Kelembagaan Di Desa dan kelembagaan

Kelembagaan Di Desa
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sosiologi Pedesaan

Yang diampu oleh:
Drs. Basuki Haryono, M.Pd

Disusun oleh:
Dhea Aulianida

Pend. Sos-Ant/K8412019

Emilia Niken Palupi

Pend. Sos-Ant/K8412026

Intan Maharani

Pend. Sos-Ant/K8412034

Kurnia Anandita


Pend. Sos-Ant/K8412039

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014

i

DAFTAR ISI

JUDUL .........................................................................................................................................
i
DAFTAR ISI…………………………………………….............................................................
ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................
1
A. Latar Belakang


1
B. Rumusan Masalah

1
C. Tujuan Penulisan

1
BAB II PEMBAHASAN……………..........................................................................................
2
A. Definisi

Lembaga

Sosial

…………….

3
B. Peran


Kelembagaan
Di
Desa
.....................................................................................................................................
6

C. Kelembagaan

Di

Desa

15
BAB III PENUTUP.…………………….30
A. Kesimpulan……….

30
B. Saran……………………………………………


30
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................31
LAMPIRAN: POWERPOINT......................................................................................................32

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT pada kita. Kami
menyadari bahwa dengan berkat, rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah dengan lancar dan tanpa halangan apapun.
Kami mengucapkan terima kasih atas segenap pihak yang telah membantu mewujudkan
makalah ini. Kepada Bapak Drs. Basuki Haryono, M.Pd kami mengucapkan terima kasih atas
tugas yang telah diberikan, karena dengan tugas ini kami menjadi lebih mengerti mengenai
stratifikasi sosial yang berada di masyarkat pedesaan dalam kajian Sosiologi Pedesaan. Serta
tidak lupa pada teman-teman kelompok yang mampu bekerjasama dengan baik, sebab tanpa
kerjasama, kami tidak akan dapat mewujudkan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
berharap, pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun agar penulisan
makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Namun kami berharap karya ini dapat memberi

manfaat bagi pembaca.

PENULIS

iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaga Sosial (Social institution) diartikan sebagai kompleks norma-norma atau
kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting
dalam masyarakat, merupakan wadah dan perwujudan yang lebih konkrit dari kultur dan
struktur. Dalam suatu lembaga, setiap orang yang termasuk di dalamnya pasti memiliki
status dan peran tertentu. Status merupakan refleksi struktur, sedangkan peran merupakan
refleksi kultur. Lembaga merupakan fenomena yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat, bukan hanya karena fungsinya untuk menjaga dan mempertahankan nilainilai yang sangat tinggi dalam masyarakat, melainkan juga berkaitan erat dengan
pencapaian berbagai kebutuhan manusia. Sehingga ada yang memahami lembaga sebagai
sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Terlepas dari ketepatan artinya, lembaga sosial memiliki peranan yang sangat vital
dalam kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat desa. Secara umum dalam suatu

masyarakat, khususnya negara, lembaga-lembaga yang sangat berperan dalam kehidupan
masyarakat adalah lembaga pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan keluarga.
Namun, dalam makalah ini akan lebih banyak mengupas tentang lembaga pemerintahan
Desa dan yang terkait dengan itu. Sebab, lembaga pemerintahan ini memiliki peranan
penting bagi masyarakat desa di Indonesia pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari makalah ini yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan lembaga sosial?
2. Apa peran kelembagaan di Desa?
3. Apa saja kelembagaan di Desa?
C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini
sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan lembaga sosial
2. Mengetahui dan memahami peran kelembagaan di Desa
3. Mengetahui dan memahami kelembagaan di Desa

1


BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Lembaga Sosial

Lembaga kemasyarakatan disebut juga dengan istilah pranata sosial atau
institusi sosial (social institution). Beberapa sosiolog memberikan definisi yang
berlainan satu sama lain. Namun dalam pokok bahasan ini akan diketengahkan kedua
definisi lembaga kemasyarakatan. Dengan definisi ini diharapkan sudah mampu
membantu memahami konsep lembaga kemasyarakatan.
Menurut Koentjaraningrat, lembaga kemasyarakatan (pranata sosial) adalah
suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap
guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan masyarakat.
Dari definisi Koentjaraningrat ini ada tiga hal penting dalam lembaga kemasyarakatan,
yaitu: (1) Adanya sistem norma; (2) sistem norma itu mengatur tindakan berpola; (3)
Tindakan berpola itu

untuk memenuhi kehidupan manusia dalam kehidupan

masyarakat.
Soerjono Soekanto (1997) mendefinisikan lembaga kemasyarakatan sebagai

himpunan dari norma-norma segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok manusia di dalam kehidupan masyarakat. Ada dua hal penting dalam lembaga
kemasyarakatan menurut definisi Soerjono Soekanto, yaitu: (1) Himpunan normanorma dalam segala tindakan, dan (2) Norma-norma itu mengatur manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Kedua unsur lembaga ini sama dengan unsur lembaga kemasyarakatan pertama
dan ketiga dalam definisi Koentjaraningrat. Himpunan norma-norma mempunyai
pengertian yang sama dengan sistem norma yakni sejumlah norma yang terangkai satu
sama lain. Sejumlah norma itu mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda.
Dari kedua definisi itu dapat diambil kesimpulan bahwa lembaga
kemasyarakatan adalah suatu sistem norma dari segala tingkatan yang mengatur segala
tingkatan berpola untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan masyarakat.
Unsur-unsur Lembaga Kemasyarakatan
Berdasarkan pengertian lembaga kemasyarakatan yang telah dikemukakan di atas
dapat dikemukakan tiga unsur lembaga kemasyarakatan, yaitu:
a. Sistem norma yang terdiri dari sejumlah norma dalam segala tindakan
b. Tindakan berpola
2

c. Kebutuhan manusia dalam kehidupan masyarakat
A. Sistem Norma

Sistem norma merupakan sejumlah norma yang terangkai dan berkaitan
satu sama lain. Norma-norma ini mempunyai kekuatan mengikat yang
berbeda-beda. Ada norma-norma yang sangat kuat mengikatnya dan ada pula
yang lemah. Atas dasar kekuatan mengikat ini maka dikenalah istilah
kebiasaan, tata kelakuan, dan adat-istiadat.
Kebiasaan adalah perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang
sama. Apabila kebiasaan ini dilanggar, maka si pelanggar akan dikenai sanksi
yang tidak terlalu berat. Tata kelakuan adalah kebiasaan yang diterima sebagai
norma dan bagi mereka yang melanggarnya dikenakan sanksi yang cukup
berat. Adat istiadat merupakan kebiasaan yang terintegrasi dengan kuatnya
dalam masyarakat. Sangsi yang diberikan sangat berat bagi si pelanggar.
Sistem Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) merupakan contoh
kelembagaan perkreditan yang ada di pedesaan. Adanya kebutuhan pendanaan
usaha kecil ditingkat desa membuat masyarakat membentuk sistem
perkreditan. Dalam sistem kredit usaha rakyat kecil, calon nasabah yang ingin
mendapatkan kredit harus melalui tata cara permohonan kredit yang telah
ditetapkan. Tata cara permohonan kredit sebenarnya secara sosiologis disebut
norma-norma yang mengatur permohonan kredit, sehingga calon nasabah
bertindak tetap (berpola) dalam proses pencairan kreditnya.
Tata cara permohonan kredit dalam sistem KURK adalah sebagai

berikut:
-

Calon nasabah menyampaikan kepada petugas pengelola KURK mengenai
keinginannya mendapatkan kredit dan rencana penggunaan serta jenis
usaha yang memerlukan kredit tersebut. Kemudian, yang bersangkutan
mengisi formulir permohonan. Dalam pengisian formulir ini petugas
pengelola KURK memberikan petunjuk dan bantuan-bantuan seperlunya
kepada calon nasabah.

