Genetic Variation Analysis of Curcuma xanthorrhiza Roxb. by Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Marker
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TEMULAWAK (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA
AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)
DINI DAMAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keragaman Genetik
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP) adalah karya bersama saya dengan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2012
Dini Damayanti
P051090111
ABSTRACT
DINI DAMAYANTI. Genetic Variation Analysis of Curcuma xanthorrhiza Roxb. by
Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Marker. Under direction
of SUHARSONO and TEUKU TAJUDDIN.
Indonesia is known by its diversities, especially in herb-medicinal plants.
Curcuma xanthorrhiza Roxb. is one of the potential medicinal plant belonging to
Zingiberaceae family. This study was to determine genetic diversity of 32 accession
Curcuma xanthorrhiza Roxb. Total DNA was extracted from leaf using Sodium
Dodesyl Sulphate (SDS) modification methode. Amplified fragment length
polymorphism (AFLP) was carried out according to the protocol described in
AFLPTM plant mapping kit (PE Applied Biosystem) and the final polymerase chain
reaction (PCR) products were separated using The Agilent 2100 Bioanalyzer. The
number of fragment produced by 12 pairs primer combination of AFLP ranged from
42 to 60 with and average 0f 52. Data obtained was analyzed by the NTSys program.
From the AFLP amplification on 32 DNA samples, it was proven that the accession
of Curcuma xanthorrhiza Roxb. had a high degree of diversity. Based on analysis of
AFLP and unweighted pair group with arithme average (UPGMA) it was shown that
the accession of Curcuma xanthorrhiza Roxb. could be grouped into two cluster at
relative ecludian distance of 0.10 (10%). Cluster I for accession from Palembang,
Pacitan and Ciamis 2. Cluster II for accession from Makale, Pontianak, Kulonprogo,
Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P. Seram, Sentolo, Purworejo, Samas
Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsel, Tagari, Merapi Farm, Salakaria,
NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan, Toraja, dan Solok.
Keywords: AFLP, Curcuma xanthorrhiza Roxb., DNA marker, genetic variation
RINGKASAN
DINI DAMAYANTI. Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) Dengan Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP). Dibimbing oleh SUHARSONO dan TEUKU TAJUDDIN.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang
dikenal sebagai Java tumeric dan secara tradisional digunakan di negara-negara Asia
Tenggara untuk makanan dan obat.
Tanaman Temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Temulawak yang berasal dari beberapa
daerah di Indonesia tersebut, secara morfologi sulit dibedakan. Metode biologi
molekuler dapat digunakan untuk analisis keragaman, karena masing-masing individu
memiliki urutan DNA yang berbeda (polimorfisme). Informasi urutan DNA dapat
digunakan untuk mempelajari perbedaan genetik dan hubungan kekerabatan antara
individu dan jenis organisme. Informasi keragaman genetik temulawak ini diperlukan
untuk mendukung kegiatan konservasi temulawak.
Ada beberapa metode penanda DNA yang dapat digunakan untuk analisis
keragaman genetik, diantaranya adalah AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism). AFLP dapat mendeteksi variasi dan keragaman genetika pada
mahluk hidup pada tingkat antar individu, spesies, dan populasi berdasarkan
kesamaan atau perbedaan pola pita.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Februari 2012 di Laboratorium
Teknologi Gen, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Serpong. Sampel Temulawak
yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Profil
pita DNA diterjemahkan kedalam data biner dengan ketentuan nilai 0 untuk tidak ada
pita dan 1 untuk adanya pita DNA pada satu posisi yang sama dari aksesi yang
dibandingkan. Kesamaan genetik dibuat dalam bentuk matrik dengan similarity for
qualitative data (SIMQUAL), kemudian klastering dilakukan dengan sub program
SAHN dengan metode Unweigth Pair Group Method with Arithmatic (UPGMA)
program NTSYS-pc 2.02.
Pada penelitian ini PCR dengan 12 kombinasi primer menghasilkan rata-rata
52 fragmen DNA tiap kombinasi primer yang berukuran 18bp hingga 350bp. Total
jumlah fragmen yang dihasilkan dalam amplifikasi tergantung pada jumlah dan
komposisi nukleotida yang digunakan. Jumlah total fragmen teramplifikasi juga
tergantung pada kompleksitas genom. Jumlah fragmen yang bersifat polimorfis
tergantung pada variasi genetik antar sampel yang dianalisis. Polimorfisme yang
dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh kombinasi pasangan basa yang digunakan
dan kompleksitas genom, tetapi juga dipengaruhi oleh penggunaan enzim restriksi.
Pengelompokkan 32 aksesi temulawak pada tingkat kemiripan 0.10 (10%)
membentuk dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 5 aksesi, yaitu temulawak asal
Palembang, Pacitan, Kalisanta, Argomulyo dan Ciamis2. Kelompok I terbagi lagi
menjadi dua sub kelompok. Kelompok II terdiri dari 27 aksesi, yaitu temulawak asal
Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P.
Seram, Sentolo, Purworejo, Samas Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsel,
Tagari, Merapi Farm, Salakaria, NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan,
Toraja, dan Solok. Kelompok II yang beranggotan 27 aksesi, terbagi menjadi dua sub
kelompok pada koefisien 0.16.
Pengelompokkan 32 aksesi temulawak berdasarkan karakter morfologi
berkisar dari 0.17-1.00 atau 17-100%. Pengelompokan pada koefisien kemiripan 0.17
(17%) membentuk dua kelompok. Kelompok I terdiri dari aksesi temulawak asal
Solok, Palembang, Purworejo, Sentolo, Medan, Salakaria, Pontianak, Makale, Ciamis
1, Karang Anyar, Boyolali, P. Seram. Kelompok II terdiri dari temulawak asal aksesi
Ciamis 2, Kalisanta, Semarang, Blora, Pacitan, Merapi Farm, Sumberejo, Tagari,
Salatiga, Samas Bantul, Bali, Kalsel, Argomulyo, NTB, Poso, Toraja, Mataram,
Mangunan, Menoreh, dan Kulonprogo.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klaster yang terbentuk dengan
menggunakan data AFLP hasilnya berbeda dengan klaster yang terbentuk dengan
menggunakan data morfologi. Penelitian menunjukkan bahwa kemiripan fenotip
tidak menunjukkan kemiripan pada tingkat DNA.
Kata kunci: AFLP, Curcuma xanthorrhiza Roxb., keragaman genetik
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB dan Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian (BBBiogen)
Copyright © 2012 Bogor Agricultural University
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TEMULAWAK (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA
AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)
DINI DAMAYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono, DEA
Judul Tesis : Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) dengan Menggunakan Penanda Amplified Fragment Lenght
Polymorphism (AFLP)
Nama
: Dini Damayanti
NIM
: P051090111
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA.
Ketua
Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc.
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi/Mayor
Bioteknologi
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr.
Tanggal Ujian: 26 Juli 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji bagi Allah yang Maha Kuasa atas rahmah dan ridho-Nya
sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini mengulas tentang
temulawak dengan judul Analisis keragaman genetik temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dengan menggunakan penanda Amplified Fragment Length
Polymorphism (AFLP). Penelitian ini bagian dari Program Insentif Kemenristek
dengan judul Identifikasi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) unggulan lokal
sebagai tanaman obat asli Indonesia dengan metode sidik jari DNA.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA, dan Dr.
Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc, selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan
membimbing penulis baik dalam proses penelitian maupun penulisan karya ilmiah
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Sudarsono (Departemen
Agronomi dan Hortikultura IPB) dan Dr. Marlina Ardiyani (LIPI) atas waktu yang
telah diberikan untuk diskusi. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada
seluruh peneliti dan staf Laboratorium Teknologi Gen Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Serpong (Pak Imam, mas Devit, mba Ana, mba Leha, Ibu
Rahma) atas bantuan dan ilmu yang telah diberikan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih untuk keluarga tercinta, Ayah, Ibu,
Kakak dan Adikku tercinta atas kasih sayang, cinta, dukungan, dan doa yang tak
hentinya dicurahkan kepada penulis. Terimakasih kepada keponakan-keponakanku
tersayang atas keceriaannya. Terimakasih kepada teman-teman BTK 2009 atas segala
dukungan dan doanya. Terima kasih kepada sahabat-sahabat tercinta, Biologi UI
2000 yang telah memberikan semangat dan kecerian kepada penulis. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2012
Dini Damayanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang tanggal 24 Februari 1982 dari bapak Edi
Suhandi dan ibu Nani Sumarni. Penulis merupakan anak ketiga dari empat
bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan menengah umum tahun 2000
di SMA Negeri 70 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan
Tinggi (UMPTN) di Universitas Indonesia. Penulis diterima di Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun 2006. Sejak
tahun 2006, penulis mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Penulis mengampu mata kuliah Praktikum sistematika Tumbuhan. Pada tahun 2009
penulis mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor dan diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Bioteknologi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................................
Tujuan Penelitian .......................................................................................
1
3
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) .............................................
Keragaman Genetik Temulawak ...............................................................
Keragaman Genetik dan Penanda Molekuler ............................................
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) ................................
4
8
9
10
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................
Bahan .........................................................................................................
Metode .......................................................................................................
Isolasi DNA ...................................................................................
Analisis AFLP ...............................................................................
Pengamatan Morfologi ..................................................................
14
14
15
15
16
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter Morfologi ....................................................................................
Analisis Profil Pita AFLP ..........................................................................
Analisis Klaster Aksesi Temulawak Berdasarkan AFLP ..............
Analisis Klaster Aksesi Temulawak Berdasarkan Karakter
Morfologi .......................................................................................
19
21
26
28
SIMPULAN ...........................................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
32
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Komposisi rimpang temulawak ......................................................................
7
2
Kadar minyak atsiri rimpang temulawak ........................................................
7
3
Komponen minyak temulawak ........................................................................
