
mengancam kestabilan produksi nasional. Hama ini diketahui menjadi hama
endemis di 14 propinsi di Indonesia, salah satunya adalah wilayah pantai utara
(Pantura) propinsi Jawa Barat yaitu di kabupaten Karawang dan Subang. Pada
tahun 2010 pertanaman padi di jalur Pantura seluas 128.738 ha terserang WBC.
Dari luas tersebut di atas diantaranya 4.602 ha mengalami puso. Luas serangan ini
melampaui ledakan serangan WBC pada tahun 1998 dimana WBC menyerang
tanaman padi di wilayah yang sama seluas 115.484 ha dengan puso mencapai
4.874 ha (Baehaki 2011). Hama WBC dapat menyerang seluruh fase pertumbuhan
tanaman padi, vegetatif dan generatif. WBC mengakibatkan kekeringan pada
seluruh jaringan tanaman akibat isapannya atau disebut hopperburn, selain itu
dapat menjadi vektor penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput (Oka et al.
1991).
Perkembangan populasi WBC di pertanaman padi sangat dinamis, hal
tersebut dipengaruhi banyak faktor dan salah satunya adalah cuaca. Faktor cuaca
memiliki peranan penting dalam siklus kehidupan WBC. Cuaca sebagai model
penduga untuk aktivitas hama utama pada tanaman padi telah diteliti dan
divalidasi sebagai data meteolorogi yang berpengaruh (Samui et al. 2004). Faktor
cuaca yang mempengaruhi dinamika populasi WBC adalah curah hujan, suhu,
kelembaban dan angin (Nguyen et al. 2011). Menurut Dharmasena et al. (2000)

2
curah hujan yang tinggi, kelembaban tinggi dan suhu rendah merupakan keadaan
yang cocok untuk perkembangan hama WBC. Dalam batasan yang luas, cuaca
mempengaruhi penyebaran, kelimpahan dan salah satu faktor pemicu timbulnya
serangan WBC.
Faktor abiotik lampu perangkap mempengaruhi serangga secara langsung
dan tidak langsung. Data lampu perangkap sangat diperlukan untuk digunakan
sebagai informasi yang mengindikasikan sebaran hama di pertanaman padi. Selain
itu, data lampu perangkap dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
antisipasi ledakan hama dengan memperhatikan keterkaitannya pada faktor
meteorologi. Hubungan populasi hama dengan parameter meteorologi sangat
penting sebagai upaya meningkatkan pengetahuan tentang kelimpahan musiman
dan tren perkembangan populasi untuk memastikan kesiapan pengendalian tepat
waktu dalam mengatasi masalah hama yang merugikan (Das et al. 2008).
Memahami sejarah kehidupan dan dinamika populasi hama sangat penting
untuk pengelolaan jangka panjang (Nylin 2001), sedangkan prediktabilitas
musiman kelimpahan populasi dan durasi fase kehidupan sangat penting untuk
penerapan langkah-langkah pengendalian efektif. Interaksi antara dinamika
populasi hama dengan faktor cuaca dan parameter lingkungan lain yang
mempengaruhi siklus hidup WBC dapat dianalisis dengan pemodelan
menggunakan Dymex. Dymex adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh
CSIRO untuk mengkaji dan membangun model dinamika populasi deterministik
(Maywald et al. 2007). Pemodelan Dymex dibangun dengan memperhatikan
faktor cuaca, nilai ekoklimatik serangga dan faktor lingkungan (Sutherst et al.
2007). Nahrung et al. (2008) pemodelan dengan Dymex memberikan gambaran
tentang proses-proses yang terjadi dalam siklus hidup dan dinamika populasi dan
hubungannya dengan iklim. Dymex terdiri atas dua bagian, bagian pertama adalah
builder dan bagian kedua adalah simulator. Model dibangun pada bagian builder
yang kemudian dijalankan pada simulator (Maywald et al. 2007). Menurut
Yonow et al. (2004) Dymex merupakan aplikasi pemodelan yang jauh lebih
realistik dibandingkan dengan pemodelan berbasis distribusi ataupun pemodelan
matrik transisi. Aplikasi Dymex telah banyak digunakan untuk membangun model
analisis dinamika populasi, baik pada serangga (Yonow et al. 2004; Koem 2013),
patogen (Lanoiselet et al. 2002) dan gulma (Kriticos et al. 2003).

