Pemantauan Bahaya Kekeringan Dan Analisis Risiko Kekeringan Di Kabupaten Indramayu

PEMANTAUAN BAHAYA KEKERINGAN
DAN ANALISIS RISIKO KEKERINGAN
DI KABUPATEN INDRAMAYU

NINA WIDIANA DAROJATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemantauan Bahaya
Kekeringan dan Analisis Risiko Kekeringan di Kabupaten Indramayu adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor,

April 2015

Nina Widiana Darojati
NRP A153110031

RINGKASAN
NINA WIDIANA DAROJATI. Pemantauan Bahaya Kekeringan dan Analisis
Risiko Kekeringan di Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh BABA BARUS dan
EUIS SUNARTI.
Kekeringan di Kabupaten Indramayu perlu mendapat perhatian serius
sehubungan Kabupaten Indramayu merupakan salah satu lumbung padi bagi
Provinsi Jawa Barat dan salah satu lumbung padi nasional. Kekeringan sebagai
peristiwa alam dan menyerang secara perlahan, telah menimbulkan kerugian bagi
masyarakat pertanian di Kabupaten Indramayu.
Mengingat kekeringan
merupakan kejadian yang dapat berulang, maka perlu dilakukan upaya
pemantauan dan mengidentifikasi faktor-faktor bahaya kekeringan, agar dapat

dikembangkan model bahaya kekeringan. Disamping itu, perlu dibuatnya peta
bahaya kekeringan, kerentanan kekeringan serta risiko kekeringan agar dapat
dilakukan analisis dan penyusunan upaya adaptasi kekeringan. Kegiatan ini
diharapkan dapat diketahui sebaran kekeringan yang bermanfaat untuk
pengembangan pertanian dan kebijakan lainnya, serta dapat meminimalkan
kerugian yang mungkin di alami dikemudian hari.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah memantau kekeringan
dan mengidentifikasi faktor-faktor bahaya kekeringan melalui penyebaran
kuesioner, pengolahan data terhadap faktor-faktor bahaya dan mengembangkan
model kekeringan. Tiap-tiap faktor diberi skor dan bobot berdasarkan urutan
kepentingan atau pengaruhnya terhadap bahaya kekeringan kemudian
digabungkan dengan metode MCE (Multi Criteria Evaluation). Model diterapkan
pada 3 (tiga) titik tahun yaitu 2003, 2008 dan 2012 dalam dua versi. Versi 1
yakni dengan tidak menyertakan jarak dari jaringan irigasi dan versi 2 adalah
dengan menyertakan jarak dari jaringan irigasi. Sementara itu, metode yang
digunakan dalam penentuan indeks kerentanan, kapasitas/ketahanan dilakukan
dengan pemberian skor dan bobot berdasarkan urutan kepentingan atau
pengaruhnya terhadap kekeringan pada masing-masing sub paramater dan
menjumlahkannya untuk masing-masing paramater. Selanjutnya dilakukan
pemetaan dan penilaian risiko dengan menghubungkan kondisi bahaya,

kerentanan dan kapasitas, yang dinyatakan oleh notasi Risk = (Bahaya x
Kerentanan) / Kapasitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor bahaya kekeringan yang
memiliki pengaruh paling besar sampai dengan paling rendah adalah curah hujan,
penggunaan lahan, jarak ke sumber air, tekstur tanah, suhu permukaan tanah,
sehingga diperoleh model dengan formulasi: H = (0,34SPI) + (0,20L) + (0,19B)
+ (0,17Jt) + (0,10LST). Bahaya kekeringan pada 2003 memiliki luas lahan yang
tergolong bahaya tinggi lebih luas dibandingkan dengan kekeringan pada 2008
dan 2012. Hal ini berkaitan dengan terjadinya kemarau panjang pada tahun 2003
sehingga menghasilkan nila SPI (Indeks Standar Curah Hujan) hingga kelas
ekstrim kering. Sebaran bahaya kekeringan pada model versi 2 memiliki luasan
bahaya kekeringan lebih sedikit daripada model versi 1 dan model Versi 2
memiliki nilai akurasi lebih rendah dari versi 1. Model versi 2 merupakan kondisi

ideal, dimana keberadaan jaringan irigasi dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan air lahan sawah agar terhindar dari kekeringan serta tidak terjadi gagal
panen. Akan tetapi jaringan irigasi kurang berperan pada masa musim kemarau.
Sementara itu, model versi 1 memiliki tingkat validasi yang cukup signifikan.
Versi 1 merupakan kondisi yang mendekati keadaan sebenarnya di lapangan.
Kondisi wilayah penelitian yang memiliki tingkat bahaya sedang hingga tinggi.

Tingkat kerentanan kekeringan yang meliputi faktor ekonomi, faktor sosial
serta faktor teknik menunjukkan bahwa wilayah penelitian pada umumnya berada
pada tingkat kerentanan sedang sampai tinggi. Adapun tingkat kapasitas
masyarakat dan kelembagaan dalam upaya menghadapi bahaya menunjukkan
bahwa kapasitas wilayah penelitian pada umumnya berada pada tingkat sedang
sampai tinggi. Berdasarkan hubungan antara bahaya, kerentanan dan kapasitas
tersebut diperoleh risiko kekeringan pada 2003 memiliki luas lahan yang
tergolong risiko tinggi lebih luas dibandingkan dengan 2008 dan 2012 baik versi 1
maupun versi 2. Dengan demikian, upaya mitigasi yang dapat dilakukan pada
wilayah yang memiliki risiko tinggi yakni: (1) pembuatan embung baru dan
sumur sadon dengan ukuran yang lebih besar agar dapat digunakan bersama
disertai gerakan penanaman pohon terutama di area sekitar danau dan embung
agar dapat mengisi air tanah dan mengurangi penguapan dari sumber air tersebut;
(2) memperbaiki dan menambah pembangunan infrastruktur jaringan irigasi
disertai peningkatan volume air agar dapat dilakukan penanaman 3x/tahun; (3)
meningkatkan bantuan pompa air besar; (4) meningkatkan kegiatan kelompok
tani agar lebih aktif dan pemberian penyuluhan dari BPP yang rutin agar kondisi
dan kegiatan petani terkontrol.

Kata kunci: kekeringan, Indeks Standar Curah Hujan, Suhu Temperatur Tanah,

evaluasi multi kriteria, bahaya, kerentanan, kapasitas.

