Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali: Analisis Kelembagaan Subak Dan Pakraman

PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN
DI KABUPATEN TABANAN, PROVINSI BALI:
ANALISIS KELEMBAGAAN SUBAK DAN PAKRAMAN

WIDHIANTHINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul
”PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN
TABANAN, PROVINSI BALI: ANALISIS KELEMBAGAAN SUBAK DAN
PAKRAMAN” adalah benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan belum
pernah digunakan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi ataupun
Lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Widhianthini
NIM: H162110061

RINGKASAN
WIDHIANTHINI. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten
Tabanan, Provinsi Bali: Analisis Kelembagaan Subak dan Pakraman. Dibimbing
oleh ARYA HADI DHARMAWAN, NOER AZAM ACHSANI dan SETIA
HADI.
Konversi lahan pertanian tidak terlepas dari situasi ekonomi secara
keseluruhan. Situasi ekonomi yang menguntungkan di suatu wilayah selanjutnya
akan mendorong terjadinya proses migrasi penduduk ke wilayah tersebut sehingga
akan berdampak pada pergeseran lahan pertanian ke penggunaan lainnya.
Penyebab pertama, kebijakan yang kontradiktif terjadi karena di satu pihak
pemerintah berupaya melarang terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan
pertumbuhan industri atau manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru

mendorong terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Penyebab kedua, cakupan
kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru dikenakan
terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan
tanah atau akan merubah tanah pertanian ke non pertanian. Perubahan
penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang dilakukan secara
individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, di sisi
lain perubahan fungsi lahan yang dilakukan secara individual secara langsung
diperkirakan cukup luas. Dalam kenyataannya, Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) justru merencanakan untuk mengkonversi tanah sawah beririgasi teknis
menjadi non pertanian.
Kelemahan lain penyebab konversi lahan pertanian adalah lemahnya
peraturan perundangan yang ada, yaitu: (1) Objek lahan pertanian yang dilindungi
dari proses konversi ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi
fisik lahan relatif mudah direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung
tanpa melanggar peraturan yang berlaku; (2) Peraturan yang ada cenderung
bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi
maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (3) Jika terjadi konversi lahan
pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit ditelusuri
lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena ijin konversi
adalah keputusan kolektif berbagai instansi.

Pembangunan yang mendominasikan pariwisata sebagai basis
pertumbuhan akan menghadapi masalah bagi masyarakat lokal. Secara evolutif,
hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal menyebabkan terjadinya
proses komersialisasi dari keramahtamahan masyarakat lokal. Pada awalnya
wisatawan dipandang sebagai 'tamu' dalam pengertian tradisional, yang disambut
dengan keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya
jumlah wisatawan, maka hubungan berubah terjadi atas dasar pembayaran, yang
tidak lain daripada proses komersialisasi, dimana masyarakat lokal sudah mulai
agresif terhadap wisatawan, mengarah kepada eksploitasi dalam setiap interaksi,
tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Berkembangnya industri pariwisata modern, seperti maraknya villa,
cottage, atau hotel telah mengubah struktur agraria dalam konteks penguasaan
tanah dari makna tanah yang bersifat kolektif dalam organisasi produksi agraria

subak menjadi makna tanah yang bersifat privat individualistik, manakala tanahtanah berubah peruntukannya menjadi hotel yang komersial, seperti yang terjadi
di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Kondisi ini mempengaruhi keberadaan
subak yang basis filosofi agrarianya “kolektivitas” dalam pendistribusian air
berubah menjadi disfungsional karena struktur agrarianya menjadi privat
individualistik. Ketidakberfungsian subak melalui “proses individualisasi
penguasaan tanah” menyebabkan laju konversi lahan pertanian dari peruntukan

pangan ke non pangan (turisme) meluncur dengan hebat.
Terkait dengan uraian permasalahan di atas, penelitian ini memiliki tiga
tujuan, yaitu: (1) mengetahui peran stakeholder dan kelembagaan lokal dalam
mencegah konversi lahan pertanian; (2) merumuskan model pengendalian
konversi lahan pertanian yang berbasis kelembagaan lokal subak dan desa
pakraman; dan (3) merumuskan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah dan
kelembagaan lokal subak dan desa pakraman dalam mengendalikan konversi
lahan pertanian. Ketiga tujuan tersebut menggunakan berbagai data yang berasal
dari pemerintah daerah, kelembagaan lokal (subak, desa pakraman), dan sumber
data lainnya.
Tujuan pertama penelitian dijawab dengan menggunakan analisis
stakeholder. Analisis ini dilakukan dengan menganalisis tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) masing-masing stakeholder dan kelembagaan subak serta desa pakraman
ke dalam matriks. Tujuan kedua dan ketiga dijawab dengan menggunakan sistem
dinamik. Sistem dinamik pada dasarnya menggunakan hubungan-hubungan
sebab-akibat (causal) dalam menyusun model suatu sistem yang kompleks,
sebagai dasar dalam mengenali dan memahami tingkah laku dinamis sistem
tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terdapat dua kekuatan
stakeholder yang berpengaruh terhadap laju konversi lahan pertanian, yaitu: (a)

pemerintah daerah dan swasta yang sangat pro konversi lahan; (b) pemerintah
desa pakraman dan subak yang anti konversi lahan. Selama ini pemerintah daerah
dan swasta adalah pihak yang paling dominan dalam menentukan pemanfaatan
ruang sehingga sangat pro konversi lahan. Agar terjadi keseimbangan antara pihak
yang pro dengan yang anti konversi lahan, maka pemerintah desa pakraman dan
kelembagaan lokal subak harus diikutsertakan dalam perencanaan pemanfaatan
ruang. Proposal ini meniscayakan apa yang kemudian dikonseptualisasikan
sebagai “duality of land governance”. Upaya pencegahan konversi lahan pertanian
akan maksimal apabila mengikutsertakan kelembagaan subak di dalam
pengambilan keputusan investasi oleh semua stakeholder mulai dari perencanaan
hingga evaluasi; (2) Kelembagaan lokal subak dan desa pakraman berpengaruh
signifikan dalam mengendalikan konversi lahan melalui efektivitas bekerjanya
awig-awig; (3) Untuk menahan laju konversi lahan pertanian ke peruntukan lain,
maka diusulkan implementasi skenario I. Skenario ini berintikan gagasan model
pengendalian konversi lahan pertanian yang diarahkan pada pengurangan akses
jalan umum yang menuju lahan sawah, peningkatan bantuan pemerintah terhadap
desa (desa wisata), serta dukungan sarana prasarana untuk kelembagaan lokal
subak dan desa pakraman.
Kata kunci: kelembagaan lokal (subak dan desa pakraman), konversi lahan
pertanian, sistem dinamik, skenario, stakeholder.


