ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI LAMPUNG DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

(1)

xi ABSTRACT

THE ANALYSIS OF REGENCIES AND CITIES GOVERNMENT’S FINANCIAL PERFORMANCE IN LAMPUNG PROVINCE IN THE FRAMEWORK OF LOCAL AUTONOMY IMPLEMENTATION

By Khoirun Nasikhin

After the reform, there is a paradigm shift from centralized government toward decentralization or local autonomy. Local autonomy grant to the Local Government authority, and obligation to regulate and manage their own household with a goal on improving people's welfare. Local autonomy is also followed by the arrangement, distribution, and utilization of national resources equitably including government financial balance between local and central government.

One of the main characteristics that indicate a region able to implement local autonomy can be seen from the area of financial performance and dependence on financial support from central government to a minimum. One of the tools for analyzing financial performance of the region is to perform financial ratio analysis of the budget that has been defined and implemented by Local Government.

This research aims to determine the financial performance of local governments, especially the regencies and cities Government in Lampung Province, the period of 2001-2008. Object of this research consists of eight regencies and two cities. Analysis tools used in research is local financial autonomy ratio, the ratio of the effectiveness of local native income (PAD), the ratio of PAD growth, and the ratio of local income growth. The analytical method used in research is a comparative analysis, trend analysis and linear regression.

The results of this research indicate that the local financial autonomy is still low but tended to increase, the ability to realize the PAD are categorized as effective but tend to decline, the average PAD growth rate and growth of local income is positive but declining. Besides that the PAD and non-PAD has a positive influence on the local financial autonomy, if the PAD and non-PAD increase will improve also the local financial autonomy and vice versa. Based on this research also shows that the level of local financial autonomy of the City Government is higher than the County Government.

Keywords: Autonomy, Budgets, local financial autonomy, Effectiveness of PAD, Growth of PAD and local income.


(2)

xi ABSTRAK

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI LAMPUNG DALAM RANGKA PELAKSANAAN

OTONOMI DAERAH

Oleh

Khoirun Nasikhin

Setelah reformasi, terjadi perubahan paradigma pemerintahan yaitu dari sentralisasi menuju desentralisasi atau otonomi daerah. Otonomi daerah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya dengan tujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Otonomi daerah diikuti pula dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil termasuk didalamnya perimbangan keuangan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

Salah satu ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan daerah dan ketergantungan kepada bantuan pusat yang seminimal mungkin. Alat untuk menganalisis kinerja keuangan daerah diantaranya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja keuangan Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung, periode tahun 2001-2008. Obyek penelitian ini terdiri atas 8 Kabupaten dan 2 Kota. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas PAD, rasio pertumbuhan PAD, dan rasio pertumbuhan pendapatan daerah. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah analisis komparatif, trend dan regresi liniear.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung masih rendah namun cenderung meningkat, kemampuan dalam merealisasikan PAD dikategorikan efektif namun cenderung menurun, rata-rata tingkat pertumbuhan PAD dan pertumbuhan pendapatan daerah adalah positif namun cenderung menurun. Selain itu PAD maupun Non-PAD memiliki pengaruh yang positif pada kemandirian suatu daerah, apabila penerimaan PAD dan Non-PAD meningkat akan meningkatkan pula kemandirian suatu daerah dan sebaliknya. Berdasarkan penelitian ini juga diketahui bahwa tingkat kemandirian Pemerintah Kota lebih tinggi dari pada Pemerintah Kabupaten.

Kata Kunci: Otonomi Daerah, APBD, Kemandirian Keuangan Daerah, Efektivitas PAD, Pertumbuhan PAD dan Pendapatan Daerah.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, data-data yang telah dikumpulkan, dan analisis yang telah dilakukan, maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

1. Kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung dalam membiayai kebutuhan daerahnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah periode tahun 2001-2008 pada umumnya masih rendah, yaitu di bawah 20%. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung pada umumnya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Pemerintah Pusat/Provinsi, yang disebabkan oleh belum optimalnya penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing Kabupaten dan Kota untuk memenuhi kebutuhan daerahnya.Namun rasio kemandirian pemerintah kabupaten/kota di Lampung memiliki trend atau kecenderungan meningkat walaupun dengan besaran yang kecil.

