DNA Polymorphism Analysis of Turmeric (Curcuma longa L.) and Ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Local Plant Using RAPD’s Marker

ANALISIS POLIMORFISME DNA TANAMAN KUNYIT
(Curcuma longa L.) DAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) LOKAL MENGGUNAKAN MARKA RAPD

ANNISA UTAMI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
ANNISA UTAMI. Analisis Polimorfisme DNA Tanaman Kunyit (Curcuma longa
L.) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Lokal Menggunakan Marka
RAPD. Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan POPI ASRI KURNIATIN.
Tanaman kunyit (Curcuma longa L.) dan temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) lokal Indonesia yang tersebar dan mudah ditemukan di
wilayah Indonesia banyak digunakan sebagai obat tradisional. Kandungan
kurkumin pada kedua tanaman tersebut memiliki banyak khasiat kesehatan, yaitu
sebagai obat antiproliferatif dan antiinflamasi. Adanya polimorfisme DNA pada

kedua tanaman tersebut di beberapa lokasi Pulau Jawa belum diidentifikasi. Oleh
karena itu, perlu dilakukan analisis genetik untuk menentukan keragaman kedua
tanaman tersebut. Salah satu teknik yang biasa digunakan untuk analisis
keragaman genetik adalah PCR RAPD. Tujuan penelitian ini mengisolasi DNA
tanaman kunyit dan temulawak dan menentukan pola genetik tanaman tersebut
dengan PCR RAPD. PCR dilakukan dengan menggunakan 20 primer acak OPA,
OPB, OPC, dan OPD (1-5). Ekstraksi DNA menggunakan metode modifikasi
Zheng et al. 1995 pada 13 sampel daun temulawak dan kunyit. Hasil
menunjukkan bahwa primer yang dapat mengamplifikasi DNA sampel, yaitu:
primer OPA-1, OPA-3, OPA-4, OPC-1, OPC-2, OPC-4, dan OPD-4. Selain itu,
hanya tiga sampel yang dapat teramplifikasi, yaitu: temulawak Wonogiri,
temulawak Karang Anyar, dan kunyit Wonogiri. Sampel yang teramplifikasi
memiliki pola genetik yang berbeda yang dihasilkan oleh setiap primer acak
sehingga kedua puluh primer acak dapat digunakan sebagai marka untuk analisis
fingerprint.
Kata kunci: kunyit, temulawak, RAPD, kunyit Wonogiri, fingerprint

ABSTRACT
ANNISA UTAMI. DNA Polymorphism Analysis of Turmeric (Curcuma longa
L.) and Ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Local Plant Using RAPD’s Marker.

Under the direction of LAKSMI AMBARSARI and POPI ASRI KURNIATIN.
Turmeric (Curcuma longa L) and ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
local plants widely spread and easily find throughout Indonesian region. It’s
widely used as traditional medicine. Both of plants have Curcumin which has
many health benefits, such as antiproliferative and antiinflamation activity. DNA
polymorphism on both plants of Java Island has yet to be performed. Hence, the
genetic analysis to determine the diversity of both plants are necessary. RAPD
PCR technic can fulfill such purpose. The aim of this research are isolate genomic
DNA of turmeric and ginger and determine the genetic patterns of these plants
using RAPD PCR. PCR accomplished using 20 random primers OPA, OPB, OPC,
and OPD (1-5). DNA extraction was accomplished using modified Zheng et al.
(1995) method on 13 leaves of turmeric and ginger. The results showed that the
primers are OPA-1, OPA-3, OPA-4, OPC-1, OPC-2, OPC-4, and OPD-4. In
addition, there is are three amplifiable samples. They are Wonogiri ginger, Karang
anyar ginger, and Wonogiri turmeric. Furthermore, the amplifiable samples has
different genetic patterns on each random primer so 20 random primers that can
be used as marker for fingerprint analysis.
Key word: turmeric, ginger, RAPD, Wonogiri turmeric, fingerprint

ANALISIS POLIMORFISME DNA TANAMAN KUNYIT

(Curcuma longa L.) DAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) LOKAL MENGGUNAKAN MARKA RAPD

ANNISA UTAMI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul Skripsi : Analisis Polimorfisme DNA Tanaman Kunyit (Curcuma longa
L.) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Lokal
Menggunakan Marka RAPD
Nama

: Annisa Utami
NIM
: G84080002

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Laksmi Ambarsari, MS
Ketua

Popi Asri Kurniatin, S.Si. Apt, M.Si
Anggota

Diketahui

Dr.Ir. I Made Artika, M.App.Sc.
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan barokah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah ini. Penelitian yang dilakukan berjudul “Analisis Polimorfisme DNA
Tanaman Kunyit (Curcuma longa L.) dan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) Lokal Menggunakan Marka RAPD”. Penulis melakukan penelitian tersebut
pada bulan Februari hingga September 2012 di Laboratorium Biokimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Genetika Molekuler
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Pembuatan karya ilmiah ini tidak lepas dari kontribusi berbagai pihak.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Laksmi Ambarsari, MS dan Popi Asri
Kurniatin, S.Si, Apt, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
saran, kritik, dan bimbingannya selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang selalu
mendukung, memberi semangat, dan mendo’akan penulis selama penelitian dan
penulisan karya ilmiah. Selain itu, penulis sampaikan terima kasih kepada
Khoerotun Nisa’, Meylisa, Rara June Azni, Riani Meryalita, Deffy Prahaditya,
Rabiatul Adawiyah, Nur Aeny P, Rian Triana, An Nisa Rosiyana, Kak Dora,
Aulia Eka Anindita, Nadia Adi Pratiwi, Lusianawati, Yuanita Kusuma, serta
teman-teman lainnya yang telah membantu dalam melakukan penelitian dan

penulisan karya ilmiah.
Penulis menyadari bahwa dalam melaksanakan penelitian dan penulisan
karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berterima
kasih atas kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan karya selanjutnya.
Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2012
Annisa Utami

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Februari 1990, putri pertama dari
Bapak Sutomo dan Ibu Anna Roselliana. Penulis merupakan anak pertama dari
dua bersaudara.
Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Batan Indah tamat tahun 2002.
Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama 2 Cisauk tamat tahun 2005.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cisauk dan pada tahun yang sama
lulus seleksi masuk IPB jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih
mayor Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama perkuliahan, penulis menjadi pengajar Fisika Dasar untuk TPB
selama periode UTS 2009/2010 di salah satu bimbingan pelajar. Penulis juga

menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia Dasar selama matrikulasi
2010/2011 dan reguler periode 2010/2011. Penulis juga mejadi asisten praktikum
Biokimia Umum dan Pengantar Penelitian Biokimia periode 2011/2012. Penulis
juga ikut dalam beberapa kepanitian. Penulis menjadi sekertaris dalam divisi CIC
di CREBs periode 2010/2011.
Penulis melakukan praktik lapangan di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia dengan judul “Aktivitas dan Karakter Kitinase Isolat Jamur
Paecilomyces sp dari Pupa Arctornis riguata”. Penulis pernah menulis abstrak
karya ilmiah yang berjudul “The Prospect of Taxus sumatrana as Anticancer Drug
with Nanoencapsulation Technology” bersama Khoerotun Nisa’ dan Titi
Rohmayanti yang diterima di konferensi Universitas Kyoto tahun 2011. Penulis
juga pernah menjadi pemakalah dalam seminar Himpunan Kimia Indonesia (HKI)
2012 bersama Nur Aeny P dan Riani Meryalita yang dibimbing oleh Ibu Laksmi
Ambarsari, Ibu Popi Asri Kurniatin, dan Bapak Waras Nurcholis.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... . ix
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN


.................................................................................. ix

.........................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit ...................................................................................................
Temulawak .............................................................................................
PCR .......................................................................................................
PCR-RAPD ............................................................................................
Marka Molekular .....................................................................................

