Daya Hasil dan Ketahanan 17 Galur Cabai IPB terhadap Penyakit Antraknosa yang Disebabkan oleh Dua Spesies Colletotrichum.

1

DAYA HASIL DAN KETAHANAN 17 GALUR CABAI IPB
TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA YANG
DISEBABKAN OLEH DUA SPESIES Colletotrichum

AGUS CAHYADI SATIAPURNA
A24080063

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

DAYA HASIL DAN KETAHANAN 17 GALUR CABAI IPB TERHADAP
PENYAKIT ANTRAKNOSA YANG DISEBABKAN OLEH
DUA SPESIES Colletotrichum
Yield and Resistance of 17 Chili Breeding Lines IPB to Anthracnose Diseases Caused by
Two Colletotrichum Species
Agus Cahyadi Satiapurna1, Muhamad Syukur2, Rahmi Yunianti2
Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB

2
Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB
1

Abstract
The objective of this research was to evaluate the resistance of 17 IPB chili
breeding lines and three commercial varieties to anthracnose diseases caused by
Colletotrichum sp. and get their yield components information. This research was
conducted from February until May 2012 at IPB Research Station Leuwikopo and
Genetic and Plant Breeding Laboratory, Department of Agronomy and Horticulture IPB.
This research used Randomized Complete Block Design with three replications. The
result of the resistance evaluation to anthracnose using isolate TGMII04 (C.
gloeosporioides) showed that eleven genotypes categorized as highly resistant and all
other genotypes categorized as resistant. Meanwhile, the evaluation using isolate PYK04
(C. acutatum) showed that all genotypes categorized as highly susceptible. IPB11000591-13-4, Pesona I-2, and IPB009019-3-4-10 breeding lines have a better potential yield
among the genotypes tested.
Keywords : anthracnose, chili, resistance, yield component

2


RINGKASAN

AGUS CAHYADI SATIAPURNA. Daya Hasil dan Ketahanan 17 Galur
Cabai IPB terhadap Penyakit Antraknosa yang Disebabkan oleh Dua Spesies
Colletotrichum. (Dibimbing oleh MUHAMAD SYUKUR dan RAHMI
YUNIANTI).
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan 17 galur cabai IPB dan
tiga varietas komersial terhadap penyakit antraknosa dan memperoleh informasi
daya hasilnya. Percobaan dilakukan menggunakan Rancangan Kelompok
Lengkap Teracak dengan tiga ulangan.
Bahan tanaman yang digunakan adalah 20 genotipe cabai (17 galur cabai
dan tiga varietas komersial) yaitu IPB110005-91-13-12, IPB110005-91-13-4,
IPB110005-91-17-18a, IPB110005-91-17-3, IPB110005-91-4-6, IPB110005-914-8, IPB120005-1-1-17, IPB120005-5-11-1, IPB120005-5-11-2, IPB120005-5-193, IPB 009019-3-4-10, IPB009019-3-4-7, Pesona I-1, Pesona I-2, IPB002046-2-58, IPB002046-2-14c-14, IPB002001-4-3b-5, Lembang I, Trisula dan Tit Super.
Isolat cendawan Colletotrichum yang digunakan adalah PYK04 (C. acutatum) dan
TGMII04 (C. gloeosporioides). Respon ketahanan cabai terhadap penyakit
antraknosa dari setiap genotipe yang diuji dilihat dari persentase kejadian penyakit
dan lebar diameter nekrosis. Karakter kuantitatif yang dikumpulkan meliputi
tinggi tanaman, tinggi dikotomus, lebar tajuk, umur berbunga, umur panen, bobot
per buah, panjang buah, diameter pangkal buah, bobot buah per tanaman, dan
jumlah buah per tanaman dianalisis menggunakan analisis ragam.

Hasil

uji

ketahanan

cabai

menggunakan

isolat

TGMII04

(C.

gloeosporioides) menunjukkan sebanyak sebelas genotipe termasuk dalam
kategori sangat tahan (galur IPB 110005-91-13-4, IPB110005-91-17-18a, IPB
110005-91-17-3, IPB120005-5-11-2, IPB120005-5-19-3, IPB009019-3-4-10,
Pesona I-1, Pesona I-2, IPB002046-2-5-8, IPB002001-4-3b-5, varietas komersial

Trisula) dan sembilan genotipe lainya dikategorikan dalam kelas tahan
(IPB110005-91-13-12, IPB110005-91-4-6, IPB110005-91-4-8, IPB120005-1-117, IPB120005-5-11-1,

IPB009019-3-4-7, IPB002046-2-14c-14, varietas

komersial Lembang I dan Tit Super). Sementara itu, seluruh genotipe yang diuji

3
menggunakan isolat PYK04 (C. acutatum) dikategorikan dalam kelas sangat
rentan.
Uji daya hasil menunjukkan galur IPB009019-3-4-10 memiliki bobot per
buah lebih besar dari Lembang I. Galur Pesona I-1 memiliki panjang buah yang
lebih panjang dari Lembang I, Trisula, dan Tit Super. Galur IPB002046-2-5-8
memiliki diameter pangkal buah yang lebih besar dari Lembang I dan Trisula.
Galur IPB110005-91-17-3 memiliki jumlah buah per tanaman lebih banyak dari
Trisula dan Tit super. Galur IPB110005-91-13-4 memiliki bobot buah per
tanaman yang lebih besar dari Lembang I dan Trisula. Galur IPB110005-91-13-4
memiliki potensi hasil yang terbaik diantara genotipe yang diuji.

4


DAYA HASIL DAN KETAHANAN 17 GALUR CABAI IPB
TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA YANG
DISEBABKAN OLEH DUA SPESIES Colletotrichum

Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

AGUS CAHYADI SATIAPURNA
A24080063

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

5

Judul


: DAYA HASIL DAN KETAHANAN 17 GALUR
CABAI
IPB
TERHADAP
PENYAKIT
ANTRAKNOSA YANG DISEBABKAN OLEH DUA
SPESIES Colletotrichum

Nama

: AGUS CAHYADI SATIAPURNA

NIM

: A24080063

Menyetujui,
Pembimbing


Dr. M. Syukur, SP., MSi.
NIP. 19720102 200003 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr.
NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

6

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 Juli 1990 dari pasangan Drs.
Enjang Wirahmana dan Cahyatiningsih. Penulis merupakan anak ketiga dari
empat bersaudara.
Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Baleendah pada tahun 2005 dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama

penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah
mengikuti organisasi Koperasi Agrohotplate sebagai anggota Divisi Pemasaran
(2009-2010).

7

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas karuniaNYA penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi

dan

Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. M.
Syukur, SP. MSi., dan (Almh) Dr. Rahmi Yunianti, SP. MSi. sebagai pembimbing
tugas akhir. Ucapan terima kasih juga diucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sudarsono,
MSc. dan Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu EK., MS. selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ka Abdul, Ka Tiara, Ka Lia,
Faradila dan Ryanda atas semua bantuanya. Terimakasih kepada Ikhsan, Keswari,
Agus R., Jahari, Rene, Miftah atas bantuannya, dan keluarga besar INDIGENOUS
45 atas semua doa, dukungan, dan bantuannya.
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang
tua penulis, Bapak, Ibunda tercinta, Teh Dewi, A Gun gun, A Deden, Ka Icha, dan
Mega atas semangat, kasih sayang, dan dorongan yang telah diberikan.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan. Amin.