8
4
Aksesi temulawak yang digunakan ................................................................. 14
5
Kombinasi primer yang digunakan pada penelitian ........................................ 15
6
Variasi warna pita ungu ibu tulang daun dan rimpang dari 32 aksesi
temulawak ....................................................................................................... 19
7
Jumlah pita hasil amplifikasi DNA dari 32 aksesi temulawak pada
setiap kombinasi primer AFLP ....................................................................... 23
8
Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan data AFLP pada
koefisien 0.10 .................................................................................................. 26
9
Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan karakter morfologi
pada koefisien 0.17........................................................................................... 28
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Tanaman dan bunga temulawak ......................................................................
5
2
Rimpang temulawak ........................................................................................
6
3
Diagram alur AFLP ......................................................................................... 11
4
Variasi warna pita ungu tulang daun temulawak ............................................ 20
5
Variasi warna rimpang temulawak ................................................................. 20
6
Profil
DNA
dari
32
aksesi
temulawak
hasil
amplifikasi
menggunakan pasangan primer EAAC-MCTC .............................................. 24
7
Profil
DNA
dari
32
aksesi
temulawak
hasil
amplifikasi
menggunakan pasangan primer EAAC-MCAA .............................................. 24
8
Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan penanda
AFLP menggunakan 12 kombinasi primer ..................................................... 26
9
Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan karakter
morfologi ......................................................................................................... 29
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Alur penelitian ................................................................................................. 15
2
Komposisi ligasi dan digesti ........................................................................... 17
3
Komposisi PCR untuk preamplifikasi ............................................................. 17
4
Komposisi PCR untuk amplifikasi .................................................................. 17
5
Aksesi temulawak yang digunakan pada penelitian ........................................ 28
6
Profil DNA dari 32 aksesi temulawak hasil amplifikasi menggunakan pasang
primer EAAC-MCTA ……………………………………………………….. 24
7
Profil DNA dari 32 aksesi temulwak hasil amplifikasi menggunakan pasang
ngan primer EAAC-MCAG …………………………………………………
24
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang
dikenal sebagai Java tumeric dan secara tradisional digunakan di negara-negara Asia
Tenggara untuk makanan dan obat. Temulawak memiliki aroma khusus dan sedikit
rasa pahit. Rimpang temulawak ini digunakan sebagai bahan baku utama obat-obatan
karena mengandung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan
kalsium klorida. Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman obat dari famili
Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan. Disamping memiliki prospek
pasar regional maupun internasional, tanaman ini juga menempati urutan pertama
sebagai tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri
obat tradisional, fitofarmaka, bahan makanan, minuman penyegar dan bahan
kosmetik.
Penelitian temulawak telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di
negara lain, mulai dari kandungan senyawa aktif hingga khasiatnya yang telah
terbukti secara empiris dan medis. Manfaat temulawak diantaranya adalah sebagai
sistem imunitas atau pertahanan tubuh (Hargono 1996), sebagai komponen pengatur
haid (Nurendah et al. 1996), untuk mengatasi keputihan, dan sebagai bahan
kosmetika (Dzulkarnain & Wahjoedi 1996).
Tanaman Temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Tanaman dengan asal daerah yang
berbeda cenderung memiliki persentase kandungan metabolit (misal kurkumin,
demetoksikurkumin dan xanthorrhizol) yang berbeda pula (Tajuddin et al. 2008).
Temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia tersebut, secara morfologi
sulit dibedakan. Menurut Istafid (2006), temulawak sulit dibedakan secara fenotipik,
sehingga karakterisasi dilakukan secara molekuler. Metode biologi molekuler dapat
digunakan untuk analisis keragaman, karena masing-masing individu memiliki urutan
DNA yang berbeda (polimorfisme). Informasi urutan DNA dapat digunakan untuk
mempelajari perbedaan genetik dan hubungan kekerabatan antara individu dan jenis
organisme (Weising et al. 2005).
Informasi keragaman genetik temulawak ini juga diperlukan untuk mendukung
kegiatan konservasi temulawak Indonesia (Poerba & Yuzammi 2008), untuk
melindungi plasma nutfah Indonesia khususnya tanaman obat temulawak. Menurut
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, temulawak telah
ditentukan sebagai salah satu dari Sembilan tanaman unggulan Indonesia (Sembiring
et al. 2006).
Ada beberapa metode penanda DNA yang dapat digunakan untuk analisis
keragaman genetik, diantaranya adalah AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism). Teknik AFLP merupakan salah satu teknik untuk membuat sidik jari
DNA genom. Menurut Mueller dan Wolfenbarger (1999), AFLP dapat mendeteksi
variasi dan keragaman genetika pada mahluk hidup pada tingkat antar individu,
spesies, dan populasi berdasarkan kesamaan atau perbedaan pola pita. Prinsip dasar
teknik AFLP adalah mengamplifikasi secara selektif fragmen hasil pemotongan
dengan dua enzim restriksi. Polimorfisme dapat dideteksi dari perbedaan letak situs
pemotongan dua enzim restriksi (EcoRI dan MseI) dan komposisi basa pada primer
selektif (Invitrogen 2003).
Teknik AFLP sangat efisien untuk identifikasi polimorfisme DNA karena
banyak fragmen restriksi yang dapat terdeteksi (Vos et al. 1995). Hasil AFLP berupa
fragmen yang terseleksi, kurang lebih 50-100 fragmen per reaksi. Fragmen tersebut
dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi yang diikuti ligasi adaptor dan amplifikasi
dari daerah yang diapit oleh adaptor.
Keunggulan teknik AFLP adalah dapat mendeteksi polimorfisme pada tanaman
tanpa memerlukan informasi urutan basa genom. Selain itu, teknik AFLP memiliki
tingkat reproducible yang tinggi berdasarkan amplifikasi selektif fragmen hasil
pemotongan genom, yaitu bila diulang cenderung menghasilkan hasil yang sama
(Mueller & Wolfenbarger 1999). Teknik AFLP mampu menganalisis genom secara
menyeluruh sehingga menghasilkan informasi yang memadai untuk menganalisis
polimorfisme tanaman (Mba & Tohme 2005). Penanda AFLP terdiri atas susunan
basa-basa yang diapit oleh primer selektif yang tersebar luas pada seluruh bagian
genom. Hasil pita polimorfis yang didapatkan relatif banyak. Salah satu kelemahan
dari teknik AFLP adalah pita yang didapatkan bukan menunjukkan alel atau lokus
tertentu.
Beberapa penelitian mengenai keragaman genetik temulawak telah dilakukan.
Penelitian Santiana (2010) menunjukkan bahwa berdasarkan sekuen daerah matK dan
intergenic spacer (IGS) trnS-trnfM temulawak yang berasal dari beberapa daerah di
Indonesia mempunyai keragaman genetik. Penelitian mengenai eksplorasi genetik
temulawak dengan metode AFLP juga telah dilakukan oleh Tajuddin et al. (2008).
Hasil penelitian ini dapat memperkaya informasi keragaman genetik temulawak di
Indonesia.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaman genetik 32
aksesi temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia dengan
menggunakan penanda AFLP.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Curcuma xanthorrhiza atau temulawak berasal dari bahasa Yunani, xanthos
yang berarti kuning dan rhizoa yang berarti umbi akar. Temulawak memiliki sebutan
atau nama lain dari beberapa daerah, antara lain koneng gede (Sunda), temo lobak
(Madura), temulawak (Jawa), dan temulawas (Malaysia). Tanaman temulawak
tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara, hingga ke Cina. Di Indonesia, tanaman
temulawak ditemukan di Jawa, Ambon dan Bali.
Klasifikasi tanaman temulawak sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Subdivision
: Angiospermae
Class
: Monocotyledonae
Family
: Zingiberaceae
Subfamily
: Zingiberoideae
Genus
: Curcuma
Species
: Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Secara alami, temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan
terlindung dari sinar matahari. Di habitat alaminya, rumpun tanaman ini tumbuh
subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian, temulawak juga
dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini memiliki
daya adaptasi yang tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim tropis (Afifah &
Lentera 2003).
Temulawak merupakan herba tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi lebih
kurang 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Tiap batang mempunyai 2 sampai
dengan 9 helai daun, berbentuk bundar memanjang sampai bangun lanset. Daun
berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap. Daun termasuk tipe daun
sempurna, yang tersusun dari pelepah daun, tangkai daun dan helai daun. Panjang
daun 31-84 cm dan lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43-80 cm.
Pada bagian midrib daun terdapat warna ungu kehitaman selebar 10 mm, tetapi sering
tidak mencapai pangkal daun.
(a)
(b)
Gambar 1 Tanaman temulawak (a) dan bunga temulawak (b)
Temulawak memiliki tipe perbungaan lateral, tangkai ramping, berbulu,
diameter tangkai berkisar 10- 37 cm. Sisik berbentuk garis, berbulu halus, panjang
sisik berkisar 4-12 cm dan lebar 2-3 cm. Bentuk bulir bulat memanjang, panjang bulir
berkisar 9-23 cm dan lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak. Panjang daun
pelindung adalah melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bundar
telur sungsang sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu atau putih dengan
sebagian dari ujungnya berwarna ungu. Bagian bawah daun pelindung berwarna hijau
muda atau keputihan, panjang 3-8 cm, dan lebar 1.5-3.5 cm. Kelopak bunga berwarna
putih berbulu dan panjang kelopak bunga 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung
dengan panjang keseluruhan 4.5 cm. Tabung berwarna putih atau kekuningan dan
panjang 2-2.5 cm. Helaian bunga berbentuk bundar telur atau bundar memanjang,
berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah. Panjang helaian
bunga 1.25-2 cm dengan lebar 1 cm. Benang sari berwarna kuning muda, panjang 12-
16 mm, dan lebar 10-15 mm. Panjang tangkai sari 3-4.5 mm dan lebar 2.5-4.5 mm.
Kepala sari berwarna putih, panjang 6 mm, tangkai putik panjang 3-7 mm.
Gambar 2 Rimpang temulawak
Akar rimpang temulawak terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat,
berwarna hijau gelap. Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk (empu) dan
rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti telur dan
berwarna kuning tua atau coklat kemerahan. Bagian dalamnya berwarna jingga
kecoklatan. Rimpang kedua yang lebih kecil keluar dari rimpang induk. Arah
pertumbuhannya ke samping, berwarna lebih muda dengan bentuk yang bermacammacam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih dari satu tahun,
akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam dan rasanya pahit
agak pedas.
