Evaluasi Efektivitas Sanitasi pada Area Pendinginan dan Pengemasan Pada Produksi Mi Instan di PT. X Ciawi –Bogor

(1)

THE EVALUATION OF SANITATION EFFECTIVENESS

ON COOLING AND PACKAGING AREAS

IN PT. X CIAWI-BOGOR

Ricky Gunawan Manurung1 , Sri Laksmi Suryaatmadja1, and Yus Elidawati Nasution2 1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

2

PT. X, Ciawi, Bogor

Phone: +6281375514408, E-mail: manurung_ricky007@yahoo.co.id

ABSTRACT

The research objectives were to evaluate the sources of recontamination product on cooling and packaging areas, the effectiveness of sanitation programs and personnel hygiene implemented in the cooling and packaging areas. The study was conducted at PT. X Ciawi, Bogor, from August through October 2011. The results of application of the basic requirements or CPMB indicated 5 deviations, ie, 4 minor nonconformances and 1 major nonconformance in the category rating of A (excellent). Employee understanding of hygiene and sanitation was good, showed by the questioners distributed to all employees. Microbiological recontamination sources of cooling area were found in the equipments such as conveyors, fans, and chains of cooling chamber unit. However the average number of TPC and mold were still under the internal standard (1.0 X 102 CFU/ml/cm2) established by the company. Contamination of yeast, E.coli and coliform were not found. On packaging area at the part of a tool such as conveyors, seasoning buckets and seal machine, the microbial contamination (TPC) was also found under the internal standard (1.0 X 102 CFU/ml/cm2). However other microbial contaminants such as mold, yeast, E.coli and coliform were negatives. Based on these findings, it can be concluded that the application of sanitation programs on the equipments of cooling and packaging areas were quite effective. Observation of air microbiological quality in the areas of cooling and packaging showed that contamination of TPC, molds and yeasts were under the internal standard (1.0 X 102 CFU/ml/cm2). Similar results were obtained from the cooling and packaging areas where the density of TPC, molds and yeasts were found, the values were under the internal standard (1.0 X 102 CFU / 15 minutes / 100cm2). The implementation of personnel hygine around cooling and packaging areas were effective shown by the data of equalize staphylococcus aureus and coliform were all negatives. The average amount of TPC contamination on the hands of employees were under the internal standard (1.0 CFU/ml/cm2 X 102), which indicated that personnel hygiene programs that had been implemented by the company were effective. In general it can be concluded that the implementation of GMP on particular areas of cooling and packaging at least as a basic requirements of the food industry had been met by PT. X


(2)

I.

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Mi instan telah dikonsumsi sebagai makanan pokok pengganti, oleh sebagian masyarakat dan merupakan jenis pangan yang luas penyebarannya (Haryadi, 1992). Hal ini disebabkan karena harganya relatif murah, nilai kalori cukup tinggi dan dapat diproduksi dalam berbagai bentuk yang menarik dan daya tahan yang cukup tinggi (Harper,et al,1979). Hal ini didukung juga oleh perilaku masyarakat yang cenderung menginginkan hal yang lebih praktis dalam mendukung kegiatan sehari-hari.

Salah satu produsen mi instan di Indonesia adalah PT. X. PT. X pada divisi mi telah beroperasi selama 18 tahun. Selama ini produk PT. X sudah memenuhi standar GMP (Good Manufacturing Practice) dan HACCP (Hazards Analysis and Critical Control Points) dan sudah menerapkan sistem ISO 22000 dan dalam implementasinya sudah mendapat sertifikasi dari badan sertifikasi HACCP tahun 2006 dari Lembaga Terpadu IPB dan ISO 22000 tahun 2009.

Meskipun demikian berdasarkan data dari QC (Quality Control) diperoleh informasi bahwa produk mi PT. X masih pernah ditemukan cemaran mikroba, namun masih sesuai standar SNI. Salah satu penyebab terjadinya cemaran mikroba pada produk mi adalah perilaku dari para karyawan yang dalam penerapan GMP dan HACCP seringkali masih kurang konsisten dalam pelaksanaannya, khususnya dalam masalah higiene dan sanitasi, sehingga permasalahan ini perlu dikaji ulang agar penerapan sanitasi lebih efektif dari yang ada sekarang.

Dalam industri pangan, khususnya industri mi instan, sanitasi yang baik menjadi hal yang sangat penting. Sanitasi yang tidak baik dapat memberikan efek yang tidak diinginkan terhadap produk pangan, dalam hal ini mi instan. Sanitasi juga berkaitan dengan masa simpan produk. Oleh karena itu, pelaksanaan sanitasi yang baik seyogianya menjadi perhatian utama dalam industri pangan. Sanitasi di industri pangan umumnya meliputi sanitasi peralatan atau mesin, sanitasi pekerja, dan sanitasi lingkungan. Pada industri mi instan, aplikasi sanitasi terutama pada tahap setelah proses penggorengan perlu dikendalikan dengan lebih baik mengingat produk sudah selesai diproses untuk mencegah terjadinya rekontaminasi pada produk. Rekontaminasi pasca proses pengolahan mie instan berpotensi terjadi pada tahap-tahap pendinginan dan pengemasan. Oleh karena itu, sanitasi fasilitas pendinginan dan pengemasan mi instan, lingkungan area dan penanganan (handling) oleh karyawan perlu dikendalikan dengan ketat agar tidak terjadi kontaminasi pada produk.

Evaluasi hasil pencucian dan sanitasi alat maupun mesin, higiene karyawan dan lingkungan merupakan hal yang menentukan terhadap kontrol kualitas dan keamanan mikrobiologi pada produk akhir. Oleh karena itu evaluasi efektivitas sanitasi pada alat dan mesin, higiene karyawan dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting dilakukan secara periodik.

1.2 TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mengevaluasi sumber-sumber rekontaminasi produk pada area pendinginan dan pengemasan,

(2) Mengevaluasi efektivitas sanitasi mesin dan peralatan serta ruangan pada area pendinginan dan pengemasan,


(3)

(3) Mengevaluasi efektivitas higiene karyawan dalam lingkungan penndinginan dan pengemasan,

1.3 MANFAAT

1) Diharapkan dapat memberikan pengetahuan praktis kepada calon sarjana teknologi pangan tentang sanitasi dan higiene pada titik-titik kritis

2) Sebagai bahan masukan bagi perusahaan dan memberi rekomendasi dalam penerapan higiene dan sanitasi yang efektif, khususnya setelah penggorengan pada area dimana produk telah selesai diproses (area pendinginan dan pengemasan) agar tidak terjadi rekontaminasi.


(4)

II.

PROFIL PERUSAHAAN

2.1

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN

2.1.1 Sejarah perusahaan

PT. X didirikan pada tahun 1983, merupakan salah satu dari tujuh anak perusahaan Wicaksana Grup yang bergerak dalam usaha distributor. Pada tahun 1988, PT X dialihkan ke produksi mi instan. Pabrik PT X didirikan di Ciawi, Bogor diatas tanah seluas 6 ha pada bulan Desember 1992. Pabrik mulai beroperasi pada bulan Juni 1993 dan dipasarkan di daerah JABODETABEK. Pada awal produksi, hanya diluncurkan lima flavour, yaitu dua flavour untuk mi kuah (Kari Masalla dan Sup Ayam Paris) dan tiga flavour untuk mi goreng (Manalagi, Goreng Jawa, Masalla). Saat ini PT X telah mengembangkan beberapa produk seperti mi cup dalam berbagai rasa, mi kering (mi telur), saus, kecap, dan produk yang terbaru adalah sosis siap makan.

Pabrik PT X juga didirikan di Tanjung Morawa, Medan, dan Surabaya tetapi hanya memproduksi tepung terigu dan mi instan saja, sedangkan bumbunya di pasok dari pabrik di Ciawi, Bogor. Selain untuk konsumsi dalam negeri, produk mi instan dari PT X juga diekspor ke beberapa negara seperti Malaysia, Thailand, Rusia, Belanda, Swedia, Singapura, Australia, dan Arab Saudi. Sampai saat ini, PT X telah semakin berkembang dengan didirikannya pabrik di Beijing, Kuala Lumpur, dan Seoul. Selain itu diproduksi pula snack, chilli sauce, terasi, dan juga sarden kaleng.

PT. X memiliki tujuan organisasi yang tertuang dalam kebijakan yang ditetapkan perusahaan. Dalam menjalankan usahanya, PT. X memiliki visi, yaitu menjadi salah satu “Food Marketing Company” terkemuka di Asia, pada tahun 2015. Misi dari PT. X untuk mencapai visi tersebut antara lain: (a) membentuk dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara berkesinambungan dan menghasilkan produk yang bermutu sesuai kebutuhan perusahaan, (b) mengembangkan jenis-jenis produk yang bermutu sesuai kebutuhan pasar dan (c) meningkatkan efisiensi dan produktivitas secara optimal.

2.1.2 Visi dan Misi

Visi dan misi tersebut didukung pula dengan komitmen perusahaan, yakni PT. X tidak akan menggunakan bahan yang haram/tidak jelas kehalalannya serta tidak akan memproduksi makanan dan minuman yang haram menurut syariat Islam. Perusahaan senantiasa akan mengikuti ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dalam memproduksi makanan dan minuman yang baik dan halal, dimana dalam implementasinya perusahaan telah mendapatkan sistem jaminan keamanan pangan dan sistem HACCP.

2.1.3 Lokasi Perusahaan

PT. X, yang berlokasi di Bogor terletak di Jl. Raya Ciawi-Sukabumi Km 2,5 Ciawi, dengan luas areal perusahaan sekitar 6 Ha dan luas bangunan pabrik 2,2 Ha serta sisanya adalah untuk


(5)

lapangan olahraga, pengolahan limbah, power house, mushola dan lain-lain. Ruang lingkup usaha PT. X adalah memproduksi mi instan dan bumbu untuk mi instan. PT. X Ciawi, Bogor dalam menjalankan usahanya memiliki lokasi yang cukup strategis, karena tidak terlalu jauh dari jalan Tol Jagorawi dan terdapat sarana transportasi yang cukup memadai, sehingga mempermudah distribusi.

Selain itu, lokasi pabrik berada di daerah yang cukup sejuk, sehingga hawa panas dari proses produksi tidak begitu terasa dan masih tersedia sumber air tanah dengan kualitas yang baik sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indoneia Nomor 907/ MENKES/ VIII/2002 mencakup persyaratan/paramater fisik, kimiawi, mikrobiologi dan kimia anorganik. Bangunan pabrik terdiri dari pos satpam, musholla, koperasi, kantor, gudang material, gudang terigu, gudang karton, gudang barang jadi, produksi mi, produksi bumbu, kantin, poliklinik, power house, workshop, serta areal limbah. Denah pabrik dapat dilihat pada (Lampiran 11).

2.1.4

Struktur Organisasi

Pimpinan tertinggi PT. X adalah direktur. Direktur membawahi semua departemen yang ada. Masing-masing departemen dipimpin oleh seorang manajer untuk bertanggung jawab langsung kepada direktur. Tugas dan wewenang dari masing-masing bagian dari struktur organisasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Direktur

a) Memimpin kegiatan operasional perusahaan.

b) Menetapkan dan menjalankan operasional perusahaan.

c) Memimpin dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas pada setiap bidang berdasarkan instruksi dari direktur.

d) Mengkoordinasi para kepala bagian pada bidang terkait untuk memimpin pelaksanaan tugas secara operasional.

e) Menerima laporan pelaksanaan tugas dari masing-masing manajer.

f) Menetapkan dan menjalankan fungsi manajemen perusahaan baik kedalam maupun keluar.

