Evaluasi Efektivitas Sanitasi pada Proses Produksi Chicken Nugget di PT Belfoods Indonesia

EVALUASI EFEKTIVITAS SANITASI PADA PROSES
PRODUKSI CHICKEN NUGGET DI PT BELFOODS
INDONESIA

HANDAYANI DHINIYATI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Efektivitas
Sanitasi pada Proses Produksi Chicken Nugget di PT Belfoods Indonesia adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Handayani Dhiniyati
F24090067

*

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan
pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

iv

ABSTRAK
HANDAYANI DHINIYATI. Evaluasi Efektivitas Sanitasi pada Proses Produksi
Chicken Nugget di PT Belfoods Indonesia. Dibimbing oleh RATIH DEWANTIHARIYADI dan AZIS SAEPULLAH.

PT Belfoods Indonesia merupakan perusahaan yang memproduksi pangan
olahan beku berbahan dasar ayam dengan produk utama chicken nugget. Dalam
pengolahan chicken nugget, terutama pada tahap pembekuan dan pengemasan dapat
terjadi rekontaminasi mikroba yang berasal dari karyawan, mesin, dan lingkungan
produksi. Proses sanitasi yang efektif diperlukan untuk menurunkan resiko
rekontaminasi. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
efektivitas sanitasi karyawan, mesin dan lingkungan pada proses produksi chicken
nugget. Evaluasi tersebut dilakukan dengan mengkaji pemahaman karyawan area
pengemasan tentang higiene dan sanitasi melalui kuesioner, menganalisis mikroba
telapak tangan karyawan, mesin dan udara setelah dilakukan sanitasi dan
menganalisis jumlah mikroba produk. Lebih dari 50% karyawan area pengemasan
sangat memahami higiene dan sanitasi tetapi masih ada 4% yang tidak
memahaminya. Penerapan sanitasi perusahaan efektif untuk menurunkan jumlah
mikroba pada telapak tangan, mesin, dan udara. Meskipun demikian, penerapan
sanitasi karyawan dan peralatan produksi belum konsisten dilakukan sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan perusahaan. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan
jumlah mikroba pada produk akhir yang berada di bak penampung.
Kata kunci: chicken nugget, efektivitas, sanitasi

ABSTRACT

HANDAYANI DHINIYATI. The Evaluation of Effectiveness Sanitation on
Chicken Nugget Production Process at PT Belfoods Indonesia. Supervised by
RATIH DEWANTI-HARIYADI and AZIS SAEPULLAH.
PT Belfoods Indonesia is a food company with chicken nugget as the main
product. The objectives of this research is to evaluate the effectiveness of sanitation
on employees, equipments, and environments of the chicken nugget processing.
The evaluation was conducted by distributing questionnaires to assess employees’
understanding about sanitation. The effectiveness of sanitation was evaluated by
analyzing microbial load on the palms, equipments and the air after sanitation and
the final products. More than 50% of employees understand in hygiene and
sanitation very well but 4% doesn’t comprehend the concept. Sanitation process
established by the company is effective to reduce the microbial load on the palms,
machines, and the air except at the freezing conveyor. Unfortunately, employees
and equipments sanitation has not been consistently done in accordance with
regulations set by the company. This could pottentially increase the microbial load
on the final products.
Keywords: chicken nugget, effectiveness, sanitation

EVALUASI EFEKTIVITAS SANITASI PADA PROSES
PRODUKSI CHICKEN NUGGET DI PT BELFOODS

INDONESIA

HANDAYANI DHINIYATI

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pangan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

vi

Judul Skripsi : Evaluasi Efektivitas Sanitasi pada Proses Produksi Chicken Nugget
di PT Belfoods Indonesia
Nama

: Handayani Dhiniyati
NIM
: F24090067

Disetujui oleh

Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Pembimbing I

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: (

)

Azis Saepullah, STP
Pembimbing II


viii

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Evaluasi Efektivitas
Sanitasi pada Proses Produksi Chicken Nugget di PT Belfoods Indonesia berhasil
diselesaikan. Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pangan pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis menyusun skripsi ini berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan
kegiatan magang di PT Belfoods Indonesia sejak Februari 2013 hingga Juni 2013.
Karya ilmiah ini berdasarkan pada keinginan penulis untuk mengevaluasi
efektivitas sanitasi khususnya di area pembekuan dan pengemasan primer pada
proses produksi chicken nugget. Hal tersebut dilakukan penulis karena penulis
melihat pada tahap tersebut terdapat potensi rekontaminasi cemaran mikroba
terhadap produk chicken nugget yang akan dikemas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi,
MSc selaku dosen pembimbing dan Bapak Azis Saepullah, STP selaku
pembimbing lapang yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada

penulis dalam penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Supervisor sanitasi (Lutfi), Supervisor QC (Feli), Staf
Laboratorium Mikrobiologi dan seluruh karyawan PT Belfoods Indonesia, yang
telah membantu selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini berlangsung. Tak lupa
ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
Bapak, Ibu, Mbah Bu, Adik serta seluruh keluarga tercinta, atas segala doa dan
kasih sayangnya, serta dukungannya kepada penulis. Ungkapan terima kasih
penulis sampaikan pula untuk para sahabat (Rini, Dini, Nadya, Cyntia, dan
Endang), teman-teman seperjuangan saat magang (Icha, Irda, Ibnu, dan Yora),
teman-teman Wisma Shambala (Seni, Aul, Resti, Citra, Shinta, Nida, Nindi, dan
Mbak Rice) serta teman-teman ITP 46 atas segala bentuk dukungan dan
motivasinya kepada penulis untuk terus semangat.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan di masa
mendatang. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi,
wawasan maupun sesuatu yang dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan dan semoga kekurangan yang terdapat pada tulisan ini dapat
diperbaiki dalam tulisan selanjutnya.

Bogor,


September 2013

Handayani Dhiniyati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
Latar Belakang ................................................................................................... 1
Tujuan Umum Penelitian .................................................................................... 2
Tujuan Khusus Penelitian ................................................................................... 2
Manfaat Penelitian.............................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................... 2
Chicken nugget ................................................................................................... 2
Pengertian....................................................................................................... 2
Proses Produksi .............................................................................................. 2
Sanitasi............................................................................................................... 3
Pengertian....................................................................................................... 3
Higiene personal ............................................................................................. 3
Sanitasi Lingkungan Produksi ......................................................................... 4
Sanitasi Peralatan Produksi ............................................................................. 4
METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................. 5
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................. 5
Bahan dan Alat ................................................................................................... 5
Metode ............................................................................................................... 5
Evaluasi Pemahaman Karyawan Area Pengemasan Mengenai
Higiene dan Sanitasi ....................................................................................... 5
Evaluasi Efektivitas Sanitasi Personal di Area Pengemasan ............................ 6
Efektivitas Sanitasi Mesin di Area Pemasakan dan Pengemasan ..................... 6
Efektivitas Sanitasi Area Pemasakan dan Pengemasan .................................... 7
Evaluasi Jumlah Mikroba pada Produk Akhir Setelah Pemasakan
dan Pembekuan............................................................................................... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 7
Evaluasi Pemahaman Karyawan Area Pengemasan Mengenai
Higiene dan Sanitasi ........................................................................................... 7
Evaluasi Efektivitas Sanitasi Personal di Area Pengemasan .............................. 10

x

Efektivitas Sanitasi Mesin di Area Pemasakan dan Pengemasan ....................... 12
Efektivitas Sanitasi Area Pemasakan dan Pengemasan ...................................... 13
Evaluasi Jumlah Mikroba pada Produk Akhir Setelah Pemasakan dan
Pembekuan ....................................................................................................... 14
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 16
Simpulan .......................................................................................................... 16
Saran ................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 17

