Peluruhan Kelembagaan Lokal Subak: Analisis Konflik Kepentingan Sosial-Ekonomi di Kabupaten Tabanan Bali

PELURUH
P
HAN KEL
LEMBAG
GAAN LO
OKAL SU
UBAK:
ANAL
LISIS KO
ONFLIK K
KEPENTIINGAN SOSIAL-E
S
EKONOM
MI
DII KABUP
PATEN TABANAN
T
N BALI

HER
RLINA TARIGAN

N

 

SEKOLA
AH PASC
CASARJ
JANA
STITUT PERTA
ANIAN BOGOR
B
R
INS
BOGO
OR
2014
4

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA@

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Peluruhan
Kelembagaan Lokal Subak: Analisis Konflik Kepentingan Sosial-Ekonomi
di Kabupaten Tabanan Bali adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun ke perguruan tinggi
manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor

Bogor, November 2014

Herlina Tarigan
NRP I.363.100.101

------------------------------------------------------------------@ Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dan penelitian kerjasama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian yang terkait.

RINGKASAN

HERLINA TARIGAN. Peluruhan Kelembagaan Lokal Subak: Analisis Konflik
Kepentingan Sosial-Ekonomi di Kabupaten Tabanan Bali, dibawah bimbingan
ARYA H. DHARMAWAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, dan KEDI
SURADISASTRA
Perubahan ketersediaan dan permintaan terhadap sumberdaya air yang
terjadi oleh faktor-faktor pertumbuhan penduduk, pesatnya pembangunan
infrastruktur, serta perkembangan sektor industri dan pariwisata, telah menggeser
posisi air dari common pool resources menjadi economic commodity. Didukung
oleh produksi kekuasaan dalam bentuk undang-undang dan kebijakan, beragam
aktor dengan kuasa pengetahuan dan regim yang berbeda-beda masuk dalam
kancah politik ekonomi air serta bertarung memperebutkan akses dan kontrol
terhadap air
sehingga mendesak posisi kelembagaan pengairan tradisional
subak.
Penelitian ini bertujuan untuk : (1) menganalisa rejim pengelolaan
sumberdaya air ala subak pada masyarakat Bali dan perkembangannya; (2)
mengidentifikasi aktor dan menganalisis pertarungan kuasa pengetahuan dan
konflik akses sumberdaya air yang terjadi di Yeh Ho; (3) menganalisis dampak
pertarungan akses sumberdaya air terhadap kelembagaan pengairan subak sebagai
lembaga pendukung ketahanan pangan dan salah satu pilar pendukung pariwisata

di Bali.
Penelitian menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan:
(1) Subak merupakan kelembagaan pengairan hasil konstruksi masyarakat Hindu
Bali yang tidak semata terkait keteknikan tetapi lekat dengan nilai-nilai budaya
dan religius. Sistem sosial subak yang kompleks mengalami pergeseran sejalan
perkembangan politik regim yang berkuasa. Pengaturan internal sebagai produk
kekuasaan atas wilayah, tata hubungan, menejemen sumberdaya berdasarkan
pengetahuan lokal yang dituangkan dalam bentuk awig-awig, ditegakkan dengan
disiplin, berasas keadilan dan kebersamaan; (2) Pesatnya pembangunan dan
pariwisata massal menyebabkan meningkatnya kepentingan berbagai pihak
terhadap pemanfaatan sumberdaya air. Secara bersamaan terjadi tekanan
terhadap lahan dan ekologi yang memperkuat terjadinya krisis air. Keadaan ini
membuka arena pertarungan perebutan akses dan kontrol air yang menimbulkan
konflik. Ajang pertarungan air di Yeh Ho memiliki interrelasi yang kuat dengan
aktor global (WB, ADB, Golden Mississippi). Di tingkat empiris, koalisi negara,
swasta dan PDAM telah merebut akses petani terhadap air melalui kekuatan
wacana otoritas formal, politik pembangunan dan tekanan sosial ekonomi global;
(3) Intervensi negara dalam membangunkembangkan irigasi melalui politik
pangan yang sentralistik terbukti meningkatkan kemampuan subak memproduksi
padi namun tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan

petani. Hubungan kekuasaan yang tidak seimbang dalam ketidakadilan air turut
menekan subak, meluruhkan sistem sosial dan mengabaikan inti religius subak.
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa:
1. Teknologi keirigasian subak dan kegiatan pertanian yang dilaksanakan selalu
berkorelasi dengan ritual-ritual agama. Perkembangan politik ekonomi air dan
pandangan terhadap subak semata terkait unsur keteknikan telah menggeser

2.

3.

4.

5.

6.

subak dari lembaga yang kolektif dan otonom menjadi lembaga yang
cenderung individualis dan sangat tergantung pada pihak luar.
Penekanan konsentrasi politik pangan dengan teknologi modernisasi

memposisikan pembangunan sarana irigasi menjadi poin penting dan utama.
Alokasi anggaran pembangunan irigasi yang besar untuk pencapaian target
swasembada pangan yang disertai berbagai subsidi dan rekayasa kelembagaan
“mengusik “ otonomi dan kemandirian subak karena sangat bersifat
sentralistik. Formalisasi organisasi petani untuk kelengkapan dan kontrol
terhadap paket pembangunan secara utuh, menembus kekuasaan petani dalam
mengatur dirinya sendiri, mempersempit ruang jelajah yang menjadi batasaan
akses, menciptakan konflik peran, dan akhirnya kurang berhasil membangun
partisipasi.
Peralihan air dari komoditas sumberdaya milik bersama menjadi komoditas
ekonomi didukung oleh beragam pengaturan sebagai produk pertarungan
immaterial yang pro kapitalis telah merangsang beragam aktor pesaing subak
dalam mengakses sumberdaya air di Yeh Ho. Sistem ekonomi kapitalis yang
bersaing, individualis, dan berorientasi maximisasi profit dalam jangka waktu
relatif cepat, telah bekerja efektif dalam dukungan kebijakan negara yang
mengedepankan pentingnya pertumbuhan ekonomi atau PAD. Sistem ini
bersifat menegasi sistem ekonomi subak yang kolektif, adil, dan berkelanjutan.
Dalam konteks hubungan kekuasaan antar aktor, konflik material sumberdaya
air di Yeh Ho memiliki hubungan interrelasi yang kuat dengan negara dan
swasta nasional sebagai pusat (centre of periphery) maupun negara maju,