2. Manager

a). Purchasing and Traffic Manager

i Bertanggung jawab atas kelancaran lalu lintas barang antar seksi, serta pembelian bahan baku dari perusahaan lain.

ii Mengontrol dan memonitor serta menyediakan sarana untuk kelancaran produksi dan jalannya perusahaan.

b). HRM (Human Relation Manager)

Bertanggung jawab terhadap manajemen perusahaan dan hubungannya dengan masyarakat.

c). FAM (Finance Accounting Manager)

Bertanggung jawab dalam mengatur manajemen keuangan (mengontrol pemasukan dan pengeluaran uang)

d). MGM (Manufacturing General Manager)

Menjaga kelancaran proses produksi agar tercapai tingkat efisiensi yang tinggi. e). R&DM (Research and Development Manager)

i. Bertanggung jawab atas perkembangan produk serta pengawasan mutu. ii. Mencari dan meneliti formula agar diterima masyarakat.


(6)

i. Bertanggung jawab atas riset pasar, promosi dan penjualan produk secara umum ii. Mengendalikan dan memonitor pemasaran produk agar produk dapat laku

dipasaran.

g). FMMM (Factory Maintenance Machine Manager)

Bertanggung jawab atas penanganan dan pengembangan mesin serta ketersediaan suku cadang untuk kelangsungan proses produksi.

3. Kepala Bagian

a) Memimpin dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas operasional masing-masing pada bagian yang lebih spesifik.

b) Memberi masukan pada manajer tentang penilaian terhadap hasil kerja para karyawan pabrik yang berada pada bagian masing-masing.

4. Supervisor

a) Bertanggung jawab atas kelangsungan dan kelancaran kegiatan produksi pada seksi produksinya

b) Bersama-sama dengan operator lainnya menjamin kesinambungan dan kemantapan kerja seksi produksinya

2.2

RUANG LINGKUP USAHA

PT. X merupakan industri yang telah menghasilkan berbagai macam produk makanan antara lain mi instan dengan 52 jenis dimana 32 jenis rasa untuk pasar domestik dan 20 jenis rasa untuk pasar ekspor, 2 jenis mi telor, 5 jenis saos/sambal, 7 jenis makanan kaleng, 2 jenis kecap, dan 1 jenis untuk sosis siap makan. Adapun variasi rasa untuk mi instan antara lain rasa soto, ayam bawang, kari, goreng spesial, goreng ekstra pedas, kaldu ayam, soto cabe rawit, goreng jawa asli, goreng extra pedas

exclusive, soto cup rasa baso malang, soto cup rasa sup ayam, soto cup rasa sup jagung, soto cup rasa sup ayam susu, rasa assorted seafood, rasa black paper beef, rasa fried onion chicken, rasa curry, rasa ayam bawang pedas, rasa ayam lada hitam, rasa goreng ayam lada hitam, rasa soto cabe hijau, rasa goreng ayam panggang, mi soun rasa sup ayam jagung, mi soun rasa goreng sapi panggang, mi soun rasa goreng asam manis, rasa kaldu ayam. Sedangkan mi telor telor mempunyai variasi warna kuning dan warna merah

2.3

PROSES PRODUKSI

Proses produksi pembuatan mi instan (Syifa,1997) baik bentuk pillow maupun cup dapat dibagi menjadi delapan tahap, yaitu : pencampuran (mixing), pengepresan (pressing), pencetakan (slitting), pengukusan (steaming), pemotongan (cutting), penggorengan (frying), pendinginan (cooling), dan pengemasan (packing). Proses produksi yang terjadi dalam setiap tahap adalah sebagai berikut :

1. Pencampuran

Proses ini merupakan proses awal pembuatan mi instan, dimana bahan baku utama yaitu tepung terigu dan tepung tapioka dengan perbandingan tertentu kemudian dicampur dengan larutan alkali. Larutan alkali merupakan campuran garam, natrium karbonat, natrium tripolifosfat, guar gum, tartrazin, dan air. Pencampuran tepung terigu, tepung tapioka dan larutan alkali dilakukan untuk menghasilkan adonan yang homogen. Adonan yang telah homogen selanjutnya akan masuk ke proses pengepresan.


(7)

2. Pengepresan

Proses pengepresan adalah proses untuk membentuk adonan menjadi lembaran dengan melewatkan adonan pada beberapa roll press sampai mencapai ketebalan yang diinginkan dan siap untuk dicetak menjadi untaian mi. Pada akhir proses pengepresan akan terbentuk lembaran adonan yang halus, homogen, dan tidak terputus. Pembentukan lembaran yang baik juga ditunjang oleh panas yang timbul akibat pengepresan yang dilakukan..

3. Pencetakan

Pencetakan adalah suatu proses pemotongan lembaran adonan menjadi untaian mi kemudian siap dibentuk menjadi gelombang mi. Mi yang berbentuk gelombang akan mempercepat laju penguapan dan penggorengan karena adanya kondisi dan sirkulasi yang panas dari minyak didalamnya.

4. Pengukusan

Pada waktu pengukusan terjadi proses gelatinisasi pati dan koagulasi gluten dengan dehidrasi air yang akan menyebabkan kekenyalan mi dan ikatan menjadi keras dan kuat. Gelatinisasi pada saat pengukusan akan menyebabkan pati meliputi untaian mi. Fungsinya sebagai pelindung pada waktu penggorengan sehingga mi tidak menyerap minyak terlalu banyak serta dapat memberikan kelembutan mi. Tujuan lain dari pengukusan adalah agar mi tidak rapuh selama penggorengan. Dengan gelatinisasi yang sempurna akan diperoleh tekstur mi yang baik yaitu lembut, lunak, dan elastis.

5. Pemotongan

Pemotongan mi adalah pemotongan gelombang mi menjadi berbentuk mi balok untuk mi

pillow ataupun mi silinder untuk mi cup. Tujuan dari pemotongan adalah agar menyesuaikan bentuk mi (pillow maupun cup) dengan cetakan yang diinginkan.

6. Penggorengan

Tujuan dari penggorengan ini adalah untuk pemantapan dari pati tergelatinisasi dan untuk mengeringkan mi sehingga produk kerluar dengan kadar air sekitar 5%, mi menjadi matang, kaku, dan awet.

7. Pendinginan

Proses pendinginan adalah proses pengangkutan mi panas setelah proses penggorengan ke dalam ruangan pendinginan mi. Proses pendinginan ini akan menyebabkan pengerasan mi dan minyak yang terserap akan menempel kuat pada mi. Mi yang telah melalui mesin pendingin diharapkan telah mengalami pendinginan yang sempurna. Apabila pendinginan tidak sempurna maka uap air yang tersisa akan mengembun dan menempel pada permukaan mi yang dapat menyebabkan tumbuhnya jamur.

8. Pengemasan

Pengemasan adalah pembungkusan mi bersama saus, minyak atau sayur-sayuran dan yang lainnya dengan menggunakan etiket yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Tujuan dari pengemasan ini adalah untuk melindungi mi dari kemungkinan-kemungkinan tercemar atau rusak, sehingga mi tidak mengalami penurunan kualitas sampai ke konsumen.


(8)

III.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

MI INSTAN

Mi instan atau mi kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan berbentuk khas mi yang siap dihidangkan, dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 5 menit (Ubaidillah, 2000). Mi Instan telah dikonsumsi sebagai makanan pokok pengganti, oleh sebagian masyarakat dan merupakan jenis pangan yang luas penyebarannya (Haryadi,1992). Hal ini disebabkan karena harganya relatif murah, nilai kalori cukup tinggi dan dapat diproduksi dalam berbagai bentuk yang menarik dan daya tahan yang cukup tinggi (Harper et al,1979). Serta tren gaya hidup masyarakat yang cenderung makin praktis.

Bahan baku pembuatan mi instan adalah tepung terigu. Bahan tambahan yang umum digunakan dalam pembuatan mi instan adalah garam alkali, yaitu Na2CO3 dan K2CO3 yang umum

disebut senyawa kansui. Berdasarkan proses pengeringan, mi dibedakan menjadi dua yaitu mi instan dan mi kering (mi telur). Pengeringan mi instan dengan mengunakan minyak goreng sebagai media pengeringan (instan atau fried noodle), sedangkan mi kering pengeringannya dengan menggunakan udara panas (dried noodle). Mi instan mampu menyerap minyak hingga 20% selama penggorengan, sehingga mi instan memiliki keunggulan rasa dibanding mi jenis lain. Namun demikian, mi instan disyaratkan agar pada saat perebusan tidak ada minyak yang terlepas ke dalam air dan hasilnya mi harus cukup kompak dan permukaannya tidak lengket (Astawan, 2006).

Tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi kering adalah tepung terigu dengan kadar gluten 10-12%. Tepung terigu ini tergolong dalam medium hard fluor. Tepung terigu ini berfungsi membentuk struktur mi, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama dari tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten adalah suatu jenis protein yang terdiri dari dari 36% gliadin, 20% glutenin, 17% mesonin dan 7% campuran albumin dan globulin (Darmawan, 1994). Apabila ke dalam tepung terigu ditambah air, glutenin akan mengembang. Selama proses pengembangan, glutenin akan menyerap gliadin, mesonin dan sebagian protein yang dapat larut dalam air sehingga membentuk suatu massa yang kenyal dan elastis (Ridwan dan Wiriarno,1990) sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mi yang dihasilkan. Menurut Ruiter (1987), karakteristik elastisitas gluten dianggap berasal dari fraksi glutenin, sedangkan karakteristik liat dan melekat diperoleh dari fraksi prolamin

.

Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01.3551-2000 mi instan didefinisikan sebagai produk makanan ringan yang dibuat dari tepung terigu atau tepung beras atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan makanan lainnya yang diizinkan. Mi ini dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mi segar. Tahap-tahap tersebut yaitu pengukusan, pembentukan dan pengeringan. Kadar air mi instan umumnya mencapai 5-8 % sehingga memiliki daya simpan yang relatif lama (Astawan, 2006). Dalam melindungi masyarakat dari mi instan yang tidak memenuhi persyaratan cemaran mikroba, pemerintah menetapkan SNI 01.3551-2000, revisi SNI 01-3551-1996 "Mi Instan" seperti terlihat pada Tabel 1.


(9)

Tabel 1. Syarat Mutu Mi Instan menurut SNI 01.3551-2000

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Tekstur - Normal/dapat diterima

1.2 Aroma - Normal/dapat diterima

1.3 Rasa - Normal/dapat diterima

1.4 Warna - Normal/dapat diterima

2 Benda asing - Tidak boleh ada

3 Keutuhan % (b/b) Minimum 90

4 Kadar air

4.1 Proses penggorengan % (b/b) Minimum 8.0

4.2 Proses pengeringan % (b/b) Minimum 4.0

5 Kadar protein

5.1 Mi dari terigu % (b/b) Minimum 8.0

5.2 Mi bukan dari terigu % (b/b) Minimum 4.0

6 Bilangan asam Mg KOH/g minyak Maksimum 2.0

7 Cemaran logam

7.1 Timbal (Pb) mg/kg Maksimum 2.0

7.2 Raksa (Hg) mg/kg Maksimum 0/05

8 Arsen (As) mg/kg Maksimum 0,5

9 9.1 9.2 9.3 9.4

Cemaran mikroba : Angka lempeng total

E. coli Salmonella Kapang Koloni/g APM/g - Koloni/g

Maksimum 1,0x106 < 3 Negatif per 25g Maksimum 1,0x103

(*) Sumber : Badan Standarisasi Nasional

3.2 CEMARAN PADA PRODUK MI INSTAN

Cemaran pada produk mi instan kemungkinan dapat berupa cemaran mikrobiologis, cemaran kimia dan cemaran fisik. Cemaran-cemaran tersebut dapat berasal dari bahan baku utama, bahan baku pembantu lain dan bahan tambahan pangan (BTP), udara, karyawan, mesin dan peralatan.