SUMMARY
NINA WIDIANA DAROJATI. Monitoring Drought and Risk of Drought Analisys
in Indramayu. Supervised by BABA BARUS and EUIS SUNARTI.
Drought in Indramayu need seriously response because Indramayu is a rice
granary for West Java Province and one of rice granary for national. The drought
as a natural event and attacked slowly. Drought as a natural event and attacked
slowly, has caused harm to the farming community in the district. Indramayu. In
vew of the drought is an event that can be repeated, it is necessary to monitor and
identify factors associated risk of drought, so as to develop a model of the hazard
of drought. Besides, it should be made maps of hazard, vulnerability and risk in
order to do the analysis and preparation of mitigation. This activity is expected to
be known distribution of drought useful for the development of agriculture and
other policies, as well as to minimize losses that may in the future.
This research used a method to monitor drought and identify factors
associated risk of drought through questionnaires, data processing of the factors of
hazard and develop models of drought. Each factor was scored and weighted in
order of importance or influence on the risk of drought and then overlay is
connected through the MCE method (Multi Criteria Evaluation). The model is

applied to three (3) points in that 2003, 2008 and 2012. The model is built for
two versions. Model version 1, implementaed by excluding the distance from the
irrigation network and model version 2, include a range of irrigation networks.
Meanwhile, the method used in determining the vulnerability index, capacity
done by assigning scores and weights in order of importance or influence of
drought on each sub-parameters and totalize to each parameter. Further mapping
and risk assessment by linking conditions hazard, vulnerability and capacity,
which is expressed by Risk = (Hazard x Vulnerability) / Capacity.
The results showed that the drought hazard factor that has the most impact
to the lowest is the rainfall, land use, distance to water sources, soil texture, soil
surface temperature, in order to obtain a model with the formulation: H =
(0,34SPI) + (0,20L) + (0,19B) + (0,17Jt) + (0,10LST). The hazard in 2003 has a
land area that is classified as a high hazard wider than the drought in 2008 and
2012. This is due to the long drought in 2003 to produce indigo SPI (Standard
Precipitation Index) to dry extreme class. The spread of the hazard on the model
version 2 has an area at risk of drought less than the model version 1 and version
2 models have a value lower accuracy than version 1. Model version 2 is an ideal
condition, where the existence of the irrigation network is intended to meet the
water needs of wetland to avoid of drought and crop failure does not occur.
However, irrigation is less a role during the dry season. Meanwhile, the model

version 1 has a significant level of validation. Version 1 is a condition close to
the real situation on the ground. Condition research areas that have moderate to
high levels of danger.
Level vulnerability which include economic factors, social factors as well as
factors engineering show that the region in general are at moderate to high levels
of vulnerability. The level of community and institutional capacity in efforts to
confront the danger of the study showed that the capacity of the region in general

are at moderate to high levels. Based on the relationship between hazards,
vulnerability and capacity obtained a risk of drought in 2003 has a land area that
is classified as high risk more widely in comparison with 2008 and 2012 both
version 1 and version 2. Therefore, mitigation measures that can be done in areas
that have a high risk that: (1) development of new ponds and wells sadon with a
larger size to be used in conjunction with the movement of tree planting,
especially in the area around the lakes and ponds in order to fill the soil and
reduce evaporation of water from the water source; (2) improve and increase the
irrigation network infrastructure with increased volume of water that can be done
planting 3 times of year; (3) enhancing project aid for large water pump; (4)
increasing the activity of farmer groups to be more active and granting extension
of BPP who regularly so that the farmer-controlled conditions and activities.


Keywords: drought, Standar Presipitasi Index, Land Surface Temperature, Multi
Criteria Evaluation, hazard, vulnerability, capacity.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PEMANTAUAN BAHAYA KEKERINGAN
DAN ANALISIS RISIKO KEKERINGAN
DI KABUPATEN INDRAMAYU

NINA WIDIANA DAROJATI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Boedi Tjahjono, MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah
kekeringan, dengan judul Pemantauan Bahaya Kekeringan dan Analisis Risiko
Kekeringan di Kabupaten Indramayu.
Kabupaten Indramayu setiap tahun selalu mengalami kekurangan air baik

untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan pertanian sawah. Kondisi
ini terjadi terutama pada masa musim kemarau. Namun demikian, kondisi
tersebut tidak menyurutkan petani-petani di Indramayu untuk tetap bertani.
Mereka tidak mau meninggalkan apa yang telah menjadi warisan dari nenek
moyangnya dan mereka merasa bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang
mulia. Dimana hampir seluruh penduduk Indonesia senantiasa membutuhkan
beras. Semangat inilah yang perlu mendapat perhatian dari para pemangku
kebijakan dan pihak-pihak lainnya untuk dapat memberikan arahan dan kebijakan
dalam upaya meningkatkan ketahanan petani dalam menghadapi kekeringan
sehingga dapat membantu kesejahteraan petani.
Penelitian yang dilakukan penulis merupakan bagian dalam upaya
memberikan arahan terkait bahaya dan resiko kekeringan. Ucapan terima kasih
penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Baba Barus, MSc dan Ibu Prof Dr Ir Euis
Sunarti selaku pembimbing, serta (alm) Bapak Dr Ir Komarsa Gandasasmita, Dr
Boedi Tjahjono, MSc, Ibu Dr Khursatul Munibah, MSc dan Bapak Ir Bambang
Hendro Trisasongko, MSi yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada masyarakat tani di Kabupaten Indramayu
dan instansi-instansi yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga dihaturkan kepada ayah, ibu, Acep yang ikut keliling turun ke
lapangan, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa

disampaikan pula untuk teman-teman MBK atas kebersamaannya selama studi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor,

April 2015

Nina Widiana Darojati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

xiii
xiv
xv

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup

1
2
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

4

Klasifikasi Kekeringan
Model Kekeringan
Bahaya Kekeringan
Kerentanan
Risiko Kekeringan
Ketahanan terhadap bencana
3 METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Lokasi dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Tahapan Penelitian
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
A) Faktor-faktor Bahaya Kekeringan
B) Penyusunan Model Bahaya Kekeringan
C) Validasi Model
D) Indeks Kerentanan
E) Indeks Ketahanan dan Resiko Kekeringan
Analisis Data
A) Penentuan Faktor yang Mempengaruhi Bahaya Kekeringan
B) Pengembangan Model Bahaya Kekeringan
C) Analisis Kerentanan Kekeringan
D) Analisis Ketahanan/Kapasitas dan Resiko Kekeringan
4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Wilayah Administrasi
Iklim
Topografi
Tanah
Penggunaan Lahan
Sumber daya air
Kependudukan

4
5
7
8
9
10
11
11
12
12
13
13
13
13
18
19
19
22
24
24
24
24
25
25
25
26
27
28
29
30
32

