Statistical Downscaling Dengan Sebaran Pareto Terampat Untuk Prediksi Curah Hujan Ekstrim (Studi Kasus Curah Hujan Kabupaten Indramayu Tahun 1979-2008).

STATISTICAL DOWNSCALING DENGAN SEBARAN PARETO
TERAMPAT UNTUK PREDIKSI CURAH HUJAN EKSTRIM
(Studi kasus curah hujan kabupaten Indramayu tahun 1979-2008)

SHYNDE LIMAR KINANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Statistical Downscaling
dengan Sebaran Pareto Terampat untuk Prediksi Curah Hujan Ekstrim (Studi
kasus curah hujan Kabupaten Indramayu tahun 1979-2008) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Shynde Limar Kinanti
NIM G152130111

* Pelimpahan hak cipta karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait

RINGKASAN
SHYNDE LIMAR KINANTI. Statistical Downscaling dengan Sebaran Pareto
Terampat untuk Prediksi Curah Hujan Ekstrim (Studi kasus curah hujan
Kabupaten Indramayu tahun 1979-2008). Dibimbing oleh AJI HAMIM WIGENA
dan ANIK DJURAIDAH.
Indonesia memiliki iklim tropis dengan keragaman suhu kecil, namun
keragaman curah hujan cukup besar, sehingga curah hujan merupakan unsur iklim
yang penting untuk diamati terkait dengan perubahan iklim. Perubahan iklim
dapat meningkatkan kejadian curah hujan ekstrim yang berdampak banjir,
sehingga merendam lahan pertanian. Oleh karena itu, untuk mengantisipasinya
diperlukan informasi dini mengenai prediksi curah hujan ekstrim, antara lain

dengan statistical downscaling.
Statistical Downscaling (SD) digunakan untuk memodelkan hubungan
antara data berskala global dengan data berskala lokal yaitu antara data luaran
Global Circulation Model (GCM) dengan data curah hujan di stasiun cuaca.
Namun dalam pemodelan SD ini perlu memperhatikan curah hujan ektrim.
Penentuan nilai ekstrim dapat dilakukan menggunakan blok maksima yang
nilainya akan mengikuti sebaran nilai ekstrim terampat (generalized extreme
value, GEV). Namun metode ini tidak efektif karena akan banyak pengamatan
terbuang, sehingga penentuan nilai ekstrim dilakukan dengan nilai ambang
(threshold). Nilai-nilai di atas nilai ambang akan mengikuti Sebaran Pareto
Terampat (Generalized Pareto Distribution, GPD). Tujuan penelitian ini adalah
memodelkan data curah hujan dengan data luaran GCM menggunakan regresi
Sebaran Pareto Terampat (GPD) untuk memprediksi curah hujan ekstrim di
wilayah Kabupaten Indramayu.
Penelitian ini, menggunakan data curah hujan lokal di kabupaten
Indramayu dari tahun 1979 sampai tahun 2008 sebagai peubah respon. Data
luaran GCM pada posisi wilayah 1.25°LS-18.75°LS dan 101.25°BT-118.75°BT,
yang terdiri dari 8× 8 grid. Data luaran GCM memiliki karakteristik non linier,
berdimensi tinggi, dan multikolinieritas sehingga diperlukan analisis komponen
utama (AKU). Pada regresi GPD, komponen utama merupakan peubah prediktor.

Data dibagi menjadi dua, yaitu data tahun 1979-2007 sebagai data training untuk
menyusun model dan data tahun 2008 sebagai data testing untuk validasi model.
Data training dibagi berdasarkan empat musim yaitu, musim hujan (Desember,
Januari, Februari), peralihan musim hujan-kemarau (Maret, April, Mei), kemarau
(Juni, Juli, Agustus), peralihan kemarau hujan (September, Oktober, November).
Penentuan batas ambang menggunakan Mean Residual Life Plot (MRLP). Nilainilai di atas batas ambang diuji kesesuaian sebarannya dengan uji KolmogorovSmirnov. Pendugaan parameter pada regresi GPD menggunakan metode
kemungkinan maksimum dengan metode optimasi Nelder-Mead.
Jumlah komponen yang digunakan sebanyak 4 komponen dengan tingkat
keragaman sebesar 96.6%. MRLP menghasilkan batas ambang sebesar 145 untuk
keseluruhan data. Pada pembagian empat musim diperoleh nilai ambang untuk
bulan hujan (Des, Jan, Feb) sebesar 145, bulan peralihan hujan-kemarau (Mar,
Apr, Mei) sebesar 100, musim kemarau (Jun, Jul, Agu) sebesar 10 dan musim
peralihan kemarau-hujan (Sep, Okt, Nov) sebesar 45.

Hasilnya menunjukkan bahwa model terbaik adalah model yang membagi
empat musim dengan nilai RMSEP terkecil untuk kuantil 75, 90, 95 adalah 78.71,
93.63, 106.54. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa prediksi curah hujan
ekstrim di Kabupaten Indramayu pada bulan Januari tidak mengikuti pola
aktualnya, namun secara umum pola hasil dugaan mirip dengan pola data
aktualnya. Musim peralihan dan musim kemarau dapat diprediksi dengan baik di

bawah kuantil 75. Model ini dapat memprediksi curah hujan ekstrim dengan baik
pada bulan Februari yang merupakan puncak hujan pada tahun 2008. Curah hujan
bulan Februari diprediksi pada kuantil ke-95 dengan nilai 453.23 mm/bulan.
Model tersebut dapat menduga curah hujan ekstrim dengan baik untuk pendugaan
satu tahun kedepan dan model ini merupakan model yang konsisten.
Kata kunci: curah hujan, ekstrim, Generalized Pareto Distribution, Global
Circulation Model, statistical downscaling

SUMMARY
SHYNDE LIMAR KINANTI. Statistical Downscaling with Generalized Pareto
Distribution for Extreme Rainfall Prediction (The case study rainfall data in
Indramayu from 1979-2008). Supervised by AJI HAMIM WIGENA and ANIK
DJURAIDAH

Indonesia has tropical climate which has small of temperature, but quite
large variation of rainfall. The rainfall is an important element of climate related
to climate change has to be observed. Climate change increase the incidence of
extreme rainfall that affect flooding in farmland. In order to anticipate the
occurrence of extreme rainfall, the information of rainfall forecast is required.
Statistical Downscaling (SD) is used to model the relationship between

global scale data and local scale data. Global Circulation Model (GCM) output
data is global scale data and the rain fall data from weather station is local scale
data. However, SD modeling needs to consider extreme rainfall.
Extreme value determination can be carried out using a block maxima.
These values follow generalized extreme value distribution (GEV). This method
is not effective because it discards a lot of observations. Another method use a
threshold to determin extreme values. The values over threshold follow
generalized Pareto distribution (GPD). Extreme rainfall prediction can be modeled
using SD with GPD or called GPD regression. The objective of this study is SD
modeling based on GPD to predict extreme rainfall in Indramayu district.
This study use local rainfall data in Indramayu district from 1979 until
2008 as a response variable. GCM output data which are located at 1.25°S18.75°S (latitude) and 101.25°E-118.75°E (longitude), that consist of 8 × 8 grids.
GCM output has non-linear, high dimension, and multicoliniearity characteristics.
Principal component analysis (PCA) can be used to overcome these problem. In
GPD regression, so components from PCA as a predictor variables. The data
devided into two part, i.e the data in 1979 until 2007 as training data for modeling
and year of 2008 data as model validation data. Training data is divided into four
seasons, i.e the rainy season (December, January, February), the transition rainy to
dry season (March, April, May), dry season (June, July, August), the transition
dry to rain (September, October, November). Mean Residual Life Plot (MRLP) is

