Konsep Dasar Hukum Tata Negara

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis

constituer

yang berarti

membentuk. Maksudnya pembentukan, penyusunan, atau pernyataan akan
suatu

negara.

Konstitusi dalam bhs Latin, cume yg berarti "bersama dengan", dan statuere
yang berarti "membuat sesuatu agar berdiri" atau "mendirikan, menetapkan
sesuatu". Dalam bentuk pemerintahan kesatuan (Negara Kesatuan) biasanya
mempunyai konstitusi yang sesingkat mungkin misalnya dalam pengaturan
susunan (struktur) ketatanegaraan sudah cukup mengatur struktur legislatif,

eksekutif, dan secara garis besar baik Ekstern maupun Intern lembaga itu
sendiri.
KC Wheare mengartikan konstitusi biasanya digunakan paling tidak dalam
dua pegertian. Pertama, kata ini digunakan untuk menggambarkan seluruh
sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan yang
membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Peraturanperaturan ini sebagian bersifat legal, dan sebagian bersifat non-legal atau
ekstra legal, yang berupa kebiasaan, saling pengertian, adat atau konvensi,
yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum namun tidak kalah
efektifnya dalam mengatur ketatanegaraan dibandingkan dengan apa yang
secara baku disebut hukum. Di hampir semua negara, sistem ketatanegaraan
berisi campuran dari peraturan legal dan non-legal ini, sehingga kita bisa
menyebut kumpulan peraturan ini sebagai “ Konstitusi “.
Keberadaan UUD 1945 sebagai konstitisi negara Indonesia yang selama
ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa
perubahan.Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya
merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai
“kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang
dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar
(konstitusi). Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan

1

sistem dan kondisi negara yang otoritarian menuju kearah sistem yang
demokratis dengan relasi lembaga negara yang seimbang. Dengan demikian
perubahan konstititusi menjadi suatu agenda yang tidak bisa diabaikan. Hal ini
menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi jalannya demokratisasi
suatu bangsa.
Pada hakikatnya, manusia selalu hidup dinamis maka konstitusipun
haruslah bersifat mengikuti perkembangan zaman dan melihat kemungkinankemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Karenanya perubahan
konstitusi tidaklah sekedar merespon tuntutan zaman, apalagi sekedar
memenuhi kepentingan politik, melainkan yang paling penting adalah dalam
rangka memenuhi kebutuhan bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Dengan demikian, konstitusi tidak selalu dipahami sebagai alat untuk
membatasi kekuasaan negara. Ini tentu saja dengan mendekatkan diri pada
makna

konstitusi

yang


lebih

mendalam

yakni

ada

dalam

konstitusionalisme. Maka dari itu makalah ini dibuat untuk mengetahui
implementasi

konstitusi

modern

dan

konstitusi


visioner

khususnya

perkembangannya di Indonesia.
1.2.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan konstitusi modern?
2. Bagaimana peranan konstitusi Indonesia sebagai konstitusi modern?
3. Bagaimana implementasi konstitusi modern di Indonesia sebagai
konstitusi visioner?

1.3.

Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah perkembangan konstitusi modern
2. Mengetahui peranan konstitusi Indonesia sebagai konstitusi modern
3. Mengetahui implementasi konstitusi modern di Indonesia sebagai

konstitusi visioner

2

BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Hakikat Konstitusi Modern
Konstitusi adalah suatu naskah atau dokumen yang didalamnya memuat
keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur dengan mengikat dalam
penyelenggaraan ketatanegaraan dalam suatu negara. Secara etimologi, istilah
konstitusi berasal dari bahasa latin "constitutio, constituere" artinya dasar
susunan badan, dan dari bahasa Prancis "constituer"yang berarti membentuk.
Pada zaman dahulu, istilah pada konstitusi dipergunakan untuk perintahperintah kaisar Romawi (yakni, constitutions principum). Kemudian, di italia
difungsikan