lembaga internasional dan perusahaan multinasional (centre of centre) yang
memanfaatkan air secara besar-besaran dan telah mendominasi negara dalam
memainkan kuasa pengetahuan, modal, dan teknologi dalam memproduksi
kebijakan. Di aras lokal, atraksi pertarungan aktor negara (pemda), PDAM,
Pengusaha AMDK, pengusaha AMIU, dan pengusaha sarana pariwisata,
pemerintah desa, dan petani subak telah menimbulkan konflik material.
Meluruhnya lembaga lokal subak yang ditunjukkan oleh gejala melemahnya
pertahanan ekonomi dan sosial subak dapat dilihat pada semakin tergantungnya
subak pada bantuan pihak luar, menguatnya disintegrasi antar maupun intern
subak, dan subsistem sosialnya yang cenderung mengalami disfungsi. Politik
ekonomi dan pembangunan yang diterapkan negara lintas dominasi regim,
secara sistemik telah melemahkan subak dengan terlepasnya satu per satu
unsur-unsur keotonomiannya. Otonomi subak saat ini tidak lagi berfungsi
sebagai kekuatan melainkan faktor penghambat integrasi pengelolaan
sumberdaya air.
Peluruhan subak sekaligus ancaman salah satu daya tarik
pariwisata Bali yang potensial menekan pendapatan dari sektor kebanggaan
Bali ini.
Retorika pemerintah mengenai pentingnya peran petani subak dalam
memelihara ketahanan pangan lokal dan nasional, memerlukan sikap politik

yang konsisten berpihak dengan memperhatikan prinsip dasar bahwa petani
hanya bisa menghidupi orang lain termasuk negara jika ia sendiri bisa
melanjutkan kehidupannya.

Kata kunci : Tabanan, kelembagaan subak, konflik kepentingan, peluruhan.

SUMMARY
HERLINA TARIGAN. Subak Local Institution Weakening: Conflicts Analysis
of Socio-Economic Interests in Tabanan Regency, Bali, under the guidance of
ARYA H. DHARMAWAN, SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, and KEDI
SURADISASTRA
Changes in supply and demand for water resources and those affected by
factors of population growth, rapid infrastructure building, and development of
industrial and tourism sectors, have shifted water’s position from common pool
resources to economic commodity. Supported by the government’s authority such
as regulations and policies, various actors with different power knowledge and
regimes intervene the arena of water economic politics and fight for access and
control on water, pushing aside subak’s traditional irrigation institutional position.
The objectives of this research were: (1) to analyze water resource
management regime a la subak on Bali society and its development; (2) to

identify actors and to analyze the competition for power knowledge and water
resource access conflict taking place in Yeh Ho; (3) to analyze the impacts of
water resource access competition on subak irrigation institution as the institution
supporting food security and one of the pillars sustaining tourism in Bali.
The research used a qualitative method. Research findings show that: (1)
Subak is an irrigational institution constructed by Bali Hindu society that is not
only related to engineering but also attached to cultural and religious values.
Complicated subak social system shifts in line with the development of the ruling
political regime. Internal regulation as the product of authority over region,
system of relationships, resources management based on local knowledge as
outlined in the form of awig-awig, was enforced with discipline by the principle
of justice and togetherness; (2) Rapid development and mass tourism encourage
increased interest of many parties in water resource utilization. In the same time,
pressures on land and ecology amplify water crisis occurrence. This situation
opens up a fighting arena for water access and control which caused conflict.
Arena for water fight in Yeh Ho has a strong interrelation with global actors (WB,
ADB, and Golden Mississippi). At empirical level, government coalition and
private and state-owned water companies have taken farmers’ access to water
through formal authority discourse, politics of development and global social
economic pressures; (3) Government intervention in building and developing

irrigation through centralized food politics was proven to improve subak’s ability
to produce paddy but was unable to increase economic growth and farmers’
welfare. Imbalanced authority relations in water injustice also depress subak,
disintegrate social system, and ignore subak religious essence.
Based on the analysis results, it can be concluded that:
1. Subak irrigation technology and farming activities are always correlated with
religious rituals. Development of water economic politics and a view toward
subak related to engineering element only have shifted subak from a collective,
autonomous institution to an institution tending to be individualistic and very
dependent on outside parties.
2. Emphasis on concentration of food politics with modernization technology has
positioned irrigation facility construction into an important and primary point.

3.

4.

5.

6.


Large budget allocation for building irrigation to achieve food self-sufficiency
target accompanied by various subsidies and institutional engineering disrupt
subak’s autonomy and self-reliance because it is very centralistic. Farmer
organization formalization for comprehensiveness and control toward
development package as whole penetrates farmers’ power in controlling
themselves, limits access boundary, creates a role conflict, and finally is less
successful in building participation.
Transition of water from common pool resource commodity to economic
commodity supported by various arrangement as immaterial competition
product which is pro capitalist stimulates various subak competing actors in
accessing water resource in Yeh Ho. Capitalistic economic system which are
competing, individualistic, and profit maximization oriented in a relatively
short time span, affects effectively in the support of government policies
prioritizing the importance of economic growth or PAD (regional income).
This system has a nature negating subak economic system that is collective,
fair, and sustainable.
In the context of power relation among actors, water resource material conflict
in Yeh Ho has strong interrelationship with government and national privates
as the center (center of periphery), as well as developed countries, international
institutions and multinational companies (center of centers) that utilize water
massively and dominate the nation in advancing power knowledge, capital, and
technology in policy making. At local level, the attraction of competition
among government actors (regional government), state-owned water company
(PDAM), packed water (AMDK) entrepreneurs, AMIU entrepreneurs, and
tourism facility entrepreneurs, village government, and subak farmers have
induced material conflict.
Subak local institution weakening is indicated declining economic and social
security of subak as observed by more and more dependency of subak on the
assistance from outside parties, escalated weakening among subaks as well as
internal subak, and its social subsystem that tends to dysfunctions. Economic
politics and development implemented by cross regimes in the country
systematically weaken subak through separation of its autonomous elements
gradually. Currently, Subak’s autonomy is not functioning as a power, but as a
constraining factor of water resource management integration. Subak
weakening becomes a threat to one of Bali’s tourism attraction that will
potentially reduce income from this province’s prominent sector.
Government’s rhetoric regarding the importance of subak farmers in
maintaining both local and national food security needs a political attitude
consistently paying proper attention to the basic principle that farmers can only
support other people, including the nation, if only they can sustain themselves
first.

