PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA PENETASAN KOMBINASI

ABSTRAK

PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN
BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA
PENETASAN KOMBINASI

Oleh
Dimas Wicaksono

Pada dasarnya penetasan telur ayam kampung dapat dikelompokkan menjadi dua
yakni penetasan secara alami dengan bantuan entok dan buatan dengan mesin
tetas atau dengan cara mengkombinasikan. Keuntungan penetasan kombinasi
adalah dapat menghasilkan fertilitas dan daya tetas yang lebih tinggi serta dapat
menetaskan telur dalam jumlah banyak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kombinasi proses penetasan telur
ayam kampung yang lebih baik berdasarkan fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan
bobot tetas.
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 minggu mulai 28 Mei -- 28 Juni 2012,
bertempat di rumah Bapak M. Yasri Ketua Kelompok Tani Ternak Rahayu II,
Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima, Kabupaten Pesawaran. Telur yang
digunakan adalah telur ayam kampung sebanyak 200 butir, masing – masing

perlakuan 100 butir dengan bobot telur 41,70±6,67 g (perlakuan 7 hari) dan
38,43±7,67 g (perlakuan 10 hari).
Penelitian ini menggunakan dua rancangan perlakuan, yaitu P1: pengeraman 7
hari pada entok kemudian dilanjutkan dengan mesin tetas, dan P2 : pengeraman
10 hari pada entok kemudian dilanjutkan dengan mesin tetas. Masing-masing
perlakuan terdiri dari 20 satuan percobaan dengan jumlah telur setiap satuan yaitu
5 butir. Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan uji t-student dengan taraf
nyata 5%. Peubah yang diamati adalah fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot
tetas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penetasan dengan lama waktu 7
hari pengeraman pada induk entok nyata (P0,05) terhadap susut tetas dan bobot
tetas.

PENGARUH KOMBINASI PROSES PENETASAN TELUR AYAM
KAMPUNG TERHADAP FERTILITAS DAN DAYA TETAS

Oleh :
DIMAS WICAKSONO

JURUSAN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN
BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA
PENETASAN KOMBINASI

Oleh :
DIMAS WICAKSONO

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PETERNAKAN
pada
Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung

JURUSAN PETERNAKAN

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

PERBANDINGAN FERTILITAS, SUSUT TETAS, DAYA TETAS, DAN
BOBOT TETAS TELUR AYAM KAMPUNG PADA
PENETASAN KOMBINASI
(Skripsi)

Oleh :
DIMAS WICAKSONO

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2012

DAFTAR ISI


Halaman
DAFTAR ISI ..........................................................................................

xi

DAFTR TABEL ....................................................................................

xii

I. PENDAHULUAN..............................................................................

1

A. Latar Belakang dan Masalah .......................................................

1

B. Tujuan Penelitian................................................................... ......


4

C. Kegunaan Penelitian .......................................................... ..........

4

D. Kerangka Pemikiran ....................................................................

5

E. Hipotesis ......................................................................................

7

II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................

8

A. Deskripsi Ayam Kampung ..........................................................


8

B. Deskripsi Entok ...........................................................................

11

C. Penetasan Alami .........................................................................

13

D. Penetasan Buatan.........................................................................

14

E. Fertilitas ......................................................................................

16

F. Susut tetas ...................................................................................


17

G. Daya Tetas ..................................................................................

20

H. Bobot Tetas ................................................................................

23

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN .....................................

26

A. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................

26

B. Bahan dan Alat Penelitian .......................................................


26

C. Metode Penelitian ....................................................................

26

D. Pelaksanaan Penelitian ...........................................................

27

E. Peubah yang diamati ...............................................................

29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................

30

A. Gambaran Umum Kelompok Peternak ......................................


30

B. Fertilitas Ayam Kampung Pada Penetasan Kombinasi ..............

31

C. Susut Tetas Ayam Kampung Pada Penetasan Kombinasi..........

35

D. Daya Tetas Ayam Kampung Pada Penetasan Kombinasi...........

39

E. Bobot Tetas Ayam Kampung Pada Penetasan Kombinasi .........

42

V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................


45

A. Simpulan ....................................................................................

45

B. Saran ...........................................................................................

45

DAFTAR PUSTAKA ..................... .......................................................

46

LAMPIRAN ...........................................................................................

52

DAFTAR PUSTAKA


Antawidjaja, T., B. Wibowo, S. Iskandar, E. Juarini dan E. Masbulan. 1995.
Pengaruh pencabutan bulu sayap terhadap produktivitas entok (Cairina
moschata) di pedesaan. Prosidings Seminar Nasional Sains dan Teknologi
Peternakan. Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian. Balai Penelitian
Ternak, Ciawi. Bogor.
Asnawi. 1997. Kinerja Pertumbuhan dan Fisiologi Ayam Kampung dan Hasil
Persilangannya dengan Ayam Ras Tipe Pedaging. Tesis. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Biyatmoko, D. 2003. Permodelan usaha pengembangan ayam buras dan upaya
perbaikannya di pedesaan. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi
Paket Teknologi Pertanian Subsektor Peternakan. Banjarbaru, 8−9
Desember 2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan
Selatan, Banjarbaru. Hlm. 1−10.
Blakely, J. dan H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan Edisi Keempat. Terjemahannya :
Bambang Srigandono. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta
Buhr, R. J and J. L. Wilson. 1991. Incubation relative humidity effect on
allaantoic fluid volume and hatchability. Poultry Science. Poscal 70
(supplement 1) : 1 – 188.
Cahyono. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya. Cetakan Pertama. Jakarta.
Card, L.E. and M.C.Neisheim. 1972. Poultry Education. 11th. Edition and
Febriger, Philadelphia.
Dinas Peternakan. 1999. Departemen Pertanian. Basis Data Statistik.
http://www.Deptan.com (7 Oktober 2012)
Dijaya, A.S. 2003. Penggemukan Itik Jantan Potong. Penebar Swadaya. Cetakan
Pertama. Jakarta.
Djanah, D. 1984. Beternak Ayam dan Itik. Cetakan Kesebelas. C.V Yasaguna.
Jakarta.