used to determine the threshold value for the training data and the sharing of the
season. The values above the threshold tested for compliance with the distribution
using Kolmogorov-Smirnov test. Parameter estimation of GPD regression is
maximum likelihood estimation (MLE) with optimization method is NelderMead.
The result shows that the cumulatif variance proportion is 96.6% for 4
components. The determination of threshold by Mean Residual Life Plot (MRLP),
obtained the threshold of 145 for the entire data. In the division of the four
seasons that the threshold for the rain season is 145 , the rainy to dry transition
season is 100, the dry season is 10 and the dry to rainy transition season is 45.
The results show that the best model is the model that divides four
seasons with the smallest RMSEP value for quantile 75, 90, 95 was 78.71, 93.63,
106.54. The extreme rainfall prediction in January is not follow actual data

pettern, but the general pattern show that the prediction and the actual data have
similar patterns. The transitional and dry season can be predicted well under
quintile 75. This model can predict the extreme rainfall well in February which is
the peak of rainfall in 2008. The rainfall can be predicted on the quantile 95th
with a value 453.23 mm/month. The model can predict extreme rainfall well for
estimating the coming year and this model is consistent model.
Keywords: extreme, Generalized Pareto Distribution, Global Circulation

Model, statistical downscaling, rainfall

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STATISTICAL DOWNSCALING DENGAN SEBARAN PARETO
TERAMPAT UNTUK PREDIKSI CURAH HUJAN EKSTRIM
(Studi kasus curah hujan kabupaten Indramayu tahun 1979-2008)

SHYNDE LIMAR KINANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Statistika Terapan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PRAKATA
Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga Tesis dengan judul Statistical Downscaling Dengan Sebaran Pareto
Terampat untuk Prediksi Curah Hujan Ekstrim (Studi kasus curah hujan
kabupaten Indramayu tahun 1979-2008) dapat terselesaikan dengan baik.
Dalam penyusunan Tesis ini penulis telah banyak dibantu oleh berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc dan Dr. Ir. Anik Djuraidah, MS selaku dosen
pembimbing atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan.
2. Dr. Farit Mochamad Afendi, S.Si, M.Si selaku dosen penguji luar.
3. Ibu Elly Rosidah, Bapak Budi Lenggono dan kedua adik Cindhe P Laras,
Gilang Kumala Bangsa serta seluruh keluarga atas cinta, kasih sayang, do’a
dan dukungannya.

4. Seluruh staf Departemen Statistika atas bantuan dan kerjasamanya.
5. Tim riset statistical downscaling Dr. Agus M Soleh, MT, Eka Putri Nur Utami
dan Dewi Santri.
6. Teman-teman S2 dan S3 Program Studi Statistika Terapan dan Statistika
angkatan 2012, 2013, 2014 atas do’a, kebersamaan dan dukungan yang
berlimpah.
7. DIKTI Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi atas beasiswa
BPDN- Calon Dosen.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Tesis.
Dalam penyusunan tesis ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, berbagai saran ataupun kritik yang membangun akan
sangat berguna bagi penulis dalam penulisan ilmiah selanjutnya.
Bogor, Januari 2016

Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Curah Hujan
Global Circulation Model dan Statistical Downscaling
Teori Nilai Ekstrim
Sebaran Pareto Terampat
Pemilihan Nilai Ambang
Tingkat Pengembalian

Regresi GPD
3 METODE PENELITIAN
Data
Metode Analisis
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data Curah Hujan
Komponen Utama GCM
Penentuan Nilai Ambang
Tingkat Pengembalian Sebaran GPD

Regresi GPD
Validasi
Konsistensi Model
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
iv
iv
1
1
2
3
3
3
4
5
6
7
7
10
10
10
12
12
13
14
15
16
19
20
22
22
22
23
24

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Skema statistical downscaling
Fungsi kepekatan peluang (fkp) sebaran Gumbel, Frechet dan Weibull
Pola curah hujan Kabupaten Indramayu tahun 1979-2008
Grafik MRLP data curah hujan
Grafik penduga parameter dengan ambang batas sebaran GPD
Nilai RSMEP pemodelan GPD
Prediksi model GPD dengan M4 data curah hujan tahun 2008
Hasil prediksi musim peralihan dan musim kemarau
Validasi dengan RMSEP berdasarkan jumlah tahun prediksi

4
5
12
14
14
16
18
18
20

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Deskripsi data curah hujan (mm/bulan) tahun 1979-2008
Nilai akar ciri dan proporsi kumulatif keragaman komponen utama
Hasil uji Kolmogorov-Smirnov triwulan pada α = 5%
Nilai dugaan parameter GPD
Prediksi tingkat pengembalian curah hujan periode tahunan
Nilai parameter model GPD untuk setiap musim
Nilai RMSEP empat musim
Nilai korelasi model GPD untuk prediksi curah hujan 1 tahun

13
13
15
15
16
17
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1. Grafik hubungan data curah hujan dengan komponen utama
2. Grafik MRL dan Grafik range pendugaan parameter dengan nilai ambang
pada sebaran GPD
3. Nilai Perbandingan RMSEP setiap model
4. Perhitungan Validasi