Keywords: Tabanan, subak institution, conflict of interest, weakening.
 

@Hak Cipta milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian,, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB
 

PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL SUBAK:
ANALISIS KONFLIK KEPENTINGAN SOSIAL-EKONOMI
DI KABUPATEN TABANAN BALI

HERLINA TARIGAN

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada ujian tertutup :
1. Dr. Rilus A. Kinseng (Dosen Sosiologi Pedesaan IPB)
2. Dr. Satyawan Sunito (Dosen Sosiologi Pedesaan IPB)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Prof. Endriatmo Soetarto (Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB)
2. Dr. Andin H. Taryoto (Dosen Sekolah Tinggi Perikanan KKP)
 

Judul
Nama Mahasiswa
NRP
Program Studi

: Peluruhan Kelembagaan Lokal Subak: Analisis Konflik
Kepentingan Sosial-Ekonomi di Kabupaten Tabanan Bali
: Herlina Tarigan
: I.363.100.101
: Sosiologi Pedesaan

Menyetujui:
Komisi Pembimbing

Dr. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr
Ketua

Prof. Dr. SMP Tjondronegoro
Anggota

Prof. Dr. Kedi Suradisastra
Anggota

Mengetahui:

Koordinator Program Mayor
Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr
NIP. 19630914 1990003 1 002

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
NIP 19610905 198609 1 001

Tanggal Ujian : 3 Nopember 2014

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang penuh kasih,
atas segala karunia dan penyertaan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Penelitian berjudul “Peluruhan Kelembagaan Lokal Subak: Analisis
Konflik Kepentingan Sosial-Ekonomi di Kabupaten Tabanan Bali” ini berangkat
dari kegelisahan terhadap kondisi pangan di Indonesia yang relatif rawan akibat
terancamnya kelembagaan petani yang mengelola sumberdaya lahan dan air, serta
politik ekonomi yang kurang berpihak.
Disertasi ini dapat diselesaikan berkat kontribusi dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada :
1.

Bapak Dr. Arya H. Dharmawan MSc Agr, sebagai ketua komisi pembimbing,
Prof. Dr. SMP Tjondronegoro, dan Prof. Dr. Kedi Suradisastra sebagai
anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukan, arahan, maupun
kritikan dalam analisis serta penulisan disertasi ini. Lebih dari itu, penulis
mendapatkan banyak pembelajaran yang ruang lingkupnya jauh lebih luas
dari sekedar substansi. Bagi penulis, komisi pembimbing ini merupakan tim
kerja yang solid, sinergis, memotivasi, dan selalu melatih sensitifitas
intelektual dalam memahami dan memaknai suatu realitas sosial.

2.

Bapak Drs. Satyawan Sunito, PhD, Dr. Rilus A. Kinseng, Prof. Dr.
Endriatmo Sutarto, dan Dr. Andin H. Taryoto yang banyak memberikan
pengayaan dari berbagai sudut pandang sehingga disertasi ini bisa lebih
dilengkapi. Secara khusus kepada Prof. Endriatmo penulis menghaturkan
salam hormat, karena sepanjang proses pengujian telah meyakinkan penulis
bahwa karya yang dilakukan dalam kesungguhan dan kerendahan hati
merupakan hal berharga sehingga perlu terus diupayakan secara konsisten.

3.

Prof. I Wayan Windia, Prof. Suparta, dan Dr. I W. Alit Wiguna yang telah
membukakan jalan, memberi kesempatan berdiskusi dan berinteraksi dengan
pihak-pihak yang peduli masalah subak, bahkan memberikan berbagai
referensi buku maupun nara sumber penting sehingga mempermudah penulis
memahami persoalan yang ada.

4.

Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di
program doktoral Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.

5. Bapak Mangku Karda, Bapak Parna, Bapak Wayan Widana, Dede Ismail, dan
Ibu Intan di Pengadilan Militer Denpasar yang banyak membantu selama di
lapangan maupun menerjemahkan berbagai dokumen yang hanya tersedia
dalam bahasa Bali, semua sangat memudahkan pekerjaan penulis.
6.

Para sahabat yang banyak memberikan perhatian, dukungan, dan motivasi
baik selama kuliah maupun penyelesaian disertasi ini. Persahabatan indah
yang kita jalani menjadi bagian penting dalam episode kehidupan penulis
yang mengajarkan bahwa hidup memang harus saling menghargai, saling
peduli dan saling mengisi untuk saling melengkapi.

7. Suami dan anak-anak tercinta yang dengan caranya masing-masing sudah
mendukung, mendoakan, menyemangati, dan menciptakan situasi yang
nyaman sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini dengan semangat
dan sukacita. Secara khusus ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
adik Johana, Satrianos dan Ibunda tercinta yang selalu membantu dikala
penulis menghadapi kesulitan mengatur waktu dan kesibukan lain yang juga
menjadi kewajiban penulis.
8. Terakhir, ucapan terima kasih dan penghargaan tulus penulis sampaikan
kepada para petani di wilayah Subak Agung Yeh Ho, para pekaseh, bendesa
dinas maupun adat, Pandita, aparat diberbagai tingkatan dan secara khusus
kepada keluarga Bapak Made Semade (Pugur) karena dengan jujur dan
terbuka semua telah berkenan memberikan data dan informasi yang penulis
butuhkan. Mereka selalu menyambut penulis dengan hangat dan
menyampaikan informasi yang digali secara antusias. Untuk merekalah
disertasi ini penulis dedikasikan.
Semoga bermanfaat.

Bogor, November 2014

HERLINA TARIGAN
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

DAFTAR ISI

Hal
 

.................................................................................

xvi

DAFTAR MATRIKS ............................................................................

xvi

DAFTAR GAMBAR .............................................................................

xvii

DAFTAR KOTAK .................................................................................

xviii

DAFTAR LAMPIRAN............................................................................

xviii

GLOSSARY ............................................................................................

xix

DAFTAR TABEL

I PENDAHULUAN ………………………………………...............

1

Latar Belakang Penelitian …………………............................................
Sistem Pengairan Subak di Bali ..……....…………………….....
Ancaman Krisis Air ..……...………………………… ……….…
Rumusan masalah …………………......……………………………….
Pertanyaan Penelitian ………………………………………………….
Tujuan Penelitian
…………………………………………………..
Kegunaan Penelitian ……………………………………………………

3
4
6
8
8
8

II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….........