Dudung A.M., 1990. Memelihara Ayam Kampung. Sistem Battery. Kanisius.
Yogyakarta.
Ensminger, M.E. 1980. Poultry Science. 2th Edition. The Interstate Printers &
Publishers INC.
Fasenko, G.M., R.T. Hardin and F.E Robinson. 1992. Relationship of hen age and
egg sequence position with fertility, hatchability, viability and pre
uncubation embryonic development in broilers breeders. Poultry Science
70 : 1374 – 1384.
Gunawan. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan
Upaya Perbaikannya. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Greenberg, D. V. 1981. Resing Game Bird in Capitivity. D. Van Nostrad
Company, New York.
Iriyanti, N., Zuprizal, Tri-Yuwanta, dan S. Keman. 2007. Penggunaan vitamin E
dalam pakan terhadap fertilitas, daya tetas dan bobot tetas telur ayam
kampung. J. Anim. Prod. 9(1): 36−39.
Hamdy, A. M. M., Henken, W.V.D. Hel, A.G. Galal and A.K.I. Abd-Elmoty.
1991. Effect of incubation humidity and hatching time on heat tolerance
of neonatal chicks: Growth Performance after heat exposure. Poultry
Science 70:1507 – 1515.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak Di Lapangan. Penerbit
P.T Grasinda anggota IKAPI, Jakarta. Hlm. 6-8 : 54-57.
Jull, M.A. 1951. Poultry Husbandry 3th Edition. Mc.Graw-Hill Book Company,
Inc.
Jayasamudra, D.J dan B. Cahyono. 2005. Pembibitan Itik. Penebar Swadaya.
Jakarta
Karnama, I. K. 1996. Studi beberapa faktor yang mempengaruhi daya tetas telur
itik Bali pada penetasan tradisional dengan gaban. Tesis. Program Studi
Pascasarjana Peternakan. Institusi Pertanian Bogor, Bogor.
Kingston, D.J. and C. Capwell. 1982. Indigenous Chickens in Indonesia.
Population and Production Characteristics in Five Villages in West Java.
Research Institute for Animal Production. Bogor, Indonesia.
Koeswara, S. 1991. Teknik pengawetan telur segar. Poultry Indonesia 113: 18-19.
Koesmono, R. 1989. Pengembangan Ternak Unggas Lokal di Jawa Tengah
Selama Pelita IV. Proceeding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal.
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Kusmarahmat, I. 1998. Pengaruh berbagai perbandingan jantan dan betina dalam
kawin alam terhadap produksi, bobot, fertilitas dan daya tetas telur pada
ayam kampung. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian, Insttut Pertanian Bogor
Kusmidi, I. 2000. “Produktivitas Itik Manila (Cairina moschata) di tiga desa
yang berbeda topografinya di Kabupaten Cianjur”. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lasmini, A., R. Abdelsamie dan N. M. PArwati. 1992. Pengaruh Cara Penetasan
Terhadap Daya Tetas Telur Itik Tegal dan Alabio. Prosiding : Pengolahan
dan Komunikasi Hasil – hasil Penelitian. Unggas dan Aneka Ternak. Balai
Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor.
Lesson, S. 2000. Egg Number and Egg Size Both Influence Broilers Yields. Arbor
acres, Service Bulletin No. 13, July 1.
Lyons, J. J. 1998. Small Flock Series: Incubations of poultry. Agricultural
publication G*353-New January 15. University of Missouri.
http://muexentension.missouri.edu/xplor/agguides/poultry/908353.htm.[3S
eptember2002].
McDaniel, G.R., D.A. Roland and M.A. Coleman. 1979. The effect of eggs shell
quality on hatchability and embrionic mortality. Poultry Science 58 : 10 –
13.
Meijerhof, R. 1994. Pre-Incubation Holding of Hatching Eggs. Science Journal 48
(1) : 57 - 68 .
Murtidjo, B.A. 1995. Mengelola Itik. Cetakan Ketujuh. Kanisius. Yogykarta.
_______, B. A. 1992. Mengelola Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta.
Nesheim, M.C., R.E. Austic and L.E. Card. 1979. Poultry Production. Lea and
Febiger, Philadelphia.

North, M.D, dan D.D. Bell, 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th
Edition. The Avi Publishing Co. Inc. Wesport, Conecticut.
Nuryati, T. Sutarto., M. Khamim., dan P.S. Hardjosworo. 2002. Sukses
Menetaskan Telur. Cetakan keempat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Oklahoma State University. 2002. Muscovy. Oklahoma, USA.
http://amsi.okstate.edu/poultry/ducks/muscovy.[26 Maret 2002]
Paimin, F.B. 2004. Membuat dan Mengelola Mesin Tetas. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Peebles, E.D and J. Brake. 1985. relationship of egg shell porosity of stage of
embrionic development in broiler breeders. Poultry Science 64 (12): 2388.
Rasyaf, M. 1998. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta.
_________. 1989. Memelihara Ayam Buras. Kanisius, Yogyakarta.
_________. 1990. Pengelolaan Penetasan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Resnawati, H. 1998. The nutritional requirements for native chickens. Bulletin of
Animal Science. Supplement Ed. Faculty of Animal Science, Gadjah
Mada University, Yogyakarta.
Riyanto, 2001. Sukseskan Menetaskan Telur Ayam. Penerbir Andromedia
Pustaka. Jakarta
Romanoff, A. L. and A. J. Romanoff. 2002. The Avian Egg. 2nd Edition. John
Wiley and Sons. Inc. New York.
Rose, S P, 1997. Prinsiples of Poultry Sciences. Harper Adams Agricultural
Collag.London
Rusandih. 2001. Susut tetas dan Jenis Kelamin Itik Mojosari Berdasarkan
Klasifikasi Bobot dan Nisbah Kelamin. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sapuri, A. 2006. Evaluasi Program Intensifikasi Penagkaran Bibit Ternak Ayam
Buras di Kabupaten Pandeglang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sartika, 2004. Kekerabatan Genetik Ayam Kampung, Pelung, Sentul dan Kedu
Hitam dengan menggunakan penanda DNA mikrosatelit: I. Grup pemetaan
pada makro kromosom. JITV 9: 81-86.
Sarwono, B. 1991. Beternak Ayam Buras. Cetakan Ketiga. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Sauveur, B. and H. de Carville. 1986. Recent Studies on the Management of
Muscovy Breeding Duck in France. In : D. J. Farrell and Stapleton.
University of New England, Armidalle.
Setiadi, P., A. P. Sinurat, A. R. Setioko dan A. Lasmini. 1994. Perbaikan Sanitasi
Untuk Meningkatkan Daya Tetas Telur Itik Di Pedesaan. Prosiding.
Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian
Ternak . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
_________. 1992. “Pengujian Metoda Penetasan Telur Itik Tegal di Pedesaan”.
Prosiding Penge lolaan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian . Balai
Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Septiwan, R. 2007. Respons Produktivitas dan Reproduktivitas Ayam Kampung
dengan Umur Induk yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor.
Setioko, A.R., A.D. Sinurat, P. Setiadi dan A. Lasmini, 1994. “Pemberian Pakan
Tambahan untuk pemeliharaan itik gembala di Subang, Jawa Barat”. Vol.
8, No. 1, Agustus:27 – 33.
Shanawany, M.M. 1987. Hatching weight in relation to egg weight in domestic
birds. World’s Poultry Science. Journal. 43 (2) : 107 – 144.
Srigandono, B. 1998. Ilmu Unggas Air. Cetakan ketiga. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta
_________. 1997. Kamus Istilah Peternakan. Universitas Gajah Mada Press,
Yogyakarta.
Steel, R.G.D. dan J. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan
Biometrik. Alih Bahasa B. Sumantri. Gramedia, Jakarta.
Steward, G. F. And J.C. Abbott. 1972. Marketing Eggs and Poultry. Thrird
Printing. Food and Agricultural Organization (FAO), The United Natione.
Rome.
Stromberg, J. And L. Stromberg. 1975. A Guide to Better Hatching. Stromberg
Publishing Company, Pine River, Minnesota.
Suarez, M. E., Wilson, H.R. 1996. Low Temperature effects on embrionic
development and hatch time. Poultry science. 75: 1321 – 1331.
Sudaryani, T. 2001. Perlakuan Telur Sebelum Ditetaskan. Dalam: Mengatasi
Permasalahan Beternak Ayam. Penebar Swadaya, Jakarta.
_________. 2000. ”Kualitas Telur” . Cetakan Kesembilan. Penebar Swadaya.
Jakarta
_________, dan Santoso. 1994. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudradjad. 1995. Beternak Ayam Cemani. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suharno, B dan Amri. 1999. Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Sumarni. 1995. Diktat Penanganan Pasca Panen Unggas. Departemen Pertanian.
Balai Latihan Pertanian Ternak, Ciawi Bogor.