1
2
3
4
5


BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat . ................................................................................... ..
Metode Penelitian ................................................................................ ..

6
6

HASIL DAN PEMBAHASAN
DNA Genom Tanaman Kunyit dan Temulawak ................................... .. 7
Analisis Kuantitatif DNA Genom ......................................................... .. 8
Fragmen DNA Hasil PCR RAPD .......................................................... .. 11
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. .. 14
DAFTAR PUSTAKA ............... ...................................................................... .. 15
LAMPIRAN .................................................................................................. .. 18

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman kunyit .........................................................................................

2


2 Tanaman temulawak ..................................................................................

3

3 Reaksi PCR RAPD ....................................................................................

4

4 Reaksi penemuan perbedaan genom DNA (PCR-RAPD) .........................

4

5 Elektroforegram DNA genom temulawak dan kunyit ...............................

9

6 Elektroforegram OPC-1 .............................................................................

12


DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Strategi penelitian

....................................................................................

19

2 Analisis kuantitatif DNA kunyit dan temulawak ......................................

20

3 Elektroforegram amplikon dengan primer RAPD ......................................

21

4 Pola pita DNA hasil amplifikasi PCR RAPD ............................................

26

1

PENDAHULUAN
Indonesia
memiliki
keanekaragaman
hayati yang tersebar luas di seluruh wilayah
Indonesia. Di antara tanaman tersebut terdapat
tanaman kunyit (Curcuma longa L.) dan
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb).
Kedua tanaman tersebut memiliki banyak
manfaat terutama dalam bidang kesehatan.
Selain itu, kedua tanaman tersebut sangat
digemari masyarakat Indonesia sebagai obat
tradisional karena mudah ditemukan hampir di
seluruh bagian Indonesia terutama di daerah
dataran sedang dan tinggi (Warintek 2004).
Tanaman kunyit (Curcuma longa L.) dan
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
memiliki banyak manfaat. Kunyit bermanfaat
sebagai pemberi warna kuning alami. Hal
tersebut disebabkan adanya kandungan
senyawa kurkumin di dalam kunyit. Selain itu,
kunyit sangat berguna sebagai pengawet pada
makanan. Kunyit banyak digunakan sebagai
obat tradisional, seperti menyembuhkan
penyakit disentri, sakit kuning, infeksi kulit
dan mata, luka, arthitis, dan bisul (Singh
2007).
Kunyit
mengandung
senyawa
kurkumin dan turunan kurkumin (demetoksi
kurkumin dan bis-demetoksi kurkumin).
Senyawa kurkumin pada rimpang kunyit
terdapat sebanyak 3-4%. Kurkumin tersebut
memiliki banyak manfaat, yaitu: sebagai
antioksidan, antiinflamasi, antikarsinogenik,
antibakteri, dan antitumor (Chattopadhyay et
al. 2004). Kandungan kurkumin pada kunyit
dapat menghambat pertumbuhan sel kanker
paru in vivo (Meiyanto 1999). Kandungan
kurkumin pada kunyit saat ini telah digunakan
sebagai agen terapi kanker di Indonesia.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
juga memiliki banyak khasiat, yaitu:
menyembuhkan penyakit hepatitis, penyakit
hati, dan diabetes. Temulawak dikenal sebagai
hepatoprotektor
di
seluruh
Indonesia.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
sangat efektif dalam menurunkan kadar
SGPT, SGOT, dan γ-glutamat transferase
(Seong et al. 2004). Temulawak mengandung
senyawa kurkumin, turunan kurkumin, dan
xanthorizol. Xanthorizol berkhasiat sebagai
agen antiproliferatif (Cheah et al 2006),
antibakteri (Husein et al 2009), antiinflamasi,
dan antioksidan (Lim et al 2005). Senyawa
kimia pada kunyit dan temulawak telah
diketahui bermanfaat untuk antiproliferatif
dan antiinflamasi. Aktivitas antiinflamasi
dalam tubuh akan mengurangi rasa nyeri,
panas, dan lainnya yang disebabkan oleh
inflamasi. Aktivitas antiproliferatif dalam

tubuh
membantu
menghambat
dan
menurunkan pertumbuhan sel kanker sehingga
mencegah pertumbuhan sel kanker pada
tubuh. Oleh karena itu, kedua aktivitas
tersebut yang ditemukan dalam temulawak
dan kunyit merupakan hal penting.
Tanaman kunyit dan temulawak banyak
tersebar luas di Pulau Jawa, seperti Sragen
dan
Wonogiri.
Perbedaan
wilayah
menyebabkan adanya polimorfisme DNA atau
keragaman genetik pada tanaman tersebut
(Hutter et al. 2006). Adanya polimorfisme
DNA pada kedua tanaman tersebut di
beberapa lokasi di Pulau Jawa belum
diidentifikasi. Polimorfisme DNA dapat
diketahui dengan menggunakan teknik
analisis DNA, yaitu PCR-RAPD (Polymerase
Chain
ReactionRandom
Amplified
Polymorphic DNA). Oleh karena itu,
penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui
pola genetik dari tanaman kunyit dan
temulawak.
Penelitian bertujuan mengisolasi DNA
tanaman kunyit dan temulawak dan
menentukan pola genetik tanaman tersebut
dengan PCR RAPD menggunakan empat jenis
primer (OPA, OPB, OPC, dan OPD) dengan
range 1-5. Hipotesis penelitian, yaitu masingmasing sampel menghasilkan DNA genom
dan pola genetik. Pola genetik tersebut dapat
dimanfaatkan untuk menganalisis kekerabatan
genetik dengan membuat pohon filogenetik.
Pola genetik tersebut dapat dijadikan sebagai
DNA fingerprint dengan menggunakan empat
jenis primer tersebut sebagai marka. Selain
itu, pola genetik tersebut digunakan untuk
identifikasi pertanian.

TINJAUAN PUSTAKA
Kunyit (Curcuma longa L.)
Kunyit merupakan tanaman obat yang
dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis.
Tanaman kunyit tumbuh sangat baik jika
mendapat sinar matahari langsung. Tanaman
kunyit ditanam sebagai komponen tanaman
rotasi dengan beras, tebu, dan kapas. Tanaman
kunyit juga dapat tumbuh di lereng bukit.
Tanaman Kunyit dibudidayakan di India, Cina
Selatan,
Myanmar,
Indonesia
(Jawa),
Thailand, dan Filipina (Ravindran et al. 2007).
Tanaman kunyit merupakan divisi
Spermatofita, subdivisi
Angiospermae,
memiliki kelas Monokotiledon, memiliki
bangsa Zingiberales, famili Zingiberaceae,
memiliki genus Curcuma, dan spesies
Curcuma longa Linn. Nama ilmiah lain dari