9

Perspektif Ekologi Politik dalam Persoalan Sumberdaya Alam…………
Kerangka Teori dan Konsep Penelitian
………………………..… .
Pengaturan Sumberdaya Alam Milik Bersama ..….………..…….
Krisis Air ....……………………………. ……. ……………….
Kelembagaan Pengairan Tradisional Subak ...…………….........
Konflik Sumberdaya Alam
...……………………………….
Konsep dan Fungsi Kelembagaan
..………….........................
Pendekatan Aktor dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber
daya.. ... ........................................................................................
Pertarungan Pengetahuan dan Kekuasaan Sumberdaya Alam di
Ruang
Gagasan..……………………………… ……….........
Pertarungan Akses Terhadap Sumberdaya Air..……………. …..
Arena Konflik Sumber Daya Air………………………. ……. ...
Kerangka Pemikiran .…………………………………………….. ........

9
17
18
20
21
22
24
25
27
29
35
36

 
 

III METODOLOGI PENELITIAN …………………………........

39

Acuan Kerja Penelitian ………………………………………. …….....
Hipotesis Pengarah ……………………………………. …. .. .
Ruang Lingkup Penelitian…………………………………… ....
Paradigma dan Perspektif Penelitian ........ ……………………………
Lokasi dan Sasaran Penelitian …………………………..…....................
Data dan Prosedur Pengumpulan Data……………….....…….................
Keterbatasan Penelitian ………………………………… ...…. ……...
Teknik Analisis Data …………………………………...........................
Pelaksanaan Penelitian ………………………….. ……… ................

39
39
39
39
41
42
43
44
45

IV SUBAK AGUNG YEH HO: POTRET TUMPUAN PANGAN
BALI .................................................................................

49

Transformasi di Bali ……………………. …………….…… ...............
Tabanan: Basis Pertanian Pangan di Bali
……………………….. ….
Daerah Aliran Sungai Yeh Ho: Tumpuan Pengairan Pertanian Tabanan
Subak Aya III dan Aseman IV sebagai Representasi Subak Agung Yeh
Ho .............................................................................................................
Subak Tunggal Aya III…………………. ………………………..
Subak Tunggal Aseman IV......…………………………. .............
Iktisar ……………………………………………………………….....

49
51
58

V REJIM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR ALA SUBAK

71

Subak: Konstruksi Sosial Masyarakat Tani Hindu Bali…………..........
Organisasi dan Menejemen Subak ………………………………. . ....
Sistem Pengaturan Internal Subak ………………………………. ......
Perkembangan Kelembagaan Pengairan Subak
…………………..
Iktisar ……………………………………………………………….. ..

71
80
86
87
90

VI. PERTARUNGAN KEPENTINGAN SUMBERDAYA AIR ........

91

Subak dan Politik Ekonomi Sumberdaya Air ……………………......
Masa Pra Kolonial (Tahun 1072-1602) ...………………….... ..
Masa Pendudukan Kolonial (1602-1945) ...………................ ..
Era Pembangunan Orde Baru (1945-1997) ...………………. ....
Era Reformasi (Tahun 1997-sekarang) ……………………. ....
Aktor dan Ideologi Politik Pengelolaan Sumberdaya Air di Yeh Ho .. ...
Aktor Lingkungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Air .................
Pertarungan Kuasa Pengetahuan Sumberdaya Air Era Reformas .............
Interrelasi Kasus Lokal dengan Global …………... …............................
Awig-awig sebagai Hukum Adat Masyarakat Subak versus Hukum
Formal……………………………………………... ………...................
Iktisar ……………………………………………….. ……………......

91
91
94
96
100
103
111
115
123

63
64
66
69

124
127

VII PELURUHAN DAN DISINTEGRASI SUBAK………...........

130

Keterancaman Subak …………………………………………. ………
Tekanan Ekologi dan Wilayah Spasial Subak ……………..…… …. …
Filosofi Masyarakat Bali dalam Pengelolaan dan Pemeliharaan Air ….
Disintegrasi Menejemen Sumberdaya Air di Yeh Ho ………………....
Imperialisme Politik Ekonomi Sumberdaya Air
…………..............
Dampak Perubahan Ekosistem Terhadap Sektor Pertanian ...…............
Iktisar ………………………………………………………………. ......

131
133
139
140
145
149
151

VIII KONSEPTUALISASI KONFLIK KUASA PENGETAHUAN
DAN PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL SUBAK .......

153

Merangkum Kekuatan Otonomi Subak ……………….....……….........
Konflik Kuasa Pengetahuan Sumberdaya Air: Hubungan Tidak
Seimbang .. ..............................................................................................
Marginalisasi dan Pelemahan Subak ……………………….........
Iktisar ………………………………………………….…................

153

IX SIMPULAN DAN SARAN
……………………………...........
Simpulan
………………….………………………………….……
Saran
……………………….…………………………………….

165
165
167

154
160
164

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

 

 

 
 

DAFTAR TABEL

No

Nama Tabel

Hal

Tabel 1

Keragaan Wilayah Kabupaten Tabanan …………………..

55

Tabel 2

Luas Panen dan Produksi Padi di Bali tahun 2007-2011……..

57

Tabel 3

Perkembangan Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kabupaten
Tabanan ……………………………………………………..

58

DAFTAR MATRIKS

No

Nama Matriks

Hal

Matriks 1

Keragaan Aktor dan Regim Studi Ekologi Politik ………….. 16

Matriks 2

Peta Sejarah Politik Ekonomi Air

Matriks 3

Peta Aktor dan Ideologi Politik Sumberdaya Air di Yeh Ho ...109

Matriks 4

Konflik Kuasa Pengetahuan di Yeh Ho …….……………… 121

Matriks 5

Evolusi Politik Sumberdaya Air dan Sistem Pengelolaan
Oleh Subak …..…………………………………………….... 122

Matriks 6

Aspek Imperialisme Air di Yeh Ho ….…………………… . 149

Matriks 7

Bentuk dan Dampak Aspek Penyebab Kehancuran Subak … 150

Matriks 8

Indikator Peluruhan Subak

………………………. 102

..………………………………. 163

DAFTAR GAMBAR

No

Nama Gambar

Hal

Gambar 1

Hubungan Struktural Hipotetis Organisasi Sumberdaya Air
Menurut Kerangka Berfikir Galtung ......................................... 34

Gambar 2

Kerangka Pemikiran Penelitian ……………………. …......... 37

Gambar 3

Arena Konflik Sumberdaya Air ………………………. … .... 38

Gambar 4

Peta Wilayah Kabupaten Tabanan ............................................ 54

Gambar 5

Peta DAS di Provinsi Bali

Gambar 6

Skema Das Yeh Ho

Gambar 7

Struktur Persubakan ………………………………. ……… 67

Gambar 8

Perubahan Sistem Sosial Subak dalam Pengelolaan Air dan
Produksi Pangan ……………………………………............