Sulandari S, Zein MSA, Paryanti S, Sartika T. 2007. Taksonomi dan asal usul
ayam domestikasi. Dalam buku Keragaman Sumber Daya Hayati Ayam
Lokal Indonesia:Manfaat dan Potensi. Editor: Kusumo Diwyanto dan Siti
Nuramaliati Prijono. Pusat Penelitian Biologi, LIPI.Edisi I Hal. 7-24
Suprijatna. 2005. Ayam Buras Krosing Petelur, Penebar Swadaya, Jakarta.
_________. Atmomarsono dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syaikul. A, 2006. Tugas Akhir Teknik Elektro Universitas Udayana, Perancangan
Mesin Penetas Telur Berbasis Mikrokontroler ATMEGA163, Juli 2006.
Tullet, S. G. and F.G. Burton. 1982. Factor affecting the weight and water status
of chick and hatch. British Poultry. Science 23 : 361 – 369.
Tungka, R. Dan N.S. Budiana. 2004. Itik Peking. Penebar Swadaya. Cetakan
Pertama. Jakarta.

Wibowo, B., E., T. Antawidjaja, E. Basuno, I. A. K. Bintang dan S. Iskandar.
1995. “Pengaruh suplementasi pada dedak dengan dan tanpa pemisahan
DOD secara dini terhadap produktivitas entok di pedesaan. Seminar
Peternakan dan Forum Peternakan Ternak Unggas dan Aneka Ternak”.
Kumpulan Hasil – hasil Peternakan APBN 1995. Balai Penelitian Ternak
Ciawi.
Wineland, M. 2000. Moisture loss in hatching eggs. Abor acres, Service Bulletin
No. 14 July 15.
Zakaria, S. 2004. Pengaruh Luas Kandang Terhadap Produksi dan Kualitas Telur
Ayam Buras yang dipelihara dengan System Litter. Bulletin Nutrisi dan
Makanan Ternak 5(1); 1-11.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah
Kenaikan permintaan komoditas peternakan di Indonesia dari tahun ke tahun
semakin berpacu dengan adanya pertambahan jumlah penduduk, pendapatan,
serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Akan
tetapi di lain pihak, daya produksi ternak lokal masih tergolong rendah
sehingga target minimal konsumsi protein hewani asal ternak belum cukup.
Ayam kampung adalah suatu ternak yang saat ini potensinya terbilang masih
sangat rendah.
Ayam buras atau biasa disebut ayam kampung merupakan salah satu jenis
ternak yang potensial untuk dikembangkan dan telah memasyarakat di
seluruh pelosok nusantara. Ayam kampung merupakan plasma nutfah yang
keberadaannya perlu dilestarikan, apalagi populasinya sempat menurun karena
adanya wabah flu burung, sistem pemeliharaan ayam kampung yang masih
tradisional, jumlah pakan yang diberikan belum mencukupi, dan pemberian
pakan yang belum mengacu kepada kaidah ilmu nutrisi, terutama pemberian
pakan yang belum memperhitungkan kebutuhan zat-zat makanan untuk
berbagai tingkat produksi (Gunawan, 2002; Zakaria, 2004).

Potensi ayam kampung perlu dikembangkan untuk meningkatkan gizi
masyarakat. Selera konsumen terhadap daging dan telur ayam kampung
diakui atau tidak sangat tinggi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan populasi
ayam kampung perlu dilakukannya kesiapan penetasan. Penetasan merupakan
bidang yang memerlukan penanganan yang baik, sehingga diperoleh efisiensi
daya tetas yang berkualitas prima (Dudung, 1990).
Pada dasarnya penetasan telur ayam kampung dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu penetasan secara alami dan secara buatan. Penetasan telur ayam
kampung secara alamiah ini umumnya dengan dieramkan oleh induk maupun
menggunakan unggas lain yang memiliki sifat mengeram seperti entok.
Kelebihan dari penetasan alami adalah lebih mudah dilakukan oleh petani
kecil, dan tidak memerlukan pengawasan yang intensif seperti pengaturan
suhu dan kelembapan, pemutaran, dan lain - lain. Kelemahannya adalah daya
tampung pada saat dieramkan sedikit (Setioko, 1998),
Penetasan telur ayam kampung oleh induk ayam kampung sendiri
menyebabkan menurunnya proses produksi telur karena sifat mengeram induk
ini sangatlah merugikan. Cara paling aman sebenarnya cara alami karena
hanya menunggu telur menetas selama 21 hari. Namun, hasil bibit ayam
terbatas. Penggunaan jasa entok (itik manila) dapat dilakukan apabila entok
sudah siap mengeram dengan cara mengganti telur entok dengan telur ayam
kampung.
Penetasan menggunakan induk lain seperti entok memiliki kekurangan dan
kelebihan. Kekurangan menggunakan induk entok adalah pada saat entok

meninggalkan telur yang dieramkan, suhu dan kelembapan akan mudah
berubah sehingga memengaruhi telur yang dieramkan dan telur yang
dieramkan jumlahnya sangat terbatas atau sedikit. Kelebihan penetasan alami
menggunakan induk lain seperti entok yang memiliki sifat mengerami telur
adalah mempunyai daya tetas yang baik berkisar 80--90% (Suharno dan
Amri).
Penetasan telur ayam kampung dengan cara buatan menggunakan mesin tetas
dapat dilakukan dengan jumlah yang banyak. Prinsip penetasan menggunakan
mesin tetas adalah menciptakan suasana yang sesuai dengan kondisi keadaan
induk unggas pada saat mengerami telurnya. Faktor - faktor yang terpenting
dalam kerja mesin tetas adalah pengaturan suhu, kelembapan, sirkulasi udara,
dan pemutaran telur (Sudaryani, 2001).
Penetasan menggunakan inkubator atau mesin tetas memiliki kelemahan dan
kelebihan. Kelemahan penetasan buatan adalah sangat tergantung pada
manajemen peternak dalam pengelolaan mesin tetas, seperti pengaturan suhu,
kelembapan, dan pemutaran telur yang merata untuk mendapatkan suhu yang
stabil. Kelebihan penetasan menggunakan mesin tetas adalah jumlah telur
yang ditetaskan dapat mencapai jumlah yang banyak dan lebih efisien berbeda
dengan penetasan alami yang hanya menetaskan telur dalam jumlah yang
sedikit (Riyanto, 2002).
Kelompok Tani Ternak Rahayu, di Desa Sidodadi, Kecamatan Way Lima,
Kabupaten Pesawaran, telah melakukan kegiatan penetasan dengan cara
kombinasi penetasan dengan pengeraman pada entok selama 7 dan 10 hari,