25
29
33
35

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara maritim yang berada di kawasan katulistiwa
memperoleh radiasi matahari dan kandungan uap air yang sangat besar. Keduanya
merupakan bahan penghasil awan dan hujan terbesar di dunia, sehingga Indonesia
memiliki curah hujan yang bervariasi. Oleh karena itu, curah hujan merupakan
unsur iklim yang penting untuk diamati terkait dengan perubahan iklim. Curah
hujan ekstrim terjadi dengan intensitas sangat tinggi atau sangat rendah. Dampak
buruk dari curah hujan ekstrim adalah kekeringan atau kebanjiran, sehingga
untuk mengantisipasi terjadinya curah hujan ekstrim yang dapat memberikan
dampak buruk terhadap lahan pertanian diperlukan informasi prediksi1 kejadian
curah hujan ekstrim. Sampai saat ini belum banyak model yang mampu
mensimulasikan curah hujan di Indonesia dengan baik. Topografi, interaksi antara
laut, darat dan atmosfer yang kompleks mempersulit prediksi curah hujan di
wilayah Indonesia sehingga perlu peramalan pada skala lokal dengan
memanfaatkan informasi tentang sirkulasi atmosfer global dari data global
circulation model (GCM).
GCM merupakan model numerik yang menggambarkan proses fisik di
atmosfer, laut, dan kriosfer permukaan tanah, dan merupakan model yang mampu
mensimulasikan respon sistem iklim global terhadap meningkatnya konsentrasi
gas rumah kaca. GCM memiliki potensi untuk memberikan perkiraan terhadap
perubahan iklim di masa mendatang. GCM masih berskala global, sehingga sulit
untuk memperoleh langsung informasi berskala lokal. Resolusi GCM terlalu
rendah untuk memprediksi perubahan iklim lokal yang dipengaruhi topografi dan
tataguna lahan, tetapi masih mungkin dilakukan bila menggunakan teknik
downscaling (Wigena 2011).
Statistical Downscaling (SD) merupakan suatu teknik untuk memodelkan
hubungan antara data yang berskala global dengan data berskala lokal. Data
berskala global merupakan data luaran GCM dan data berskala lokal merupakan
data curah hujan) di stasiun cuaca. Luaran GCM digunakan sebagai peubah
prediktor pada SD dan data curah hujan yang terukur pada stasiun cuaca sebagai
peubah responnya. Data GCM memiliki karakteristik non linier, berdimensi
tinggi, dan terdapat multikolinieritas sehingga perlu penanganan dalam
pemodelan SD dengan analisis komponen utama (AKU).
Curah hujan ekstrim sebagai respon dalam SD tidak dapat didekati dengan
pemodelan sebaran normal. Frederichs (2010) telah mengkaji mengenai
pendugaan curah hujan ekstrim dengan pemodelan SD menggunakan teori nilai
ekstrim. Di Indonesia, penelitian tentang prediksi curah hujan ekstrim dengan
pemodelan SD dikaji oleh Mondiana (2012) dengan menggunakan metode regresi
kuantil. Metode tersebut tidak memerhatikan sebaran dari nilai ekstrimnya.
Sebaran nilai ekstrim terampat (Generalized extreme value, GEV) dapat
digunakan untuk menganalisis kejadian-kejadian ekstrim termasuk curah hujan.
Handayani (2014) telah mengkaji tentang sebaran nilai ekstrim terampat dalam
memprediksi fenomena curah hujan ekstrim di Indramayu dan hasilnya
menunjukkan bahwa pemodelan dengan GEV belum efektif untuk meramalkan
kejadian curah hujan ekstrim. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai prediksi

2

curah hujan ekstrim dengan sebaran yang lebih spesifik yaitu, Sebaran Pareto
Terampat (Generalized Pareto Distribution, GPD).
GPD mengidentifikasi nilai ekstrim melalui data pengamatan yang
melebihi suatu nilai ambang (threshold) tertentu. Pendugaan curah hujan ektrim
dengan pemodelan SD tergantung pada data luaran GCM. Hal tersebut menurut
Friederichs (2010) akan mengikuti sebaran GPD non stasioner di mana kejadian
ekstrim tergantung pada peubah prediktor X atau disebut sebagai regresi GPD.
Coles (2001) menyebutkan bahwa pendugaan parameter untuk regresi GPD
berbasis pada Generelized Linear Model (GLM). Pada penelitian ini akan dikaji
mengenai pemodelan SD dengan regresi GPD yang dipengaruhi oleh data luaran
GCM untuk pendugaan curah hujan ekstrim.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk memodelkan data curah hujan dengan data
luaran GCM menggunakan teknik pemodelan SD dengan regresi Sebaran Pareto
Terampat (GPD) untuk memprediksi curah hujan ekstrim di wilayah Kabupaten
Indramayu.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Curah Hujan
Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar
selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas
permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan infiltrasi. Jadi,
jumlah curah hujan yang diukur adalah tebalnya atau tingginya permukaan air
hujan yang menutupi suatu daerah luasan di permukaan tanah. Satuan curah hujan
yang umumnya dipakai oleh BMKG adalah milimeter (mm). Curah hujan 1 (satu)
milimeter, artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar
tertampung air setinggi 1 (satu) milimeter atau tertampung air sebanyak 1 (satu)
liter atau 1000 ml (Yoheser 2015).
Indikator iklim ekstrim menurut BMKG (2008) adalah curah hujan di atas
400 mm/ bulan. Curah hujan yang tinggi akan berpotensi menimbulkan bencana
banjir dan longsor. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kejadian buruk akibat
curah hujan ekstrim perlu diperhatikan nilai-nilai ekstrim. Mondiana (2012)
menyatakan bahwa kejadian curah hujan ekstrim sulit untuk diprediksi sehingga
hanya dapat dianalisis setelah kejadian itu terjadi, tetapi seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka cuaca ekstrim dapat diduga
melalui pendekatan empiris dengan model statistical downscaling (SD).
Global Circulation Model dan Statistical Downscaling
GCM merupakan metode numerik yang dibangun berdasarkan persamaan
hukum klasik fisika. GCM merupakan model paling canggih yang dapat
mensimulasikan perubahan iklim. Simulasi unsur iklim untuk masa mendatang
suhu, curah hujan dan yang terkait dengan peubah hidrologi seperti snopack,
penguapan atau debit air sungai. GCM menghasilkan data dalam bentuk grid atau
petak wilayah dengan resolusi rendah (2.5o atau ± 300 km kali 300 km). Data
GCM berupa grid yang menunjukkan bahwa data GCM merupakan salah satu
bentuk data spasial yang berkaitan dengan keruangan. GCM mempresentasikan
perubahan iklim global tidak secara lokal, untuk itu diperlukan teknik untuk
menduga peubah perubahan iklim dengan skala lokal. Data GCM memiliki
karakteristik yang berdimensi tinggi, non-linier, dan terdapat multikolinieritas
(Wigena 2006, Auffhammer et al. 2011).
Downscaling merupakan salah satu teknik yang dikembangkan untuk
meningkatkan kinerja model, proses di mana dapat digunakan untuk transformasi
hasil simulasi GCM pada skala global ke skala lokal. Teknik downscaling
bermanfaat untuk mengetahui hubungan fungsional antara peubah skala global
dengan peubah skala lokal dan menduga nilai peubah dalam interval waktu
tertentu berdasarkan sirkulasi atmosfer skala global (Hoar & Nychka 2008).
Statistical downscaling (SD) merupakan salah satu teknik yang dapat
digunakan untuk menduga perubahan iklim dari skala global ke skala lokal.
Pemilihan peubah prediktor dan penentuan domain (lokasi dan jumlah grid)
merupakan faktor kritis yang akan mempengaruhi kestabilan peramalan. Model
SD memberikan hasil yang baik dengan syarat, a) hubungan erat antara respon

4

dengan prediktor yang menjelaskan keragaman iklim lokal dengan baik, b)
peubah prediktor disimulasi baik oleh GCM, dan c) hubungan antara respon
dengan perubahan waktu dan tetap sama meskipun ada perubahan iklim (Busuioc
et al. 2010). Bentuk umum model SD
=

dengan

( X)

= peubah skala lokal atau respon
X = peubah skala global atau prediktor

Gambar 1 Skema statistical downscaling
Teori Nilai Ekstrim
Teori nilai ekstrim (Extreme Value Theory, EVT) adalah salah satu teori
yang membahas kejadian-kejadian ekstrim. Analisis tentang kejadian ekstrim
memungkinkan untuk menduga kejadian-kejadian ekstrim. Inti dari EVT adalah
mempelajari
= max { , …, }
dengan , …, adalah peubah acak saling bebas yang memiliki fungsi sebaran F,
biasanya mempresentasikan nilai dari proses pengukuran pada regulasi skala
waktu, maka
adalah nilai maksimum dari proses pengamatan pada
kali
pengamatan.
Terdapat tiga sebaran dasar nilai ekstrim yaitu sebaran Gumbel (1) ,
sebaran Frechet (2) dan sebaran Weibull (3) (Coles 2001):
( ) =
( ) =
( ) =

; −∞ <


0 ; >


− −

; ≤
; <

1 ; ≥

< ∞

(1)
(2)
(3)

5

dengan > 0 adalah parameter skala, adalah parameter lokasi dan > 0 adalah
parameter bentuk. Gambar 2 menunjukkan pola dari ketiga sebaran tersebut.