3.2.1 Cemaran Mikrobiologis

Mi instan merupakan produk mi yang telah dikukus dan dikeringkan terlebih dahulu dan memiliki kadar air sekitar 8-10%. Mi instan memiliki aw sekitar 0,80 dan pH sebesar 8,7

(Yustiareni, 2000). Menurut Fardiaz (1992) dan Buckle et. al. (2007), pangan dengan kadar air yang rendah dan pH relatif tinggi (pH > 8,5) dikelompokkan sebagai pangan yang tidak mudah rusak. Dengan demikian, kadar air yang rendah dan aw yang rendah menyebabkan mi instan tidak riskan jika

disimpan pada suhu ruang. Namun demikian, bukan berarti produk mi instan tersebut tidak bebas dari adanya kemungkinan pencemaran atau kontaminasi baik adanya cemaran mikroba/biologis, kimia maupun fisik

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01.3551-2000 untuk produk mi instan, cemaran mikroba yang mungkin terdapat pada mi instan dapat berupa bakteri E. coli, Salmonella, kapang dan angka lempeng total. Oleh karena itu, cemaran mikroba tersebut di dalam SNI ditetapkan batasnya. Menurut Jay (2000), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang.


(10)

Fardiaz (1992) menyatakan bahwa jika tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan pada penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya aktivitas mikroorganisme pembentuk asam misalnya, ditandai dengan terdeteksinya bau asam pada mi basah yang telah rusak. Pada bakteri aerobik pembentuk spora yang dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kadar air yang tinggi dengan memanfaatkan terigu dan hasil olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukan miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000).

Selain cemaran bakteri dan kapang tersebut, mi instan kemungkinan dapat tercemar oleh bakteri jenis Salmonella dan Staphylococcus yang berasal dari bahan tepung telur serta E. coli dan koliform yang berasal dari bahan air yang digunakan dalam proses pencampuran. Menurut ICMSF (1998), produk yang ingrediennya mengandung tepung telur atau telur kering seperti custard, cream cakes, angel cake dan mi instan dapat terkontaminasi oleh Salmonella dan Staphylococcus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mafic et al. (1990) dan Narvaiz et al. (1992) menunjukkan bahwa

Salmonella yang terdapat pada tepung telur dapat diinaktifkan dengan cara irradiasi melalui sinar gama pada dosis 0,8 kGy untuk jenis bakteri S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Lille, sedangkan untuk mereduksi sebanyak 103 bakteri diperlukan dosis 2,4 kGy. Produk tepung telur yang telah

diirradiasi ini tahan disimpan selama 4 minggu.

Untuk mengendalikan produk kering seperti halnya mi kering yang mengandung bahan ingredien tepung telur disarankan oleh ICMSF (1998) sebaiknya melindungi produk itu dari kemungkinan terjadinya kondensasi air ke dalam produk kering tersebut. Oleh karena itu, produk mi kering yang telah dikemas dalam plastik diharapkan tidak ada yang bocor dan terkena kondensasi oleh air dari luar.

Cemaran bakteri pada air, kemungkinan dapat berupa bakteri patogen seperti E. coli, Campylobacter jejuni, Salmonella sp, Shigella, Vibrio cholerae, Yersiniaenterolita dan Aeromonas hydrophila; (Jones dan Watkins, 1989). Dengan demikian, air yang digunakan untuk produksi mi instan pada saat proses pencampuran harus memenuhi persyaratan kualitas air minum menurut PerMenKes No. 907/MENKES/SK/VIII/2002 tanggal 29 Juli 2002, yaitu harus bebas dari E. coli dan koliform. Hal ini disebabkan karena bakteri E. coli dan koliform digunakan sebagai indikator tercemarnya air tersebut oleh adanya cemaran yang berasal dari buangan air besar manusia ataupun kotoran hewan. Lebih lanjut Havelar (1994) menyarankan bahwa seyogianya air diolah terlebih dahulu untuk menghasilkan air yang aman untuk dikonsumsi.

3.2.2 Cemaran Kimia

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01.3551-2000 (Tabel 1) untuk produk mi instan, ditetapkan bahwa cemaran kimia yang perlu dibatasi keberadaannya pada mi instan berupa logam berat seperti timbal (Pb), raksa/merkuri (Hg) dan arsen (As). Cemaran kimia logam-logam berat ini diduga berasal dari bahan baku tepung terigu, garam dan air yang digunakan dalam proses produksi mi instan. Sumber cemaran kimia logam-logam berat seperti Pb, Hg, dan As dapat berasal dari lingkungan dan tanah tempat tumbuh asal tanaman terigu yang terkontaminasi oleh polusi asap kendaraaan bermotor dan hasil buangan limbah industri yang mengandung logam-logam berat; selain itu dari bahan baku garam yang tercemar oleh logam-logam berat di tempat asalnya.


(11)

3.2.3 Cemaran Fisik

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia SNI 01.3551-2000 untuk produk mi instan, ditetapkan bahwa cemaran fisik yang mungkin terdapat pada produk mi instan berupa benda-benda asing lainnya. Cemaran fisik benda-benda asing ini dapat berupa rambut, kotoran (pasir, tanah), kelupasan cat, karat, debu, potongan kertas dan tali plastik. Sumber cemaran fisik tersebut dapat berasal dari pekerja/karyawan yang menangani produk, pallet kayu, peralatan dan tali plastik yang digunakan untuk pengemasan. Oleh karena itu, cemaran fisik benda-benda asing pada produk mi instan tersebut oleh SNI 01.3551-2000 ditetapkan harus negatif.

3.3

SANITASI PERALATAN

Sanitasi berasal dari kata Latin, yaitu sanitas yang memiliki arti sehat (Marriot dan Norman, 1992). Sanitasi merupakan cara pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dalam rantai perpindahan penyakit tersebut. Sumber kontaminasi dalam industri pangan adalah pekerja, hewan dan lingkungan (Jenie, 2007). Sanitasi harus dilakukan pada semua jalur industri dari bahan mentah hingga produk akhir (Soekarto, 1990).

Pengolahan pangan pada umumnya berisiko akan kontaminasi karena penggunaan alat pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi. Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan diharuskan mengalami proses sanitasi terlebih dahulu sebelum dan setelah proses produksi berlangsung (Jenie, 2007).

Sanitasi peralatan umumnya menggunakan bahan-bahan kimia untuk menimimalisir kandungan mikroba yang terdapat dalam peralatan produksi. Bahan kimia yang umum digunakan sebagai bahan sanitasi peralatan terdiri atas soda kaustik, asam serta alkohol. Sanitasi pangan merupakan suatu upaya pencegahan terhadap kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan pathogen dalam makanan, minuman dan bangunan yang dapat merusak kualitas pangan dan membahayakan kesehatan manusia (Marriot dan Norman, 1992). Sanitasi untuk bahan pangan merupakan suatu proses untuk menciptakan keadaan bebas dari bahan yang dapat menyebabkan penyakit dari bagian atau sentuhan serangga (Stewart dan Amerine, 1973).

Program sanitasi sarana pengolahan pangan melibatkan pengendalian terpadu kondisi lingkungan selama produksi, pengolahan, penyimpanan, distribusi, persiapan, penyajian dan konsumsi makanan atau minuman. Pengendalian tersebut bertujuan untuk mencegah kontaminasi produk oleh mikroorganisme, serangga, tikus, binatang pes, benda asing dan bahan kimia yang berbahaya. Oleh karena itu program higiene dan sanitasi ini berlangsung sejak bahan baku diproduksi sampai dengan siap dikonsumsi.

Kegiatan yang berhubungan dengan produk makanan meliputi pengendalian mutu mentah, penyiapan bahan mentah, perlengkapan suplai air yang baik, pencegahan kontaminasi makanan pada seluruh tahap selama pengolahan dari peralatan, personalia, terhadap hama serta pengemasan dan penggudangan produk akhir (Jenie, 1998). Mesin/peralatan pengolahan yang memenuhi persyaratan sanitasi adalah mesin/peralatan yang konstruksinya sedemikian rupa sehingga mudah dibersihkan dan dibuat dari bahan-bahan yang mudah dibersihkan dan tidak berpengaruh negatif terhadap produk serta tahan terhadap bahan-bahan pembersih (Longree, 1972).

Pembersihan peralatan industri pangan perlu dilakukan secara rutin dengan prosedur dan sistem uji kebersihan yang baku. Cara pembersihan juga disesuaikan dengan jenis pengotor dan jenis makanan yang diolah. Peralatan yang kontak langsung dengan makanan dapat menjadi sumber


(12)

pencemaran, karenanya harus dipilih yang mudah dibersihkan, terbuat dari bahan yang tahan karat, dan tidak mempunyai sambungan sehingga kotoran tidak ada yang tertahan pada sambungan tersebut. Pengawasan terhadap mikroorganisme ini penting untuk menjamin suatu produk yang aman dan utuh dengan masa simpan yang cukup. Cemaran yang tertinggal akibat pembersihan peralatan yang kurang baik, akan menyediakan suatu medium yang baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme (Jenie, 2007).

Pembersihan peralatan yang kurang baik diaplikasikan sanitizer untuk mengurangi mikroba patogen dan pembusuk yang terdapat pada peralatan dan fasilitas pangan. Zat pengotor harus terlebih dahulu dibersihkan agar sanitizer dapat bekerja dengan baik. Jenis-jenis sanitizer dibagi menjadi tiga bagian, yaitu jenis termal, radiasi, dan kimia. Sanitizer jenis kimia sering digunakan dalam teknik sanitasi, sedangkan jenis termal dan radiasi lebih sedikit digunakan (Marriott, 1992).

Aplikasi kebersihan dalam sanitasi meliputi pemrosesan, penyiapan, dan penanganan pangan. Aplikasi sanitasi merujuk pada praktek higienitas yang didesain untuk mempertahankan suatu lingkungan yang bersih dan sehat untuk produksi, persiapan, dan penyimpanan pangan (Marriot, 1992). Umumnya, sanitizer kimia yang lebih pekat konsentrasinya akan lebih cepat bekerja dan lebih efektif untuk sanitasi peralatan.

Karakteristik dari setiap sanitizer kimia harus diketahui dan dimengerti, sehingga tepat dalam memilih. Efektivitas sanitizer ini dipengaruhi oleh waktu exposure, suhu, konsentrasi, pH, kesadahan air, dan kebersihan peralatan. Sanitizer kimia yang sering digunakan antara lain senyawa klorin, senyawa iodine, senyawa bromin, quats, sanitizer asam, sanitizer anionik asam, sanitizer acid-quat,

hidrogen peroksida, ozon, glutaraldehid, dan mikrobisida (Marriott, 1992).

3.4 HIGIENE PEKERJA

Higiene pekerja yang menangani makanan sangat penting peranannya di dalam mencegah perpindahan penyakit ke dalam makanan. Persyaratan bagi pekerja agar mendukung higiene pekerja adalah kesehatan yang baik dan pengetahuan mengenai sanitasi (Minarni, 1995). Higiene adalah kebiasaan seseorang untuk menjaga kebersihan diri sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit baik pada dirinya atau orang lain (Troller, 1983).