76

Gambar 9.

Sketsa Subak Berbasis Hidrologis di Bali…………………...

77

Gambar 10

Bangunan Bagi atau temuku pemaron pada Subak …..........

79

Gambar 11

Struktur Prajuru atau Kepengurusan Subak ……………….. 82

Gambar 12

Bagan Organisasi Subak Gde …………………………… ….

84

Gambar 13

Bagan Organisasi Subak Tunggal ………………………….

86

Gambar 14

Aktor yang Berkepentingan terhadap Air di Yeh Ho ………. 110

Gambar 15

Babak Penting Pertarungan Pengetahuan dan Akses
Sumberdaya Air ……………………………………………

…………………………….....

56

………………………………… …....

61

123

Gambar 16

Hubungan Timbal Balik Antar Komponen Tri Hita Karana .. 125

Gambar 17

Keterancaman Subak dan Ketahanan Pangan

Gambar 18

Filosofi Sumberdaya Air Masyarakat Bali

Gambar 19

Ketergantungan dan Ketidakseimbangan Hubungan Aktor ... 148

……………

132

…………........... 140

 
 

DAFTAR KOTAK

No

Nama Kotak

Kotak 1

Konflik Air di Waduk Telaga Tunjung ………………….. 62

Kotak 2

Kuasa Pengetahuan Petani Subak tentang Air ……………. 72

Kotak 3

Pergeseran Peran dan Fungsi Klian Subak ……………... 100

Kotak 4

Proses Pengambilalihan Mata Air Gembrong .................... 119

Kotak 5

Berkembangnya Land Conversion di Wilayah Hilir Yeh
Ho
……………………………………………….. ...

Kotak 6

Hal

135

Titik kritis persoalan air di Yeh Ho …………………... 144

DAFTAR LAMPIRAN

No

Nama Lampiran

Hal

1

Upacara Keagamaan Subak ………………………. …… 174

2

Struktur Subak Agung Yeh Ho ……………………….

175

3

Subak Agung Yeh Ho dalam Gambar ………………….

176

GLOSSARY
Aci

: perangkat persembahan dalam upacara (ritual)

Awig-awig

: tata peraturan yang menjadi anggaran dasar organisasi
subak

Awungan

: terowongan batu terjal yang dibuat anggota subak untuk
mengalirkan air dari pegunungan kea rah persawahan
subak

Ayahan

: Kewajiban dalam bentuk tenaga kerja yang harus
dikeluarkan oleh anggota subaksesuai dengan hak atas
air yang diterimanya

Bale Timbang

: suatu tempat di tengah sawah yang biasa digunakan
untuk mengambil keputusan terkait pelanggaran
terhadap aturan yang diberlakukan.

Canangsari

: sesajen kecil terbuat dari pucuk daun kelapa berisi bunga
dan bahan-bahan lain yang dipakai sebagai kelengkapan
pada saat umat Hindu Bali melakukan sembahyang.

Empelan

: bangunan penangkap air di sungai beserta intake yang
merupakan bangunan utama. Sering juga disebut dam
atau bendung.

Juru Arah

: pembantu umum

Juru Raksa

: orang yang bertugas mengelola keuangan subak atau
bendahara.

Karmapala

: hukuman akibat pelanggaran terhadap aturan dan nilai
agama yang dianut dimana pelaku akan menerima sanksi
atau hukuman yang setimpal dengan kesalahan yang
dilakukan dari Yang Maha Kuasa

Klian subak

: Sebutan kepada seseorang yang ditunjuk dan diberi
kewenangan serta tanggungjawab sebagai ketua subak,
baik pada subak tunggal, gde,maupun subak agung.

Krama subak

: Anggota subak atau masyarakat subak.

Pasedahan

: Staf kepercayaan raja yang menangani pajak dan upeti
untuk raja.

Pakraman

: Sebutan untuk desa adat.

 
 

Pekaseh

: Sebutan lain untuk klian subak atau ketua subak.

Penyarikan

: Orang yang bertugas mengurus surat-menyurat dalam
subak, atau sekretaris.

Prajuru

: Orang-orang yang ditunjuk dan diberi tugas dan
tanggungjawab sebagai pengurus subak, baik pada subak
tunggal, subak gde, maupun subak agung.

Subak gde

: Wadah koordinasi beberapa subak tunggal yang
memanfaatkan air dari satu bendung atau dalam satu
daerah irigasi.

Subak agung

: Wadah koordinasi antar system irigasi pada satu induk
sungai atau beberapa aliran sungai.

Tek-tek

: Penampang datar dengan lebar sekitar 4 jari yang dipakai
sebagai ukuran bukaan pembagian air yang disesuaikan
dengan luas lahan yang akan diairi.

Talikunda

: Saluran yang mendistribusikan air secara adil untuk setiap
petakan sawah, sering disebut saluran cacing.

Tembuku aya

: Bangunan bagi utama untuk pembagian air ke subaksubak.

Tempek

: Bagian yang lebih kecil dari subak atau sub subak yang
bersifat semi otonom. Biasa juga disebut banjaran atau
munduk.
.
: Cekungan –cekungan di dasar dan dinding sungai yang
berfungsi menahan air.

Tibubiu

Tri Hita Karana

: Kepercayaan masyarakat Hindu Bali bahwa pencapaian
kebahagiaan melalui harmonisasi hubungan dengan Sang
Pencipta, sesama manusia, dan dengan alam.