-

Petugas menguji kebenaran rencana usaha calon nasabah, kemudian
memberikan pertimbangan kepada kepala desa tentang permohonan kredit
terrsebut, termasuk mengenai jumlah kredit yang dapat diberikan kepada
calon yang bersangkutan.
3

-


Kepala desa memberikan rekomendasi kepada petugas pengelola dengan
memperhatikan pertimbangan yang sudah diberikan sebelumnya oleh
petugas pengelola

-

Dengan memperhatikan rekomendasi kepala desa, petugas pengelola
KURK mengambil keputusan mengenai permohonan tersebut.
Alur kerja diatas diatur dengan norma-norma. Misalnya, si nasabah

menggunakan uang untuk keperluan lain selain yang diajukan secara yuridis
memang bersalah, tetapi dia hanya layak mendapatkan teguran, tidak harus
diadili di muka pengadilan, artinya norma ini hukumannya tidak begitu keras.
Berbeda dengan keadaan dimana si nasabah tidak mengembalikan kredit yang
dipinjamnya. Tentu dia akan dituntut secara perdata oleh pemberi kredit dan
bila terbukti maka ia akan mendapatkan hukuman yang berat, misalnya
penyitaan hak miliknya atau denda kurungan (berarti norma ini punya
kekuatan mengikat yang kuat).
Berdasarkan uraian diatas maka sistem norma mempunyai fungsifungsi sebagai berikut :
-

Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana harus
bertingkah laku dalam menghadapi maalah-masalah pemenuhan kebutuhan
hidup

-

Menjaga keutuhan (integrasi) dari masyarakat.

-

Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem
pengendalian sosial (social control) terhadap tingkah laku anggotaanggotanya. Adapun tuuan pengendalian sosial ini agar anggota-anggota
masyarakat mentaati norma-norma yang berlaku. Pengendalian sosial ini
dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melaluikekerasan phisik,
intimidasi, cemoohan, memberikan sangsi positif bagi mereka yang
mentaati norma-norma, mengembangkan rasa malu dalam jiwa anggota
masyarakat bila mereka menyimpang dari norma-norma itu dan
sebagainya.

B. Tindakan Berpola
Tindakan berpola merupakan serangkaian tindakan yang saling
berhubungan satu sama lain, sehingga membentuk suatu pola yang mantap.
4

Dengan adanya kelakuan berpola ini, maka anggota masyarakat sudah dapat
mengantisipasi atau mengetahui lebih dahulu peran yang akan ditampilkan bila
berhubungan dengan anggota masyarakat lainnya. Pengetahuan akan tindakan
berpola menentukan tindakan si individu itu sendiri. Tata cara pengajuan
KURK seperti dijelaskan sebelumnya merupakan contoh tindakan berpola
yang nyata.
Pengajuan KURK pasti melalui prosedur seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya dan anggota masyarakat dapat menduga tindakan apa yang harus
ia ambil. Pola tindakan yang dari sistem KURK adalah sistem pengembalian
pinaman yang periodik. Periodesasi pengembalian kredit pada sistem itu
merupakan perilaku yang tetap.
C. Kebutuhan Manusia
Sistem norma yang mengatur tindakan-tindakan manusia berfungsi
memenuhi kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia yang beraneka ragam
inilah yang menjadi dasar terbentuknya kelembagaan masyarakat yang
beranekaragam. Makin banyak dan kompleks kebutuhan manusia, makin
banyak pula jenis lembaga kemasyarakatan yang dibutuhkan/dibentuk.
Kebutuhan akan pangan dan tenaga kerja dipedesaan melahirkan sitemsistem pengaturan distribusi pangan dan tenaga kerja, misalnya sistem sakap,
sistem sewa lahan, sistem bawon, sistem ngedok, sistem upah borongan, sistem
tebas, dan patron-klien. Kebutuhan akan uang menimbulkan sistem gadai,
sistem jual beli, sistem rentenir (lintah darat), sistem perkreditan usaha kecil,
dan yang paling modern yaitu sistem perbankan. Kebutuhan untuk memperoleh
keturunan membentuk sistem keluarga dan kekerabatan. Kebutuhan akan
pendidikan melahirkan sistem pendidikan formal (sekolah, kursus, dan latihan)
dan sistem pendidikan non formal (pondok pesantren, penyuluhan, dan
otodidak).

Kebutuhan-kebutuhan

lain

seperti

politik,

keamanan,

dan

perumahan membentuk sistem sesuai dengan kebutuhan itu.

B. Peran Kelembagaan Di Desa
Seperti telah diuraikan diatas kebutuhan hidup manusia sebagai anggota
masyarakat banyak ragamnya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup tersebut,
maka terbentuklah bermacam-macam lembaga kemasyarakatan. Masing-masing
5

lembaga ini mempunyai fungsi berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan manusia itu
sendiri. Berikut ini akan dikemukakan macam lembaga kemasyarakatan dengan fungsi
yang berbeda-beda.
1) Lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan
kekerabatan yang sering disebut sebagai lambaga kekerabatan (kinship institution).
Contohnya yaitu sistem perkawinan, keluarga, sopan santun prgaulan antar
kerabat, sistem istilah kekerabatan dan lain-lain.
2) Lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi keperluan manusia
dalam hal mata pencaharian, memproduksi, menimbun, menyimpan, dan
mendistribusikan hasil produksi dan harta. Lembaga ini disebut sebagai lembaga
ekonomi (economic institution)
3) Lembaga kemasyarakatan yang berfungsi memenuhi kebutuhan manusia dalam
distribusi kekuasaan dan wewenang mengatur masyarakat disebut sebagai lembaga
politik (political institution)
4) Lembaga-lembaga kemasyarakatan llainnya seperti lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan, dan lain-lain.
Berikut ini dijabarkan salah satu contoh fungsi lembaga kemasyarakatan dibidang
ekonomi pedesaan yaitu Sistem Kredit Usaha Rakyat Kecil. Daru Priyambodo dan
Bagong Suyanto (Prisma Nopember 1991) menyebutkan bahwa salah satu wujud
strategi pembangunan yang berorientasi pedesaan adalah pembentukkan berbagai
lembaga perkreditan yang disebar di pedesaan dan memperluas daerah angkauan
lembaga kredit formal –khususnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) melalui BRI Unit
Desa dan KUD.
Strategi ini dilakukan karena adanya kesadaran bahwa salah satu kelemahan
masyarakat desa yang harus diatasi adalah keterbatasan modal (ada kebutuhan
pemodal di desa ). Modal adalah faktor utama dalam mendukung peningkatan
produksi dan tarah hidup masyarakat desa. Keterbatasan modal jelas menjadi kendala
masyarakat pedesaan untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Sebenarnya di desa banyak lembaga kredit informal yang leluasa beroperasi,
misalnya rentenir, pengijon, atau pelepas uang lainnya. Jaminan yang utama untuk
mendapatkan kredit dari para pelepas uang ini cukup kepercayaan dan jaminan
dibutuhkan pelepas uang dalam hal tertentu saja. Misalnya kurang begitu mengenal
pinjaman atau si peminam “kurang loyal”. Tak arang pelepas uang itu mengantarkan
6

