DASAR HUKUM PIDANA MATI terhadap
DASAR HUKUM PIDANA MATI
Pidana hukuman mati tidak akan pernah luput dari masalah pro dan kontra
terutama terkait dengan eksistensinya. Hukuman mati memang layaknya sebagai
pedang bermata dua, disatu pihak adalah melindungi dan mempertahankan hak-hak
manusia, namun di pihak lain hukuman mati melukai hak-hak manusia itu sendiri.
Hukuman mati berlawanan dengan kodrat alam, dimana manusia pada hakikatnya
dengan
naluri
dan
insting
yang
ada
padanya,
manusia
akan
berusaha
mempertahankan hidupnya dari segala ancaman atas dirinya. Dengan kalimat
sederhana, manusia secara naluri akan mempertahankan diri, saat mereka akan
dijatuhi hukuman mati. Dengan pengecualian jika terpidana menerima hukuman mati
yang telah ditetapkan mengingat perundang-undangan kedaruratan yang sangat
serius, mereka telah mempergunakan hak mereka untuk mati sehingga eksekusi
hukuman mati dapat segera dilaksanakan. Namun berbeda jika terpidana menolak
hukuman mati tersebut, yang berarti terpidana masih menginginkan untuk terus
bertahan hidup, mempertahankan hak asasi untuk hidupnya, maka haruslah dicarikan
jalan keluar yang bijaksana dan adil.
Hukuman mati dalam pengertiannya ialah suatu hukuman atau vonis yang
dijatuhkan pengadilan atau tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Tercatat hingga Juni 2006 hanya 68
negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia. Dan
lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman
mati. Ada hampir 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh
kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan
pidana biasa, 30 negara lainnya tidak menerapkan hukuman mati, dan total 129
negara yang melakukan penghapusan terhadap hukuman mati.
Pemberlakuan
hukuman
mati
di
suatu
negara
paling
tidak
akan
memperbincangkan tiga aspek yang saling terkait, yaitu :
1. Konstitusi atau Undang-undang tertinggi yang dianut suatu negara
dan bentuk pemerintahan yang dianutnya.
2. Dinamika
Sosial,
politik
dan
hukum
internasional
yang
mempengaruhi corak berpikir dan hubungan-hubungan sosial di
masyarakat.
3. Relevansi nilai-nilai lama dalam perkembangan zaman yang jauh
sudah lebih maju.
Beberapa teori yang mendukung hukuman mati antara lain adalah teori
absolut, teori relatif dan teori gabungan.
Teori Absolut : Dalam teori ini menegaskan bahwa siapa yang
mengakibatkan
penderitaan,
maka
pelakunya
tersebut
haruslah
mendapatkan perlakuan yang serupa, teori ini berasal dari pendapat
Immanuel Kant.
Teori relatif : Teori relatif memandang bahwa pidana hukuman
tergantung kepada efek yang akan dihasilkan dari penjatuhan hukuman
pidana tersebut. Teori ini mengacu kepada pandangan Feurbach yang
menegaskan bahwa penjeraan bukan melalui pidana, tetapi melalui
ancaman pidana dalam perundang-undangan.
Teori gabungan : Pada teori yang dimotori oleh Thomas Aquinas ini
membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat.
Ketika suatu negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula
fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan tujuan terciptanya
kepuasan nurani masyarakat dan pemberian rasa aman.
Sedangkan beberapa pandangan yang menolak hukuman mati antara lain adalah
bahwa Hukuman mati dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia
yang paling asasi, yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup adalah hak yang paling
fundamental, merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi
dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila
seseorang menjadi narapidana. Selain itu secara sosiologis, tidak ada pembuktian
ilmiah bahwa hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya
hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera,
dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya.
Kajian PBB tentang hubungan hukuman dan angka pembunuhan antara 19882002 berujung pada kesimpulan bahwa hukuman mati tidak membawa pengaruh
apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman
seumur hidup. Dan juga adanya paradoks dimana hukum yang bertujuan untuk
melindungi hak-hak individu atau Hak Asasi Manusia merampas tujuannya sendiri.
Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri
berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak
pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan
menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa. Hukuman mati bukanlah sebuah
hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana tersangka pelaku kejahatan
tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga mati. Batas hukuman
mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang
telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Karena
tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan kententuan
seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Di Indonesia hampir sudah puluhan orang di eksekusi mati mengikuti KUHP
peninggalan kolonial Belanda. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD 1945,
menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”,
tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman
hukuman mati. Dengan alasan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak
untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak
disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak
tersebut patut dihukum mati.
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa
KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa
kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang
berat itu adalah :
1. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau
berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara
sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
luka berat atau mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan
luka berat atau mati)
8. Pasal 444 (pembajakan
di
laut,
pesisir
dan
sungai
yang
mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi
pelanggarnya. Peraturan-peraturan itu antara lain:
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang
Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan
perlengkapan sandang pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang
memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang
senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4. Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang
pemberantasan kegiatan subversi.
5. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok
tenaga atom.
6. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang
Narkotika
7. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
Dalam konsep Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain:
1. Pasal 164 tentang menentang ideologi negara Pancasila : Barang siapa
secara melawan hukum dimuka umum melakukan perbuatan
menentang ideologi negera Pancasila atau Undang-Undang Dasar
1945 dengan maksud mengubah bentuk negara atau susunan
pemerintahan
sehingga
berakibat
terjadinya
keonaran
dalam
masyarakat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling
rendah lima tahun.
2. Pasal 167 tentang makar untuk membunuh presiden dan wakil
presiden
3. Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh.
4. Pasal 269 tentang terorisme :
Ayat 1 : Di pidana karena melakukan terorisme, dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun dan paling rendah tiga
tahun, barangsiapa menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan
terhadap
target-target
sipil
dengan
maksud
menimbulkan suatu suasana teror atau ketakutan yang besar dan
mengadakan intimidasi Pada masyarakat, dengan tujuan akhir
melakukan perubahan dalam sistem politik yang berlaku.
Ayat 2 : Di pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling rendah
lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan
bahaya bagi nyawa orang lain.
Ayat 3 : Di pidana pidana mati atau pidana penjara paling lama
dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan
terorisme tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain
dan mengakibatkan matinya orang.
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun
dalam pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih
kepada otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara. Indonesia memiliki hak
untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam KUHP,
namun taggung jawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk diperhatikan.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa polemik tentang hukuman mati bukan
hanya soal keyakinan, cara pandang, pengalaman seseorang atau nilai ukur dari sudut
pandang hukum, tetapi juga dengan relevansinya dengan konteks dimana hukuman
mati akan diberlakukan. Penerapan hukuman mati juga harus benar-benar telah
memperhatikan tentang kepastian hukum dengan pandangan hak asasi manusia
secara menyeluruh. Memiliki nilai konsistensi dalam konstitusi sehingga perdebatan
tentang penerapan hukuman mati berakhir dengan suatu rumusan yang bijak dan
tetap menjunjung tinggi nilai hak asasi dan juga dengan nilai-nilai luhur kebudayaan
manusia.
Pidana hukuman mati tidak akan pernah luput dari masalah pro dan kontra
terutama terkait dengan eksistensinya. Hukuman mati memang layaknya sebagai
pedang bermata dua, disatu pihak adalah melindungi dan mempertahankan hak-hak
manusia, namun di pihak lain hukuman mati melukai hak-hak manusia itu sendiri.
Hukuman mati berlawanan dengan kodrat alam, dimana manusia pada hakikatnya
dengan
naluri
dan
insting
yang
ada
padanya,
manusia
akan
berusaha
mempertahankan hidupnya dari segala ancaman atas dirinya. Dengan kalimat
sederhana, manusia secara naluri akan mempertahankan diri, saat mereka akan
dijatuhi hukuman mati. Dengan pengecualian jika terpidana menerima hukuman mati
yang telah ditetapkan mengingat perundang-undangan kedaruratan yang sangat
serius, mereka telah mempergunakan hak mereka untuk mati sehingga eksekusi
hukuman mati dapat segera dilaksanakan. Namun berbeda jika terpidana menolak
hukuman mati tersebut, yang berarti terpidana masih menginginkan untuk terus
bertahan hidup, mempertahankan hak asasi untuk hidupnya, maka haruslah dicarikan
jalan keluar yang bijaksana dan adil.
Hukuman mati dalam pengertiannya ialah suatu hukuman atau vonis yang
dijatuhkan pengadilan atau tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Tercatat hingga Juni 2006 hanya 68
negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia. Dan
lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktik hukuman
mati. Ada hampir 88 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh
kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan
pidana biasa, 30 negara lainnya tidak menerapkan hukuman mati, dan total 129
negara yang melakukan penghapusan terhadap hukuman mati.
Pemberlakuan
hukuman
mati
di
suatu
negara
paling
tidak
akan
memperbincangkan tiga aspek yang saling terkait, yaitu :
1. Konstitusi atau Undang-undang tertinggi yang dianut suatu negara
dan bentuk pemerintahan yang dianutnya.
2. Dinamika
Sosial,
politik
dan
hukum
internasional
yang
mempengaruhi corak berpikir dan hubungan-hubungan sosial di
masyarakat.
3. Relevansi nilai-nilai lama dalam perkembangan zaman yang jauh
sudah lebih maju.
Beberapa teori yang mendukung hukuman mati antara lain adalah teori
absolut, teori relatif dan teori gabungan.
Teori Absolut : Dalam teori ini menegaskan bahwa siapa yang
mengakibatkan
penderitaan,
maka
pelakunya
tersebut
haruslah
mendapatkan perlakuan yang serupa, teori ini berasal dari pendapat
Immanuel Kant.