untuk

menunjukkan

undang-undang


dasar

"Diritton

Constitutionale". Sedangkan Konstitusi dalam bahasa Belanda disebut dengan
istilah Grondwet (Fathoni, 2014).
Dalam wacana politik, kata “konstitusi” biasanya digunakan paling tidak
dalam dua pengertian. Pertama, kata ini digunakan untuk menggambarkan
seluruh sIstem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan berbagai peraturan
yang membentuk dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Peraturanperaturan ini sebagian bersifat legal, dalam arti bahwa pengadilan hukum
mengakui dan menerapkan peraturan-peraturan tersebut, dan sebagian
bersifat non-legal atau ekstra legal yang berupa kebiasaan, saling pengertian,
adat atau konvensi yang tidak diakui oleh pengadilan sebagai hukum namun
tidak kalah efektifnya dalam mengatur ketatanegaraan dibandingkan dengan
apa yang secara baku disebut hukum (Wheare, 1996).
Dihampir semua Negara, sIstem ketatanegaraan berisi campuran dari
peraturan legal dan non-legal ini, sehingga kita bisa menyebut kumpulan
peraturan ini sebagai “Konstitusi”. Peraturan-peraturan hukum itu mungkin
juga terdapat dalam tata tertib dan peraturan yang dikeluarkan berdasarkan

hak prerogratif, atau oleh pihak yang berwenang dalam hal perundangundangan dan peraturan hukum itu terwujud dalam keputusan pengadilan,
peraturan yang bersifat non-legal nampak dalam adat atau tradisi. Makna
“Konstitusi” yang lebih luas merupakan makna yang lebih tua. Makna itulah
yang Boling Broke maksudkan ketika dalam esainya One Parties, ia menulis:
3

‘Yang kita maksud Konstitusi, jika kita ingin membicarakannya secara tepat
dan pasti, adalah kumpulan hukum, istitusi dan adat kebiasaan yang berasal
dari prinsip-prinsip nalar tertentu yang membentuk sIstem umum, yang
dengan itu masyarakat setuju untuk diperintah’ (Wheare, 1996).
Konstitusi modern dalam prakteknya disusun dan diterapkan karena
rakyat ingin membuat permulaan yang baru, yang berkaitan dengan sistem
pemerintahan mereka. Di banyak Negara konstitusi dianggap sebagai
instrument yang digunakan untuk mengontrol pemerintahan. Konstitusi
muncul dari keyakinan akan pemerintahan yang dibatasi (limited
government). Tetapi masing-masing Negara berbeda dalam hal batasanbatasan apa yang hendak mereka tetapkan. Kadang-kadang konstitusi
membatasi eksekutif atau lembaga-lembaga lokal dibawahnya, terkadang ia
juga membatasi legislatif, tetapi hanya dalam kaitannya dengan amandemen
terhadap konstitusi itu sendiri dan ada kalanya ia menetapkan batasan-batasan
legislatif yang melampaui kewenangan ini dan melarangnya membuat hukum

mengenai bidang-bidang tertentu atau menurut cara-cara tertentu atau dengan
akibat-akibat tertentu. Tetapi, apapun sifat dan seberapa pun luasnya,
pembatasan-pembatasan itu didasrkan atas keyakinan umum terhadap
pemerintahan yang dibatasi dan terhadap penggunaan konstitusi untuk
menetapkan pembatasan ini (Wheare, 1996).
Sifat pembatasan yang diperlakukan bagi pemerintahan, dan juga sejauh
mana konstitusi berposisi lebih tinggi dari pemerintah, bergantung pada
sasaran-sasaran yang hendak mereka lakukan tidak lebih dari sekedar
meyakinkan bahwa konstitusi tidak dapat di ubah begitu saja atau secara
sembarangan atau dengan alasan atau maksud tidak jelas, mereka ingin
menegaskan bahwa dokumen penting ini tidak boleh diubah secara
sembarangan, tetapi harus dengan sungguh-sungguh, dengan pembahasan dan
pertimbangan yang matang dan dengan sadar (Wheare, 1996).
Pada abad ke-18, pengertian undang-undang dasar lebih diperluas, dengan
memasukkan

bermacam-macam

peraturan


negara

(undang-undang,

perjanjian, pengumuman, dan sebagainya), yang isinya dipandang penting
untuk keadaan hukum dalam sesuatu negara. Kata “Undang-Undang Dasar”