Bogor, Maret 2013

viii

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

x

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
PENDAHULUAN ...........................................................................................
Latar Belakang ........................................................................................
Tujuan .....................................................................................................
Hipotesis..................................................................................................

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
Botani dan Morfologi Cabai....................................................................
Syarat Tumbuh ........................................................................................
Antraknosa pada Cabai ...........................................................................

Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa ..............................................
Pemuliaan Tanaman Cabai ......................................................................

3
3
4
4
5
6

BAHAN DAN METODE ................................................................................
Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................
Bahan dan Alat ........................................................................................
Metode Penelitian....................................................................................
Pelaksanaan Penelitian ............................................................................

7
7
7
8
8

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
Kondisi Umum ........................................................................................
Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa ..............................................
Karakter Kuantitatif ................................................................................

12
12
13
17

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 24
Kesimpulan ............................................................................................. 24
Saran ........................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25
LAMPIRAN ..................................................................................................... 28

ix

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1.

Galur dan varietas cabai yang digunakan.............................................

7

2.

Kriteria ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa........................ 10

3.

Kriteria ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa
isolat PYK04 (C. acutatum) dan TGMII04 (C. gloeosporioides)........ 14

4.

Rekapitulasi sidik ragam diameter nekrosis cabai................................ 15

5.

Nilai rataan diameter nekrosis pada buah cabai yang diinokulasi
isolat PYK04 (C. acutatum) dan TGMII04 (C. gloeosporioides)........ 16

6.

Rekapitulasi sidik ragam karakter kuantitatif cabai.............................. 17

7.

Nilai rataan tinggi tanaman, tinggi dikotomus, dan lebar
tajuk tanaman cabai............................................................................... 18

8.

Nilai rataan umur berbunga dan umur panen cabai.............................. 20

9.

Nilai rataan bobot per buah, panjang buah, dan diameter
buah cabai............................................................................................. 21

10. Nilai rataan bobot buah per tanaman, jumlah buah per
tanaman, dan potensi produktivitas cabai............................................. 23

x

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1.

Pengukuran diameter nekrosis pada buah cabai................................... 10

2.

Koloni isolat Colletotrichum yang digunakan dalam penelitian.......... 12

3.

Penyakit pada tanaman dan buah cabai di lapangan............................. 13

xi

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Sidik ragam diameter nekrosis pada buah cabai yang
diinokulasi isolat PYK04 (C. acutatum)................................................ 29
2. Sidik ragam diameter nekrosis pada buah cabai yang
diinokulasi isolat TGMII04 (C. gloeosporioides)................................. 29
3. Sidik ragam tinggi tanaman cabai.......................................................... 29
4. Sidik ragam tinggi dikotomus tanaman cabai........................................ 29
5. Sidik ragam lebar tajuk tanaman cabai.................................................. 29
6. Sidik ragam umur berbunga tanaman cabai........................................... 30
7. Sidik ragam umur panen tanaman cabai................................................ 30
8. Sidik ragam bobot per buah cabai.......................................................... 30
9. Sidik ragam panjang buah cabai............................................................ 30
10. Sidik ragam diameter pangkal buah cabai............................................. 30
11. Sidik ragam bobot buah per tanaman cabai........................................... 31
12. Sidik ragam jumlah buah per tanaman cabai......................................... 31
13. Sidik ragam potensi produktivitas tanaman cabai.................................. 31

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai besar (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas
unggulan hortikultura di Indonesia (Direktorat Jendral Hortikultura, 2012).
Tanaman ini banyak dibudidayakan khususnya di daerah Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Cabai banyak diusahakan karena daya adaptasinya yang
cukup luas serta harganya yang ekonomis. Cabai umumnya digunakan sebagai
bumbu masak atau bahan baku pada industri olah lanjut seperti saus.
Produktivitas cabai nasional masih mengalami fluktuasi dari tahun ke
tahun. Nilai produktivitas cabai nasional dari tahun 2009-2011 berturut-turut
adalah 5.89 ton/ha, 5.6 ton/ha dan 6.19 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2012). Nilai
produktivitas cabai tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan potensi
produktivitas cabai yang mencapai 12–20 ton/ha (Duriat, 2007) bahkan hingga 23
ton/ha (Syukur et al., 2010).
Salah

satu

kendala

pada

budidaya

cabai

sehingga

menurunkan

produktivitasnya adalah gangguan hama dan penyakit (Semangun, 2000).
Penyakit antraknosa merupakan alah satu kendala utama pada produksi cabai di
dunia, baik itu di daerah tropis dan subtropis (Than et al., 2008a). Rata-rata
kehilangan hasil cabai akibat serangan antraknosa lebih tinggi pada saat musim
hujan dibandingkan musim kemarau. Di Magelang, kehilangan hasil cabai akibat
serangan antraknosa pada musim hujan mencapai 54%, sedangkan di Rembang
dan Brebes mencapai 20–25% (AVRDC, 2009).
Diperlukan cara yang tepat untuk mendukung keberhasilan pengendalian
penyakit pada tanaman cabai. Petani umumnya menggunakan fungisida secara
intensif untuk mengendalikan penyakit antraknosa, namun penggunaan fungisida
secara berlebihan tidak hanya menyebabkan peningkatan biaya produksi, tetapi
juga mengakibatkan resiko kesehatan serta kerusakan lingkungan. Penggunaan
varietas resisten merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah penyakit
antraknosa (Syukur et al., 2007). Akan tetapi, spesies cabai yang diketahui
memiliki ketahanan terhadap antraknosa berdaya hasil rendah dan bentuk buahnya
tidak disukai pasar (Syukur et al., 2009).

2
Melalui program pemuliaan tanaman dilakukan perakitan varietas unggul,
selain untuk mendapatkan tanaman dengan daya hasil tinggi juga untuk
mendapatkan tanaman yang tahan terhadap hama dan penyakit. Salah satu tahapan
dalam pemuliaan tanaman adalah evaluasi dan pengujian. Evaluasi dan pengujian
dilakukan guna memperoleh informasi dari galur-galur harapan yang diuji. Jika
evaluasi menunjukkan hasil yang lebih baik dari varietas komersial yang beredar
saat ini, maka galur-galur yang terseleksi dapat dikembangkan menjadi varietas
unggul baru.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan 17 galur cabai IPB dan
tiga varietas komersial terhadap penyakit antraknosa dan memperoleh informasi
daya hasilnya.

Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah :
1.

Terdapat satu atau lebih galur cabai yang tahan terhadap penyakit antraknosa
diantara genotipe yang diuji.

2.