Yeh

: Sungai atau anak sungai

 

 



I PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Air merupakan sumberdaya alam penting bagi kehidupan manusia yang
berfungsi sebagai konsumsi air bersih, keperluan kebersihan dan kesehatan,
maupun kegiatan perekonomian seperti industri, pertanian, dan pariwisata. Khusus
di bidang pertanian, air merupakan salah satu sumber penggerak agraria,
menduduki posisi strategis dalam sejarah perkembangan pertanian, khususnya
pertanian sawah yang menjadi basis utama ketahanan pangan nasional.
Pemanfaatan air untuk kegiatan pertanian melalui penataan sistem pengairan
sudah dilakukan sejak kegiatan pertanian masih bersifat tradisional. Fase awal,
sistem pengairan pertanian sangat sederhana dengan mengalirkan air secara bebas
(free intake) dan sumber air yang terdapat disekitar lahan. Penguasa tidak
membebani rakyat dengan kewajiban terkait air, tetapi lebih kepada kewajiban
memberi upeti hasil panen atas lahan yang dikelola. Pengairan kemudian
berkembang sampai sistem yang rumit dan kompleks dengan memanfaatkan
bendungan irigasi permanen, waduk, dan pompa. Sekitar pertengahan abad 19,
pemerintah kolonial Belanda sudah menginisiasi pembangunan sistem irigasi
skala besar sehingga banyak sawah tadah hujan dikonversi menjadi sawah
beririgasi (Pasandaran, 2006). Pada fase ini mulai timbul kewajiban petani
membayar sewa bendungan kepada pemerintah kolonial.
Penataan air untuk keperluan usahatani selalu mengandung konsep
kolektifitas karena prinsipnya memanfaatkan sumberdaya secara bersama
(common resources). Oleh karena itu, perkembangan pengairan memunculkan
beragam lembaga pengairan baik bersifat lokal hingga lembaga pengairan
modern yang diinisiasi pemerintah atau LSM. Pemerintah selalu berkepentingan
mengatur pemanfaatan air agar bisa lebih efisien dan dapat diakses oleh semua
orang, termasuk untuk tujuan konsumsi air bersih dan keperluan lainnya. UUD
1945 pasal 33 menyatakan kewenangan mengelola sumberdaya air sebagai hak
dan tanggungjawab negara untuk digunakan
sebesar-sebesarnya bagi
kesejahteraan rakyat.
Kelimpahan air dengan sumber dari hutan yang subur, sungai dan anak
sungai yang jumlahnya banyak, merupakan faktor lingkungan yang diadaptasi
dalam mengkonstruksi budaya pertanian sawah sebagai budaya khas petani
Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali. Hal ini telah membuat para penguasa
optimis mengadopsi modernisasi pertanian melalui program revolusi hijau,
mengadopsi teknologi yang membutuhkan pengairan secara intensif. Persyaratan
pengairan yang cukup dan tersedia sesuai kebutuhan tanaman, bukan persoalan
bagi keberlangsungan program seperti Bimas yang akhirnya menghantar
Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984.
Besarnya peran sumberdaya air dalam penyediaan pangan mengukir sejarah
pengairan pertanian di Indonesia sekaligus menunjukkan dinamika aktor yang
dominan dalam penguasaan sumberdaya air. Pada era raja-raja, peran petani
sangat besar. Sumberdaya lahan dan air diakui sebagai milik raja sehingga
penguasa berkepentingan terhadap upeti dari hasil usaha petani. Pendudukan
kolonial
yang membangun sarana irigasi permanen, mengharuskan petani
membayar sewa sarana yang ada, sekalipun pembangunan ini sebenarnya

2
 

memiliki kepentingan perdagangan negara kolonial sendiri. Peran aktor kolonial
sangat dominan. Masyarakat yang bekerja keras untuk mencapai produksi
optimal, namun tetap miskin karena hasil produksi sebagian besar diserahkan pada
penguasa.
Setelah negara kesatuan republik Indonesia berdiri, sejak awal Indonesia
merdeka hingga paruh waktu era Orde Baru, negara mengambil alih peran sebagai
aktor dominan. Hampir semua sumberdaya alam termasuk kelembagaannya
dikooptasi negara secara ketat melalui kebijakan non-dialogis dan bersifat topdown (Dharmawan, 2005).
Strategi modernisasi padat teknologi dan
pendampingan yang kuat dari negara berhasil meningkatkan produksi hingga
mencapai swasembada pangan.
Pertumbuhan produksi dinilai sebagai
keberhasilan negara dalam melaksanakan pembangunan dengan bukti
pertumbuhan ekonomi yang setara dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya, paruh akhir era Orde Baru hingga awal era reformasi, negara
mengendurkan perannya seiring dengan peran pasar yang semakin menguat.
Sumberdaya alam yang bersifat open accsess merangkak diatur dan
dikomersialisasikan.
Upaya penanganan pengairan dengan pembangunan
bendungan dan waduk menggoreskan sejarah pertarungan kepentingan yang
panjang dan dinamis, seperti kasus Kedung Ombo, Gajah Mungkur, dll.
Pertumbuhan penduduk, perkembangan sektor wisata dan beragam industri,
meningkatkan permintaan terhadap sumberdaya air. Meski belum diatur dalam
undang-undang yang formal, air mulai merangkak menjadi komoditas ekonomi
yang dieksploitasi besar-besaran, diolah, dan dimanfaatkan untuk mengisi
kebutuhan pasar.
Kritik terhadap kedua fase diatas memunculkan dinamika baru dalam politik
ekonomi sumberdaya air. Secara formal negara semakin menarik diri dan
membuka ruang partisipasi lebih besar bagi masyarakat untuk merencanakan,
mengelola, dan mengontrol pemanfaatan sumberdaya air. UU No.7 tahun 2004
tentang sumberdaya air, diperkuat dengan UU No. 22/1999 dan UU No 32/2004
tentang otonomi daerah, menegaskan kuatnya kemauan politik untuk mengurangi
dominasi negara diwujudkan sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi
daerah, lembaga tradisional, maupun masyarakat adat.
Meski demikian UU No.7 tahun 2004 khususnya pasal 7 memuat tentang
Hak Guna Usaha Air yang membuka celah adanya hak investor untuk mengelola
dan mengusahakan air. Peluang ini direspon cepat oleh para investor untuk
menanamkan investasi di sektor air. Wacana konsumsi air minum dalam kemasan
(AMDK) dan air minum isi ulang (AMIU) merupakan manifestasi pengetahuan
yang mengawali perkembangan industri air yang marak sehingga mengancam
kebutuhan air untuk pertanian. Setelah sekian lama berada pada rejim otoriterian,
kebijakan pengalihan tanggungjawab dan wewenang dari negara kepada daerah
atau masyarakat (devolusi) menimbulkan beragam reaksi yang menunjukkan
pencapaian demokratisasi yang belum efektif (Adiwibowo at all, 2010).
Perubahan dominasi aktor yang mewarnai perjalanan pembangunan
pertanian dan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia, berlangsung pada saat
beragam sumberdaya alam seperti hutan, tambang, lahan, perikanan, bahkan air,
telah dieksploitasi besar-besaran. Kuantitas maupun kualitas lingkungan sudah
sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Realitasnya, otonomi daerah
belum berhasil sepenuhnya mendudukkan aktor grassroots sebagai perencana,