DAFTAR TABEL
1 Pemahaman karyawan mengenai higiene dan sanitasi
2 Jumlah mikroba (cfucm-2) mesin produksi setelah proses sanitasi
3 Rata-rata suhu (0C) dan densitas mikroba udara (cfu90-1mm-230-1

menit -1) area pemasakan dan pengemasan
4 Rata-rata jumlah mikroba produk akhir setelah pemasakan dan
pembekuan

8
12
14
14

DAFTAR GAMBAR
1 Hubungan antara tingkat pemahaman responden terhadap higiene dan
sanitasi dengan keikutsertaan pelatihan
2 Hubungan antara tingkat pendidikan karyawan dengan rata-rata
persentase (%) tingkat pemahaman terhadap higiene dan sanitasi
3 Jumlah mikroba telapak tangan karyawan di area pengemasan

9
10
11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Persyaratan chicken nugget (naget ayam) sesuai SNI 01-6683-2002
(Badan Standardisasi Nasional 2002).
2 Kuesioner mengenai GMP dan Higiene
3 Hasil kuesioner sanitasi dan higiene
4 Jumlah mikroba (cfucm-2) telapak tangan karyawan area pengemasan
5 Jumlah mikroba (cfucm-2) mesin produksi
6 Densitas mikroba udara area pemasakan dan pengemasan
7 Jumlah mikroba pada produk akhir setelah pemasakan dan pembekuan

20
21
23
26
27
28
29

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
PT Belfoods Indonesia merupakan perusahaan pangan yang memproduksi
pangan olahan beku berbahan dasar ayam. Perusahaan ini telah menerapkan
sistem ISO 22000 untuk menjamin mutu dan keamanan produk yang
dihasilkannya. Sistem ISO 22000 menggabungkan program-program persyaratan
dasar dan prinsip-prinsip Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
(BSN 2009). Sistem tersebut mampu mengidentifikasi, mengevaluasi dan
mengontrol setiap tahapan proses pengolahan yang rawan terhadap risiko bahaya
signifikan yang terkait dengan keamanan pangan (Codex Alimentarius
Commission 2001).
Produk utama yang dihasilkan PT Belfoods Indonesia adalah Chicken
nugget. Tahapan pengolahannya terdiri dari pembuatan adonan, pencetakan,
pemasakan, pembekuan, dan pengemasan. Proses pemasakannya dapat dilakukan
dengan penggorengan langsung pematangan (fully cooked) atau dengan dua
tahapan yaitu penggorengan awal (pre frying) dengan suhu 180-198 °C selama
30-45 detik dilanjutkan proses pematangan (fully cooked) dengan suhu 160-180
°C selama 10-15 menit (BBPP 2011). Pemusnahan mikroba patogen dan
pembusuk terjadi pada tahap ini karena suhu pemasakannya lebih dari 100 0C
(Toledo 1991). Akan tetapi, pada tahap pembekuan dan pengemasan dapat terjadi
rekontaminasi mikroba terhadap produk. Sumber rekontaminasi mikroba tersebut
berasal dari karyawan, mesin, dan lingkungan produksi.
Kontaminasi mikroba lebih sering menyebabkan terjangkitnya suatu
penyakit pangan (FSA 2008). Penyakit pangan dapat dihindari dengan menjamin
keamanan pangannya. Menurut Dewanti (2006), keamanan pangan didefinisikan
sebagai terkendalinya bahaya kontaminasi fisik, kimia, dan mikroba pada pangan.
Bahaya kontaminasi mikroba pada chicken nugget akan diminimalkan oleh
konsumen melalui tahap penggorengan sebelum dikonsumsi. Namun demikian,
Cara-Cara Produksi yang Baik (CCPB) atau Good Manufacturing Practices
(GMP) wajib diterapkan industri pangan untuk mencegah penyimpangan mutu
sejak awal produksi (Suratmono 2005).
Kegiatan sanitasi yang efektif merupakan salah satu hal yang perlu
diperhatikan dalam penerapan GMP (BPOM 2005). Menurut Schmidt (2011),
proses sanitasi yang efektif terhadap karyawan, mesin, dan lingkungan produksi
dapat meminimalkan jumlah mikroba awal produk. Efektivitas dari proses sanitasi
dapat diukur melalui deteksi jumlah mikroba pada telapak tangan karyawan,
mesin dan lingkungan produksi khususnya area pembekuan dan pengemasan
setelah dilakukan proses sanitasi. Mikroba indikator yang digunakan adalah
koliform dan E. coli serta Total plate Count (TPC). Koliform merupakan suatu
grup bakteri yang digunakan sebagai indikator adanya polusi kotoran dan kondisi
sanitasi yang tidak baik terhadap air dan makanan (susu dan produk-produknya).
E. coli disebut juga koliform fekal karena terdapat pada kotoran manusia (Fardiaz
dan Jenie 1989). Kedua jenis bakteri indikator ini merupakan bakteri yang paling
sering digunakan sebagai parameter sanitasi dan keamanan pangan.

2

Tujuan Umum Penelitian
Mengevaluasi efektivitas program sanitasi karyawan, peralatan, dan
lingkungan pada proses produksi chicken nugget di PT Belfoods Indonesia.

Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pemahaman karyawan
mengenai higiene dan sanitasi, mengevaluasi efektivitas sanitasi karyawan,
mengevaluasi efektivitas sanitasi mesin, mengevaluasi efektivitas sanitasi
ruangan, serta mengevaluasi kualitas mikroba produk akhir setelah pemasakan
dan pembekuan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai sumber
informasi terhadap perusahaan mengenai efektivitas sanitasi yang telah diterapkan
terutama di area pembekuan dan pengemasan.