2. Kemampuan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung pada pelaksanaan otonomi daerah tahun 2001-2008 dalam merealisasikan penerimaan daerahnya pada umumnya dikategorikan efektif karena realisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing Kabupaten dan Kota rata-rata melampaui target yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun rasio efektifitas memiliki kecenderungan untuk menurun.


(4)

3. Pertumbuhan PAD Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung tahun anggaran 2002 sampai 2008, dilihat dari rata-rata rasio pertumbuhan PAD Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung sangat fluktuatif. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan PAD memiliki trend semakin menurun.

4. Rata-rata rasio pertumbuhan pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung mengalami pertumbuhan positif. Namun pertumbuhan yang positif tersebut memiliki kecenderungan untuk semakin menurun. Agar dapat tetap menjaga pertumbuhan pendapatannya, Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung harus mencari sumber-sumber pendapatan baru, selain dari PAD dan Dana Perimbangan.

5. Penerimaan PAD dan Non-PAD berpengaruh positif pada tingkat kemandirian suatu daerah, dengan pola hubungan searah, yaitu apabila penerimaan PAD dan Non-PAD meningkat akan meningkatkan pula kemandirian suatu daerah dan sebaliknya. Selain itu tingkat kemandirian Pemerintah Kota lebih tinggi dari pada Pemerintah Kabupaten.

6. Kebijakan otonomi daerah yang mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2001 memberikan kesempatan yang luas bagi Pemerintah Kabupaten dan Kota untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri. Kemampuan Pemerintah Kabupaten dan Kota dalam pengelolaan daerahnya dapat dinilai melalui analisis rasio keuangan terhadap APBD yang digunakan untuk mengetahui kemandirian keuangan daerah, efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta pertumbuhan PAD dan pendapatan.


(5)

5.2Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan yang terdapat dalam penelitian adalah adanya keterbatasan data yang diperoleh penulis yang disebabkan oleh penggunaan data sekunder dalam penelitian. Hal ini mengakibatkan beberapa analisis rasio, seperti Rasio Efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Rasio Belanja Rutin/Operasional terhadap APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), Rasio Belanja Pembangunan/Modal terhadap APBD, Debt Service Coverage Ratio (DSCR), Rasio Pertumbuhan Belanja Rutin/Operasional, dan Rasio Pertumbuhan Belanja Pembangunan/Modal, yang digunakan sebagai tolok ukur kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya, tidak dapat dihitung. Selain itu pengambilan data yang terbatas, yaitu 8 tahun, antara tahun 2001 sampai dengan 2008, yang mengakibatkan hasil analisa kurang memberikan gambaran yang sesungguhnya.

5.3Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan, antara lain:

1. Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung perlu meningkatkan penerimaan PAD melalui peningkatan penerimaan dari perpajakan dan retribusi daerah, selain Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung perlu mengoptimalkan kinerja dari BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) guna mengurangi ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat.

2. Pemerintah Daerah lebih meningkatkan kemampuannya dalam mengelola sumber daya yang dimiliki daerahnya guna meningkatkan penerimaan pendapatan daerahnya. Hal ini dikarenakan tingkat pertumbuhan PAD dan pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung masih cukup rendah


(6)

meskipun memiliki tingkat pertumbuhan positif namun menunjukkan kecenderungan menurun dari tahun ke tahun. Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung harus mencari sumber-sumber pendapatan baru, selain dari PAD dan Dana Perimbangan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan Dana Insentif Daerah (DID) dari Pemerintah Pusat.

3. Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung hendaknya lebih memperhatikan potensi yang dimiliki daerahnya sehingga dalam penyusunan anggaran daerah, target yang ditetapkan tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah (dalam batas rasional) sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah.

4. Melakukan perbaikan sistem penagihan dan administrasi dalam pengelolaan dan pengawasan PAD, sebab mekanisme pengelolaan pajak daerah pada beberapa pemerintah daerah di Lapung masih belum sesuai dengan peraturan daerah atau bila diperlukan menyesuaikan peraturan daerah yang sudah tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi.

5. Penelitian selanjutnya dapat dikembangkan dengan menambahkan faktor pengeluaran Pemerintah Daerah guna mengetahui apakah penerimaan Pemerintah Daerah telah cukup untuk membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, pelayanan sosial terhadap masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan data yang diperoleh penulis akibat penggunaan data sekunder dalam penelitian.


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditandai dengan diterbitkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang diubah menjadi Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua undang-undang tersebut lebih dikenal dengan paket undang-undang-undang-undang otonomi daerah.

Sebelum kedua undang-undang otonomi tersebut diterbitkan pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersifat asimetris yang ditandai dengan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, terutama dalam hal pendanaan. Walaupun Pemerintah Daerah diberikan peluang untuk menggali potensi penerimaan sendiri, namun hal itu belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan kepada keuangan daerah. Hal ini terjadi karena sumber-sumber penerimaan utama, seperti penerimaan dari minyak bumi, gas, hasil hutan dan pajak pusat telah dikuasai oleh pemerintah pusat.

Setelah reformasi, terjadi perubahan paradigma pemerintahan yaitu dari sentralisasi menuju desentralisasi atau otonomi daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan


(8)

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Untuk itu dikeluarkanlah UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.

Otonomi menjadi hal yang sangat penting bagi daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah kota dan kabupaten didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang sangat luas, nyata dan bertanggungjawab. Otonomi mencakup pula kewenangan yang penuh dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya, mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaporan dan evaluasi. Konsekuensi logis dari desentralisasi tersebut, akan ada pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana, baik yang berasal dari Pemerintah Pusat (sesuai dengan urusan yang telah diserahkan) maupun dana yang berasal dari Pemerintah Daerah sendiri.


(9)

Kaho (1998) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah adalah: (1) manusia pelaksananya harus baik, (2) keuangan harus cukup dan baik, (3) peralatannya harus cukup dan baik, dan (4) organisasi dan manajemennya harus baik (Susilo dan Halim, 2002). Rasyid (2000) menyatakan bahwa ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu menyelenggarakan otonomi daerahnya terletak pada kemampuan keuangan daerahnya (Mursinto, 2005). Menurut Halim (2001) ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah (Mursinto, 2005): 1. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan

kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.

2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian dari sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sehingga peranan Pemerintah Daerah menjadi lebih besar.

Keuangan daerah merupakan salah satu faktor penting untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi. Keuangan daerah diantaranya diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam melaksankan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan sosial masyarakat. APBD yang sesuai dengan konteks otonomi juga mampu mencerminkan prinsip-prinsip: kewenangan, relokasi pegawai, aset, penataan organisasi, dan aset yang bersumber pada potensi daerah.


(10)

Selain itu, dalam rangka pertanggungjawaban publik dan salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah keharusan bagi para pengelola keuangan negara untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

Widodo dalam Halim (2007) menyatakan bahwa analisis rasio keuangan pada APBD merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya. Hasil analisis rasio keuangan dalam penelitiannya tersebut digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah, tingkat efektivitas dan efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), tingkat aktivitas Pemerintah Daerah dalam melakukan Belanja Daerah serta rasio proyeksi kemampuan keuangan Daerah untuk melakukan pinjaman. Penelitian lain mengenai penilaian kinerja keuangan Pemerintah Daerah di era otonomi daerah juga pernah dilakukan oleh Landiyanto (2005) pada Pemerintah Daerah Kota Surabaya dengan menggunakan derajat desentralisasi fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah.