Jumlah pendudukan dan laju pertumbuhan
Mata pencaharian Penduduk
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor Bahaya Kekeringan dan Pembobotan
Pemetaan Faktor-faktor Bahaya Kekeringan
Indeks Standar Curah Hujan
Penggunaan Lahan
Jaringan sumberdaya air
Tekstur Tanah
Suhu Permukaan Tanah
Pengembangan Model Bahaya Kekeringan
Pemetaan dan Analisis Bahaya Kekeringan
Validasi Model Bahaya Kekeringan
Kerentanan Kekeringan
Kerentanan Ekonomi
Kerentanan Sosial
Kerentanan Teknik
Kerentanan Total
Kapasitas Kekeringan
Risiko Kekeringan
Mitigasi Kekeringan
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
33
34
34
35
35
41
44
47
48
50
51
56
58
58
62
66
69
71
75
78
81
81
82

DAFTAR TABEL
1 Jenis dan sumber data yang digunakan serta kaitannya dengan tujuan
penelitian
13
2 Kelas Indeks Standar Presipitasi (SPI)
15
3 Konstanta radiasi untuk Landsat
16
4 Kelas Suhu permukaan tanah
16
5 Kelas Sumber Air (Sungai & Jaringan Irigasi)
17
6 Kelas tekstur tanah di Indramayu
17
7 Pengelompokan jenis penggunaan lahan
18
8 Daftar parameter utama dan sub parameter dalam penilaian kerentanan
21
9 Kelas Kapasitas Kekeringan
23
10 Jumlah hari hujan dan curah hujan di stasiun pencatat hujan
27
11 Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha
Utama dan Status Pekerjaan Utama
33
12 Urutan Kepentingan Faktor Bahaya Kekeringan
34
13 Rata-rata curah hujan bulanan di setiap tahunnya
36
14 Nilai SPI minimum dan maksimum tiap tahun
38
15 Luasan jenis penggunaan lahan tahun 2003, 2008 dan 2012
42
16 Pengelompokan Kelas Tekstur Tanah
47
17 Hasil Normalisasi Faktor Bahaya Kekeringan
50
18 Kelas Indeks Bahaya Kekeringan
51
19 Kelas lahan berdasarkan Model versi 1
51
20 Kelas lahan berdasarkan Model versi 2
52
21 Luasan kelas bahaya versi 1 pada kelas penggunaan lahan (Ha)
55
22 Luasan kelas bahaya versi 2 pada kelas penggunaan lahan
55
23 Validasi Model Versi 1 Bahaya Kekeringan pada Lahan Pertanian dengan
Data Puso
56
24 Validasi Model Versi 2 Bahaya Kekeringan pada Lahan Pertanian dengan
Data Puso
56
25 Pembobotan dan Normalisasi Faktor Ekonomi
58
26 Pembobotan dan Normalisasi Faktor Sosial
62
27 Pembobotan dan Normalisasi Faktor Teknik
66
28 Kelas Kapasitas Kekeringan
73
29 Bobot dan Normalisasi Faktor Kapasitas Kekeringan
73
30 Luasan Tingkat Risiko Kekeringan pada Model Versi 1
77
31 Luasan Tingkat Risiko Kekeringan pada Model Versi 2
78
32 Rekomendasi dalam menghadapi kekeringan
80

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44

Perbedaan Komponen-komponen untuk Peramalan Kekeringan
Komponen Model Kekeringan
Alur kerangka pemikiran penelitian
Lokasi Penelitian
Lokasi stasiun pencatat hujan
Aliran kegiatan penyusunan model bahaya kekeringan
Tahapan pengolahan Indeks Kerentanan Kekeringan
Tahapan Penyusunan Kapasitas dan Risiko Kekeringan
Parameter dan sub parameter kerentanan kekeringan
Wilayah administrasi Kabupaten Indramayu
Topografi Wilayah Penelitian
Sebaran Jenis Tanah di Kabupaten Indramayu
Sebaran Jenis Penggunaan Lahan Tahun 2012
Luasan jenis penggunaan lahan tahun 2012
Peta potensi sumber daya air di wilayah Kabupaten Indramayu
Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Indramayu (1990-2013)
Sebaran penduduk di tiap kecamatan di Kabupaten Indramayu
Rata-rata curah hujan tahunan tahun 1996 – 2013
Curah hujan tahunan di tiap stasiun tahun 1996 – 2013
Curah hujan bulanan di tiap stasiun tahun 1996 – 2013
Rataan nilai SPI 12 bulanan masa kemarau di tiap statsiun
Pola nilai SPI 12 bulanan pada masa kemarau
Sebaran penggunaan lahan tahun 2003
Sebaran penggunaan lahan tahun 2008
Sebaran penggunaan lahan tahun 2012
Perubahan penggunaan lahan dari tahun 2003 - 2012
Kegiatan pompanisasi
Buffer dari Sungai dan Danau/Waduk
Beberapa sumber air dalam keadaan kekurangan air
Buffer dari Jaringan Irigasi
Beberapa jaringan irigasi dalam keadaan kekurangan air
Sebaran kelas tekstur tanah
Sebaran suhu permukaan tanah pada berbagai kondisi
Sebaran bahaya kekeringan Versi 1
Sebaran bahaya kekeringan Versi 2
Kondisi Sawah dan jaringan irigasi pada musim kemarau
Kerentanan ekonomi terhadap kekeringan Tahun 2003
Kerentanan ekonomi terhadap kekeringan Tahun 2008
Kerentanan ekonomi terhadap kekeringan Tahun 2012
Kerentanan sosial terhadap kekeringan Tahun 2003
Kerentanan sosial terhadap kekeringan Tahun 2008
Kerentanan sosial terhadap kekeringan Tahun 2012
Kerentanan teknik terhadap kekeringan Tahun 2003
Kerentanan teknik terhadap kekeringan Tahun 2008

6
7
11
12
14
20
22
23
25
26
28
29
30
30
31
32
32
35
35
37
39
40
42
43
43
44
45
45
46
46
47
48
49
52
53
57
60
61
61
64
64
65
68
68

45
46
47
48
49
50
51
52
53
54

Kerentanan teknik terhadap kekeringan Tahun 2012
Kerentanan Total Tahun 2003
Kerentanan Total terhadap kekeringan Tahun 2008
Kerentanan Total terhadap kekeringan Tahun 2012
Sumur sadon, embung dan jaringan irigasi di lahan pertanian
Sebaran Kapasitas Kekeringan Tahun 2003
Sebaran Kapasitas Kekeringan Tahun 2008
Sebaran Kapasitas Kekeringan Tahun 2012
Sebaran Resiko Kekeringan Versi 1
Resiko Kekeringan Versi 2