TINJAUAN PUSTAKA
Chicken nugget
Pengertian
Menurut Badan Standar Nasional (2002), chicken nugget (naget ayam)
adalah produk olahan ayam yang dicetak, dimasak dan dibekukan, dibuat dari
campuran daging ayam giling yang diberi bahan pelapis dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan.
Umumnya nugget berbentuk pipih, bulat, kotak, atau bentuk lain yang menarik
perhatian anak-anak (seperti huruf atau hewan). Standar mutu nugget diatur dalam
SNI 01-6683-2002 (Lampiran 1).
Proses Produksi
Beberapa tahapan dalam pembuatan nugget yaitu: formulasi adonan,
penggilingan, penambahan bahan tambahan, pencetakan, coating (battering dan
breading), penggorengan, pembekuan dan pengemasan (BBPP 2011).
Penggorengan nugget dapat dilakukan dengan satu tahapan, yaitu penggorengan
langsung pematangan (fully cooked) atau dua tahapan yaitu penggorengan awal
(pre frying) dilanjutkan dengan pematangan (fully cooked) dengan suhu dan waktu
yang berbeda. Suhu penggorengan awal berkisar 180-198 °C selama 30-45 detik,
sedangkan suhu pematangan adalah 160-180 °C selama 10-15 menit.
Penggorengan awal berfungsi untuk melekatkan bahan coating sedangkan
pematangan berfungsi untuk mematangkan. Selanjutnya, nugget yang telah beku
dikemas dalam wadah tertutup rapat, tidak dipengaruhi atau mempengaruhi isi,
aman selama penyimpanan dan distribusi (BSN 2002).

3

Sanitasi
Pengertian
Sanitasi berasal dari kata Latin sanitas yang memiliki arti sehat (Marriot dan
Gravani 2006). Sanitasi dijalankan untuk menghilangkan kontaminan pada
pangan dan mesin pengolahannya serta mencegah terjadinya kontaminasi kembali
maupun kontaminasi silang pada pangan (Winarno 2004). Kontaminan pada
pangan dapat berupa kontaminan fisik, kimia, dan mikroba. Menurut FSA (2008),
kontaminasi mikroba lebih sering menyebabkan terjangkitnya suatu penyakit
pangan. Program higiene dan sanitasi yang efektif merupakan kunci untuk
mengontrol pertumbuhan mikroba pada pangan (Winarno 2004).
Higiene personal
Higiene adalah kebiasaan seseorang untuk menjaga kebersihan diri sebagai
salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit baik pada dirinya atau orang lain
(Troller 1983). Menurut Rose (2011), higiene personal adalah suatu tindakan
untuk mencegah terjadinya penyakit pada diri sendiri dan orang lain sebagai
upaya untuk menjaga higienitas produk.
Pekerja yang menangani makanan dalam suatu industri pangan merupakan
sumber kontaminasi yang penting karena kandungan mikroba patogen pada
manusia dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan. Manusia
yang sakit merupakan sumber potensial kontaminasi mikroba. Pada umumnya,
mereka tidak dibenarkan untuk mempersiapkan makanan hingga benar-benar
sembuh. Manusia yang sehat juga merupakan sumber potensial mikroba seperti
Staphylococcus aureus, Salmonella, Clostridium perfringens, dan enterokoki.
Gerakan-gerakan tangan yang tidak disadari seperti menggaruk kulit,
menggosok hidung, merapikan rambut, menyentuh pakaian, dan hal lainnya yang
serupa memiliki andil yang besar dalam peluang melakukan perpindahan
kontaminan dari manusia ke makanan (Jenie 1988). Sanitasi pada tangan pekerja
diperlukan untuk meminimalkan bahkan mencegah perpindahan kontaminan ke
makanan. Sanitasi yang dapat dilakukan yaitu penggunaan sarung tangan dan
penggunaan sanitiser seperti penyemprotan alkohol atau pencucian dengan
senyawa klorin. Namun, penggunaan sarung tangan tidak menghindarkan
karyawan dari keharusan mencuci tangan (Winarno 2004). Pencucian tangan
harus selalu dilakukan sebelum dan setelah memasuki area produksi dan
melakukan pekerjaan lain yang mungkin dapat menyebabkan kontaminasi.
Alkohol yang efektif digunakan untuk sanitasi tangan adalah alkohol 70% karena
protein mikroba akan mudah terdenaturasi dengan adanya air dan tidak
menyebabkan kulit kering dan iritasi (Simonne 2011).
Anggota tubuh yang tidak bersentuhan langsung dengan produk dapat
menyebabkan kontaminasi terhadap produk. Terdapat berbagai jenis bakteri pada
mulut, hidung, dan tenggorokan manusia normal. Bakteri tersebut diantaranya
Staphylococcus aureus, Fusobacterium fusiforme, Corynebacterium diphteriae.
Bakteri-bakteri tersebut dapat ditularkan oleh pekerja ke makanan. Oleh karena
itu, perlu penggunaan masker untuk menutup mulut dan hidung selama
menangani makanan.

4

Sanitasi Lingkungan Produksi
Lingkungan produksi harus dijaga agar selalu bersih. Lantai, langit-langit,
dinding, dan ventilasi harus dirancang tidak menyebabkan akumulasi kotoran dan
mudah dibersihkan (Winarno 2004). Lantai dan dinding harus terbuat dari bahan
yang mudah dipel dengan desinfektan.
Indikator kebersihan ruang produksi dapat berupa densitas mikroba pada
ruangan tersebut. Udara tidak mengandung mikroflora secara alami. Akan tetapi,
adanya tetesan air, pergerakan udara dari ventilasi, debu dari sepatu, pakaian, dan
benda-benda yang diangkut masuk ke dalam ruang produksi dapat mengakibatkan
udara mengandung mikroba yang selanjutnya dapat mengkontaminasi produk
(Jenie 1988). Mikroorganisme yang banyak terdapat di udara merupakan
mikroorganisme yang tahan terhadap keadaan kering (Fardiaz dan Jenie 1989).
Proses sanitasi yang dilakukan dengan frekuensi konsisten dapat menurunkan
jumlah cemaran mikroba di udara (Sanz et al. 2011).
Sanitasi Peralatan Produksi
Peralatan produksi yang kontak langsung dengan makanan merupakan salah
satu sumber kontaminasi sehingga harus mudah dibersihkan dan terbuat dari
bahan yang tahan karat (Soekarto 1990). Menurut Jenie (2007) cemaran yang
tertinggal pada peralatan produksi mengandung senyawa-senyawa nutrien bagi
mikroorganisme. Deposit cemaran tersebut harus dihilangkan dengan proses
pembersihan dan proses sanitasi. Proses pembersihan bertujuan untuk
menghilangkan kotoran fisik sedangkan proses sanitasi bertujuan untuk
membunuh mikroorganisme yang berada di permukaan peralatan produksi.
Proses pembersihan dilakukan dengan menggunakan bahan pembersih.
Bahan pembersih merupakan suatu bahan yang dapat menurunkan tegangan
permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran (Marriot 1999). Suatu bahan
pembersih memiliki tujuan spesifik, misalnya untuk pembersihan lantai dan
dinding, penggunaan pencucian bertekanan tinggi, sistem pembersihan CIP dan
tujuan lainnya. Jenis bahan pembersih adalah sebagai berikut:
a. Bahan pembersih basa
Basa adalah bahan bahan pembersih utama yang paling banyak digunakan
dalam formula bahan pembersih. Basa bergabung dengan lemak untuk
membentuk sabun dan dengan protein untuk membentuk senyawa yang mudah
larut dalam air (Elliot 1980). Menurut Holah (2005), basa adalah bahan pembersih
yang sangat bermanfaat karena harganya murah, mampu memecah protein melalui
aksi ion hidroksil, mensaponifikasi lemak, dan pada konsentrasi tinggi dapat
bersifat bakterisidal. Bahan pembersih basa dibagi menjadi dua yaitu bahan
pembersih basa kuat dan bahan pembersih basa lemah. Basa kuat dengan jumlah
pemakaian 1-5% yang berfungsi untuk membersihkan lemak dan protein serta
memberikan pH alkali sedangkan basa lemah dengan jumlah pemakaian 1-10%
yang berfungsi untuk membersihkan kotoran lemak dengan sistem CIP.
b. Bahan pembersih asam
Bahan pembersih asam digunakan untuk melarutkan mineral (Elliot 1980).
Menurut Holah (2005), bahan pembersih asam memiliki sedikit sifat detergensi,
meskipun demikian bahan pembersih asam sangat bermanfaat dalam pelarutan
mineral. Bahan pembersih asam juga dibagi menjadi dua yaitu bahan pembersih
asam kuat dan bahan pembersih asam lemah.