Menurut Mariot (1992), higiene pekerja penting untuk dilaksanakan karena bagian-bagian tubuh seperti tangan, rambut, hidung, dan mulut merupakan jalan masuk mikroba untuk mencemari pangan selama proses penyiapan, pengolahan, sampai penyajian melalui sentuhan, pernapasan, batuk, dan bersin. Penerapan higiene pekerja yang baik dapat memutuskan rantai infeksi terhadap makanan (Hobbs, 1989). Kontaminasi makanan dari pekerja dapat terjadi melalui kontak kulit, mulut dan rambut, serta dari pakaian dan perhiasan yang digunakan. Oleh karena itu dibutuhkan usaha pencegahan untuk mengurangi kontaminasi. Salah satu cara untuk mengurangi kontaminasi adalah penerapan kebiasaan mencuci tangan.

Menurut Jenie (2007), karyawan harus mencuci tangan dengan sabun pada waktu: (1) sebelum mulai kerja, (2) sebelum dan sesudah makan, (3) setelah keluar dari kamar kecil, (4) ketika meninggalkan atau kembali ke ruang pengolahan, (5) ketika berpindah kerja dalam satu ruang pengolahan dan (6) ketika tangan menyentuh kotoran atau bahan terkontaminasi lainnya seperti makanan dan peralatan pengolahan. Fasilitas pencucian tangan hendaknya harus tersedia di ruang ganti, kamar kecil dan daerah pengolahan makanan, yang berupa air pencuci, sabun aseptik, serta handuk saniter atau alat pengering tangan atau lap sekali pakai.

Selain itu pekerja yang luka dan berpenyakit kulit tidak diperkenankan menangani, menyentuh produk selama berada di pabrik, dalam ruangan produksi tidak diperkenankan


(13)

mengenakan perhiasan agar mencegah perhiasan terjatuh ke proses pengolahan dan mengkontaminasi produk. Rambut dari kepala, kotoran dari muka dan hidung dapat menjadi sumber kontaminan bagi produk yang akan dihasilkan, oleh karena itu pengenaan tutup kepala dan masker harus dikenakan sebelum bekerja dan bukan di daerah pengolahan pangan (Troller,1983).

3.5 GMP (

GOOD MANUFACTURING PRACTICES

)

GMP (good manufacturing practices) merupakan pedoman cara memproduksi makanan yang baik pada seluruh rantai makanan, mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir dan menekankan higiene pada setiap tahap pengolahan. Thaheer (2005) menyebutkan bahwa GMP merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu dan sesuai dengan keamanan pangan dan tuntutan konsumen.

Pedoman GMP atau Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) menurut Menteri Kesehatan No.23/MEN.KES/SK/1978 mencakup lokasi pabrik, bangunan, produk akhir, peralatan pengolahan, bahan produksi, higien personal, pengendalian proses pengolahan, fasilitas sanitasi, label, keterangan produk, penyimpanan, pemeliharaan sarana pengolahan dan kegiatan sanitasi, laboratorium, kemasan dan transportasi. Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi makanan yang baik (CPMB) atau good manufacturing practice (GMP) dan standard prosedur operasional sanitasi atau SSOP(sanitation standard operating procedure).

Di Indonesia, sesuai dengan peraturan yang ada di Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan yang sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menerbitkan pedoman cara produksi makanan yang baik (CPMB) atau GMP. Pedoman penerapan GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum higiene pangan dan peraturan perundang-undangan di bidang pangan, terutama yang mengatur mengenai produksi pangan.

Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi makanan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen.

Pedoman penerapan GMP bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996).

3.6 SSOP (

SANITATION STANDARD OPERATING PROCEDURES

)

Undang-Undang Pangan RI No. 7 tahun 1996 menjelaskan bahwa sanitasi pangan merupakan upaya pencegahan terhadap berbagai kemungkinan tumbuh dan berkembang biaknya jasad renik


(14)

pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan kesehatan manusia. SSOP merupakan alat bantu dalam penerapan GMP, yang berisikan tentang perencanaan tertulis untuk menjalankan GMP, syarat agar penerapan GMP dapat dimonitor dan adanya tindakan koreksi jika terdapat komplain, verifikasi dan dokumentasi (FDA, 1995). SSOP menurut FDA (1995) terdiri atas delapan aspek kunci yaitu :

1) keamanan air proses produksi;

2) kondisi kebersihan permukaan yang kontak dengan bahan pangan; 3) pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter; 4) kebersihan pekerja;

5) pencegahan atau perlindungan dari adulterasi; 6) pelabelan dan penyimpanan yang tepat; 7) pengendalian kesehatan karyawan; dan 8) pemberantasan hama.


(15)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1 BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan untuk mengetahui kondisi sanitasi fasilitas mesin peralatan, antara lain media Plate CountAgar (PCA), media AcidifiedPotato Dextrose Agar (APDA), media

Lactose Soy Tryptic Broth (LSTB), media Brilliant Green Lactose Bile Broth (BGLBB), Escherichia Coli Broth (ECB), media Baird Parker Agar + Egg yolk Tellurit (BPA, EY), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Buffered Pepton Water (BPW), Trypticase Soy Agar (TSA), Egg yolk Tellurit (5% emulsi kuning telur dalam NaCl 1:1 + 1% Kalium Tellurit), Plasma kelinci, larutan pengencer, soda kostik (NaOH), alkohol 70%, air panas, sanitizer A (Na2CO3), sanitizer B (Linear Alkylbenzene

Sulfonate), sabun cuci (Trichlorohydroxy Diphenyl, Triclocarban) , larutan buffer fosfat steril. Alat-alat yang digunakan adalah cawan petri steril, tabung reaksi steril, pinset steril, bunsen, gelas ukur, lidi swab, pipet steril, jarum inokulasi, pipet milimeter, kertas steril, pengaduk, dan inkubator.

4.2 METODE PENELITIAN

4.2.1 Evaluasi penerapan GMP (CPMB)

PT X telah menerapkan kelayakan minimal dari suatu industri pangan sesuai dengan panduan dari BPOM (2002).

(a) Penerapan CPMB di perusahaan dievaluasi meliputi aspek pimpinan, sanitasi lokasi dan lingkungan fisik, sanitasi pembuangan limbah, sanitasi lingkungan dari investasi burung, serangga atau binatang lain, kondisi umum pabrik, pabrik dalam ruangan pengolahan, fasilitas pabrik, pembuangan limbah di pabrik, operasional sanitasi di pabrik, binatang pengganggu dalam pabrik, peralatan produksi, pasokan air, sanitasi dan higiene karyawan, gudang biasa (kering), gudang kemasan produk, tindakan pengawasan, bahan mentah dan produk akhir, hasil uji, tindakan pengawasan, sarana pengolahan, penggunaan bahan kimia, bahan penanganan dan pengolahan. Evaluasi dilaksanakan dengan menganalisis hasil penerapan CPMB yang telah dilaksanakan selama 2 tahun terakhir.

Untuk menentukan tingkat (rating) kelayakan sarana produksi pangan berdasarkan penyimpangan (deficiency/defect) yang ada dengan menggunakan standar BPOM (2002), dapat dilihat pada Tabel 2

Tabel 2. Kriteria Penilaian CPMB

Tingkat (Rating) Jumlah Penyimpangan

MN (Minor) MJ (Major) SR (Serius) KT (Kritis)

A (Baik Sekali) 0 - 6 0 - 5 0 0

B (Baik) < 7 6 - 10 1 - 2 0

atau tb  11 0 0

C (Kurang) tb  11 3 - 4 0

D (Jelek) tb tb  5  1


(16)

(b) Pemahaman karyawan tentang higiene dan sanitasi meliputi pengalaman training, pendidikan terakhir, pemakaian fasilitas kebersihan di pabrik (sarung tangan, masker, hairnet/penutup kepala), pengetahuan penggunaan pembersih tangan dan benda-benda yang tidak boleh di bawa kedalam pabrik serta ketentuan apabila terkena penyakit yang mengganggu kinerja perusahaan. Evaluasi kesesuaian penerapan CPMB oleh karyawan akan dianalisis dari hasil penyebaran kuesioner sebanyak 40 buah dan semua pertanyaan disusun dibawah bimbingan supervisor magang (Lampiran 8).

4.2.2 Evaluasi sumber-sumber rekontaminasi di area mesin pendinginan dan

pengemasan produksi mi instan

Evaluasi ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan sanitasi pada peralatan mesin pendinginan maupun mesin pengemasan yang dapat menjamin mutu dan keamanan produk akhir yang dihasilkan. Standar maksimal mikroorganisme yang telah ditetapkan oleh perusahaan untuk mikroba TPC, kapang, khamir adalah 1,0x102CFU/ml/cm2 sedangkan untuk E.coli, dan koliform adalah

<3 APM/ml, standar internal ini ditetapkan berdasarkan pengalaman perusahaan (data historis) dalam memproduksi mi instan. Titik-titik swab yang dilakukan pada area pendinginan dan pengemasan dapat dilihat pada Gambar 2. dan Tabel 3.

Pada area mesin pendinginan terdapat bagian alat; chamber, konveyor, rantai ulir dan kipas. Spesifikasi alat cooling conveyor ini adalah : panjang 9,50 m, lebar 1,36 m, tinggi 0,6 m, jumlah kipas angin 6 buah, diameter lubang 0,8 cm dan jarak antar lubang 0,3 cm. Tujuan dari proses ini adalah agar mi yang baru keluar dari proses pengeringan dapat diturunkan suhunya sehingga mencapai suhu sekitar 32oC sebelum dikemas. Pendinginan berlangsung selama 2-3 menit sehingga mi menjadi lebih keras. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan metode swab test pada 2 line produksi mi instan masing-masing menggunakan 1 kali pengulangan.

Pada area mesin pengemasan terdapat bagian alat; konveyor, seal machine, rantai ulir, keranjang bumbu. Spesifikasi alat conveyor ini adalah : panjang 7,5 m, lebar 1,36 m, tinggi 0,6 m, lebar silender seal 12 mm, jumlah keranjang bumbu 4 buah. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan metode swab test pada 2 line produksi mi instan masing-masing menggunakan 1 kali pengulangan. Analisis mikrobiologi yang dilakukan meliputi TPC (PCA), kapang dan khamir (APDA), koliform (LSTB dan BGLBB, dimana LSTB digunakan sebagai media pendugaan sedangkan BGLBB digunakan sebagai media peneguhan), dan E.coli (LSTB dan ECB, dimana LSTB digunakan sebagai media pendugaan sedangkan ECB digunakan sebagai media peneguhan).

4.2.3 Evaluasi efektivitas sanitasi ruangan pada area pendinginan dan

pengemasan primer

Evaluasi ini bertujuan untuk melihat apakah pelaksanaan sanitasi yang selama ini dilakukan perusahaan dalam membersihkan ruangan pengemasan dan pendinginan dapat memenuhi batas maksimal jumlah mikroorganisme yang tidak diinginkan oleh perusahaan, yang dimana standar tersebut sebelumnya telah ditetapkan berdasarkan pengalaman perusahaan dalam memproduksi mi instan dan kesepakatan antara semua karyawan divisi QC/QA.

Evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan metode densitas mikroba ruangan dan media yang digunakan adalah Acidified Potato Dextrose Agar (APDA) untuk menganalisis kapang dan khamir dan PCA (Plate Count Agar) untuk menganalisis TPC, media yang telah tersedia akan


(17)

ditempatkan masing-masing 1 pasang APDA dan PCA pada ruangan pendinginan tidak terlalu dekat dengan jarak 0,5 m dari mesin pendinginan dan pengemasan. Titik-titik swab yang dilakukan pada area pendinginan dan pengemasan dapat dilihat pada Gambar 2. dan Tabel 3.

Evaluasi efektivitas sanitasi di area pendinginan dan pengemasan seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Area Penelitian Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Instan di PT. X

Bahan baku (tepung terigu) Bahan tambahan (Air, garam, Ingrediens)

Pengadukan

Pengepresan

Pencetakan

Pengukusan (1000C)

Pemotongan

Penggorengan (1250C)

Pendinginan

Penambahan bumbu minyak Penerimaan Bahan baku

Pengemasan Primer (etiket)

Pengemasan sekunder (karton)

Penggudangan Area yang diteliti


(18)

Skematik titik pengambilan sampel di area pendinginan dan pengemasan seperti terlihat pada Gambar 2.