69
70
70
71
72
73
74
74
76
77

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Alokasi dana BP3
87
Indeks Rawan Bencana Kekeringan di Indonesia
88
Lokasi Stasiun Pencatat Curah Hujan
89
Kelas Indikator Kerentanan
90
Luas wilayah per kecamatan di Kabupaten Indramayu
93
Luasan Jenis Tanah
93
Luas jenis penggunaan lahan tahun 2012 di tiap kecamatan
94
Jumlah penduduk tahun 2013
95
Respon responden terhadap urutan faktor bahaya kekeringan
96
Bobot nilai respon responden terhadap faktor bahaya kekeringan
97
Luasan (Ha) dan presentase (%) nilai SPI tahun 1996 - 2013
98
Citra Landsat TM Band 6 yang digunakan
99
Luasan Suhu Permukaan Tanah tahun 2003, 2008 dan 2012
100
Luas area kelas bahaya tinggi model versi 1 di tiap kecamatan
100
Luas area kelas bahaya tinggi model versi 2 di tiap kecamatan
101
Indikator Kerentanan Kekeringan
102
Luas Panen, Hasil Per Hektar dan Produksi Padi Jawa Barat, 2011
105
Karakterstik kerentanan ekonomi di tiap wilayah
106
Karakterstik kerentanan sosial di tiap wilayah
109
Jumlah penduduk buta huruf tahun 2010
112
Karakterstik kerentanan teknik di tiap wilayah
113
Karakterstik kerentanan total di tiap wilayah
116
Program Dinas Pertanian dan Pertenakan Kabupaten Indramayu terkait
penanganan kekeringan
117
24 Karakterstik kapasitas masyarakat di tiap kecamatan
119
25 Luasan risiko di tiap kecamatan
122
26 Karakteristik Risiko di tiap kecamatan
123

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan kemarau dimana
masa pergantian musim terjadi setiap enam bulan. Sejak 30 tahun belakangan ini
telah terjadi gangguan iklim. Menurut BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika), pada tahun 1977 terjadi fenomena El-Nino kuat sekali
mengakibatkan kekeringan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Gejala El-Nino
adalah penyimpangan cuaca di Lautan Pasifik dimana kondisi lautan sedang
memanas. Peristiwa El-Nino menyebabkan terpengaruhnya cuaca di wilayah
sekitarnya. Di wilayah Indonesia mengakibatkan sirkulasi musim hujan dan
kemarau menjadi kacau, dimana masa musim kemarau menjadi lebih kering dan
lebih lama dari biasanya sehingga masa musim hujan menjadi terlambat dan lebih
singkat. Rata-rata kejadian bencana di Indonesia selama tahun 2002–2009,
kejadian kekeringan menempati urutan ke dua yaitu setelah kejadian banjir, yakni
dengan rata-rata kejadian sebanyak 156 kejadian per tahun (BNPB 2009).
Salah satu wilayah yang paling sering mengalami kekeringan di daerah
pantai utara adalah Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung dengan Laut
Jawa. Kabupaten Indramayu sering mengalami ketidaknormalan musim sehingga
sering mengalami curah hujan yang cukup tinggi pada musim hujan (November –
April) yang mengakibatkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau (Mei –
Oktober) keadaan curah hujan sangat kurang sehingga terjadi kekurangan
air/kekeringan.
Keadaan tersebut mengganggu kegiatan pertanian dan
menyebabkan kerugian bagi petani. .
Kekeringan pada dasarnya adalah keadaan kekurangan pasokan air pada
suatu daerah untuk berbagai kegiatan, kelompok-kelompok dan sektor lingkungan
dalam masa berkepanjangan dapat mencapai beberapa bulan hingga tahunan
(Wilhite dan Svoboda 2000 dalam UNDP 2011). Biasanya kejadian ini muncul
bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah ratarata. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena
cadangan air tanah akan habis akibat penguapan, transpirasi, ataupun penggunaan
lain oleh manusia. Situasi demikian dapat ditinjau secara klimatologi maupun
hidrologis. Tinjauan secara klimatologis mencakup penilaian terhadap Suhu
Permukaan Tanah (Land Surface Temperature/LST), sedangkan tinjauan secara
hidrologis mencakup penilaian terhadap Indeks Standard Presipitasi
(Standardized Precipitation Index/SPI). Nilai LST mampu mengidentifikasi
permukaan yang relatif basah dan kering, sedangkan SPI dapat memantau
pasokan air jangka pendek dan sumber daya air jangka panjang.
Pemantauan pada suatu wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan
dapat diidentifikasi dengan mengaitkan berbagai parameter pemicu terjadinya
kekeringan. Variabel input yang terkait kekeringan meliputi: (i) curah hujan
untuk analisis kekeringan meteorologi sebagai defisit curah hujan yang
menyebabkan kekeringan, (ii) debit aliran, volume waduk dan danau untuk
analisis kekeringan hidrologi, (iii) batas air tanah untuk kekeringan air tanah, dan
(iv) kelembaban tanah dan hasil tanaman untuk kekeringan pertanian.

2
Peristiwa kekeringan berpotensi menimbulkan kerusakan dan kerugian.
ISDR (2009) menyatakan bahwa suatu rangkaian kejadian yang berpotensi
menimbulkan kerusakan atau kerugian diartikan sebagai bahaya. Hal ini berarti
kekeringan dapat menjadi suatu bahaya, yang disebut bahaya kekeringan.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia No 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, kekeringan menjadi bencana alam
apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat
gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya sehingga perlu
dilakukan pemantauan yang merupakan langkah antisipasi dalam menghadapi
suatu bencana. Wilhite (2000) berpendapat bahwa, sebagai bencana alam,
kekeringan berbeda dari bahaya alam lainnya. Perbedaan tersebut adalah 1) awal
dan akhir kekeringan sulit ditentukan, dampak peningkatan kekeringan terjadi
secara perlahan dan sering menumpuk melebihi periode waktu yang
dipertimbangkan. Oleh karena itu, kekeringan sering disebut sebagai fenomena
merayap; 2) kesulitan menetapkan batasan kekeringan yang menyebabkan
kebingungan karena tidak memiliki definisi kekeringan yang universal/umum; 3)
dampak kekeringan bersifat non-struktural sehingga area menyebar lebih luas
dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh bahaya alam lainnya.
Berbeda dengan kejadian-kejadian banjir, badai, gempa, dan tornado, kejadian
kekeringan mempengaruhi badan air dari struktur sumber daya air dan jarang
menyebabkan kerusakan struktural (bangunan badan air); 4) kegiatan manusia
secara langsung dapat memicu memperburuk kekeringan, seperti pertanian
intensif, irigasi berlebihan, penggundulan hutan, eksploitasi air tersedia secara
berlebih, erosi yang berdampak negatif pada kemampuan tanah untuk menangkap
dan menahan air.
Memperhatikan hal di atas dan mengingat Kabupaten Indramayu
merupakan salah satu lumbung padi bagi Provinsi Jawa Barat dan bahkan salah
satu lumbung padi nasional, maka perlu perlu dibuatnya peta bahaya kekeringan,
kerentanan kekeringan serta risiko kekeringan agar dapat dilakukan analisis dan
penyusunan upaya adaptasi kekeringan. Kegiatan ini diharapkan dapat diketahui
sebaran kekeringan yang bermanfaat untuk pengembangan pertanian dan
kebijakan lainnya, serta dapat meminimalkan kerugian yang mungkin di alami
dikemudian hari.