5

Mikroorganisme turut terbuang selama proses pembersihan. Namun
demikian, proses sanitasi dengan sanitizer diperlukan untuk menghilangkan sisasisa mikroorganisme. Jenis, konsentrasi, dan suhu sanitiser serta metode
penggunaannya tergantung pada jenis peralatan dan mikroorganisme yang akan
dihilangkan. Menurut teknik penggunaannya, jenis sanitiser dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu pemanasan dengan uap panas dan air panas, radiasi dengan
ultraviolet, serta penggunaan bahan kimia. Menurut Fardiaz dan Jenie (1989),
teknik radiasi lebih jarang digunakan dibandingkan dengan pemanasan dan
penggunaan bahan kimia. Jenis sanitizer kimia dikelompokkan menjadi senyawasenyawa klorin, senyawa ammonium quaterner, iodofor dan senyawa amfoterik
(Jenie 1988). Menurut Marriot 1999, senyawa klorin mampu bereaksi dengan
cepat, mampu membunuh semua sel vegetatif, dan harganya yang relatif lebih
murah dibandingkan iodophor dan ammonium quarterner. Senyawa iodophor
memiliki sifat yang hampir mirip dengan klorin namun memiliki konsentrasi yang
lebih pekat. Senyawa ammonium quaterner lebih stabil di dalam bahan organik
dibandingkan dengan iodophor dan klorin. Senyawa ini efektif untuk membunuh
bakteri gram positif.

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, mulai pada tanggal 25 Februari
2013 hingga 25 Juni 2013 dengan jam kerja menyesuaikan kebutuhan penelitian
dan kebijakan perusahaan. Penelitian ini dilaksanakan di PT Belfoods Indonesia,
Perum Citra Indah Kav. PA 1&2 Jl.Raya Jonggol KM 23,3 Bogor, Jawa Barat.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah Buffered Pepton Water (BPW), Trypticase
Soy Broth (TSB), Plate Count Agar (PCA), Briliance Agar (Oxoid), Nutrient
Agar (NA), akuades, dan alkohol 70%. Alat yang digunakan antara lain:
kuesioner, stopwatch, cotton swab, tabung reaksi dan penutup, rak tabung reaksi,
cawan petri, pipet mohr, erlenmeyer, gelas ukur, plastik, aluminium foil, kapas,
tisu, sudip, keranjang, gunting, spidol, timbangan, autoklaf, oven, keranjang,
bunsen, tube sheaker, dan inkubator.
Metode
Evaluasi Pemahaman Karyawan Area Pengemasan Mengenai Higiene dan
Sanitasi
Evaluasi pemahaman karyawan mengenai higiene dan sanitasi dilakukan
dengan metode kuesioner. Kuesioner tersebut berisi pertanyaan yang berhubungan
dengan higiene dan sanitasi (Lampiran 1). Kuesioner ini merupakan kuesioner
dengan pilihan berganda. Setiap pilihan memiliki bobot nilai, yaitu (a) bernilai 1

6

yang artinya tidak paham; (b) bernilai 2 yang artinya cukup paham; (c) bernilai 3
yang artinya paham; dan (d) bernilai 4 yang artinya sangat paham. Selanjutnya
data dianalisis menggunakan Microsoft excel. Responden merupakan karyawan
yang berada di area pengemasan terutama karyawan yang kontak secara langsung
dengan produk. Total responden sebanyak 92 orang. Responden diberi waktu
pengisian kuesioner selama 5 menit.
Evaluasi Efektivitas Sanitasi Personal di Area Pengemasan
Evaluasi ini dilakukan dengan menganalisis jumlah mikroba pada telapak
tangan karyawan area pengemasan terutama yang bersentuhan langsung dengan
produk. Karyawan yang dianalisis jumlah mikroba telapak tangannya sebanyak 12
orang. Terdapat enam perlakuan, yaitu sebelum penyemprotan alkohol, 0 menit
setelah disemprot alkohol, 5 menit setelah disemprot alkohol, 10 menit setelah
disemprot alkohol, 15 menit setelah disemprot alkohol, 0 menit setelah disemprot
alkohol kembali. Alkohol yang digunakan adalah alkohol 70%. Parameter
mikroba yang diamati adalah TPC, Koliform, dan E. coli.
Analisis jumlah mikroba dilakukan dengan metode usap, yaitu dengan
mencelupkan cotton swab ke dalam 10 ml larutan pembilas TSB steril.
Selanjutnya, cotton swab tersebut diusapkan ke seluruh permukaan telapak tangan
karyawan area pengemasan dengan asumsi luas permukaan telapak tangan
karyawan adalah 100 cm2. Setelah itu, cotton swab dimasukkan ke dalam larutan
pembilas. Masing-masing 1 ml dan 0,1 ml larutan pembilas tersebut dimasukkan
ke dalam cawan petri steril kemudian dituangi ±20 ml media PCA untuk analisis
TPC dan pada cawan yang berbeda dituangi Briliance agar untuk analisis
koliform dan E. coli. Cawan petri tersebut kemudian digoyang-goyang agar
merata. Setelah media memadat, cawan petri tersebut dibalik dan diinkubasi pada
suhu 36 0C selama 24 jam. Koloni koliform berwarna merah muda dan E. coli
berwarna violet pada media Briliance agar. Jumlah koloni (cfucm-2) dihitung
setelah masa inkubasi dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan: C = Jumlah koloni pada cawan petri (25-250 koloni)
(*) = Volume larutan pembilas
(**) = Luas permukaan yang diusap
Efektivitas Sanitasi Mesin di Area Pemasakan dan Pengemasan
Mesin-mesin yang dievaluasi efektivitas sanitasinya, antara lain: mesin
penggorengan yang permukaannya terbuat dari teflon, konveyor mesin
pemasakan, konveyor mesin pembekuan, keluaran mesin pembekuan (decline),
dan bak penampung yang terbuat dari stainlessteel. Proses sanitasi mesin yang
sesuai peraturan perusahaan, yaitu penggunaan bahan pembersih (alkali kuat 15%) dan bahan sanitizer (ammonium quaterner 0,4-0,8%) pada semua mesin
kecuali mesin pembekuan yang disanitasi dengan air hangat (±55 0C) dan
penggunaan kaustik soda pada mesin penggorengan. Evaluasi efektivitas sanitasi
dilakukan dengan mengevaluasi jumlah mikroba permukaan mesin setelah
dilakukan proses sanitasi dengan metode usap.