Gambar 2 Fungsi kepekatan peluang (fkp) sebaran Gumbel, Frechet dan Weibull
Gambar 2 menunjukkan bahwa ketiga sebaran memberikan gambaran
perilaku nilai ekstrim yang berbeda. Ketiga sebaran dapat digabung dalam satu
bentuk umum yang disebut generalized extreme value (GEV). Berikut merupakan
fungsi sebaran GEV:
( ) =

− 1+




; ≠ 0

; = 0

dengan adalah parameter lokasi, > 0 parameter skala dan parameter bentuk,
menentukan karakteristik ujung sebaran. Jika > 0 fungsi peluang akan
mempunyai ujung yang tak terhingga, bentuk parameter GEV akan mengarah
pada sebaran Frechet, mengarah pada sebaran Gumbel untuk limit = 0 dan
< 0 akan mengarah pada sebaran Weibull.
Sebaran Pareto Terampat
Penentuan nilai ekstrim pada sebaran GEV menggunakan blok maksima,
memilih nilai maksimum untuk setiap blok. Metode ini akan membuang banyak
data yang telah diamati, sehingga terdapat cara lain yaitu dengan menentukan nilai
ambang (threshold). Jika pengambilan nilai ekstrim diperoleh dari nilai yang
melampaui ambang , − > 0 akan mengikuti sebaran Pareto Terampat
(Generalized Pareto Distribution, GPD) (Coles 2001, Mallor et al. 2009) dengan
fungsi sebaran adalah

6

( )=

1− 1+
1−



; ≠ 0

; = 0
untuk > 0 dengan y adalah nilai yang lebih dari nilai ambang batas u yang
dirumuskan dengan y  z  u , z adalah data pengamatan asli. Fungsi kepekatan
peluang (fkp) dari GPD dengan menurunkan fungsi sebarannya dapat dinyatakan
sebagai berikut (Coles 2001, Mallor et al. 2009):
1+

ℎ( ) =

; ≠ 0

(4)

− ; = 0
Metode pendugaan kemungkinan maksimum adalah cara yang digunakan
untuk menduga parameter GPD. Berikut ini adalah fungsi kemungkinan dari
fungsi kepekatan peluang GPD pada persamaan (4)

. . . ) =
1+
Fungsi ln kemungkinan dari persamaan (5) sebagai berikut:
∑ ln 1 +
ln ( , | . . . ) = − ln − 1 +
( , |

Selanjutnya dari persamaan (6) diturunkan parsial terhadap parameter skala
bentuk diperoleh
=
− + ( 1 + ) ∑
=



ln 1 +



+ 1 ∑

(5)
(6)
dan
(7)
(8)

Dari persamaan (7) dan (8) disamakan dengan nol untuk memperoleh penduga
bagi dan . Persamaan yang diperoleh tidak dalam bentuk tertutup maka
perhitungan dilakukan dengan analisis numerik dengan cara iterasi untuk
memaksimumkan fungsi kemungkinan. Analisis numerik yang digunakan adalah
metode Nelder-Mead.
Pemilihan Nilai Ambang
Menurut Coles (2001), pemilihan nilai ambang u dalam sebaran GPD
dapat menggunakan Mean Residual Life Plot (MRLP). Metode MRLP didasarkan
pada rata-rata nilai ekstrim, jika Y menyebar Pareto Terampat dengan parameter
dan , maka
( ) =

dengan < 1 , jika ≥ 1 rata-ratanya tak terhingga. Misal peubah acak
merupakan pengamatan yang lebih dari nilai ambang batas
akan menyebar
GPD dengan rata-rata sebagai berikut:
( − | >
)=
< 1,

adalah parameter skala pada untuk nilai ambang
. Jika model
sebaran GPD valid pada nilai ambang u0, maka harus juga valid pada nilai

7

ambang > , oleh karena itu, nilai parameter skala akan berubah menjadi  u ,
sehingga nilai rata-ratanya adalah
(



| >

)=
=

1−

Misal
, …,
adalah pengamatan yang melebihi nilai ambang batas u
sebanyak , dan
adalah nilai maksimum dari , maka titik-titik untuk
MRLP adalah
(9)
− ; <
, ∑

MRLP dilengkapi dengan selang kepercayaan yang dihitung melalui pendekatan
normal dari rataan contoh. Pemilihan titik pada MRLP sebagai nilai ambang batas
adalah dengan cara melihat nilai u yang mendekati linier.
Tingkat Pengembalian
Tingkat pengembalian merupakan nilai maksimum yang diharapkan pada
jangka waktu tertentu. Pada bidang pertanian nilai tingkat pengembalian
memberikan informasi tentang jenis tanaman yang sesuai untuk ditanam pada
jangka waktu tertentu. Untuk menghitung tingkat pengembalian diperlukan
peluang tidak bersyarat peubah acak yaitu ( > ) dengan merupakan nilai
maksimum yang diharapkan dari tingkat pengembalian > . Peluang bersyarat
dengan syarat > adalah sebagai berikut:
{

>

|

{

>

}=

>

}=

1+

dengan
1+

untuk = ( > ) . Bila ditetapkan level
untuk setiap pengamatan adalah

yang dilampaui pada rata-rata

(10)
maka nilai tingkat pengembalian pada jangka waktu m diperoleh dari persamaan
(10), diperoleh hasil sebagai berikut:
(
) −1
(11)
= +
=

dengan

1+

dapat diduga dengan

=

(Mallor et al. 2009).