Umumnya tanaman temulawak tidak menghasilkan buah atau biji. Hal ini
diduga karena temulawak merupakan tanaman triploid dengan jumlah kromosom
yang besar 3n=63 sehingga menimbulkan banyak gangguan dalam proses meiosis.
Akibatnya terlihat pada ukuran dan bentuk serbuk sari yang sangat beragam.
Sebagian diantaranya adalah serbuk sari abortif yang berdinding sangat tipis dan
sangat mudah pecah dengan kesuburan sangat rendah (0-2%). Hal tersebut
menyebabkan temulawak berkembang biak secara vegetatif melalui pembentukan
tunas yang tumbuh dari mata tunas rimpang (Islam 2004).
Secara tradisional, temulawak telah banyak digunakan masyarakat antara lain
sebagai obat untuk mengatasi batu empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi,
nyeri haid, nyeri sendi, pelancar ASI, sembelit, dan eksim. Bagian dari tanaman
temulawak yang dimanfatkan adalah rimpangnya. Rimpang temulawak mengandung
zat warna kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak. Suwiah (1991) menguraikan
komposisi rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% yang ditunjukkan pada
Tabel 1. Kadar minyak atsiri rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka
ditunjukkan pada Tabel 2. Komponen minyak temulawak menurut Liang et al.
(1985), Anang (1992), serta Dickes dan Nicholas (1976) dapat dilihat pada tabel 3.
Minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang temulawak berpotensi sebagai
senyawa
antioksidan,
anti
hepatotoksik,
meningkatkan
sekresi
empedu,
antihipertensi, melarutkan kolesterol, mengeluarkan air susu (laktagoga), tonik bagi
ibu pasca-melahirkan, peluruh haid, anti bakteri, pewarna makanan dan kain, serta
bahan kosmetik. Xantorizol yang terkandung pada rimpang temulawak juga diketahui
telah digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi untuk mencegah penyakit
pada gigi (Hwang 2008), sebagai antikanker dan antiinflamasi, memiliki aktivitas
sebagai anti fungi (Rukayadi 2006), dan sebagai anti depresi (Sidik 2008).
Tabel 1 Kompisisi rimpang temulawak
Komponen
Persentase (%)
Pati
27.62
Lemak (fixed oil)
5.38
Kurkumin
1.93
Serat kasar
6.89
Abu
3.96
Protein
6.44
Minyak atsiri
10.96
Sumber: Suwiah (1991)
Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak
Sumber
Kadar minyak atsiri (%)
Herman 1985
6-10
Nurdjanah et al. 1994
Liang et al. 1985
7.3-9.5
7-11
Sirait et al. (1985)
Rimpang temulawak berumur:
8 bulan
6.6
10 bulan
5.2
12 bulan
5.3
15 bulan
5.11
Tabel 3 Komponen minyak temulawak
Dickes & Nicholas (1976)
Liang et al. (1985)
Anang (1992)
- α-lumulena (25,2%)
1. trisiklin
*seskuiterpen
- kamfan (21,9%)
2. α-pinena
- β-kurkumena
- zerumbon (21,2%)
3. kamfena
- α-kurkumena
- α-kurkumen (0,8%)
4. β-pinena
- 1-sikloisoprenmirsean
- lumulen epolesi (4,6%)
5. sabrinena
6. mirsena
- kamfor (4,2%)
- α-pinena (3,4%)
- borneol dan
α-terpineol (0,6%)
- eukaliptol (1,8%)
- β-kariofilena (1,6%)
- limonene (1,5%)
- linaloal (0,9%)
- 3-karena (0,3%)
- Lumulena dioksida
7. felandrena
8. limonene
9. 1,8-sineol
10. δ-terpinena
11. β-simen
12. terpionlen
13. δ-elemena
- β-pinena (0,6%)
- zingibirena
- xantorizol
- turunan bisabolen
- epolisid-bisakuron
- bisakuron A
- bisakuron B
- bisakuron C
14. kamfor
15. α-bergamolena
*ketonseskuiterpena
- turmeron
- α-turmeron
- α-atlanton (0,3%)
- germakron
16. β-elemena
17. kariofilena
18. allo-aromadendren
19. trans-β-farnesena
20. berneol
21. gerwakrena D
22. zingibirena
23. β-bisabolen
24. β-kurkumena
*monoterpena
- sineol
- d-borneol
- d-α-feladrena
- d-kamfan
25. β-kadinena
26. β-seekuifelandrena
27. ar-kurkumen
28. isofuranogermasen
29. turmeron
30. turmerol
31. ar-turmeron
32. xantorizol
Keragaman Genetik Temulawak
Tanaman temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Bali, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Keragaman temulawak antar daerah
terlihat dari kandungan metabolit yang dihasilkan. Tanaman dengan asal daerah yang
berbeda
cenderung
memiliki
persentase
kandungan
metabolit
(kurkumin,
detoksikurkumin dan xanthorrhizol) yang berbeda pula. Selain itu, berdasarkan
morfologi, keragaman terlihat pada rimpang temulawak. Karakter yang dapat diamati
meliput warna daging rimpang, berat bobot kering dan bobot basah rimpang, serta
bentuk rimpang induk.
Penelitian Rahayu (2010) terhadap 20 aksesi temulawak dari beberapa daerah
di Indonesia menghasilkan jumlah fragmen DNA yang berbeda untuk setiap daerah
asal temulawak. Rata-rata polimorfisme yang dihasilkan sebesar 95.1%. Besarnya
nilai polimorfisme menunjukkan tingginya keragaman genetik pada suatu jenis.
Keragaman Genetik dan Penanda Molekuler
Menurut Soerjanegara dan Djamhuri (1979), dalam satu populasi terdapat
beberapa keragaman yaitu keragaman geografis, keragaman lokal, dan keragaman
dalam pohon serta keragaman antar pohon. Keragaman tersebut disebabkan oleh dua
faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Keragaman lingkungan biasanya
disebabkan oleh keadaan tempat tumbuh, sifat tanah, atau jarak tanam. Keragaman
genetik disebabkan oleh perubahan pada struktur genetik pada suatu populasi.
Keragaman genetik merupakan perbedaan sekuen nukleotida dari suatu
organism dengan organism lainnya. Keragaman genetik terjadi karena adanya mutasi,
genetic drift, dan genetic flow (Halliburton 2004). Keragaman genetik bertambah
ketika turunan suatu individu menerima kombinasi gen yang unik dari induk melalui
rekombinasi gen ketika terjadi reproduksi seksual.
Keragaman genetik dapat dilihat dengan menggunakan penanda molekular.
Deteksi keragaman genetik dapat berdasarkan adanya polimorfisme protein atau
DNA. Polimorfisme adalah perbedaan sekuen DNA pada suatu kromosom atau
individu. Polimorfisme DNA memiliki sekuen unik yang dapat digunakan untuk
mempelajari keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar organisme (Weising
et al. 1995).
Ciri penanda molekuler yang baik adalah memiliki tingkat polimorfisme yang
tinggi, penanda alel jelas, dan marka DNA terdistribusi dalam seluruh genom, dan
reproduktivitasnya tinggi. Penanda molekuler yang sering digunakan dalam genetika
populasi adalah random amplified polymorphic DNA (RAPD), restriction fragment
length polymorphism (RFLP), dan amplified fragment length polymorphism (AFLP)
(Edward & Mogg 2001).
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
AFLP merupakan suatu teknik untuk membuat fingerprint DNA genom.
AFLP merupakan salah satu sistem DNA fingerprinting yang bersifat multilokus dan
dapat menghasilkan kapasitas fingerprinting yang besar (Vos et al. 1995). AFLP
merupakan penanda ideal untuk mendeteksi adanya keragaman antar individu,
populasi dan jenis (Muller & Wolfenbarger 1999).
Prinsip dasar teknik AFLP adalah mengamplifikasi secara selektif fragmen
hasil pemotongan dengan dua enzim restriksi. Polimorfisme dapat dideteksi dari
perbedaan letak situs pemotongan dengan enzim restriksi (EcoRI dan MseI) dan
komposisi basa pada primer selektif (Invitrogen 2003).
Prosedur AFLP terdiri dari beberapa tahap (Gambar 3) yang dimulai dengan
pemotongan DNA genom oleh sepasang enzim restriksi. Enzim restriksi yang
digunakan terdiri dari enzim dengan situs pengenalan jarang (rare cutter) dan situs
pengenalan banyak (frequent cutter). Enzim rare cutter adalah enzim EcoRI dengan 6
basa pengenalan (G↓AATTC), sedangkan enzim frequent cutter adalah enzim MseI
dengan 4 basa pengenalan (T↓TAA). Tujuan penggunaan enzim rare cutter adalah
untuk membatasi jumlah fragmen yang akan diamplifikasi karena pemotongan
dengan enzim rare cutter menghasilkan jumlah fragmen yang lebih sedikit daripada
frequent cutter dan fragmen dari pemotongan dengan rare cutter berukuran lebih
besar. Kemudian, enzim frequent cutter bertujuan memotong genom dengan ukuran
lebih kecil sehingga mudah diamplifikasi dan berada pada kisaran ukuran yang
optimal untuk dijalankan pada elektroforesis gel poliakrilamid. Selain itu, menurut
Vos et al. 1995, organisme eukariot memiliki komposisi basa adenin dan timin yang
lebih tinggi daripada basa guanin dan sitosin, sehingga untuk menganalisis genom
eukariot digunakan enzim restriksi yang memiliki basa pengenalan dengan komposisi
basa adenin dan timin yang lebih banyak agar polimorfisme yang dihasilkan lebih
rinci.