Beberapa penelitian terkait dengan penilaian kinerja keuangan Pemerintah Daerah oleh Widodo, Landiyanto, Badrudin dan Damayanti menunjukkan hasil


(11)

bahwa rasio kemandirian pada pemerintah daerah masih rendah sedangkan rasio efektivitas dan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menunjukan peningkatan.

Berdasarkan uraian yang diungkapkan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung setelah pelaksanaan otonomi di masing-masing daerah tersebut dengan menggunakan alat analisis rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas dan rasio pertumbuhan. Adapun judul dari penelitian ini adalah “ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI LAMPUNG DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam membiayai kebutuhan daerahnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah?

2. Bagaimana efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam merealisasikan pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah?

3. Bagaimana pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah?


(12)

4. Bagaimana pengaruh penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Non-PAD terhadap kemandirian?

1.3.Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai:

1. Perkembangan kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam membiayai kebutuhan daerahnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

2. Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam merealisasikan pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

3. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

4. Pengaruh penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Non-PAD terhadap kemandirian.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi/Pemerintah Daerah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam usaha meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola keuangan daerahnya.


(13)

2. Bagi Pihak Lain

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan studi atau bahan kajian bagi para peneliti lain, serta dapat dijadikan bahan acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan atau yang membutuhkan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1, yang menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa tujuan utama adanya otonomi daerah adalah kemandirian Pemerintah Daerah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan yang dapat diukur dengan menggunakan analisis rasio keuangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Widodo, dalam Halim (2007), yang menyatakan bahwa analisis rasio keuangan pada APBD merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya.

Rasio keuangan yang dapat dijadikan alat ukur untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya diantaranya adalah: 1. Rasio Kemandirian

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,


(14)

pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah. Selain itu, tingkat kemandirian keuangan daerah juga menunjukkan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern, tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, dan tingkat kesejahteraan masyarakat (Badrudin, 2006) 2. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang telah direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1 (satu) atau 100%. Semakin tinggi rasio efektivitas, maka semakin baik pula kemampuan daerah tersebut (Halim, 2007).

3. Rasio Pertumbuhan(Growth Ratio)

Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur kemampuan daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Rasio pertumbuhan dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur pertumbuhan perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan perolehan pendapatan daerah secara keseluruhan dari satu periode ke periode berikutnya guna membiayai kebutuhan daerahnya (Badrudin, 2006). Semakin tinggi rasio pertumbuhan, maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam hal pengelolaan keuangan daerah.


(15)

1.6 Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan kerangka pemikiran pada bagian sebelumnya, pengembangan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. H1 : Rasio Kemandirian Pemerintah Kota di Provinsi Lampung lebih besar

dari Pemerintah Kabupaten.

2. H2 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki pengaruh yang positif pada

kemandirian Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung.

3. H3 : Penerimaan Non-PAD memiliki pengaruh yang positif pada


(1)

Selain itu, dalam rangka pertanggungjawaban publik dan salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah keharusan bagi para pengelola keuangan negara untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

Widodo dalam Halim (2007) menyatakan bahwa analisis rasio keuangan pada APBD merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya. Hasil analisis rasio keuangan dalam penelitiannya tersebut digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah, tingkat efektivitas dan efisiensi Pendapatan Asli Daerah (PAD), tingkat aktivitas Pemerintah Daerah dalam melakukan Belanja Daerah serta rasio proyeksi kemampuan keuangan Daerah untuk melakukan pinjaman. Penelitian lain mengenai penilaian kinerja keuangan Pemerintah Daerah di era otonomi daerah juga pernah dilakukan oleh Landiyanto (2005) pada Pemerintah Daerah Kota Surabaya dengan menggunakan derajat desentralisasi fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah.