Regresi GPD
Model linier menghubungkan peubah prediktor dengan peubah respon,
seperti pada regresi linier:
=

dengan
~ (

X+

adalah vektor koefisien regresi dan
x, ) atau dapat dituliskan
| ~ (

x,

)

adalah vektor error model dengan

8

Sebaran dari peubah respon bergantung pada peubah prediktor melalui rataratanya. Model linier dapat diperluas untuk yang tidak linier atau tidak menyebar
normal yaitu, model linier terampat (generalized linear models, GLM). Dalam
GLM sebaran dari peubah respon diasumsikan mengikuti sebaran keluarga
eksponensial (exponential family of distribution), dengan bentuk sebagai berikut:
− ( )
( ; , ) =

( )

+ ( , )

Parameter adalah parameter natural dari keluarga eksponensial dan
adalah
parameter skala. Ketergantungan pada peubah prediktor dimodelkan melalui ratarata dari peubah respon menggunakan fungsi hubung (link function) :
( | ) = ′X
dengan fungsi hubung adalah monoton dan turun.
Pada beberapa kejadian, nilai ekstrim tergantung pada peubah prediktor
atau dapat dinyatakan sebagai bentuk regresi GPD. Sebaran dari peubah respon
akan bergantung pada peubah prediktor melalui parameter GPD, sebagai berikut
(Coles 2001, Friederichs 2010):
( ( X) , ( X) )
| ~
dengan peubah acak bebas dan X adalah matriks peubah prediktor. Parameter
sebaran GPD memiliki hubungan ketergantungan linier dengan peubah prediktor
, sehingga membentuk model regresi linier terampat (Friederichs 2010)
( ) =
+ ∑
=
( ) =
+ ∑
=
dengan adalah banyak peubah prediktor, invers dari ( ) dan ( ) merupakan
fungsi hubung (link function). Friederichs (2010) menyatakan bahwa statistical
downscaling dengan GPD dilakukan dengan parameter bentuk konstan ( ) =
dan parameter skala tidak stasioner.
Terdapat dua tahap dalam pendugaan nilai ekstrim dengan sebaran GPD.
Tahap pertama adalah menduga parameter menggunakan metode pendugaan
kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood Estimation, MLE). Secara umum
GPD memiliki fungsi kepekatan peluang seperti pada persamaan (1). Berikut ini
merupakan fungsi kemungkinan untuk ≠ 0 dari , …, di mana
adalah
banyaknya nilai yang melampaui ambang (Mallor et al. 2009):
( ( ), |

. . .

) =

( )



1+

(12)

( )

Fungsi ln kemungkinan dari persamaan (12) sebagai berikut:
ln ( ( ) , |

. . .

) = − ln

(

| ) = max( 0,

( )− 1+



1+

( )

(13)

Selanjutnya dari persamaan (13) diturunkan terhadap parameter yang akan diduga
dan disamakan dengan nol. Persamaan yang diperoleh tidak dalam bentuk tertutup
maka perhitungan dilakukan dengan analisis numerik dengan cara iterasi untuk
memaksimumkan fungsi kemungkinan.
Tahap kedua adalah menduga nilai ekstrim, Beirlant et al. (2004)
menyatakan bahwa model regresi GPD memungkinkan untuk menggunakan
regresi kuantil untuk menduga nilai ekstrim. Model regresi kuantil ke- untuk
batas ambang adalah model linier sebagai berikut:
)

9

adalah koefisien regresi kuantil. Selanjutnya untuk menghitung regresi kuantil
pada GPD non stasioner diduga peluang dari yang lebih besar dari bersyarat
peubah prediktor X adalah ( > | ) = 1 − . Misal didefinisikan peluang ̃ :

̃ ≡ ( | > 0, ) =
1−
Pendugaan kuantil ke-τ dari peubah acak sebagai berikut:
( )
( 1 − ̃ ) − 1 ; ≠ 0
+
( | ) =
(14)
+ ( ) log( 1 − ̃ ) ; = 0

10

3 METODE PENELITIAN
Data
Terdapat dua data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data luaran GCM
dan data curah hujan dari stasiun cuaca. Data GCM adalah data curah hujan
bulanan Climate Model Intercomparison Project (CMIP5) dari website
http://climexp.knmi.nl/ tahun 1979 sampai 2008 dengan posisi wilayah 1.25°LS18.75°LS dan 101.25°BT-118.75°BT. Terdapat 8x8 grid luasan daerah berbentuk
persegi, sehingga terdapat 64 peubah X. Curah hujan lokal diukur pada 15 stasiun
cuaca di kabupaten Indramayu dari tahun 1979 sampai tahun 2008, data yang
digunakan adalah rata-rata curah hujan dari semua stasiun.
Metode Analisis
Berikut ini adalah langkah-langkah analisis data:
1. Statistika deskriptif untuk data curah hujan sebagai informasi awal
keragaman data amatan.
2. Mereduksi dimensi peubah prediktor (data GCM) dengan menggunakan
Analisis Komponen Utama (AKU) , dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
 Sekumpulan pengamatan xij, dengan i= 1, 2,..., n dan j= 1, 2,..., p
 Membuat matriks ragam peragam atau matriks korelasi (misalnya A)
 Menentukan nilai akar ciri dengan persamaan |A-λI| = 0
 Menentukan jumlah komponen utama berdasarkan ukuran keragaman
lebih dari 90% dan nilai akar ciri lebih dari 1 (λ >1)
 Menghitung skor komponen utama (KU) berdasarkan dari model
=
, dengan adalah vektor ciri
3. Membagi data menjadi 2, yaitu data training untuk menyusun model tahun
1979-2007 dan data testing untuk validasi model tahun 2008.
4. Membagi data menjadi empat triwulan yaitu musim hujan (Desember,
Januari, Februari), peralihan musim hujan-kemarau (Maret, April, Mei),
kemarau (Juni, Juli, Agustus), peralihan kemarau hujan (September,
Oktober, November) (Wulan & Sutikno 2013)
5. Menentukan batas ambang ( ) dengan menggunakan mean residual life
plot (MRLP) untuk data curah hujan sesuai dengan persamaan (9)
 Membuat MRLP menggunakan software R dengan dengan package
“ismev”
 Menentukan nilai ambang batas dengan melihat MRLP yang mulai
linier
 Melakukan pengepasan untuk sebaran GPD, ambang batas dipilih
ketika parameter GPD, yaitu parameter bentuk ( ) dan skala (σ)
keduanya telah konstan.
6. Melakukan uji kesesuaian sebaran untuk data curah hujan yang lebih dari
nilai ambang dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dengan cara
sebagai berikut:
 Hipotesis:

11

H0: ( ) = ( ) (data telah mengikuti sebaran GPD)
H1: ( ) ≠ ( ) (data tidak mengikuti sebaran GPD)
dengan ( ) adalah sebaran teoritis tertentu, sesuai dengan yang
dihipotesisikan yaitu GPD
 Statistik uji
= sup | ( ) − ( ) |
 Pengambilan keputusan
Membandingkan nilai Dhit ung dengan D1-α pada tabel Kolmogorov
Smirnov dengan tingkat signifikan α. Tolah H0 apabila Dhit ung > D1-α
7. Menduga curah hujan ekstrim dengan GPD (tidak dipengaruhi peubah
prediktor)
 Menduga parameter bentuk (ξ) dan skala (σ) GPD untuk data curah
hujan bulanan sesuai dengan persamaan (7) dan (8).
 Menghitung tingkat pengembalian GPD dengan persamaan (11).
 Menghitung rata-rata kesalahan absolut relatif (mean absolute percent
error, MAPE) dengan rumus:
∑| − | /
× 100%

=



Menghitung root mean square error of prediction (RMSEP)
=

1

( − )

8. Model regresi GPD
 Melakukan transformasi terhadap waktu (bulan) pada data curah
hujan, karena pola curah hujan di Indonesia memiliki pola musiman
dengan transformasi sin dan cos dengan cara (Kurniawati 2013)

= −sin
= cos

dengan t adalah bulan t= 1, 2,..., 12; M adalah banyak bulan yaitu 12
bulan
 Membangun empat model regresi GPD
1. M1 adalah model dari data awal.
2. M2 adalah model M1 dengan penambahan dummy dua musim,
yaitu musim penghujan (Januari, Februari, Maret, Oktober,
November, Desember) dan musim kemarau (April, Mei, Juni,
Juli, Agustus, September).
3. M3 adalah model M1 dengan penambahan dummy 4 musim
menurut Wulan & Sutikno, 2013.
4. M4 adalah model dengan membagi data menjadi 4 musim (seperti
M3) dengan nilai ambang untuk setiap musim.
 Memilih model terbaik dilihat dari RMSEP terkecil.
 Memduga curah hujan ekstrim pada kuantil 75, 90, 95 dengan
persamaan (14).
9. Melakukan validasi dan pengujian konsistensi
 Menghitung nilai RMSEP, semakin kecil nilai RMSEP model yang
terbentuk semakin akurat dalam menghasilkan nilai dugaan.
 Menghitung nilai korelasi antara curah hujan dengan nilai dugaannya.