uangnya kerumah-rumah peminjam. Suatu cara pemasaran yang sebenarnya cukup
baik dan fleksibel.
Pinaman dari lembaga kredit informal ini biasanya hanya bersifat sementara,
yaitu mengatasi kesulitan keuangan yang segmenter. Kenikmatan yang diperoleh dari
berhutang hanya dirasakan sesaat. Sebab dengan pinjaman dari kredit perorangan,
kebanyakan penduduk pedesaan justru terjerat kesulitan baru yang bukan tidak
mungkin malah lebih rumit.
Persyaratan yang dituntut para pengijon atau rentenir umumnya memang
mudah. Pelayanan relatif cepat dan uang pinjaman bisa segera diterima tanpa prosedur
yang berbelit-belit. Tapi yang sering kurang diperhitungkan adalah suku bunga yang
dikenakan sangatlah tinggi. Disamping itu keterlambatan membayar cicilan atau utang
pokok sering harus ditebus dengan penyitaan barang jaminan yang dikenakan, tidak
peduli nilai itu lebih tinggi daripada nilai utang yang ada ditambah lagi dengan
bunganya.
Mengatasi masalah tersebut Pemerintah Daerah TK I Jawa Timur melakukan
instruksi Gubernur No. 0224/4/1980 membentuk sistem Kredit Usaha Rakyat Kecil
dengan tujuan membantu penyediaan dana bagi kegiatan produktif rakyat kecil di
pedesaan. Sistem ini diharapkan menadi tandingan dan meminimalisir sistem kredit
informal yang banyak merugikan penduduk desa.
Lebih lanjut penelitian Daru Priyambodo dan Bagong menyebutkan bahwa
pola pemanfaatan kredit usaha ini berbeda-beda menurut strata penghasilan tinggi dan
sedang perbulan cenderung memanfaatkan kreditnya untuk kegiatan yang produktif.
Sedangkan untuk pinjaman dengan pendapatan strata rendah lebih cenderung
menggunakan kredit untuk kegiatan konsumtif.
Karena itu tingkat hidup rata-rata peminjam strata penghasilan tinggi dan
sedang meningkat setelah mengambil kredit usaha kecil. Peminjam yang
berpengalaman rendah menyatakan tingkat hidupnya sama saja dengan sebelum
mengambil kredit usaha kecil.
Dua fenomena ini nampaknya bukan karena penghasilan perbulan yang
menjadi masalah utama menurut penulis, tetapi lebih cenderung merupakan masalah
ketrampilan, kemampuan memanfaatkan peluang, dan mental budaya. Sejalan dengan
pendapatnya Bambang Ismawan (dalam Peter Hagul, 1992), para penduduk desa strata
atas (bertanah luas) mempunyai kecenderungan umum untuk melebarkan usaha,
sedangkan para penduduk desa strata bawah mempunyai kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan pokok walaupun sudah mengusahakan pekerjaan sampingan. Karena itu
7

dapat ditarik kesimpilan bahwa suatu kewajaran bila penduduk strata rendah
menggunakan pinjaman untuk hal-hal yang produktif. Pada masa yang akan datang
perlu dicari jalan keluar membantu masyarakat strata bawah ini agar lebih produktif
dalam memanfaatkan bantuan, dalam konsep Inpres Desa Tertinggal mereka diberi
pendamping.
1. Proses Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan (Institusionalisasi)
Proses pembentukan suatu lembaga kemasyarakatan disebut proses
institusionalisasi. Menurut Soerono Soekanto, proses institusionalisasi adalah
suatu proses yang dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk
menjadi bagian dari salah satu lembaga masyarakat.
Perilaku perorangan
Proses
Habitual
isasi

Proses
Institusionalisasi

Kebiasaan
(habit/falkways)

Proses
Tipifikasi

Tata Kelakuan, Adat
Istiadat (Tipe)
Gambar Proses Institusionalisasi
Dari gambar diatas dapat kita lihat bahwa proses institusionalisasi mencakup
proses habitualisasi dan proses tipifikasi. Proses habitualisasi adalah proses
menjadikan suatu perilaku manusia menadi sebuah kebiasaan (kebiasaan orang
perorang). Karena diulang-ulang, perilaku itu akhirnya memiliki pola tertentu
sehingga mudah diketahui dan dibayangkan. Perilaku itu diulang-ulang karena
menguntungkan bagi pelakunya.
Proses tipifikasi adalah proses penerimaan atau pembenaran suatu kebiasaan
oleh sejumlah orang tertentu. Seperti diketahui bahwa kebiasaan seseorang belum
8

tentu baik atau cocok bagi orang lain. Apabila ada kebiasaan orang mendapat
pengakuan dari sekelompok orang tertentu, maka terbentuklah tipe yaitu suatu
kebiasaan yang berlaku untuk sekelompok orang tertentu. Orang lain mengakui atau
membenarkan kebiasaan tadi karena mereka menganggap kebiasaan itu sebagai
sesuatu yang bernilai. Tipe inilah yang disebut dengan lembaga kemasyarakatan.
Contoh: Sistem kredit informal pedesaan adalah lembaga kemasyarakatan. Di
dalam sistem kredit informal terdapat serangkaian norma yang saling berhubungan
dan ada kebutuhan penduduk desa yang harus dipenuhi. Kebutuhan itu adalah
kebutuhan akan uang atau barang pada saat tertentu. Dalam lembaga kredit informal
ini terdapat dua pihak yang berada pada kedudukan yang berbeda, yaitu pemberi utang
(pemberi kredit) dan penerima hutang (penerima kredit). Pada mulanya tidak ada
norma yang mengatur penerima hutang harus memberi buanga uang kepada pemberi
hutang. Pada beberapa kasus berikutnya kemudian timbul pemikiran dari pihak
penerima hutang untuk membalas jasa kepada pemberi hutang. Balas jasa tersebut
ditunjukan dalam wujud uang atau barang dan disampaikan pada waktu pengembalian
pinjaman.
Perilaku ini dilakukan berulang-ulang oleh seorang penerima hutang yang pada
akhirnya menjadi kebiasaan pada setiap meminjam uang atau barang. Ia selalu
mengembalikan uang atau barang lebih dari sejumlah barang atau uang yang dipinjam,
dengan kata lain memberikan “bunga”. Maka dapat dikatakan bahwa hal ini telah
mengalami proses habitualisasi.
Kebiasaan memberi bunga ini diakui dan dibenarkan oleh orang lain. Lamakelamaan kebiasaan perorangan itu dianggap menguntungkan oleh sekelompok orang
(masyarakat) sehingga terjadi proses tipifikasi. Akhirnya norma baru itu (dimana pihak
penerima hutang diharuskan membayar bunga pada waktu pengembalian pinjaman
menjadi bagian dari sistem norma kredit informal (hutang piutang) di pedesaan.
Semua proses habitualisasi yang berlanjut menadi tipifikasi disebut proses
institusionalisasi.
Proses pembentukan lembaga kemasyarakatan dapat muncul dari dalam
masyarakat. Lembaga kemasyarakatan yang muncul dari dalam masyarakat sendiri
disebut crescive institution.
Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang muncul dari dalam masyarakat desa
indonesia sendiri antara lain sistem sakap, sewa, gadai, ijon, pondok pesantren, dan
sebagainya. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berasal dari luar masyarakat
yang kemudian diterima oleh masyarakat setempat disebut enacted institution.
9