Perumusan Masalah
Pantai Utara Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu lumbung beras
nasional. Terkait dengan budidaya tanaman padi, faktor cuaca memegang peranan
penting dalam mempengaruhi tingkat produksi hasil pertanian terutama kaitannya
dengan kelimpahan populasi hama dan penyakit. Salah satu hama utama pada
tanaman padi adalah wereng batang coklat. WBC merupakan hewan berdarah
dingin yang siklus hidupnya dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca yang
dinamis. Tingkat serangan WBC cenderung meningkat saat musim hujan dan
menurun saat musim kemarau. Serangan WBC telah menimbulkan kerugian besar
bagi petani. Serangan WBC di pertanaman makin tinggi saat terjadinya fenomena
iklim La Nina, dimana terjadi musim kering dengan intensitas curah hujan tinggi.
Kasus pada tahun 2010 saat terjadi fenomena La Nina, di wilayah Pantura hama

3
ini menyerang 128738 ha tanaman padi dengan 4602 ha diantaranya mengalami
puso.
Masih terbatasnya ketersediaan informasi peringatan dini berupa prediksi
atau ramalan serangan WBC dan kaitannya dengan iklim, menjadikan informasi
ini sangat penting bagi upaya pengendalian dini untuk menentukan rencana
pengendalian yang efektif sehingga dapat mengurangi tingkat kehilangan hasil
produksi padi dan kerugian ekonomi bagi para petani. Terutama bagi para petani
di wilayah Pantura yang hingga saat ini masih menjadi salah satu daerah endemis
serangan hama WBC yang merusak produksi secara nyata. Oleh karena itu,
penelitian tentang hubungan antara kelimpahan hama WBC dengan iklim masih
sangat diperlukan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis hubungan parameter cuaca terhadap kelimpahan populasi WBC
2. Menyusun model pendugaan jumlah dan puncak populasi WBC berbasis
informasi cuaca

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menganalisis
besaran pengaruh faktor cuaca terhadap dinamika populasi WBC sebagai dasar
upaya pendugaan terhadap potensi serangan dan waktu puncak populasi WBC di
lapangan.

Ruang Lingkup Penelitian
Kelimpahan populasi WBC dipengaruhi oleh cuaca. Saat kondisi cuaca ideal
bagi perkembangan WBC, maka populasi di lapangan akan meningkat pesat.
Namun, jika kondisi tidak ideal kelimpahan populasi berada di bawah ambang
batas pengendalian. Oleh karena itu, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah
menyusun dan menguji kemampuan model untuk memprediksi dinamika populasi
WBC di wilayah pantai utara Jawa Barat berdasarkan faktor cuaca. Pemodelan
dinamika populasi WBC dilakukan dengan menggunakan uji statistik dan
perangkat lunak Dymex. Beberapa asumsi ditetapkan dalam proses analisis data,
yaitu bahwasannya jenis lampu perangkap, kekuatan lampu dan luas cakupannya
diabaikan, populasi WBC tertangkap lampu berasal hanya dari wilayah
pertanaman disekitar lampu, pola dan waktu tanam padi di sekitar wilayah lampu
sama, faktor musuh alami, parasitasi, aplikasi pestisida, dan luas tanam dan
varietas tanaman diabaikan.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Wereng Batang Coklat
Serangga wereng memiliki enam puluh lima spesies di seluruh dunia,
namun hanya tiga spesies yang dianggap penting secara ekonomi, yaitu wereng
batang coklat (Nilaparvata lugens), wereng punggung putih (Sogatella furcifera),
dan wereng coklat kecil (Laodelphax striatellus) (Ooi 2010). Dua spesies pertama
adalah hama penting di pertanaman padi daerah tropik, sedangkan spesies ketiga
lebih banyak menyerang di daerah beriklim sedang. Dari ketiga spesies wereng
famili Delphacidae tersebut, hanya wereng coklat yang dianggap merugikan
secara ekonomi di Indonesia karena kemampuannya menimbulkan kerusakan
pada hamparan secara massal (Subroto et al. 1992).
WBC merupakan hama yang aktif pada siang hari (diurnal) dan memiliki
kemampuan reproduksi tinggi jika keseimbangan lingkungan hidupnya terganggu
(Sogawa 1971). Hama ini pertama kali dideskripsikan oleh Stal pada tahun 1854
berdasarkan temuannya di Jawa. Gejala serangan seperti terbakar dilaporkan
pertama kali oleh Kalshoven di Bogor dan Mojokerto pada tahun 1931 (Mochida
et al. 1977). Serangan ringan WBC akan menyebabkan tanaman menjadi
terhambat pertumbuhannya, daun menguning, dan akar tidak berkembang. Dalam
jumlah ratusan ekor per rumpun padi, WBC dapat menyebabkan tanaman padi
kering dan mati, serta tampak seperti terbakar (hopperburn). Mula-mula
hopperburn akan berupa lingkaran-lingkaran di tengah sawah, namun dengan
cepat radiusnya akan melebar dan seluruh tanaman akan mengering.
Dalam batas tertentu, tanaman padi yang terkena serangan WBC pada
tingkatan ringan sampai sedang mampu tetap bertahan hidup selama periode
vegetatif karena adanya kompensasi pertumbuhan tanaman. Bahkan bila
ditemukan 100-200 ekor wereng per rumpun pun, tanaman masih tetap hidup
walaupun kelak produksinya akan jauh menurun akibat berkurangnya anakan
produktif dan meningkatnya persentase gabah kosong. Setelah memasuki fase
pembentukan malai, hasil fotosintesis tidak lagi diarahkan untuk pertumbuhan
sehingga tanaman tidak mampu lagi melakukan kompensasi. Oleh karena itu,
gejala hopperburn seringkali dilaporkan beberapa saat menjelang panen atau
setidaknya setelah tanaman tumbuh rapat dan menjelang berbunga. Dalam tingkat
serangan yang lebih parah, gejala hopperburn ditemukan pula pada pertanaman
padi yang lebih muda hingga pembibitan. Artinya, populasi WBC telah
sedemikian tinggi sehingga kompensasi pertumbuhan tanaman pun tidak mampu
mengatasinya.
WBC termasuk ordo Hemiptera, subordo Auchenorrhynca, dan famili
Delphacidae. Hama ini menyerang tanaman padi sebagai tanaman inang utama
dan inang lainnya dari famili Graminae. Hama WBC mudah beradaptasi dengan
lingkungannya dan termasuk mudah beradaptasi dengan varietas tahan. Menurut
Baehaki (1985) WBC merupakan hama bertipe strategi-r dengan ciri: 1) populasi
hama dapat menemukan habitatnya dengan cepat, 2) berkembang biak dengan
cepat dan mampu mempergunakan sumber makanan dengan baik sebelum
serangga lain ikut berkompetisi, 3) mempunyai sifat menyebar dengan cepat ke
habitat baru sebelum habitat lama tidak berguna lagi, dan 4) hama ini mempunyai