kemudian dimasukkan ke dalam mesin tetas. Mulanya Kelompok Tani
Ternak Rahayu, di Desa Sidodadi, melakukan penetasan menggunakan mesin
tetas. Namun keberhasilan yang didapat hanya 30--50% dari jumlah telur
yang ditetaskan pada mesin tetas. Kemudian kelompok tersebut mencoba
melakukan mengkombinasikan antara penetasan alami dengan bantuan entok
yang memiliki daya tetas cukup tinggi yang kemudian dilanjutkan ke dalam
mesin tetas. Hasil yang didapat pada proses penetasan dengan cara kombinasi
mencapai 90%. Namun, belum ada data mengenai ada tidaknya perbedaan
fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas dari lama pengeraman 7 dan
10 hari pada entok.
Berdasarkan dari pengalaman Kelompok Tani Ternak Rahayu di Desa
Sidodadi, Kecamatan Way Lima, maka penulis tertarik untuk meneliti proses
penetasan telur ayam kampung dengan cara kombinasi yang mempunyai
fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot tetas yang baik.

B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kombinasi proses penetasan
telur ayam kampung yang lebih baik terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas,
dan bobot tetas.

C. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak
dan masyarakat mengenai fertilitas, daya tetas, dan bobot tetas telur yang

dihasilkan dari proses penetasan kombinasi sehingga dapat meningkatkan
produktivitas ternak ayam kampung.

D. Kerangka Pemikiran
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap fertilitas, susut tetas, daya tetas,
dan bobot tetas ayam kampung adalah tatalaksana penetasan. Manajemen
yang baik akan menghasilkan daya tetas yang baik pula. Penetasan ayam
kampung dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara alami dan secara
buatan (mesin tetas). Cara alami dilakukan dengan cara dieramkan oleh
induknya. Cara alami pun dapat dilakukan dengan cara dititipkan pada kalkun
ataupun entok (Paimin, 2004).
Kemampuan seekor kalkun mengerami telur ayam kampung sebanyak 12--15
butir telur, sedangkan pada entok dapat mencapai 22--25 butir telur. Entok
dapat menetaskan telur ayam kampung dalam 3 periode secara terus menerus
(Wibowo, et al., 1995). Menurut Suharno dan Amri (1999), keberhasilan
penetasan dengan cara alami berkisar 80--90 %. Penetasan alami yang
dilakukan dengan menggunakan entok sebagai pengeram mendapatkan hasil
yang lebih baik daripada penetasan buatan. Hal ini karena entok dapat
mengatur sendiri kebutuhan temperatur, kelembaban, pemutaran telur, dan
sebagainya melalui tingkah laku entok selama penetasan (Lasmini, et al.,
1992).
Cara yang kedua yakni dengan manajemen penetasan dengan mesin tetas.
Cara kerja mesin tetas hampir sama dengan pengeraman induk unggas, dengan

memperhatikan manajemen mesin tetas berupa kelembapan, temperatur,
pemutaran telur, peneropongan telur, pertukaran sirkulasi udara, dan
kebersihan yang berpengaruh pada embrio dalam menghasilkan daya tetas
(Riyanto, 2002).
Penetasan telur dengan cara buatan merupakan tiruan dari sifat – sifat alamiah
unggas saat mengeram. Penetasan buatan sangat tergantung dari manajemen
penetasan dan keterampilan peternak. Menurut Bapak Yasri selaku Ketua
Kelompok Tani Rahayu, penetasan telur ayam kampung yang dilakukan
dengan menggunakan mesin tetas tingkat keberhasilannya sebesar 50--80 %.
Manajemen penetasan yang dilakukan di Kelompok Tani Ternak Rahayu,
Desa Sidodadi, Kecamatan Waylima, Kabupaten Pesawaran, yaitu dengan
kombinasi antara penetasan secara alami dan secara buatan (mesin tetas).
Telur ayam kampung yang akan digunakan, dieramkan terlebih dahulu pada
induk (entok) selama 10 hari sebelum dimasukkan ke dalam mesin tetas.
Keberhasilan penetasan dengan cara ini mencapai 90%. Namun, karena
alasan ekonomis agar penetasan bisa menghasilkan lebih banyak DOD (day
old chick), maka telur dierami oleh entok hanya 7 hari kemudian dimasukkan
ke dalam mesin tetas.
Telur ayam kampung yang diteliti selama 10 hari di entok mempunyai
kesempatan untuk mendapatkan suhu, kelembapan, pemutaran telur, dan
sirkulasi udara yang lebih ideal (sesuai dengan induk) dibandingkan dengan
yang ditetaskan hanya 7 hari. Pada entok perkembangan embrio pada telur
yang dierami oleh entok selama 7 hari dan 10 hari sama – sama telah melewati

masa kritis yang pertama. Pada saat itu organ – organ dalam jaringan luar
telah terbentuk, hanya saja perkembangan embrio pada telur ayam kampung
yang ditetaskan oleh entok selama 10 hari, perkembangannya sudah lebih
sempurna. Oleh sebab itu, penetasan 10 hari yang kemudian dilanjutkan ke
dalam mesin tetas diduga mempunyai daya tetas yang lebih tinggi.

E. Hipotesis
Lama pengeraman 10 hari dengan entok yang kemudian dilanjutkan ke
dalama mesin tetas mempunyai fertilitas, susut tetas, daya tetas, dan bobot
tetas yang lebih baik.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Ayam Kampung
Ayam kampung merupakan ayam asli Indonesia yang telah lama dipelihara dan
ayam kampung merupakan salah satu anggota dari ayam buras yang sangat
potensial di Indonesia. Ayam kampung dijumpai di semua propinsi dan di
berbagai macam iklim atau daerah. Umumnya ayam kampung banyak dipelihara
masyarakat di daerah pedesaan yang dekat dengan sawah atau hutan. Ayam
kampung telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan pemeliharaan yang
sederhana (Suprijatna, 2005).
Sebenarnya ayam – ayam yang diternakkan kini (Gallus domesticus) berasal
dari ayam hutan (Gallus varius) di Asia Tenggara. Jadi, ayam hutan merupakan
nenek moyang ayam kampung yang umum dipelihara. Ayam kampung
kemungkinan berasal dari pulau Jawa. Akan tetapi, saat ini ayam hutan sudah
tersebar sampai ke Pulau Nusa Tenggara (Rasyaf, 1998).
Sebagian besar ayam kampung yang terdapat di Indonesia mempunyai bentuk
tubuh yang kompak dengan pertumbuhan badan relatif bagus, pertumbuhan
bulunya sempurna dan variasi warnanya juga cukup banyak (Sarwono, 1991).
Wibowo (1995) menambahkan bahwa ragam warna ayam kampung mulai dari
hitam, putih, kekuningan, kecokelatan, merah tua, dan kombinasi dari warnawarna itu.