7

Efektivitas Sanitasi Area Pemasakan dan Pengemasan
Evaluasi efektivitas sanitasi area pemasakan dan pengemasan dilakukan
dengan menghitung densitas mikroba udara di area pemasakan dan pengemasan
dengan metode cawan terbuka. Cawan yang berisi media NA yang telah memadat
dibiarkan terbuka selama 30 menit di titik yang telah ditentukan kemudian cawan
tersebut diinkubasikan pada suhu 36 0C selama 24 jam dengan posisi terbalik.
Selanjutnya dilakukan perhitungan koloni mikroba (cfu90-1 mm-230-1 menit -1).
Evaluasi Jumlah Mikroba pada Produk Akhir Setelah Pemasakan dan
Pembekuan
Evaluasi jumlah mikroba pada produk akhir dilakukan terhadap produk
yang telah melalui pemasakan dan berada di bak penampung pada menit ke 0, 10,
dan 15. Parameter mikroba yang diuji adalah TPC, koliform, dan E. coli.
Sebanyak 25 gram produk dimasukkan ke dalam 250 ml larutan BPW kemudian
dikocok-kocok untuk menghasilkan suspensi sampel. Suspensi sampel tersebut
kemudian dipipet sebanyak 1 ml ke dalam 9 ml larutan pengencer steril untuk
pengenceran 10-2. Dari pengenceran tersebut dipipet 1 ml untuk pemupukan 10 -2
dan 0,1 ml untuk pemupukan 10 -3 ke dalam cawan petri. Selanjutnya, masingmasing cawan petri tersebut dituangi ± 20 ml media PCA untuk analisis TPC dan
pada cawan yang berbeda dituangi Briliance agar untuk analisis koliform dan E.
coli. Cawan petri kemudian digoyang-goyang. Setelah media memadat, cawan
petri tersebut dibalik dan diinkubasi pada suhu 36 0C selama 24 jam. Koloni yang
berwarna merah muda merupakan koloni koliform sedangkan koloni yang
berwarna violet merupakan koloni E. coli. Perhitungan jumlah koloni (cfug -1)
dilakukan setelah masa inkubasi dengan rumus sebagai berikut (BAM 2001):
Keterangan: C = Jumlah koloni pada cawan petri (25-250 koloni)
FP= Faktor pengenceran
n= Jumlah cawan yang ditumbuhi mikroba

HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Pemahaman Karyawan Area Pengemasan Mengenai Higiene dan
Sanitasi
Hasil survei menunjukkan bahwa sudah lebih dari 50% responden
menyatakan sangat paham mengenai sanitasi dan personal higiene (Tabel 1).
Responden telah memahami bahwa sanitasi bukan sekedar membersihkan
melainkan juga mencegah dan memelihara semua bagian dari adanya kotoran atau
kontaminasi. Responden juga telah memahami bahwa higiene personal adalah
tindakan untuk mencegah terjadinya penyakit pada diri sendiri dan orang lain
sebagai upaya untuk menjaga higienitas produk (Rose 2011). Tingkat pemahaman
responden terhadap sanitasi dan higiene personal tersebut sejalan dengan tingkat
kesadaran responden terhadap tanggung jawab untuk menjaga kebersihan area
produksi. Hasil survei menunjukkan sebanyak 57,61% responden sangat
memahami bahwa kebersihan area produksi adalah tanggung jawab semua orang

8

yang berada di area produksi baik tingkat operator, leader, supervisor, bahkan
manajer semua departemen.
Hasil survei menunjukkan bahwa sudah lebih dari 50,00% responden sangat
memahami fungsi dari adanya peraturan-peraturan GMP dan personal hygiene
untuk mencegah kontaminasi ke produk (Tabel 1). Akan tetapi, responden yang
sangat memahami fungsi dari adanya peraturan pemakaian seragam untuk
mencegah kontaminasi ke produk dan jadwal pemakaiannya hanya 42,39%.
Sisanya hanya memiliki pemahaman sebatas mengetahui fungsinya saja tanpa
mengetahui jadwal pemakaiannya atau sebaliknya, bahkan masih ada yang tidak
mengetahui samasekali mengenai peraturan pemakaian seragam. Menurut
Winarno (2004), pakaian kerja yang selesai dipakai harus dicuci bersih dan tidak
boleh dipakai berulang tanpa pencucian. Baju seragam yang selalu bersih akan
mencegah kontaminasi patogen dan fisik ke dalam makanan (Rose 2011).
Apabila terkena penyakit menular selama melakukan proses produksi maka
karyawan harus ijin untuk tidak melakukan proses produksi. Hal ini dikarenakan
orang yang menderita penyakit menular seperti TBC, demam, flu, penyakit kulit
dan sebagainya dapat mengkontaminasi makanan bila diijinkan untuk
menanganinya (Jenie 1988). Hasil survei menunjukkan bahwa semua responden
paham untuk segera ijin tidak melakukan proses produksi jika terkena penyakit
menular walaupun tidak semua memahami tujuannya.
Tabel 1 Pemahaman karyawan mengenai higiene dan sanitasi
Persentase (%)
No
Aspek penilaian
Tidak Cukup
Sangat
Paham
paham paham
paham
1 Pengetahuan mengenai sanitasi
5,43
4,35
40,22 50,00
2 Pengetahuan mengenai personal 18,48
4,35
7,61
69,57
hygiene
3 Pengetahuan mengenai fungsi dari 0,00
2,17
28,26 70,65
penggunaan hairnet, masker, dan
sarung tangan
4 Pengetahuan mengenai fungsi dari 3,26
41,3
13,04 42,39
penomoran baju 1 dan 2
5 Pengetahuan mengenai fungsi dari 1,09
3,26
10,87 84,78
pencelupan boot, pencucian tangan
dengan sabun sebelum memasuki
ruang produksi dan atau setelah dari
toilet ke dalam larutan klorin serta
penyemprotan
alkohol
atau
mencuci tangan dengan klorin
setiap 15 menit sekali dan pada saat
mulai kotor
6 Pengetahuan mengenai fungsi dari 1,09
4,35
16,3
78,26
pelarangan
berkuku
panjang,
berjanggut
panjang,
berambut
panjang, pemakaian perhiasan dan
make up