2

tanaman kunyit, yaitu Curcuma domestiva
Val. (Ravindran et al. 2007).
Tanaman kunyit tumbuh bercabang hingga
1m. Batang tanaman kunyit merupakan batang
semu, tegak, bulat, berwarna hijau, dan
membentuk rimpang serta tersusun dari
pelepah daun. Daun tanaman kunyit memiliki
ujung dan pangkal daun runcing dan
pertulangan daun menyirip dengan warna
hijau pucat serta panjang daun hingga 50 cm.
Kulit luar rimpang berwarna jingga
kekuningan dan daging buah berwarna orange
kemerahan (Gambar 1) (Ravindran et al.
2007). Kunyit memiliki rasa agak pahit,
sedikit pedas, berbau khas aromatik, bersifat
sejuk, dan tidak beracun (Hariana 2008).
Kunyit mengandung senyawa kimia yang
berkhasiat bagi kesehatan. Kandungan kimia
dari kunyit, yaitu: minyak atsiri (zingiberen,
turmeron, curzerene, dan sesquiterpenol),
kurkuminoid, pati, tanin, dan resin
(Wijayakusuma 2008). Kurkuminoid pada
kunyit, yaitu: kurkumin, metilkurkumin,
sodiumcurcuminate, demetoksikurkumin, dan
bis- demetoksikurkumin (Chattopadhyay et al.
2004). Kurkumin di dalam rimpang kunyit
memiliki
efek
sebagai
antiinflamasi,
antibakteri, antioksidan, dan hepatoprotektor.
Oleh karena itu, kunyit dapat digunakan
dalam membantu meredakan rasa sakit pada
kanker, menurunkan kolesterol tinggi,
hipertensi,
hepatitis,
rematik
sendi,
antibakteri, analgesik, dan melancarkan
sirkulasi darah (Wijayaksusuma 2008). Selain
itu, kunyit dapat menghambat angiogenesis,
melindungi pembentukan katarak, dan
menekan gejala rematik sendi (Ravindran et
al. 2007).
1

2

3

Gambar

1 Tanaman kunyit. (1) daun
(2) batang tanaman (3) rimpang
(tanamanherbal.wordpress.com)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
Curcuma xanthorrhiza berasal dari bahasa
Arab, kurkum yang berarti kuning dan
xanthorrhiza berasal dari bahasa Yunani yang
berarti umbi akar. Pertumbuhan temulawak
tersebar di beberapa negara, seperti India,
Arab, dan Cina Selatan. Tinggi tanaman
temulawak dapat mencapai 2 m. Warna bunga
temulawak berwarna merah keunguan. Daun
temulawak berwarna hijau dengan panjang
hingga 84 cm. Batang tanaman berasal dari
pelepah daun yang saling menutup (Sidik et
al.1993). Batang tersebut berwarna hijau
hingga coklat gelap dan tumbuh tegak lurus.
Akar temulawak merupakan akar rimpang.
Rimpang temulawak berwarna jingga
kecoklatan. Rimpang temulawak berukuran
paling besar di antara semua rimpang genus
Curcuma (Afifah & Lentera 2003) (Gambar
2).
Temulawak memiliki beberapa kandungan
kimia. Kandungan kimia temulawak, yaitu:
protein, lemak, serat kasar, karbohidrat,
kurkumin, dan mineral (K, Na, Ca, Mg, Fe,
Mn, dan Cd). Mineral yang banyak
terkandung di dalam temulawak, yaitu Ca
sebesar 19.07 ppm (Sidik et al. 1993).
Temulawak memiliki tiga bagian utama,
yaitu: pati, kurkuminoid, dan minyak atsiri.
Akar rimpang temulawak mengandung
minyak atsiri yang tidak kurang dari 6%.
Minyak atsiri temulawak mengandung
beberapa zat, yaitu: xanthorhizol, zingiberen,
seskuiterpen, turunan bisabolen, α-curcumene,
1-sikloisoprenmyrcene,
ketonseskuiterpen,
epolisid-bisakuron A, bisakuron B, bisakuron
C, tumeron, α-turmeron, monoterpen, dan
sineol (Afifah & Lentera 2003). Kandungan
kurkuminoid
pada
temulawak,
yaitu:
5’metoksikurkumin,
dihidrokurkumin,
kurkumin,
demetoksikurkumin,
bisdemetoksikurkumin, monometoksikurkumin,
oktahidrokurkumin, dan heksahidrokurkumin
(Setiawan 2007). Kurkuminoid memiliki
aroma khas, tidak toksik, tidak larut dalam
dietileter dan air serta berbentuk serbuk
dengan rasa sedikit pahit. Kurkuminoid akan
berwarna kuning jika dalam suasana asam dan
akan berwarna merah jika dalam suasana basa
(Afifah & Lentera 2003).
Xanthorizol merupakan salah satu minyak
atsiri yang hanya ditemukan di dalam
temulawak. Xanthorizol berkhasiat sebagai
agen antiproliferatif (Cheah et al. 2006),
antibakteri (Husein et al. 2009), antiinflamasi,
dan antioksidan (Lim et al. 2005). Tanaman
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
juga memiliki banyak khasiat, yaitu:

3

menyembuhkan penyakit hepatitis, penyakit
hati, dan diabetes. Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) sangat efektif dalam
menurunkan kadar SGPT, SGOT, dan γglutamat transferase (Seong et al. 2004).
1

2
3

Gambar 2 Tanaman temulawak. (1) daun
(2) batang tanaman (3) rimpang
(sejutaherba.blogspot.com;
myplanta.com)
Polymerase Chain Reaction
Polymerase Chain Reaction (PCR)
merupakan sintesis penentuan wilayah DNA
menggunakan fragmen DNA (primer) untuk
diamplifikasi. Reaksi amplifikasi PCR bersifat
spesifik. Hal tersebut ditentukan dengan
penempelan sekuen spesifik primer pada
sekuen DNA target yang komplementer
(Verkuil et al. 2008). Prinsip PCR, yaitu
sejumlah kecil DNA target dapat diamplifikasi
menjadi jumlah yang banyak. PCR banyak
digunakan
dalam
berbagai
aplikasi
laboratorium, yaitu: amplifikasi target,
amplifikasi probe, dan amplifikasi sinyal
(Verkuil et al. 2008). PCR terdapat beberapa
macam, yaitu PCR-RFLP (Restriction
Fragmen Length Polymorphism), PCR-RAPD
(Random Amplified Polymorphic DNA), Real
Time-PCR, Reverse Transcriptase PCR,
AFLP
(Amplified
Fragmen
Length
Polymorphism), dan ISSR (Intersequence
Spesific) PCR (Semagn et al. 2006).
Amplifikasi PCR memiliki beberapa
tahapan reaksi. DNA didenaturasi untuk
memisahkan double helix DNA menjadi
single strand. Hal tersebut dilakukan dengan
pemanasan sampel DNA di dalam larutan
dengan suhu 94oC selama 30 detik hingga 5
menit. Penempelan primer spesifik pada setiap
strand (annealing) dilakukan pada suhu
rendah, yaitu 40oC dan 65oC (bergantung dari
primer yang digunakan). Suhu kemudian