5
potensi biotik yang tinggi, dapat memanfaatkan makanan yang banyak dalam
waktu singkat sehingga terjadi ledakan populasi dan mengakibatkan kerugian
yang tidak sedikit.
Dalam satu generasi, hama WBC akan melewati tiga fase utama yaitu telur,
nimpha dan serangga dewasa atau termasuk sebagai serangga yang mengalami
metamorfose tidak sempurna (paurometabola). Telur WBC diletakkan dengan
cara disisipkan pada rongga jaringan pelepah. Telur diletakkan berkelompok, pada
bagian pangkalnya terikat satu sama lain sehingga menyerupai sisir pisang. Satu
ekor WBC betina tidak meletakkan telur hanya pada satu rumpun, tetapi pada
beberapa rumpun dengan cara berpindah-pindah (Baehaki 1985). Jumlah telur
yang diletakkan berhubungan erat dengan umur serangga dewasa dan periode
peletakan telurnya (Mochida 1977). Di daerah tropis masa inkubasi telur berkisar
antara 7-11 hari, stadia nimpha antara 10-15 hari. Pra-oviposisi 3-4 hari, baik
untuk brakhiptera maupun makroptera (Dale 1994). Telur menetas antara 7-11
hari dengan rata-rata 9 hari (Baehaki 1985). Presentase telur WBC memiliki
kecenderungan lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan dengan musim
kemarau. Hal ini diduga terkait juga dengan tingginya faktor mortalitas pada
musim kemarau, terutama yang diakibatkan oleh parasit dan predator (Subroto et
al. 1992).

2 -4
hari
Dewasa
0 - 28 hari

Nimpha 5

2 -3 hari

7-10 hari

Nimpha 4

Nimpha 1

1 - 2 hari

2 - 4 hari
Nimpha 3

Nimpha 2

1 - 4 hari

Gambar 1. Siklus hidup WBC (BBPOPT 2010)
Serangga muda yang menetas dari telur disebut nimpha dan makanannya
serupa dengan induknya. Nimpha WBC mengalami lima kali pergantian kulit dan
rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadium nimpha adalah 12.8
hari (Subroto et al. 1992). Lamanya waktu untuk menyelesaikan stadium nimpha
beragam, tergantung dari bentuk dewasa yang akan muncul. WBC memiliki 5
instar pada stadia nimphanya. Masing-masing instar ini dapat dibedakan
berdasarkan bentuk dari mesonotum dan metanotumnya serta panjang tubuhnya
(Subroto et al. 1992). Subroto et al. (1992) menambahkan bahwa nimpha dan
serangga dewasa biasanya terdapat pada pangkal batang tanaman padi di atas

6
permukaan air. tetapi apabila populasi sangat tinggi dapat ditemukan juga pada
daun bendera dan pangkal malai.
Nimpha dapat berkembang menjadi dua bentuk wereng dewasa. Bentuk
pertama adalah makroptera (bersayap panjang) yaitu WBC yang mempunyai
sayap depan dan sayap belakang normal. Bentuk kedua adalah brakhiptera
(bersayap kerdil) yaitu WBC dewasa yang mempunyai sayap depan dan sayap
belakang tumbuh tidak normal, terutama sayap belakang sangat rudimenter
(Baehaki 1985). Pada saat kepadatan populasi tinggi pada suatu hamparan dan
atau keadaan kekurangan makanan maka akan terbentuk lebih banyak serangga
WBC makroptera pada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika keadaan makanan
cukup, maka akan terbentuk lebih banyak serangga dewasa brakhiptera. Menurut
Denno dan Roderick (1990) jika kepadatan populasi tinggi jumlah bentuk
makroptera cenderung meningkat. Kondisi nimpha yang berdesakan diketahui
mempengaruhi bentuk sayap serangga dewasa (Denno dan Roderick 1990). Imago
makroptera lebih banyak muncul pada tanaman tua daripada tanaman muda, dan
kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman setengah rusak dari pada
tanaman sehat (Baehaki dan Widiarta 2009).