 

 



pelaksana, dan pengontrol jalannya pembangunan pertanian. Proses demokratisasi
yang belum efektif ini diindikasikan oleh kekuatan politik rakyat yang seringkali
hanya diakui dalam proses pemilihan pemimpin dan wakil rakyat, selanjutnya
menjalankan wewenang dan kekuasaannya dengan memanfaatkan sumberdaya
alam yang ada sebesar-besarnya untuk tujuan meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD). Pencapaian tujuan di atas menghadapkan grassroots pada
kekuatan pasar yang didukung oleh aktor negara. Akibatnya menimbulkan
beragam corak konflik. Pada beberapa kasus, secara material masyarakat yang
hidup dekat dengan sumberdaya alam hanya bisa menonton kekayaan alamnya
dieksploitasi dan dibawa menjauh dengan meninggalkan dampak lingkungan yang
membahayakan dalam jangka panjang. Resiko warisan kapitalis ini menjadi
tanggungan beberapa generasi ke depan yang sulit diperkirakan masa
pemulihannya. Kasus illegal logging dihampir seluruh wilayah hutan subur
Indonesia, kasus tambang batu bara di Kalimantan, hingga tambang emas di
Papua, menunjukkan bagaimana kekayaan sumberdaya alam Indonesia dibawa
dan dimanfaatkan oleh orang luar dengan meninggalkan resiko lingkungan yang
parah bagi masyarakat setempat. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam aliansi
aktor negara dan swasta menciptakan kesenjangan, yang menjebak kelompok
grassroots dalam kemiskinan karena terpaksa mengais rejeki dengan beragam
cara (sistem usahatani, penangkapan ikan, tambang batu/pasir/emas/timah dalam
skala kecil-kecilan). Kondisi seperti ini justeru dituduh oleh negara maupun
dunia internasional sebagai
“liar” dan penyebab kerusakan lingkungan
(Suradisastra at all, 2009).
Sistem Pengairan Subak di Bali
Bali merupakan salah satu kantong beras nasional yang dikenal memiliki
kelembagaan pengairan tradisional subak. Fungsi utama subak adalah mengelola
air irigasi untuk memproduksi pangan tanpa mengabaikan ekosistem air itu
sendiri. Sifat subak sangat adaptif, terbuka dengan introduksi baru, dan sangat
adil dalam mengatur air bagi kepentingan anggotanya. Subak dikenal dengan alat
keirigasian yang nampak sederhana tapi merupakan salah satu organisasi petani
pemakai air paling canggih di seluruh dunia (Disparbud (2011).
Kepentingan pemenuhan pangan secara lokal maupun nasional
menempatkan posisi subak pada realitas kelembagaan yang sangat penting.
Kekaguman pada kelembagaan ini terletak pada kelentingannya menghadapi
intervensi negara. Program pembangunan pertanian yang dirancang oleh pusat
dilaksanakan oleh petani Bali dengan melakukan modifikasi sehingga
kelembagaan subak dengan prinsip-prinsip yang dianut tetap berjalan
sebagaimana mestinya. Meski demikian, subak memiliki kelemahan untuk
bertahan dalam menghadapi perubahan-perubahan eksternal (Windia, 2010). Laju
pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik yang pesat membutuhkan bahan
yang diambil dari alam sehingga kegiatan seperti penambangan pasir dan batu,
penebangan hutan, alih fungsi lahan, pengolahan lahan sumber resapan air, hingga
pemanfaatan sumber-sumber air untuk kepentingan di luar pertanian
menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada ketersediaan air.
Pertambahan penduduk, pembangunan sarana prasarana, kegiatan ekonomi,
merupakan faktor yang secara massif meminggirkan kelembagaan subak. Ini
menandaskan bahwa subak yang sangat otonom, dalam perkembangannya sangat

4
 

dipengaruhi oleh situasi eksternal terkait perkembangan politik, ekonomi, dan
lingkungan.
Penelitian ini bermaksud melakukan kajian terhadap subak dengan
mentautkan ekonomi politik dan ekologi. Di negara dunia ketiga, krisis ekologi
akibat eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, sebagian besar berpangkal
pada ketidaksetaraan relasi kekuasaan dan selalu ditemukan kelompok atau aktor
yang termarjinalkan (Bryant and Bailey, 1997; Forsyth, 2003). Masalah
lingkungan tidak bisa diisolasi dari konteks ekonomi dan politik kelahiran
masalah tersebut, baik dari sisi waktu, tempat, maupun proses politik yang
berkembang. Masalah lingkungan senantiasa bersumber dari tindakan, kondisi,
dan kepentingan pihak tertentu serta berimplikasi politik terhadap ketidaksetaraan (inequalities) dan proses-proses politik (Bryant and Bailey 1997).
Ancaman Krisis Air
Ancaman kualitas dan ketersediaan air adalah ancaman besar bagi sektor
pertanian, sekaligus ancaman bagi ketahanan pangan. Sumaryanto (2007)
menyebutkan bahwa dibutuhkan sejumlah 1900-5000 liter air untuk masa tumbuh
dalam memproduksi tiap kilogram padi dan 1000-1800 liter air untuk tiap
kilogram jagung. Ketersediaan air sebagai syarat keharusan dalam proses
produksi pertanian memiliki interrelasi yang sensitif dengan permasalahan
lingkungan pada lingkup global, regional, dan lokal sehingga memberi ruang
yang luas bagi konflik seputar perebutan sumberdaya air.
Dari sisi penawaran, laju pengurangan ketersediaan air diperkirakan terjadi
lebih cepat dari laju pengurangan luas lahan. Selama pertengahan abad ini lahan
pertanian perkapita di dunia diperkirakan berkurang sepertiga, sedangkan
pengurangan ketersediaan air untuk pertanian terjadi lebih besar (Pasandaran,
2005). Pengurangan ini lebih disebabkan degradasi lingkungan dan kecepatan
pembangunan non pertanian yang berakibat pada penurunan serapan air dalam
tanah, pembuangan banyak air tanpa pemanfaatan yang optimal, dan peningkatan
daya dukung akibat peningkatan pemakaian air oleh industri dan kebutuhan lain
daripada akibat penurunan curah hujan. Konsekuensinya, di masa depan ancaman
akibat krisis ketersediaan pasokan air lebih serius daripada ancaman oleh laju
konversi lahan dan konflik yang ditimbulkan berpotensi besar mengancam
integrasi sosial dan kemanusiaan.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam bukan sekedar kesalahan
dalam menejemen, melainkan pertarungan antar aktor yang memiliki kepentingan
terhadap sumberdaya. Semakin langka suatu sumberdaya, semakin tinggi nilai
ekonomisnya, dan semakin kuat perebutan yang terjadi antar pihak yang
berkepentingan.
Disini persoalan lingkungan dan sumberdaya tidak lagi
persoalan-persoalan ekonomi semata, tetapi telah masuk dalam ranah politik.
Perspektif ini memaknai bahwa,
keputusan-keputusan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya alam sarat dengan keputusan-keputusan politik.
Hasil penelitian Escobar (1998) dan Bryant (1998), ada lima hal yang
menjadi karakteristik pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya
di negara berkembang yakni: 1) Konstruksi sosial tentang problem krisis
lingkungan yang didalamnya memuat proses pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya alam tidak pernah terlepas dari kontrol aktor yang berkuasa; 2)