4

pada waktu itu mendapat pengertian yang tertentu, yakni perjanjian
masyarakat yang tertulis dengan mana negara didirikan. Jadi Undang-Undang
Dasar adalah undang-undang konstitusi yang mengkonstituir negara (Wheare,
1996).
2.2. Isi Konstitusi Modern
Konstitusi yang pada dasarnya tidak mempunyai watak konstitusional
adalah ketetapan, yang dituangkan dalam Konstitusi Swiss (Pasal 25 his)
pada 1893, yang melarang tukang daging melakukan penyembelihan binatang
kecuali kalau binatang itu telah dipingsankan terlebih dahulu. Beberapa
Konstitusi Modern berisi mengenai deklarasi tentang hak-hak rakyat, atau
tentang tujuan-tujuan atau tentang tujuan pemerintah yang meski sedikit

banyak terkait dengan studi tentang masalah konstitusi, tidak direduksi dan
memang tidak dapat direduksi menjadi peraturan-peraturan hukum.
Konstitusi yang ideal adalah bahwa ia mesti sesingkat mungkin dan yang
singkat itu menjadi peraturan hukum. Yang perlu ditekankan adalah bahwa
hak-hak tidak boleh dibatasi , kecuali berdasarkan undang-undang mereka
berharap dihapuskan atau dikuranginnya pelaksanaan kekuasaan secara
sewenang-wenang dalam negara. Wewenang yang absah harus ditegakkan
untuk setiap pelanggaran hak. Dalam beberapa kasus , warga negara bisa
menuntut di muka pengadilan hukum suatu tindakan eksekutif atau legislative
dengan alasan bahwa tindakan itu melanggar hak-hak yang dijaminkan
kepada mereka oleh Konstitusi. Tetapi ketika rumusan dalam Konstitusi
sangat kabur dan bersyarat, dan ketika rumusan tersebut dipenuhi dengan
muatan emosional atau politis, tugas yang dibebankan kepada para hakim
tidak ubahnya tugas yang tidak dapat dijalankan oleh lembaga kehakiman
tanpa terlibat dalam kontroversi (Wheare, 1996).
Di negara-negara yang eksekutifnya lebih berkuasa daripada
konstitusi, dimana rakyat tidak bebas untuk mengorganisir diri mereka atau
dimana mereka tidak punya pengetahuan dan kemampuan untuk membentuk
opini publik, dimana rumusan konstitusi meskipun kadang-kadang kabur,
tidak ditafsirkan oleh eksekutif tetapi oleh Pegadilan dan dimana opini public

cukup berpengaruh dan terorganisir, maka deklarasi hak hanya akan menjadi

5

isapan jempol belaka dinegara-negara yang eksekutifnya lebih berkuasa
daripada konstitusi. Dengan demikian, konstitusi yang ideal sedikitnya harus
tidak mengandung deklarasi hak, meskipun system hukum ideal harus
mendefinisikan dan menjamin banyak hak. Hak tidak dapat dinyatakan dalam
sebuah konstitusi kecuali dalam rumusan yang mutlak dan tak bersyarat,
kecuali jika rumusan itu memang benar-benar tidak bermakna dan kita telah
melihat banyak contoh mengenai hal ini (Wheare, 1996).
Konstitusi pada umumnya memiliki mukadimah. Tetapi meskipun
suatu mukadimah benar dan tepat, perlu dicatat bahwa Konstitusi adalah
pertama-tama, sebuah dokumen hukum. Ia dimaksudkan untuk menyatakan
aturan-aturan hukum tertinggi. Karena itu, konstitusi harus membatasi pada
pernyataan tentang hukum, buksn opini, aspirasi, petunjuk, dan kebijakan. Di
samping itu, jika konstitusi ingin menyatakan aturan-aturan hukum dan jika
khususnya aturan-aturan tersebut merupakan aturan hukum tertinggi,
sehingga mengikat legislative, eksekutif, dan yudikatif dan ini merupakan
maksud dari sebagian besar konstitusi. Sebagaimana kita telah ketahui maka
aturan-aturan ini harus singkat, umum, dan mendasar. Pernyataan tentang
aturan-aturan tersebut harus berhubungan dengan pokok masalah yang
dijelaskan dan diatur dalam suatau aturan hukum. Akhirnya, bahasa yang
digunakan meskipun bersifat umum dan luas, pada waktu yang sama harus
menghindari bahasa yang rancu, emosional, dan tendensius. Dapat dikatakan
bahwa konstitusi membangkitkan penghormatan, cinta, dan kepatuhan rakyat
dalam suatu cara yang tidak dapat dilakukan oleh dokumen hukum(Wheare,
1996).
2.3. Kedudukan, Fungsi, dan Tujuan Konstitusi
1. Kedudukan Konstitusi
Kedudukan konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan pada suatu negara
sangat penting karena menjadi ukuran kehidupan dalam bernegara dan
berbangsa untuk mengetahui aturan-aturan pokok yang ditujukan baik
kepada penyelenggara negara maupun masyarakat dalam ketatanegaraan.
Kedudukan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sebagai hukum dasar