9

(Lanjutan) Tabel 2 Pemahaman karyawan mengenai higiene dan sanitasi
7

Kesadaran mengenai tanggung
jawab terhadap kebersihan area
produksi
Pencegahan yang harus dilakukan
jika mengalami penyakit kulit di
tangan atau flu selama berada di
pabrik

8

1,09

5,43

35,87

57,61

0,00

10,87

5,43

83,7

Berdasarkan Gambar 1, hampir 100% responden yang belum mengikuti
pelatihan menyatakan sangat paham mengenai higiene dan sanitasi. Hal tersebut
dapat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya yaitu SMA. Namun
demikian, pelatihan mengenai sanitasi dan higiene personal masih perlu dilakukan
secara berkala dan konsisten dengan penyampaian materi yang lebih mudah
dimengerti oleh karyawan. Hal ini dikarenakan persentase responden yang sudah
pernah mengikuti pelatihan dan menyatakan tidak paham mengenai higiene dan
sanitasi lebih banyak dibandingkan responden yang belum pernah mengikuti
pelatihan. Menurut Mclntyre et al. (2013) pelatihan mengenai GMP dan personal
hygiene secara berkala dapat memperbaiki dan mempertahankan pemahaman
karyawan mengenai personal hygiene sehingga mereka tidak hanya sekedar
mematuhi peraturan saja, tetapi juga mengetahui maksud dan tujuannya.
91,67

Persentase (%)

100,00
80,00

65,26

60,00

40,00
20,00

3,92
0,00

10,17
2,08

Tidak
paham

Cukup
paham

20,64

Pernah ikut pelatihan
(n=86)
Belum pernah ikut
pelatihan (n=6)

6,25

0,00
Paham

Sangat
paham

Gambar 1 Hubungan antara tingkat pemahaman responden terhadap higiene dan
sanitasi dengan keikutsertaan pelatihan
Hasil survei menunjukkan bahwa tingkat pemahaman responden terhadap
higiene dan sanitasi dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya (Gambar 1). Hal
tersebut sejalan dengan hasil penelitian Mclntyre et al. (2013) yang menyatakan
tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat pemahaman responden terhadap
keamanan pangan termasuk di dalamnya higiene personal. Berdasarkan Gambar 1,
rata-rata responden yang sudah sangat memahami higiene dan sanitasi adalah
responden yang berlatarbelakang pendidikan SMA, kemudian SMP dan yang
paling sedikit SD.

Presentase (%)

10

80,00
70,00
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00

71,53
68,75
51,39
SD (n=18)

21,53
20,14
18,09
15,46
6,94
10,76
7,29
2,962,08
Tidak paham

Cukup
paham

Paham

SMP (n=36)
SMA (n=38)
Sangat
paham

Gambar 2 Hubungan antara tingkat pendidikan karyawan dengan rata-rata
persentase (%) tingkat pemahaman terhadap higiene dan sanitasi

Evaluasi Efektivitas Sanitasi Personal di Area Pengemasan
Sebelum dilakukan penyemprotan alkohol, jumlah TPC dan koliform
telapak tangan karyawan berada di atas standar internal perusahaan, kecuali E.
coli (Gambar 3). Standar internal perusahaan, yaitu 100 cfucm-2 TPC serta 0
cfucm-2 untuk koliform dan E. coli. Jumlah TPC dan koliform yang cukup tinggi
pada telapak tangan yang belum melalui penyemprotan alkohol dapat berasal dari
aktivitas-aktivitas sebelumnya seperti makan, minum, memegang handle pintu,
dan aktivitas dari toilet. Aktivitas dari toilet memiliki andil yang besar dalam
menyebabkan telapak tangan mengandung bakteri koliform. Hal ini dikarenakan
koliform merupakan salah satu bakteri indikator sanitasi yang hidup pada usus
manusia maupun hewan berdarah panas yang akan keluar melalui feses dan
menyebar melalui air (Kusumaningrum 2007).
Setelah dilakukan penyemprotan alkohol 70%, jumlah TPC dan koliformnya
berada di bawah standar internal perusahaan (Gambar 3). Total bakteri yang
terdapat pada tangan para karyawan mengalami penurunan hingga rata-rata
97,70% setelah dilakukan penyemprotan alkohol 70%. Hal ini sesuai dengan
Maksum et al. (2007) yang menyatakan bahwa persentase pengurangan total
bakteri pada tangan para responden setelah diberi perlakuan hand sanitizer yang
mengandung alkohol 70% adalah berkisar 93,41%-98,93%. Menurut Larson
(1995), alkohol bertindak sebagai antimikroba dengan cara mendenaturasi protein
bakteri sehingga dapat mengganggu metabolismenya. Alkohol dengan konsentrasi
70% paling efektif untuk sanitizer telapak tangan. Selain tidak menyebabkan kulit
kering dan iritasi, potensinya untuk mendenaturasi protein semakin tinggi karena
protein akan lebih mudah terdenaturasi jika terdapat air (Simonne 2011).
Terjadi peningkatan jumlah TPC pada menit ke-5, ke-10, dan ke-15 setelah
dilakukan penyemprotan alkohol. Bahkan, koliform ditemukan 5 cfucm-2 dengan
standar deviasi 4 pada menit ke-15 setelah dilakukan penyemprotan alkohol.
Peningkatan jumlah mikroba pada telapak tangan dapat disebabkan oleh aktivitas
selain memegang produk selama proses produksi seperti mengusapkan tangan ke
baju, mengambil kemasan, dan menuang produk dari dalam kantong ke dalam