SUMMARY
WIDHIANTHINI. The Conversion Control of Agricultural Land in Tabanan, Bali
Province: Institutional Analysis of Subak and Pakraman. Supervised by ARYA
HADI DHARMAWAN, NOER AZAM ACHSANI dan SETIA HADI.
Conversion of agricultural land can not be separated from the overall
economic situation. Favorable economic situation in the region will further
encourage the process of migration into the region that will have an impact on the
shift of agricultural land to other uses. The first cause, contradictory policies
occurred because on the one hand the government seeks to prohibit the transfer
function, but on the other hand the growth policy of industrial or manufacturing
and other non-agricultural sectors would encourage the conversion of agricultural
lands. The second cause, the limited scope of the policy. Such regulations on the
new imposed on firms or legal entity that will use the land and will change
agricultural land to non-agricultural. Changes in land use to non-paddy farming is
done individually untouched by such regulations, on the other hand the land use
change is done individually directly predicted quite extensive. In fact, the spatial
plans (RTRW) instead planned to convert technical irrigated rice land into nonagricultural.
Another weakness causes the conversion of agricultural land is the lack of
regulations that exist, namely: (1) Objects agricultural lands are protected from

conversion process is determined based on the physical condition of the land,
even though the physical condition of the land relatively easily engineered, so the
land conversion can take place without violating applicable regulations; (2)
Existing legislation tends to be an appeal and does not come with clear sanctions,
both the amount of penalties and the determination of the parties subject to
sanctions; (3) In the event of conversion of agricultural land that is not in
accordance with applicable regulations is difficult to trace the institutions most
responsible for cracking down because the license conversion is a collective
decision of various agencies.
The development of tourism as a growth base will face problems for local
people. In evolution, the relationship between tourists and local communities
resulted in the commercialization process of unkindness of the local people. At
first the rating is seen as a 'guest' in the traditional sense, were greeted with warm
unkindness without economic motive. With the increasing number of tourists, the
relationship changes occur on the basis of payment, which is none other than the
process of commercialization, where local communities have started aggressive
towards tourists, leading to exploitation in every interaction, without considering
the long-term consequences.
The development of the tourism industry of modern, such as the
proliferation of villas, cottages, or the hotel has transformed the agrarian structure

in the context of land ownership from the meaning of land, which is collective in
the organization of agrarian production of Subak into the meaning of the land is
private, individualistic, when the land changed its allocation into the hotel
commercial , as occurs in Tabanan, Bali Province. This condition affects the
existence of Subak basis agrarian philosophy of "collectivity" in the distribution

of water turned into dysfunctional because its agrarian structure into a private
individualistic. Subak malfunction through a "process of individualisation of land
tenure" causes the rate of conversion of farmland from food to non-food allotment
(tourism) with a great slide.
Related to the description of the above problems, the study has three
objectives, namely: (1) determine the role of stakeholders and indigenous
institutions in order to prevent the conversion of agricultural land; (2) formulate a
model of land conversion based control of indigenous institution, Subak and
Pakraman; (3) formulate the direction of policy for local governments and
indigenous institution. These objectives using a variety of data from local
governments, indigenous institution (Subak, Desa Pakraman), and other.
The first objective was answered by using a stakeholder analysis. This
analysis was performed by analyzing the duties of each stakeholder into matrix.
The second and third objectives were answered by using dynamic system.

Dynamic system basically uses the relationships of cause and effect (causal) in
developing the complex system model, as a basis in recognizing and
understanding the dynamic behavior of the system. In other words, the use of the
methodology of dynamic system is concerned with the goals to increase our
understanding of how the behavior of the system arises from the structure. This
dynamic system can simulate a model to found the scenario of policy or strategy
that should be done.
The results showed that: (1) There were two strengths of stakeholders that
affect the rate of agricultural land conversion: (a) local government and private
sector were very pro and supported the land conversion; (b) Pakraman and Subak
government that anti-land conversion. So far, local government and private sector
were the most dominant in determining the use of space that supported the land
conversion. To ensure a balance between the pro and the anti-land conversion, the
government and local institutions of Pakraman and Subak should be involved in
planning of the use of space. This proposal was necessitates what later
conceptualized as "duality of land governance". Efforts to prevent conversion of
agricultural land will be greatest if all stakeholders would let Subak institution to
engage in the investment decision from planning to evaluation; (2) Subak and
Pakraman were significant in securing or maintaining food through the operation
of awig awig which effective in restraining the conversion from agricultural to

non-agricultural land; (3) To restrain the rate of land conversion of agricultural
land to other uses, the implementation of scenario I was proposed. This scenario
was cored the idea that regional development model aimed at the reduction of
public road access to the wetland, increased government support for tourism
village, as well as support infrastructure based on local ecotourism to Subak and
Pakraman.
Keywords: indigenous institutions (Subak and Desa Pakraman), conversion of
agricultural land, dynamic system, scenario, stakeholder.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN
DI KABUPATEN TABANAN, PROVINSI BALI:

ANALISIS KELEMBAGAAN SUBAK DAN PAKRAMAN

WIDHIANTHINI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Menjabat sebagai Wakil Dekan Pascasarjana IPB

Penguji pada Sidang Promosi:
1. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
2. Dr. Ir. Herlina Tarigan, MSi
Peneliti Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
Kementerian Pertanian Republik Indonesia