Gambar 2. a. makroptera betina; b. makroptera jantan; c. brakhiptera betina; d.
brakhiptera jantan (Subroto et al. 1992)

Dinamika Populasi Wereng Batang Coklat
Studi sebaran spasial dan pengambilan sampel beruntun yang dilakukan
oleh Untung et al. (1988) menemukan bahwa distribusi spasial WBC pada awal
pertumbuhan tanaman padi adalah secara acak. Setelah mengalami perkembangan
populasi, bentuk distribusinya menjadi mengelompok atau mengikuti distribusi
binomial negatif. Hasil penelitian Baehaki dan Widiarta (2009) di Subang
menunjukkan bahwa populasi WBC yang datang pertama kali ke pertanaman
adalah bentuk makroptera sebagai wereng imigran. Satu pasang wereng
makroptera, pada generasi pertama dapat menghasilkan wereng dewasa 174,5
ekor dan pada generasi kedua mencapai 3.700 ekor. Cepatnya perkembangan
populasi WBC disebabkan oleh tingginya fekunditas yang mencapai 805-908
telur/betina pada generasi ketiga. Setelah telur menetas, WBC berkembang biak
secara eksponensial untuk satu atau dua generasi pada tanaman padi fase vegetatif,
tergantung pada saat migrasinya. Apabila migrasi terjadi pada umur 2 atau 3
minggu setelah tanam, maka WBC dapat berkembang biak sebanyak dua generasi.
Puncak populasi nimpha generasi pertama dan kedua berturut-turut muncul pada

7
umur 5-6 minggu setelah tanam dan 10-11 minggu setelah tanam. Apabila migrasi
terjadi setelah tanaman berumur 5-6 minggu setelah tanam, puncak generasi
nimpha hanya dijumpai satu kali, yaitu pada umur 9-10 minggu setelah tanam.
Pada keadaan lain kepadatan populasi tertinggi terjadi pada fase pembungaan
tanaman padi yaitu pada umur 9-11 minggu setelah tanam. Apabila kepadatan
populasi mencapai 300-500 ekor per rumpun, tanaman akan segera mati
kekeringan (Ditlin 2008).

Hubungan Faktor Cuaca dan Perkembangan WBC
Serangga sebagai mahluk poikilothermal perkembangan hidupnya
dipengaruhi oleh faktor cuaca baik secara langsung maupun tidak langsung,
diantaranya curah hujan, suhu, kelembaban relatif dan angin. Besarnya pengaruh
ini berbeda untuk tiap spesies serangga dan dampak secara langsung dapat terlihat
pada siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga
(Ganaha et al. 2007; Lastuvka 2009). Keragaman iklim dapat mempengaruhi
pertumbuhan populasi dan penyebaran serangga sehingga dalam kurun waktu
singkat dapat menimbulkan ledakan populasi serangga hama tertentu (Wiyono
2007; Dale 1994). Nguyen et al. (2011) menyatakan bahwa siklus hidup WBC
dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Faktor cuaca yang mempengaruhi dinamika
populasi WBC adalah curah hujan, suhu, kelembaban dan angin. Menurut
Dharmasena et al. (2000) curah hujan yang tinggi, kelembaban tinggi dan suhu
rendah merupakan keadaan yang cocok untuk perkembangan hama WBC.
Pengaruh Suhu
WBC dan serangga pada umumnya merupakan spesies poikilotermal yang
suhu tubuhnya bergantung pada suhu udara lingkungan sekitar. Hal ini
mengakibatkan suhu udara lingkungan akan memengaruhi proses metabolisme
serangga. Suhu maksimum dan suhu minimum selama pemasangan lampu
perangkap sangat penting sebagai parameter yang menyokong perkembangan
populasi (Das et al. 2008).
Menurut Mavi dan Tupper (2005), aktivitas serangga akan lebih cepat dan
efisien pada suhu yang tinggi, tapi akan mengurangi lama hidup serangga. Pada
beberapa serangga, suhu tinggi akan menghambat metabolisme atau
mengakibatkan kematian, tetapi serangga yang hidup di gurun dapat menurunkan
laju metabolisme sehingga dapat bertahan pada daerah dengan jumlah makanan
dan air terbatas (Speight et al. 2008).
Pengaruh suhu udara terhadap hama dan penyakit tumbuhan antara lain
mengendalikan perkembangan, kelangsungan hidup dan penyebaran serangga
(Koesmaryono 1999). Karuppaiah (2012) menyimpulkan bahwa diantara banyak
faktor cuaca, suhu merupakan faktor penting dalam perkembangan WBC.
Menurut Subroto et al. (1992), kondisi suhu optimal untuk perkembangan telur
dan nimpha adalah 25oC, sedangkan perkembangan embrio WBC akan terhenti
jika suhu kurang dari 10oC (Hirano 1942 dalam Subroto et al. 1992). Total waktu
terpendek yang diperlukan WBC dari stadia telur menjadi stadia dewasa adalah 20
hari pada kisaran suhu 27-30oC. Menurut Dyck et al. (1977), bahwa ledakan
populasi hama wereng batang Coklat dapat terjadi pada selang suhu 20-30oC.