Menurut Rasyaf (1998), warna bulu pada ayam kampung tidak dapat diandalkan
sebagai patokan yang baku, karena berubah terus-menerus. Misalnya induknya
berwarna cokelat bintil-bintil hitam dan jagonya berwarna kemerahan campur
hitam, tetapi anaknya berbulu putih atau warna campuran pada anak yang lain.
Ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena
mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi lingkungan, dan
perubahan iklim serta cuaca setempat. Ayam kampung memiliki bentuk badan
yang kompak dan susunan otot yang baik. Badan ayam kampung kecil, baik itu
ayam penghasil telur maupun pedaging. Bentuk tubuh ayam kampung tidak dapat
dibedakan karena memang ayam kampung tidak dibedakan atas penghasil telur
atau daging (Rasyaf, 1998). Kepala ayam kampung betina berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan kepala ayam kampung jantan (Sarwono, 1991).
Produktivitas ayam kampung memang rendah, rata - rata per tahun hanya 60 butir
dengan berat telur rata-rata 30 g/butir. Bobot badan ayam jantan tua tidak lebih
dari 1,9 kg, sedangkan yang betina lebih rendah lagi 1,4--1,7 kg (Rasyaf, 1998).
Induk betina mulai bertelur saat berumur sekitar 190 hari atau 6 bulan. Induk
betina ini mampu mengerami 8 sampai 15 butir telur. Setelah telur menetas induk
ayam akan mengasuh anaknya sampai lepas sapih. Berat rata - rata anak ayam
berumur 90 hari sekitar 425 g (Sapuri, 2006). Ayam kampung mempunyai 3
periode produksi sebagaimana ayam ras petelur yaitu starter (umur 1-- 8 minggu),
periode grower (umur 9--20 minggu), dan periode layer (umur lebih dari 20
minggu) (Paimin, 2004).

Klasifikasi adalah suatu sistem pengelompokan jenis-jenis ternak berdasarkan
persamaan dan perbedaan karakteristik. Suprijatna (2005) mengemukakan
taksonomi ayam kampung di dalam dunia hewan sebagai berikut
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Aves
Subclass : Neornithes
Ordo : Galliformes
Genus : Gallus
Spesies : Gallus domesticus.
Asnawi (1997) menyatakan bahwa ayam yang diternakkan oleh masyarakat
dewasa ini berasal dari 4 spesies Gallus, yaitu :
a. Gallus gallus
Spesies ini sering disebut juga sebagai Gallus bankiva, terdapat di sekitar
India sampai ke Thailand, termasuk Filipina dan Sumatera. Karakteristik dari
spesies ayam ini adalah jengger berbentuk tunggal dan bergerigi. Bulu yang
betina berwarna cokelat bergaris hitam, sedangkan yang jantan mempunyai leher,
sayap, dan pungggung berwarna merah sedangkan dada dan badan bagian bawah
berwarna hitam. Ayam yang jantan berwarna merah dan sering disebut ayam
hutan merah.
b. Gallus lavayeti

Spesies ini banyak terdapat di sekitar Ceylon, sebab itu juga sebagai ayam
hutan ceylon. Ayam ini mempunyai tanda-tanda mirip seperti Gallus gallus,
hanya saja yang jantan berwarna merah muda atau orange.
c. Gallus soneratti
Spesies ini terdapat di sekitar India Barat Daya. Tanda-tanda ayam ini
mirip seperti Gallus gallus, hanya saja warna yang menyolok pada yang jantan
adalah warna kelabu.
d. Gallus varius
Spesies ini terdapat di sekitar Jawa sampai ke Nusa Tenggara, yang jantan
mempunyai jengger tunggal tidak bergerigi, mempunyai bulu penutup bagian atas
berwarna hijau mengkilau dengan sayap berwarna merah, karena adanya warna
kehijauan ini maka ayam ini disebut ayam hutan hijau.
Ayam hutan hijau (Gallus varius) inilah yang merupakan nenek moyang ayam
kampung yang umum dipelihara. Ayam kampung yang ada kini masih
menurunkan sifat-sifat asal nenek moyangnya. Oleh sebab itu, varietas asal
unggas hutan setengah liar ini dikenal dengan ayam kampung (Kingston, 1979
dan Rasyaf, 1998).

B. Deskripsi Entok
Warna pada entok dapat berupa biru, biru dan putih, cokelat, cokelat dan putih, putih
hitam dan hitam, lembayung muda, dan calical (Oklahoma State University, 2002).
Rose (1997) menyatakan bahwa taksonomi dari entok sebagai berikut:

Kingdom

: Animalia

Subkingdom

: Metazoa

Phylum

: Chordata

Subphylum

: Vertebrata

Kelas

: Aves

Ordo

: Anseriformis

Famili

: Anatidae

Genus

: Cairina

Species

:Moschata.

Entok merupakan itik pedaging yang paling besar di dunia dan bobotnya bisa
mencapai 3,5 kg sampai 6 kg (Srigandono, 1997), sedang itik peking dan itik
aylesbury bobotnya hanya 4--4,5 kg (Tungka dan Budiana, 2004). Bobot entok
sangat dominan dibandingkan dengan itik petelur afkir yang hanya 1,6 kg, dan itik
mandalung (hasil perkawinan itik petelur dan entok) yang hanya 2,5 kg (Dijaya,
2003).
Produktivitas telur entok 8--21 butir per periode dengan frekuensi bertelur dalam
setahun sebanyak tiga kali (Oklahoma State University, 2002). Produksi telur induk
entok yang dipelihara secara intensif/periode produksi, rata – rata 10 butir dengan
variasi 8--13 butir dan jarak bertelur kembali setelah penetasan pada induk yang
dipisahkan dengan anaknya yaitu sekitar 22 hari sedangkan pada induk yang
mengasuh anaknya yaitu 50--51 hari (Wibowo, et al.,1995).
Entok juga dikenal sebagai mesin penetasan alami (Blakely dan Bade, 1998). Lama
penetasan telur entok umumnya selama 35 hari, atau dierami pada kisaran 35--37 hari
(Oklahoma State University, 2002). Entok dapat mengerami telur sebanyak 20--30

butir/ekor/periode pengeraman. Proses pengeraman dengan menggunakan entok
lebih baik daripada menggunakan mesin tetas (Lasmini, 1992). Entok merupakan
pengeram yang baik, sehingga berguna sebagai pengeram dalam proses penetasan
telur itik yang tidak dapat megerami telurnya sendiri (Murtidjo, 1995).