11

bak. Menurut Jenie (1988), kulit manusia yang bersih tidak pernah terbebas dari
bakteri, apalagi kulit yang tidak bersih akan membawa berbagai macam dan
jumlah mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut kemudian akan mendapatkan
nutrisi dari chicken nugget yang dikemas dengan tangan sehingga akan semakin
meningkat jumlahnya apabila tidak dilakukan proses sanitasi dengan alkohol.
Setelah penyemprotan alkohol kembali, TPC telapak tangan karyawan
mendekati 0 cfucm-2 dan tidak ditemukan koliform dan E. coli. Berdasarkan hal
tersebut, peraturan penyemprotan alkohol setiap 15 menit sekali efektif untuk
menurunkan jumlah mikroba telapak tangan. Akan tetapi, berdasarkan hasil
pengamatan terhadap kebiasaan karyawan area pengemasan yang bersentuhan
langsung dengan produk selama dua jam, peneyemprotan alkohol dilakukan 30
menit sekali. Selama ini, yang bertugas melakukan penyemprotan alkohol adalah
operator sanitasi yang juga bertanggungjawab membersihkan area pengemasan.
Hal inilah yang menyebabkan peraturan ini belum dilakukan secara konsisten.
Agar penyemprotan alkohol setiap 15 menit sekali dapat dilakukan secara
konsisten, operator sanitasi perlu diberi tanda pengingat berupa alarm.
Setiap individu memiliki jumlah TPC dan koliform yang bervariasi. Hal
tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai standar deviasi. Standar deviasi
merupakan penyimpangan data dari rata-rata hitungnya. Menurut Sudjana (2006),
semakin besar nilai standar deviasi maka semakin besar penyimpangan data dari
rata-rata hitungnya. Sebaliknya, semakin kecil nilai standar deviasi, maka semakin
kecil penyimpangannya. Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah mikroba yang
bervariasi ini dapat disebabkan oleh adanya aktivitas yang beragam di antara
individu.
400

cfucm-2

300
200
100
0
a
-100

b

c

TT

TPC

d
Perlakuan
Koliform

e
E. coli

Gambar 3 Jumlah mikroba telapak tangan karyawan di area pengemasan
Keterangan Gambar :
a : Sebelum penyemprotan alkohol
b : 0 menit setelah disemprot alkohol
c : 5 menit setelah disemprot alkohol
d : 10 menit setelah disemprot alkohol
e : 15 menit setelah disemprot alkohol
f : 0 menit setelah disemprot alkohol kembali
TT : tidak terdeteksi
n : 12

f

12

Efektivitas Sanitasi Mesin di Area Pemasakan dan Pengemasan
Jumlah mikroba di permukaan mesin produksi setelah melalui proses
sanitasi harus berada di bawah standar internal perusahaan, yaitu 100 cfucm-2
untuk TPC serta 0 cfucm-2 untuk koliform dan E. coli. Berdasarkan Tabel 2,
jumlah mikroba mesin penggorengan yang terbuat dari teflon dan konveyor mesin
pemasakan setelah proses sanitasi berada di bawah standar internal perusahaan
dan jumlahnya lebih sedikit dibanding ketiga mesin yang lain. Kedua mesin ini
digunakan untuk proses produksi yang menghasilkan suhu lebih dari 100 0C.
Kotoran yang dihasilkan kedua mesin ini berupa kotoran fisik yang mengandung
lemak dan protein, bahkan dihasilkan kerak pada mesin penggorengan. Oleh
karena itu, proses pembersihan mesin penggorengan menggunakan kaustik soda
sedangkan mesin pemasakan menggunakan bahan pembersih alkali kuat. Kaustik
soda dapat melakukan proses pembersihan dengan cara mengemulsi dan
menyaponifikasi lemak, memperluas permukaan kotoran dan hidrolisa protein,
melarutkan karbohidrat, dan menghancurkan bahan-bahan yang sukar larut
(Austin 1996). Hasil pengamatan sebanyak lima kali, menunjukkan bahwa proses
sanitasi yang dilakukan terhadap kedua mesin ini telah sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses
sanitasi pada kedua mesin efektif untuk menurunkan jumlah mikroba
permukaannya.
Tabel 3 Jumlah mikroba (cfucm-2) mesin produksi setelah proses sanitasi
Mesin

Parameter

Selang

Penggorengan
yang terbuat
dari teflon

TPC
Koliform
E. Coli
TPC
Koliform
E. Coli
TPC
Koliform
E. Coli
TPC

1 - 13
TT
TT
1 - 58
TT
TT

± SD
3,80±5,22
TT
TT
15,60±23,92
TT
TT

8 - (>2,5x102)
(TT) - 19
TT

(>2,5x102)
9,60±8,44
TT

1 - (>2,5x102)

(>2,5x102)

Konveyor
mesin
pemasakan
Konveyor
mesin
pembekuan
Keluaran
mesin
pembekuan

Koliform (TT) - (>2,5x102)
(>2,5x102)
E. Coli
TT
TT
TPC
2 - (>2,5x102)
(>2,5x102)
Bak
Koliform
19,60±42,17
(TT) - 95
Penampung
E. Coli
TT
TT
Keterangan: TT : Tidak ditemukan tumbuh dalam media
n:5
Berdasarkan Tabel 2, rata-rata jumlah E. coli pada konveyor mesin
pembekuan setelah proses sanitasi berada di bawah standar internal perusahaan,
namun rata-rata jumlah TPC dan koliform masih berada di atas standar internal

13

perusahaan dengan standar deviasinya yang cukup tinggi (Tabel 2). Berdasarkan
hasil pengamatan, proses sanitasi konveyor mesin pembekuan telah sesuai dengan
peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan, yaitu menggunakan air hangat (±55
0
C). Hal ini menunjukkan bahwa proses sanitasi yang dilakukan belum efektif
untuk menurunkan jumlah mikroba pada konveyor mesin pembekuan karena hasil
analisis mikroba permukaannya masih berada di atas standar internal perusahaan.
Menurut Taormina (2007), air panas (±82 0C) lebih banyak mereduksi bakteri
dibandingkan dengan air hangat (±55 0C) dan tidak berbeda nyata dengan
pembersihan menggunakan bahan kimia ammonium quaterner. Penggunaan
sanitizer bahan kimia untuk dapat menurunkan mikroba pada konveyor mesin
pembekuan lebih disarankan karena jika suhu air dinaikkan dapat merusak mesin
tersebut.
Keluaran mesin pembekuan serta bak penampung memiliki proses sanitasi
yang sama, yaitu dibersihkan dengan bahan pembersih alkali kuat kemudian
dengan bahan sanitizer ammonium quaterner. Ammoium quaterner memiliki
kemampuan sebagai bakterisida yang mampu membunuh sebagian besar
mikroorganisme, namunkurang efektif terhadap gram negatif (Jenie 1988).
Keefektifannya berkurang ketika ada bahan organik (Jenie 1988). Oleh karena itu,
dilakukan proses pembersihan terlebih dahulu dengan detergen alkali kuat. Ratarata jumlah mikroba di permukaan kedua mesin setelah melalui proses sanitasi
berada di atas standar internal perusahaan, kecuali untuk E. coli yang tidak
ditemukan (Tabel 2). Berdasarkan hasil pengamatan, hal tersebut diakibatkan tiga
dari lima kali pengamatan proses sanitasi keluaran mesin pembekuan dan bak
penampung belum sesuai dengan peraturan yang diterapkan oleh perusahaan.
Apabila proses sanitasinya dilakukan sesuai peraturan perusahaan, jumlah
mikrobanya mendekati 0 cfucm-2. Hal ini terlihat dari nilai terkecil selangnya
yang berada di bawah standar internal perusahaan (Tabel 2).