Perumusan Masalah
Iklim merupakan salah satu faktor penentu penyebab terjadinya kekeringan
yang sukar di atasi, sehingga memungkinkan kekeringan dapat terjadi secara
berulang. Kerugian yang harus ditanggung akibat terjadinya bencana kekeringan
mencakup kerugian materi dan non materi. Ketidaksiapan menghadapi kerugian
ini dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat baik kondisi ekonomi, sosial
maupun lingkungan ke dalam kondisi yang lebih buruk. Berdasarkan pengalaman
yang terjadi pada tahun 2011, Dinas Pertanian Jawa Barat memberikan bantuan
untuk mengganti kerugian bagi lahan yang terkena puso, yakni sebesar Rp 2.6 juta
per hektar dan sebesar Rp 1.1 juta untuk pengadaan benih dan pupuk. Bantuan
pemerintah diberikan agar petani tidak kehilangan mata pencahariannya. Alokasi

3
anggaran untuk penanggulangan lahan terkena puso tercantum dalam Peraturan
Menteri Pertanian No. 05/2013, sebagaimana disajikan pada Lampiran 1.
Berdasarkan indeks rawan bencana kekeringan dari BNPB sebagaimana
disajikan pada Lampiran 2, Kabupaten Indramayu memiliki skor 24 yang
tergolong ke dalam indeks kekeringan kelas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
kekeringan di wilayah Kabupaten Indramayu merupakan hal serius dan perlu
dilakukan upaya mitigasi. Dengan demikian, untuk mengurangi dampak
kekeringan perlu adanya pemahaman yang harus dimiliki oleh masyarakat
terutama petani tentang kondisi lingkungannya dan pengetahuan tentang faktorfaktor penyebab terjadinya kekeringan. Hal ini dimaksudkan agar petani dapat
bersikap siap siaga dalam mengahadapi bahaya kekeringan. Disamping itu perlu
adanya kajian yang memprediksi kemungkinan terjadinya bahaya kekeringan agar
dapat disusun skenario mitigasinya sebagai bentuk antisipasi dalam menghadapi
bahaya kekeringan.

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.

Memperhatikan uraian di atas, maka tujuan ini adalah:
Memantau kekeringan dan mengidentifikasi faktor-faktor terkait bahaya
kekeringan,
Mengembangkan model kekeringan,
Membuat Peta Bahaya Kekeringan, Kerentanan Kekeringan, serta Risiko
Kekeringan
Menganalisis dan menyusun upaya adaptasi kekeringan.

Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini, adalah diketahuinya faktor-faktor
yang mempengaruhi bahaya kekeringan di Kabupaten Indramayu, terbentuknya
Peta Bahaya Kekeringan, Peta Kerentanan Kekeringan, Peta Resiko Kekeringan
dan upaya adaptasi menghadapi ancaman kekeringan di Kabupaten Indramayu.
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi petani di Kabupaten Indramayu dan
instansi terkait sehingga petani akan memiliki daya tahan yang lebih baik dalam
menghadapi kekeringan dan dapat disusun program-program pengembangan
pertanian yang telah mempertimbangkan faktor-faktor bahaya kekeringan, tingkat
kerentanan masyarakat, kapasitas masyarakat dan tingkat risikonya.

Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.
Analisis bahaya kekeringan diterapkan pada seluruh wilayah kabupaten
sedangkan untuk analisis kerentanan dan risiko dititikberatkan pada sektor
pertanian yakni sawah sehingga data yang digunakan adalah data yang terkait
dengan kegiatan pertanian khususnya sawah dan data mengenai petani.

4
2

TINJAUAN PUSTAKA

Kelangkaan air sudah sering terjadi di banyak bagian dunia, sebagian karena
kebutuhan air meningkat berlipat ganda, karena pertumbuhan populasi dan
ekspansi sektor pertanian, energi dan industri, dan sebagian karena perubahan
iklim dan terkontaminasinya pasokan air (Bates et al. 2008). Kelangkaan air
menjadi lebih parah dengan adanya kekeringan sehingga mempengaruhi air
permukaan dan sumber air tanah yang dapat menyebabkan pasokan air berkurang,
kualitas air memburuk, gagal panen dan habitat di tepi sungai terganggu
(Riebsame et al. 1991 dalam Misrha dan Singh 2011). Pemahaman kekeringan
dan memodelkan komponen-komponennya telah menarik perhatian para ahli,
baik ahli ekologi, hidrologi, meteorologi, maupun ilmuwan pertanian.
Kekeringan memiliki kepentingan yang besar dalam manajemen dan perencanaan
sumber daya air, dan untuk mengulas konsep-konsep kekeringan yang menjadi
rujukan para pembaca (Mishra dan Singh 2010).

Klasifikasi Kekeringan
Menurut Wilhite dan Glantz (1985) dan Masyarakat Meteorologi Amerika
Serikat (2004) dalam Misrha dan Singh (2010), kekeringan diklasifikasikan ke
dalam empat kategori, yang meliputi :
Kekeringan Meteorologi didefinisikan sebagai kurangnya curah hujan suatu
wilayah untuk suatu jangka waktu. Curah hujan telah sering digunakan untuk
analisis kekeringan meteorologi. Mengingat kekeringan sebagai defisit curah
hujan terhadap nilai rata-rata, beberapa penelitian telah menganalisis kekeringan
menggunakan data curah hujan bulanan. Pendekatan lain menganalisis durasi dan
intensitas kekeringan dalam hubungannya dengan kekurangan curah hujan
kumulatif.
Kekeringan Hidrologi dihubungkan pada periode/jangka waktu dengan sumber
air permukaan dan bawah permukaan yang tidak memadai untuk penetapan
penggunaan air dari suatu pemberian sistem manajemen sumber daya air. Data
debit sungai telah banyak diterapkan untuk analisis kekeringan hidrologi.
Berdasarkan regresi analisis kekeringan yang berkaitan dalam debit sungai,
diketahui bahwa sifat daerah tangkapan secara geologi adalah salah satu faktor
utama yang mempengaruhi kekeringan hidrologis.
Kekeringan Pertanian didefinisikan biasanya, mengacu pada periode
menurunnya kelembaban tanah dan gagal panen akibat tidak adanya sumber daya
air. Penurunan kelembaban tanah tergantung pada beberapa faktor yang
mempengaruhi kekeringan meteorologi dan hidrologi bersama dengan perbedaan
antara evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial. Kebutuhan air
tanaman bergantung pada kondisi cuaca yang berlaku, sifat biologis dari tanaman
tertentu dan tahap pertumbuhan, dan sifat fisik dan biologi tanah. Beberapa
indeks kekeringan, berdasarkan kombinasi dari curah hujan, suhu dan
kelembaban tanah, telah diturunkan untuk mempelajari kekeringan pertanian.