5’
3’
GAATTC
CTTAAG
TTAA
AATT
+ EcoRI,
MseI
AATTC
G
T
AAT
+ adaptor EcoRI
Adaptor MseI
AATTCN
AATTCN
NTAA
NTAA
Amplifikasi preselektif
dengan primer EcoRI + A
primer MseI + A
AATTCA
TTAAAGT
GTTA
CAAT
Amplifikasi elektif dengan
penambhan 3 basa
AATTCAAC
TTAAGTTG
TTGTTA
AACAAT
PCR
3’
5’
Gambar 3 Diagram alur AFLP
Hasil pemotongan dengan enzim restriksi tersebut kemudian diligasi dengan
adaptor yang sesuai hasil pemotongan. Adaptor terdiri dari sekuen inti adaptor dan
sekuen spesifik enzim. Sekuen spesifik enzim akan menggabungkan adaptor dengan
fragmen restriksi sehingga dihasilkan template atau cetakan bagi primer pada proses
pre-amplifikasi dengan PCR (Vuylsteke et al. 2007). Reaksi preamplifikasi
menggunakan primer selektif dengan tambahan satu basa pada ujung 3’, sehingga
fragmen yang diamplifikasi hanya fragmen yang memiliki pasangan basa tersebut.
Reaksi selanjutnya adalah amplifikasi selektif dengan prinsip PCR dan menggunakan
primer selektif dengan tambahan tiga basa pada ujung 3’ sehingga fragmen yang
diamplifikasi hanya fragmen yang memiliki pasangan basa-basa tersebut (Invitrogen
2003).
Pada dasarnya proses amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR mengikuti
pola sintesis DNA di dalam sel. Proses sintesis DNA diawali dengan pengudaran utas
ganda menjadi utas tunggal yang disebut denaturasi dan dilanjutkan dengan sintesis
utas baru menggunakan utas tunggal sebagai cetakan. Proses sintesis mempunyai arah
5’-3’, berarti polinukleotida baru ditambahkan pada karbon ketiga (C3) yang
mengandung OH pada nukleotida sebelumnya melalui ikatan 5-3 fosfodiester.
Amplifikasi DNA secara invitro menggunakan mesin PCR juga membutuhkan enzim
polymerase DNA, primer, basa nukleotida (dGTP, dCTP, dATP, dan dTTP), MgCl2,
dan buffer sebagai kofaktor enzim serta penambahan H2O bila diperlukan untuk
memperoleh volume total yang diinginkan.
Amplifikasi selektif menggunakan teknik touchdown PCR. Prinsip dasar
teknik touchdown PCR adalah menaikkan suhu annealing ± 3oC dari suhu melting
primer pada awal siklus. Suhu annealing kemudian diturunkan 1oC setiap siklus,
kemudian siklus PCR berjalan tanpa penurunan suhu annealing jika sudah mencapai
suhu normal untuk primer yang digunakan. Fungsi touchdown PCR adalah
mengoptimasi jumlah DNA amplifikasi ketika suhu melting primer, kombinasi 2
primer, dan sekuen target yang akan diamplifikasi tidak diketahui secara pasti
(Sambrook & Russel 2001).
Menurut Muller & Wolfenbarger (1999), AFLP memiliki beberapa kelebihan
antara lain efisien dalam hal waktu, replikasi dan resolusi lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penanda lain seperti RAPD, mikrosatelit, dan RFLP. Selain itu,
dengan AFLP jumlah karakter yang diperoleh lebih banyak karena jumlah fragmen
yang dihasilkan lebih banyak, amplifikasi DNA dapat bersifat spesifik dan stabil.
AFLP seringkali digunakan untuk berbagai analisis molekuler seperti sistematika,
genetika populasi, DNA fingerprinting, dan Quantitatif Trait Loci (QTL) (Muller &
Wolfenbarger 1999).
Keeratinijakal et al. (2010) telah menggunakan AFLP untuk mendeteksi
perbedaan genetik pada 97 aksesi tanaman Curcuma comosa Roxb. Antar aksesi
Curcuma comosa Roxb. tersebut sulit dibedakan secara morfologi, sehingga
digunakan AFLP dengan 9 kombinasi primer untuk membedakan beberapa Curcuma
comosa Roxb. secara genetik. Pada tanaman tomat, marka molekuler yang terpaut
dengan gen Cf-9 yaitu gen yang menentukan ketahanan terhadap patogen
Cladosporium fulvum diperoleh melalui analisis AFLP (Thomas et al. 1995). Menz et
al. (2004) juga menggunakan AFLP untuk melihat keragaman genetik antar kultivar
sorgum dengan mengkombinasikan enzim restriksi PstI/MseI dan EcoRI/MseI.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 hingga Februari 2012 di
Laboratorium Teknologi Gen, Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologii (BPPT),
Serpong.
Bahan
Penelitian ini menggunakan bahan tanaman temulawak yang terdiri dari 32
aksesi (Tabel 4).
Tabel 4 Aksesi temulawak yang digunakan
No.
Kode
Aksesi
Lokasi
1.
A
Solok
Padang,Sumatera Barat
2.
B
Medan
Sumatera Utara
3.
C
Palembang
Sumatera Selatan
4.
D
Ciamis1
Ciamis, Jawa Barat
5.
E
Ciamis2
Ciamis, Jawa Barat
6.
F
Salakaria
Ciamis, Jawa Barat
7.
G
Kalisanta
Ciamis, Jawa Barat
8.
H
Karang Anyar
Karang Anyar, Jawa Barat
9.
I
Merapi Farm
Jogjakarta
10.
J
Semarang
Semarang, Jawa Tengah
11.
K
Salatiga
Salatiga, Jawa tengah
12.
L
Sumberejo
Sumberejo, Jawa Timur
13.
M
Blora
Blora, Jawa Tengah
14.
N
Mangunan
Jogjakarta
15.
O
Samas Bantul
Jogjakarta
16.
P
Tagari
Jawa Tengah
17.
Q
Boyolali
Jawa Tengah
18.
R
Purworejo
Jawa Tengah
19.
S
Kulonprogo
Jawa Tengah
20.
T
Menoreh
Jawa Tengah
21.
U
Sentolo
Jogjakarta
22.
V
Pacitan
Jawa Timur
23.
W
Kebun Raya Bali
Bali
24.
X
Kalsel
Kalimantan Selatan
25.
Y
Argomulyo
Kalimantan Timur
26.
Z
Pontianak
Kalimantan Barat
27.
AA
NTB
Nusa Tenggara Barat
28.
AB
Poso
Sulawesi Tengah
29.
AC
Toraja
Sulawesi Selatan
30.
AD
Mataram
Nusa Tenggara Barat
31.
AE
Makale
Sulawesi Selatan
32
AF
P. Seram
Maluku
Primer yang digunakan untuk AFLP disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kombinasi primer yang digunakan pada penelitian
Kombinasi primer
Kode
EcoRI+AAC – MseI+CTG
EAAC-MCTG
EcoRI+AAC – MseI+CAA
EAAC-MCAA
EcoRI+AAC – MseI+CTA
EAAC-MCTA
EcoRI+AAC –MseI+ CTC
EAAC-MCTC
EcoRI+AAC – MseI+CAG
EAAC-MCAG
EcoRI+AAC – MseI+CAC
EAAC-MCAC
EcoRI+ACA – MseI+CTG
EACA-MCTG
EcoRI+ACA – MseI+CAA
EACA-MCAA
EcoRI+ACA – MseI+CTA
EACA-MCTA
EcoRI+ACA – MseI+CTC
EACA-MCTC
EcoRI+ACA – MseI+CAG
EACA-MCAG
EcoRI+ACA – MseI+CAC
EACA-MCAC
Metode
Analisis keragaman pada penelitian ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu
analisis keragaman berdasarkan AFLP dan analisis keragaman berdasarkan karakter
morfologi. Analisis AFLP dilakukan melalui beberapa tahap yaitu isolasi DNA dan
analisis AFLP. Tahapan analisis AFLP disajikan pada Lampiran 1.
Isolasi DNA
Isolasi DNA genom temulawak dilakukan dengan metode Sodium Dodesil
Sulfat (SDS) (Angeles et al. 2005) yang dimodifikasi. Untuk itu, sampel daun
temulawak dicuci dengan ddH2O. Setelah itu, 0.2 g sampel daun dipotong hingga
kecil-kecil. Potongan kecil daun tersebut kemudian ditambahi dengan 0.05 g Poly
Vinyl Poly Pirolidon (PVPP). Campuran tersebut kemudian digerus hingga halus dan
dimasukkan ke dalam tabung. Selanjutnya, 2 ml buffer ekstrak (10% CTAB, 0.5 M
EDTA, 1 M Tris-HCl, 5 M NaCl, akuades steril) dan
1% merkaptoetanol
ditambahkan ke dalam suspensi jaringan daun yang sudah digerus, kemudian
campuran tersebut diinkubasi pada suhu 65 oC selama 15 menit. Campuran tersebut
kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifugasi (falcon) 15 ml. Buffer ekstrak
ditambahkan lagi ke dalam tabung hingga volume keseluruhan menjadi 6 ml. Setelah
itu, campuran tersebut ditambahi dengan SDS 20% sebanyak 6% volume (360 µl),
kemudian di vortex. Selanjutnya, sampel dalam tabung falcon 15 ml diinkubasi pada
suhu 65 oC selama 1 jam. Sampel kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm
[Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] (selama 15 menit. Larutan yang jernih
(supernatan) diambil (± 2 ml), kemudian dipindahkan ke tabung falcon 15 ml yang
baru. Larutan 5 M Kalium Asetat sebanyak 1/3 volume (670 µl) ditambahkan pada
supernatan. Campuran larutan tersebut dikocok dan kemudian diinkubasi selama 15
menit dalam freezer pada suhu -20 oC. Langkah berikutnya, tabung falcon 15 ml yang
mengandung sampel disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 8000 rpm
(Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy), lalu ditambahkan isopropanol sebanyak 2/3
volume sampel. Setelah itu, tabung diinkubasi pada suhu -20oC selama 1 malam.
Kemudian, sampel dalam tabung disentrifugasi kembali pada kecepatan 8000 rpm
[Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 15 menit. Cairan dibuang,
endapannya ditambahi dengan 500 µl TE buffer (10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA).