6

Dalam hal ini, konstitusi memuat aturanaturan pokok mengenai
penyelengara

negara,

yaitu

badan-badan/lembaga-lembaga

pemerintahan dan memberikan kekuasaan serta prosedur penggunaan
kekuasaan tersebut kepada badan-badan pemerintahan.
b. Sebagai hukum tertinggi
Dalam hal ini, konstitusi memiliki kedudukan yang lebih tinggi
terhadap peraturan-peraturan yang lain dalam tata hukum pada suatu
negara. Dengan demikian, aturan-aturan di bawah konstitusi tidak
bertentangan dan harus sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat pada
konstitusi (Fathoni, 2014).
2. Tujuan Konstitusi
Tujuan-tujuan adanya konstitusi secara ringkas dapat diklasifikasikan
menjadi tiga:
1) Konstitusi bertujuan untuk memberikan

pembatasan sekaligus

pengawasan terhadap kekuasaan politik
2) Konstitusi bertujuan untuk melepaskan kontrol kekuasaan dari
penguasaan sendiri
3) Konstitusi bertujuan memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para
penguasa dalam menjalankan kekuasaannya (Fathoni, 2014).
3. Fungsi Konstitusi
Konstitusi memiliki fungsi yang berperan dalam suatu negara:
1) Konstitusi berfungsi membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak
terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah
agar hak-hak bagi warga negara terlindungi dan tersalurkan
(konstitusionalisme)
2) Konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran suatu negara (a birth
certificate of new state)
3) Konstitusi berfungsi sebagai sumber hukum tertinggi
4) Konstitusi berfungsi sebagai alat yang membatasi kekuasaan
5) Konstitusi berfungsi sebagai identitas nasional dan lambang
6) Konstitusi berfungsi sebagai pelindung hak asasi manusia dan
kebebasan warga suatu negara (Fathoni, 2014).

7

8

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Sejarah Perkembangan Konstitusi Modern
Konstitusi sudah lama dikenal sejak dari zaman Yunani sebagai suatu
kerangka kehidupan politik yang memiliki beberapa kumpulan hukum. Tidak
kurang dari 11 konstitusi pernah dimiliki oleh Kota Athena, Aristoteles
sendiri berhasil mengoleksi 158 buah konstitusi dari beberapa negara. Pada
masa itu, pemahaman tentang “konstitusi” hanyalah merupakan suatu
kumpulan dari peraturan dan semata-mata hanya adat kebiasaan. Sejalan
dengan perjalanan waktu, pada masa Kekaisaran Roma pengertian konstitusi
(constitutionnes) telah banyak mengalami perubahan makna. Konstitusi
adalah suatu kumpulan ketentuan serta peraturan peraturan yang dibuat oleh
para kaisar, pernyataan pernyataan dan pendapat ahli hukum, negarawan,
serta adat kebiasaan setempat selain Undang-Undang. Konstitusi Roma
memiliki pengaruh yang cukup besar sampai pada Abad Pertengahan yang
memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham nasionalisme dan demokrasi
perwakilan. Kedua paham inilah yang merupakan cikal bakal munculnya
paham konstitusionalisme modern, (Ubaedillah, 2015)
Selanjutnya, pada abad ke 7 (zaman klasik) lahirlah Piagam Madinah atau
Konstitusi Madinah. Piagam Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik
Islam (622 Masehi) merupakan aturan pokok tata kehidupan bersama di
Madinah yang dihuni oleh bermacam golongan dan kelompok yaitu Kristen,
Yahudi, Islam dan lainnya. Konstitusi Madinah berisikan tentang hak bebas
berkeyakinan,