Terdapat satu atau lebih galur cabai yang memiliki daya hasil lebih tinggi
dibandingkan varietas komersial yang diuji.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Morfologi Cabai
Cabai termasuk dalam famili Solanaceae genus Capsicum. Capsicum
annuum merupakan spesies yang paling luas dibudidayakan. Spesies lain yang
juga telah dibudidayakan adalah C. frutescens, C. chinense, C. baccatum, dan C.
pubescens. Tomat (Lycopersicum esculentum), kentang (Solanum tuberosum), dan
terung (Solanum melongena) merupakan tanaman lain yang masih sekerabat
dengan cabai (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999).
Cabai adalah tanaman herba. Tanaman ini umumnya tumbuh tegak,
batangnya berkayu, cabangnya menyebar dengan tajuk yang berbeda-beda
tergantung pada varietasnya. Tinggi tanaman cabai berkisar 50–150 cm,
sedangkan lebar tajuk percabanganya bisa mencapai 100 cm. Cabai memiliki akar
tunggang kuat dan dalam. Daun cabai merupakan daun tunggal dengan helai
berbentuk ovate atau lanceolate. Daun cabai umumnya berwarna hijau atau hijau
tua (Redaksi AgroMedia, 2007).
Bunga cabai bersifat tunggal dan tumbuh di ujung ruas tunas. Mahkotanya
berwarna putih hingga ungu, tergantung varietasnya. Alat kelamin jantan dan
betina terletak di satu bunga, sehingga termasuk bunga hermaprodit (Redaksi
AgroMedia, 2007). Seluruh kultivar yang didomestikasi menyerbuk sendiri, walau
tidak menutup kemungkinan terjadi penyerbukan silang (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1999).
Bentuk buah cabai umumnya bulat memanjang. Didalam buah terdapat
plasenta tempat biji melekat (Redaksi AgroMedia, 2007). Warna buah cabai
sangat bervariasi mulai dari hijau, kuning, atau ungu ketika buah masih muda,
kemudian berubah menjadi merah, jingga, atau kuning seiring dengan
bertambahnya umur buah (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999).

4
Syarat Tumbuh
Tanaman cabai memiliki daya adaptasi cukup tinggi. Cabai dapat ditanam
di areal sawah maupun tegal, di dataran rendah maupun tinggi, dan saat musim
kemarau maupun musim penghujan (Setiadi, 2008). Tanaman cabai umumnya
tumbuh optimum di dataran rendah hingga menengah pada ketinggian 800 m dpl.
Pada ketinggian di atas 1300 m dpl, cabai tumbuh sangat lambat dan
pembentukan buahnya juga terhambat (Harpenas dan Dermawan, 2011).
Suhu optimum untuk pertumbuhan cabai adalah 20–25°C. Penyerbukan
dan pembuahan cabai berlangsung optimum pada suhu tersebut. Suhu dibawah
16°C atau di atas 32°C dapat menghambat proses pembentukan buah. Curah hujan
yang ideal untuk tanaman cabai berkisar 600–1250 mm dan tersebar merata
selama masa pertumbuhannya (Redaksi AgroMedia, 2007). Curah hujan yang
terlalu tinggi dapat merangsang perkembangan penyakit pada tanaman, sedangkan
curah hujan yang terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan tanaman dan
mengurangi hasil (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999).
Tanah yang ideal untuk tanaman cabai adalah gembur, remah,
mengandung cukup hara, bahan organik dan air (Redaksi AgroMedia, 2007).
Kemasaman (pH) tanah yang sesuai berkisar antara 6.0 – 6.5 (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1999).

Antraknosa pada Cabai
Antraknosa pada cabai disebabkan oleh empat spesies cendawan dari
genus Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, C. capsici, dan C.
coccodes (AVRDC, 2003). C. acutatum dan C. gloeosporioides merupakan
spesies yang dapat menyerang buah cabai, baik saat buah belum

matang

(berwarna hijau) ataupun saat buah telah matang (Yoon, 2003). Metode
identifikasi

tradisional

yang

digunakan

untuk

membedakan

spesies

Colletotrichum umumnya berdasarkan pada karakter morfologi serta karakeristik
koloni saat dikulturkan, seperti bentuk konidia, ukuran konidia, warna koloni dan
kecepatan pertumbuhan (Denoyes and Baudry, 1995; Than, et al., 2008b).
Konidia C. acutatum berbentuk silindrik dengan ujung yang meruncing,
sedangkan konidia C. gloeosporioides berbentuk silindrik dengan ujung

5
membulat. Sementara itu, pertumbuhan C. gloeosporioides lebih cepat
dibandingkan C. acutatum saat dikulturkan pada media PDA (AVRDC, 2004).
Penyakit

antraknosa

dapat

menyerang

cabai

pada

semua

fase

pertumbuhan, temasuk saat pasca panen (AVRDC, 2004). Biji

yang

terkontaminasi antraknosa berwarna hitam atau coklat kehitaman dengan bentuk
biji tidak bernas. Serangan antraknosa pada biji mengakibatkan kegagalan
berkecambah. Pada tanaman dewasa, serangan antraknosa mengakibatkan mati
pucuk. Pada buah, gejala awal serangan antraknosa adalah bercak kecil seperti
tersiram air. Luka tersebut berkembang dengan cepat dengan garis tengah dapat
mencapai 3–4 cm. Buah cabai dapat hancur 100% karena serangan antraknosa
(Duriat et al., 2007).

Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa
Secara umum, tanaman membela diri dari serangan patogen melalui dua
sistem pertahanan, baik dengan karakteristik struktural maupun reaksi biokimia.
Ketahanan secara struktural bertindak sebagai penghalang fisik bagi patogen
untuk masuk atau berkembang pada tanaman, seperti tebalnya lapisan epidermis,
adanya lignin pada dinding sel, atau adanya lilin pada lapisan buah. Sementara itu,
dalam sistem ketahanan dengan rekasi biokimia, tanaman menghasilkan enzim
atau zat-zat tertentu yang bersifat toksik untuk mematikan pertumbuhan patogen
pada tanaman (Agrios, 2005).
Ketahanan genetik merupakan salah satu bentuk ketahanan yang juga
dimiliki oleh tanaman. Ketahanan genetik merupakan ketahanan tanaman yang
dibawa oleh keturunan. Ketahanan genetik dapat diperoleh dari hasil persilangan
antara tanaman yang peka terhadap penyakit dengan tanaman yang tahan terhadap
penyakit (Yudiarti, 2007).
Melalui pengujian dengan metode inokulasi terkontrol, beberapa spesies
cabai dilaporkan memiliki ketahanan terhadap penyakit antraknosa. C. chinense
(AVRDC, 2003) dan C. baccatum (Yoon, 2003) dilaporkan memiliki ketahanan
terhadap penyakit antraknosa yang diakibatkan oleh C. acutatum dan C.
gloeosporioides. Cabai dari spesies C. annuum (Syukur et al., 2009) juga
dilaporkan memiliki ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan

6
oleh C. acutatum. Selain itu, beberapa galur hasil persilangan antar kultivar cabai
C. annuum juga dilaporkan memiliki ketahanan moderat terhadap C. acutatum
(Marliyanti et al., 2013).