0,5 m

---7,5 m---

---9,5 m---

0,5 m

Gambar 2. Skema titik Pengambilan Sampel di PT. X pada Area

Pendinginan dan Pengemasan

Keterangan gambar :

: Area Pendinginan : Area Pengemasan

: Kipas

: Konveyor

: Sekat antara ruangan : Mesin pengemas : Keranjang bumbu

: Peletakan cawan evaluasi sanitasi ruangan pendinginan : : Peletakan cawan evaluasi sanitasi ruangan pengemasan : Dilakukan Swab

Tahap penelitian sanitasi peralatan pendinginan dan pengemasan sebagai berikut:

Tabel 3. Area Proses dan Jenis Alat yang di Evaluasi Setelah Sanitasi

Peralatan Pendinginan dan Pengemasan

Area proses dan Jenis Alat Metode Sanitasi Alat Mikroorganisme yang diamati

Pendinginan

(kipas, chamber, rantai ulir, konveyor)

Udara

Pencucian dengan air kemudian dicuci dengan deterjen dan diseka alkohol 70%

TPC, kapang-khamir,

coliform E-coli

Pengemasan

(konveyor, seal machine, rantai ulir, keranjang bumbu) Udara

pencucian dengan air kemudian diseka dengan alkohol 70%

TPC, kapang-khamir,

coliform E-coli

A

B

A B


(19)

4.2.4 Evaluasi efektivitas higiene karyawan

Evaluasi ini bertujuan untuk menganalisis pelaksanaan sanitasi pada kebersihan karyawan yang dapat menjamin mutu dan keamanan produk akhir yang dihasilkan. Evaluasi ini dilakukan dengan menggunakan metode swab, sebelum metoda swab dilakukan, tangan pekerja dibersihkan dengan sabun cuci tangan (dibilas sela-sela jari tangan), kemudian tangan dikeringkan dengan menggunakan mesin pengering, dan tangan yang sudah kering disemprot dengan alkohol 70%, selanjutnya dari tangan karyawan yang akan dianalisis adalah TPC, E.coli, koliform dan

Staphylococcus aureus.

Standar maksimal mikroorganisme yang telah ditetapkan oleh perusahaan untuk TPC, adalah 1,0x102CFU/ml/cm2 sedangkan untuk E.coli, dan koliform adalah <3 APM/ml, standar internal ini

ditetapkan berdasarkan pengalaman perusahaan (data historis) dalam memproduksi mi instan. Sedangkan Staphylococcus aureus pada karyawan diwajibkan 0 (nol) pada saat memasuki area produksi

.

4.2.5 Analisis TPC, kapang dan khamir,

E.coli

, koliform,

Staphylococcus

aureus

a. Analisis TPC

Pengujian TPC akan dilakukan pengenceran 10-1, pertama-tama luas permukaan yang akan dianalisis diswab (5x5 cm) dengan menggunakan kapas yang dikaitkan pada lidi yang telah disterilkan sebelumnya, kemudian lidi di masukkan kedalam 10 ml larutan pengencer, kemudian 1 ml dari larutan pengencer tersebut dituangkan ke petridish steril yang kemudian dituangi 20 ml media PCA (untuk TPC) digoyang-goyang secara merata. Jarak pemasukan media dengan contoh tidak boleh lebih dari 30 menit. Setelah membeku petridish tersebut dibalik dan disimpan dalam inkubator yang bersuhu 35-37oC selama 3 hari ( 3x 24 jam), setelah masa inkubasi maka dihitung jumlah koloni yang tumbuh pada petridish dengan rumus berikut:

Perhitungan jumlah koloni/cm2 :

Keterangan: *menunjukkan volume larutan buffer fosfat yang digunakan membasahi swab

b. Analisis kapang dan khamir

Pengujian kapang dan khamir akan dilakukan pengenceran 10-1 , pertama-tama luas permukaan yang akan dianalisis diswab (5x5 cm) dengan menggunakan kapas yang dikaitkan pada lidi yang telah disterilkan sebelumnya, kemudian lidi di masukkan kedalam 10 ml larutan pengencer, kemudian 1 ml dari larutan pengencer tersebut dituangkan ke petridish steril yang kemudian dituangi 20 ml media PDA (untuk TPC) dan 1,4 ml asam tartrat per 100 ml kemudian digoyang-goyang secara merata. Jarak pemasukan media dengan contoh tidak boleh lebih dari 30 menit. Setelah membeku petridish tersebut dibalik dan disimpan dalam inkubator yang bersuhu 35-37oC selama 3 hari ( 3x 24 jam), setelah masa inkubasi maka dihitung jumlah koloni yang tumbuh pada petridish dengan rumus berikut:


(20)

Perhitungan jumlah koloni/cm2 :

Keterangan: *menunjukkan volume larutan buffer fosfat yang digunakan membasahi swab

c. Analisis

E.coli

E.coli akan dilakukan uji dengan seri 3 tabung dan pertama-tama dilakukan uji pendugaan sebagai berikut, luas permukaan yang akan dianalisis diswab (5x5 cm) dengan menggunakan kapas yang dikaitkan pada lidi yang telah disterilkan sebelumnya, kemudian lidi di masukkan kedalam 10 ml larutan pengencer, pindahkan 1 ml larutan pengenceran 10-1 tersebut dengan menggunakan pipet mili kedalam 9 ml larutan pengencer berikutnya sehingga mendapatkan 10-2 dengan cara yang sama dilakukan untuk pengenceran 10-3, pipet masing 1 ml dari setiap pengenceran ke 3 seri tabung LSTB yang berisi tabung durham untuk uji pendugaan, masing-masing tabung LSTB tersebut akan diinkubasikan pada suhu 35oC selama 24 jam sampai 48 jam dengan memperhatikan terbentuknya gas di dalam tabung durham.

Apabila selama hari pengamatan tersebut tidak ada yang terbentuk gas maka pengujian tidak perlu dilanjutkan ke tahapan peneguhan, dan apabila yang terjadi sebaliknya ada terbentuk gas pada tabung durham maka dilanjutkan ke uji peneguhan sebagai berikut. Dari tabung LSTB yang positif (terbentuk gas) masing-masing pengenceran diinokulasikan dengan menggunakan jarum inokulasi kedalam 10 ml tabung ECB (untuk E.coli) dan diinkubasikan pada suhu 45,5oC selama 24 jam, jika hasilnya masih ditemukan negatif, diinkubasikan kembali selama 48 jam. perhatikan adanya gas yang terbentuk selanjutnya nilai MPN dihitung berdasarkan jumlah tabung ECB yang positif dengan rumus sebagai berikut :

d. Analisis koliform

Koliform akan dilakukan uji dengan seri 3 tabung dan pertama-tama dilakukan uji pendugaan sebagai berikut, luas permukaan yang akan dianalisis diswab (5x5 cm) dengan menggunakan kapas yang dikaitkan pada lidi yang telah disterilkan sebelumnya, kemudian lidi di masukkan kedalam 10 ml larutan pengencer, pindahkan 1 ml larutan pengenceran 10-1 tersebut dengan menggunakan pipet mili kedalam 9 ml larutan pengencer berikutnya sehingga mendapatkan 10-2 dengan cara yang sama dilakukan untuk pengenceran 10-3,pipet masing 1 ml dari setiap pengenceran ke 3 seri tabung LSTB yang berisi tabung durham untuk uji pendugaan, masing-masing tabung LSTB tersebut akan diinkubasikan pada suhu 35oC selama 24 jam sampai 48 jam dengan memperhatikan terbentuknya gas

di dalam tabung durham.

Apabila selama hari pengamatan tersebut tidak ada yang terbentuk gas maka pengujian tidak perlu dilanjutkan ke tahapan peneguhan, dan apabila yang terjadi sebaliknya ada terbentuk gas pada tabung durham maka dilanjutkan ke uji peneguhan sebagai berikut. Dari tabung LSTB yang positif (terbentuk gas) masing-masing pengenceran diinokulasikan dengan menggunakan jarum inokulasi

MPN contoh = (Nilai MPN tabel / 100) x Faktor pengenceran yang ditengah Jumlah koloni dalam cawan petri x 10* x 1/ luas alat yang di swab (cm2)


(21)

kedalam 10 ml tabung BGLBB (untuk koliform) dan diinkubasikan pada suhu 35oC selama 48 jam perhatikan adanya gas yang terbentuk selanjutnya nilai MPN dihitung berdasarkan jumlah tabung BGLBB yang positif dengan rumus sebagai berikut :

e

. Staphylococcus aureus

Pengujian staphylococcus aureus dianalisa dengan cara petugas menswab tangan kiri dan kanan mulaidari pergelangan tangan sampai dengan jari dan kuku dengan kapas steril. Kapas lidi yang telah diswab dimasukkan kedalam tabung yang berisi Brain Heart Infusion Broth (BHIB) diambil 10 ml dari sampel dan dimasukkan kedalam kantong stomacher kemudian ditambahkan 90 ml BPW (1:10), selanjutnya dihomogenkan, sehingga diperoleh 10-1. Siapkan 2 tabung berisi 9 ml BPW, kemudian di pipet 1ml dari pengenceran 10-1 sebelumnya ke dalam tabung hingga diperoleh pengenceran 10-2 dengan cara yang sama dilakukan untuk mendapatkan pengenceran 10-3. Dari hasil masing-masing pengenceran di pipet 0,3 ml, 0,3 ml, dan 0,4 ml ke dalam lempeng media BPA,EY (triplo). Sebar ratakan dengan batang bengkok diamkan sampai menyerap kemudian cawan diinkubasikan dalam posisi terbalik pada suhu 350C, selama 48 jam. Kemudian diamati apakah ada

pertumbuhan staphylococcus aureus dengan ciri-ciri bulat, halus, lembab diameter 2-3 mm, warna abu-abu kehitaman, memucat ditepi koloni dan apabila dicuplik dengan ose koloni tampak seperti mentega lengket.


(22)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 EVALUASI PENERAPAN CPMB

5.1.1 Kondisi Bangunan

CPMB merupakan suatu persyaratan dasar dan program umum bagi industri pangan untuk menghasilkan produk yang bermutu, layak dan aman secara konsisten. Berdasarkan hasil pengamatan (observasi) dan wawancara yang dilakukan di lapangan tentang penerapan CPMB di PT. X dibandingkan dengan standar (berdasarkan kriteria penilaian yang digunakan BPOM tahun 2002) melalui Checklist CPMB ditemukan 5 penyimpangan; yaitu: 4 penyimpangan minor dan 1 penyimpangan mayor. Oleh karena itu, berdasarkan standar tingkat (rating) kelayakan sarana produksi dari BPOM tersebut, tingkat (rating) CPMB di PT. X masuk dalam tingkat (rating) A, yaitu baik sekali (Lampiran 6).

Hasil identifikasi terhadap 5 penyimpangan tersebut disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Identifikasi Penyimpangan/Ketidaksesuaian dalam Penerapan

CPMB di PT X tahun 2011

No Aspek yang Dinilai Penyimpangan Kategori

1 Bangunan a. Pertemuan antara lantai dan dinding tidak mudah dibersihkan (tidak ada lengkungan)

b. Pertemuan antara dinding dan dinding tidak mudah dibersihkan (tidak ada lengkungan)

c. Konstruksi tidak sesuai persyaratan teknik sanitasi dan higiene (tidak rata, tidak kuat, retak atau licin)

Minor

Minor

Minor

2 Sanitasi lingkungan Sistem pembuangan limbah cair/saluran disekitar lingkungan pabrik kurang baik

Minor 3 Pengendalian Hama Pencegahan serangga, burung, tikus dan

binatang lain tidak efektif.