5
Kekeringan Sosial-ekonomi dikaitkan dengan kegagalan sistem sumber daya air
untuk memenuhi kebutuhan air dalam memenuhi pasokan dan permintaan air
untuk suatu ekonomi (AMS 2004). Kekeringan sosial ekonomi terjadi ketika
permintaan untuk benda ekonomi melebihi pasokan sebagai akibat dari
kekurangan yang berhubungan dengan cuaca dalam pasokan air.
Disamping ke empat definisi di atas, telah diperkenalkan definisi lain yang
termasuk dalam klasifikasi kekeringan yakni kekeringan air tanah.
Kekeringan Air Tanah, sering didefinisikan oleh penurunan tingkat air tanah.
Namun, penyimpanan air tanah, atau resapan air tanah atau debit dapat dan juga
telah digunakan untuk menentukan atau mengukur kekeringan air tanah. Ketika
sistem air tanah dipengaruhi oleh kekeringan, pertama kali mengisi air tanah dan
kemudian tingkat air tanah dan air tanah berhenti menurun. Kekeringan seperti
ini disebut kekeringan air tanah dan umumnya terjadi pada skala waktu berbulanbulan hingga bertahun-tahun. Untuk air tanah, jumlah total air yang tersedia sulit
untuk didefinisikan. Bahkan jika itu dapat didefinisikan, dalam sebagian besar
sistem air tanah, dampak negatif dari penipisan penyimpanan dapat dirasakan,
jauh sebelum penyimpanan total habis.

Model Kekeringan
Pengertian model menurut kamus Webster adalah sebuah gambaran, suatu
kumpulan data statistik, atau suatu analogi (persamaan) yang digunakan untuk
membantu membayangkan dalam cara yang sederhana dari sesuatu yang tidak
dapat secara langsung diamati (seperti sebuah atom) atau sebuah teori proyeksi
secara detil dari sebuah sistem peluang hubungan manusia (Webster 1964 dalam
Liu 2009). Pengertian yang sama diberikan dalam kamus Collins English, yakni
menyatakan bahwa model adalah sebuah gambaran atau penjelasan yang
disederhanakan dari suatu sistem atau kesatuan yang komplek, terutama
dirancang untuk memudahkan perhitungan atau prediksi (Makins 1995 dalam Liu
2009). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu gambaran dari kenyataan
yang disederhanakan.
Sebuah model memiliki karakterstik, yaitu (1) struktur sederhana, yakni
tidak menyertakan semua pengamatan atau pengukuran, (2) selektif, dengan
tindakan selektif ini maka tidak hanya gangguan tetapi juga sinyal yang kurang
penting akan dihapuskan. Hal ini akan memungkinkan aspek-aspek yang penting
dan terkait akan muncul, (3) pendekatan pada kenyataan, yakni model harus
cukup mengandung semua elemen penting dari sistem dunia nyata dan harus
valid/sah karena semua elemen dikoreksi saling berhubungan sesuai hubungan
dan struktur mereka, (4) bersifat alami, dalam arti bahwa keberhasilan model
mengandung saran-saran dari perluasan dari model itu sendiri dan umum, (5)
dapat diterapkan ulang, yakni model dihasilkan mewakili kenyataan, sehingga
seharusnya dapat diterapkan ulang untuk dunia nyata.
Model terkait kekeringan telah banyak dilakukan oleh banyak ahli. Wilayah
yang berpotensi kekeringan dapat diidentifikasi dengan mengaitkan berbagai
parameter yang memicu terjadinya kekeringan tersebut. Mishra dan Singh (2010)

6
menyatakan bahwa variabel input untuk peramalan kekeringan tergantung pada
jenis kekeringan yang diperkirakan. Variabel input berguna untuk membahas
kelebihan metodologi dan keterbatasannya untuk peramalan.
Gambar 1
memperlihatkan keterkaitan variabel input dan metodologi peramalan kekeringan.

Variabel Hydro-meteorologi
Curah hujan, Debit aliran, Suhu,
Penguapan, Air tanah, Air bawah tanah,
Reservoir/danau

Indeks Kekeringan
Indeks curah hujan standar (SPI)
Indeks kelembaban tanaman (CMI)
Indeks kekerasan kekeringan Palmer (PDSI)
Indek Supply air permukaan (SWSI)

Metodologi
Model Regresi
Model Time series
Model Probability
Model Neural network
Model Hybrid

Output
Lead Time
Inisiasi dan terminasi
Kekerasan alami
Kemungkinan kejadian

Indeks Iklim
El Nino-Southern Oscillation (ENSO)
Suhu Permukaan Laut (SST)
Southern Oscillation Index (SOI)
Pasifik dekade Oscillation (PDO)
Osilasi Atlantik Utara (NAO)
Oscillation Inter-Pasifik decadal (IPO)
Osilasi Atlantik Multidecadal

Gambar 1 Perbedaan Komponen-komponen untuk Peramalan Kekeringan
Variabel input yang terkait kekeringan meliputi: (i) curah hujan untuk
analisis kekeringan meteorologi sebagai defisit curah hujan yang menyebabkan
kekeringan, (ii) debit aliran-aliran, volume waduk dan danau untuk analisis
kekeringan hidrologi, (iii) batas air tanah untuk kekeringan air tanah, dan (iv)
kelembaban tanah dan hasil tanaman untuk kekeringan pertanian. Variabelvariabel tersebut diantaranya digunakan dalam perhitungan indeks kekeringan
berdasarkan Indeks Standar Presipitasi dan Indeks Kelembaban Tanah.
Peramalan kekeringan adalah komponen penting dari kekeringan hidrologi
yang memainkan peran utama dalam manajemen risiko, kesiapsiagaan kekeringan
dan mitigasi. Beberapa kegiatan yang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan
pada pemodelan berbagai aspek kekeringan, antara lain identifikasi dan prediksi
durasi serta tingkat keparahan. Model kekeringan digambarkan pada Gambar 2.