Pemuliaan Tanaman Cabai
Pemuliaan tanaman didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan penelitian
dan pengembangan genetik tanaman untuk merakit varietas unggul yang berguna
bagi kehidupan manusia (Carsono, 2009). Pada dasarnya, tujuan umum pemuliaan
cabai adalah mendapatkan kultivar yang lebih baik dari kultivar yang sudah ada.
Tipe cabai unggul yang diinginkan adalah memiliki karakter massa pembungaan
dan pembentukan buah cepat (umur genjah), produktivitasnya tinggi, daya
adaptasinya luas atau spesifik untuk daerah marjinal tertentu (kering, rawa, pantai,
gambut/asam), serta tahan terhadap hama dan penyakit (Harpenas dan Dermawan,
2011). Varietas cabai diarahkan pada varietas galur murni atau bersari bebas (OP).
Selain itu, cabai juga diarahkan pada pembentukan varietas hibrida (Syukur et al.,
2012).
Langkah awal bagi setiap program pemuliaan tanaman adalah koleksi
berbagai genotipe atau plasma nutfah. Setelah dilakukan koleksi, tanamantanaman tersebut kemudian di seleksi sesuai dengan karakter-karakter yang
diinginkan. Karakter tersebut dapat tersebar di beberapa genotipe. Untuk
mengumpulkan atau memunculkan karakter yang diinginkan, diperlukan
perluasan keragaman genetik sehingga seleksi lebih efektif. Setelah perluasan
genetik, langkah selanjutnya adalah seleksi. Metode seleksi yang digunakan
sangat tergantung dari tipe penyerbukan. Metode pemuliaan cabai mengikuti
metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri, yaitu metode seleksi massa, galur
murni, seleksi pedegree, silang balik (back-cross), dan SSD (single seed descent).
Setelah seleksi dilakukan maka langkah selanjutnya adalah evaluasi dan pengujian
sebelum varietas dilepas (Syukur et al., 2012).

7

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Uji ketahanan terhadap penyakit antraknosa dilaksanakan di Laboratorium
Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Sementara itu, uji daya hasil di laksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo IPB
Darmaga. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah 17 galur cabai
dan tiga varietas komersial (Tabel 1). Galur cabai yang diuji merupakan galur
hasil pemuliaan Tim Pemuliaan Cabai Departemen Agronomi dan Hotikultura.
Bahan inokulum yang digunakan adalah isolat cendawan Colletotrichum acutatum
PYK04 yang berasal dari Payakumbuh dan Colletotrichum gloeosporioides
TGMII04 yang berasal dari Temanggung.
Tabel 1. Galur dan varietas cabai yang digunakan
Genotipe
IPB110005-91-13-12
IPB110005-91-13-4
IPB110005-91-17-18a
IPB110005-91-17-3
IPB110005-91-4-6
IPB110005-91-4-8
IPB120005-1-1-17
IPB120005-5-11-1
IPB120005-5-11-2
IPB120005-5-19-3
IPB009019-3-4-10
IPB009019-3-4-7
Pesona I-1
Pesona I-2
IPB002046-2-5-8
IPB002046-2-14c-14
IPB002001-4-3b-5
Lembang I
Trisula
Tit Super

Keterangan
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Galur cabai IPB
Cabai keriting asal Balitsa Lembang
Cabai besar asal UD Ridwan Tani
Cabai besar asal PT. East West Seed

8
Bahan lain yang digunakan adalah pupuk kandang kambing, urea, SP-36,
KCl, NPK mutiara, Gandasil D, insektisida Furadan 3G, insektisida Curacron,
akarisida Kelthane, fungisida Antracol, fungisida Dithane, bakterisida Agrept,
perangkap lalat buah, media PDA (Potato Dextrose Agar), alkohol, air steril, dan
tissue.
Alat yang digunakan adalah alat budidaya cabai, meteran, jangka sorong,
laminar air flow, micro injection, mikroskop, haemocytometer, gelas L, gelas
kimia, pipet, cawan petri, bak plastik, kain saring, anyaman kawat, plastik wrap
dan hand sprayer.

Metode Penelitian
Penelitian uji ketahanan terhadap penyakit antraknosa dan uji daya hasil
menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak. Terdapat 20 perlakuan (17
galur cabai IPB dan tiga varietas komersial) dengan tiga ulangan. Mengacu pada
Gomez dan Gomez (1995), model aditif linear percobaan yang digunakan adalah
Yij = µ + αi + βj + εij
i = 1, 2, 3, ..., 20; j = 1, 2, 3
Keterangan :
Yijk
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j
µ
= Nilai tengah umum
αi
= Pengaruh perlakuan ke-i
βj
= Pengaruh ulangan ke-j
εij
= Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
Pelaksanaan Penelitian
Uji Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa
Pra Inokulasi
Perbanyakan inokulum dilakukan pada media Potato Dextrose Agar
(PDA). Media PDA terbuat dari 200 g kentang, 10 g agar-agar, 10 g dextrose,
dan air 1 L. Kentang dikupas kulitnya, dibersihkan, dipotong dadu, direbus lalu
airnya disaring. Agar-agar dan dextrose dimasukkan ke dalam air rebusan kentang
lalu direbus kembali dan dituangkan kedalam cawan petri. Perbanyakan isolat
dilakukan dengan membiakkan potongan biakan murni cendawan pada media

9
PDA dalam cawan petri. Cawan disimpan pada suhu ruangan dengan intensitas
cahaya 12 jam/hari selama 7 hari.
Konidia dipanen dengan memasukkan 10 ml air steril ke dalam cawan
kemudian permukaan isolat perlahan digosok menggunakan gelas L. Suspensi
konidia kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Konidia cendawan
dihitung menggunakan bantuan mikroskop dan haeomocytometer. Kepadatan
inokulum yang diperlukan adalah 5 × 105 konidia/ml.

Inokulasi
Metode inokulasi yang digunakan adalah metode suntik. Jumlah buah
cabai yang diinokulasi untuk masing-masing genotipe cabai sebanyak 20 buah
pada setiap ulangan. Buah cabai yang akan diinokulasi adalah cabai hijau tua yang
sehat. Buah cabai yang akan diinokulasi dicuci terlebih dahulu dan dikeringanginkan. Inokulasi dilakukan dengan cara menyuntikkan 2 µl suspensi konidia ke
dalam buah cabai sebanyak 2 suntikan pada daerah yang berbeda. Buah cabai
yang telah diinokulasi disimpan di atas anyaman kawat di dalam bak plastik yang
sebelumnya telah disterilisasi dan dialasi tissu basah. Bak plastik tersebut
kemudian dibungkus dengan plastik wrap agar kelembabannya terjaga.

Pengamatan
Respon ketahanan cabai terhadap penyakit dari setiap genotipe yang diuji
dilihat dari :
1. Kejadian Penyakit (KP), dihitung pada hari ke-5 setelah inokulasi. Pengamatan
dilakukan pada 20 buah cabai yang telah diinokulasi pada setiap genotipe
disetiap ulangan. Buah dianggap terserang jika diameter nekrosis ≥ 4 mm.
Kejadian penyakit dihitung dengan rumus :
KP =

× 100%

Keterangan :
KP = Kejadian penyakit
n = Jumlah buah yang terserang
N = Jumlah buah yang diinokulasi
Kriteria kelas ketahanan cabai terhadap antraknosa ditentukan mengikuti
metode Yoon yang dimodifikasi Syukur (2007) seperti pada Tabel 2.