C. Penetasan Alami
Penetasan secara alami adalah suatu cara penetasan yang dilakukan induk untuk
mengerami telur hingga telur menetas. Kemampuan ayam kampung dalam
menghasilkan telur per ekor induk per periode pengeraman sangat bervariasi,
karena ayam kampung mempunyai keragaman individu cukup tinggi (Sartika et
al., 2004).
Kebiasaan mengeram pada ayam kampung ditandai dengan sikap ayam yang
menyarang yang terus menerus menjaga telurnya, dan karakter clucking (sifat
defensif pada ayam mengeram disertai bunyi suara yang khas). Ayam kampung
yang dipelihara secara ekstensif atau semi intensif, mempunyai kurang lebih
12--15 butir per periode dan biasanya dilanjutkan dengan mengerami telurnya
selama 21 hari sampai telur menetas. Adanya sifat mengeram ini berhubungan
dengan menurunnya produksi telur, karena produksi telur akan terhenti selama
ayam tersebut menunjukkan gejala mengeram dan diikuti dengan lama istirahat
yang panjang (tidak bertelur) (Romanoff, 2002).
Entok (Cairina moschata) dikenal juga sebagai salah satu ternak yang tidak hanya
menghasilkan daging dan telur, namun dikenal juga sebagai mesin penetas telur

alami. Keberhasilan entok mengerami hasilnya cukup baik dapat mencapai 80-90 % (Kusmidi, 2000).
Keuntungan penetasan secara alami dengan bantuan entok antara lain mudah
dilakukan petani kecil, daya tetas cukup tinggi, tidak memerlukan pengawasan
yang intensif seperti pengaturan suhu dan kelembaban, pemutaran telur dan lainlain. Adapun kerugian yang ada yaitu kapasitas saat pengeraman telur yang
sangat terbatas, memerlukan biaya untuk memelihara entok, dan resiko kematian
entok akibat terlalu lama mengeram atau penyakit lainnya. Entok (Cairina
moschata) mempunyai kemampuan mengeram yang sangat baik dan setiap ekor
mampu mengerami sebanyak 15--30 butir telur itik, tergantung dari ukuran,
kondisi dan kualitas entok (Kingston, 1978).
Entok yang digunakan sebagai pengeraman alami hendaknya dipilih yang sehat
dan besar. Tingkah laku entok yang perlu dihindari adalah kebiasaan makan,
buang kotoran di atas telur, keadaan bulu yang basah langsung mengeram,
frekuensi turun dari tempat mengeram, dan kondisi bulu yang kotor. Tingkat
kematian embrio pada penetasan dengan indukan entok lebih tinggi dibandingkan
dengan mesin tetas, karena faktor kebersihan induk. Daya tetas masih dapat
ditingkatkan apabila faktor kebersihan induk diperhatikan (Setiadi, 1982).

D. Penetasan Buatan
Teknik penetasan secara buatan yakni dengan menggunakan mesin tetas yang
dirancang untuk menetaskan telur baik menggunakan pemanas listrik maupun
lampu minyak. Bentuk dan kapasitas mesin tetas sangat bervariasi mulai dari

kotak kayu yang sederhana, hingga mesin tetas berkapasitas ribuan telur dengan
pengontrol suhu dan kelembapan secara otomatis. Untuk penetasan telur itik
skala kecil, peternak menggunakan mesin tetas yang sangat sederhana, biasanya
terbuat dari kayu atau tripleks dengan desain yang bermacam – macam (Setioko,
1994).
Keberhasilan penetasan secara buatan sangat tergantung dari telur tetas, mesin
tetas, dan tata laksana penetasan. Penetasan dengan menggunakan mesin tetas
adalah hampir sama dengan induk saat mengerami telurnya. Adapun faktor –
faktor yang terpenting dalam kerja mesin tetas adalah pengaturan suhu,
kelembapan, sirkulasi udara, dan pemutaran telur (Sudaryani dan Santosa, 2001).
Pada proses penetasan ayam kampung suhu mesin tetas diatur hingga mencapai
36--37oC, sedangkan untuk kelembapan diketahui bahwa pada 24 jam pertama
telur ayam membutuhkan kelembapan 70% dan selanjutnya 60% (Suprijatna,
2005). Ventilasi berperan dalam pengaturan udara selama penetasan. Pergerakan
udara sangat penting bagi embrio yang sedang berkembang untuk mendapatkan
suplai oksigen yang tetap melalui udara segar. Pergerakan udara tidak boleh
terlalu kencang karena karbon dioksida (CO2) diperlukan untuk pergerakan
kalsium dari cangkang ke dalam embrio. Apabila pergerakan udara tinggi maka
karbon dioksida tidak ada yang terbentuk (Blakely dan Bade, 1998).
Pemutaran telur bertujuan untuk memberikan panas yang merata pada permukaan
telur. Selain itu, juga untuk mencegah agar embrio tidak menempel pada salah
satu kerabang telur. Pemutaran telur dilakukan dengan merubah posisi telur dari
kiri ke kanan atau sebaliknya bila telur disusun secara vertial, sedangkan bila

posisi telur horizontal maka bagian telur yang berada di atas diputar menjadi di
bawah. Pemutaran telur pada ayam kampung dilakukan mulai hari ke-4 sampai
hari ke-18, dalam satu hari minimal 3 kali telur (Kusmarahmat, 1998).
Posisi normal badan embrio terletak mengikuti sumbu panjang sebutir telur
dengan paruh berada di bawah sayap kanan. Ujung paruh menghadap ke rongga
udara telur yang terletak diujung tumpul telur (Srigandono, 1998).

E. Fertilitas
Fertilitas adalah perbandingan antara banyaknya telur yang ditunasi dengan
banyaknya semua telur yang dihasilkan (Srigandono, 1996), sedangkan daya tetas
dapat diasumsikan menjadi dua yaitu (1) persentase jumlah telur yang menetas
berdasarkan seluruh telur yang ditetaskan atau (2) persentase jumlah telur yang
menetas berdasarkan seluruh telur yang bertunas (North dan Bell, 1990).
Fertilitas dapat diketahui dengan candling (peneropongan telur). Setiadi, et al.,
(1992) menyatakan bahwa sampai saat ini belum dapat ditemukan suatu cara yang
tepat dan menguntungkan untuk usaha penetasan telur dalam menentukan tingkat
daya tunas telur (fertilitas) kecuali dengan peneropongan (candling). Selanjutnya
dinyatakan bahwa metode peneropongan telur tidak dapat menentukan daya tunas
telur secara akurat karena beberapa telur yang embrionya telah mati sebelum
ditelurkan (preovioisital embryo dead) akan menghasilkan telur yang infertil.
Greenberg (1981) menyatakan bahwa cara yang lebih akurat dalam penentuan
fertilitas adalah membuka telur dan melihat germinal disc baik dengan mata
telanjang maupun mikroskop.