Beberapa penelitian terkait dengan penilaian kinerja keuangan Pemerintah Daerah oleh Widodo, Landiyanto, Badrudin dan Damayanti menunjukkan hasil


(2)

bahwa rasio kemandirian pada pemerintah daerah masih rendah sedangkan rasio efektivitas dan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menunjukan peningkatan.

Berdasarkan uraian yang diungkapkan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung setelah pelaksanaan otonomi di masing-masing daerah tersebut dengan menggunakan alat analisis rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas dan rasio pertumbuhan. Adapun judul dari penelitian ini adalah “ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI LAMPUNG DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam membiayai kebutuhan daerahnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah?

2. Bagaimana efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam merealisasikan pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah?

3. Bagaimana pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah?


(3)

4. Bagaimana pengaruh penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Non-PAD terhadap kemandirian?

1.3.Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai:

1. Perkembangan kemandirian keuangan daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam membiayai kebutuhan daerahnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

2. Efektivitas Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam merealisasikan pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

3. Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.

4. Pengaruh penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Non-PAD terhadap kemandirian.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi/Pemerintah Daerah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam usaha meningkatkan kemampuan daerah dalam mengelola keuangan daerahnya.


(4)

2. Bagi Pihak Lain

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan studi atau bahan kajian bagi para peneliti lain, serta dapat dijadikan bahan acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan atau yang membutuhkan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1, yang menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa tujuan utama adanya otonomi daerah adalah kemandirian Pemerintah Daerah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan yang dapat diukur dengan menggunakan analisis rasio keuangan. Hal ini sejalan dengan penelitian Widodo, dalam Halim (2007), yang menyatakan bahwa analisis rasio keuangan pada APBD merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya.

Rasio keuangan yang dapat dijadikan alat ukur untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dalam mengelola keuangan daerahnya diantaranya adalah: 1. Rasio Kemandirian

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,


(5)

pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah. Selain itu, tingkat kemandirian keuangan daerah juga menunjukkan tingkat ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern, tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, dan tingkat kesejahteraan masyarakat (Badrudin, 2006) 2. Rasio Efektivitas Pendapatan Asli Daerah

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang telah direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1 (satu) atau 100%. Semakin tinggi rasio efektivitas, maka semakin baik pula kemampuan daerah tersebut (Halim, 2007).

3. Rasio Pertumbuhan(Growth Ratio)

Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur kemampuan daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Rasio pertumbuhan dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur pertumbuhan perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan perolehan pendapatan daerah secara keseluruhan dari satu periode ke periode berikutnya guna membiayai kebutuhan daerahnya (Badrudin, 2006). Semakin tinggi rasio pertumbuhan, maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam hal pengelolaan keuangan daerah.


(6)

1.6 Hipotesis

Berdasarkan uraian latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan kerangka pemikiran pada bagian sebelumnya, pengembangan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. H1 : Rasio Kemandirian Pemerintah Kota di Provinsi Lampung lebih besar dari Pemerintah Kabupaten.

2. H2 : Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki pengaruh yang positif pada kemandirian Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung.

3. H3 : Penerimaan Non-PAD memiliki pengaruh yang positif pada kemandirian Pemerintah Kabupaten dan Kota di Lampung.


Dokumen yang terkait

PENDAHULUAN ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PADA DAERAH OTONOM BARU DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS DI KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG).

0 3 16

PENUTUP ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PADA DAERAH OTONOM BARU DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS DI KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG).

0 2 8

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH KABUPATEN TEGAL DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH Analisi Kinerja Keuangan Kabupaten Tegal dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.

0 0 14

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.

0 2 8

ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.

0 1 11

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.

0 0 8

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN WONOGIRI DAN KABUPATEN KARANGANYAR DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.

0 0 9

ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KOTASURAKARTA DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.

0 0 13

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN WONOGIRI.

0 1 9

ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH ANALISIS KINERJA ANGGARAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO.

0 0 13