Teori relatif : Teori relatif memandang bahwa pidana hukuman
tergantung kepada efek yang akan dihasilkan dari penjatuhan hukuman
pidana tersebut. Teori ini mengacu kepada pandangan Feurbach yang
menegaskan bahwa penjeraan bukan melalui pidana, tetapi melalui
ancaman pidana dalam perundang-undangan.
Teori gabungan : Pada teori yang dimotori oleh Thomas Aquinas ini
membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat.
Ketika suatu negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula
fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan tujuan terciptanya
kepuasan nurani masyarakat dan pemberian rasa aman.
Sedangkan beberapa pandangan yang menolak hukuman mati antara lain adalah
bahwa Hukuman mati dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia
yang paling asasi, yaitu hak untuk hidup. Hak untuk hidup adalah hak yang paling
fundamental, merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi
dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila
seseorang menjadi narapidana. Selain itu secara sosiologis, tidak ada pembuktian
ilmiah bahwa hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya
hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera,
dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya.
Kajian PBB tentang hubungan hukuman dan angka pembunuhan antara 19882002 berujung pada kesimpulan bahwa hukuman mati tidak membawa pengaruh
apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman
seumur hidup. Dan juga adanya paradoks dimana hukum yang bertujuan untuk
melindungi hak-hak individu atau Hak Asasi Manusia merampas tujuannya sendiri.
Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri
berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak
pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan
menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwa. Hukuman mati bukanlah sebuah
hukuman yang diberikan kepada tersangka di mana tersangka pelaku kejahatan
tersebut dihukum dengan dipenjara seumur hidupnya hingga mati. Batas hukuman
mati adalah penghilangan nyawa seseorang yang telah melakukan kesalahan yang
telah terbukti bersalah dengan keputusan pengadilan akan hukuman tersebut. Karena
tidak semua kejahatan mendapat hukuman mati. Namun syarat dan kententuan
seperti apa yang menyatakan seseorang harus dihukum mati.
Di Indonesia hampir sudah puluhan orang di eksekusi mati mengikuti KUHP
peninggalan kolonial Belanda. Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD 1945,
menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”,
tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman
hukuman mati. Dengan alasan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak
untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak
disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak
tersebut patut dihukum mati.
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa
KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa
kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang
berat itu adalah :
1. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau
berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara
sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
luka berat atau mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan
luka berat atau mati)
8. Pasal 444 (pembajakan
di
laut,
pesisir
dan
sungai
yang
mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi
pelanggarnya. Peraturan-peraturan itu antara lain:
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang
Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan
perlengkapan sandang pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang
memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang
senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4. Pasal 13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang
pemberantasan kegiatan subversi.
5. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok
tenaga atom.
6. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang
Narkotika
7. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
Dalam konsep Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain:
1. Pasal 164 tentang menentang ideologi negara Pancasila : Barang siapa
secara melawan hukum dimuka umum melakukan perbuatan
menentang ideologi negera Pancasila atau Undang-Undang Dasar
1945 dengan maksud mengubah bentuk negara atau susunan
pemerintahan
sehingga
berakibat
terjadinya
keonaran
dalam
masyarakat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling
rendah lima tahun.
2. Pasal 167 tentang makar untuk membunuh presiden dan wakil
presiden
3. Pasal 186 tentang pemberian bantuan kepada musuh.
4. Pasal 269 tentang terorisme :
Ayat 1 : Di pidana karena melakukan terorisme, dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun dan paling rendah tiga
tahun, barangsiapa menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan
terhadap
target-target
sipil
dengan
maksud
menimbulkan suatu suasana teror atau ketakutan yang besar dan
mengadakan intimidasi Pada masyarakat, dengan tujuan akhir
melakukan perubahan dalam sistem politik yang berlaku.
Ayat 2 : Di pidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling rendah
lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan
bahaya bagi nyawa orang lain.
Ayat 3 : Di pidana pidana mati atau pidana penjara paling lama
dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan
terorisme tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain
dan mengakibatkan matinya orang.
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pancasila namun
dalam pelaksanaannya seringkali bukan hukum yang ditegakkan melainkan lebih
kepada otoritas dari orang yang berpengaruh dalam negara. Indonesia memiliki hak
untuk mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu hukuman dalam KUHP,
namun taggung jawab sebagai negara hukumlah yang penting untuk diperhatikan.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa polemik tentang hukuman mati bukan
hanya soal keyakinan, cara pandang, pengalaman seseorang atau nilai ukur dari sudut
pandang hukum, tetapi juga dengan relevansinya dengan konteks dimana hukuman
mati akan diberlakukan. Penerapan hukuman mati juga harus benar-benar telah
memperhatikan tentang kepastian hukum dengan pandangan hak asasi manusia
secara menyeluruh. Memiliki nilai konsistensi dalam konstitusi sehingga perdebatan
tentang penerapan hukuman mati berakhir dengan suatu rumusan yang bijak dan
tetap menjunjung tinggi nilai hak asasi dan juga dengan nilai-nilai luhur kebudayaan
manusia.