PRAKATA
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Pengendalian
Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali: Analisis
Kelembagaan Subak dan Pakraman”, dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini
disusun dan diajukan sebagai persyaratan dalam rangka memperoleh gelar Doktor
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada: Pada
kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr selaku ketua komisi
pembimbing, Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS (anggota komisi
pembimbing), dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS (anggota komisi pembimbing)
yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan pengetahuan
tentang kelembangaan dan kebijakan pembangunan pertanian secara
komprehensif;
2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si,
Dr.Ir. Herlina Tarigan, M.Si, dan wakil program studi selaku penguji
luar pada ujian tertutup dan sidang promosi yang memberikan wawasan
lain yang menambah khazanah kebaruan pada penelitian ini;
3. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia yang telah memberikan beasiswa dalam menempuh
pendidikan dan penelitian di Sekolah Pascasarjana IPB;
4. Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Prof. Dr. Ir. Yusman Syaukat,
MEc., Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS selaku Ketua Prodi PWD dan
Dr. Ir. Sri Mulatsih, MSc. selaku Sekretaris Prodi PWD, semua dosen
dan staf sekretariat PWD atas bantuannya selama masa perkuliahan
sampai selesainya disertasi ini;
5. Rektor Universitas Udayana dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Udayana atas izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan Strata 3 di Sekolah Pascasarjana IPB;
6. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), Program Studi
Komunikasi Pembangunan Perdesaan (KMP), Program Studi Sosiologi
Perdesaan (SPD) IPB, dan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan Hidup (PSL) yang telah menjadi teman diskusi
selama penelitian dan penulisan disertasi ini;
7. Ayahnda (alm.) Prof. Ir. I Gusti Ngurah Putu Djapa Winaya, M.Sc,
ibunda Made Srikandhi, suami tercinta A.A. Gede Purantara, SE, MM,
anak-anaknda tersayang (A.A. Gede Wiweka WP, A.A.A. Tri P.P., dan
A.A. Bagus Dharma S.P.) yang selalu memberi dukungan dan doa
sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.
Terakhir, penulis tidak merasa bahwa penelitian ini suatu pemikiran yang orisinil.
Apabila tidak didukung tulisan-tulisan para ahli yang tercantum di daftar pustaka,
barangkali disertasi ini tidak pernah ada. Penulis merasa sangat berhutang budi
kepada para ahli tersebut. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang

setinggi-tingginya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa yang membalas kebaikan
dan menyertai kehidupan kita semua.

Bogor, Juni 2016
Widhianthini

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

iii
v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaharuan Penelitian
Kerangka Penelitian

1
1
8
11
11
11
12

2 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan Sampel dan Jenis Data
Prosedur Analisis Data
Metode Analisis

16
16
16
17
18

3 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Fisik
Kondisi Kependudukan
Kondisi Perekonomian
Kondisi Sosial Budaya
Kondisi Desa Jatiluwih
Kondisi Desa Candi Kuning
Kelembagaan Lokal

35
35
38
41
42
43
44
45

4 PERAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM MENGANTISIPASI
KONVERSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN
Peran Stakeholder dalam Mencegah Konversi Lahan Pertanian
Analisis Stakeholder
Peran Kelembagaan Lokal dalam Mencegah Konversi Lahan
Pertanian
5 PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN YANG BERBASIS
KELEMBAGAAN LOKAL
Model Pengendalian Konversi Lahan dan Berbasis Kelembagaan
Lokal
Model Simulasi Pengendalian Konversi Lahan dan Berbasis
Kelembagaan Lokal

53
53
56
61

68
68
74

DAFTAR ISI (LANJUTAN)
6 ARAHAN
KEBIJAKAN
DALAM
PENGENDALIAN
KONVERSI LAHAN YANG BERBASIS KELEMBAGAAN
LOKAL
Skenario Model Pengendalian Konversi Lahan dan Berbasis
Kelembagaan Lokal
Arahan Kebijakan Secara Deskriptif Pengendalian Konversi
Lahan dan Berbasis Kelembagaan Lokal

117
117
126

7 REFLEKSI TEORITIS
Sistem Dinamik dalam Pengembangan Wilayah
Dilema Dualisme Pengelolaan Lahan antara Subak-Desa
Pakraman dengan Pemerintah Daerah

137
137

8

146
146
146

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran dan Implikasi Kebijakan

142

DAFTAR PUSTAKA

148

LAMPIRAN

155

RIWAYAT HIDUP

172

DAFTAR TABEL
Peran stakeholder dalam pengendalian konversi lahan pertanian dan
berbasis kelembagaan lokal

19

2

Metode penelitian

27

3

Ibukota kecamatan, jumlah desa dinas, desa pakraman, dan jumlah banjar
di Kabupaten Tabanan Tahun 2014

35

4

Jumlah dan kepadatan penduduk Kabupaten Tabanan Tahun 2013

39

5

Proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Tabanan Tahun 2011-2031

40

6

Jumlah penduduk Kabupaten Tabanan 15 tahun ke atas yang bekerja
menurut lapangan usaha hasil Sakernas Tahun 2013

40

Distribusi persentase PDRB Kabupaten Tabanan menurut lapangan usaha
atas dasar harga berlaku, 2009-2013 (persen)

41

Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Tabanan atas dasar harga berlaku,
2009-2013 (persen)

41

Peran stakeholder dalam pengendalian konversi lahan pertanian dan
berbasis kelembagaan lokal di Kabupaten Tabanan

55

10 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal untuk penggunaan lahan di Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Jatiluwih (ha)

74

11 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal untuk penggunaan lahan di Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Candi Kuning (ha)

75

12 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa
Jatiluwih untuk air (m3)

84

13 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa
Candi Kuning untuk air (m3)

85

14 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa
Jatiluwih untuk PDRB dan pendapatan masyarakat

90

1

7

8

9

DAFTAR TABEL (LANJUTAN)
15 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa
92
Candi Kuning untuk PDRB dan pendapatan masyarakat
16 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal untuk jumlah penduduk di Kabupaten Tabanan (jiwa)

96

17 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal untuk angkatan kerja, tenaga kerja di sektor pertanian
dan sektor pariwisata di Kabupaten Tabanan (jiwa)