Beberapa lembaga luar yang kini menjadi bagian kelembagaan masyarakat di desa
Indonesia antara lain sistem perbankan, sistem perkoperasian, sistem pendidikan
formal, dan lain-lain.
2. Perubahan Lembaga Kemasyarakatan
Seperti
kemasyarakatan

halnya
juga

unsur-unsur

dapat

masyarakat

mengalami

perubahan.

yang

lain,

lembaga

Perubahan

lembaga

kemasyarakatan dapat mencakup:
(1) Perubahan unsur-unsur lembaga kemasyarakatan seperti, sebagian normanorma dalam lembaga kemasyarakatan berubah, atau bisa juga perubahan
fungsi lembaga itu sendiri;
(2) Perubahan lembaga dalam artian kemasyarakatan lama hilang dan diganti
dengan lembaga yang baru.
Beberapa kasus sebagian norma-norma suatu masyarakat yang berubah antara
lain terjadi pada lembaga keluarga. Lembaga tradisional sudah mengalami
beberapa perubahan norma pada era industri seperti sekarang ini. Pada masa yang
lalu lembagaa keluarga berfungsi sebagai sistem yang dapat memenuhi kebutuhan
seksual, reproduksi, sosialisasi norma-norma masyarakat termasuk pendidikan,
pemenuhan kebutuhan pangan, dan lain-lain. Fungsi sosialisasi dan penyiapan
makan minum di rumah dilakukan oleh ibu rumah tangga. Sekarang setelah banyak
wanita masuk ke pasar tenaga kerja dan mereka bekerja seperti layaknya kaum
pria, otomatis banyak fungsi keluarga yang dijalankan mengalami perubahan.
Sosialisasi norma pada anak yang dulu dilakukan para ibu rumah tangga sudah
diambil alih oleh lembaga-lembaga pendidikan anak seperti tempat penitipan anak,
play group, sekolah taman kanak-kanak, baby sitter, dan lain-lain. Begitu juga
dengan fungsi penyiapan konsumsi yang dilakukan para ibu diambil alih oleh
warung atau restaurant atau depot, catering, pembantu rumah tangga, dan
sebagainya.
A. Perubahan Kelembagaan Pertanian Pasca Adopsi Padi Varietas Unggul
Kelembagaan seperti disebutkan diatas secara evolusi tumbuh dari
masyarakat atau diintroduksikan pada masyarakat seperti halnya undangundang. Menurut Memed Gunawan dkk (dalam Effendi Pasandran, 1989)
10

bahwa setiap bentuk kelembagaan mengatur tiga hal yaitu penguasaan,
pemanfaatan, dan transfer sumber daya.
Agar dapat berfungsi dengan baik, kelembagaan haruslah cukup
mapan selama periode tertentu. Kelembagaan mengalami perubahan karena
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sumber daya biologis, kebutuhan
dan preferensi masyarakat. Dipihak lain
perkembangan

teknologi

Pembangunan pertanian

baik

arah

kelembagaan juga mempengaruhi
maupun

laju

di Indonesia juga melalui

perkembangannya.
mekanisme

kera

kelembagaan. Adanya kelembagaan yang memungkinkan timbulnya insentif
untuk menciptakan varietas unggul, adanya insentif untuk menanam varietas
unggul, dan menggunakan pupuk, dan lain sebagainya telah menciptakan satu
sistem kelembagaan yang saling mengkait dan menghasilkan berbagai
teknologi di bidang pertanian. Adanya lembaga penelitian, bisnis, lembaga
penyuluhan, sistem perkreditan, pemasaran hasil, dan masih banyak lagi
lainnya telah mendukung lahirnya teknologi yang meningkatkan produksi
pangan.
Dinamika kelembagaan terus berlangsung berdampingan dengan
perubahan teknologi dan pola kehidupan masyarakat. Introduksi teknologi
pertanian telah banyak mengakibatkan perubahan sosial ekonomi di pedesaan,
dan proses ini akan terus berlangsung. Interaksi antara teknologi dan
kelembagaan menciptakan suatu proses pembentukan kelembagaan baru dan
melahirkan teknologi baru.
Perubahan tatanan masyarakat pedesaan banyak diperbincangkan
sejak masuknya teknologivarietas unggul dan pupuk kimia. Umumnya
pengaruh penggunaan teknologi baru terhadap peningkatan produktivitas tidak
diragukan lagi. Produktifitas per hektar meningkat begitu pesat dengan
diadopsinya varietas unggul. Demikian pula pendapatan petani meningkat
walaupun dengan laju yang lebih rendah akibat kebijakan harga pangan rendah
yang diterapkan pemerintah.
Perhatian para pakar ilmu-ilmu sosial sekarang ini beralih pada
dampak teknologi tersebut terhadap perubahan-perubahan sosial ekonomi di
pedesaan terutama yang menyangkut pemerataan pendapatan dan kesempatan
kerja. Gejala semacam ini terlihat dengan semakin timpangnya penguasaan
sumberdaya di daerah sentra produksi padi terutama di lahan sawah beririgrasi
baik.
11