kebebasan

berpendapat,

kewajiban

di

dalam

hidup

kemasyarakatan dan mengatur kepentingan umum dalam kehidupan sosial
yang majemuk. Konstitusi Madinah ini merupakan satu bentuk konstitusi
pertama di dunia yang telah memuat materi sebagaimana layaknya konstitusi
modern dan telah mendahului konstitusi konstitusi lainnya di dalam
meletakkan dasar pengakuan terhadap HAM (Hak Asasi Manusia). Secara
keseluruhan Piagam Madinah mengandung 47 pasal. Nuansa persatuan
sebagai sebuah komunitas majemuk yang berbeda satu dengan lainnya begitu

9

kental pada Piagam Madinah. Pasal pertama, misalnya, yang berbunyi
mengenai prinsip persatuan dengan pernyataan “innahum ummatan
wahidatan min duuni al-naas” (sesungguhnya mereka adalah umat yang satu,
berbeda dari komunitas manusia yang lain). Makna umat di dalam pernyataan
awal ini menunjukkan arti luas, tidak sebatas kelompok pengikut Nabi
Muhammad yang berada di Madinah. Pada saat yang sama, pengertian umat
pada piagam ini juga membedakan sifat solidaritas yang dibangun oleh Nabi
Muhammad dari yang pernah ada sebelumnya, yaitu solidaritas yang
didasarkan pada semangat kelompok yang sempit yang dikenal dengan
sebutan kabilah (perkauman).
Menurut catatan Ahmad Sukardja, sebagaimana disarikan oleh Jimly
Asshiddiqie, terdapat 13 kelompok masyarakat yang secara eksplisit terikat di
dalam Piagam Madinah. Pada Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para
pendukung piagam) saling bahu-membahu di dalam menghadapi penyerang
atas kota mereka yakni Yatsrib (Madinah).” Semangat saling membantu
sebagai sebuah komunitas umat yang plural tampak terlihat pada bunyi Pasal
24 yang menjelaskan bahwa “kaum Yahudi memikul biaya bersama kaum
mukminin selama di dalam peperangan.” Ikatan persatuan ini semakin
diperjelas dalam Pasal 25 yang menyatakan bahwa “kaum Yahudi dari Bani ‘
Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin.” Bagi kaum Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka. Kebebasan beragama ini
juga berlaku bagi sekutu sekutu mereka dan diri mereka sendiri.
Hal yang menarik untuk dicermati di dalam konteks toleransi beragama di
atas adalah perkataan “mereka” yang digunakan secara seragam baik bagi
kelompok Yahudi maupun pengikut Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Prinsip kebersamaan di dalam perbedaan keyakinan ini dinyatakan lebih
tegas dari rumusan Al-Quran yang terkenal tentang toleransi berkeyakinan
yaitu “lakum diinukum walya dim” (bagimu agamamu dan juga bagiku
agamaku) yang menggunakan subjek “aku” atau “kami” versus “kamu”.
Dalam Piagam Madinah digunakan kata “mereka”, baik untuk orang Yahudi
maupun orang Mukmin di dalam jarak yang sama. Sebuah semangat dan
praktik toleransi yang sangat tinggi yang pernah dicontohkan Nabi