Kontaminan RNA dalam sampel dihilangkan dengan penambahan enzim
RNAse sebanyak 1/100 volume sampel dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam.
Sampel tersebut kemudian ditambahi dengan larutan kloroform/isoamilalkohol (24:1)
sebanyak volume sampel. Larutan dihomogenkan dengan dibolak-balik secara
perlahan, lalu disentrifugasi pada kecepatan 11 000 rpm (Beckman J2-HS, KUBOTA
& Tommy) selama 10 menit. Cairan yang berada di lapisan atas kemudian
dipindahkan ke tabung Eppendorf 1,5 ml yang baru. Sampel kemudian ditambahi
dengan isopropanol sebanyak volume sampel dan selanjutnya diinkubasi selama 1
jam pada suhu -20 oC. Setelah itu, sampel disentrifugasi kembali pada kecepatan 11
000 rpm [Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 10 menit. Endapan
kemudian dikeringkan, lalu ditambahi dengan 25 µl TE buffer (10 mM Tris-HCl, 1
mM EDTA). Hasil isolasi DNA dianalisis kualitasnya dengan elektroforesis di gel
agarosa 0.8% dan disimpan pada suhu -20 oC dan digunakan sebagai bahan untuk
tahap selanjutnya.
Analisis AFLP
Genom DNA sebanyak 50 ng dipotong dengan sepasang enzim restriksi
(EcoR I dan Mse I). Adaptor EcoR I, Mse I dan 1 unit T4 DNA ligase kemudian
ditambahkan ke dalam reaksi pada suhu 37 oC selama 2 jam dan dilanjutkan dengan
suhu 65 oC selama 20 menit. Komposisi pemotongan dan ligasi DNA disajikan pada
Lampiran 2. Hasil ligasi diencerkan 1:10, kemudian dipakai sebagai cetakan untuk
Pre-Amplifikasi. Reaksi Pre-Amplifikasi terdiri dari 3 µl DNA hasil ligasi, 2.5 µl Taq
buffer, 1 U Taq DNA pol, 25 mM MgCl2, 25 mM dNTPs, 10 pmol primer Mse-C, 10
pmol primer Eco-A dan H2O steril. Komposisi PCR untuk pre-amplifikasi disajikan
pada Lampiran 3. Amplifikasi dilakukan menggunakan thermocycle dengan tahapan
program sebagai berikut: 72 oC selama 2 menit, 94 oC selama 30 detik, 56 oC selama
30 detik, 72 oC selama 2 menit, kembali dari tahap 94 oC selama 29 kali, dan 60 oC
selama 10 menit.
Setelah diamplifikasi, hasil PCR diencerkan 1:10, kemudian diamplikasi
selektif menggunakan 12 kombinasi primer (Tabel 5). Campuran PCR terdiri dari 5
µl hasil preamplifikasi, 2,5 µl Taq buffer (10 x), 0.04 U Ampli Taq gold, 25mM
MgCl2, primer selektif masing-masing 10 pmol Mse I dan EcoR I, dan H2O steril
sampai volume 25 µl. Campuran kemudian dicampur secara perlahan dan
disentrifugasi singkat untuk menurunkan seluruh cairan di dalam tabung. Amplifikasi
dilakukan dengan menggunakan PCR. Program yang digunakan adalah sebagai
berikut: denaturasi pra-PCR 94 oC selama 2 menit, diikuti dengan denaturasi pada 94
o
C selama 30 detik, annealing 65 oC selama 30 detik dan extending 72 oC selama 2
menit. Tahap berikutnya adalah suhu annealing diturunkan 0,7 oC selama 12 siklus
dan 23 siklus berikutnya PCR dilakukan dengan suhu 94 oC selama 30 detik, suhu 56
o
C selama 30 detik, dan suhu 72 oC selama 60 detik dan diakhiri dengan suhu 4 oC.
Pemisahan pita-pita hasil amplifikasi dilakukan dengan menggunakan alat Agilent
2100 Bionalyzer. Komposisi PCR untuk amplifikasi selektif disajikan pada Lampiran
4.
Profil pita DNA diterjemahkan ke dalam data biner dengan ketentuan nilai 0
untuk tidak ada pita dan 1 untuk adanya pita DNA pada satu posisi yang sama dari
aksesi yang dibandingkan. Kesamaan genetik dibuat dalam bentuk matrik dengan
similarity for qualitative data (SIMQUAL), kemudian klastering dilakukan dengan
sub program SAHN dengan metode Unweigth Pair Group Method with Arithmatic
(UPGMA) program NTSYS-pc 2.02 (Rohlf
1998), menggunakan koefisien
kemiripan DICE.
Pengamatan Karakter Morfologi
Karakter morfologi yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pita ungu ibu tulang daun
Pengamatan pita ungu pada ibu tulang daun dilakukan pada daun ke-3 dari
atas yang terdiri dari yang sangat jelas jika > 75% ibu tulang daun tertutup pita ungu,
jelas jika antara 50% hingga 75% ibu tulang daun tertutup pita ungu, kurang jelas
jika 25% hingga 50% ibu tulang daun tertutup pita ungu dan tidak jelas jika tidak
terdapat pita ungu pada ibu tulang daun.
2. Warna daging rimpang.
Pengamatan warna daging rimpang dilakukan saat panen dan dilakukan
terhadap rimpang induk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter Morfologi
Hasil pengamatan karakter kualitatif berupa morfologi bentuk daun, bentuk
pangkal daun, bentuk ujung daun dan pertulangan daun pada 32 aksesi tanaman
temulawak yang ditanam pada kebun koleksi BPPT Serpong, menunjukkan tidak
terdapat perbedaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bentuk daun adalah
oblong lanceolate, bentuk pangkal daun adalah meruncing, bentuk ujung daun adalah
meruncing, dan pertulangan daun adalah menyirip. Perbedaan terletak pada warna
pita ungu tulang daun. Oleh sebab itu pengamatan karakter vegetatif terhadap 32
aksesi temulawak dilakukan terhadap warna pita ungu ibu tulang daun dan warna
rimpang. Hasil pengamatan warna pita ungu tulang daun dan warna rimpang dari 32
aksesi temulawak disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Variasi warna pita ungu ibu tulang daun dan rimpang dari 32 aksesi
temulawak
No.
Kode
Aksesi
Warna tulang daun
Warna rimpang
1.
A
Solok
Tidak ungu
Jingga
2.
B
Medan
Ungu muda
Jingga
3.
C
Palembang
Tidak ungu
Jingga
4.
D
Ciamis1
Ungu tua
Jingga
5.
E
Ciamis2
Tidak ungu
Jingga muda
6.
F
Salakaria
Ungu muda
Jingga
7.
G
Kalisanta
Tidak ungu
Jingga muda
8.
H
Karang Anyar
Ungu tua
Jingga
9.
I
Merapi Farm
Ungu tua
Kuning
10.
J
Semarang
Ungu muda
Jingga muda
11.
K
Salatiga
Tidak ungu
kuning
12.
L
Sumberejo
Ungu muda
Kuning
13.
M
Blora
Ungu muda
Jingga muda
14.
N
Mangunan
Tidak ungu
Kuning keputihan
15.
O
Samas Bantul
Tidak ungu
Kuning
16.
P
Tagari
Ungu muda
Kuning
17.
Q
Boyolali
Ungu tua
Jingga
18.
R
Purworejo
Tidak ungu
Jingga
19.
S
Kulonprogo
Ungu muda
Kuning keputihan
20.
T
Menoreh
Tidak ungu
Kuning keputihan
21.
U
Sentolo
Tidak ungu
Jingga
22.
V
Pacitan
Ungu muda
Jingga muda
23.
W
Bali
Tidak ungu
Kuning
24.
X
Kalsel
Tidak ungu
Kuning
25.
Y
Argomulyo
Tidak ungu
Kuning
26.
Z
Pontianak
Tidak ungu
Jingga
27.
AA
NTB
Tidak ungu
Kuning
28.
AB
Poso
Tidak ungu
Kuning
29.
AC
Toraja
Tidak ungu
Kuning
30.
AD
Mataram
Tidak ungu
Kuning
31.
AE
Makale
Ungu muda
Jingga
32
AF
P. Seram
Ungu tua
Kuning
Pengamatan terhadap karakter morfologi memperlihatkan bahwa dari 32
aksesi tanaman temulawak terdapat tiga variasi warna ungu pita ungu ibu tulang
daun, yaitu sangat jelas, jelas dan kurang jelas (Gambar 4). Pengamatan terhadap
warna rimpang memperlihatkan bahwa dari 32 aksesi tanaman temulawak terdapat
empat variasi warna rimpang, yaitu jingga tua, jingga, kuning dan kuning keputihan
(Gambar 5).
a
c
b
Gambar 4 Variasi warna pita ungu ibu tulang daun temulawak, (a) sangat jelas,
(b) jelas, dan (c) kurang jelas
a
b
c
d
Gambar 5 Variasi warna rimpang, (a) jingga tua (b) jingga (c) kuning (d) kuning
keputihan
Warna ungu pita ibu tulang daun dan warna rimpang merupakan variasi yang
sering ditemukan dalam temulawak. Perbedaan lingkungan tanam diduga
menimbulkan keragaman alami temulawak, walaupun tanaman ini membiak secara
vegetatif. Petunjuk adanya keragaman semacam itu pertama kali dikemukakan oleh
Prana (1985) yang menyatakan bahwa rasa dan aroma temulawak yang diambil dari
populasi “liar” tidak selalu sama dengan yang bersumber dari populasi budidaya.