Rasyaf (1990) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi fertilitas adalah
sperma, ransum, umur pembibit, musim dan temperatur dan waktu perkawinan.
Fertilitas dan daya tetas yang rendah dapat disebabkan oleh makanan induk yang
kekurangan vitamin E (Card dan Neshiem, 1972). Pembentukan embio sangat
ditentukan oleh keadaan nutrisi. Jumlah embrio yang mati dapat meningkat
karena defisiensi vitamin dan mineral terutama riboflavin dan mangan sehingga
daya tetas menjadi rendah (North dan Bell, 1990).
Perbandingan jantan dan betina perlu diperhatikan untuk mendapatkan fertilitas
yang tinggi. Kusmarahmat (1988) menyatakan bahwa untuk mendapatkan
fertilitas yang tinggi pada ayam kampung, perbandingan jantan dan betina sebesar
1:10. Fertilitas diperoleh setelah terjadinya proses pembuahan yaitu penggabungan
antara sperma dan ovum. Fertilitas telur ayam kampung dapat mencapai 90%, hal
tersebut dihitung sebagai persentase telur yang memperlihatkan adanya
perkembangan embrio tanpa memperhatikan telur tersebut menetas atau tidak dari
sejumlah telur yang ditetaskan (Nesheim, et al., 1979).

F. Susut Tetas (Weighting Loss)
Susut tetas adalah bobot telur yang hilang selama penetasan berlangsung sampai
telur menetas. Kehilangan bobot telur yang terjadi selama penetasan karena
adanya penyusutan telur.
Penyusutan bobot telur ayam kampung diakibatkan pengaruh suhu dan
kelembapan selama masa pengeraman yang dapat mempengaruhi daya tetas dan
kualitas anak ayam yang dihasilkan (Tullet dan Burton, 1982). Suarez (1996)

mengemukakan bahwa suhu yang tinggi di dalam mesin tetas mengakibatkan
perbedaan suhu antara embrio dan mesin tetas. Pengeluaran panas lebih banyak
melalui evaporasi dan mengakibatkan kehilangan bobot telur yang lebih besar
sebelum menetas. Persentase kehilangan bobot telur selama penetasan
berlangsung mempunyai hubungan yang terbalik dengan kelembapan penetasan.
Kelembapan 43 % mengakibatkan kehilangan bobot telur sebesar 0,60 %,
kelembapan 55 % mengakibatkan kehilangan bobot telur sebesar 0,54 % dan
kelembapan 69 % mengakibatkan kehilangan bobot telur sebesar 0,40 % (Buhr
dan Wilson, 1991).
Penyusutan bobot telur merupakan perubahan yang nyata di dalam telur, selain itu
air adalah bagian terbesar dan unsur biologis di dalam telur yang sangat
menentukan proses perkembangan embrio di dalam telur (Romanoff dan
Romanoff, 1963). Penyusutan bobot telur tampak diakibatkan oleh berkurangnya
persediaan cairan allantois (Buhr dan Wilson, 1991). Shanawy (1987)
mengemukakan bahwa selama perkembangan embrio di dalam telur, penyusutan
telur sampai menetas menyusut sebesar 22,5--26,5 %. Penyusutan bobot telur
selama masa pengeraman tersebut menunjukan adanya perkembangan dan
metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan
karbon dioksida serta penguapan air melalui kerabang telur (Peebles dan Brake,
1985).
Tebal kerabang telur sedikit mempengaruhi berkurangnya bobot telur selama
penetasan. Kerabang telur adalah bagian yang harus dilalui oleh gas dan air
selama proses penyusutan terjadi. Kerabang telur yang tidak normal akan

menghambat lalu lintasan gas dan air yang dikeluarkan. Kerabang yang terlalu
tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan sehingga
penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan
telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf,1998).
Koswara (1997) mengemukakan bahwa kerabang telur dilapisi oleh lapisan tipis
kutikula yang terdiri dari 90 % protein dan sedikit lemak. Fungsi kutikula ini
untuk mencegah penetrasi mikroba dan penguapan air yang terlalu cepat.
Peebles dan Brake (1985) melaporkan bahwa bagian ujung telur yang tumpul
mempunyai konsentrasi pori – pori yang lebih besar daripada di bagian tengah
ataupun di bagian ujung yang runcing, sehingga dengan lebih besarnya
konsentrasi pori – pori tersebut akan memberikan kesempatan gas dan air
menguap lebih banyak daripada bagian ujung yang runcing. Semakin banyak
pori – pori kerabang telur laju susut tetas yang terjadi akan semakin lebih cepat.
Menurut North dan Bell (1990), cara menghitung susut tetas adalah dengan
membagi persentase kehilangan bobot telur selama proses penetasan dengan
jumlah hari inkubasi.

G. Daya Tetas

Daya tetas adalah persentase telur yang menetas dari sejumlah telur fertil yang
ditetaskan. Daya tetas dapat diukur dengan dua cara, yaitu bedasarkan persentase
telur yang menetas dari seluruh telur yang fertil atau dari seluruh telur yang
ditetaskan. Daya tetas dipengaruhi oleh lama penyimpanan telur, faktor genetik,

suhu dan kelembaban mesin, umur induk, kebersihan, ukuran telur, dan nutrisi
(North dan Bell, 1990).

Ayam kampung memiliki daya tetas sebesar 84,25 % (Septiawan, 2007). Daya
tetas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain genetik, fertilitas, lama dan suhu
penyimpanan telur, suhu dan kelembaban mesin tetas, kebersihan telur, umur
induk, nutrisi, penyakit serta keragaman bentuk dan ukuran telur (North dan Bell,
1990; Ensminger, 1992).
Sainsbury (1984) menyatakan bahwa daya tetas ayam kampung dipengaruhi oleh
faktor genetik. Nilai heritabilitas untuk daya tetas adalah rendah dan silang dalam
bisa menurunkan daya tetas (Stromberg dan Stromberg, 1975).
Telur yang baik untuk ditetaskan harus dalam kondisi yang masih segar,
sebaiknya kurang dari satu minggu, apabila lebih dari satu minggu telur tetas
harus diputar 90o C dari posisi semula (Lyons, 1998). Penyimpanan telur pada
suhu 10o C dapat meningkatkan daya tetas dibandingkan dengan suhu 15--20o C
(Meijerhof, 1994). Penyimpanan telur lebih dari satu minggu dapat menurunkan
daya tetas telur. Menurut Karnama (1996), penyimpanan telur hendaknya tidak
melebihi 1 minggu setelah telur dikeluarkan dari kloaka. Telur disimpan 3 hingga
4 hari untuk mendapatkan hasil penetasan yang baik. Jika telur disimpan pada
penyimpanan yang dingin lebih dari 1 minggu maka telur akan mengeras atau
lengket pada salah satu sisi kerabangnya (Lyons, 1998).
Menurut Suharno dan Amri (1999), umur induk yang baik untuk menghasilkan
telur tetas adalah 1--2 tahun. Induk yang baru bertelur (umur 6 bulan) akan
menghasilkan daya tetas rendah dan tidak menetas sempurna. Faktor genetik