 

 



Manfaat yang diperoleh dari akses terhadap sumberdaya alam terdistribusi tidak
merata, sebagian besar dinikmati oleh aktor yang berkuasa; 3) Resiko lingkungan
sebagai dampak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam juga tidak
merata, penanggung resiko terbesar adalah aktor grassroots; 4)
Ketidakseimbangan perolehan manfaat dan biaya resiko disebabkan oleh
ketimpangan dalam pengetahuan dan kekuasaan atau relasi kekuasaan yang tidak
setara; 5) Superioritas aktor yang berkuasa (negara maju atas negara berkembang,
kapitalisme atas ekonomi lokal, barat atas timur) memarginalisasi aktor yang
kurang berkuasa.
Niat pemerintah pusat menyerahkan kelola sumberdaya alam pada daerah
melalui legalitas UU No. 22/1999 atau UU No 32/2004 terkait pemerintah daerah
yang diberi hak secara otonom tidak lantas menyelesaikan masalah lingkungan
karena pemerintah kabupaten/kota juga terdorong untuk mendayagunakan atau
tepatnya “mengeksploitasi Common Pool Resources (CPR) sebanyak mungkin”
untuk memenuhi sumber keuangan daerah. Hal ini potensial memicu konflik
vertikal (masyarakat lokal – customary area owner melawan pemerintah
kabupaten) maupun horizontal antar petani.
Terkait dengan krisis sumberdaya air bagi pertanian, setidaknya terdapat
tiga persoalan yang berpeluang terjadi ke depan yaitu (1). Peningkatan
permintaan air, baik air bersih untuk konsumsi maupun air untuk industri yang
dipastikan lebih cepat dibanding dari permintaan sektor pertanian; (2) Pergeseran
permintaan terhadap komoditi pertanian menyebabkan pergeseran permintaan
terhadap air di dalam sektor pertanian; dan (3) Pergeseran permintaan terhadap
lahan mempengaruhi permintaan terhadap air, terutama dengan arus alih fungsi
lahan sawah ke non sawah atau non pertanian yang deras. Secara ekonomi,
kelangkaan sumberdaya air terjadi karena peningkatan persaingan dalam
pemanfaatan air, dan peningkatan nilai ekonomi air, melemahkan akses petani
terhadap air yang akhirnya rawan memunculkan konflik. Kesadaran bahaya
resiko krisis air memunculkan paradigma baru tentang air di seluruh dunia yang
dikenal dengan konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) plan
and water efficiency strategy. Sasaran utamanya adalah memperkuat ketahanan
pangan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melindungi ekosistem, mengatasi
tantangan aktual seperti kekeringan, kebanjiran, perebutan air dan masalah
sanitasi serta secara tidak langsung mengurangi kemiskinan. Meski tidak persis
sama, definisi kerja IWRM di Indonesia, termasuk rancangan sistem pengelolaan
CPR berbasis sistem sosio-ekonomi-ekologi telah ditawarkan Dharmawan untuk
kasus DAS Citanduy. Konsep pengelolaan air secara terpadu : terpadu dalam
ruang (wilayah geografi dari lokal, daerah, regional/wilayah, antar daerah,
nasional maupun internasional); terpadu tujuan (antar sektor pertanian, industri,
wisata, air bersih, pembangkit tenaga listrik dll); dan terpadu kelembagaan dan
waktu (lembaga dari tingkatan internasional hingga komunitas pemakai air, pada
waktu kini atau untuk jangka panjang).
Kelangkaan air juga dipicu oleh ketidakadilan dalam akses sumberdaya
alam dan lingkungan (Homer-Dixon 1994). Menurut Pasandaran (2005),
pengaturan air memerlukan perubahan mendasar dalam tatanan pemerintah baik
dalam lingkup politik, sosial ekonomi, dan administrasi. Kelangkaan air bukan
sekedar masalah teknis, melainkan perlu dilihat dalam kerangka terjadinya
ketidakadilan akses sebagai konsekuensi interaksi pelaku yang beroperasi dalam

6
 

konteks hubungan kekuasaan yang tidak setara (Bryant dan Bailey, 1997).
Sumberdaya yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat telah mengubah posisi
rakyat hingga tidak memiliki kedaulatan atas air, sebuah kooptasi yang hanya bisa
dilakukan oleh aktor yang memiliki pengetahuan dan kuasa. Konsekuensinya
adalah konflik persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya air di tingkat lokal,
antar wilayah administrasi, dan antar negara.
Rumusan Masalah
Subak merupakan lembaga pengairan tradisional hasil konstruksi sosial
masyarakat yang diadaptasi dari kondisi lingkungan dan budaya masyarakat Bali.
Subak dibangun dalam kondisi masyarakat agraris, dimana kedudukan air dan
lahan menjadi k