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Data Curah Hujan
Data curah hujan bulanan yang tercatat pada 15 stasiun penakar curah
hujan di Kabupaten Indramayu secara umum menunjukkan bahwa curah hujan
bulanan rata-rata sebesar 122.62 mm/bulan. Curah hujan tertinggi adalah sebesar
582.6 mm/bulan yang terjadi pada Bulan Januari, sedangkan curah hujan terendah
sebesar 0 mm/bulan. Curah hujan di Kabupaten indramayu memiliki nilai
simpangan terhadap rata-ratanya sebesar 110.36 mm/bulan. Nilai tersebut cukup
besar untuk menggambarkan bahwa data curah hujan cukup beragam.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa curah hujan di Kabupaten Indramayu
memiliki pola muson atau memiliki pola huruf U, yaitu memiliki satu puncak
musim hujan. Puncak musim hujan terjadi pada Bulan Januari dengan nilai ratarata curah hujan sebesar 308.8 mm/bulan. Gambar 3 menunjukkan bahwa periode
musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai Maret dan musim kemarau antara
bulan April sampai September.
600

Curah Hujan ( mm)

500

400

300

200

100

0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Bulan

Gambar 3 Pola curah hujan Kabupaten Indramayu tahun 1979-2008
Deskripsi data curah hujan Kabupaten Indramayu setiap bulan disajikan
pada Tabel 1 Rata-rata curah hujan yang termasuk dalam musim hujan relatif
tinggi. Berbeda pada musim hujan, curah hujan pada bulan-bulan di musim
kemarau relatif rendah nilai rata-ratanya berkisar antara 14.62-141.24 mm/bulan.
Simpangan baku terbesar terjadi pada Bulan Januari yaitu sebesar 126.3
mm/bulan yang merupakan puncak dari musim hujan dan terendah pada Bulan
Agustus sebesar 16.52 mm/ bulan yang merupakan puncak musim kemarau.

13

Tabel 1 Deskripsi data curah hujan (mm/bulan) tahun 1979-2008
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember

RataSimpangan
Nilai
Nilai
rata
baku
Minimum Maksimum
308.80
126.30
78.70
582.60
226.80
106.90
89.80
521.30
161.20
57.20
75.70
280.10
245.67
141.24
46.49
54.47
86.43
46.09
6.40
185.67
62.11
41.24
9.93
166.87
30.66
33.55
0.00
153.33
14.62
16.52
0.00
58.20
66.00
16.94
21.76
0.00
165.60
63.76
51.07
0.07
148.20
83.50
17.50
346.20
402.20
210.60
62.40
122.70

Komponen Utama GCM
Data GCM adalah data curah hujan bulanan Climate Model
Intercomparison Project (CIMP5) yang berupa luasan daerah berbentuk persegi.
Pada penelitian ini data GCM digunakan sebagai peubah prediktor. Terdapat
8 × 8 grid, sehingga terdapat 64 peubah prediktor X yang berada di atas kawasan
Kabupaten Indramayu. Data GCM berdimensi tinggi dan memiliki
multikolinieritas antar grid, sehingga untuk mereduksi dimensi data GCM dan
mengatasi multikolinieritas dilakukan analisis komponen utama (AKU).
Nilai akar ciri dari AKU untuk enam komponen utama (KU) disajikan
pada Tabel 2. Telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa dalam menentukan
jumlah KU yang digunakan dapat melihat nilai akar ciri yang lebih dari satu dan
keragaman kumulatif lebih dari 90%. Dengan demikian jumlah KU yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak empat KU dengan nilai akar ciri sebesar
1.16 dan keragaman kumulatif 0.9663, artinya dengan empat KU dapat
menjelaskan 96.63% peubah asal.
Tabel 2 Nilai akar ciri dan proporsi kumulatif keragaman komponen utama
KU ke1
2
3
4
5
6

Akar
Proporsi
Proporsi
ciri
kumulatif
6.650
0.692
0.692
3.440
0.186
0.878
2.078
0.068
0.945
1.160
0.021
0.966
0.670
0.007
0.974
0.610
0.006
0.979

14

Eksplorasi antara skor KU dengan respon curah hujan dilakukan untuk
melihat pola data dan ada atau tidaknya pengaruh nonlinear. Lampiran 1
memperlihatkan bahwa hubungan masing-masing skor KU dengan curah hujan
tidak membentuk pola linear melainkan menyebar mengikuti sebaran nonlinear
sehingga sudah selayaknya pemodelan dilakukan dengan mengakomodasi
pengaruh nonlinear melalui model terampat.
Penentuan Nilai Ambang
Identifikasi curah hujan ekstrim pada kabupaten Indramayu dilakukan
dengan penentuan nilai ambang dengan menggunakan MRLP. Penentuan nilai
ambang dilihat dari MRLP yang membentuk atau memiliki pola yang telah linier.
Pada Gambar 4 MRLP mulai menunjukkan pola linier untuk nilai ambang antara
140 sampai 200. Selanjutnya penentuan nilai ambang dilihat dari grafik range
pendugaan parameter, apabila nilai kedua parameter telah konstan pada suatu
nilai. Berdasarkan Gambar 5 kedua parameter telah konstan pada nilai 145, maka
nilai ambang yang dipilih pada kasus ini adalah 145.