Mayor

Penyimpangan minor pertama sampai dengan keempat, adalah saling terkait dan berhubungan dengan persyaratan bangunan serta berkaitan dengan upaya untuk mencegah adanya kontaminasi silang yang disebabkan oleh lingkungan pabrik yang kurang baik. Menurut Kepmenkes RI, No.23,1978, sebaiknya permukaan bangunan harus halus berwarna terang, tahan lama dan tidak mudah mengelupas, mudah dibersihkan dan sekurang-kurangnya setinggi 2 m dari lantai harus rapat air, tahan terhadap air, garam, basa, asam dan bahan kimia lainnya. Pertemuan antara dinding dengan dinding dan antara dinding dan lantai tidak boleh membentuk sudut mati dan harus melengkung, harus halus, rata, tidak mudah mengelupas serta rapat air. Terkait dengan sanitasi lingkungan, bangunan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Sarana pembuangan harus dapat mengolah dan membuang buangan


(23)

padat, cair dan/atau gas yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan khususnya daerah pembuangan limbah cair.

Penyimpangan kelima, berhubungan dengan aspek CPMB pemeliharaan sarana pengendalian hama, yaitu di gudang tempat penyimpanan produk mi yang dapat dimasukin oleh burung yang dapat sebagai agen pencemar ke produk. Menurut Kepmenkes RI, No.23,1978, untuk mencegah masuknya hama kedalam pabrik perlu dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :

a. Bangunan pabrik harus terjaga dalam keadaan bersih dan terawat b. Menutup lubang-lubang dan saluran yang memungkinkan hama masuk. c. Memasang kawat kasa pada jendela, pintu dan ventilasi

.

5.1.2 Pemahaman Karyawan tentang Sanitasi dan Higiene

Mengetahui pemahaman karyawan tentang higiene dan sanitasi dilakukan menggunakan media angket sebanyak 40 buah. Jumlah angket yang kembali sebanyak 36 buah. Hasil pengisian angket disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Pemahaman Karyawan tentang Sanitasi dan Higiene

No Pertanyaan Jumlah

(orang) (%)

1 Mengikuti latihan atau training mengenai sanitasi

a. Tidak pernah 21 58.3

b. Pernah 15 41.7

Jumlah 36 100.0

2 Pendidikan terakhir

a. SD 0 0.0

b. SLTP 6 16.7

c. SLTA 30 83.3

d. Sarjana 0 0.0

Jumlah 36 100.0

3 Pengetahuan tentang sanitasi

a. Hal-hal yang bersifat bersih membersihkan 3 8.3

b. Hal-hal yang berkaitan dengan kotoran 0 0.0

c. Mencegah dan memelihara area dari kotoran 33 91.7 d. Mencegah, memelihara dan membersihkan semua bagian dari kotoran 0 0.0

Jumlah 36 100.0

4 Pendapat tentang pemakaian sarung tangan

a. Tidak perlu cukup dengan membersihkan tangan saja 0 0.0 b. Tidak perlu, karena mengganggu kelancaran bekerja 0 0.0 c. Tidak perlu karena membuat tangan bau dan berkeringat 0 0.0

d. Perlu untuk keseragaman pekerja 0 0.0

e. Perlu bagi pekerja yang tangannya kotor 0 0.0

f. Perlu agar produk mi yang kontak tidak kotor 36 100.0

Jumlah 36 100.0

5 Pengetahuan mengenai hairnet/topi/kerudung

a. Tidak perlu jika rambutnya pendek 0 0.0

b. Tidak perlu jika rambutnya sudah dicuci 0 0.0

c. Perlu agar seragam 0 0.0

d. Perlu agar rambut yang rontok atau cemaran rambut tidak mengenai

bahan 36 100.0


(24)

Tabel 5. (Lanjutan)

No Pertanyaan Jumlah

(orang) (%)

6 Pengetahuan mengenai penggunaan masker selama bekerja

a. Tidak perlu, karena pemakaiannya kurang nyaman 0 0.0

b. Perlu agar tidak ditegur pengawas 0 0.0

c. Perlu, agar cemaran-cemaran yang bersal dari hidung maupun mulut tidak mengenai bahan

36 100.0

Jumlah 36 100.0

7 Pengetahuan tentang perlunya mencuci tangan dengan sabun setelah dari

toilet a. Perlu agar mentaati peraturan dari perusahaan 0 0.0

b. Perlu agar mentaati peraturan dari QC/QA 0 0.0

c. Perlu, agar tidak terkena teguran dari atasan 0 0.0 d. Perlu agar produk yang keluar dari perusahaan tetap terjamin 36 100.0

Jumlah 36 100.0

8 Pendapat tentang peraturan yang melarang pemakaian perhiasan bagi

pekerja a. Tidak perlu, karena tidak ada kaitannya dengan produksi 0 0.0

b. Tidak perlu, kalau yakin perhiasannya tidak jatuh 0 0.0

c. Tidak perlu, jika perhiasannya bersih 0 0.0

d. Perlu, agar tidak terjadi kesenjangan sosial 0 0.0

e. Perlu, agar perhiasan tidak mengotori bahan atau produk 36 100.0

Jumlah 36 100.0

9 Apa yang dilakukan jika mengalami penyakit kulit, atau flu selama berada di pabrik

a. Berobat ke dokter dan mengobati flu 10 27.8

b. Berobat ke dokter dan istirahat 26 72.2

Jumlah 36 100.0

10 Pendapat tentang pelaksanaan sanitasi pabrik, baik untuk pekerja, peralatan dan ruangan

a. Sangat buruk 0 0.0

b. Buruk 11 30.6

c. Sedang-sedang saja 7 19.4

d. Baik 17 47.2

e. Baik sekali 1 2.8

Jumlah 36 100.0

11 Salah satu cara agar semua pekerja memahami pentingnya sanitasi

a. Peraturan yang tegas 1 2.8

b. Pemberian hukuman jika melanggar 0 0.0

c. Diberikan pendidikan,/pelatihan terhadap sanitasi 35 97.2

d. Contoh dari pengawas 0 0.0

Jumlah 36 100.0

Hasil evaluasi pemahaman karyawan tentang sanitasi dan higiene menunjukkan bahwa karyawan yang pernah mengikuti pelatihan tentang sanitasi dan higiene lebih sedikit, yaitu sebanyak 41,7% dibandingkan dengan yang tidak pernah mengikuti pelatihan, yaitu sebanyak 58,3%. Pelatihan dilaksanakan di lingkungan kantor pabrik dengan intensitas waktu 2-3 jam.

Pelatihan tentang sanitasi dan higiene diikuti oleh karyawan (dari tingkat line operator, supervisor/kepala regu, kepala bagian) dan manajemen perusahaan dan dilakukan dengan cara inhouse training di PT X Ciawi, Bogor 6 bulan sekali. Materi yang diajarkan dalam pelatihan ini terdiri dari 3


(25)

(tiga) topik, yaitu pengantar sistem pengendalian keamanan pangan, sanitasi dan higiene dalam industri pangan dan prinsip-prinsip CPMB. Pelaksanaan inhouse training dilaksanakan secara periodik oleh pihak HRD dengan mengundang narasumber dari IPB.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pimpinan perusahaan tingkat pengertian dan pemahaman peserta setelah mengikuti pelatihan menunjukkan tingkat pengertian dan pemahamannya sangat baik. Dengan demikian dapat dikatakan ada dampak positif terhadap sumber daya manusia pada perusahaan di PT X Ciawi, Bogor. Hal ini mendukung hasil penelitian/kajian yang dilakukan oleh Manning (1994) dan Howes et al. (1996) yang menyatakan bahwa salah satu dampak positif adanya pelatihan sistem keamanan pangan adalah meningkatnya tingkat pengetahuan, pengertian dan pemahaman SDM yang terlibat dalam sistem industri pangan.

Sebagian besar responden dengan latarbelakang pendidikan SLTA, yaitu sebanyak 83,3% dan SLTP sebanyak 16,7%. Sebanyak 83,3%, menyatakan memiliki tanggung jawab terhadap sanitasi di Pabrik secara keseluruhan meliputi; Pekerja, Mandor, Pengawas, Kepala Pabrik, Bagian QC/QA, Bagian kebersihan, Pengawas dan Kepala Pabrik.

Sebanyak 91,7%, menyatakan pengertian sanitasi adalah mencegah dan memelihara bagian dari kotoran. Seluruh responden menyatakan pemakaian sarung perlu, agar produk mi yang kontak tidak kotor begitu juga dengan penggunaan hairnet/topi/kerudung menurut responden perlu, agar rambut yang rontok atau cemaran rambut tidak mengenai bahan.

Seluruh responden menyatakan; (a) mengetahui penggunaan masker selama bekerja perlu, agar cemaran-cemaran yang berasal dari hidung maupun mulut tidak mengenai produk, (b) mengetahui perlunya mencuci tangan dengan sabun setelah dari toilet, agar produk yang keluar dari perusahaan tetap terjamin, dan (c) mengetahui peraturan yang melarang pemakaian perhiasan bagi pekerja, agar perhiasan tidak mengotori bahan atau produk.

Sebanyak 72,2% menyatakan jika mengalami penyakit kulit, atau flu selama berada di pabrik maka yang dilakukan berobat ke dokter dan istirahat. Sebanyak 47,3% menyatakan tentang pelaksanaan sanitasi pabrik, baik untuk pekerja, peralatan dan ruangan pada kategori baik serta sebanyak 97,2% menyatakan agar semua pekerja memahami pentingnya sanitasi dan higiene maka perlu diberikan pendidikan,/pelatihan tentang sanitasi dan higiene.

Hasil wawancara berdasarkan persentase pemahaman karyawan tentang higiene dan sanitasi ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase Pemahaman Karyawan tentang Sanitase dan Higiene

No Aspek yang dinilai Persentase

≥ 50% < 50%

1 Pelatihan tentang sanitasi dan higiene √

2 Bertanggung jawab terhadap sanitasi di Pabrik √

3 Memahami manfaat sanitasi √

4 Mengetahui perlunya pemakaian sarung tangan √

5 Mengetahui penggunaan hairnet/topi/kerudung, penggunaan masker selama bekerja, perlunya mencuci tangan dengan sabun, mengetahui peraturan yang melarang pemakaian perhiasan, dan

√ 6 Pencegahan yang dilakukan bila mengalami penyakit serta pentingnya

memahami sanitasi dan hygiene √

Secara umum pemahaman karyawan tentang higiene dan sanitasi sebagian besar sudah baik, hal ini terkait dengan tingkat pendidikan karyawan, yaitu sebanyak 83,3% dengan latar belakang pendidikan SLTA, sehingga tingkat kesadaran dan perilaku dalam bekerja untuk memahami


(26)

pentingnya higiene dan sanitasi sesuai dengan yang ditetapkan oleh perusahaan, namun belum semuanya karyawan mengikuti pelatihan higiene dan sanitasi.