97

18 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian untuk tingkat
efektivitas subak, tingkat efektivitas desa pakraman, dan tingkat efektivitas
desa dinas di Desa Jatiluwih (persen)

99

19 Hasil model simulasi pengendalian konversi lahan pertanian untuk tingkat
efektivitas subak, tingkat efektivitas desa pakraman, dan tingkat efektivitas
desa dinas di Desa Candi Kuning (persen)
100
20 Skenario I, II, III untuk lahan sawah dengan memasukkan unsur
kelembagaan lokal Desa Jatiluwih (ha)
120
21 Skenario I, II, III untuk lahan sawah dengan memasukkan unsur
kelembagaan lokal Desa Candi Kuning (ha)
121
22 Skenario I, II, III untuk untuk PDRB Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Jatiluwih (x 1 juta rupiah)
122
23 Skenario I, II, III untuk untuk PDRB Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Candi Kuning
(x 1 juta rupiah)
123
24 Skenario I, II, III untuk pendapatan masyarakat di Kabupaten Tabanan
dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Jatiluwih (Rp/kapita) 124
25 Skenario I, II, III untuk pendapatan masyarakat di Kabupaten Tabanan
dengan memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Candi Kuning
(Rp/kapita)
125
26 Kelas dan pengelolaan zonasi alih fungsi lahan sawah

133

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka operasional

15

2

Peta Kabupaten Tabanan di Propinsi Bali

16

3

Matriks analisis stakeholder

20

4

Kotak hitam (black box) model pengendalian konversi lahan pertanian
dan berbasis kelembagaan lokal

28

Causal loop subsistem fisik (lahan dan air) dalam pengendalian
konversi lahan pertanian dan berbasis kelembagaan lokal

29

Causal loop subsistem ekonomi dalam pengendalian konversi lahan
pertanian dan berbasis kelembagaan lokal

30

Causal loop subsistem sosial dan kelembagaan dalam pengendalian
konversi lahan pertanian dan berbasis kelembagaan lokal

32

Causal loop model pengendalian konversi lahan pertanian dan
berbasis kelembagaan lokal

33

Bagan organisasi subak yang paling sederhana

47

5

6

7

8

9

10 Bagan susunan organisasi subak yang memiliki beberapa tempek atau
munduk

49

11 Matriks analisis stakeholder dalam pengendalian konversi lahan
pertanian dan berbasis kelembagaan lokal di Kabupaten Tabanan

56

12 Matriks analisis stakeholder yang diharapkan dalam pengendalian
konversi lahan pertanian dan berbasis kelembagaan lokal di Kabupaten
Tabanan

60

13 Model subsistem fisik dalam pengendalian konversi lahan pertanian
dan berbasis kelembagaan lokal

69

14 Model subsistem ekonomi dalam pengendalian konversi lahan
pertanian dan berbasis kelembagaan lokal

70

15 Model subsistem sosial dan kelembagaan dalam pengendalian
konversi lahan pertanian dan berbasis kelembagaan lokal

72

16 Model pengendalian
kelembagaan lokal

73

konversi

lahan

pertanian

dan

berbasis

DAFTAR GAMBAR (LANJUTAN)
17 Grafik hasil simulasi penggunaan lahan di Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Jatiluwih

77

18 Grafik hasil simulasi penggunaan lahan di Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Candi Kuning

77

19 Grafik hasil simulasi debit air di Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Jatiluwih

85

20 Grafik hasil simulasi debit air di Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Candi Kuning

86

21 Grafik hasil simulasi PDRB di Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Jatiluwih

91

22 Grafik hasil simulasi PDRB di Kabupaten Tabanan dengan
memasukkan unsur kelembagaan lokal Desa Candi Kuning

92

23 Grafik hasil simulasi penduduk Kabupaten Tabanan

96

24 Grafik hasil simulasi angkatan kerja, tenaga kerja sektor pertanian dan
tenaga kerja sektor pariwisata di Kabupaten Tabanan

98

25 Grafik hasil simulasi tingkat efektivitas subak, tingkat efektivitas desa
pakraman, dan tingkat efektivitas desa dinas di Desa Jatiluwih

99

26 Grafik hasil simulasi tingkat efektivitas subak, tingkat efektivitas desa
pakraman, dan tingkat efektivitas desa dinas di Desa Candi Kuning

101

27 Struktur organisasi sistem subak di Bali

105

28 Bangunan bagi sistem numbak (tembuku)

113

29 Bangunan bagi sistem ngerirun (box)

113

30 Skenario model pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis
kelembagaan lokal

118

31 Skenario I, II, III untuk lahan sawah dengan memasukkan unsur
kelembagaan lokal Desa Jatiluwih

120

32 Skenario I, II, III untuk lahan sawah dengan memasukkan unsur
kelembagaan lokal Desa Candi Kuning

121

DAFTAR GAMBAR (LANJUTAN)
33 Skenario I, II, III untuk PDRB dengan memasukkan unsur
kelembagaan lokal Desa Jatiluwih

123

34 Skenario I, II, III untuk PDRB dengan memasukkan unsur
kelembagaan lokal Desa Candi Kuning

124

35 Skenario I, II, III untuk pendapatan masyarakat dengan memasukkan
unsur kelembagaan lokal Desa Jatiluwih

125

36 Skenario I, II, III untuk pendapatan masyarakat dengan memasukkan
unsur kelembagaan lokal Desa Candi Kuning

126

37 Mekanisme aturan main (rule game) antara stakeholder dengan
kelembagaan lokal (subak, desa pakraman) dalam kawasan desa
wisata dan dana abadi sawah

136

DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

5

6

7

8

9

Nilai parameter dalam submodel fisik, ekonomi, sosial dan
kelembagaan di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali

155

Formulasi model subsistem fisik (lahan) pada model pengendalian
konversi lahan pertanian dan berbasis kelembagaan lokal

158

Formulasi model subsistem fisik (air) pada model pengendalian
konversi lahan pertanian dan berbasis kelembagaan lokal

159

Formulasi model subsistem ekonomi pada model pengendalian
konversi lahan pertanian dan berbasis kelembagaan lokal

160

Formulasi model subsistem sosial dan kelembagaan pada model
pengendalian konversi lahan pertanian dan berbasis kelembagaan
lokal