ditingkatkan hingga sekitar 72oC. Suhu
tersebut merupakan suhu optimal dari DNA
polimerase. Kemudian, siklus tersebut diulang
hingga beberapa kali. Satu siklus replikasi
menghasilkan molekul DNA double strand
baru (amplikon) yang komplementer dengan
sekuen primer yang digunakan (Verkuil et al.
2008). Reaksi PCR membutuhkan beberapa
hal dalam reaksi. Hal-hal yang dibutuhkan
dalam reaksi PCR, yaitu: thermocycler,
sampel dsDNA (sekuen target), DNA
polimerase, dua primer, dNTPs, dan larutan
bufer (MgCl 2 ) (Semagn et al. 2006).
PCR memerlukan sepasang primer untuk
proses amplifikasi. Primer merupakan sekuen
DNA yang digunakan untuk amplifikasi
sekuen DNA target. Komposisi basa dan
panjang primer merupakan karakteristik yang
penting
dalam
amplifikasi
untuk
menghasilkan produk PCR yang spesifik.
Primer dapat didisain baik secara manual
maupun menggunakan software. Beberapa
program komputer dapat membantu dalam
mendisain primer PCR yang spesifik, yaitu:
MEDUSA, Primer3, dan PrimerQuest. Primer
dirancang antara 18 hingga 30 nukleotida.
Panjang primer PCR sangat mempengaruhi
suhu annealing primer (Verkuil et al. 2008).
PCR bermanfaat dalam bidang penelitian
molekuler. PCR dapat digunakan dalam
mengidentifikasi suatu spesies. PCR dapat
digunakan dalam menentukan kekerabatan
genetik dari spesies Curcuma (Hayakawa et
al. 2011). PCR juga bermanfaat dalam
menentukan
kestabilan
genetik
dari
micropropagated Curcuma amada Roxb.
dengan tanaman tetua (Mohanti et al. 2012).
Selain itu, PCR juga dapat digunakan untuk
diagnosis patogen, menentukan marker
genetik, mencari templat DNA, mendeteksi
mutasi titik, kloning cDNA, kloning DNA
genom, dan mutagenesis In vitro (Viljoen et
al. 2005).
PCR
meskipun
memiliki
banyak
keuntungan dalam penelitian, namun PCR
juga
memiliki
kekurangan.
Beberapa
kekurangan PCR, yaitu: PCR merupakan
teknik yang sensitif, adanya kontaminasi
silang antar sampel, konsentrasi ion Mg2+
sangat menentukan, ikatan yang tidak spesifik
antara sekuen target dengan primer, dan
pembentukan dimmer pada primer. Selain itu,
hasil PCR juga tidak dapat memuaskan karena
beberapa hal, yaitu: terlalu banyak dNTP atau
dNTP terdegradasi, tidak menghomogenkan
larutan MgCl 2 , konsentrasi MgCl 2 salah, ada
beberapa inhibitor di dalam reaksi, terlalu
banyak
enzim,
salah
menambahkan

4

konsentrasi primer, memilih program yang
salah pada PCR, terlalu banyak atau sedikit
template yang digunakan, dan disain primer
yang kurang baik (Srhidrar 2006).
Random Amplification of Polymorphic DNA
Random Amplification of Polymorphic
DNA (RAPD) merupakan salah satu jenis dari
reaksi PCR yang menggunakan fragmen DNA
acak sebagai primer. Acak yang dimaksud
adalah menggunakan segmen DNA yang tidak
diketahui. Marker-marker RAPD adalah pita
DNA hasil amplifikasi PCR dari DNA genom
dengan primer tunggal yang memiliki sekuen
nukleotida tidak tentu. Prinsip PCR RAPD,
yaitu RAPD tidak membutuhkan informasi
spesifik mengenai sekuen DNA target. PCRRAPD membutuhkan 10 nukleotida sebagai
primer yang dapat mengamplifikasi sekuen
DNA target bergantung dari posisi
komplementer pada sekuen primer. Pemilihan
sekuen yang tepat untuk primer sangat
penting. Sekuen yang berbeda akan
menghasilkan susunan pita yang berbeda dan
memungkinkan terjadinya pengenalan spesifik
pada strain individu. Jika terdapat delesi pada
suatu lokasi template, maka akan terjadi
polimorfisme. Hal tersebut dapat dilihat pada
hasil elektroforesis dari pita yang terputusputus sehingga bersifat dominan (NCBI
2011).
Reaksi PCR RAPD ditunjukkan pada
Gambar 3. Gambar tersebut menunjukkan
terdapat beberapa panah pada reaksi pertama.
Panah-panah tersebut merupakan banyaknya
salinan dari primer (semua primer memiliki
sekuen yang sama). Arah panah menunjukkan
arah sintesis DNA akan terjadi. Nomor pada
setiap panah menunjukkan lokasi templat
DNA yang berikatan dengan primer. Primer
berikatan pada sisi 1, 2, dan 3 pada ujung
bawah templat DNA dan primer berikatan
pada sisi 4, 5, dan 6 pada ujung atas templat
DNA. Reaksi tersebut menghasilkan dua
produk, yaitu produk A dan produk B. Produk
A dihasilkan oleh amplifikasi PCR pada
sekuen DNA yang terletak di antara ikatan
primer pada posisi 2 dan 5. Produk B
dihasikan oleh amplifikasi PCR pada sekuen
DNA yang terletak di antara ikatan primer 3
dan 6. Selain itu, tidak terdapat hasil PCR
RAPD pada ikatan 1 dan 4 karena primer
terlalu jauh untuk menyelesaikan reaksi PCR.
Hasil PCR RAPD juga tidak dihasilkan pada
ikatan 4 dan 2 atau 5 dan 3 karena pasangan
primer tidak saling berhadapan (tatap muka).
Gambar 4 menunjukkan bahwa hanya produk
B yang dihasilkan dari PCR RAPD. Jika

templat DNA lain dihasilkan dari sumber
yang berbeda, maka mungkin terdapat
beberapa perbedaan dalam sekuen DNA dari
dua template. Hal tersebut disebabkan primer
tidak dapat secara lama mengikat dua sisi
(Rutgers 2008).
Metode PCR-RAPD terdapat beberapa
tahap. Tahapan metode PCR RAPD secara
umum, yaitu: isolasi DNA, reaksi PCR
dengan primer, pemisahan fragmen DNA
dengan elektroforesis gel, dan visualisasi
fragmen
DNA
menggunakan
etidium
bromida. Fragmen DNA target yang
digunakan dapat berupa sejumlah kecil DNA
dan DNA harus bersih. DNA yang murni
bertujuan mencegah penghambatan kerja
enzim polimerase oleh polisakarida dan
polifenol. Jika jumlah molekul DNA tidak
mencukupi, maka hasil PCR akan susah
dipastikan. Reaksi PCR membutuhkan primer
dengan panjang 10 nukleotida, penambahan
MgCl 2 , dan siklus penempelan dengan DNA
template (fragmen DNA) pada suhu rendah
(40oC). Elektroforesis gel dapat dilakukan
pada gel agarosa dan gel akrilamid (William
et al. 1990).

Templat DNA
Reaksi PCR

Produk A

Produk B

Gambar 3 Reaksi PCR RAPD
(avery.rutges.edu)
Templat DNA

Reaksi PCR

Produk B

Gambar 4 Reaksi penemuan perbedaan genom
DNA dengan analisis PCR RAPD
(avery.rutges.edu)