Menurut Minarni (1995) higiene pekerja yang menangani makanan sangat penting peranannya di dalam mencegah perpindahan penyakit ke dalam makanan. Persyaratan bagi pekerja agar mendukung higiene pekerja adalah kesehatan yang baik dan pengetahuan mengenai sanitasi. Hasil penelitian Sudibyo (2008) mengungkapkan terjadinya kontaminasi pada produksi mi kering salah satu bersumber dari karyawan. Hal ini kemungkinan disebabkan faktor berikut: (a) tidak ada pengawasan dalam hal sanitasi pencucian tangan sebelum masuk ke ruang pengolahan dan setelah keluar dari toilet, (b) fasilitas klinik tidak digunakan untuk check up rutin seluruh karyawan, khususnya di bagian produksi, (c) manajemen unit pengolahan tidak memiliki tindakan efektif untuk mencegah karyawan yang diketahui mengidap penyakit yang dapat mengkontaminasi produk, (d) kebersihan karyawan tidak terjaga dengan baik dan kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higiene (misalnya pakaian seragam celemek ada yang kotor, dan kebiasaan minum di ruang produksi).

Karyawan atau personel yang langsung menangani pengolahan pangan dapat mencemari bahan pangan atau pangan tersebut, baik berupa cemaran fisik, kimia maupun biologis. Oleh karena itu, higiene karyawan merupakan salah satu hal yang penting yang harus diperhatikan oleh industri pangan agar produk panganya bermutu dan aman untuk dikonsumsi. Upaya yang dapat dilakukan adalah memupuk kebiasaan karyawan yang baik dan melatih karyawan untuk meninggalkan kebiasaan yang buruk (Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2009)

.

5.2

EVALUASI SUMBER-SUMBER REKONTAMINASI DARI

PERALATAN

5.2.1 Mesin Pendinginan

Hasil evaluasi efektivitas sanitasi terhadap total TPC dan kapang dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Data yang disajikan merupakan rata-rata hasil swab dari line I dan line II.

25

20

5 30

20

10

50 55

5 5 0

10 20 30 40 50 60

Agustus September Oktober

Bulan

C

F

U

/

m

l

/c

m

2 Kipas

Chamber Rantai ulir Konveyor

Gambar 3. Jumlah Rata-rata TPC pada Mesin Pendinginan

Selama Bulan Agustus-Oktober 2011


(27)

5 5

15

5 5

0 5 10 15 20

Agustus September Oktober Bulan

C

F

U

/m

l /cm

2 Kipas

Chamber Rantai ulir Konveyor

Gambar 4. Jumlah Rata-rata Kapang pada Mesin Pendinginan

Selama Bulan Agustus-Oktober 2011

Hasil evaluasi efektivitas sanitasi data peralatan mesin pendinginan berdasarkan hasil swab

test selama 3 (tiga) bulan dapat dilihat pada (Lampiran 1). Jumlah rata-rata TPC pada konveyor ditemukan bulan Oktober dan pada rantai ulir lebih tinggi bulan September dibandingkan Oktober, sedangkan pada chamber dan kipas lebih tinggi bulan Agustus dibandingkan Oktober (Gambar 3). Hal ini terjadi karena karyawan yang melakukan sanitasi konsisten terhadap sanitasi harian maupun bulanan. Khamir, E.coli dan koliform tidak ditemukan dapat dilihat pada (Tabel 7). Jumlah rata-rata TPC cenderung menurun dan dibawah standar 102 CFU/ml/cm2.

Jumlah rata-rata kapang pada konveyor tidak ditemukan dan pada rantai ulir lebih tinggi bulan Oktober dibandingkan Agustus, sedangkan pada kipas ditemukan bulan September dan chamber

Oktober (Gambar 4). Cemaran mikroba kapang yang tinggi pada rantai ulir dan chamber, hal ini terjadi mungkin karena karyawan yang melakukan sanitasi kurang teliti terutama pada lubang di antara rantai ulir demikian juga pada chamber. Jumlah rata-rata kapang menurun dan dibawah standar 1,0x102 CFU/ml/cm2.

Rantai ulir, chamber dan kipas dibersihkan sekali dalam 3 bulan, menggunakan deterjen, permukaan digosok, dibilas dan dikeringkan. Khusus konveyor dilakukan sanitasi harian secara konsisten setiap pergantian shift dan sanitasi total (sekali dalam 3 bulan). Sanitasi harian dilakukan dengan cara dibersihkan menggunakan lap hangat, kemudian dikeringkan dengan semprotan udara kering dan selanjutnya disemprot dengan alkohol 70% yang dapat membunuh mikroba dan kapang, sedangkan sanitasi total dilakukan dengan cara mengangkat lembaran konveyor, digosok dengan detergen yang mengandung bahan aktif LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) kemudian dibilas hingga bersih dan dikeringkan.


(28)

Tabel 7. Jumlah Rata-rata Khamir,

E.coli

, Koliform pada Mesin Pendinginan

Selama Bulan Agustus-Oktober 2011

No Bulan/

Bagian Alat

Jumlah Cemaran Mikroba Standar Internal

CFU /ml/ cm2 APM/ml APM/ml CFU /ml/ cm2

Khamir E.coli Koliform (E.coli,

Koliform)

(TPC, Kapang, Khamir)

Agustus

1 Kipas 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

2 Chamber 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

3 Rantai ulir 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

4 Konveyor 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

September

1 Kipas 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

2 Chamber 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

3 Rantai ulir 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

4 Konveyor 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

Oktober

1 Kipas 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

2 Chamber 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

3 Rantai ulir 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

4 Konveyor 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

5.2.2 Mesin Pengemasan

Hasil evaluasi efektivitas sanitasi terhadap total TPC dapat dilihat pada Gambar 5. Data yang disajikan merupakan rata-rata hasil swab dari line I dan line II.

5 40 20 30 35 35 20 30 10 0 10 20 30 40 50

Agustus September Oktober

Bulan C F U /m l /c m 2 Konveyor Seal Machine Rantai ulir Keranjang bumbu

Gambar 5. Jumlah Rata-rata TPC pada Mesin Pengemasan

Selama Bulan Agustus-Oktober 2011

Hasil evaluasi efektivitas sanitasi peralatan mesin pengemasan berdasarkan hasil swab test

selama 3 (tiga) bulan dapat dilihat pada (Lampiran 2). Jumlah rata-rata TPC pada konveyor, keranjang bumbu dan seal machine ditemukan bulan Agustus dan September, sedangkan pada rantai ulir lebih tinggi bulan Agustus dan September dibandingkan Oktober (Gambar 5). Hal ini terjadi mungkin karena karyawan yang melakukan sanitasi kurang teliti dan tidak konsisten terhadap sanitasi harian


(29)

maupun bulanan. Mikroba kapang, khamir, E.coli dan koliform tidak ditemukan, hal ini disebabkan lingkungan mesin pengemasan tidak mendukung pertumbuhan mikroba tersebut dapat dilihat pada (Tabel 8). Jumlah rata-rata TPC menurun dan dibawah standar 102 CFU/ml/cm2.

Sanitasi pada rantai ulir, seal machine, keranjang bumbu dan konveyor dilakukan sekali dalam 3 bulan, menggunakan deterjen, permukaan digosok, dibilas dan dikeringkan. Khusus konveyor dilakukan sanitasi harian secara konsisten setiap pergantian shift. Sanitasi harian dilakukan dengan cara dibersihkan menggunakan lap hangat, kemudian dikeringkan dengan semprotan udara kering dan selanjutnya disemprot dengan alkohol 70%, sedangkan pada waktu sanitasi bulanan dengan cara mengangkat lembaran konveyor, digosok dengan detergen yang mengandung bahan aktif LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) kemudian dibilas hingga bersih dan dikeringkan.

Tabel 8. Jumlah Rata-rata Kapang, Khamir,

E

.

coli

, Koliform pada Mesin

Pengemasan Selama Bulan Agustus-Oktober 2011

No Bulan/

Bagian Alat

Jumlah Cemaran Mikroba Standar Internal

CFU /ml/ cm2 APM/ml APM/ml CFU /ml/ cm2

Kapang Khamir E.coli Koliform (E.coli, Koliform)

(TPC, Kapang, Khamir)

Agustus

1 Konveyor 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

2 Seal machine 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

3 Rantai ulir 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

4 Keranjang bumbu 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

September

1 Konveyor 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

2 Seal machine 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

3 Rantai ulir 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

4 Keranjang bumbu 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

Oktober

1 Konveyor 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

2 Seal machine 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

3 Rantai ulir 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

4 Keranjang bumbu 0 0 < 3 < 3 < 3 1,0x102

5.3

EVALUASI EFEKTIVITAS SANITASI RUANGAN PADA AREA

PENDINGINAN DAN PENGEMASAN PRIMER

5.3.1 Area pendinginan

Tabel 9. Jumlah Rata-rata Densitas Khamir pada Area Pendinginan

Selama Bulan Agustus-Oktober 2011

No Area pendinginan

Jumlah Densitas Mikroba CFU/ 15 menit /100cm2

Standar Internal (TPC,Kapang, Khamir)

CFU/ 15 menit /100cm2 Khamir

1 Agustus 0 1,0x102

2 September 0 1,0x102


(30)

Hasil evaluasi efektivitas sanitasi ruangan pada area pendinginan selama 3 bulan dapat dilihat pada Tabel 9 dan Lampiran 3. Jumlah rata-rata densitas mikroba TPC tertinggi bulan September dan terendah Agustus, sedangkan kapang tertinggi bulan September dan terendah Oktober. Jumlah rata-rata densitas mikroba TPC dan kapang serta khamir dibawah standar 1,0x102 CFU/ 15 menit /100cm2

dan cenderung menurun (Tabel 9 dan Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa SSOP untuk sanitasi ruangan yang telah dilakukan perusahaan efektif. Sanitasi harian dengan cara lantai dipel dan sanitasi bulanan dilakukan dengan cara lantai disikat menggunakan deterjen khusus yang mengandung bahan aktif LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) untuk menghilangkan kotoran minyak.

25 65 30 0 15

5

0 10 20 30 40 50 60 70

Agustus September Oktober Bulan

10

2 CF

U

/ 15 m

eni t / 100c m 2 TPC Kapang

Gambar 6. Jumlah Rata-rata Densitas Mikroba TPC dan Kapang pada Area

Pendinginan Selama Bulan Agustus-Oktober 2011

5.3.2 Area pengemasan

Tabel 10. Jumlah Rata-rata Densitas Khamir pada Area Pengemasan

Selama Bulan Agustus-Oktober 2011

No Area pengemasan

Jumlah Densitas Mikroba CFU/ 15 menit /100cm2

Standar Internal (TPC,Kapang, Khamir)

CFU/ 15 menit /100cm2 Khamir

1 Agustus 0 1,0x102

2 September 0 1,0x102

3 Oktober 0 1,0x102

Hasil evaluasi efektivitas sanitasi ruangan pada area pengemasan selama 3 bulan dapat dilihat pada Tabel 10 dan Lampiran 3. Jumlah rata-rata densitas mikroba TPC tertinggi bulan Agustus dan terendah Oktober, sedangkan kapang ditemukan bulan Agustus dan September. Jumlah rata-rata densitas mikroba TPC dan kapang serta khamir dibawah standar 1,0x102 CFU/ 15 menit /100cm2 dan cenderung menurun (Tabel 10 dan Gambar 7). Hal ini juga menunjukkan bahwa SSOP untuk sanitasi ruangan di area pengemasan mi yang telah dilakukan perusahaan efektif. Sanitasi harian dengan cara lantai dipel dan sanitasi bulanan dilakukan dengan cara lantai disikat menggunakan deterjen khusus yang mengandung bahan aktif LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) untuk menghilangkan kotoran minyak.