161

Nilai validasi untuk beberapa variabel subsistem fisik, ekonomi,
sosial dan kelembagaan (persen)

162

Rekapitulasi efektivitas kelembagaan subak, desa pakraman, dan
desa dinas di Desa Jatiluwih (persen)

163

Rekapitulasi efektivitas kelembagaan subak, desa pakraman, dan
desa dinas di Desa Candi Kuning (persen)

164

Kuesioner pengendalian konversi lahan pertanian di Kabupaten
Tabanan, Provinsi Bali

165

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan merupakan proses perkembangan masyarakat yang
diarahkan oleh pemerintah. Konsep ini mengandung unsur perencanaan di
dalamnya, yakni oleh pemerintah. Sentuhan pembangunan yang belum merata
menjadi penyebab tertinggalnya suatu kawasan dari kawasan lainnya. Kegiatan
pembangunan seharusnya dapat mengembangkan seluruh komponen yang
menjadi penyangga kehidupan dalam kawasan tersebut. Kegiatan pembangunan
tidak hanya bertumpu pada pencapaian hasil, tetapi juga menitikberatkan pada
proses pembangunan itu sendiri.
Aliran Klasik, yang menganut kebebasan pasar menganggap campur
tangan pemerintah sebagai sesuatu yang menghambat dan mengganggu
bekerjanya kekuatan-kekuatan objektif dari pasar yang disebut sebagai
mekanisme pasar. Penerusnya para penganut aliran neoklasik bahkan menuduh
bahwa campur tangan pemerintah dapat menghambat kebebasan individu
(individual freedom) yang merupakan fondasi dari sistem demokrasi. Campur
tangan pemerintah dalam arti berfungsinya birokrasi melahirkan regulasi, proteksi
dan subsidi impor yang merugikan para konsumen (Hudiyanto 2008). Keynes
seperti yang dipaparkan oleh Deliarnov (2006) memandang perlu adanya peran
pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi
pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan daya beli dan mendorong
adanya kegiatan bisnis. Sejalan Keynes, Pigou juga melihat bahwa kebebasan
pasar yang berdasarkan pada maksimum keuntungan individu tidak mampu
menciptakan alokasi sumberdaya yang optimal bagi kepentingan umum.
Teori pemerintah (government) ini mengalami kegagalan untuk
mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Campur tangan pemerintah dan
aturan-aturan yang dibuat oleh pejabat pemerintah dijadikan sebagai alat oleh
kaum kaya untuk menekan masyarakat miskin. Pemerintah sibuk memperkaya
negara dengan menguntungkan sejumlah pengusaha yang memiliki modal dan
berkuasa. Rakyat semakin ditindas dan hanya dimanfaatkan tenaga kerjanya
dengan upah yang rendah. Hal ini menjadi sebuah permasalahan dimana
kesejahteraan rakyat dikuasai oleh para pengusaha. Monopoli perdagangan yang
dilakukan para pengusaha membuat rakyat semakin sulit untuk mendapatkan
barang dengan harga murah.
Teori pembangunan konvensional (ekonomi murni) atau kemudian dikenal
dengan teori modernisasi pada dasarnya menjelaskan bahwa kemajuan atau
keterbelakangan diukur dari seberapa tinggi laju pertumbuhan ekonomi
(Hudiyanto 2008). Strategi pertumbuhan ini difokuskan pada pembangunan
industri secara besar-besaran sehingga kedudukan pemerintah lebih memainkan
peran sebagai wiraswasta (enterpreneur) daripada sebagai penyedia pelayanan
(service provider). Dalam implementasinya, hal ini dilakukan dengan
mengalokasikan dana terutama pada sektor-sektor atau daerah yang memberi
output secara efisien dan masal. Daerah-daerah yang sudah maju akan
mendapatkan prioritas alokasi dana karena daerah maju relatif akan menghasilkan
output yang lebih besar. Strategi ini menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang

tinggi, namun di sisi lain akan memunculkan persoalan-persoalan berupa
pengangguran, kemiskinan, dan ketidakmerataan pembagian pendapatan karena
berbagai sebab yang tidak mungkin dihindarkan. Teori pembangunan
konvensional ini tidak mampu menjelaskan persoalan tersebut. Teori ekonomi
murni ini juga tidak mempersoalkan motivasi yang ada di belakang aktor yang
terkait dalam proses atau peristiwa tertentu. Motivasi diasumsikan cateris paribus
dan ekonom tidak mau terlibat dalam analisis tentang motivasi sang aktor. Semua
hal yang berasal dari bidang non ekonomi (sosial, politik, keagamaan) dianggap
telah terberi apa adanya. Dengan cara ini mereka beranggapan tingkat kesalahan
(error) bisa ditekan.
Ketidakmampuan teori tersebut memunculkan adanya penggunaan
kerangka ekonomi politik dalam menganalisis persoalan di atas. Steniland (1985)
memaparkan bahwa ekonomi politik lebih sebagai tinjauan ekonomi atas berbagai
kebijaksanaan publik yang dilakukan pemerintah. Teori ekonomi politik ini
mengalami persoalan. Pada konsep efek tetesan (trickle down effect), distribusi
pendapatan dilakukan semata-mata dengan menggunakan instrumen fiskal dan
pemberian santunan dengan tanpa mempertimbangkan partisipasi rakyat dalam
proses. Dalam konsep redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution with
growth), distribusi pendapatan selain dilakukan dengan cara mengendalikan usaha
besar, juga melalui cara fiskal dan usaha kecil. Konsep ini memberikan ruang bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi. Strategi ini
memfokuskan pada penyediaan lapangan pekerjaan langsung bagi masyarakat
sebagai alat untuk mendistribusikan pertumbuhan, tetapi konsep ini cenderung
mengarah pada terciptanya tenaga kerja penuh (full employment), sehingga
konsekuensinya menggunakan teknologi tinggi yang sifatnya padat modal (capital
intensive). Kondisi ini menyebabkan mereka yang berpendidikan dan
berketrampilan tinggi yang terserap di dunia kerja. Teori ini gagal untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Veblen (1926, dalam Deliarnov 2006), teori-teori tersebut terlalu
menyederhanakan fenomena-fenomena ekonomi dan mengabaikan peran aspek
non ekonomi, seperti kelembagaan dan lingkungan. Pengaruh keadaan dan
lingkungan sangat besar terhadap perilaku ekonomi masyarakat, sebab struktur
politik dan sosial yang tidak mendukung dapat memblokir dan menimbulkan
distorsi proses ekonomi. Perilaku masyarakat inilah yang dapat berubah dan
disesuaikan dengan lingkungan dan keadaan. Keadaan dan lingkungan inilah yang
disebut sebagai institusi atau kelembagaan. Kelembagaan ini terkait dengan nilai,
norma, kebiasaan, dan budaya setempat.
Pendapat ini didukung oleh Douglass (1990) yang menjelaskan bahwa
adanya kelembagaan dapat mengurangi unsur ketidakpastian. Kelembagaan yang
baik dapat menyelesaikan masalah koordinasi dan produksi sebab masalah
tersebut terkait dengan motivasi para aktor, lingkungan, dan kemampun
stakeholder dalam menjinakkan lingkungan. Penyimpangan aturan main akan
menyebabkan sistem berjalan tidak normal. Kondisi ini menyebabkan
kelembagaan selain harus dipandang sebagai aturan permainan, juga merupakan
fondasi utama sistem modern. Baik buruknya sistem ekonomi dan politik sangat
ditentukan oleh peran dan fungsi kelembagaan yang membingkainya.
Kelembagaan berperan dalam mengatur bagaimana unit-unit ekonomi
melakukan kerjasama atau berkompetisi satu sama lainnya. Douglass lebih

