Konsep dasar hukum pidana

  Muljatno. Fungsi dan tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undang-Undang Tentang Asas-Asas dan Dasar-Dasar Pokok Hukum Indonesia. Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1985.

  Tujuan hukum pidana Indonesia adalah untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, mengayomi kasyarakat dan fungsinya adalah menghilangkan hambatan-hambatan yang datangnya dari para kriminal, yang menghalangi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Permasalahan:

  1. Tentang perbuatan pidana, atau kejahatan, atau crime. Karena tujuan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat maka konsep kejahatan adalah segala perbuatan yang membahayakan keselamatan dan kebebasan masyarakat. Prof. adat (masyarakat), dalam arti kejahatan yang sifatnya melawan hukum secara materiil dan mallum prohibitum, yaitu kejahatan yang dilarang oleh hukum pidana. Atau perbuatan hukum secara formil.

  2. Masalah manusianya/orangnya atau kriminalnya. Masalah perbuatannya sendiri tidak berarti apa-apa. Disitu yang penting adalah adanya guilty mind.

  Unsur ini melihat pada sisi pelakunya, atau manusianya, atau kriminalnya.

  Guilty mind ini yang memisahkan antara kriminal dan non-kriminal.

  3. Masalah sanctienya (Punishment). Guilty mind ini pula yang menyebabkan orang harus beranggung-jawab dan menjadi alasan seorang dinyatakans sebagai kriminal dan patut mendapat hukuman. Konsep - konsep yang dipakai adalah:

  1. Asas legalitas;

  2. Kejahatan dirumuskan secara proggresif;

  3. Ada alasan pemaaf (Uitsluitungsgronden dan Rechwardigingsgronden);

  4. Delik Agama;

  5. Delik Susila;

  6. Delik Ekonomi;

  7. Hakim diberi kewenangan untuk membventuk undang-undang; 8. Percobaan dan Penyertaan. Muljatno. Membangun Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Bina Aksara, 1985.

  1. Paradigmanya adalah fungsi sosial hukum pidana untuk menyelesaikan revolusi;

  2. Perspektinya adalah:

  a. Indonesia telah merdeka, sebagai negara yang baru merdeka revolusi yang dikumandangkan pada tahun 1945, maasih belum selesai;

  b. Masyarakat telah mengalami perubahan dari masyarakat yang dijajah menjadi masyarakat yang merdeka. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kemerdekaan atau kebebasan membawa pada perssamaan hak, setiap orang memiliki hak sama untuk memanfaatkan peluang-peluang yang diberikan oleh melalui hukum; c. Hanya dengan pelindungan hukum oleh negara maka masyarakat

  Indonesia akan dapat meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai bangsa yang merdeka untuk mencapai masyarakat yang memiliki keadilan sosial bagi seluruh bagsa Indonesia.

  3. Problemanya adalah;

  a. Pengajaran hukum dari zaman Belanda harus ditinggalkan, karena aras filosofi, tradisi doktrin hukum yang daijarkan di bangku kuliah adalah doktrin hanya untuk menjadi ahli hukum yang menjalankan hukum tertulis bagi kepentingan bangsa Belanda;

  b. Hukum pidana yan diwarisi dari zaman Belanda adalah hukum yang menindas, yang menghalangi bangsa Indonesia untuk memiliki kedudukan yang sama dengan bangsa-bangsa lain yang beradab; c. Aplikasi dari hukum pidana warisan Belanda tidak memberikan perlindungan atas hak asasi bangsa Indonesia.

  4. Konsepnya adalah:

  a. Hukum adalah alat untuk menyelesaikan revolusi;

  b. Perubahan masyarakat Indonesia dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka akan membawa perubahan pada pikiran dan budaya bangsa. Seluruh aktivitas bangsa Indoensia akan berubah, tidak terkecuali bidang hukum.

  c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dirubah oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1946 (Republik Jogyakarta), khususnya Pasal V; d. Rumusan strafbaaefeit yang konvensional adalah: Strafbaar feit

  is een strafbaar gestelde, onrechtmatig met schuld in verband staande handeling van een toerekening straf baar person. Jadi

  istilah yang keliru karena yang dihukum bukan perbuatannya tetapi adalah orangnya. Harus dibedakan antara perbuatan yang dapat dihukum dan orangnya yang dapat dihukum

  e. Konsep wederrechtelijk memiliki dua arti: dapat berarti melanggar undang-undang formil dan dapat juga berarti melanggar norma-norma sosial (dalam arti materiil) atau anti sosial.