Secara ekonomis sudah sejak dini diperkirakan bahwa yang menguasai
asset besar akan lebih responsif terhadap teknologi baru. Hal ini berarti
kelompok tersebut akan memperoleh manfaat teknologi baru lebih dulu
dibandingkan dengan petani yang memiliki asset kecil. Perluasan skala usaha
dan investasi keuntungan pada lahan pertanian yang dilakukan oleh petani luas
dengan alan membeli lahan dari petani kecil yang usaha taninya semakin tidak
efisien, akan mengakibatkan timpangnya pemilikan asset. Efisiensi pada usaha
skala besar mengakibatkan penggunaan alat mekanis dalam pertanian menjadi
lebih murah, akibatnya kesempatan kerja para buruh tani berkurang. Teknologi
telah mendorong perubahan tatanan kelembagaan di pedesaan dan dampak
perubahan kelembagaan dapat dilihat seperti dibawah ini.
1) Perubahan Sistem Pengupahan
Sistem pengupahan tertua dibidang pertanian pedesaan adalah pengupahan
natural (dengan beras atau hasil pertanian lainnya). Sistem ini kurang fleksibel
karena penerima upah tidak dapat menggunakan upah dengan fleksibel untuk
keperluan lain. Upah natural kemudian diganti dengan upah uang dan makan
yang setara dengan yang digantikannya. Akhirnya dengan berjalannya waktu
sistem pengupahan yang kedua ini pun berganti dengan pengupahan uang
murni dengan sistem upah harian. Pengupahan dengan uang tunai
memungkinkan tingkat upah akan lebih fleksibel bergantung pada kekuatan
pasar tenaga kerja. Upah uang dimasa yang akan datang akan berhubungan erat
dengan upah buruh diluar sektor pertanian.
Sistem sambatan yang umum dilaksanakan oleh masyarakat Jawa
juga sudah menghilang. Hal ini disebabkan runtuhnya budaya kerja sambat
sinambat karena masing-masing individu masyarakat desa mempunyai ragam
kerja yang lebih banyak dan relatif terspesialisasi. Selain itu, alasan biaya
sistem sambatan juga mendorong hilangnya sistem ini. Walaupun sistem
sambat sinambat tidak memerlukan uang tunai, namun setelah dihitung secara
terperinci biaya yang dikeluarkan lebih tinggi dibandingkan dengan sistem
upah harian karena kebiasaan menyediakan makan dalam jumlah dan kualitas
yang lebih baik.
Sistem pengupahan panen dengan bawon masih dilaksanakan dan
hanya mengalami perubahan dalam prosentase yang lebih sedikit ke sistm
pengupahan uang tunai. Sistem pengupahan ceblokan, dimana buruh tani
12

bekerja pada kegiatan menanam, menyiang, dan memanen tanpa mendapat
upah sama sekali kecuali makan siang, kemudian kelak mereka akan menerima
hasil panen seluas areal yang mereka tanami atau siangi masih terus
berlangsung. Tetapi jam kerja mereka akan bertambah banyak.
Cara pengupahan yang muncul belakangan ini adalah sistem upah
borongan. Faktor-faktor yang mendorong timbulnya sistem upah borongan ini
adalah :
(1) Sistem pengairan dan penjadwalan pengairan yang semakin baik,
sehingga memaksa petani untuk memepercepat pengolahan tanah agar
dapat menanam tepat waktu.
(2) Mekanisasi

pertanian

yang

menyebabkan

pengolahan

tanah,

penyemprotan penyiangan dan pemanenan berlangsung lebih cepat
(3) Penggunaan varietas unggul berumur pendek memerlukan waktu yang
lebih cepat pada beberapa bidang pekeraan
(4) Pengupahan borongan lebih murah daripada sistem upah harian
(5) Adanya sarana yang menunjang buruh borongan untuk meningkatkan
mobilitas mereka.
2) Perubahan Kelembagaan Distribusi Pendapatan
Setelah introduksi varietas unggul padi di desa, distribusi pendapatan yang
diterima pemilik lahan meningkat tetapi distribusi pendapatan yang diterima
oleh pekerja menurun. Varietas unggul padi merupakan teknologi yang
termasuk ke dalam teknologi padat modal (dibandingkan dengan varietas lama
atau lokal sebelumnya). Pada teknologi yang padat modal umumnya
pendapatan pemilik modal menjadi lebih banyak.

B. Perubahan Kelembagaan Keluarga
Keluarga bisa disebut sebagai suatu lembaga apabila keluarga dilihat
dari sudut pandang sekumpulan sistem norma yang dibuat oleh masyarakat atau
anggota-anggota keluarga untuk mengatur perilaku anggotanya dalam rangka
memenuhi kebutuhan bersama. Dilihat dari bentuk keluarga, perubahan yang
terjadi adalah perubahan dari bentuk keluarga besar berubah menjadi keluarga
inti. Diwaktu yang lampau keluarga terdiri atas beberapa generasi dan saudara
setingkat yang hidup dalam satu lokasi tertentu. Saat ini keluarga pedesaan
13

sudah banyak yang hanya terdiri atas keluarga inti saja (ayah, ibu, dan anakanak).
Fungsi keluarga pada mulanya adalah reproduksi, produksi, ekonomi,
keagamaan, rekreasi, pendidikan, tempat konsultasi, dan juga proteksi. Fungsifungsi proteksi keluarga pada masa lalu bersifat tidak terbatas, artinya jumlah
anak yang banyak merupakan suatu keuntungan karena akan menjadi asset
keluarga dalam memenuhi kebutuhan dan keutuhan keluarga sehingga timbul
nilai sosial “banyak anak banyak rejeki”. Fungsi reproduksi keluarga ini erat
dengan fungsi produksi yang dulu bertumpu pada banyaknya anggota keluarga
sebagai tenaga untuk menghasilkan sesuatu, namun nilai-nilai ini terus
berkurang karena proses diversifikasi pekeraan, industrialisasi, dan pengenalan
keluarga kecil lewat program keluarga berencana sehingga nilai sosial “banyak
anak banyak rejeki” berubah, sebagai akibatnya adalah timbulnya pendapat
yang menyatakan bahwa anak-anak adalah suatu beban hidup keluarga.
Fungsi ekonomi keluarga dimasa lalu tidak terlalu menekankan fungsi
ekonomi istri dalam kehidupan keluarga tetapi menekankan pada fungsi
pendidikan, pengasuhan, rekreasi bagi anak, proteksi, dan lain-lain. Saat ini
kontribusi istri terhadap istri terhadap fungsi ekonomi keluarga bertambah
besar. Beberapa suami sengaja untuk memilih calon istri yang bekerja dengan
pertimbangan untuk menghindari kesulitan-kesulitan ekonomi yang nantinya
akan ada apabila sudah menjadi sebuah keluarga. Fungsi beberapa proses
produksi dalam keluarga menurun karena adanya spesialisasi pekerjaan
diantara anggota masyarakat seperti pembuatan peralatan mebeler yang diganti
oleh perusahaan mebeler, produksi makanan digantikan oleh warung, kegiatan
menahit pakaian digantikan oleh penjahit atau konveksi. Fungsi-fungsi
pendidikan yang diambil oleh pihak lain dalam keluarga antara lain pendidikan
permainan (timbul lembaga kelompok bermain), pelaaran menulis-membacaberhitung telah diganti oleh lembaga sekolah ataupun kursus, memainkan alatalat musik yang pada mulanya diajarkan oleh orang tua digantikan oleh
lembaga pendidikan musik.
Perubahan lain yang berkaitan dengan lembaga keluarga adalah
bertambahnya hubungan-hubungan seksual pranikah. Hubungan seksual remaa
pranikah menandakan turunnya fungsi keluarga sebagai lembaga yang
dianggap sakral dalaam hal penyaluran kebutuhan biologis seksual seorang
manusia. Keadaan seperti itu juga menunjukan fungsi pengawasan keluarga
14