memperlakukan kelembagaan sebagai peluang sekaligus sebagai kendala
eksternal bagi agen-agen ekonomi. Penekanan ini berarti bahwa pelaku ekonomi
dapat berusaha untuk memaksimumkan sesuatu, tetapi dalam upayanya tersebut
agen-agen ekonomi dibatasi tidak hanya oleh sumberdaya, teknologi, dan
preferensi-preferensi, tetapi juga oleh kelembagaan-kelembagaan yang ada dan
berlaku dalam masyarakat. Kelembagaan berperan menderivasikan persepsi
subyektif dari realita menjadi pilihan.
Kelembagaan juga merupakan seperangkat norma dan perilaku yang
bertahan dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan kolektif. Sebagian
besar sosiolog berpendapat bahwa kelembagaan merupakan suatu konsepsi dan
bukan sesuatu yang kongkrit atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan
sosial. Kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Aspek kultural
berupa norma-norma dan nilai, sedangkan aspek struktural berupa peranan sosial
(Uphoff 1986).
Paradigma pembangunan saat ini telah menerapkan konsep-konsep
pembangunan berbasis lokal, namun masih menggunakan bentuk kelembagaan
yang bersifat umum dan keberhasilannya menggunakan ukuran yang terbatas pada
indikator fisik (materi) dan ekonomi yang mudah diukur dan diamati.
Kenyataannya ada kelembagaan yang bersifat lokalitas, dan masih ada kebutuhan
manusia yang bersifat sosial yang tidak dapat diukur secara materi dan ekonomi.
Noer (2008) menjelaskan bahwa strategi perencanaan wilayah teritorial juga
belum mengakomodasi dimensi sosial (hubungan sosial) dan politik
(kewenangan) dalam budaya lokal ke dalam proses pengambilan keputusan.
Pengalokasian sumberdaya masih direncanakan dalam prinsip ekonomi
(rasionalitas pasar) dan hukum negara, sementara sumberdaya tersebut di
beberapa wilayah berada dalam kepemilikan bersama yang lebih bersifat sosial
(rasionalitas sosial) sebagai warisan budaya. Keadaan ini menunjukkan adanya
keterbatasan pada perencanaan wilayah untuk merealisasikan konsep
pembangunan berbasis lokal yang tumbuh dari bawah. Desentralisasi yang terjadi
telah memberi wewenang kepada wilayah dan lokal untuk menempatkan potensi
budaya lokal sebagai basis pengambilan keputusan dalam perencanaan wilayah.
Potensi budaya tersebut berupa kelembagaan lokal yang tumbuh dan diorganisasi
secara teritori karena melekat dengan sejarah wilayah, dan mengandung nilai
budaya tradisional dalam dimensi sosial (hubungan sosial) dan politik
(kewenangan). Kelembagaan lokal seperti ini juga mempunyai organisasi dan
aturan main tertentu dalam mengelola sumberdaya wilayah. Namun demikian,
persoalannya adalah aturan yang berlaku dalam kelembagaan lokal tersebut dalam
beberapa kondisi tidak bersesuaian dengan sistem perencanaan dan kelembagaan
pemerintahan modern. Keadaan inilah akan mempengaruhi pengembangan suatu
wilayah.
Pengembangan wilayah merupakan optimasi pemanfaatan sumberdaya
yang dimiliki suatu wilayah secara terpadu dan serasi. Pengembangan wilayah ini
diwujudkan melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek
fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Keterpaduan aspek ini akan
mengarah pada pembangunan berkelanjutan di suatu wilayah. Pembangunan
berkelanjutan ditujukan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
menjelaskan bahwa tujuan penataan ruang antara lain adalah tercapainya
pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk: (1) mewujudkan kehidupan bangsa
yang cerdas berbudi luhur dan sejahtera, (2) mewujudkan keterpaduan
pemanfaatan sumberdaya, (3) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam
secara efisien dan efektif bagi manusia, dan (4) mewujudkan perlindungan fungsi
ruang serta mencegah kerusakan lingkungan. Undang-undang ini menjelaskan
bahwa untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam pengembangan wilayah
diperlukan penataan ruang, yaitu proses yang dimulai dari penyusunan rencana
tata ruang dengan mengalokasikan rencana ruang sumberdaya alam dan buatan
secara optimal melalui pengawasan dan penertiban terhadap pembangunan
(pemanfaatan ruang) agar sesuai dengan rencana tata ruang. Peran masyarakat
lokal atau adat sangat dibutuhkan bagi pengelolaan tata ruang di suatu wilayah.
Dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa
penataan kawasan perdesaan ditujukan untuk: (1) memberdayakan masyarakat
perdesaan; (2) mempertahankan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang
didukungnya; (3) konservasi sumberdaya alam; (4) pelestarian warisan budaya
lokal; (5) pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan
pangan; dan (6) penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.
Keterlibatan masyarakat lokal atau adat dalam perencanaan pembangunan
suatu wilayah atau negara menjadi terealisasi jika posisi mereka diberikan ruang
yang seimbang dengan pihak pemerintah. Memvisualisasikan peran masyarakat
lokal atau adat dalam pembangunan berkelanjutan awalnya dimulai dari
pembangunan desa. Pembangunan desa merupakan embrio dari penataan ruang
suatu wilayah.
Sutoro (2007) memaparkan bahwa beberapa desa di Eropa Daratan atau
Parish di Inggris Raya dan juga di Indonesia ada yang tergolong sebagai
organisasi komunitas lokal atau adat (selfgoverning community). Selfgoverning
community merupakan komunitas lokal yang membentuk dan menyelenggarakan
pemerintahan sendiri berdasarkan pranata lokal, bersifat swadaya dan otonom,
tidak dibentuk oleh kekuatan eksternal serta tidak terikat secara struktural dengan
organisasi eksternal seperti negara.
Komunitas lokal atau adat memiliki mekanisme kelembagaan yang
berbeda-beda untuk masing-masing wilayah. Penelitian yang dilakukan Larsen et
al. (2011), irigasi di perdesaan Thailand dikelola otonomi oleh lembaga adat
melalui sistem irigasi Muang Fai. Sistem irigasi air komunal yang dikelola secara
tradisional tersebut tidak hanya lebih baik dibandingkan dengan irigasi pompa
bawah tanah milik swasta dalam melestarikan air, tetapi juga dalam meningkatkan
mata pencaharian petani. Kelembagaan adat ini juga memiliki aturan tersendiri
dan keberadaannya merupakan salah satu upaya untuk menghindari alih fungsi
lahan. David (2010) memaparkan bahwa di India Selatan diterapkan mekanisme
manajemen masyarakat lokal atau adat dalam pengelolaan tank irigasi dan
sumberdaya alam di sekitar jaringan irigasi. Negara membangkitkan kembali
peran lembaga adat. Kasus di Pulau Vallarpadan, Cochin, Kerala (Lobe 2004),
pemegang hak dan batas-batas kepemilikan sumberdaya perikanan diserahkan
pengelolaannya pada lembaga adat. Lembaga adat menerapkan sistem padu.
Sistem padu diterapkan melalui penggunaan lotere untuk akses rotasi.
Kelembagaan tersebut menyediakan akses yang adil, tanggung jawab sosial secara