  Teori yang dipergunakan adalah teori Frederich Karl von Savigny: Das recht

  ist und wird mit dem volke. Dari teori von Savigny ini Prof. Muljatno

  menarik kesimpulan bahwa “hukum tidak lain dari ekspresi cita-cita masyarakat”.

  Konsep: dari teori von Savigny ini beliau mencari konsep-konsep yang ada dalam masyarakat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indnesia, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Problemanya: untuk mencapai msasyarakat adil dan makmur itu menghadapi kendala-kendala berbagai bentuk kejahatan yang menghalangi bangsa

  Indonesia dalam usahanya untuk mencapai masyarakat adil dan Konsep-Konsep: ada kerangka konsep yang dipergunakan oleh bangsa Indonesia dalam menanggulangi kejahatan tersebut, dan ada konsep- konsep bangsa Indonesia dalam memperlakukan mereka yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Ada konsep bangsa Indonesia tentang pengertian pidana yang akan dijatuhkan kepada mereka yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Konsep dasarnya adalah

  adanya perbuatan pidana, adanya pelaku tindak pidana dan adanya sanksi pidana (crime-criminal - sanctioon) ada kejahatan ada penjahatnya dan ada hukumannya.

  Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia adalah:

  1. Asas legalitas;

  3. Delik Percobaan dan Penyertaan, yang membatasi pengenaan hukuman;

  4. Masalah pertanggungan jawab pidana. Hanya mereka yang terbukti memang memiliki niat jahat yang dapat dikenakan sanksi. Dalam masyarakat Pancasilais tak ada perbedaan antrara kesengajaan dan kealpaan, keduanya adalah merupakan hambatan dalam mencapai tujuan masyarakat yang adil dan makmur, karena itu perbedaan jenis delik dengan kesengajaan dan kealpaan supaya dihapus. Terhadap mereka yang tidak dapat dimintakan pertanggung- jawaban pidana harus dilepaskan dari tuntutan pidana (verwijtbaarheid) atau Non Compos Mentis, yaitu orang yang tidak mampu bertanggung-jawab, termasuk anak-anak di bawah umur, wanita yang sedang hamil muda. Konsep Kejahatan.

  1. Konsep kejahatan adalah semua perbuatan yang menghalangi bangsa Indonesia mencapai masyarkat adil dan makmur. Jadi tidak semua perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik harus dihukum. Bilamana perbuatan tersebut tidak mejadi penghalang bagi masyarakat untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, maka perbuatan tersebut bukan kejahatan dan tidak perlu mendapat hukuman. Sebaliknya bilamana perbuatan itu menghalangi masyarakat dalam usahanya mencapai masyarakat adil dan makmur, walaun tidak tertulis wajib mendapat hukuman.

  Wederrechtelijk dalam artian formil dan materiil mendapat tempat

  sewajarnya; yang dilakukan dalam keadaan terpaksa atau karena ada tekanan dari luar yang memiliki daya paksa;

  3. Perbuatan yang menghambat usaha masyarakat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur adalah perbuatan yang memiliki unsur kesengajaan atau kealpaan;

  4. Mereka yang melakukan perbuatan karena percobaan saja, atau mereka yang melakukan perbuatan kejahatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan (non-compos mentis) atau yang diliputi oleh strafuitsluitingsgrond atau yang memiliki waardigingsgrond, tak dapat dihukum, dalam hal ne bis in idem, atau karena hak menunutut dari negara sudah lampau;

  5. Hukuman harus disesuaikan dengan perbuatan seseorang dalam hal penyertaan, dalam hal melakukan beberapa perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan perundang-undangan (concursus

  idealis dan concurusus realis);

  6. Masalah pemidanaan. Bukan karena perbuatannya yang dapat dipidana tetapi karena orangnya (hlm. 34). Jadi perbuatannya membahayakan masyarakat dalam usahanya mencapai masyarakat adil dan makmur dan orangnya yang dapat dihukum.

  Linggar Kuswara 2012 – 41 – 093 Ilmu Hukum Eksekutif

  Kesimpulan :

Konsep Pengayoman, yang membimbing masyarakat menuju masyarakat yang

adil dan makmur, menjadi konsep utama pemidanaan. Konsep ini bukan sebagai

konsep penghukum atau menghukum, melainkan fungsi rehabilitasi. Agar konsep Pengayoman ini berjalan sesuai yang di harapkan dan tidak berubah menjadi pemidanaan, maka diperlukan asas – asas hukum pidana

Indonesia, sebagai tembok pembatas, yang membatasi konsep ini dengan hukum

pidana di Indonesia.