terhadap anggota-anggotanya berkurang atau tidak efektif karena adanya
berbagai alasan.
C. Kelembagaan Di Desa
1. LEMBAGA PEMERINTAHAN DAN/ATAU PIMPINAN DESA
Mengingat keberagaman yang ada di Indonesia, besarnya peranan lembaga
pemerintahan tidaklah sama di setiap desa. Untuk desa-desa yang didasarkan atas
ikatan genealogis (hubungan darah) keadaannya berbeda dengan desa yang
didasarkan atas ikatan daerah. Untuk tipe desa pertama, yang umumnyaterdapat di
luar Jawa, peranan pimpinan desa sebenarnya tidak terlalu besar, sistem
kekerabatan dengan aturan-aturan adat istiadat yang berkaitan dengan itu sangat
besar peranannya sehingga peranan pimpinan desa sebenarnya hanya merupakan
bagian atau instrumen saja dari sistem kekerabatan atau adat istiadat tersebut.
Sehingga, untuk desa-desa genealogis semacam ini, pimpinan desa harus tunduk
kepada peraturan adat yang ada. Jika menyimpang dari peraturan adat, maka
kepemimpinannya tidak akan diakui oleh masyarakat. Dengan demikian, dia tidak
bisa ditafsirkan sebagai puncak kekuasaan (single interpreter atau polymorphic
leader). Berbeda dengan desa ke dua, yang umumnya terdapat di Jawa. Adat
istiadat yang ada di desa-desa Jawa umumnya berlandaskan pada kepentingan
yang sama atas daerah tertentu, bukan didasarkan atas hubungan darah. Dengan
demikian ikatannya tidak terlalu kuat seperti desa-desa di luar Jawa. Kepala desa
tidak ditetapkan berdasar atas hukum adat, namun didasarkan atas sistem
pemilihan yang telah sejak lama dikenal. Sekalipun telah sejak lama, kepalakepala desa di Jawa merupakan bagian dari kekuasaan negara/ kerajaan (terutama
di daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan suatu kerajaan), namun mereka
masih dapat memainkan perannya secara lebih otonom dan individual dibanding
dengan kepala-kepala desa di luar Jawa.
Sebelum negara Indonesia terlahir, peranan pemimpin desa secara umum
sangat besar, sebab umumnya desa-desa di nusantara hidup sendiri, seolah sebuah
negara sendiri. Latar belakang sejarah desa-desa memiliki pengaruh yang sangat
besar terhadap lembaga pemerintahan desa sekarang ini. Ada lembaga
pemerintahanlokal yang berlandaskan hukum adat atau tradisi tergantikan oleh
lembaga pemerintahan baru, namun ada juga yang hukum adat dan tradisinya
15

masih kuat sehingga lembaga pemerintahannya sulit tergantikan dengan lembaga
pemerintahan yang baru. Karena kuatnya adat istiadat yang masih berlaku,
seringkali terjadi semacam dualisme pimpinan desa, yakni pimpinan adat dan
pimpinan formal. Misalnya di Bali, dualisme ini tercermin pada adanya dua
sebutan desa (dengan pimpinannya) yaitu “desa adat” untuk desa asli yang telah
ada sebelum Indonesia merdeka dan “desa dinas” untuk desa yang didasarkan atas
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979.
Dilihat dari latar belakang sejarahnya, desa-desa di Jawa dan di luar Jawa
sangat berbeda, bukan hanya pada perbedaan dasar integrasinya, yaitu di Jawa
berdasar ikatan daerah dan di luar Jawa berdasar ikatan darah, melainkan juga
pada perbedaan intensitas dan lama waktu intervensi kekuasaan luar desa
(supradesa) terhadap desa-desa tersebut. Dapat disimpulkan secara umum, bahwa
desa-desa di Jawa telah mengalami intervensi kekuasaan supradesa yang lebih
lama dan intensif dibandingkan dengan desa-desa di luar Jawa. Intensitas pengaruh
supradesa ini tidak terlepas dari kuat-lemahnya atau besar-kecilnya

pusat

kekuasaan yang ada. Di Jawa, sejak jaman Hindhu-Islam telah dikenal adanya
kerajaan-kerajaan yang besar dan berpengaruh serta kekuasaan yang besar
terhadap desa-desa yang berada di wilayah kekuasaannya. Di luar Jawa, yang
umumnya tidak terdapat kerajaan-kerajaan besar kurang berpengaruh terhadap
daerah yang berada di wilayah kekuasaannya.
Di Jawa, rusaknya tradisi (detradisionalisasi)asli desa tidak hanya disebabkan
oleh intervensi kekuasaan kerajaan, melainkan juga intervensi pemerintah kolonial
Belanda, terutama sejak jaman cultuurstelsel. Cultuurstelsel ini hakekatnya
merupakan

pengembangan

landrent

yang

diciptakan

oleh

Gubernur

Raffles(Inggris). Mengapa perhatian mereka terhadap daerah pedesaan sangat
besar? Intinya adalah berdasar atas pemikiran dan pemahaman bahwa Jawa
merupakan daerah agraris. Mayoritas masyarakatnya hidup dari pertanian. Maka,
jika ingin mendapatkan keuntungan yang besar dari masyarakat ini, mereka harus
memperolehnya dari para petani tersebut. Namun kenyataannya, para petani tidak
memiliki lahan pertanian yang cukup karena adanya sistem feodalisme. Oleh sebab
itu, agar memperoleh keuntungan sebagaimana yang mereka harapkan, desa
dengan kaum petaninya harus diperkuat kedudukannya. Petani haris memiliki

16

lahan pertanian dan desanya juga harus lebih otonom serta tidak dikuasai dan
dikendalikan oleh kekuasaan kerajaan.
Untuk mewujudkan strateginya tersebut, ditempuh dua tindakan, yaitu :
pertama, hubungan langsung dengan desa (beserta sejumlah peran) yang dimiliki
Bupati

digantikan

oleh

pemerintah

Belanda.

Namun

demikian,

dalam

pelaksanaannya Bupati tersebutb masih dipergunakan, sehingga peraturanperaturan dari pemerintah kolonial

Belanda mendapat tentangan dari Bupati.

Secara demikian, Belansa dapat memaksakan program-program kegiatan tertentu
ke desa-desa. Ke dua, Belanda mengupayakan desa memiliki kedudukan yang
lebih kuat dan otonom, sehingga dengan demikian mereka telah menciptakan
prasarana bagin tercapainya tujuan mereka.
2. STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA
Landasan utama struktur Pemerintahan Desa yang disusun berdasar Undangundang Nomor 5 Tahu 1979 adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 1a dan 1b.
Dalam pasal ini dinyatakan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintahan terendah di bawah
kecamatan. Dalam Undang-undang tersebut dibedakan antara perbedaan desa dan
kelurahan. Perbedaan utamanya adalah bahwa desa memiliki hak untuk
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri (dalam batas Ikatan Kesatuan
Republik Indonesia), sedangkan kelurahan tidak

memiliki hak semacam itu.