5

PCR
RAPD
memiliki
beberapa
keuntungan. RAPD menghasilkan fragmen
DNA (amplikon) dengan jumlah yang tinggi.
RAPD merupakan metode yang sederhana dan
mudah. Primer acak mudah diperoleh dan
tidak memerlukan informasi DNA gen atau
genom
awal.
PCR
RAPD
hanya
membutuhkan DNA target dengan jumlah
yang sedikit. Biaya metode PCR RAPD
murah (William et al. 1990). Proses PCR
RAPD cepat (Hoy 2003).
PCR
RAPD
memiliki
beberapa
kekurangan. Semua marker RAPD dominan
sehingga tidak mungkin untuk membedakan
dari segmen DNA yang diampilifikasi dari
lokus yang heterozigous (satu kali salin) atau
homozigous (2 kali salinan). Teknik RAPD
memiliki ketergantungan terhadap kondisi alat
dan perlu dengan hati-hati mengembangkan
protokol alat tersebut untuk menghasilkan
produk yang banyak. Ikatan pasangan yang
tidak tepat antara primer dan templat DNA
tidak akan menghasilkan produk PCR
(amplikon) atau terjadi penurunan jumlah
amplikon. Jadi, hasil RAPD dapat menjadi
sulit untuk diinterpretasikan (NCBI 2011).
Selain itu, kekurangan dari RAPD, yaitu
dominan, kurangnya pengetahuan utama pada
identitas hasil amplifikasi, permasalahan
dengan reprodusibilitas (perulangan rendah),
dan masalah migrasi (William et al. 1990).
RAPD dapat digunakan dalam berbagai
aplikasi. Aplikasi tersebut, yaitu: perbedaan
genetika (keragaman genetik), karakterisasi
germplasma, struktur genetika populasi,
identifikasi pertanian, pemurnian hibridisasi,
dan pemetaan genom (William et al. 1990).
PCR RAPD digunakan untuk menganalisis
jumlah variasi genetik dalam parasitoid
Trioxys pallidus dan Diglyphus begini (Hoy
2003).
Penentuan jenis primer dan kondisi PCR
yang sesuai untuk menghasilkan produk
amplifikasi yang maksimum perlu dilakukan
penelitian tersendiri. Pemilihan primer dalam
PCR RAPD sangat penting untuk dapat
menampilkan polimorfisme pita-pita DNA di
antara sampel (Prana & Hartati 2003). PCR
RAPD menggunakan primer yang acak pada
sekuen
nukleotidanya.
PCR
RAPD
menggunakan primer yang pendek dan hanya
terdiri dari 10 nukleotida (William et al.
1990). Primer-primer yang digunakan dalam
PCR RAPD banyak ditemukan dalam bentuk
kit, misalnya OPA, OPB, OPC, dan OPD.
Kata OP merupakan kependekan dari kata
operon sementara huruf alfabet setelah OP
menunjukkan jenis kit primer tersebut (Hakim

2003). Penelitian telah dilakukan dalam
menganalisis DNA talas menggunakan OPB01, OPB-02, OPB-04, OPB-05, OPB-06,
OPB-07, OPB-10, OPB-15, dan OPB-16.
Hasil menunjukkan bahwa tidak semua primer
OPB terdapat pita DNA pada gel agarosa
dengan konsentrasi primer yang ditambahkan
sebanyak 3.2 µM (Prana & Hartati 2003).
Selain itu, penelitian terhadap germplasma
Curcuma longa L. juga dilakukan dengan
menggunakan marker RAPD OPB. Penelitian
tersebut dihasilkan pita DNA dari OPB-07
(Jan et al. 2011). Kualitas pita DNA penting
untuk
memudahkan
interpretasi
dan
keakuratan
data.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi kualitas pita DNA hasil
amplifikasi PCR RAPD, yaitu: konsentrasi
MgCl 2 , konsentrasi DNA, konsentrasi enzim
polimerase, primer, dan suhu siklus PCR
(suhu annealing) (Prana & Hartati 2003).
Adanya polimorfisme dari fragmen yang
diamplifikasi dapat disebabkan substitusi atau
delesi basa pada sisi primer, adanya insersi
sehingga sisi primer terlalu panjang untuk
proses amplifikasi, dan adanya insersi atau
delesi yang merubah ukuran fragmen DNA
sampel (William et al. 1990). Selain itu,
adanya polimorfisme dapat disebabkan
adanya variasi DNA yang terdapat di dalam
satu spesies. Polimorfisme DNA tersebut
disebabkan oleh demografik, yaitu migrasi
pada suatu wilayah (Hutter et al. 2006).
Polimorfisme DNA juga dapat disebabkan
oleh ketidakcocokan pada sisi primer,
penempelan primer dengan sekuen DNA unik,
dan perbedaan panjang wilayah amplifikasi di
antara sisi-sisi primer (NCBI 2011).
Polimorfisme DNA dapat dibuat dalam suatu
bentuk pohon filogenetik sehingga dapat
mencari pola genetik dan kekerabatan genetik
dari suatu spesies. Polimorfisme DNA dapat
dijadikan
genomic
marker
sehingga
bermanfaat dalam filogenetik, fingerprinting,
deteksi variasi genetik, dan taksonomi (Benali
et al. 2011).
Marka Molekular
Marka molekular (molecular marker) atau
marka genetik (genetic marker) merupakan
sekuen DNA yang terletak pada spesifik
kromosom. Marka molekular tersebut berasal
dari jaringan tanaman (biji, polen, dan
jaringan kayu), hewan, dan manusia. Marka
molekular memicu untuk mengkarakteristik
keanekaragaman genetik pada beberapa
organisme. Setiap marka molekuler memiliki
karakteristik sehingga dapat digunakan dalam
teknik analisis DNA (USDA 2006).

6

Penggunaan marka molekul dalam teknik
analisis DNA menggunakan teknik PCR.
Metode
yang
digunakan
untuk
mengkarakteristik keanekaragaman genetik
pada organisme, yaitu: AFLP, RAPD, Simple
Sequence Repeats (SSRs), RFLP, dan
Allozymes. Masing-masing teknik tersebut
memiliki marka molekuler tertentu yang dapat
mengamplifikasi sekuen DNA target. Marka
molekular tersebut bertujuan mengukur
variasi genetik (pola genetik). Pola genetik
akibat adanya polimorfisme DNA bermanfaat
dalam
filogenetik,
taksonomi,
dan
fingerprinting (USDA 2006).