Efektivitas Sanitasi Area Pemasakan dan Pengemasan
Kotoran yang ada di lantai selama proses produksi adalah remahan chicken
nugget yang mengandung lemak dan tetesan air karena adanya lelehan air dari
mesin pembekuan. Kotoran tersebut dapat menyebabkan adanya mikroba di udara
(Jenie 1988). Kondisi lantai area pemasakan lebih berminyak dan berlemak
dibandingkan area pengemasan. Namun demikian, kisaran dan rata-rata densitas
udara area pemasakan lebih rendah dibandingkan area pengemasan (Tabel 3). Hal
tersebut dapat disebabkan jumlah orang dan kegiatannya di area pemasakan lebih
sedikit dibandingkan area pengemasan dan proses sanitasi lantai area pemasakan
menggunakan bahan pembersih yang konsentrasinya lebih tinggi.

14

Tabel 4 Rata-rata suhu (0C) dan densitas mikroba udara (cfu90-1 mm-230-1 menit -1)
area pemasakan dan pengemasan
Pemasakan
Pengemasan
Suhu
TPC
Suhu
TPC
Selang
16 - 19
2 - 53
36 - 40
3 - 31
± SD
Keterangan : n : 12

10,58±8,80

19,08±15,58

Proses sanitasi lantai area pemasakan dan pengemasan dilakukan dengan
mengepel lantai minimal dua kali per shift. Lantai dipel dengan bahan pembersih
yang mengandung bahan aktif alkali kuat yang mampu mengangkat kotoran
berupa lemak dan protein. Berdasarkan Tabel 3, proses sanitasi di area pemasakan
dan pengemasan yang dilakukan secara konsisten mampu menurunkan jumlah
mikroba udara hingga di bawah standar internal yang ditetapkan, yaitu 100 cfu901
mm-230-1 menit -1. Hal tersebut sesuai dengan Sanz et al. (2011) yang
menyebutkan bahwa frekuensi proses sanitasi yang konsisten pada area produksi
wine dapat menurunkan jumlah cemaran mikroba di udara.

Evaluasi Jumlah Mikroba pada Produk Akhir Setelah Pemasakan dan
Pembekuan
Produk yang telah melalui proses penggorengan dan pemasakan akan
memiliki jumlah mikroba yang rendah karena pada suhu di atas 100 0C (Tabel 5).
Pada suhu di atas 100 0C mikroba akan mati (Toledo 1991). Akan tetapi pada
menit ke- 0, yaitu setelah produk keluar dari mesin pembekuan memiliki rata-rata
jumlah TPC mencapai 3,0 log cfug -1 dan memiliki rata-rata koliform 1,0 log cfug-1
meskipun tidak ditemukan adanya E. coli (Tabel 3). Rekontaminasi tersebut dapat
terjadi karena proses sanitasi yang sebenarnya efektif untuk menurunkan jumlah
mikroba mesin, masih belum dilakukan secara konsisten. Lingkungan tidak
merekontaminasi karena densitas mikroba udara area pemasakan maupun
pengemasan sudah sesuai standar.
Tabel 5

Rata-rata jumlah mikroba produk akhir setelah pemasakan dan
pembekuan
TPC
(log cfug-1)

Koliform
(log cfug-1)

E. coli (25-1g-1)

Setelah pemasakan
Setelah pembekuan

1,8±0,6
3,0±0,1

TT
1,0±1,8

TT
TT

10 menit setelah pembekuan

3,3±0,1

1,0±0,9

TT

3,8±0,9

1,1±0,9

TT

Keterangan

15 menit setelah pembekuan
Keterangan : TT : Tidak terdeteksi

15

Menurut BPOM (2008), pengujian sampel makanan dan metode yang
digunakan akan selalu mengacu kepada persyaratan yang telah ditetapkan.
Parameter mikroba yang diuji pada produk chicken nugget dalam penelitian ini
adalah Angka Lempeng Total atau Total Plate Count, koloni koliform, dan koloni
E. coli. Metode yang digunakan untuk pengujian koliform dan E. coli tidak
menggunakan metode MPN seperti yang dipersyaratkan dalam SNI tetapi
menggunakan media selektif Briliance agar (Oxoid).
Media selektif Briliance agar merupakan media yang mengandung substrat
kromogenik yang dapat mendeteksi koliform dan E coli secara bersamaan (Oxoid
2011). Hal ini dikarenakan pada media tersebut terdapat dua macam kromogen
yang digunakan, yaitu kromogen yang dapat mendeteksi aktivitas enzim β-DGlucuronidase (GLUC) yang dihasilkan oleh E coli dan β-D-Galaktosidase (GAL)
yang dihasilkan oleh koliform (Kodaka et al. 1995). Subsrat kromogen yang
spesifik terhadap enzim GLUC akan menghasilkan warna violet sedangkan
substrat kromogen yang spesifik terhadap enzim GAL akan menghasilkan warna
merah muda. Berdasarkan hal tersebut, pada media ini koliform akan berwarna
merah muda sedangkan E. coli berwarna violet. Menurut Bio-Rad (2007), metode
enumerasi untuk koliform dan E. coli ini telah divalidasi oleh AOAC sehingga
dapat digunakan oleh industri pangan untuk pengujian koliform dan E. coli secara
cepat.
Hasil dari pengujian dengan metode agar cepat tidak dapat dikonversikan ke
hasil metode kualitatif begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, Indriani (2010)
menyebutkan bahwa metode cepat yang menggunakan medium Fluorocult LMX
broth, Chromocult Coliform Agar dan Readycult Coliform 100 terbukti dapat
memberikan hasil yang sebanding dengan metode APM konvensional dalam
pengujian E.coli di air proses PT. Yummy Food Utama dengan waktu analisa
yang lebih cepat dan prosedur kerja yang lebih sederhana. Selain itu, Chitov dan
Rattanachaiyanon (2010) telah melakukan analisis E. coli pada kultur murni,
pangan mentah dan pangan beku dengan metode MPN yang kemudian
dibandingkan dengan metode agar cepat. Media yang digunakan adalah TBX
yang selektif terhadap E. coli. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hasil
analisis E. coli pada pangan beku dengan metode agar cepat TBX sebesar 0–10
cfug-1, memberikan hasil antara < 3 MPNg-1 hingga 9,1 MPNg-1. Berdasarkan hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh produk yang memiliki jumlah
E. coli yang sesuai standar SNI (< 3 MPNg-1) maka pada hasil pengujian dengan
metode agar cepat harus 0 cfug-1 atau pada media tersebut tidak ditum