10

Muhammad, selain menginklusifkan makna “umat” yang tidak sebatas
pengikutnya semata. Semangat menjunjung hidup bersama di dalam
kemajemukan yang tercermin dalam Piagam Madinah, yang menjadi
penilaian ahli agama Robert N. Bellah di dalam mencontohkan bentuk
pertama “negara bangsa modern” (modern nation state) pada masa Nabi
Muhammad SAW.
Pada paruh kedua abad XVII, kaum bangsawan Inggris yang menang di
dalam revolusi istana (The Glorious Revolution) telah mengakhiri
absolutisme kekuasaan raja dan menggantikannya dengan sistem parlemen
sebagai suatu pemegang kedaulatan. Akhir dari revolusi ini adalah deklarasi
kemerdekaan 12 negara koloni Inggris pada tahun 1776, yang menetapkan
konstitusi sebagai dasar negara yang berdaulat.
Pada 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan di
masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Kekacauan sosial
di Perancis ini yang memunculkan akan perlunya konstitusi. Maka, pada 14
September 1791 dicatat sebagai peristiwa diterimanya konstitusi Eropa
pertama oleh Louis ke 16. Sejak peristiwa inilah sebagian besar negaranegara di dunia, baik monarki maupun republik, negara kesatuan maupun
negara federal, yang sama sama mendasarkan prinsip ketatanegaraannya pada
sandaran konstitusi. Di Perancis J. J. Rousseau dengan karyanya Du Contract
Social, yang mengatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan bebas dan
sederajat di dalam hak haknya, sedangkan hukum merupakan ekspresi dari
kehendak umum (rakyat). Pandangan Rousseau ini sangat menjiwai hak hak
dan kemerdekaan rakyat (De Declaratioan des Droit d I’Homme et Du
Citoyen). Deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis
pada tahun 1791, khususnya yang menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia).
Setelah peristiwa ini, maka muncul kontitusi di dalam bentuk tertulis yang
dipelopori oleh Amerika.
Konstitusi tertulis model Amerika tersebut kemudian diikuti oleh
berbagai negara di Eropa, seperti Spanyol (1812), Norwegia (1814) dan
Belanda (1815). Perlu dicatat bahwa konstitusi pada waktu itu belum menjadi
hukum dasar yang penting. Konstitusi sebagai UUD sering kali disebut

11

dengan “Konstitusi Modern” baru muncul bersamaan dengan perkembangan
sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul sebagai
pemenuhan atas kebutuhan rakyat akan lembaga perwakilan (legislatif).
Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat UU untuk membatasi dan
mengurangi dominasi para raja. Alasan inilah yang menempatkan konstitusi
tertulis sebagai hukum dasar yang memiliki posisi lebih tinggi daripada raja.
3.2. Peranan Konstitusi Indonesia Sebagai Konstitusi Modern
Menurut K.C Wheare (1996) dalam bukunya yang berjudul Modern
Constitutions, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan konstitusi modern
ialah Konstitusi Tertulis, ia menganggap bahwa kata ‘Konstitusi’
menggambarkan hasil pemilahan aturan hukum yang lebih penting yang
mengatur pemerintahan, yang termaktub dalam sebuah dokumen. Dalam
pengertian ini, kebanyaan negara-negara di dunia mempunyai Kontitusi
tertulis termasuk Indonesia.
Indonesia memiliki naskah yang di sebut dengan Konstutusi Modern yaitu
Undang-Undang Dasar. Selain karena termasuk dalam konstitusi yang
tertulis, Undang-Undang Dasar dibentuk dengan tujuan untuk membatasi
kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan oleh penguasa. Dalam
UUD sendiri, pembagian kekuasaan dibagi menjadi:
1. Kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif)
2. Kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif)
3. Kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Di dalamnya dimuat pula mengenai hubungan antar lembaga negara,
menentukan pembatasan organ-organ negara, serta mengatur hubungan
lembaga negara dengan warga negara.
Menurut K.C. Wheare, salah satu pengelompokan konstitusi dengan
membedakan dalam proses mengamandemen, apabila diperlukan proses
khusus dalam mengamandemen maka, termasuk dalam konstitusi yang kaku,
sedangkan apabila tidak diperlukan proses khusus dalam mengamandemen
maka, termasuk dalam konstitusi yang fleksible. Secara konseptual konstitusi
Indonesia bisa dikategorikan sebagai konstitusi yang rigid, karena mekanisme
atau prosedural kelembagaan untuk melakukan amandemen terhadap UUD

12

1945 adalah susah. Sulit dalam artian proses amandemen UUD 1945 secara
eksplisit diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 hasil amandemen tersebut dengan
prasyarat yang banyak.
Konstitusi berpesan sebagai sebuah aturan dasar yang mengatur kehidupan
dalam bernegara dan berbangsa maka sepatutnya konstitusi dibuat atas dasar
kesepakatan bersama antara negara dan warga negara (MK, 2015),
sebagaimana yang diutarakan oleh TIM KRHN (Komisi Revormasi Hukum
Nasional) bahwa konstitusi sebenarnya tidak lain dari realisasi demokrasi
dengan kesepakatan bahwa kebebasan penguasa ditentukan oleh warga
masyarakat dan bukan sebalikanya. Oleh sebab itu, setiap pelanggaran atas
konstitusi harus dipandang sebagai pelanggaran atas kontrak sosial.
Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di
antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang di ideal kan berkenaan
dengan negara. Organisasi negara itu penting oleh warga masayarakat politik
agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi melalui pembentukan dan
penggunaan mekanisme yang disebut negara (Asshiddiqie, 2010).
K.C.