Analisis Profil Pita AFLP
DNA genom dari 32 aksesi temulawak yang berkualitas tinggi sangat
dibutuhkan untuk analisis AFLP (Vos et al. 1995), karena DNA yang utuh dan murni
dapat memudahkan enzim endonuklease restriksi (RE) bekerja memotong DNA
sesuai dengan sisi pengenalannya (Nathans & Smith 1975). Hal ini sangat penting
karena salah satu kriteria analisis menggunakan penanda AFLP ialah persamaan dan
perbedaan situs pengenalan enzim RE yang dapat menghasilkan ukuran fragmen
DNA yang berbeda antara 50-100 pita DNA (Vos et al. 1995). Teknik AFLP dapat
mendeteksi polimorfisme pada aksesi temulawak dengan menganalisis seluruh
genom. Menurut Omoto dan Lurquin (2004), polimorfisme pada AFLP dideteksi
dengan adanya perbedaan ukuran fragmen DNA. Polimorfisme yang dihasilkan
menunjukkan adanya perbedaan letak penanda AFLP (urutan basa pengenalan enzim
restriksi EcoRI dan MseI dan primer selektif) sehingga dapat diperoleh informasi
perbedaan genetik pada setiap sampel. Perbedaan ukuran fragmen DNA
menghasilkan suatu pola pita DNA tertentu.
Teknik AFLP diawali dengan memotong genom temulawak dengan enzim
EcoRI dan MseI. Enzim EcoRI memiliki pengenalan sekuen 5’-G↓AATTC-3’ dan
memotong antara basa Guanin (G) dan Adenin (A). Enzim MseI memiliki pengenalan
sekuen 5’-T↓TAA-3’ dan memotong antara timin (T) dan timin (T). Penggunaan
enzim EcoRI dan MseI bertujuan memperoleh polimorfisme yang lebih rinci, karena
kedua enzim tersebut lebih banyak tersusun atas basa adenin dan tim
xanthorrhiza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA
AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)
DINI DAMAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Keragaman Genetik
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Menggunakan Penanda Amplified
Fragment Length Polymorphism (AFLP) adalah karya bersama saya dengan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana
pun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2012
Dini Damayanti
P051090111
ABSTRACT
DINI DAMAYANTI. Genetic Variation Analysis of Curcuma xanthorrhiza Roxb. by
Using Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) Marker. Under direction
of SUHARSONO and TEUKU TAJUDDIN.
Indonesia is known by its diversities, especially in herb-medicinal plants.
Curcuma xanthorrhiza Roxb. is one of the potential medicinal plant belonging to
Zingiberaceae family. This study was to determine genetic diversity of 32 accession
Curcuma xanthorrhiza Roxb. Total DNA was extracted from leaf using Sodium
Dodesyl Sulphate (SDS) modification methode. Amplified fragment length
polymorphism (AFLP) was carried out according to the protocol described in
AFLPTM plant mapping kit (PE Applied Biosystem) and the final polymerase chain
reaction (PCR) products were separated using The Agilent 2100 Bioanalyzer. The
number of fragment produced by 12 pairs primer combination of AFLP ranged from
42 to 60 with and average 0f 52. Data obtained was analyzed by the NTSys program.
From the AFLP amplification on 32 DNA samples, it was proven that the accession
of Curcuma xanthorrhiza Roxb. had a high degree of diversity. Based on analysis of
AFLP and unweighted pair group with arithme average (UPGMA) it was shown that
the accession of Curcuma xanthorrhiza Roxb. could be grouped into two cluster at
relative ecludian distance of 0.10 (10%). Cluster I for accession from Palembang,
Pacitan and Ciamis 2. Cluster II for accession from Makale, Pontianak, Kulonprogo,
Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P. Seram, Sentolo, Purworejo, Samas
Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsel, Tagari, Merapi Farm, Salakaria,
NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan, Toraja, dan Solok.
Keywords: AFLP, Curcuma xanthorrhiza Roxb., DNA marker, genetic variation
RINGKASAN
DINI DAMAYANTI. Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) Dengan Menggunakan Penanda Amplified Fragment Length Polymorphism
(AFLP). Dibimbing oleh SUHARSONO dan TEUKU TAJUDDIN.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang
dikenal sebagai Java tumeric dan secara tradisional digunakan di negara-negara Asia
Tenggara untuk makanan dan obat.
Tanaman Temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Temulawak yang berasal dari beberapa
daerah di Indonesia tersebut, secara morfologi sulit dibedakan. Metode biologi
molekuler dapat digunakan untuk analisis keragaman, karena masing-masing individu
memiliki urutan DNA yang berbeda (polimorfisme). Informasi urutan DNA dapat
digunakan untuk mempelajari perbedaan genetik dan hubungan kekerabatan antara
individu dan jenis organisme. Informasi keragaman genetik temulawak ini diperlukan
untuk mendukung kegiatan konservasi temulawak.
Ada beberapa metode penanda DNA yang dapat digunakan untuk analisis
keragaman genetik, diantaranya adalah AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism). AFLP dapat mendeteksi variasi dan keragaman genetika pada
mahluk hidup pada tingkat antar individu, spesies, dan populasi berdasarkan
kesamaan atau perbedaan pola pita.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Februari 2012 di Laboratorium
Teknologi Gen, Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT, Serpong. Sampel Temulawak
yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Profil
pita DNA diterjemahkan kedalam data biner dengan ketentuan nilai 0 untuk tidak ada
pita dan 1 untuk adanya pita DNA pada satu posisi yang sama dari aksesi yang
dibandingkan. Kesamaan genetik dibuat dalam bentuk matrik dengan similarity for
qualitative data (SIMQUAL), kemudian klastering dilakukan dengan sub program
SAHN dengan metode Unweigth Pair Group Method with Arithmatic (UPGMA)
program NTSYS-pc 2.02.
Pada penelitian ini PCR dengan 12 kombinasi primer menghasilkan rata-rata
52 fragmen DNA tiap kombinasi primer yang berukuran 18bp hingga 350bp. Total
jumlah fragmen yang dihasilkan dalam amplifikasi tergantung pada jumlah dan
komposisi nukleotida yang digunakan. Jumlah total fragmen teramplifikasi juga
tergantung pada kompleksitas genom. Jumlah fragmen yang bersifat polimorfis
tergantung pada variasi genetik antar sampel yang dianalisis. Polimorfisme yang
dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh kombinasi pasangan basa yang digunakan
dan kompleksitas genom, tetapi juga dipengaruhi oleh penggunaan enzim restriksi.
Pengelompokkan 32 aksesi temulawak pada tingkat kemiripan 0.10 (10%)
membentuk dua kelompok. Kelompok I terdiri dari 5 aksesi, yaitu temulawak asal
Palembang, Pacitan, Kalisanta, Argomulyo dan Ciamis2. Kelompok I terbagi lagi
menjadi dua sub kelompok. Kelompok II terdiri dari 27 aksesi, yaitu temulawak asal
Makale, Pontianak, Kulonprogo, Mataram, Boyolali, Salatiga, Sumberejo, Bali, P.
Seram, Sentolo, Purworejo, Samas Bantul, Ciamis1, Blora, Semarang, Poso, Kalsel,
Tagari, Merapi Farm, Salakaria, NTB, Menoreh, Karang Anyar, Mangunan, Medan,
Toraja, dan Solok. Kelompok II yang beranggotan 27 aksesi, terbagi menjadi dua sub
kelompok pada koefisien 0.16.
Pengelompokkan 32 aksesi temulawak berdasarkan karakter morfologi
berkisar dari 0.17-1.00 atau 17-100%. Pengelompokan pada koefisien kemiripan 0.17
(17%) membentuk dua kelompok. Kelompok I terdiri dari aksesi temulawak asal
Solok, Palembang, Purworejo, Sentolo, Medan, Salakaria, Pontianak, Makale, Ciamis
1, Karang Anyar, Boyolali, P. Seram. Kelompok II terdiri dari temulawak asal aksesi
Ciamis 2, Kalisanta, Semarang, Blora, Pacitan, Merapi Farm, Sumberejo, Tagari,
Salatiga, Samas Bantul, Bali, Kalsel, Argomulyo, NTB, Poso, Toraja, Mataram,
Mangunan, Menoreh, dan Kulonprogo.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa klaster yang terbentuk dengan
menggunakan data AFLP hasilnya berbeda dengan klaster yang terbentuk dengan
menggunakan data morfologi. Penelitian menunjukkan bahwa kemiripan fenotip
tidak menunjukkan kemiripan pada tingkat DNA.
Kata kunci: AFLP, Curcuma xanthorrhiza Roxb., keragaman genetik
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB dan Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian (BBBiogen)
Copyright © 2012 Bogor Agricultural University
ANALISIS KERAGAMAN GENETIK TEMULAWAK (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA
AMPLIFIED FRAGMENT LENGTH POLYMORPHISM (AFLP)
DINI DAMAYANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Bioteknologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Aris Tjahjoleksono, DEA
Judul Tesis : Analisis Keragaman Genetik Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb.) dengan Menggunakan Penanda Amplified Fragment Lenght
Polymorphism (AFLP)
Nama
: Dini Damayanti
NIM
: P051090111
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA.
Ketua
Dr. Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc.
Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi/Mayor
Bioteknologi
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr.
Tanggal Ujian: 26 Juli 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji bagi Allah yang Maha Kuasa atas rahmah dan ridho-Nya
sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini mengulas tentang
temulawak dengan judul Analisis keragaman genetik temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dengan menggunakan penanda Amplified Fragment Length
Polymorphism (AFLP). Penelitian ini bagian dari Program Insentif Kemenristek
dengan judul Identifikasi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) unggulan lokal
sebagai tanaman obat asli Indonesia dengan metode sidik jari DNA.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA, dan Dr.
Ir. Teuku Tajuddin, M.Sc, selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan
membimbing penulis baik dalam proses penelitian maupun penulisan karya ilmiah
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Sudarsono (Departemen
Agronomi dan Hortikultura IPB) dan Dr. Marlina Ardiyani (LIPI) atas waktu yang
telah diberikan untuk diskusi. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada
seluruh peneliti dan staf Laboratorium Teknologi Gen Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Serpong (Pak Imam, mas Devit, mba Ana, mba Leha, Ibu
Rahma) atas bantuan dan ilmu yang telah diberikan.