7
Analisis kekeringan
Spatio-temporal

Karakteristik
probabilistik
kekeringan

Dampak perubahan
iklim terhadap
kekeringan
Model kekeringan

Sistem asimilasi data
lahan

Peramalan kekeringan

Manajemen
kekeringan

Gambar 2 Komponen Model Kekeringan

Bahaya Kekeringan
Kekeringan dapat menjadi bahaya bila berpotensi merusak substansi
aktivitas manusia atau kondisi yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa, cedera
atau dampak kesehatan lain, kerusakan harta benda, kehilangan penghidupan dan
layanan, gangguan sosial dan ekonomi dan degradasi lingkungan (UNDP 2011).
Bahaya kekeringan ini dapat menjadi bencana bila mengancam dan mengganggu
kehidupan manusia. Pengertian ini sebagaimana didefinisikan menurut UU No.
24 tahun 2007 yakni Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam disebut dengan bencana alam, antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Sedangkan bencana yang disebabkan oleh bukan alam maupun oleh
manusia disebut dengan bencana antropogenik. Dengan demikian, berdasarkan
klasifikasi kekeringan di atas, maka kekeringan dapat dikatakan bencana alam
maupun antropogenik. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Bates et al.
(2008) dalam Misrha dan Singh (2011), yakni kekeringan atau kelangkaan air
terjadi di banyak bagian dunia sebagian karena kebutuhan air meningkat berlipat
ganda karena pertumbuhan populasi dan ekspansi sektor pertanian, energi dan
industri, dan sebagian karena perubahan iklim dan kontaminasi pasokan air.
Salah satu obyek yang menjadi ukuran dan pertanda terjadinya kekeringan
adalah terjadinya perubahan lingkungan pada lahan pertanian. Periode 1991-2006,
luas tanaman padi yang dilanda kekeringan berkisar antara 28.580-867.930 ha per
tahun dan puso 4.614-192.331 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman 2007 dalam
Bappenas 2010). Sementara itu, tingkat kerentanan lahan pertanian terhadap

8
kekeringan cukup bervariasi antar-wilayah. Lahan sawah di beberapa wilayah di
Sumatera dan Jawa rentan terhadap bahaya kekeringan. Sekitar 5,14 juta ha lahan
sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha diantaranya sangat rentan dan sekitar satu juta
ha rentan terhadap kekeringan (Wahyunto 2005 dalam BPPP 2011).
Kekeringan pada lahan pertanian tidak hanya berdampak pada petani,
namun berdampak pula pada masyarakat lainnya yang memanfaatkan hasil
pertanian dan yang terlibat dalam rantai kegiatan di bidang pertanian. Kekeringan
menyebabkan meluasnya krisis kemanusiaan. Hal ini sering membawa kelaparan,
konflik kekerasan dan pengungsi (pengungsi dan orang terlantar), dan bermain
malapetaka dengan pertumbuhan ekonomi dan kesehatan ekosistem. Mengurangi
dampak lingkungan dan perubahan iklim merupakan suatu usaha yang kompleks
yang berakar pada pengentasan kemiskinan dan mata pencaharian tambahan di
tingkat masyarakat. Perkembangan mendukung dan memungkinkan kebijakan
dan peraturan di tingkat nasional juga merupakan bagian integral dari proses ini.
Banyak usaha telah dilakukan di bidang respon kekeringan, kesiapan, adaptasi
dan mitigasi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (2011) telah memetakan
indeks rawan kekeringan untuk seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan indeks
tersebut, wilayah Jawa Barat memiliki nilai skor antara 19 - 24 yang tergolong
kategori tinggi. Salah satu wilayah yang mengalami kekeringan yakni Kabupaten
Indramayu. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu lumbung padi bagi
Provinsi Jawa Barat dan bahkan salah satu lumbung padi nasional. Indeks rawan
kekeringan Kabupaten Indramayu memiliki skor 24 yang tergolong ke dalam
indeks kekeringan kelas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan di
wilayah Indramayu merupakan hal yang serius yang perlu dilakukan upaya
mitigasi. Sebagaimana terjadi pada tahun 2009, 8.577 hektar tanaman padi di
Jawa Barat mengalami kekeringan dan 105 hektar mengalami puso atau gagal
panen. Gangguan tersebut tidak hanya berpengaruh di lokasi tersebut saja, namun
mempengaruhi pula kondisi provinsi dan nasional. Kerugian yang dialami
mencapai 500.000 ton gabah kering (GKG). Areal yang paling banyak mengalami
kekeringan terdapat di Kabupaten Indramayu yakni seluas 3.045 hektar, hal ini
disebabkan berkurangnya pasokan air irigasi Perum Jasa Tirta (PJT) II karena
kemarau yang berkepanjangan. Peristiwa tersebut telah mengganggu aktivitas
masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan.

Kerentanan
Penggunaan istilah “rentan (mudah kena serangan) dan kerentanan (sifat
mudah diserang)” sering samar dan sering disamakan dengan “orang miskin” dan
“kemiskinan/kemelaratan” (Program Pangan Dunia 1996 dalam Wilhite 2002).
Definisi yang paling mendasar dari kerentanan diperoleh dari bahasa Latin
“vulnerare” yang berarti “luka” dan oleh karena itu kerentanan adalah “daya
tahan terkena luka” (Kates 1985 dalam Wilhite 2002). Konsep dan definisi
kerentanan telah dianalisis oleh banyak ahli dimana mereka menyetujui bahwa
kerentanan menunjukkan tingkat kelemahan masyarakat terhadap suatu bahaya,
yang mana dapat bervariasi baik sebagai hasil dari variabel pendadaran (exposure)

9
terhadap bahaya, ataupun karena kemampuan untuk bangkit kembali (coping).
Demikian pula, Proyek ESPON Hazard (2003) dalam Kumpulainen (2006)
menggunakan definisi kerentanan sebagai tingkat kelemahan/kerapuhan seseorang,
kelompok, masyarakat atau suatu wilayah terhadap bahaya. Secara terminologi
ISDR (2004) mendefinisikan kerentanan sebagai serangkaian kondisi dan prosesproses hasil dari faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang meningkatkan
kelemahan masyarakat terhadap pengaruh bahaya. Kerentanan juga meliputi
gagasan untuk menanggapi dan menyalin potensial masyarakat dalam memberi
reaksi dan menahan suatu bencana.
Kerentanan dapat diukur dengan menggunakan indikator-indikator
kerentanan. Kumpulainen (2006) menggunakan indikator-indikator: (a) faktor
ekonomi, terdiri dari GDP/kapita, jumlah turis, (b) faktor sosial diantaranya
kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, persepsi resiko, serta (c) faktor ekologi
yakni fragmentasi area alam dan area alam yang penting. Wilhite (2002)
menggunakan indikator dari faktor sosial yakni penggunaan lahan dan irigasi,
indikator dari faktor bio fisik yakni iklim dan tanah. Sementara ISDR (2007)
menggunakan indikator sosial-ekonomi yakni kemiskinan, kondisi tidak aman,
ekonomi lokal, mata pencaharian, kurangnya perencanaan, dan lain-lain. Adapun
indikator dari faktor fisik yakni keterbatasan perencanaan penggunaan lahan,
lokasi perumahan dan infrastruktur, dan lainnya, sedangkan indikator faktor
lingkungan adalah kerusakan ekisistem, sumberdaya air, dan lain-lain. Swain dan
Swain (2011), menggunakan indikator: (a) sosial ekonomi yakni irigasi, produksi
tanaman, tingkat kemiskinan, pola penggunaan lahan dan lain-lain, (b) bio fisik
yakni frekwensi kekeringan, intensitas kekeringan, curah hujan, tanah, topografi,
ketersediaan air tanah dan lain-lain.