ayam kampung berpengaruh dalam menurunnya daya tetas. Telur yang layak
ditetaskan yaitu telur yang berasal dari induk yang berumur lebih dari 6 bulan.
Ayam kampung pejantan yang muda akan menghasilkan sperma yang kualitas
rendah (Murtidjo, 1995). Telur yang dihasilkan pada 2 minggu pertama produksi
tidak baik untuk ditetaskan karena daya tetasnya rendah (North dan Bell, 1990).
Umur induk ayam kampung (jantan dan betina) yang dianjurkan adalah telah
berumur lebih dari 12 bulan walaupun induk jantan sudah mampu mengawini
betina pada umur 9--10 bulan dan induk betina sudah mampu memproduksi telur
pada umur 6--7 bulan. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman, telur yang
dihasilkan oleh induk berumur lebih dari 12 bulan memiliki daya tetas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh induk yang berumur
kurang dari 12 bulan (Murtidjo, 1992)
Penetasan telur ayam kampung membutuhkan kelembapan 60--65% dengan suhu
37,5 oC (Blakely, et al.,1998). Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan
gangguan syaraf, jantung, pernafasan dan ginjal serta akan menyebabkan
membran embrio mengering sehingga membunuh embrio, sedangkan suhu yang
rendah pada penetasan menyebabkan pertumbuhan yang tidak proporsional. Suhu
rendah juga dapat menyebabkan gangguan jantung, pernafasan dan gizi yang tidak
dapat diserap oleh embrio (Lyons, 1998).
Kelembapan berpengaruh dalam proses penetasan, kelembaban relatif berkisar
pada 70--75% (Lyons, 1998). Bila akan ditetaskan, telur dikeluarkan dari tempat
penyimpanan dan dibiarkan di suhu ruangan (preheating) selama kurang lebih 6
jam (Sudaryani, 2001). Rose (1997) menyatakan bahwa peyimpanan telur

hendaknya dilakukan pada suhu di bawah 20 oC karena pada suhu di atas 20 oC
embrio akan berkembang. Kondisi terbaik embrio dapat bertahan hidup adalah
disimpan pada suhu 11--13 oC.
Pergerakan udara selama penetasan sangat penting bagi embrio yang sedang
berkembang untuk mendapatkan suplai oksigen yang tetap melalui udara segar.
Pergerakan udara tidak boleh telalu kencang karena karbon dioksida (CO2)
diperlukan untuk pergerakan kalsium dari cangkang ke dalam embrio. Apabila
pergerakan udara tinggi maka karbon dioksida tidak ada yang terbentuk (Blakely
dan Bade, 1998). Kenaikan 1% karbon dioksida menyebabkan kematian embrio
sebelum menetas sebesar 5%. Kandungan karbon dioksida selama penetasan
yang dapat menghasilkan perkembangan embio dan penetasan yang memuaskan
sekitar 0,5--0,8% (Riyanto, 2001).

Posisi telur selama penyimpanan didalam mesin tetas berpengaruh terhadap daya
tetas yang dihasilkan. Pemutaran telur bertujuan memanfaatkan seluruh albumen
protein yang tersedia dan mencegah menempelnya embrio pada sel membran
khususnya pada minggu pertama inkubasi (Kusmarahmat, 1998). Setioko (1998)
menyatakan sebaiknya pemutaran telur dilakukan 3 sampai 5 kali dalam sehari
Kebersihan telur berpengaruh terhadap daya tetas DOC (Day Old Chick) yang
dihasilkan. Telur yang kotor tidak dapat digunakan untuk penetasan karena
terkontaminasi oleh bakteri (Rose, 1997). Bakteri masuk ke dalam telur melalui
pori – pori telur yang menyebabkan terjadinya kontaminasi telur dan dapat
menggangu perkembangan dan membunuh embrio. Mikroorganisme dapat
menyebabkan daya tetas jelek dan banyak telur yang busuk (Lyons, 1998).

Lasmini, et al. (1992) menyatakan bahwa cara penetasan alami dengan
menggunakan entok sebagai pengeraman mendapatkan hasil daya tetas yang lebih
baik daripada penetasan buatan. Hal ini sesuai dengan kondisi alamiah entok
yang dapat mengatur sendiri kebutuhan suhu, kelembapan, pemutaran telur dan
sebagainya melalui tingkah laku entok selama penetasan.

H. Bobot Tetas
Bobot tetas tetas dipengaruhi oleh bobot telur, suhu, dan kelembapan mesin tetas.
Telur yang berukuran besar menyebabkan rongga udara relatif terlalu kecil untuk
embrio, sehingga telur akan lama menetas. Sebaliknya jika terlalu kecil, rongga
udaranya terlalu besar telur akan cepat menetas. Ukuran telur yang digunakan
untuk penetasan sangat penting karena mempunyai korelasi yang tinggi antara
ukuran telur yang ditetaskan dengan ukuran DOC yang dihasilkan (Jull, 1951 dan
Leeson, 2000).
Stromberg dan Stromberg (1975) menyatakan bahwa bobot tetas telur ayam yang
berasal dari telur tetas yang kecil, akan lebih rendah dibandingkan dengan ayam
berasal dari telur yang besar. Hal yang sama diungkapkan oleh North dan Bell
(1990), yang menyatakan bahwa telur yang bobotnya kecil akan menghasilkan
bobot DOC (Day Old Chick) yang kecil juga. Hamdy, et al., (1991) menyatakan
bahwa peningkatan 1 gram bobot telur akan meningkatkan 0,7 gram bobot DOC
(Day Old Chick). Hal ini terjadi karena telur mengandung nutrisi, seperti vitamin,
mineral dan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan selama pengeraman. Nutrisi

ini juga berfungsi sebagai cadangan makanan untuk beberapa waktu setelah ayam
menetas (Pattison, 1993)
Suhu pada mesin tetas berpengaruh terhadap bobot tetas telur yang dihasilkan.
North dan Bell (1990) menyatakan bahwa suhu di atas atau di bawah optimum
akan menurunkan daya tetas menghasilkan embrio yang lemah, dan anak ayam
yang kualitasnya rendah. Apabila suhu di atas optimum, ayam akan menetas lebih
cepat, tingkat kematian embrio lebih tinggi terutama selama seminggu terakhir
pengeraman, ayam yang menetas lebih kecil dan terlihat abnormalitas karena
kekurangan air (Stromberg dan Stromberg, 1975). Kisaran bobot telur tetas ayam
kampung yang ideal untuk ditetaskan adalah berkisar 42--45g (Murtidjo,1992).
Kelembapan pada mesin tetas memegang perana yang penting bagi bobot tetas.
Kelembapan yang terlalu tinggi menyebabkan anak ayam menetas lebih lama,
bobot lebih besar, dan lembek pada daerah abdomen. Hamdy, et al., (1991)
menyatakan bahwa anak ayam yang menetas pada kelembapan pengeraman 55%
nyata lebih berat diband