kolektif, dan aturan-aturan dalam pengambilan keputusan serta menerapkan
resolusi konflik dalam penataan ruang. Umumnya mekanisme kelembagaan adat
dalam penataan ruang selalu dikaitkan dengan penggunaan lahan di sekitarnya.
Tahapan pembangunan yang terkait dengan tata ruang diawali dengan
perencanaan penggunaan lahan yang strategis yang memberikan keuntungan
ekonomi wilayah (strategic land-use development planning) (Sitorus 2004).
Perencanaan tersebut dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya lahan dengan tetap berlandasan kearifan lokal menuju pembangunan
berkelanjutan (sustainability development). Untuk itulah diperlukan sistem disain
penataan tata ruang bagi suatu wilayah yang berasaskan kearifan lokal tersebut.
Proses penataan ruang seringkali dihadapi pada permasalahan percepatan
pertumbuhan suatu wilayah. Proses perijinan yang ditujukan sebagai alat
pengendalian pemanfaatan ruang lebih dilihat dari sudut pandang sumber
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jumlah perijinan yang dikeluarkan mulai
ditargetkan berdasarkan ‟kuota‟ untuk pemenuhan PAD, sehingga ketidaksesuaian
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) bukan merupakan persoalan. Oleh
karena itu keberlanjutan sebagai prinsip dan good governance hanya ada dalam
konsep. Kondisi ini justru dijadikan alat bagi sektor publik dalam melakukan
pelanggaran-pelanggaran terhadap tata ruang.
Bali yang memiliki sumberdaya alam terbatas dengan luas daratan
5.632,66 km2, mengalami tekanan akibat jumlah penduduk yang telah mencapai
kurang lebih 4.056,3 ribu jiwa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,14 persen
per tahun. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk Bali
meningkat cukup tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jumlah penduduk
di Bali hasil Sensus Penduduk tahun 2010 (3.890.757 jiwa) telah meningkat 23,64
persen jika dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 (3.146.999
jiwa) (BPS Provinsi Bali, 2014). Pertumbuhan ekonomi yang makin kondusif juga
menimbulkan tekanan terhadap ketersediaan sumberdaya alam Bali.
Jika dilihat dari kontribusi PDRB Provinsi Bali atas dasar harga berlaku
menurut lapangan usaha tahun 2010-2013 (dalam persen), sektor pertanian
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 kontribusi sektor
pertanian mencapai 18,01 persen sedangkan pada tahun 2013 mengalami
penurunan menjadi 16,82 persen (BPS Provinsi Bali 2014). Hal ini karena sektor
pertanian tidak saja terkait dengan pemenuhan konsumsi domestik, namun juga
terkait erat dengan kondisi kepariwisataan Bali. Pertanian merupakan akar budaya
Bali yang juga sekaligus menjadi modal bagi pariwisata. Di sisi lain, struktur
perekonomian Bali belum didukung dengan sektor pertanian yang kuat dari
dalam.
Sektor pertanian di Bali sangat tergantung pada daerah lain. Tercatat 60
sampai 70 persen pasar di daerah Bali diisi komoditi pertanian dari luar Bali (BPS
Provinsi Bali 2014). Kondisi ini menandakan bahwa sistem pertanian di Bali
cenderung merupakan pertanian yang belum berorientasi bisnis sehingga belum
mampu dijadikan sebagai sumber mata pencaharian utama.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) tampil sebagai kontributor
utama terhadap PDRB Bali, meskipun kontribusi sektor ini cenderung berfluktuasi
mengikuti gerak irama pariwisata yang berkembang. Pada tahun 2009, kontribusi
sektor ini telah mencapai angka 29,64 persen. Kontribusi ini meningkat pada
tahun 2013 mencapai 29,89 persen (BPS Provinsi Bali 2014). Kondisi ini