Wheare

(1996)

menyebutkan

bahwa

pemerintahan

yang

konstitusional berarti lebih dari sekadar pemerintah menurut ketentuanketentuan konstitusi. Menutut aturan, ia berarti pemerintahan yang
merupakan kebalikan dari pemerintahan yang sewenang-wenang, ia berarti
pemerintah yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitus, bukan
pemerintahan yang hanya dibatasi oleh keinginan kemampuan orang-orang
yang memegang kekuasaan. Tetapi sebelum mnyimpulkan bahwa suatu
negara yang mempunyai konstitusi yang membatasi pemerintah, juga
mempunyai pemerintah konstitusional, kita harus mengetahui bagaimana
konstitusi dipraktekan, dan secara khusus mencermati apakah kebiasaan dan
tradisi memperkuat atau memperlemah pembatasan konstitusi tersebut.
Konsensus yang menjamin tegaknya konstitusioalisme dizaman modern
(dalam Asshiddiqie, 2010) pada umumnya dipahami bersandar pada 3 elemen
kesepakatan:
1. Kesepakatan tentang Tujuan atau Cita-Cita Bersama

13

Cita-cita bersama merupakan puncak abtraksi yang paling mungkin
mencerminkan kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat
dalam kenyataanya harus hidup di tenah pluralisme atau kemajemukan.
Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam
kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan atau
cita-cita bersama yang biasa disebut falsafah kenegaraan. Di Indonesia,
dasar-dasar filosofis yang dimaksud itulah yang biasa di Sebut Pancasila,
yang berarti lima sila untuk mewujudkan empat tujuan bernegara:
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
2. Kesepakatan tentang rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan negara.
Kesepakata ini sangat prinsipil, karena dalam setiap egara harus ada
keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks
penyelenggaraan negara haruslah didasarkan rule of the law yang telah
ditentukan. Dalam hal ini, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan
sistem yang dipuncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang
tidak lain adalah konstitusi. Dari sinilah kita mengena adanya istilah
constitutional state yang merupakan salah satu ciri penting di negara
demokrasi modern. Oleh karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan
sangat penting, sehinga konstitusi sendiri dapat dijadikan perkara tertinggi
dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum.
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan
Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka isi konstitusi dapat dengan
mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama
berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan
yang hendak dikembangkan dalam kehidupan negara berkonstitusi.
Keseluruhan kesepakatan tersebut, pada intinya menyangkut prinsip
pengaturan

dan

pembatasan

kekuasaan.

Pada

pokoknya

prinsip

konstitusionalisme modern sebenarnya menyangkut prinsip pembatasan
kekuasaan atau lazim disebut sebagai prinsip limited government.

14

3.3. Implementasi Konstitusi Modern Di Indonesia Sebagai Konstitusi
Visioner
Pengertian konstitusi di Indonesia secara sempit diartikan sebagai
konstitusi yang berbentuk Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Konstitusi
Indonesia tersebut disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Kehidupan
ketatanegaraan di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan sampai dengan
sekarang telah mengalami beberapa periode yang didasarkan atas berlakunya
UUD. Terbukti dalam kurun waktu tahun 1999-2002, UUD 1945 mengalami
empat kali perubahan atau amandemen. Periode perubahan tersebut antara
lain:
a. Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
(Penetapan Undang-Undang Dasar 1945)
Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945,
Republik yang baru ini belum mempunyai undang-undang dasar. Sehari
kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Rancangan Undang-Undang
disahkan oleh PPKI sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
setelah mengalami beberapa proses.
b. Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
(Penetapan konstitusi Republik Indonesia Serikat)
Perjalanan negara baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari
rongrongan pihak Belanda yang menginginkan untuk kembali berkuasa di
Indonesia. Akibatnya Belanda mencoba untuk mendirikan negara-negara
seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, negara Jawa
Timur, dan sebagainya. Sejalan dengan usaha Belanda tersebut maka
terjadilah agresi Belanda 1 pada tahun 1947 dan agresi 2 pada tahun
1948. Dan ini mengakibatkan diadakannya KMB yang melahirkan negara
Republik Indonesia Serikat. Sehingga UUD yang seharusnya berlaku
untuk seluruh negara Indonesia itu, hanya berlaku untuk negara Republik
Indonesia Serikat saja.
c. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
(Penetapan Undang-Undang Dasar Sementara 1950)