Gambar 4 Grafik MRLP data curah hujan

Gambar 5 Grafik penduga parameter dengan ambang batas sebaran GPD

15

Penentuan nilai ambang dengan MRLP sifatnya subyektif, sehingga perlu
dilakukan pengujian secara formal agar data ekstrim yang diambil mengikuti
sebaran GPD. Uji Kolmogorov-Smirnov dilakukan untuk menguji kesesuaian data
ekstrim menyebar GPD. Hasil pengujian pada nilai ambang 145 menunjukkan
statistik hitung sebesar 0.047, nilainya lebih kecil dari nilai kritisnya 0.11 pada
α=5% sehingga tidak tolak hipotesis nol. Hal ini menunjukkan bahwa data curah
hujan ekstrim yang terpilih mengikuti sebaran GPD. Penentuan nilai ambang juga
dilakukan pada kelompok triwulan dengan menggunakan MRLP dapat dilihat
pada Lampiran 2 dan pengujian kesesuaian sebaran GPD menggunakan uji
Kolmogorof- Smirnov seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil uji Kolmogorov-Smirnov triwulan pada α = 5%
Bulan
Desember, Januari, Februari
Maret, April, Mei
Juni, Juli, Agustus
September, Oktober, November

Nilai
ambang
145
100
10
45

Statistik uji

Daerah kritis

Keputusan

0.053
0.068
0.067
0.070

0.149
0.170
0.168
0.192

Menyebar GPD
Menyebar GPD
Menyebar GPD
Menyebar GPD

Tingkat Pengembalian Sebaran GPD
Analisis tentang kejadian ekstrim memungkinkan untuk menduga
kejadian-kejadian ekstrim. Teori nilai ekstrim bertujuan untuk mengkaji perilaku
stokastik suatu proses pada suatu nilai ambang tertentu. Tabel 4 menunjukkan
hasil pendugaan parameter GPD, parameter skala , parameter bentuk
tiap
tahun menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Nilai rata-rata parameter skala
sebesar 82.76 dan parameter bentuk
sebesar 0.06 dengan simpangan baku
sebesar 1.36 dan 0.01. Nilai ini menunjukkan tingkat keragaman yang relatif
kecil.
Tabel 4 Nilai dugaan parameter GPD
Periode Analisis
1979-2003
1979-2004
1979-2005
1979-2006
1979-2007

Nilai Dugaan
u
145
145
145
145
145

82.29
83.65
81.46
81.74
84.67

0.055
0.063
0.071
0.073
0.051

Hasil pendugaan nilai ekstrim pada GPD diinterpretasikan dengan nilai
tingkat pengembalian. Prediksi tingkat pengembalian curah hujan periode tahunan
disajikan pada Tabel 5. Hasilnya menunjukkan nilai tingkat pengembalian masih

16

jauh dari nilai ekstrim aktualnya. Nilai MAPE kesalahan relatifnya cukup besar
yaitu, berkisar antara 18-47%.
Tabel 5 Prediksi tingkat pengembalian curah hujan periode tahunan
Periode
Analisis
1979-2003
1979-2004
1979-2005
1979-2006
1979-2007

Periode
Ramalan
2004
2005
2006
2007
2008

Tingkat
Pengembalian
275.99
277.71
274.69
274.25
276.29

Aktual

MAPE

521.27
235.07
409.00
356.40
439.33

47%
18%
33%
23%
37%

Hasil prediksi dari nilai tingkat pengembalian yang diperoleh memberikan
nilai RMSEP sebesar 150.56 dan nilai korelasi sebesar 0.36. Nilai kesalahan
relatif dan RMSEP yang besar serta korelasi yang kecil menunjukkan bahwa nilai
tingkat pengembalian GPD belum cukup baik untuk menduga curah hujan ekstrim
di Kabupaten Indramayu. Oleh karena itu, pendugaan curah hujan ekstrim dengan
pemodelan SD pada sebaran GPD akan dilakukan dengan pendekatan GLM atau
regresi GPD.
Regresi GPD
Pemodelan nilai ekstrim dengan GPD memanfaatkan data GCM sebagai
peubah prediktor. Berdasarkan Gambar 3, tampak bahwa pola curah hujan di
Kabupaten Indramayu mengikuti pola musiman. Berdasarkan penelitian
Kurniawati & Sutikno (2013) untuk menangkap pola musiman pada data curah
hujan ditambahkan peubah tranformasi sin cos pada bulan. Oleh karena itu peubah
transformasi ditambahkan sebagai peubah prediktor pada pemodelan nilai ekstrim
GPD.
180
160
140
RM SEP

120
100

q75

80

q90

60

q95

40
20
0
M1

M2

M3

M4

M odel

Gambar 6 Nilai RSMEP pemodelan GPD

17

Guna mendapatkan model yang terbaik untuk pendugaan curah hujan
ekstrim dengan GPD, dibangun empat model, yaitu M1, M2, M3 dan M4. Gambar
6 memperlihatkan nilai RMSEP untuk keempat model yang dibangun.
Penambahan peubah dummy dapat sedikit menurunkan nilai RMSEP, namun
dengan pembagian empat musim menunjukkan penurunan yang lebih signifikan.
Berdasarkan keempat model yang didapat nilai RMSEP terkecil pada model M4
dengan nilai RMSEP pada kuantil ke-75, ke-90, dan ke-95 adalah 78.7112,
93.6305, dan 106.5443. Dengan demikian M4 merupakan model terbaik yang
akan digunakan untuk memprediksi curah hujan ekstrim di kabupaten Indramayu.
Model M4 memberikan hasil prediksi curah hujan ekstrim yang lebih baik
bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Sari (2015) yaitu
model SD berbasis regresi kuantil dengan reduksi peubah prediktor menggunakan
Komponen Utama Fungsional (KUF) dan Komponen Utama (KU). Nilai RMSEP
pada kuantil 90, 95 untuk model regresi kuantil dengan KUF dan KU adalah
100.45, 124.69 dan 104.80, 145.83. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan
dengan RMSEP model GPD pada kuantil 90 dan 95 yaitu, 93.63 dan 106.54. Jadi
dapat disimpulkan bahwa model SD berbasis GPD lebih baik daripada model SD
berbasis regesi kuantil dengan KUF dan KU dalam memprediksi curah hujan
ekstrim di kabupaten Indramayu. Tabel 6 merupakan hasil pendugaan parameter
regresi GPD untuk M4.
Tabel 6 Nilai parameter model GPD untuk setiap musim
Bulan

Nilai
ambang

Des, Jan, Feb
Mar, Apr, Mei
Jun, Jul, Agust
Sep, Okt, Nov

145
100
10
45

Parameter

142.43
329.07
27.93
239.72

KU1

KU2

KU3

KU4

Sin
(bulan)

Cos
(bulan)

-1.91
4.72
-10.85
12.84

14.99
-5.06
-0.18
2.03

-9.24
9.23
-8.10
-56.62

20.68
-2.78
0.41
-1.42

3.80
253.40
44.61
-36.29

-21.94
95.99
137.21
-65.36

-0.36
-1.13
-0.46
-1.09

Pemodelan regresi GPD dilakukan pada setiap musim. Terdapat delapan
parameter yang diduga, tujuh diantaranya adalah parameter skala yang tidak
konstan (misal untuk batas ambang 145) dan satu parameter bentuk ( ).
( )

= 142.43 − 1.91
+ 3.8 sin(

1 + 14.99 2 − 9.24
) − 21.94 cos (
)

3 + 20.68

4

Pendugaan curah hujan ekstrim setiap kuantil dapat dihitung menggunakan
persamaan (12) dengan memasukkan nilai parameter yang ada pada Tabel 6.