Dalam struktur Pemerintahan Desa terdapat perangkat desa yang mengatur
Pemerintahan Desa, yaitu : Kepala Desa serta wakilnya, Lembaga Musyawarah
Desa (LMD) yang berfungsi memusyawarahkan segala masalah yang dihadapi di
desa, pembantu-pembantu Kepala Desa baik Sekretaris Desa ataupun KepalaKepala Urusab yang tergabung dalam Pamong Desa. Di Samping Sekretaris Desa
yang membantu Kepala Desa terdapat Kepala Dusun. Berbeda dengan perangkat
dalam struktur pemerintahan desa tersebut, perangkat yang ada di Pemerintahan
Kelurahan terdiri dari Lurah dan wakilnya yang dibantu oleh Sekretariat
Kelurahan dengan Kepala-Kepala Urusan dan Kepala Lingkungan. Di Kelurahan
tidak terdapat Lembaga Musyawarah Kelurahan sebagaimana LMD di desa.
Struktur Pemerintahan di desa menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
secara normatif (sesuai ketentuan-ketentuan yang ada) seharusnya memiliki
perbedaan yang cukup mendasar dibanding dengan struktur pemerintahan desa
17

lama. Kedua, pola kepemimpinan adat beserta peran-peran yang terlekat padanya
seharusnya mendapatkan tempat yang sewajarnya selaras dengan perubahan dan
perkembangan yang terjadi.
Dengan ditempatkannya desa di bawah pengaturan kabupaten dengan
Perdanya maka seharusnya lebih bisa dihindari adanya kecenderungan
penyeragaman desa demi kepentingan pusat yang sering dinyatakan sebagai
kepentingan nasional. Dengan kata lain, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
seharusnya bisa lebih menampakkan karakteristik daerah maupun lokalnya.
Dengan demikian juga diharapkan dapat menangkap dan memenuhi aspirasiaspirasi daerah maupun lokal (desa).
3. LEMBAGA-LEMBAGA LAMA DAN BARU
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lembaga sosial denga kompleks
norma-normanya hakekatnya mengatur perilaku orang dalam mencapai tujuan
mereka. Tujuan itu secara konkrit umumnya diartikan sebagai kepentingan atau
kebutuhan tertentu. Maka sering pula dikatakan bahwa kebaradaa lembaga sosial
adalah merupakan respons terhadap kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam
masyarakat. Sehingga jika ada kebutuhan baru yang muncul, muncul pula tuntutan
terhadap adanya lembaga baru yang dapat melayani tuntutan tersebut. Lembagalembaga lama dengan semakin maraknya kebutuhan-kebutuhan baru itu semakin
terdesak dan menjadi kurang berfungsi.
Ketika suatu masyarakat desa masih dalam keadaan bersahaja, yang relatif
masih terisolasi baik secara geografis, ekonomis maupun sosio-kultural, maka
dapat dibayangkan bagaimana desa semacam ini dibandingkan dengan suatu desa
yang berdekatan dengan kota besar yang secara intensif telah mengenal dan
terlibat dalam sistem ekonomi kapitalis dan kebudayaan modern lewat berbagai
media masa maupun oleh mobilitas mereka sendiri. Desa-desa yang masih
bersahaja tersebut dengan sendiri masih belum memerlukan adanya lembagalembaga yang kompleks dan terdeferensiasikan. Seperti kebanyakan desa-desa di
Indonesia yang masih bersahaja, maka lembaga yang dominan adalah lembagalembaga adat. Lembaga semacam ini , tanpa mengenal pemilihan spesifikasi
struktur dan fungsinya (diferensiasi), telah mengatur berbagai kepentingan
masyarakatnya yang hakekatnya tidak memiliki beragam kebutuhan. Kegiatan
ekonomi yang masih belum terlalu didominasi oleh sistem ekonomi uang,
18

menyebabkan masih kuatnya keterkaitan kegiatan ekonomi dan sosial. Maka
bentuk-bentuk kerjasama langsung dalam masyarakat seperti gotong royong ,
terlembagakan dengan kuat di tengah kehidupan masyarakat desa.
Lembaga-lembaga lama atau lembaga adat di desa-desa di Indonesia, kecuali
berkaitan dengan sistem kekerabatan (ikatan genealogis) serta ikatan daerah juga
sangat

dipengaruhi

oleh

agama

atau

kepercayaan

setempat.

Falsafah

“manunggaling kawulo lawan Gusti” (Menyatunya manusia dengan Tuhan)
terlihat sekali pengaruhnya terhadap perilaku masyarakat desa di Jawa
(umumnya). Seperti dicontohkan oleh Sutardjo Kartohadikoesoemo, gugur gunung
misalnya, disamping dapat disimak sebagai bentuk kerjasama langsung antar
sesama warga desa, juga dijiwai oleh falsafah tersebut.
Keberadaan suatu lembaga tidak terlepas dari kebutuhan masyarakatnya, hal
ini juga terlihat pada lembaga gotong royong. Namun,seiring dengan semakin
masuknya sistem ekonomi uang di tengah kehidupan masyarakat desa gotong
royong telah mengalami perubahan dan pergeseran. Yang sebenarnya terjadi
adalah bahwa dalam masyarakat desa telah terjadi perubahan-perubahan yang
cukup mendasar terutama disebabkan oelh semakin merasuknya sistem ekonomi
uang di tengah kehidupan masyarakat desa.
Demikian pula, lembaga-lembaga adat lainnya yang tidak lagi sesuai dengan
perkembangan jaman saat ini, juga semakin pudar keberadaannya. Menyangkut
lembaga pimpinan desa lama, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
keberadaannya semakin terdesak dan tergantikan oelh lembaga pimpinan/
pemerintahan baru yang didasarkan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979.
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 hakekatnya bekum
terjadi perubahan-perubahan yang mendasar. Keberadaan lembaga-lembaga baru
untuk sebagian memang sesuai dengan tuntutan perkembangan , namun untuk
sebagian lain belum tentu demikian. Program-program pembangunan nasional
memang memerlukan lembaga-lembaga modern yang mampu menjadi wahana
bagi pelaksanaannya. Namun, karena program tersebut merupakan suatu program
nasional, maka secara umum kurang mampu mengakomodasi keberagaman di
tingkat daerah (desa). Akibatnya, lembaga baru yang diciptakan sebagai wahana
bagi program-program pembangunan nasional tersebut menjadi kurang efektif.
Sekalipun desa-desa di negara kita telah diklasifikasikan menjadi tiga tipe desa
19