15

Periode federal dari Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat
1949 merupakan perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa
Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menghendaki sifat kesatuan, maka
negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena terjadinya
penggabungan dengan Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan
wibawa dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang,
akhirnya dicapailah kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan
jelas perlu adanya suatu undang-undang dasar yang baru dan untuk itu
dibentuklah suatu panitia bersama yang menyusun suatu rancangan
undang-undang dasar yang kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus
1950 oleh badan pekerja komite nasional pusat dan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14
Agustus 1950 dan berlakulah undang-undang dasar baru itu pada tanggal
17 Agustus 1950.
d. Periode 5 Juli 1959 – sekarang
(Penetapan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945)
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali Undang-Undang
Dasar 1945. Dan perubahan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Orde Lama pada masa 1959-1965 menjadi Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Orde Baru. Perubahan itu dilakukan karena Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama dianggap kurang
mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni
dan konsekuen (MK, 2015).
Adanya konstitusi dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara
merupakan suatu hal yang sangat penting, karena tanpa konstitusi bisa jadi
tidak akan terbentuk sebuah negara yang maju. Konstitusi bagi negara
Indonesia

berfungsi

sebagai

pembatas

kekuasaan

negara,

landasan

penyelenggaraan negara, dan memberi suatu rangka dan dasar hukum untuk
perubahan masyarakat agar menjadi lebih baik untuk ke depannya.
Konstitusi mempunyai posisi yang sangat penting dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia. Hal ini dikarenakan konstitusi menjadi ukuran bagi

16

kehidupan berbangsa dan bernegara, serta merupakan ide-ide dasar yang
digariskan penguasa negara untuk mengemudikan tatanan negara. Konstitusi
menggambarkan struktur negara dan sistem kerja yang ada di antara
lembaga-lembaga negara. Konstitusi juga menjelaskan kekuasaan dan
kewajiban pemerintah sekaligus membatasi kekuasaan tersebut agar tidak
terjadi kesewenang-wenangan.
Konstitusi di Indonesia dewasa ini dirancang dengan mengedepankan
struktur konstitusi yang progrsif serta visioner. Artinya konstitusi bukan
hanya dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan benegara untuk
saat ini, melainkan menilai jauh ke arah keberlangsungan negara di masa
mendatang. Salah satu implementasi konstitusi Indonesia yang visioner
adalah pada amandemen Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
Dalam pasal tersebut sebelumnya menyebutkan “Kedaulatan adalah di
tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”. Kemudian diamandemen menjadi “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”.
Perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini merupakan tanda bahwa negara
Indonesia menjadikan hukum sebagai panglima, karena penyelenggaraan
kekuasaan negara haruslah didasarkan atas hukum (UUD), tidak lagi
dipegang penuh oleh MPR. Membuktikan pula bahwa bagi negara rakyat
benar-benar dijunjung sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara dengan
tidak lagi diwakilkannya kedaulatan rakyat melalui lembaga pemerintahan.

17

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran

18

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fathoni. (2014). Konstitusi: Pengertian, Jenis, Tujuan & Fungsi. Diakses
dari: http://www.zonasiswa.com/2014/07/pengertian-konstitusilengkap.html
Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan Konstitusi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Mahkamah Konstitusi. (2015). Sejarah Dan Perkembangan Konstitusi Di
Indonesia. [online]. Tersedia;
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=11776#.WRBljfmGPIU. [8 Mei 2017]
Wheare, K.C. (1996). Konstitusi Konstitusi Modern (Modern Constitution).
Bandung: Nusamedia

19