18

600

Curah Hujan (mm)

500
400
300
q90
200

q75

100

akt ual

0

Bulan

Gambar 7 Prediksi model GPD dengan M4 data curah hujan tahun 2008
Gambar 7 menunjukkan bahwa model GPD dapat memprediksi curah
hujan ekstrim dengan baik. Curah hujan prediksimengikuti pola curah hujan
aktual, hanya bulan Januari tidak mengikuti pola. Curah hujan pada bulan januari
seharusnya lebih rendah dari bulan Februari namum diprediksi lebih tinggi. Bulan
Februari memiliki curah hujan tertinggi yang terjadi di tahun 2008 dengan nilai
439 mm/bulan. Nilai ini dapat diduga dengan baik pada kuantil ke-95 yakni
453.23 mm/bulan. Begitupula pada curah hujan pada bulan Maret nilai aktual
berada tepat pada kuantil ke-95, artinya pada bulan Maret terjadi curah hujan
ekstrim. Hal tersebut dapat dilihat bahwa curah hujan pada bulan Maret memiliki
curah hujan lebih tinggi dari yang biasa terjadi yaitu mencapai 263.97 mm/bulan.
Secara umum, untuk bulan-bulan yang berada di musim kemarau dan peralihan
akan lebih baik diprediksi di bawah kuantil 75, seperti terlihat pada Gambar 8.
300

Curah hujan (mm)

250
Q75

200

Q50
150
Q25
100

Q10
Q5

50

CH
0
M ar

Apr

M ei

Jun

Jul

Agu

Sep

Okt

Nov

Bulan

Gambar 8 Hasil prediksi musim peralihan dan musim kemarau

19

Gambar 8 menyajikan hasil prediksi curah hujan untuk kuantil 5, 10, 25,
50 dan 75 pada musim peralihan dan musim kemarau. Musim kemarau akan lebih
tepat diprediksi dengan kuantil ke-5, nilai curah hujan aktual bulan Juli dan
Agustus berada tepat di kuantil ke-5, sedangakan bulan Juli berada pada kuantil
ke-25. Hal tersebut dimungkinkan karena bulan Juli masih dalam proses peralihan
musim. Pola prediksi curah hujan pada musim peralihan dan musim kemarau
menjadi lebih baik pada Gambar 8 dibandingkan dengan Gambar 7 yang hanya
mampu untuk menduga curah hujan ekstrim atas.
Nilai RMSEP dapat dibagi-bagi menurut kelompok musim untuk
menentukan ketepatan kuantil dalam memprediksi curah hujan. Tabel 7
menyajikan nilai RMSEP untuk keempat musim. Nilai RMSEP terkecil pada
musim hujan pada kuantil ke-75, musim peralihan hujan kemarau pada kuantil
ke-50, musim kemarau pada kuantil ke-5 dan musim peralihan kemarau hujan
baik pada kuantil ke-45. Curah hujan pada setiap musim akan diprediksi untuk
kuantil yang sesuai.
Tabel 7. Nilai RMSEP empat musim
Musim
Hujan

Peralihan hujan-kemarau

Kemarau

Peralihan kemarau-hujan

Kuantil
75
90
95
25
50
75
5
10
25
10
25
50

RMSEP
69.47
80.90
112.29
88.74
85.77
94.16
10.08
11.43
19.52
51.87
46.39
56.98

Validasi
Validasi merupakan tahapan untuk memperoleh keakuratan hasil prediksi
dari model yang terbentuk. Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa semakin
panjang data yang akan diduga maka nilai RMSEP akan relatif semakin besar
(nilai terlampir pada Lampiran 4). Model SD berbasis GPD memberikan nilai
RMSEP terkecil pada pendugaan curah hujan ekstrim 1 tahun kedepan. Jadi dapat
disimpulkan bahwa model GPD terbaik dapat dengan baik memprediksi curah
hujan ekstrim untuk satu tahun kedepan. Namun perlu diperhitungkan konsistensi
nilai dugaannya untuk setiap waktu yang berbeda dengan menghitung nilai
korelasinya.

20

200

RM SEP

150
q75

100

q90
50
q95
0
1

2

3

4

5

Jumlah tahun prediksi

Gambar 9 Validasi dengan RMSEP berdasarkan jumlah tahun prediksi

Konsistensi Model
Model SD akan memberikan hasil yang baik jika hubungan antara peubah
respon dengan peubah prediktor tidak berubah dengan perubahan waktu dan tetap
sama meskipun ada perubahan iklim, atau model SD tetap konsisten dalam
pendugaannya pada waktu-waktu yang berbeda (Wigena 2006). Konsistensi
model GPD dapat diketahui dari hasil pendugaan yang konsisten pada berbagai
waktu pendugaan. Tabel 8 menyajikan korelasi untuk setiap peduaan pada
berbagai waktu yang nilainya tidak jauh berbeda.
Tabel 8 Nilai korelasi model GPD untuk prediksi curah hujan 1 tahun

1979-2003

Data
dugaan
2004

1979-2004

2005

1979-2005

2006

1979-2006

2007

1979-2007

2008

Data historis

Rata-rata

Simpangan baku

Kuantil

Korelasi

75
90
95
75
90
95
75
90
95
75
90
95
75
90
95
75
90
95
75
90
95

0.82
0.82
0.83
0.82
0.86
0.89
0.82
0.81
0.80
0.76
0.76
0.75
0.93
0.94
0.94
0.83
0.84
0.84
0.06
0.07
0.07

21

Nilai simpangan baku dari korelasi setiap pada 75, 90 dan 95 relatif kecil
yaitu, sebesar 0.06, 0.07 dan 0.07. Hasil tersebut lebih baik jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Handayani (2014) yang menggunakan model SD berbasis
GAM, model GPD lebih konsisten dalam memprediksi curah hujan ekstrim.
Berdasarkan nilai korelasinya model SD berbasis GAM memiliki korelasi yang
reltif rendah dibandingkan dengan model GPD yaitu, berkisar antara 0.56 – 0.79,
sedangkan model GPD berkisar antara 0.75-0.94. Berdasarkan nilai simpangan
baku model GAM memiliki simpangan baku yang lebih besar (0.098)
dibangdingakan dengan simpangan baku pada setiap kuatil model GPD.

22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penentuan nilai ambang dengan MRLP dan uji kesesuaian sebaran
Kolmogorov Smirnov untuk semua bulan diperoleh hasil sebesar 145. Nilai
ambang untuk musim hujan sebesar 145, untuk musim peralihan hujan ke
kemarau 100, untuk musim kemarau 10 dan untuk musim peralihan kemarau ke
hujan 45. Berdasarkan empat model yang dibentuk, model terbaik yang
didapatkan adalah model GPD dengan membagi data menjadi 4 musim. Hasil
prediksi curah hujan ekstrim di Kabupaten Indramayu pada bulan Januari lebih
tinggi dan tidak mengikuti pola dengan baik, namun secara umum pola dugaan
mirip dengan pola data aktualnya.
Model ini dapat memprediksi curah hujan ekstrim dengan baik pada bulan
Februari yang merupakan puncak hujan pada tahun 2008. Februari diprediksi pada
ke-95 dengan nilai 453.23 mm/bulan. Musim peralihan hujan-kemarau diprediksi
pada kuantil ke-50, musim kemarau dapat diprediksi dengan baik pada kuantil ke
5 dan musim peralihan kemarau-hujan pada kuanti ke-10. Model yang dihasilkan
dapat memduga curah hujan ekstrim dengan baik untuk pendugaan satu tahun
kedepan dan model ini merupakan model yang konsisten.

Saran
Pada penelitian ini model yang dihasilkan belum