( desa swadaya, Swakarya dan Swasembada) yang membedakan tingkat
kemajuannya, namun tipologi ini belum mampu menjaring secara obyektif
keberagaman yang ada di desa-desa di Indonesia. Maka untuk beberapa desayang
secara obyektif belum mengalami perkembangan, keberadaan lembaga-lembaga
baru tersebut sebenarnya belum di perlukan.
Yang disebut lembafga-lembaga baru di desa-desa saat ini sebenarnya tidak
seluruhnya telah dapat disebut lembaga dalam arti yang sebenarnya. Sebagian
merupakan

badan-badan,

organisasi-organisasi,

atau

kegiatan-kegiatanyang

bersifat sementara, yang keberadaannya berkaitan dengan pembangunan sektor
pertanian, misalnya melahirkan sejumlah kegiatan yang sebagian semakin
melembaga dan sebagian lain terhenti hanya pada tingkat kegiatan yang belum
melembaga. Demikian misalnya, pelaksanaan BIMAS/INMAS telah menuntut
dibentuknya Unit Desa, yang kemudian untuk mewadahi kegiatan-kegiatan yang
rutin dan teratur muncullah BUUD yang berkembang lebih lanjut menjadi KUD.
Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan program pembangunan dalam sektor
kesehatan

misalnya,

telah

memunculkan

dan

memantabkan

keberadaan

PUSKESMAS di tingkat Kecamatan dan POSYANDU di tingkat desa. Programprogram yang beersifat khusus, temporer dan terlekat pada suatu departemen
tertentu, dalam pelaksanaannyaumumnya ditangani atau dikelola oelh pemerintah
Desa dan/atau LKMD (melalui seksi-seksinya).
4. LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA (LKMD)
Jika Lembaga Pemerintahan Desa sebagai penyalur arus dari atas ke bawah (topdown, dari Pemerintah ke rakyat) sementara itu LKMD sebagai penyalur aspirasi
dari bawah ke atas (bottom-up). LKMD berfungsi sebagai wadah dari segala
bentuk partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan.
Dari sejarahnya, LMD merupakan penjelmaan dari Lembaga Sosial Desa (LSD)
yang pada awal pembentukannya bernaung di bawah Departemen Sosial. Secara
garis besar, LSD mengemban fungsi sebagai wadah dari segala kegiatan
pembangunan di desa dan sekaligus merupakan wadah perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian kegiatan masyarakat dan lembaga-lembaga lain dalam
pembangunan desa, termasuk kegiatan PKK, Koperasi dan lainnya. Atas keluarnya
Surat Keputusan Presiden R.O Nomor 81 Tahun 1971, tugas LSD dialihkan dari
Departemen Sosial ke Departemen Dalam Negeri. Selanjutnya berdasar Kepres
20

Nomor 28 tahun 1980, LSD diubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat desa
dengan fungi utaman masih tetap tidak berubah sebagaimana yang diemban LSD.
Keputusan Mendagri Nomor 27 tahun 1984 tentang susunan organisasi dan tata
kerja LKMD. Menyangkut kedudukan dan fungsi LKMD, Kepmen itu
menetapkan antara lain bahwa LKMD merupakan lembaga masyarakat yang
bersifat lokal di tingkat desa dan secara organisatoris berdiri sendiri. Pengurusnya
terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dan pemimpin-pemimpin lembagalembaga yang ada di dalam masyarakat, baik desa maupun kelurahan. Struktur
organisasinya sebagai berikut; Ketua Umum yang dijabat oleh Kepala Desa, Ketua
I, Ketua II, Sekretaris, Bendahara dan anggota-anggota pengurus yang lainnya.
LKMD terbagi dalam sepuluh seksi, yakni:
1. Seksi Agama
2. Seksi Pembudayaan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
3. Seksi Keamanan, Ketentuan dan Ketertiban
4. Seksi Pendidikan dan Penerangan
5. Seksi Lingkungan Hidup
6. Seksi Pembangunan, Perekonomian dan Koperasi
7. Seksi Kesehatan, Kependudukan dan Keluarga Berencana
8. Seksi Pemuda, Olahraga dan Kesehatan
9. Seksi Kesejahteraan Sosial
10. Seksi Pembinaan Keluarga Sejahtera (PKK)
Tugas dan fungsi pokok LKMD dalam keseluruhannya teercermin pada tugastugas yang diemban oleh seksi-seksi tersebut di bawah kendali Ketua Seksi
masing-masing. Dalam mengemban tugas dan fungsinya LKMD menjalin
hubungan kerja dengan organisasi atau lembaga desa lainnya, terutama dengan
Kepala Desa/Kelurahan dan LMD.
Hubungan LKMD dengan Kepala Desa menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 27 Tahun 1984 ditetapkan sebagai berikut:
1. LKMD membantu Kepala Desa dalam menyusun rencana pembangunan,
dan melaksanakan pembangunan berdasarkan rencana yang telah
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Desa serta pengesahan dari
Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II;
2. Kepala Desa menggunakan LKMD untuk membantu dalam menggerakjan
serta

meningkatkan

prakarsa

dan

partisipasi

masyarakat

untuk

melaksanakan pembangunan dan menumbuhkan kondisi dinamis serta
kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan dan memantapkan
Ketahanan Desa.
21

Dalam melaksanakan tugas-tugas pokok tersebut LKMD memiliki sejumlah
fungsi, antara lain: sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan
melaksakan pembangunan, menggali, dan menggerakkan swadaya gotong royong
masyarakat untuk pembangunan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat, emmbinadan menggerakkan potensi pemuda untuk pembangun, dan
sebagainya.
LKMD dan LMD memiliki kemiripan dan perbedaan. Keanggotaan LMD dan
LKMD hampir sama karena terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat, pimpinan
lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada, di samping kepala-kepala dusun.
Pimpinan LMD yakni Ketua Umumnya, seperti juga LKMD dijabat oleh Kepala
Desa. Di desa-desa yang masih bersahaja, karena masih sedikitnya orang-orang
berpendidikan yang berkemampuan memimpin, seringkali orang yang menjadi
anggota LKMD juga menjadi anggota LMD. Hal itu menyebabkan perbedaan
fungsi yang diemban menjadi kabur. Diluar itu semua, LMD dan LKMD memiliki
perbedaan yang penting, seperti:
1. LKMD adalah organisasi kemasyarakatan sedangkan LMD adalah lembaga
pemerintah Desa.
2. LKMD berbentuk non-struktural sedangkan LMD struktural.
3. Tugas LKMD adalah mengenai rencana pembangunan desa sedangkan
LMD adalah mengenai penetapan keputusan desa.
4. LKMD membantu Kepala Desa dalam bidang pembangunan sedangkan
LMD adalah memusyawarahkan hal-hal yang bersifat mengatur dan
membenahi masyarakat.
Masalah utama yang sering dikemukakan banyak pihak mengenai kesulitan
LKMD untuk menyalurkan aspirasi masyarakat desa (arus bawah) adalah karena
lembaga ini masih di bawah dominasi Lembaga Pemerintahan, kurangnya sumber
danda untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya dan masih kurangnya orangorang yang memiliki cukup kualitas untuk mengemban fun

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65