BAHAN DAN METODE
PENELITIAN
Bahan dan Alat
Penelitian menggunakan beberapa bahan.
Bahan ekstraksi DNA, yaitu daun kunyit
(Curcuma longa L.) dan daun temulawak
(Curcuma xanthorrhizaxanthorrhiza Roxb)
dari beberapa daerah di Indonesia, 0.3 M
NaCl, 25 mM Ethylenediaminetetraacetic
acid (EDTA), 50 mM Tris-HCl (pH 8),
kloroform, etanol 70%, etanol absolut 96%,
SDS 1% (Sodium Dodecyl Sulphate),
proteinase K, molecular water, dan RNase A.
Bahan visualisasi DNA, yaitu: 0.5 x bufer
TBE (Tris Borat-EDTA), gel agarosa 1.7 %,
dan etidium bromida (0.5 µg mL-1). Bahan
PCR-RAPD,
yaitu
produk
Fermentas
termasuk dNTPs, bufer dan MgCl 2 , Taq
polimerase, OPA, OPB, OPC, dan OPD (1-5).
Penelitian juga menggunakan beberapa
alat. Alat-alat yang digunakan dalam ekstraksi
DNA, yaitu: mortar, pestle, pipet mikro, alatalat gelas, water bath, mikrosentrifus AB, dan
tabung Eppendorf 1.5 mL. Visualisasi DNA
juga menggunakan alat-alat, yaitu: alat stirer
Thermolyne, microwave Sharp, seperangkat
alat elektroforesis Advance Co. Ltd., dan Gel
Doc Alpha Innotech. Penentuan konsentrasi
DNA menggunakan spektrofotometer Gene
Quont 1300. PCR-RAPD menggunakan
beberapa pipet mikro dan PCR thermocycle
ESCO. Selain itu, freezer Sharp digunakan
sebagai tempat untuk penyimpanan DNA
genom dan DNA hasil PCR.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Februari
hingga September 2012 di Laboratorium
Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam dan Laboratorium
Genetika Molekuler ternak Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Ekstraksi DNA (Zheng et al. 1995)
Bufer ekstraksi terdiri atas 25 mM EDTA
(pH 7.5), 50 mM TrisHCl ((pH 8.0), 300 mM
NaCl, SDS 1%, dan H 2 O. Sampel daun
dipotong (200 mg) dan dimasukkan ke dalam
mortar dingin. Daun tersebut digerus hingga
halus dan ditambahkan bufer ekstraksi
sebanyak 400 µL. Hasil tersebut dimasukkan
ke dalam tabung Eppendorf 1.5 mL yang telah
didinginkan dan ditambahkan kembali 100 µL
bufer ekstraksi. Campuran tersebut dilakukan
inkubasi pada suhu 65oC selama 1 jam dan
kemudian ditambahkan 0.25 µL proteinase K
serta dilanjutkan inkubasi pada suhu 37oC
selama 30 menit. Campuran tersebut
diinkubasi kembali pada suhu 65oC selama 20
menit. Kloroform ditambahkan ke dalam
tabung tersebut sebanyak 400 µL. Tabung
dibolak-balik sehingga tercampur sempurna.
Campuran tersebut disentrifugasi dengan
kecepatan 13000 rpm selama 1 menit pada
suhu 4oC. Lapisan atas yang terbentuk
dipindahkan ke dalam tabung Eppendorf steril
yang telah didinginkan dan ditambahkan 800
µL etanol absolut. Larutan tersebut diinkubasi
pada suhu -20oC selama 1 jam. Larutan
tersebut disentrifugasi selama 3 menit dengan
kecepatan 13000 rpm pada suhu 4oC.
Supernatan yang dihasilkan dibuang dan pelet
ditambahkan 500 µL Etanol 70%. Campuran
tersebut disentrifugasi kembali dengan
kecepatan 13000 rpm selama 3 menit pada
suhu 4oC. Supernatan yang dihasilkan dibuang
dan dilakukan penambahan kembali 500 µL
etanol 70%. Supernatan dibuang dan pelet
dikeringkan. Pelet diresuspensi dengan 50 µL
molecular
water.
Suspensi
tersebut
ditambahkan 0.05 µL RNase A dan diinkubasi
pada suhu 37oC selama 30 menit. Suspensi
tersebut disentrifugasi dengan kecepatan
10000 rpm selama 5 menit. Supernatan
dibuang dan pelet ditambah 25 µL molecular
water. Suspensi tersebut disimpan pada suhu 20oC.
Visualisasi dan Penentuan Konsentrasi
DNA
Visualisasi DNA dilakukan dengan cara
elektroforesis gel agarosa 1.7% dalam bufer
0.5x TBE (Tris borat-EDTA) dengan etidium
bromida (0.5 µg mL-1). Elektroforesis DNA
dilakukan pada 100 V selama 45 menit dan
DNA diamati dengan menggunakan UV
transilluminator (Zheng et al. 1995 dengan
modifikasi).

7

Konsentrasi DNA ditentukan dengan
menggunakan
spektrofotometer
DNA.
Masing-masing sampel DNA sebanyak 3.5 µL
ditambahkan dengan 346.5 µL molecular
water ke dalam tabung Eppendorf 1.5 mL.
Tabung Eppendorf 1.5 mL tersebut
dihomogenkan dan diukur konsentrasi DNA
tersebut dengan spektrofotometer DNA pada
panjang gelombang 260 nm.
PCR RAPD (Random Amplified Polymerase
DNA)
PCR
RAPD
dilakukan
dengan
menggunakan random primer dari Operon
Technologies, ALT Biotech, Singapura.
Primer yang digunakan, yaitu: OPA-1, OPA2, OPA-3, OPA-4, OPA-5, OPB-1, OPB-2,
OPB-3, OPB-4, OPB-5, OPC-1, OPC-2, OPC3, OPC-4, OPC-5, OPD-1, OPD-2, OPD-3,
OPD-4,
dan
OPD-5.
Reaksi
PCR
menggunakan produk Fermentas. Volume
reaksi yang digunakan dalam analisis RAPD
ini adalah 20 µL. Dalam satu tube PCR
dilakukan penambahan awal sebanyak 19.2
µL mix reaction yang mengandung molecular
water, bufer PCR (2 mM MgCl 2 ), 200 µM
dNTPs, sampel DNA (dengan konsentrasi 50
ng/ µL), dan 2.75 µL 1 U (unit) Taq
polimerase DNA kemudian ditambahkan 0.8
µL primer (dengan konsentrasi 0.2 µM).
Program siklus termal yang digunakan,
yaitu aktivasi untuk satu siklus awal 5.5 menit
pada 92°C, 1 menit pada 35oC, dan 1 menit
pada 72oC yang diikuti 44 siklus yang terdiri
dari 1 menit pada 92°C, 1 menit pada 35°C
dan 1 menit pada 72°C dan 7 menit 72°C
terakhir.
Hasil amplifikasi PCR-RAPD diamati
dengan elektroforesis pada 1.7% gel agarosa
dalam 0.5x bufer TBE (Tris Borat-EDTA)
beserta DNA ladder (gene ruler 100 bp,
Fermentas) yang diwarnai dengan etidium
bromida (William et al. 1990). Hasil visulisasi
dimasukkan ke dalam software AlphaImager
EP untuk mengukur bobot molekul tiap band
yang dihasilkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
DNA Genom Tanaman Kunyit dan
Temulawak
DNA genom tanaman kunyit dan
temulawak diisolasi dari daun muda berwarna
hijau dari masing-masing tanaman. DNA
genom tersebut digunakan sebagai templat
DNA untuk proses PCR RAPD. Metode
isolasi yang digunakan, yaitu metode Zheng et

al. (1995) dengan modifikasi. Metode tersebut
menggunakan
bufer
ekstraksi
yang
mengandung SDS 1% yang berperan dalam
melisis sel dengan membentuk kompleks
dengan polisakarida dan melarutkan protein
pada membran sel. Prinsip metode Zheng
(1995), yaitu: lisis sel dengan SDS yang
dilanjutkan dengan pengendapan protein,
lipid, dan debris sel dengan kloroform. Proses
tersebut kemudian dilanjutkan dengan
presipitasi DNA menggunakan etanol absolut
96% serta pencucian DNA dengan etanol
70%.
Isolasi DNA menggunakan bufer ekstraksi
yang berisi 25 mM EDTA (pH 7.5), 50 mM
TrisHCl (pH 8.0), 300 mM NaCl, dan SDS
1%. Masing-masing larutan tersebut memiliki
fungsi yang berbeda dalam mengisolasi DNA
genom. Larutan EDTA (pH 7.5) berfungsi
sebagai agen pengkelat logam, seperti Mg2+
sehingga mencegah kerja enzim DNase
(Bellstedt et al. 2010). Larutan bufer TrisHCl
(pH 8.0) berfungsi menjaga kestabilan pH
agar DNA yang keluar dari lisis sel tidak
rusak oleh perubahan pH. Bufer TrisHCl pH
8.0 juga menjaga agar DNase tidak bekerja
karena DNase bekerja pada pH 7.0 (Yasuda et
al. 2004). Selain itu, bufer Tris akan
berinteraksi dengan membran sel sehingga
kestabilan membran sel menjadi terganggu
dan menyebabkan sel menjadi lisis. Larutan
NaCl berfungsi sebagai agen penghilang
polisakarida pada larutan DNA. Selain itu,
larutan NaCl akan mencegah polisakarida
mengendap bersama dengan DNA (Sa et al.
2011). Larutan terakhir, yaitu larutan SDS
merupakan suatu deterjen anionik. Deterjen
tersebut berfungsi dalam melisiskan dinding
sel secara kimia. SDS akan melarutkan protein
membran sehingga sitosol akan terekstraksi
oleh bufer ekstraksi (Kim et al. 2009).
Penelitian ini menggunakan metode Zheng
et al. (1995) yang dimodifikasi, yaitu adanya
penambahan enzim proteinase K dan RNase
A. Proteinase K berfungsi menghilangkan
protein dan DNase saat isolasi DNA
(Fermentas 2012). Penambahan proteinase K
dilakukan setelah inkubasi pada suhu 65oC
setelah bufer ekstraksi aktif bekerja. Selain
itu, RNase A berfungsi menghilangkan RNA
yang diperoleh saat ekstraksi. Ekstraksi tanpa
RNase menghasilkan RNA yang dapat dilihat
setelah elektroforesis DNA. Penambahan
RNase A dilakukan setelah pencucian pelet
DNA dengan etanol 70% dan dilarutkan
dengan molecular water. DNase dan RNA
harus dihilangkan untuk menghasilkan DNA
dengan kualitas yang baik dan memudahkan