8
Subroto et al. (1992) dan Susanti (2008) menyatakan suhu harian antara 28-30oC
dan suhu malam hari yang rendah adalah suhu yang paling sesuai untuk
pemunculan sejumlah serangga dewasa. Suhu juga mempengaruhi migrasi atau
penerbangan WBC, batas suhu untuk dapat melakukan penerbangan adalah 17oC
(Subroto et al. 1992).
Pengaruh Kelembaban
Kelembaban dapat mempengaruhi perkembangbiakan, pertumbuhan, dan
keaktifan serangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemampuan
serangga bertahan terhadap keadaan kelembaban udara sekitar akan berbeda setiap
jenis dan stadia perkembangan serangga (Koesmaryono 1991). Pada umumnya
kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak di dekat titik
maksimum, antara 73-100% (Andrewartha dan Birch 1974). Kelembaban udara
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat aktivitas dan kehidupan
serangga, kecuali pada beberapa jenis serangga yang biasa hidup di tempat basah.
Kelembaban udara merupakan faktor iklim yang penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan WBC. Hasil penelitian IRRI tentang kelembaban relatif udara pada
WBC di Filipina menunjukkan bahwa hama tersebut akan tertekan
perkembangannya pada kelembaban 50-60%, dan sangat sesuai pada kelembaban
80% (Mochida et al. 1986). Dyck et al. 1977 menyatakan kelembaban konstan
pada kisaran 50-60% berperan secara optimal pada peningkatan populasi WBC.
Serangan WBC berhubungan dengan kepadatan tanaman, radiasi matahari yang
rendah, kelembaban yang tinggi, dan perbedaan suhu yang kecil antara siang dan
malam hari. Perilaku penerbangan atau migrasi WBC juga dipengaruhi
kelembaban.
Pengaruh Curah Hujan
Menurut Koesmaryono et al. (2005), pada kondisi normal hama selalu ada
dan biasanya dalam jumlah yang tidak mengkhawatirkan. Perubahan distribusi
curah hujan dapat membawa pengaruh yang cukup besar bagi organisme
disekitarnya termasuk pada hama yang cenderung berubah secara drastis
(Koesmaryono et al. 2005). Kelimpahan populasi serangga dipengaruhi variasi
musim hujan, kurangnya hari hujan dapat menimbulkan kekeringan dan kematian
pada serangga. Akan tetapi jika curah hujan tinggi, maka populasi hama tersebut
juga dapat menurun akibat tercuci oleh hujan (Koesmaryono 1985; Mochida et al.
1986). Baehaki (2005) dalam Susanti et al. (2007), menyatakan bahwa hama
WBC memiliki jam biologis dimana mampu berkembang dengan baik di musim
hujan dan musim kemarau yang terdapat hujan.
Pengaruh Radiasi Matahari
Andrewartha dan Birch (1954) berpendapat bahwa pada beberapa kasus,
intensitas cahaya dapat memengaruhi kehidupan serangga. Fluktuasi intensitas
cahaya dan kualitas cahaya harian dapat berpengaruh pada suhu udara dan
kelembaban lingkungan. Serangga yang mempunyai kebiasaan hidup dengan
cahaya minimum dan lemah, apabila intensitas cahaya ditingkatkan akan
mengakibatkan aktivitasnya tertekan, begitu pula sebaliknya. Meningkatnya
intensitas cahaya dapat mempercepat kedewasaan serangga dan mempersingkat
umur imago (Sunjaya 1970 dalam Koesmaryono 1985). Faktor cahaya dan radiasi

9
juga mempengaruhi kehidupan wereng batang coklat (Suenaga 1963 dalam
Subroto et al. 1992).
Pengaruh Kecepatan Angin
Angin tidak memiliki pengaruh langsung pada pertumbuhan dan
perkembangan serangga. Angin akan berpengaruh pada proses penguapan dan
keadaan lembab udara di lingkungan yang kemudian secara tidak langsung
memberi akibat pada keseimbangan suhu tubuh maupun kadar air tubuh serangga.
Peran nyata angin dapat dilihat pengaruhnya pada pemencaran dan keaktifan
serangga (Sunjaya 1970 dalam Koesmaryono 1985). Penerbangan WBC
dipengaruhi cuaca (Yadav et al. 2010). Otuka (2009) menambahkan bahwa
dengan bantuan angin jarak terbang WBC makroptera dapat mencapai 11 km per
jam.