10
Tabel 2. Kriteria ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa
Persentase KP
0 ≤ KP ≤ 10
10 < KP ≤ 20
20 < KP ≤ 40
40 < KP ≤ 70
KP > 70

Kriteria ketahanan
Sangat tahan
Tahan
Moderat
Rentan
Sangat rentan

2. Diameter nekrosis, diukur pada hari ke-7 setelah inokulasi berdasarkan
diameter nekrosis terlebar. Pengamatan dilakukan pada 20 buah cabai yang
telah diinokulasi pada setiap genotipe disetiap ulangan.

Jangka sorong

Gambar 1. Pengukuran diameter nekrosis pada buah cabai

Uji Daya Hasil
Persiapan lahan dilakukan dua minggu sebelum pindah tanam. Lahan
yang diolah ditambahkan pupuk kandang 30 ton/ha, kemudian dibentuk bedengan
dengan ukuran lebar 1 m, panjang 5 m, jarak antar bedengan 50 cm, tinggi
bedengan 30 cm. Bedengan ditutup dengan mulsa plastik hitam perak setelah
pemberian pupuk urea (200 kg/ha), SP-36 (200 kg/ha), KCl (150 kg/ha). Setelah
itu, dibuat lubang tanam dengan jarak 50 cm × 50 cm.
Bibit cabai ditanam di lapangan saat berumur 8 minggu setelah semai.
Bibit ditanam pada lubang tanam yang telah diberi karbofuran, kemudian diikat
pada ajir yang ditancapkan untuk mencegah tanaman rebah.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi pemupukan, penyiraman,
pewiwilan, penyiangan gulma, dan pengendalian hama penyakit. Pemupukan
susulan dilakukan setiap minggu menggunakan pupuk NPK mutiara. Pupuk
diaplikasikan dalam bentuk cair (10 g/l) sebanyak 250 ml/tanaman. Pewiwilan

11
dilakukan untuk membuang tunas-tunas air yang tumbuh dibawah percabangan
pertama. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara membersihkan gulma yang
tumbuh di lubang tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan
menyemprotkan pestisida seminggu sekali.

Karakter Kuantitatif
Data karakter kuantitatif yang dikumpulkan meliputi :
1.

Tinggi tanaman (cm), diambil dari tujuh tanaman cabai tiap ulangan, diukur
dari pangkal batang hingga pucuk cabang tertinggi setelah panen kedua.

2.

Tinggi dikotomus (cm), diambil dari tujuh tanaman cabai tiap ulangan,
diukur dari pangkal batang sampai cabang dikotomus setelah panen kedua.

3.

Lebar tajuk (cm), diambil dari tujuh tanaman cabai tiap ulangan, diukur dari
tajuk terlebar setelah panen kedua.

4.

Umur berbunga (HST), jumlah hari dimulai dari pindah tanam hingga 50%
populasi tanaman dalam tiap bedengan telah berbunga.

5.

Umur panen (HST), jumlah hari dimulai dari pindah tanam hingga 50%
populasi tanaman dalam tiap bedengan telah memiliki buah matang pada
percabangan pertama.

6.

Bobot per buah (g), diambil dari tujuh buah cabai tiap ulangan, diukur
setelah panen kedua.

7.

Panjang buah (cm), diambil dari tujuh buah cabai tiap ulangan, diukur dari
pangkal hingga ujung buah setelah panen kedua.

8.

Diameter pangkal buah (cm), diambil dari tujuh buah cabai tiap ulangan,
diukur pada bagian pangkal buah setelah panen kedua.

9.

Jumlah buah per tanaman, jumlah total buah cabai dari panen minggu
pertama hingga panen minggu kesembilan

10. Bobot buah per tanaman (g), bobot buah total per tanaman dari panen
minggu pertama hingga panen minggu kesembilan.
Analisis data karakter kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis ragam
(ANOVA). Apabila hasil

pengujian menunjukkan pengaruh yang nyata,

dilakukan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum
Uji Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa
Secara umum tidak terdapat kendala yang serius selama penelitian.
Kendala yang sempat dihadapi yaitu pada saat inokulasi, dibutuhkan beberapa
biakan cendawan untuk mendapat kepadatan inokulum yang memenuhi syarat
minimum untuk inokulasi (5 × 105 konidia/ml). Kendala tersebut dapat diatasi
karena ketersediaan isolat mencukupi kebutuhan.

Gambar 2. Koloni isolat Colletotrichum yang digunakan
dalam penelitian A. C. acutatum isolat PYK04,
B. C. gloeosporioides isolat TGMII04
Uji Daya Hasil
Beberapa bibit yang berukuran kecil tidak mampu bertahan dan mati saat
awal pertumbuhan di lapangan. Penyulaman dilakukan untuk mengganti bibit
yang mati. Secara umum, tanaman mampu beradaptasi cukup baik dengan kondisi
lingkungan saat awal penanaman.
Beberapa hama terlihat mulai menyerang pertanaman pada fase
pertumbuhan. Hama yang menyerang antara lain thrips (Thrips sp.), kutu daun
(Myzuz persicae), ulat grayak (Spodoptera litura), dan belalang (Valanga sp.).
Umumnya hama tersebut menyerang bagian daun pada tanaman. Memasuki fase
berbuah, hama larva lalat buah (Dacus dorsalis) ditemui menyerang buah cabai.
Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan barrier fisik dan pestisida.

13
Beberapa jenis penyakit yang juga ditemui menyerang pertanaman adalah
layu fusarium (Fusarium oxysporum), penyakit kuning (Gemini Virus) dan
antraknosa (Colletotrichum sp.). Penyakit kuning terlihat menyerang beberapa
tanaman di masa pertumbuhan. Sementara itu, serangan penyakit antraknosa
mulai terlihat saat masa berbuah.

Gambar 3. Penyakit pada tanaman dan buah cabai di lapangan A. Layu
fusarium, B. Gemini virus, C. Buah yang terserang antraknosa
(foto koleksi Faradila)

Ketahanan terhadap Penyakit Antraknosa
Kejadian Penyakit
Uji ketahanan cabai dengan isolat PYK04 (C. acutatum) menunjukkan
kejadian penyakit (KP) berkisar antara 71.67–100%. Seluruh genotipe yang diuji
dikategorikan dalam kelas sangat rentan (KP > 70%). Galur IPB002046-2-5-8 dan
IPB009019-3-4-7 menunjukkan kejadian penyakit yang relatif lebih rendah
dibandingkan dengan semua varietas komersial ataupun dengan galur-galur lain
yang diuji (Tabel 3).
Kejadian penyakit pada cabai yang diinokulasi isolat TGMII04 (C.
gloeosporioides) berkisar antara 3.33–18.33%. Sebanyak sebelas genotipe yang
diuji dikategorikan dalam kelas sangat tahan (0% ≤ KP ≤ 10%), yaitu galur IPB
110005-91-13-4, IPB110005-91-17-18a, IPB 110005-91-17-3, IPB120005-5-112, IPB120005-5-19-3, IPB009019-3-4-10, Pesona I-1, Pesona I-2, IPB002046-25-8, IPB002001-4-3b-5 dan varietas komersial Trisula. Sementara sembilan
genotipe lain dikategorikan dalam kelas tahan (10% < KP ≤ 20%), yaitu galur