8

dalam analisis karena kualitas templat DNA
berpengaruh terhadap hasil dan resolusi hasil
amplifikasi (Sijapati et al. 2008).
Beberapa perlakuan selama proses
ekstraksi dibutuhkan untuk menghasilkan
DNA genom, seperti penggerusan, inkubasi,
homogenasi, sentrifugasi, penyimpanan pada
dan
pencucian
DNA.
suhu
-20oC,
Penggerusan sampel dengan menambahkan
larutan bufer ekstraksi bertujuan melisis
dinding sel daun. Sampel yang telah halus
untuk
diinkubasi
pada
suhu
65oC
mengaktifkan bufer ekstraksi sehingga dapat
dengan mudah mengisolasi DNA. Proses
inkubasi
diikuti
dengan
penambahan
proteinase K untuk menghilangkan protein
dan DNase, kemudian sampel diinkubasi pada
suhu 37oC. Deaktivasi enzim proteinase K
dilakukan pada suhu 65oC (Fermentas 2012).
Kemudian, larutan tersebut didinginkan dan
ditambahkan kloroform. Kloroform akan
menghilangkan polisakarida, lipid, dan
senyawa non polar lainnya (Xin & Chen
2012). Homogenisasi dilakukan dengan cara
inversi (membolak-balikkan tube). Hasil
sentrifugasi berupa supernatan ditambahkan
dengan etanol absolut 96% dan diinkubasi
pada suhu -20oC. Penambahan etanol absolut
tersebut berfungsi mengendapkan DNA.
Mekanisme kerja proses tersebut adalah like
dissolve like. DNA yang memiliki sifat polar
akan mengalami presipitasi dengan larutan
yang non polar (kloroform). Inkubasi pada
suhu -20oC bertujuan mempercepat presipitasi
dan menghasilkan yield DNA yang tinggi
(Chen et al. 2010). Pencucian DNA dengan
etanol 70% dilakukan untuk membersihkan
sisa etanol absolut. Penguapan dilakukan
untuk menghilangkan sisa etanol pada pelet
DNA. Penyimpanan DNA yang telah
dilarutkan dengan molecular water dilakukan
pada suhu -20oC dengan tujuan mencegah
kerusakan DNA.
Hasil isolasi DNA genom menunjukkan
bahwa semua sampel yang berjumlah 13 yang
terdiri atas tujuh kunyit dan enam temulawak
lokal di Pulau Jawa menghasilkan DNA
genom (Gambar 5). DNA genom kunyit dan
temulawak ditunjukkan dengan adanya pita
DNA genom pada gel agarosa 1.7%. DNA
genom kunyit dan temulawak yang
ditunjukkan pada gambar memiliki ukuran
bobot molekul sekitar 6800-7450 bp. Hasil
menunjukkan bahwa DNA genom daun
tanaman kunyit dan temulawak memiliki
ukuran bobot molekul yang tidak jauh
berbeda. Hal tersebut kemungkinan besar
disebabkan tanaman kunyit dan temulawak

berasal dari genus yang sama, yaitu Curcuma.
Hasil juga menunjukkan bahwa masingmasing sampel menghasilkan intensitas pita
yang berbeda. Hal tersebut dapat disebabkan
masing-masing sampel memiliki konsentrasi
DNA yang berbeda. Konsentrasi DNA genom
yang tinggi akan menghasilkan intensitas pita
yang tinggi. DNA genom yang memiliki
konsentrasi tinggi berarti saat ekstraksi
menghasilkan high yield DNA. Hal yang
mempengaruhi tinggi dan rendahnya yield
DNA, yaitu: kandungan senyawa yang
terdapat pada sampel, prosedur ekstraksi, dan
metode pengendapan DNA (Chen et al. 2010).
Semua sampel dilakukan dengan perlakuan
yang sama sehingga hal yang memungkinkan
adanya perbedaan hasil DNA genom (yield
DNA) dapat disebabkan kandungan senyawa
kimia yang berbeda pada sampel, seperti
polisakarida dan polifenol. Kedua seyawa
tersebut dapat mengganggu isolasi DNA
selama ekstraksi (Palomera-Avalos et al.
2007). Hasil menunjukkan bahwa semua
sampel kunyit menghasilkan intensitas pita
yang rendah dibandingkan sampel temulawak.
Hal tersebut disebabkan sampel tanaman
kunyit memiliki jumlah pati yang lebih tinggi
dibandingkan temulawak. Kunyit memiliki
jumlah pati sekitar 69.4% (Chattopadhyay et
al. 2004) sedangkan temulawak sebanyak
48.18% (Afifah 2005). Selain itu, perbedaan
wilayah
(dataran)
mempengaruhi
pembentukan polisakarida pada tanaman
sehingga masing-masing sampel memiliki
intensitas pita yang berbeda (Asriani 2010).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
metode Zheng et al. (1995) dengan modifikasi
dapat menghasilkan DNA genom tanaman
kunyit dan temulawak lokal. DNA genom
yang dihasilkan memiliki bobot molekul yang
cukup tinggi. Selain itu, semua sampel yang
dihasilkan memiliki intensitas yang cukup
tinggi sehingga DNA genom tersebut dapat
digunakan untuk analisis selanjutnya, yaitu
PCR RAPD.
Analisis Kuantitatif DNA Genom
DNA genom tanaman kunyit dan
temulawak dilakukan analisis kuantitatif
dengan melakukan pengukuran absorbans
pada panjang gelombang 230 nm, 260 nm,
dan 280 nm. Hal tersebut bertujuan mencari
konsentrasi DNA genom tanaman kunyit dan
temulawak dari hasil ekstraksi. Selain itu,
hasil absorbans menunjukkan data kualitatif,
yaitu rasio absorbans dengan membandingkan
absorbans pada 260 nm dengan yang lain.
Rasio absorbans tersebut dapat mengetahui