Beberapa Penelitian menggunakan Pemodelan Dymex
Yonow et al. (2004) melihat pengaruh faktor abiotik (cuaca) yang
mempengaruhi dinamika populasi lalat buah Queensland (Bactrocera tryoni) pada
5 titik wilayah di New South Wales, Australia. Penelitian ini menggunakan
pemodelan Dymex dengan input utama data cuaca harian (suhu maksimum dan
minimum, curah hujan, dan evaporasi). Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil
prediksi model dan data observasi ada kecocokan, namun pada lokasi berbeda
tidak memberikan hasil yang baik antara hasil prediksi dan observasi. Nilai
koefisien determinasi (R2) terbaik adalah 0.37.
Nahrung et al. (2008) melakukan penelitian tentang persyaratan ambang
batas suhu perkembangan dari populasi kumbang Paropsis atomaria. Data
ambang suhu yang diperoleh digunakan sebagai input utama untuk memodelkan
dinamika populasi kumbang Paropsis atomaria dengan Dymex. Penelitian ini
memprediksi waktu, durasi, kelimpahan yang terjadi di lapangan dan jumlah
generasi kumbang Paropsis atomaria di musim semi dan musim gugur dengan
menggunakan data cuaca di wilayah Canberra dan Queensland, Australia. Hasil
penelitian menunjukan bahwa ada kemiripan antara puncak populasi luaran model
dengan puncak populasi yang terjadi di lapangan. Namun, ada perbedaan waktu
puncak populasi antara model dan lapangan.
Kriticos et al. (2009) mengembangkan sebuah model dinamika populasi
untuk mengeksplorasi interaksi antara agen biokontrol Cleopus japonicus dan
tanaman inang Buddleja davidii di pulau utara New Zealand menggunakan data
cuaca harian (suhu maksimum dan minimum, curah hujan, dan evapotranspirasi
potensial). Model menunjukan bahwa faktor iklim berdampak signifikan pada
interaksi antara kumbang Cleopus japonicus dan Buddleja davidii. Kumbang
Cleopus japonicus berpotensi mengancam pertumbuhan Buddleja davidii
tergantung pada kesesuaian iklim untuk kumbang Cleopus japonicus.
Koem (2013) melakukan penelitian pengaruh iklim terhadap dinamika
populasi hama Penggerek Batang Padi Kuning (Scirpophaga Incertulas Walker)
dengan menggunakan pemodelan Dymex. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
luaran model memiliki kesesuaian dengan data observasi. Model mampu

10
memprediksi dengan baik jumlah generasi dan puncak populasi hama PBPK
sesuai dengan kondisi cuaca di lingkungannya.

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus
2016 di Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Bahan
Data Cuaca
Data yang digunakan merupakan data harian sekunder meliputi data suhu
minimum dan maksimum, kelembaban relatif minimum dan maksimum, curah
hujan, kecepatan angin dan intensitas cahaya. Data diperoleh dari Stasiun
Meteorologi Khusus Pertanian (SMPK) milik Balai Besar Peramalan Organisme
Pengganggu Tumbuhan (Kab. Karawang) dan Balai Penelitian Agroklimatologi
dan Hidrologi di wilayah pantai utara Jawa Barat tahun 2002 - 2012.
Data Lampu Perangkap
Salah satu cara untuk mengetahui keberadaan hama serangga adalah dengan
menggunakan lampu perangkap. Lampu perangkap sangat penting dalam
manajemen pengelolaan hama WBC karena WBC yang pertama kali datang di
pesemaian atau pertanaman adalah jenis makroptera betina atau jantan imigran.
Data hasil tangkapan hama dengan lampu perangkap tersebut di atas dapat
mengindikasikan hal-hal yang dapat dijadikan dasar pengendalian. Menurut
Baehaki (2011) satu lampu perangkap sebagai pendeteksi cukup mengontrol areal
200-500 ha. Pada saat populasi tinggi dapat menangkap WBC 376 ribu
ekor/malam/unit, ngengat penggerek batang padi kuning 12 ribu ekor/malam/unit
dan kepinding tanah 146 ribu ekor/malam/unit (Baehaki, 2011).

a

b

Gambar 3. (a) lampu perangkap di BBPOPT (b) Petugas BBPOPT menghitung
populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkap

11
Menurut Wang (1985) WBC yang tertangkap di lampu perangkap selain
mengindikasikan keberadaannya di pertanaman juga memberikan informasi
tentang fluktuasi dan kelimpahan populasinya. Terdapat korelasi positif antara
hama tangkapan lampu perangkap dengan insiden WBC di pertanaman. Hal ini
menunjukkan bahwa hama tertangkap lampu perangkap merupakan representasi
dari ledakan WBC di lapangan (Jeyarani, 2004). Data lampu perangkap diperoleh
dari Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) untuk
tahun 2002-2012, data ini akan digunakan untuk kalibrasi dan validasi populasi
imago dari hasil luaran model Dymex.
Data Waktu Tanam
Data waktu tanam padi akan digunakan sebagai informasi tambahan untuk
melihat kesesuaian antara infestasi populasi WBC hasil tangkapan lampu
perangkap dengan ketersediaan tanaman di lapangan.

Alat
Penelitian ini menggunakan perangkat lunak Dymex versi 3.0 untuk
menganalisis dinamika populasi hama WBC dan Minitab 15 digunakan untuk uji
statistik.

Prosedur Analisis Data
Analisis data dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dengan
menggunakan metode analisis statistik. Analisis statistik digunakan untuk melihat
hubungan antara faktor-faktor cuaca yang diujikan terhadap kelimpahan populasi
WBC hasil tangkapan lampu. Tahap kedua menggunakan perangkat lunak Dymex,
dengan tujuan menyusun model prediksi kelimpahan populasi WBC dan menilai
kemampuan model untuk memprediksi kelimpahan dan puncak populasi WBC
berbasis iklim dan cuaca.
Analisis Korelasi Pearson
Korelasi Pearson merupakan salah satu ukuran korelasi yang digunakan
untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua variabel. Dua
variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan salah satu variabel disertai
dengan perubahan variabel lainnya, baik dalam arah yang sama ataupun arah yang
sebaliknya. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui faktor cuaca yang
paling berpengaruh terhadap kelimpahan populasi WBC di lampu perangkap.
Korelasi Pearson mempunyai jarak antara -1 sampai dengan +1. Jika koefesien
korelasi adalah -1, maka kedua variabel yang diteliti mempunyai hubungan linier
sempurna negatif. Jika koefesien korelasi adalah +1, maka kedua variabel yang
diteliti mempunyai hubungan linier sempurna positif. Jika koefesien korelasi
menunjukkan angka 0, maka tidak terdapat hubungan antara dua variabel yang dikaji.
Analisis Regresi antara Populasi WBC dan Faktor Cuaca
Analisis data untuk melihat hubungan faktor cuaca terhadap dinamika
populasi WBC hasil tangkapan lampu perangkapdilakukan dengan menggunakan

12
metode regresi linier berganda. Data faktor cuaca digunakan sebagai peubah bebas
dan data populasi WBC sebagai peubah respon. Persamaan regresi linier
berganda:
=

+



+



+ ⋯+

(1)

di mana y adalah populasi WBC per musim tanam yang didapat lampu perangkap,
Xp adalah faktor cuaca, a adalah konstanta, b adalah koefisien pengaruh masingmasing peubah cuaca terhadap populasi hama, dan e adalah galat. Koefisien dalam
model diduga dengan metode kuadrat terkecil biasa. Pengujian terhadap koefisienkoefisien tersebut dilakukan dengan uji t dan pengujian terhadap model dilakukan
dengan analisis ragam. Tingkat keeratan hubungan antara y dan x dinyatakan
dalam koefisien determinasi R2, yang nilainya berkisar dari 0-100%.
Bila terdapat masalah multikolinearitas antar faktor cuaca yang diuji, maka
hubungan antara besarnya populasi WBC dengan semua faktor cuaca dimodelkan
dengan persamaan regresi komponen utama. Analisis komponen utama digunakan
bila dalam pembentukan model pendugaan peubah bebas yang digunakan banyak
dan terdapat hubungan yang erat antar peubah bebasnya. Prinsip dasar dari
metode regresi komponen utama adalah menggunakan skor komponen utama
yang terpilih sebagai peubah bebas. Komponen-komponen utama tersebut saling
ortogonal atau saling tidak berkorelasi. Berikut persamaan regresi komponen
utama, yaitu:
=�

+

� ��

+�

(2)

..
di mana Y: peubah respon; 1: matriks yang elemennya bernilai 1; Wp: matriks
yang elemennya terdapat skor komponen. � : matriks koefisien komponen utama;
dan �: matriks.