14
IPB110005-91-13-12, IPB110005-91-4-6, IPB110005-91-4-8, IPB120005-1-1-17,
IPB120005-5-11-1,

IPB009019-3-4-7,

IPB002046-2-14c-14

serta

varietas

komersial Lembang I dan Tit Super. Galur Pesona I-1 dan IPB002001-4-3b-5
menunjukkan kejadian penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan varietas
komersial ataupun dengan galur-galur lain yang diuji (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa isolat
PYK04 (C. acutatum) dan TGMII04 (C. gloeosporioides)
Genotipe
IPB110005-91-13-12
IPB110005-91-13-4
IPB110005-91-17-18a
IPB110005-91-17-3
IPB110005-91-4-6
IPB110005-91-4-8
IPB120005-1-1-17
IPB120005-5-11-1
IPB120005-5-11-2
IPB120005-5-19-3
IPB009019-3-4-10
IPB009019-3-4-7
Pesona I-1
Pesona I-2
IPB002046-2-5-8
IPB002046-2-14c-14
IPB002001-4-3b-5
Lembang I
Trisula
Tit Super

PYK04
KP (%)
Kriteria
86.67
SR
96.67
SR
100.00
SR
98.33
SR
90.00
SR
93.33
SR
88.33
SR
91.67
SR
98.33
SR
98.33
SR
83.33
SR
76.67
SR
91.67
SR
100.00
SR
71.67
SR
96.67
SR
83.33
SR
83.33
SR
85.00
SR
81.67
SR

TGMII04
KP (%)
Kriteria
15.00
T
6.67
ST
6.67
ST
8.33
ST
13.33
T
18.33
T
16.67
T
13.33
T
5.00
ST
5.00
ST
10.00
ST
15.00
T
3.33
ST
8.33
ST
10.00
ST
20.00
T
3.33
ST
15.00
T
10.00
ST
13.33
T

Keterangan : KP = kejadian penyakit , ST = sangat tahan, T = tahan, SR = sangat rentan

Galur IPB110005, IPB120005, IPB009019, IPB002046, dan IPB002001
juga digunakan oleh Marliyanti et al. (2013) untuk diuji ketahanannya terhadap
C. acutatum menggunakan isolat PYK04. Hasilnya menunjukkan kesamaan, yaitu
galur IPB110005, IPB120005, IPB009019, IPB002046, dan IPB002001
dikategorikan dalam kelas sangat rentan (KP > 70%).
Menurut Triharso (2004), timbulnya penyakit pada tanaman sangat
tergantung pada faktor pendukungnya seperti lingkungan yang sesuai, inang yang
rentan, dan patogen yang virulen. Menurut Agrios (2005), jika satu varietas
diinokulasi oleh dua ras patogen, kemudian varietas tersebut rentan terhadap satu

15
ras tetapi tahan terhadap yang lain, maka dapat diketahui bahwa salah satu ras
memiliki karakteristik untuk meyerang tanaman, sedangkan ras lain tidak. Nilai
kejadian penyakit hasil inokulasi dengan isolat PYK04 (C. acutatum) lebih tinggi
dibandingkan dengan isolat TGMII04 (C. gloeosporioides) meskipun faktor
lingkungan dan inang sudah diseragamkan. Jika dianalogikan dengan penjelasan
Agrios (2005), hal tersebut mengindikasikan isolat PYK04 (C. acutatum) jauh
lebih virulen dibandingkan dengan isolat TGMII04 (C. gloeosporioides).
Studi lain tentang ketahanan cabai terhadap antraknosa juga telah
dilakukan. AVRDC (2003) melaporkan cabai genotipe PBC932 (C. chinense)
sebagai genotipe cabai yang tahan terhadap cendawan antraknosa C. capsici, C.
gloeosporioides, dan C. acutatum. Sementara itu, penelitian Than et al. (2008b)
menunjukkan genotipe PBC932 sangat rentan terhadap C. acutatum. Hal tersebut
menunjukkan bahwa selain dipengaruhi oleh ketahanan yang dimiliki masingmasing genotipe, ketahanan cabai terhadap antraknosa sangat dipengaruhi oleh
isolat yang digunakan.

Diameter Nekrosis
Nekrosis didefinisikan sebagai matinya sel yang kemudian kematian
tersebut meluas menjadi banyak sel hingga kematian jaringan (Yudiarti, 2007).
Nekrosis pada buah cabai merupakan salah satu gejala serangan penyakit
antraknosa. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan genotipe memberikan
pengaruh terhadap diameter nekrosis pada pengujian menggunakan isolat PYK04
(C. acutatum) ataupun isolat TGMII04 (C. gloeosporioides) (Tabel 4).
Tabel 4. Rekapitulasi sidik ragam diameter nekrosis cabai
Isolat
PYK04
TGMII04

F Hitung
2.35*
7.66**

KK (%)
12.27
17.80

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5%,
** berpengaruh nyata pada taraf 1%

Nilai rataan diameter nekrosis pada buah cabai yang diinokulasi dengan
isolat PYK04 (C. acutatum) berkisar antara 14.22–20.36 mm. Galur IPB0020462-5-8 memiliki diameter nekrosis paling kecil, namun tidak berbeda nyata dengan
Lembang I, Trisula, Tit Super dan 13 galur lainya. Nilai rataan diameter nekrosis

16
pada buah cabai yang diinokulasi isolat TGMII04 (C. gloeosporioides) berkisar
antara 1.44–3.83 mm. Galur IPB002046-2-5-8 memiliki diameter nekrosis paling
kecil, namun tidak berbeda nyata dengan Lembang I dan enam galur lainya (Tabel
5).
Diameter nekrosis pada cabai yang diinokulasi isolat PYK04 (C.
acutatum) jauh lebih besar dibandingkan dengan diameter nekrosis pada cabai
yang

diinokulasi

isolat

TGMII04

(C.

gloeosporioides).