Penulis juga mengucapkan terimakasih untuk keluarga tercinta, Ayah, Ibu,
Kakak dan Adikku tercinta atas kasih sayang, cinta, dukungan, dan doa yang tak
hentinya dicurahkan kepada penulis. Terimakasih kepada keponakan-keponakanku
tersayang atas keceriaannya. Terimakasih kepada teman-teman BTK 2009 atas segala
dukungan dan doanya. Terima kasih kepada sahabat-sahabat tercinta, Biologi UI
2000 yang telah memberikan semangat dan kecerian kepada penulis. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2012
Dini Damayanti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang tanggal 24 Februari 1982 dari bapak Edi
Suhandi dan ibu Nani Sumarni. Penulis merupakan anak ketiga dari empat
bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan menengah umum tahun 2000
di SMA Negeri 70 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan
Tinggi (UMPTN) di Universitas Indonesia. Penulis diterima di Jurusan Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun 2006. Sejak
tahun 2006, penulis mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Penulis mengampu mata kuliah Praktikum sistematika Tumbuhan. Pada tahun 2009
penulis mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor dan diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Bioteknologi.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................................
Tujuan Penelitian .......................................................................................
1
3
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) .............................................
Keragaman Genetik Temulawak ...............................................................
Keragaman Genetik dan Penanda Molekuler ............................................
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) ................................
4
8
9
10
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................
Bahan .........................................................................................................
Metode .......................................................................................................
Isolasi DNA ...................................................................................
Analisis AFLP ...............................................................................
Pengamatan Morfologi ..................................................................
14
14
15
15
16
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter Morfologi ....................................................................................
Analisis Profil Pita AFLP ..........................................................................
Analisis Klaster Aksesi Temulawak Berdasarkan AFLP ..............
Analisis Klaster Aksesi Temulawak Berdasarkan Karakter
Morfologi .......................................................................................
19
21
26
28
SIMPULAN ...........................................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
32
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Komposisi rimpang temulawak ......................................................................
7
2
Kadar minyak atsiri rimpang temulawak ........................................................
7
3
Komponen minyak temulawak ........................................................................
8
4
Aksesi temulawak yang digunakan ................................................................. 14
5
Kombinasi primer yang digunakan pada penelitian ........................................ 15
6
Variasi warna pita ungu ibu tulang daun dan rimpang dari 32 aksesi
temulawak ....................................................................................................... 19
7
Jumlah pita hasil amplifikasi DNA dari 32 aksesi temulawak pada
setiap kombinasi primer AFLP ....................................................................... 23
8
Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan data AFLP pada
koefisien 0.10 .................................................................................................. 26
9
Kelompok aksesi yang terbentuk berdasarkan karakter morfologi
pada koefisien 0.17........................................................................................... 28
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Tanaman dan bunga temulawak ......................................................................
5
2
Rimpang temulawak ........................................................................................
6
3
Diagram alur AFLP ......................................................................................... 11
4
Variasi warna pita ungu tulang daun temulawak ............................................ 20
5
Variasi warna rimpang temulawak ................................................................. 20
6
Profil
DNA
dari
32
aksesi
temulawak
hasil
amplifikasi
menggunakan pasangan primer EAAC-MCTC .............................................. 24
7
Profil
DNA
dari
32
aksesi
temulawak
hasil
amplifikasi
menggunakan pasangan primer EAAC-MCAA .............................................. 24
8
Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan penanda
AFLP menggunakan 12 kombinasi primer ..................................................... 26
9
Kemiripan genetik antar 32 aksesi temulawak berdasarkan karakter
morfologi ......................................................................................................... 29
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Alur penelitian ................................................................................................. 15
2
Komposisi ligasi dan digesti ........................................................................... 17
3
Komposisi PCR untuk preamplifikasi ............................................................. 17
4
Komposisi PCR untuk amplifikasi .................................................................. 17
5
Aksesi temulawak yang digunakan pada penelitian ........................................ 28
6
Profil DNA dari 32 aksesi temulawak hasil amplifikasi menggunakan pasang
primer EAAC-MCTA ……………………………………………………….. 24
7
Profil DNA dari 32 aksesi temulwak hasil amplifikasi menggunakan pasang
ngan primer EAAC-MCAG …………………………………………………
24
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat yang
dikenal sebagai Java tumeric dan secara tradisional digunakan di negara-negara Asia
Tenggara untuk makanan dan obat. Temulawak memiliki aroma khusus dan sedikit
rasa pahit. Rimpang temulawak ini digunakan sebagai bahan baku utama obat-obatan
karena mengandung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan
kalsium klorida. Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman obat dari famili
Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan. Disamping memiliki prospek
pasar regional maupun internasional, tanaman ini juga menempati urutan pertama
sebagai tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri
obat tradisional, fitofarmaka, bahan makanan, minuman penyegar dan bahan
kosmetik.
Penelitian temulawak telah banyak dilakukan, baik di Indonesia maupun di
negara lain, mulai dari kandungan senyawa aktif hingga khasiatnya yang telah
terbukti secara empiris dan medis. Manfaat temulawak diantaranya adalah sebagai
sistem imunitas atau pertahanan tubuh (Hargono 1996), sebagai komponen pengatur
haid (Nurendah et al. 1996), untuk mengatasi keputihan, dan sebagai bahan
kosmetika (Dzulkarnain & Wahjoedi 1996).
Tanaman Temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara. Tanaman dengan asal daerah yang
berbeda cenderung memiliki persentase kandungan metabolit (misal kurkumin,
demetoksikurkumin dan xanthorrhizol) yang berbeda pula (Tajuddin et al. 2008).
Temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia tersebut, secara morfologi
sulit dibedakan. Menurut Istafid (2006), temulawak sulit dibedakan secara fenotipik,
sehingga karakterisasi dilakukan secara molekuler. Metode biologi molekuler dapat
digunakan untuk analisis keragaman, karena masing-masing individu memiliki urutan
DNA yang berbeda (polimorfisme). Informasi urutan DNA dapat digunakan untuk
mempelajari perbedaan genetik dan hubungan kekerabatan antara individu dan jenis
organisme (Weising et al. 2005).
Informasi keragaman genetik temulawak ini juga diperlukan untuk mendukung
kegiatan konservasi temulawak Indonesia (Poerba & Yuzammi 2008), untuk
melindungi plasma nutfah Indonesia khususnya tanaman obat temulawak. Menurut
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, temulawak telah
ditentukan sebagai salah satu dari Sembilan tanaman unggulan Indonesia (Sembiring
et al. 2006).
Ada beberapa metode penanda DNA yang dapat digunakan untuk analisis
keragaman genetik, diantaranya adalah AFLP (Amplified Fragment Length
Polymorphism). Teknik AFLP merupakan salah satu teknik untuk membuat sidik jari
DNA genom. Menurut Mueller dan Wolfenbarger (1999), AFLP dapat mendeteksi
variasi dan keragaman genetika pada mahluk hidup pada tingkat antar individu,
spesies, dan populasi berdasarkan kesamaan atau perbedaan pola pita. Prinsip dasar
teknik AFLP adalah mengamplifikasi secara selektif fragmen hasil pemotongan
dengan dua enzim restriksi. Polimorfisme dapat dideteksi dari perbedaan letak situs
pemotongan dua enzim restriksi (EcoRI dan MseI) dan komposisi basa pada primer
selektif (Invitrogen 2003).
Teknik AFLP sangat efisien untuk identifikasi polimorfisme DNA karena
banyak fragmen restriksi yang dapat terdeteksi (Vos et al. 1995). Hasil AFLP berupa
fragmen yang terseleksi, kurang lebih 50-100 fragmen per reaksi. Fragmen tersebut
dihasilkan dari pemotongan enzim restriksi yang diikuti ligasi adaptor dan amplifikasi
dari daerah yang diapit oleh adaptor.
Keunggulan teknik AFLP adalah dapat mendeteksi polimorfisme pada tanaman
tanpa memerlukan informasi urutan basa genom. Selain itu, teknik AFLP memiliki
tingkat reproducible yang tinggi berdasarkan amplifikasi selektif fragmen hasil
pemotongan genom, yaitu bila diulang cenderung menghasilkan hasil yang sama
(Mueller & Wolfenbarger 1999). Teknik AFLP mampu menganalisis genom secara
menyeluruh sehingga menghasilkan informasi yang memadai untuk menganalisis
polimorfisme tanaman (Mba & Tohme 2005). Penanda AFLP terdiri atas susunan
basa-basa yang diapit oleh primer selektif yang tersebar luas pada seluruh bagian
genom. Hasil pita polimorfis yang didapatkan relatif banyak. Salah satu kelemahan
dari teknik AFLP adalah pita yang didapatkan bukan menunjukkan alel atau lokus
tertentu.
Beberapa penelitian mengenai keragaman genetik temulawak telah dilakukan.
Penelitian Santiana (2010) menunjukkan bahwa berdasarkan sekuen daerah matK dan
intergenic spacer (IGS) trnS-trnfM temulawak yang berasal dari beberapa daerah di
Indonesia mempunyai keragaman genetik. Penelitian mengenai eksplorasi genetik
temulawak dengan metode AFLP juga telah dilakukan oleh Tajuddin et al. (2008).
Hasil penelitian ini dapat memperkaya informasi keragaman genetik temulawak di
Indonesia.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaman genetik 32
aksesi temulawak yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia dengan
menggunakan penanda AFLP.
TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Curcuma xanthorrhiza atau temulawak berasal dari bahasa Yunani, xanthos
yang berarti kuning dan rhizoa yang berarti umbi akar. Temulawak memiliki sebutan
atau nama lain dari beberapa daerah, antara lain koneng gede (Sunda), temo lobak
(Madura), temulawak (Jawa), dan temulawas (Malaysia). Tanaman temulawak
tersebar di Asia Selatan dan Asia Tenggara, hingga ke Cina. Di Indonesia, tanaman
temulawak ditemukan di Jawa, Ambon dan Bali.
Klasifikasi tanaman temulawak sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Subdivision
: Angiospermae
Class
: Monocotyledonae
Family
: Zingiberaceae
Subfamily
: Zingiberoideae
Genus
: Curcuma
Species
: Curcuma xanthorrhiza Roxb.