Pendugaan Potensi Kelimpahan Populasi WBC
Potensi serangan dan waktu puncak populasi WBC diduga menggunakan
pemodelan Dymex (Gambar 3). Pemodelan dinamika populasi WBC dengan
Dymex menggunakan dua komponen utama sebagai input, yaitu parameter cuaca
dan suhu ambang batas perkembangan pada setiap tahapan siklus hidup WBC.
Pada model Dymex, siklus hidup WBC disusun dalam tiga fase, yaitu fase telur,
nimpha dan dewasa. Fase nimpha mengalami lima kali pergantian kulit (5 instar).
Antara instar satu dengan lainnya dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh, dan
perbandingan mesonotum dan metanotumnya (Subroto et al. 1992).
Nahrung et al. (2008) menyatakan bahwa Dymex mengidentifikasi
serangkaian proses pada setiap fase dalam siklus hidup serangga, perkembangan,
mortalitas, transfer individu dari satu stadia ke stadia berikutnya (perubahan
instar), fekunditas dan tingkat produksi. Berikut ini merupakan beberapa modul
utama dalam pemodelan Dymex:
Panjang Hari
Nilai panjang hari merupakan input untuk menentukan nilai evaporasi pada
model Dymex. Panjang hari ditentukan dengan input data garis lintang dan
mengkalkulasi waktu antara matahari terbit dan terbenam (Koem 2013).

13
Nilai Evaporasi
Dymex menentukan nilai evaporasi dengan menggunakan persamaan yang
dikemukakan oleh Fitzpatrick (1963) dalam Sands dan Hugnes (1967):



=

=

=

+

�[

+

[



� (

− .
)]

{ . , � { . ,(

]





∗)+


.

}}

di mana = 0.84, = 0.247, p(T) adalah tekanan uap jenuh (mbar) dari suhu
udara ToC, d adalah panjang hari, H adalah kelembaban relatif jam 09.00
(maksimum) hari ke-N, T dan T* masing-masing suhu rata-rata hari ke-N dan
suhu rata-rata tahunan jangka panjang, Tm dan Tm* di tentukan dari suhu
maksimum. Tekanan uap jenuh (mbar) dihitung dengan persamaan:
= .

( .

�− .

� )

<

<

Nilai evaporasi ini dapat diestimasi oleh Dymex dengan menggunakan input
variabel data cuaca harian, yaitu suhu harian minimum, suhu harian maksimum,
kelembaban minimum dan kelembaban maksimum, serta nilai panjang hari.

Gambar 4. Diagram alir analisis model Dymex

14
Indeks Kelembaban Tanah
Indeks kelembaban tanah digunakan dengan asumsi bahwa kelembaban
tanah adalah faktor dominan yang menentukan vegetasi pada suatu wilayah yang
mengakibatkan kondisi iklim mikro bagi organisme yang hidup di sekitarnya.
Nilai kelembaban tanah dapat dibangkitkan oleh model Dymex dengan input
utama kejadian curah hujan dan evaporasi.
Nilai kelembaban tanah berkisar antara 0-1. Ketika nilai indeks kelembaban
1, pertumbuhan populasi akan maksimal. Apabila nilai indeks kelembaban tanah
menunjukkan nilai 0 maka tidak ada pertumbuhan populasi (Kriticos et al. 2003;
Maywald et al. 2007). Menurut Yonow et al. 2004 dan Koem (2013), asumsi nilai
inisialisasi kelembaban tanah yang digunakan dalam pemodelan didorong oleh
beberapa parameter sebagai berikut:
1. Kapasitas kelembaban tanah (C): kapasitas menahan air pada lapisan tanah
pada kedalaman perakaran 1 meter, satuan dalam mm. Tanah berpasir dapat
menyimpan hanya 50 mm, sedangkan tanah liat dan lempung masing-masing
dapat menahan 150 mm dan 200 mm (Maywald et al. 2007).
2. Koefisien evapotranspirasi (r): jumlah evaporasi dan transpirasi dari vegetasi
dinyatakan sebagai proporsi evaporasi panci terbuka. Dalam model ini,
koefisien evapotranspirasi didefinisikan sebagai fungsi kelembaban tanah
(Yonow et al. 2004). Umumnya antara 0.5 sampai 1.2 dengan nilai tipikal 0.8
(Maywald et al. 2007).
3. Evaporasi basal (Eo): input evaporasi yang tersedia untuk evapotranspirasi,.
Merupakan tingkat kehilangan air pada tanah dengan tutupan vegetasi yang
lengkap atau tidak lengkap. Pada kapasitas lapang, akar vegetasi tersebut
tumbuh di tanah tanpa kekurangan nutrisi dan air. Kisaran nilai 0 sampai 5 mm
(Maywald et al. 2007), nilai yang akan disimulasikan dari nilai 0 hingga nilai
Eo yang sesuai dengan nilai rata-rata suhu udara.
Perkembangan dan Mortalitas
Data suhu dan lama perkembangan WBC digunakan untuk menentukan nilai
ambang batas suhu perkembngan (T0) dan themal konstan (K). Nilai ambang suhu
dimaksudkan sebagai suhu ambang yang dapat di toleransi oleh setiap fase siklus
hidup untuk tumbuh dan berkembang (Koem 2013). Sujithra et al (2013)
melakukan pengamatan perkembangan WBC pada 6 suhu konstan yaitu 19, 22, 25,
28,