Hal

tersebut

mengindikasikan tingkat serangan dari isolat PYK04 lebih tinggi dibandingkan
isolat TGMII04 sehingga mengakibatkan diameter nekrosis yang lebih lebar.
Tabel 5. Nilai rataan diameter nekrosis pada buah cabai yang diinokulasi
isolat PYK04 (C. acutatum) dan TGMII04 (C. gloeosporioides)
Genotipe
IPB110005-91-13-12
IPB110005-91-13-4
IPB110005-91-17-18a
IPB110005-91-17-3
IPB110005-91-4-6
IPB110005-91-4-8
IPB120005-1-1-17
IPB120005-5-11-1
IPB120005-5-11-2
IPB120005-5-19-3
IPB009019-3-4-10
IPB009019-3-4-7
Pesona I-1
Pesona I-2
IPB002046-2-5-8
IPB002046-2-14c-14
IPB002001-4-3b-5
Lembang I
Trisula
Tit Super
Rataan

Diameter nekrosis (mm)
PYK04
TGMII04
abc
19.22
3.29abc
17.38abcd
1.81fgh
abcd
18.16
1.81fgh
18.20abcd
3.14abcd
abcd
16.83
2.92bcde
20.16ab
3.83a
d
14.77
3.42ab
14.85d
2.35defg
abcd
18.20
2.92bcde
abcd
17.77
2.25efgh
14.55d
2.40defg
cd
15.39
3.42ab
17.83abcd
1.48h
a
20.36
2.01fgh
14.22d
1.44h
abcd
17.72
2.37defg
18.09abcd
1.69gh
bcd
16.12
1.84fgh
17.19abcd
2.55cdef
d
14.74
2.59bcdef
17.09
2.48

Keterangan : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT taraf 5%

Penelitian Kim et al. (2008) menunjukkan nilai rata-rata diameter nekrosis
akibat serangan antraknosa pada cabai tahan lebih kecil dibandingkan pada cabai
rentan. Pada pengamatan persentase kejadian penyakit yang lebih rendah,
diameter nekrosis yang terjadi akibat serangan antraknosa juga lebih kecil.

17
Sementara itu, pada pengamatan persentase kejadian penyakit yang lebih tinggi,
diameter nekrosis yang terjadi akibat serangan antraknosa juga lebih besar.
Serangan antraknosa dapat menyebabkan kerusakan jaringan berupa
nekrosis pada buah cabai. Gejala kerusakan yang ditimbulkan seringkali berbeda
besar kecilnya. Meski demikian, sekecil apapun kerusakan yang timbul pada
buah cabai akibat serangan antraknosa maka hal tersebut dapat menurunkan nilai
ekonomisnya.

Karakter Kuantitatif
Rekapitulasi sidik ragam karakter kuantitatif disarikan dari Lampiran 3–
12. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan genotipe berpengaruh terhadap
tinggi tanaman, tinggi dikotomus, lebar tajuk, umur berbunga, umur panen, bobot
per buah, panjang buah, diameter pangkal buah, bobot buah per tanaman, dan
jumlah buah per tanaman cabai yang diuji (Tabel 6).
Tabel 6. Rekapitulasi sidik ragam pada karakter kuantitatif cabai
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Peubah
Tinggi tanaman
Tinggi dikotomus
Lebar tajuk
Umur berbunga
Umur panen
Bobot per buah
Panjang buah
Diameter pangkal buah
Bobot buah per tanaman
Jumlah buah per tanaman

F Hitung
2.94**
6.72**
2.44**
5.41**
12.61**
11.47**
2.30*
12.90**
1.89*
6.95**

KK (%)
12.19
7.06
5.98
5.15
3.03
11.33
8.40
9.11
18.51
17.91

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5%,
** berpengaruh nyata pada taraf 1%

Tinggi Tanaman, Tinggi Dikotomus, dan Lebar Tajuk Tanaman Cabai
Nilai rataan tinggi tanaman berkisar 54.00–77.79 cm. Galur Pesona I-1
dan Pesona I-2 memiliki nilai rataan tinggi tanaman paling tinggi, namun tidak
berbeda nyata dengan Lembang 1 dan 11 galur lain. Galur IPB110005-91-17-3
memiliki nilai rataan tinggi tanaman paling rendah diantara galur yang diuji serta
tidak berbeda nyata dengan Trisula, Tit Super dan lima galur lainnya (Tabel 7).

18
Nilai rataan tinggi dikotomus tanaman berkisar 22.93–33.40 cm. Galur
Pesona I-1 memiliki nilai rataan tinggi dikotomus paling tinggi namun tidak
berbeda nyata dengan tiga galur lain. Sementara itu, galur IPB110005-91-4-8
memiliki nilai rataan tinggi dikotomus paling rendah diantara galur yang diuji
serta tidak berbeda nyata dengan Trisula, Tit Super dan enam galur lainya (Tabel
7).
Mengacu pada Kusandriani dan Muharam (2005), tanaman cabai dengan
tinggi < 50 cm tergolong pendek, 50–100 cm tergolong sedang, dan > 100 cm
tergolong tinggi. Tinggi galur-galur cabai yang diuji (54.00–77.79 cm) umumnya
tergolong sedang. Menurut Hakim (2010), karakter tinggi tanaman dan tinggi
dikotomus memiliki arti penting dalam posisi buah terhadap permukaan lahan.
Buah dari tanaman yang lebih tinggi dan tidak menyentuh mulsa atau tanah dapat
mengurangi resiko terpapar patogen yang terbawa percikan air.
Tabel 7. Nilai rataan tinggi tanaman, tinggi dikotomus, dan lebar tajuk
tanaman cabai
Genotipe
IPB110005-91-13-12
IPB110005-91-13-4
IPB110005-91-17-18a
IPB110005-91-17-3
IPB110005-91-4-6
IPB110005-91-4-8
IPB120005-1-1-17
IPB120005-5-11-1
IPB120005-5-11-2
IPB120005-5-19-3
IPB009019-3-4-10
IPB009019-3-4-7
Pesona I-1
Pesona I-2
IPB002046-2-5-8
IPB002046-2-14c-14
IPB002001-4-3b-5
Lembang I
Trisula
Tit Super

Tinggi tanaman
(cm)
64.52abcde
66.14abcd
72.47ab
54.00de
76.33a
59.38bcde
73.71ab
59.31bcde
65.48abcd
67.45abcd
70.00abc
68.14abcd
77.79a
77.79a
68.98abcd
66.52abcd
59.62bcde
74.67ab
56.50cde
49.71e

Tinggi dikotomus
(cm)
27.52cdefg
26.60defgh
25.84efghi
24.24ghi
27.19defg
22.93hi
27.81cdefg
26.48efgh
26.00efghi
28.24cdef
30.24abcd
31.17abc
33.40a
29.48bcde
28.12cdef
32.71ab
26.40efgh
27.36defg
22.55i
24.76fghi

Lebar tajuk
(cm)
90.43abc
89.96abcd
93.42ab
83.74abcde
87.00abcde
90.13abcd
94.18a
88.69abcd
79.97de
81.14cde
89.34abcd
90.92abc
91.11abc
93.38ab
94.00a
77.85e
83.07bcde
87.86abcde
86.56abcde
89.75abcd

Keterangan : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT taraf 5%

19
Nilai rataan lebar tajuk tanaman berkisar 77.85–94.18 cm. Galur
IPB120005-1-1-17 memiliki lebar tajuk paling lebar, namun tidak berbeda nyata
dengan Lembang I, Trisula, Tit Super dan 12 galur lain. Galur IPB002046-2-14c14 memiliki nilai rataan lebar tajuk yang paling rendah serta tidak berbeda nyata
dengan Lembang I, Trisula, dan lima galur lainya (Tabel 7).
Menurut Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikukltura dalam Kusumah
(2010), lebar kanopi tanaman cabai berkisar 50–90 cm, dengan lebar kanopi yang
ideal berkisar 70 cm. Menurut Hakim (2010), tajuk tanaman yang semakin lebar
juga mempengaruhi iklim mikro disekitar tanaman, terutama kelembaban.