9

7444 bp

Gambar 5 Elektroforegram DNA genom kunyit dan temulawak pada gel agarosa 1.7%. Lajur 1-7
adalah DNA genom kunyit yang berasal dari berbagai sumber (1) Ngawi (2) Wonogiri
(3) Sukabumi (4) T1, Bogor (5) T2, Bogor (6) Karang anyar (7) Ciemas. Lajur 8-13
adalah DNA genom temulawak yang berasal dari berbagai sumber (8) Ngawi (9)
Wonogiri (10) Sragen (11) Karang anyar (12) C3, Bogor (13) Sukabumi. M (marker).
kemurnian DNA genom dari hasil ekstraksi.
Hal tersebut disebabkan berbagai macam
komponen seperti protein, polifenol, dan
polisakarida dapat tertinggal saat presipitasi
DNA. Prinsip analisis kuantitaif DNA genom,
yaitu melarutkan DNA genom dengan
molecular water dan mengukur nilai
absorbans
DNA
genom
pada
spektrofotometer. DNA genom akan terbaca
pada panjang gelombang 260 nm sementara
protein akan terbaca pada panjang gelombang
280 nm dan polisakarida pada panjang
gelombang 230 nm. Absorbans yang keluar
kemudian dihitung rasio A260/280 untuk
melihat kemurnian DNA terhadap protein,
yaitu 1.8-2.0 (Kundu et al. 2011). Rasio
A260/230
digunakan
untuk
melihat
kemurnian DNA terhadap polisakarida, yaitu
1.5-2.1 (Kheyrodin & Ghazvinian 2012).
Hasil pengukuran absorbans DNA genom
tanaman kunyit dan temulawak menunjukkan
bahwa semua sampel tidak menunjukkan nilai
A260/280 pada range kemurnian DNA 1.82.0. Nilai rasio sampel berkisar antara 1.1501.545. Nilai rasio tertinggi pada tanaman
temulawak diperoleh oleh temulawak Ngawi,
yaitu 1.545. Hal tersebut ditunjukkan dengan
tebalnya pita DNA dan tidak adanya smear
(Gambar 5, lajur 8). Selain itu, temulawak
Sukabumi memiliki nilai rasio tertinggi kedua,
yaitu 1.539. Hal tersebut ditunjukkan dengan
tebalnya pita DNA dan sedikitnya smear
kontaminan
dibandingkan
pita
DNA
temulawak lainnya (Gambar 5, lajur 13). Nilai
rasio terendah diperoleh temulawak C3
(Bogor) yang menghasilkan nilai rasio

terendah dibandingkan dengan temulawak dan
kunyit lainnya, yaitu 1.151. Nilai
rasio
A260/280 tertinggi pada tanaman kunyit
diperoleh pada kunyit T1 (Bogor), yaitu
1.368. Hal tersebut ditunjukkan dengan
sedikitnya smear dan tebalnya pita. Nilai rasio
kemurnian terendah pada tanaman kunyit
diperoleh pada kunyit Karang anyar, yaitu
1.232. Hal tersebut ditunjukkan dengan
tipisnya pita DNA dan banyaknya smear
(Gambar 5). Nilai-nilai rasio tersebut di
bawah 1.8 menunjukkan bahwa hasil ekstraksi
memiliki kontaminan protein (Kheyrodin &
Ghazvinian 2012). Walaupun nilai rasio
kemurnian DNA sampel di bawah 1.6 bukan
berarti DNA tersebut tidak dapat digunakan
untuk berbagai aplikasi. Beberapa aplikasi
tidak membutuhkan DNA yang murni untuk
analisis, seperti PCR RAPD (Kheyrodin &
Ghazvinian 2012).
Hasil menunjukkan bahwa temulawak
Ngawi dan temulawak Sukabumi memiliki
rasio tertinggi di antara sampel lainnya
(Lampiran 2). Hal tersebut berarti kedua
temulawak tersebut memiliki paling sedikit
kontaminan protein. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh sampel yang digunakan
masih baru (belum lama penyimpanan dalam
freezer) dibandingkan sampel lainnya
sehingga sel daun tersebut mudah dilakukan
isolasi DNA genom dan mudah dalam
melakukan pemisahan protein oleh kloroform.
Selain itu, banyaknya kontaminasi oleh
protein pada DNA genom dapat disebabkan
kemungkinan banyaknya jumlah polifenol dan
polisakarida yang terdapat pada sampel

10

menyebabkan larutan kloroform tidak mampu
mengendapkan protein.
Hasil pengukuran absorbans DNA genom
pada rasio A260/230 pada semua sampel
menunjukkan nilai di bawah range 1.5-2.1.
Semua sampel DNA genom memiliki rasio
0.555-1.357. Nilai rasio tertinggi pada
tanaman
temulawak
diperoleh
pada
temulawak Ngawi, yaitu 1.357. Hal tersebut
ditunjukkan dengan tebalnya pita DNA dan
sedikit smear. Selain itu, temulawak Wonogiri
memiliki rasio terendah dibandingkan sampel
kunyit dan temulawak lainnya, yaitu 0.555.
Hal tersebut ditunjukkan dengan tipisnya pita
DNA dan banyaknya smear. Nilai rasio
tertinggi pada tanaman kunyit diperoleh oleh
kunyit T2 (Bogor), yaitu 1.022 dan nilai rasio
terendah diperoleh pada kunyit Wonogiri,
yaitu 0.653. Hal tersebut tidak dapat
ditunjukkan pada gambar karena tidak
memiliki perbedaan yang terlalu signifikan
dibandingkan dengan kunyit lainnya. Hal
tersebut disebabkan nilai rasio pada masingmasing tanaman kunyit tidak jauh berbeda
tidak seperti pada tanaman temulawak. Semua
sampel daun kunyit tidak memiliki perbedaan
waktu saat penyimpanan daun sampel. Hasil
menunjukkan bahwa DNA genom belum
dapat dikatakan murni karena nilai rasio
berada di bawah 1.5 yang menunjukkan DNA
genom masih memiliki kontaminan, seperti
polisakarida dan komponen organik lainnya
(Kheyrodin & Ghazvinian 2012). Adanya
kontaminan polisakarida dapat disebabkan
polisakarida membentuk kompleks dengan
DNA sehingga mengendap bersama saat
presisipitasi DNA dengan etanol absolut 96%
(Matasyoh et al. 2008).
Hasil menunjukkan bahwa temulawak
Ngawi dan Sukabumi memiliki nilai rasio
yang mendekati nilai 1.5 sehingga dapat
dikatakan hampir murni. Hal tersebut
disebabkan
kedua
tanaman
tersebut
merupakan sampel yang baru dibandingkan
lainnya. Selain itu, nilai rasio tertinggi
diperoleh pada tanaman temulawak. Hal
tersebut sesuai dengan literatur bahwa
kandungan polisakarida kunyit lebih tinggi
dibandingkan
dengan
temulawak
(Chattopadhyay et al. 2004; Afifah 2005).
Nilai absorbans pada 230 nm menunjukkan
bahwa masing-masing sampel memiliki kadar
polisakarida yang berbeda. Selain itu, menurut
Asriani (2010) bahwa perbedaan wilayah atau
ketinggian daratan akan mempengaruhi
jumlah polisakarida. Hal tersebut disebabkan
ketinggian daratan akan mempengaruhi suhu
atmosfer lingkungan, intensitas cahaya, dan

karakteristik
tanah.
Asriani
(2010)
menyatakan bahwa sampel yang berada di
bawah ketinggian 240 m akan memiliki
polisakarida yang tinggi. Hal tersebut
disebabkan suhu lingkungan terebut memiliki
suhu dan intensitas cahaya yang tinggi
sehingga tumbuhan melakukan pembentukan
polisakarida
terus-menerus
melalui
fotosintesis (Ravindran et al. 2007). Hasil
menunjukkan bahwa tanaman kunyit dan
temulawak yang berasal dari Wonogiri
memiliki kadar polisakarida lebih tinggi
dibandingkan dari daerah lainnya. Hal
tersebut kemungkinan daerah Wonogiri
merupakan daerah daratan rendah (< 240 dpl).
Selain itu, dataran rendah yang memiliki suhu
dan intensitas cahaya yang tinggi a