Risiko Kekeringan
Risiko didefinisikan sebagai konsekuensi kemungkinan berbahaya, atau
kehilangan sesuatu yang diharapkan (kematian, luka-luka, harta benda, mata
pencaharian, kegiatan ekonomi terganggu atau kerusakan lingkungan) yang
dihasilkan dari interaksi antara bahaya alam atau yang disebabkan manusia dan
kondisi kerentanan (ISDR 2009). Secara konvensional, risiko dinyatakan oleh
notasi Risk = Bahaya x Kerentanan. Beberapa disiplin ilmu termasuk konsep
eksposur/paparan merujuk secara khusus pada kerentanan aspek fisik. Namun
terlalu sulit mengungkapkan suatu kemungkinan bahaya fisik, sehingga penting
sekali untuk mengakui bahwa risiko adalah melekat atau dapat diciptakan atau
ada dalam sistem sosial. Dengan demikian penting untuk mempertimbangkan
konteks sosial dalam kejadian yang memiliki risiko. Dalam hal ini orang-orang
tidak perlu memberi persepsi yang sama tentang risiko dan alasan-alasannya.
Penilaian risiko adalah suatu metodologi untuk menentukan sifat dan
tingkat risiko dengan menganalisis potensi bahaya dan mengevaluasi kondisi
kerentanan yang bisa menimbulkan potensial ancaman atau membahayakan orang,
harta benda, mata pencaharian dan lingkungan di mana mereka bergantung.
Proses melakukan penilaian risiko didasarkan pada tinjauan dari tiap-tiap fitur
teknis bahaya seperti lokasi mereka, intensitas, frekuensi dan probabilitas; dan

10
juga analisis kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan, dan eksposur, bila
mengamati secara khusus mengenai kemampuan kapasitas untuk skenario risiko.
Penilaian risiko adalah dasar untuk membuat keputusan. Jika risiko tidak
diketahui, maka tidak mungkin untuk mengelola dan mengurangi risiko secara
efisien. Sebagaimana yang tertuang dalam WMO (2006) bahwa tujuan dari
manajemen risiko kekeringan adalah untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk bangkit kembali, mendorong ke arah ketahanan yang lebih
besar dan mengurangi kebutuhan akan campur tangan pemerintah atau donor.
Monitoring dan peringatan dini adalah komponen-komponen dari manajemen
risiko. Untuk itu, penilaian risiko merupakan hal yang sangat penting

Ketahanan terhadap bencana
Resiliensi adalah kemampuan yang menjamin tekanan yang merugikan
(stress) dan goncangan (shock) tidak bertahan lebih lama (FSIN 2014). Penting
untuk dicatat bahwa resiliensi kebalikan dari kerentanan. Kerentanan
menggambarkan kondisi mencegah dari efek samping pengelolaan. Dalam hal ini,
kerentanan mengacu pada karakteristik yang meningkatkan kemungkinan bila
terkena risiko, sedangkan ketahanan terdiri dari respon melawan faktor-faktor
struktural dan peluang yang memungkinkan rumah tangga atau unit lain bila
terkena beberapa guncangan dan stres. Kapasitas/ketahanan meliputi berbagai
karakteristik, tindakan, dan strategi yang diambil untuk mencegah dan/atau
melawan efek risiko. Kerentanan memiliki efek yang memungkinkan hubungan
sebab akibat antara guncangan dan hasil negatif, ketahanan memiliki efek
menonaktifkan atau mengubah hubungan sebab akibat tersebut. Definisi
ketahanan secara luas adalah sebagai kemampuan dari suatu sistem, komunitas
atau masyarakat yang berpotensi terkena bahaya untuk melawan, menyerap,
menampung dan pulih dari dampak bahaya dengan tepat pada waktunya dan
dengan cara yang efektif, termasuk melalui pelestarian dan restorasi struktur dan
fungsi dasar utama. Hubungan antara kerentanan dan ketahanan digambarkan
dalam formula sebagai berikut:
Risiko =

Bahaya x Kerentanan
---------------------------------Ketahanan

Persamaan tersebut menggambarkan bahwa orang, masyarakat atau
organisasi masih memiliki sedikit kontrol untuk menemukan cara untuk
mengurangi tingkatan kerentanan dan meningkatkan batas ketahanan. Apakah
masyarakat rentan atau tahan terhadap kekeringan adalah suatu fungsi yang luas
dari coping capacity dan adaptasi. Ketahanan secara umum didefinisikan sebagai
kemampuan seseorang, organisasi, komunitas atau masyarakat yang berpotensi
terkena bahaya dan sistem menggunakan keahliannya dan sumber daya, untuk
menghadapi, melawan, menyerap, menampung dan mengatur kondisi merugikan,
keadaan darurat atau bencana dan berusaha pulih dari dampak bahaya dengan
tepat pada waktunya dan dengan cara yang efektif, termasuk melalui pelestarian
dan restorasi struktur dan fungsi dasar utama.

11
Bentuk ketahanan terhadap kekeringan yang dilakukan di Nigeria yakni:
melakukan rehabilitasi lahan-lahan rusak, meningkatkan ladang serealia dan
meningkatkan produksi tanaman di musim kering, mengurangi migrasi tenaga
kerja dari desa, meningkatkan akses ke sumber air, meningkatkan keamanan
pangan rumah tangga.

3

METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran

Musim kemarau ditandai dengan mulai berkurangnya jumlah hari hujan dan
jumlah curah hujan hingga masa mulai meningkatnya kembali hari hujan dan
curah hujan. Pada masa musim kemarau, kemungkinan terjadi kekeringan pada
suatu wilayah karena adanya keterbatasan jumlah air pada wilayah tersebut.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu
wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan
ekosistem yang ditimbulkannya. Dengan demikian, untuk mengetahui tingkat
bahaya dan dampak yang ditimbulkan dari kekeringan perlu dilakukan
pemantauan bahaya kekeringan dan analisis resiko. Kegiatan ini dapat dilakukan
mengingat iklim yang ada di wilayah Indonesia memiliki skala waktu dan musim
yang relatif tetap yakni pada bulan April – Oktober merupakan masa musim
kemarau, dan hal ini terjadi rutin setiap tahun. Hasil dari penelitian tersebut dapat
memberikan suatu skenario mitigasi dan adaptasi dalam menghadapai ancamaan
kekeringan. Secara garis besar kerangka pemikiran ini disajikan pada Gambar 3.

Pemantauan
Bahaya Kekeringan
(untk mengetahui waktu
kejadian, tingkat bahaya)

Analisis
Kerentanan Kek