Umur Berbunga dan Umur Panen
Nilai rataan umur berbunga berkisar 24.00–29.67 hari setelah tanam
(HST). Galur IPB 009019-3-4-7 memiliki nilai rataan umur berbunga paling
cepat, namun tidak berbeda nyata dengan Lembang I, Trisula, Tit Super dan
enam galur lain. Galur IPB110005-91-4-8 memiliki nilai rataan umur berbunga
paling lama serta tidak berbeda nyata dengan sembilan galur lainya (Tabel 8).
Nilai rataan umur panen berkisar 67.33–85.00 HST. Galur IPB009019-34-7 memiliki nilai rataan umur panen paling cepat diantara galur yang diuji,
namun tidak berbeda nyata dengan Trisula, Tit Super dan dua galur lain.
Sementara itu, galur IPB120005-1-1-17 memiliki nilai rataan umur panen paling
lama serta tidak berbeda nyata dengan galur Pesona I-1 (Tabel 8).
Karakter umur berbunga awal (Hilmayanti et al., 2006) dan umur panen
genjah (Syukur et al., 2012) merupakan salah satu karakter unggul dari suatu
tanaman atau varietas. Dalam rangka perbaikan hasil panen, maka perbaikan
karakter umur berbunga melalui program pemuliaan juga perlu dilakukan
(Hilmayanti et al., 2006). Varietas yang diinginkan adalah varietas yang memiliki
umur panen genjah (Syukur et al., 2012), namun demikian umur panen cabai
tergantung dari varietas yang digunakan, lokasi penanaman, kombinasi
pemupukan yang digunakan, serta kesehatan tanaman (Piay et al., 2010). Di
dataran rendah, tanaman cabai dapat dipanen 60–80 hari setelah tanam. Sementara
itu, di dataran tinggi biasanya waktu panen lebih lambat yaitu sekitar 4 bulan
setelah tanam (Kusandriani dan Muharam, 2005).

20
Tabel 8. Nilai rataan umur berbunga dan umur panen cabai
Genotipe
IPB110005-91-13-12
IPB110005-91-13-4
IPB110005-91-17-18a
IPB110005-91-17-3
IPB110005-91-4-6
IPB110005-91-4-8
IPB120005-1-1-17
IPB120005-5-11-1
IPB120005-5-11-2
IPB120005-5-19-3
IPB009019-3-4-10
IPB009019-3-4-7
Pesona I-1
Pesona I-2
IPB002046-2-5-8
IPB002046-2-14c-14
IPB002001-4-3b-5
Lembang I
Trisula
TIT Super

Umur berbunga
(HST)
26.00cdef
24.33f
26.33bcdef
25.00ef
27.67abcd
29.67a
27.67abcd
27.33abcde
27.33abcde
28.67ab
26.00cdef
24.00f
29.00a
27.67abcd
28.67ab
28.00abc
25.33def
24.00f
24.33f
24.33f

Umur panen
(HST)
73.00efg
71.00fgh
72.00efg
70.33ghi
75.00cdef
79.00bc
85.00a
73.67defg
76.33cde
77.33bcd
72.67efg
67.33hi
81.33ab
81.00b
71.67fg
73.00efg
74.00defg
75.00cdef
71.33fgh
66.67i

Keterangan : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT taraf 5%

Bobot per Buah, Panjang Buah dan Diameter Buah
Nilai rataan bobot per buah berkisar 6.06–12.65 g. Galur IPB009019-3-410 memiliki nilai rataan bobot per buah paling besar, namun tidak berbeda nyata
dengan Trisula, Tit Super, dan delapan galur lain. Galur IPB110005-91-17-3
memiliki nilai rataan bobot per buah paling kecil diantara galur yang diuji dan
lebih besar dari Lembang I (Tabel 9).
Nilai rataan panjang buah berkisar 10.89–14.25 cm. Pesona I-1 memiliki
nilai rataan panjang buah paling besar, namun tidak berbeda nyata dengan 12
galur lain. Galur IPB002046-2-5-8 memiliki nilai rataan panjang buah paling kecil
serta tidak berbeda nyata dengan Lembang I, Trisula, Tit Super, dan 11 galur
lainya (Tabel 9).
Nilai rataan diameter pangkal buah berkisar 8.76–18.19 mm. Galur
IPB002046-2-5-8 memiliki nilai rataan diameter pangkal buah paling besar,
namun tidak berbeda nyata dengan Tit Super dan Pesona I-2. Galur IPB110005-

21
91-17-3 memiliki nilai rataan diameter pangkal paling kecil diantara galur yang
diuji serta tidak berbeda nyata dengan Lembang I (Tabel 9).
Tabel 9. Nilai rataan bobot per buah, panjang buah, dan diameter buah
cabai
Genotipe
IPB110005-91-13-12
IPB110005-91-13- 4
IPB110005-91-17-18a
IPB110005-91-17-3
IPB110005-91-4-6
IPB110005-91-4-8
IPB120005-1-1-17
IPB120005-5-11-1
IPB120005-5-11-2
IPB120005-5-19-3
IPB009019-3-4-10
IPB009019-3-4-7
Pesona I-1
Pesona I-2
IPB002046-2-5-8
IPB002046-2-14c-14
IPB002001-4-3b-5
Lembang I
Trisula
Tit Super

Bobot per
buah
(g)
11.23abc
8.77ef
10.24bcde
6.06g
9.78cdef
8.00f
9.03def
10.94abcd
8.49ef
8.57ef
12.65a
11.14abcd
12.01ab
11.65abc
11.52abc
11.35abc
11.10abcd
3.70h
11.51abc
10.90abcd

Panjang buah
(cm)
13.48abc
12.41abcde
12.65abcde
13.05abcd
12.65abcde
11.49cde
12.13bcde
13.58ab
12.96abcde
12.77abcde
13.66ab
12.94abcde
14.25a
12.46abcde
10.89e
12.47abcde
10.99de
11.15de
11.82bcde
11.90bcde

Diameter
pangkal buah
(mm)
14.67bcdef
11.63h
13.08efgh
8.76i
12.69fgh
13.28defgh
13.31defgh
14.29cdefg
12.22gh
12.67fgh
15.90bc
15.56bcd
14.85bcdef
16.34abc
18.19a
15.31bcde
15.82bc
7.41i
15.48bcde
17.00ab

Keterangan : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT taraf 5%

Berdasarkan penelitian Ameriana (2000), ukuran buah merupakan salah
satu petunjuk kualitas cabai merah yang diperhatikan oleh konsumen rumah
tangga. Ukuran cabai merah yang disukai oleh konsumen adalah cabai yang agak
besar, yaitu yang memiliki panjang 10–12 cm dan diameter 1–1.5 cm. Sementara
itu, hasil penelitian Hartuti dan Asgar (1994) menyebutkan bahwa kualitas cabai
yang dibutuhkan oleh industri adalah cabai berukuran panjang 7–15 cm dan
diameter 0.5–1.5 cm.
Salah satu para