(31)

50 45 20 5 5 0 10 20 30 40 50

Agustus September Oktober

Bulan

10

2 CF

U

/ 15 m

eni t / 100c m 2 TPC Kapang

Gambar 7. Jumlah Rata-rata Densitas TPC dan Kapang pada Area

Pengemasan

Selama Bulan Agustus-Oktober 2011

Keberadaan cemaran mikroba TPC dan kapang pada area pengemasan dan pendinginan cenderung menurun, namun demikian cemaran ini merupakan sumber rekontaminasi. Cemaran ini diduga berasal dari udara sekitar lingkungan pabrik, karyawan yang tidak higienis dan penggunaan alat bantu lainnya yang kurang bersih serta aliran udara yang kurang tertata dengan baik pada ruang pengemasan dan pendinginan menyebabkan kualitas sanitasi ruangan tidak baik dan hal ini dapat mengakibatkan terjadinya rekontaminasi.

Salah satu cara untuk mengatasi hal ini dapat menggunakan atau memasang peralatan

positive air pada area pengemasan dan kontrol harus ketat mengingat produk sudah selesai diproses. Disarankan untuk perusahaan menetapkan area dengan prinsip “Zoning”, yaitu mencegah masuknya patogen kedaerah yang dijaga kebersihannya.

Untuk menerapkan CPMB dalam industri pangan, tahap pertama yang harus dilakukan oleh setiap industri pangan adalah perlu adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan perusahaan industri pangan dengan fokus keamananan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan keamanan pangan. Adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan dari perusahaan industri pangan berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat, dalam proses produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaannya. Tanpa adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan yang baik, program tersebut tidak akan berhasil dilaksanakan.

5.4

EVALUASI EFEKTIVITAS HIGIENE KARYAWAN

Tabel 11. Jumlah Rata-rata Cemaran

E.coli, Staphylococcus aureus

dan

Koliform pada Karyawan pada Area Pengemasan Selama Bulan

Agustus-Oktober 2011

No Bulan

Jumlah Cemaran Mikroba Standar Internal

E.coli APM/ml Staphylococcus aureus CFU/ml Koliform APM/ml (E.coli, Koliform) APM/ml Staphylococcus aureus CFU/ml (TPC, Kapang, Khamir) CFU /ml/ cm2

1 Agustus < 3 0 < 3 < 3 0 1,0x 102

2 September < 3 0 < 3 < 3 0 1,0x 102


(1)

3. Penyimpangan Operasional

:

…… ……, ……….

Pimpinan Unit Pengolahan, Petugas Penilai,

………..

1. ………..…………. ………….


(2)

64

Lampiran 9. Pemahaman Karyawan tentang Higiene dan Sanitasi

ANGKET

Berilah tanda silang ( X ) pada huruf yang anda anggap benar dan Jawaban bisa lebih dari satu

1. Pernahkah anda mengikuti latihan atau training mengenai sanitasi ? a. pernah b. berlum

Jika pernah dimana dan berapa lama...

2. Pendidikan terakhir anda

a. SD b. SMP c. SMA d.Sarjana 3. Saat ini anda bekerja pada bagian

a. Penerimaan RM b. Mixing adonan c. Steaming

d. Frying e. Cooling f. Packaging g. Inspeksi h. QC/QA

4. Menurut anda siapakah yang bertanggung jawab terhadap masalah sanitasi di pabrik ini ? a. Pekerja b. Mandor c. Pengawas d. Kepala pabrik e. Bagian QC/QA f. Bagian kebersihan g. c dan d benar

h. a dan b benar i. a,b,c benar h. semua jawaban benar 5. Apa yang anda ketahui mengenai sanitasi ?

a. Hal-hal yang bersifat bersih membersihkan b. Hal-hal yang berkaitan dengan kotoran c. Mencegah dan memelihara kotoran

d. Mencegah, memelihara dan membersihkan semua bagian dari kotoran e. ………

6. Apa pendapat anda terhadap pemakaian sarung tangan ? a. Tidak perlu cukup dengan membersihkan tangan saja b. Tidak perlu karena mengganggu kelancaran bekerja c. Tidak perlu karena membuat tangan bau dan berkeringat d. Perlu untuk keseragaman pekerja

e. Perlu bagi pekerja yang tangannya kotor f. Perlu agar produk mie yang kontak tidak kotor

g. ………

7. Apa yang anda ketahui mengenai penggunaan hairnet/topi/kerudung ? a. Tidak perlu jika rambutnya pendek

b. Tidak perlu jika rambutnya sudah dicuci c. Perlu agar seragam

d. Perlu agar rambut yang rontok ataupun cemaran dari rambut tidak mengenai bahan e. ………

8. Apa yang anda ketahui mengenai penggunaan masker selama bekerja ? a. Tidak perlu, karena pemakaiannya kurang nyaman

b. Perlu agar tidak ditegur pengawas

c. Perlu agar cemaran cemaran yang berasal dari hidung ataupun mulut tidak mengenai bahan 9. Apa yang anda ketahui tentang perlunya mencuci tangan dengan sabun setelah dari toilet ?

a. Perlu agar mentaati peraturan dari perusahaan b. Perlu agar mentaati perintah dari QC/QA c. Perlu agar tidak terkena teguran dari atasan

d. Perlu agar produk yang akan keluar dari perusahaan tetap terjamin kualitasnya e. ………

10. Apa pendapat anda terhadap peraturan yang melarang pemakaian perhiasan (cincin, gelang, anting, kalung, dll) bagi pekerja ?

a. Tidak perlu karena tidak ada kaitannya dengan produksi b. Tidak perlu kalau yakin perhiasannya tidak terjatuh c. Tidak perlu jika perhiasannya bersih

d. Perlu agar tidak terjadi kesenjangan social

e. Perlu agar perhiasan tidak mengotori bahan ataupun produk


(3)

11. Apa yang anda lakukan jika anda mengalami penyakit kulit, atau flu selama berada di pabrik ?

……… ……… ……… ……… ………

12. Menurut anda bagaimana pelaksanaan sanitasi dipabrik ini baik untuk pekerja, peralatan atau ruangan.

a. Sangat buruk b. buruk c. sedang-sedang saja d. baik e. baik sekali

13. Sanitasi sangat berhubungan erat dengan pekerja pabrik. Menurut pendapat anda bagaimana caranya agar semua bagian atau pekerja memahami pentingnya sanitasi ?

a. Peraturan yang tegas

b. Pemberian hukuman jika melanggar

c. Diberikan pendidikan/pelatihan atau pemahaman terhadap sanitasi d. contoh dari pengawas

* bagi pilihan jawaban yang diberi (..) silahkan anda memberikan pendapat anda jika pendapat anda ada yang berbeda ataupun mendukung dengan pilihan diatasnya

** Terima Kasih karena telah meluangkan waktu bapak/ibu, quisioner ini bertujuan untuk meningkatkan tekat kita bahwa sanitasi pribadi itu penting .


(4)

66

Lampiran 10. Struktur Organisasi

Presiden Director

Operational Dierector

Assist Operational Director

Noodle Factory

Manager

Medan

Ciawi

Seasoning Chilli

kecthup Factory

Manager

PPIC

Manager

R&D

Manager

HRD

Manager

QA/QC

Manager

Workshop

& Utility

manager

Seasoning

Chilli

Ketchup


(5)

Lampiran 11.

Layout

Pabrik


(6)

Ricky Gunawan Manurung F24070085.

Evaluasi Efektivitas Sanitasi pada Area

Pendinginan dan Pengemasan pada Produksi Mi Instan di PT. X Ciawi-Bogor

Di bawah bimbingan Sri Laksmi Suryaatmadja dan Ir. Yus Elidawati Nasution, 2011

RINGKASAN

Industri pangan, khususnya industri mi instan, sanitasi yang baik menjadi hal yang sangat penting. Sanitasi yang tidak baik dapat memberikan efek yang tidak diinginkan terhadap produk pangan mi instan. Oleh karena itu, pelaksanaan sanitasi yang baik seharusnya menjadi perhatian utama dalam industri pangan. Sanitasi pada industri pangan umumnya meliputi sanitasi peralatan atau mesin, higiene pekerja, dan sanitasi lingkungan.

Tujuan penelitian adalah mengevaluasi sumber-sumber rekontaminasi produk khususnya pada area pendinginan dan pengemasan, serta mengevaluasi efektivitas sanitasi mesin dan peralatan, udara (ruangan) dan higiene karyawan pada kedua area tersebut. Penelitian dilakukan di PT X pada bulan Agustus sampai Oktober 2011.

Untuk mengetahui ketersediaan fasilitas GMP dan SSOP dilakukan dengan metode pengumpulan informasi. Untuk mengetahui pemahaman karyawan tentang higiene dan sanitasi dilakukan dengan metode wawancara. Sumber-sumber yang memungkinkan terjadinya rekontaminasi ditetapkan dengan metode swab test pada mesin pendinginan dan pengemasan. Efektivitas sanitasi ruangan dievaluasi dengan metode penangkapan udara di area pendinginan dan pengemasan. Evaluasi efektivitas penerapan higiene karyawan dalam lingkungan pendinginan dan pengemasan dilakukan dengan metode swab test.

Hasil penelitian menunjukkan kondisi fasilitas GMP dan SSOP sudah cukup tersedia, namun dalam penerapan GMP masih terdapat 5 penyimpangan; yaitu: 4 penyimpangan minor dan 1 penyimpangan mayor yang mencakup pertemuan antara lantai dan dinding tidak mudah dibersihkan, pertemuan antara dinding dan dinding tidak mudah dibersihkan, konstruksi tidak sesuai persyaratan teknik sanitasi dan higiene (tidak rata, tidak kuat, retak atau licin), sistem pembuangan limbah cair/saluran disekitar lingkungan pabrik kurang baik, pencegahan serangga, burung, tikus, dan binatang lain tidak efektif, sedangkan pemahaman karyawan tentang higiene dan sanitasi sudah baik. Sumber rekontaminasi dari peralatan mesin pendingin pada bagian alat seperti; konveyor, kipas,

chamber dan rantai ulir, ditemukan cemaran TPC dan kapang. Jumlah rata-rata cemaran TPC dan

kapang dibawah standar 102 CFU/ml/cm2. Cemaran mikroba khamir, E.coli dan koliform tidak ditemukan. Sedangkan mesin pengemasan pada bagian alat ; konveyor, keranjang bumbu dan seal

machine, ditemukan cemaran TPC. Jumlah rata-rata cemaran TPC dibawah standar internal (1,0x102

CFU/ml/cm2). Cemaran mikroba kapang, khamir, E.coli dan koliform tidak ditemukan. Sanitasi mesin pendinginan dan pengemasan sudah efektif.

Sanitasi ruangan pada area pendinginan dan pengemasan ditemukan densitas TPC, kapang dan khamir, namun jumlah rata-rata densitas mikroba dibawah standar internal (1,0x102 CFU/ 15 menit /100cm2). Sanitasi ruangan yang telah dilakukan perusahaan pada area pendinginan dan

pengemasan sudah efektif. Higiene karyawan dalam lingkungan pendinginan dan pengemasan ditemukan cemaran TPC, sedangkan cemaran E.coli, Staphylococcus aureus dan koliform tidak ditemukan. Jumlah rata-rata cemaran TPC dibawah standar 1,0x102 CFU/ml/cm2. Secara umum implementasi sanitasi baik peralatan maupun ruangan dan higiene karyawan yang telah dilakukan perusahaan sudah efektif.

Untuk meminimalisasi rekontaminasi, perlu mengimplementasikan sistem manajemen keamanan pangan yang konsisten dan berkelanjutan. Perhatian terhadap sanitasi lingkungan pabrik perlu ditingkatkan terutama bagian pembuangan limbah cair. Sanitasi mesin dan peralatan perlu dilakukan secara rutin dengan frekuensi lebih sering dan terprogram. Perlu dilakukan pelatihan dan diberikan seminar tentang prinsip higiene dan sanitasi dengan benar secara berkala dan berkesinambungan serta melaksanakan SOP higiene dan sanitasi secara konsisten.