disebabkan membaiknya pariwisata Bali yang ditandai dengan meningkatnya
jumlah kunjungan wisatawan mancanegara.
Berkembang pesatnya sektor pariwisata ternyata telah membawa dampak
negatif bagi tata ruang di Bali, yaitu alih fungsi lahan pertanian. Lahan sawah di
Bali, berdasarkan kondisi tahun 2013, tercatat 81.165 hektar atau 14,40 persen
dari luas Provinsi Bali. Angka ini menurun 0,91 persen dari tahun 2010 yang
tercatat 81.908 hektar. Lahan bukan sawah mengalami peningkatan sebesar 0,38
persen dari 273.363 hektar di tahun 2010 menjadi 274.403 hektar di tahun 2013.
Dilihat dari segi jumlah subak, di Provinsi Bali tercatat 2.345 subak tersebar di
delapan kabupaten dan satu kota (BPS Provinsi Bali 2014).
Alih fungsi lahan pertanian pada tahun 2013 terjadi pesat di beberapa
kabupaten. Dari total delapan kabupaten dan satu kota di Bali, alih fungsi lahan
pertanian terbanyak pada tahun 2013 terjadi di lima kabupaten, yaitu, Tabanan
mencapai 15.577 hektar, dan Buleleng 7.196 hektar, Gianyar 4.585 hektar, dan
Karangasem 4.256 hektar dan Klungkung 1.337 hektar (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi Bali 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho et al. (2007) memaparkan bahwa
konversi lahan pertanian berimplikasi pada perubahan atau struktur agraria.
Perubahan ini akan menghasilkan ketimpangan struktur agraria lahan terhadap
kehidupan masyarakat. Perbuahan tersebut meliputi perubahan pola penguasaan
lahan, pola nafkah, dan hubungan pola produksi. Perubahan-perubahan tersebut
merupakan efek dari pembangunan pariwisata modern. Terbukanya akses jalan
umum menuju lahan sawah merupakan salah satu pemikat investor untuk memacu
pembangunan pariwisata modern, yang justru dapat menggerus habis lahan
sawah.
Pembangunan yang menempatkan pariwisata sebagai basis pertumbuhan
akan menghadapi masalah bagi masyarakat lokal. Secara evolutif, hubungan
antara wisatawan dengan masyarakat lokal menyebabkan terjadinya proses
komersialisasi dari keramahtamahan masyarakat lokal. Pada awalnya wisatawan
dipandang sebagai 'tamu' dalam pengertian tradisional, yang disambut dengan
keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya jumlah
wisatawan, maka hubungan berubah terjadi atas dasar pembayaran, yang tidak
lain daripada proses komersialisasi, dimana masyarakat lokal sudah mulai agresif
terhadap wisatawan, mengarah kepada eksploitasi dalam setiap interaksi, tanpa
mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Berkembangnya industri pariwisata, seperti maraknya villa, cottage, atau
hotel telah mengubah struktur agraria dalam konteks penguasaan tanah dari
makna tanah yang bersifat kolektif dalam organisasi produksi agraria subak
menjadi makna tanah yang bersifat privat individualistik, manakala tanah-tanah
berubah peruntukannya menjadi hotel yang komersial. Kondisi ini mempengaruhi
keberadaan subak yang basis filosofi agrarianya “kolektivitas” dalam
pendistribusian air berubah menjadi disfungsional karena struktur agrarianya
menjadi privat individualistik. Ketidakberfungsian subak melalui “proses
individualisasi penguasaan tanah” menyebabkan laju konversi lahan pertanian dari
peruntukan pangan ke non pangan (turisme) meluncur dengan hebat.
Kabupaten Tabanan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali yang
memiliki sawah yang terluas (22.453 hektar) dengan jumlah subak 228 subak dan
sekaligus sebagai lumbung padi di Provinsi Bali juga mengalami ancaman alih

fungsi lahan sawah setelah Kabupaten Badung. Besarnya alih fungsi lahan sawah
pada tahun 2013 adalah 204 hektar lebih besar dibandingkan pada tahun 2009
sebesar 97 hektar. Alih fungsi lahan tersebut terjadi pada subak-subak di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Yeh Ho (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten
Tabanan 2014). Adanya alih fungsi lahan pertanian (sawah) di Bali berimplikasi
sangat serius terhadap produksi pangan, yang kemudian memperburuk ketahanan
pangan.
Keberadaan subak juga menjadi terganggu akibat alih fungsi lahan sawah,
contohnya subak di Desa Jatiluwih dan di Desa Candi Kuning, Kabupaten
Tabanan. Meskipun Desa Jatiluwih telah menjadi warisan dunia (world natural
heritage) dan harus dijaga kelestariannya, keberadaan desa pakraman pun dapat
terancam jika terjadi lonjakan tajam alih fungsi lahan di sekitar wilayah tersebut.
Selain itu, alih fungsi lahan berdampak pada lingkungan fisik, adat, dan
budaya. Masalah yang muncul kemudian dan menjadi wacana publik adalah ruang
kawasan suci didesak oleh ruang untuk peruntukan lain, seperti, kawasan Danau
Buyan yang didekati bangunan-bangunan vila, demikian pula kawasan suci Pura
Uluwatu. Bali yang dijadikan sebagai koridor gerbang pariwisata dan pendukung
pangan nasional akhirnya harus berbenturan dengan masalah land grabbing
(penguasaan lahan atau kawasan yang dimiliki oleh pihak luar bukan dimiliki oleh
masyarakat lokal). Land grabbing dan konversi lahan yang terjadi kadang-kadang
direstui oleh pemerintah daerah atau oleh desa dinas setempat. Pembentukan
kawasan desa wisata yang merupakan target program pemerintah daerah sebagai
alternatif pena