Secara alami, temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh dan
terlindung dari sinar matahari. Di habitat alaminya, rumpun tanaman ini tumbuh
subur di bawah naungan pohon bambu dan jati. Meskipun demikian, temulawak juga
dapat tumbuh di tempat yang terik, seperti di tanah tegalan. Tanaman ini memiliki
daya adaptasi yang tinggi pada berbagai cuaca di daerah beriklim tropis (Afifah &
Lentera 2003).
Temulawak merupakan herba tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi lebih
kurang 2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Tiap batang mempunyai 2 sampai
dengan 9 helai daun, berbentuk bundar memanjang sampai bangun lanset. Daun
berwarna hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap. Daun termasuk tipe daun
sempurna, yang tersusun dari pelepah daun, tangkai daun dan helai daun. Panjang
daun 31-84 cm dan lebar 10-18 cm, panjang tangkai daun termasuk helaian 43-80 cm.
Pada bagian midrib daun terdapat warna ungu kehitaman selebar 10 mm, tetapi sering
tidak mencapai pangkal daun.
(a)
(b)
Gambar 1 Tanaman temulawak (a) dan bunga temulawak (b)
Temulawak memiliki tipe perbungaan lateral, tangkai ramping, berbulu,
diameter tangkai berkisar 10- 37 cm. Sisik berbentuk garis, berbulu halus, panjang
sisik berkisar 4-12 cm dan lebar 2-3 cm. Bentuk bulir bulat memanjang, panjang bulir
berkisar 9-23 cm dan lebar 4-6 cm, berdaun pelindung banyak. Panjang daun
pelindung adalah melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga, berbentuk bundar
telur sungsang sampai bangun jorong, berwarna merah, ungu atau putih dengan
sebagian dari ujungnya berwarna ungu. Bagian bawah daun pelindung berwarna hijau
muda atau keputihan, panjang 3-8 cm, dan lebar 1.5-3.5 cm. Kelopak bunga berwarna
putih berbulu dan panjang kelopak bunga 8-13 mm. Mahkota bunga berbentuk tabung
dengan panjang keseluruhan 4.5 cm. Tabung berwarna putih atau kekuningan dan
panjang 2-2.5 cm. Helaian bunga berbentuk bundar telur atau bundar memanjang,
berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau merah. Panjang helaian
bunga 1.25-2 cm dengan lebar 1 cm. Benang sari berwarna kuning muda, panjang 12-
16 mm, dan lebar 10-15 mm. Panjang tangkai sari 3-4.5 mm dan lebar 2.5-4.5 mm.
Kepala sari berwarna putih, panjang 6 mm, tangkai putik panjang 3-7 mm.
Gambar 2 Rimpang temulawak
Akar rimpang temulawak terbentuk dengan sempurna dan bercabang kuat,
berwarna hijau gelap. Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk (empu) dan
rimpang anakan (cabang). Rimpang induknya berbentuk bulat seperti telur dan
berwarna kuning tua atau coklat kemerahan. Bagian dalamnya berwarna jingga
kecoklatan. Rimpang kedua yang lebih kecil keluar dari rimpang induk. Arah
pertumbuhannya ke samping, berwarna lebih muda dengan bentuk yang bermacammacam, jumlahnya sekitar 3-7 buah. Jika dibiarkan tumbuh lebih dari satu tahun,
akan tumbuh banyak rimpang lagi. Rimpang ini aromanya tajam dan rasanya pahit
agak pedas.
Umumnya tanaman temulawak tidak menghasilkan buah atau biji. Hal ini
diduga karena temulawak merupakan tanaman triploid dengan jumlah kromosom
yang besar 3n=63 sehingga menimbulkan banyak gangguan dalam proses meiosis.
Akibatnya terlihat pada ukuran dan bentuk serbuk sari yang sangat beragam.
Sebagian diantaranya adalah serbuk sari abortif yang berdinding sangat tipis dan
sangat mudah pecah dengan kesuburan sangat rendah (0-2%). Hal tersebut
menyebabkan temulawak berkembang biak secara vegetatif melalui pembentukan
tunas yang tumbuh dari mata tunas rimpang (Islam 2004).
Secara tradisional, temulawak telah banyak digunakan masyarakat antara lain
sebagai obat untuk mengatasi batu empedu, batu ginjal, demam, kolesterol tinggi,
nyeri haid, nyeri sendi, pelancar ASI, sembelit, dan eksim. Bagian dari tanaman
temulawak yang dimanfatkan adalah rimpangnya. Rimpang temulawak mengandung
zat warna kurkumin, minyak atsiri, pati, protein, lemak. Suwiah (1991) menguraikan
komposisi rimpang kering temulawak dengan kadar air 10% yang ditunjukkan pada
Tabel 1. Kadar minyak atsiri rimpang temulawak dari berbagai sumber pustaka
ditunjukkan pada Tabel 2. Komponen minyak temulawak menurut Liang et al.
(1985), Anang (1992), serta Dickes dan Nicholas (1976) dapat dilihat pada tabel 3.
Minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang temulawak berpotensi sebagai
senyawa
antioksidan,
anti
hepatotoksik,
meningkatkan
sekresi
empedu,
antihipertensi, melarutkan kolesterol, mengeluarkan air susu (laktagoga), tonik bagi
ibu pasca-melahirkan, peluruh haid, anti bakteri, pewarna makanan dan kain, serta
bahan kosmetik. Xantorizol yang terkandung pada rimpang temulawak juga diketahui
telah digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi untuk mencegah penyakit
pada gigi (Hwang 2008), sebagai antikanker dan antiinflamasi, memiliki aktivitas
sebagai anti fungi (Rukayadi 2006), dan sebagai anti depresi (Sidik 2008).
Tabel 1 Kompisisi rimpang temulawak
Komponen
Persentase (%)
Pati
27.62
Lemak (fixed oil)
5.38
Kurkumin
1.93
Serat kasar
6.89
Abu
3.96
Protein
6.44
Minyak atsiri
10.96
Sumber: Suwiah (1991)
Tabel 2 Kadar minyak atsiri rimpang temulawak
Sumber
Kadar minyak atsiri (%)
Herman 1985
6-10
Nurdjanah et al. 1994
Liang et al. 1985
7.3-9.5
7-11
Sirait et al. (1985)
Rimpang temulawak berumur:
8 bulan
6.6
10 bulan
5.2
12 bulan
5.3
15 bulan
5.11
Tabel 3 Komponen minyak temulawak
Dickes & Nicholas (1976)
Liang et al. (1985)
Anang (1992)
- α-lumulena (25,2%)
1. trisiklin
*seskuiterpen
- kamfan (21,9%)
2. α-pinena
- β-kurkumena
- zerumbon (21,2%)
3. kamfena
- α-kurkumena
- α-kurkumen (0,8%)
4. β-pinena
- 1-sikloisoprenmirsean
- lumulen epolesi (4,6%)
5. sabrinena
6. mirsena
- kamfor (4,2%)
- α-pinena (3,4%)
- borneol dan
α-terpineol (0,6%)
- eukaliptol (1,8%)
- β-kariofilena (1,6%)
- limonene (1,5%)
- linaloal (0,9%)
- 3-karena (0,3%)
- Lumulena dioksida
7. felandrena
8. limonene
9. 1,8-sineol
10. δ-terpinena
11. β-simen
12. terpionlen
13. δ-elemena
- β-pinena (0,6%)
- zingibirena
- xantorizol
- turunan bisabolen
- epolisid-bisakuron
- bisakuron A
- bisakuron B
- bisakuron C
14. kamfor
15. α-bergamolena
*ketonseskuiterpena
- turmeron
- α-turmeron
- α-atlanton (0,3%)
- germakron
16. β-elemena
17. kariofilena
18. allo-aromadendren
19. trans-β-farnesena
20. berneol
21. gerwakrena D
22. zingibirena
23. β-bisabolen
24. β-kurkumena
*monoterpena
- sineol
- d-borneol
- d-α-feladrena
- d-kamfan
25. β-kadinena
26. β-seekuifelandrena
27. ar-kurkumen
28. isofuranogermasen
29. turmeron
30. turmerol
31. ar-turmeron
32. xantorizol
Keragaman Genetik Temulawak
Tanaman temulawak di Indonesia tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Bali, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Keragaman temulawak antar daerah
terlihat dari kandungan metabolit yang dihasilkan. Tanaman dengan asal daerah yang
berbeda
cenderung
memiliki
persentase
kandungan
metabolit
(kurkumin,
detoksikurkumin dan xanthorrhizol) yang berbeda pula. Selain itu, berdasarkan
morfologi, keragaman terlihat pada rimpang temulawak. Karakter yang dapat diamati
meliput warna daging rimpang, berat bobot kering dan bobot basah rimpang, serta
bentuk rimpang induk.
Penelitian Rahayu (2010) terhadap 20 aksesi temulawak dari beberapa daerah
di Indonesia menghasilkan jumlah fragmen DNA yang berbeda untuk setiap daerah
asal temulawak. Rata-rata polimorfisme yang dihasilkan sebesar 95.1%. Besarnya
nilai polimorfisme menunjukkan tingginya keragaman genetik pada suatu jenis.
Keragaman Genetik dan Penanda Molekuler
Menurut Soerjanegara dan Djamhuri (1979), dalam satu populasi terdapat
beberapa keragaman yaitu keragaman geografis, keragaman lokal, dan keragaman
dalam pohon serta keragaman antar pohon. Keragaman tersebut disebabkan oleh dua
faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Keragaman lingkungan biasanya
disebabkan oleh keadaan tempat tumbuh, sifat tanah, atau jarak tanam. Keragaman
genetik disebabkan oleh perubahan pada struktur genetik pada suatu populasi.
Keragaman genetik merupakan perbedaan sekuen nukleotida dari suatu
organism dengan organism lainnya. Keragaman genetik terjadi karena adanya mutasi,
genetic drift, dan genetic flow (Halliburton 2004). Keragaman genetik bertambah
ketika turunan suatu individu menerima kombinasi gen yang unik dari induk melalui
rekombinasi gen ketika terjadi reproduksi seksual.
Keragaman genetik dapat dilihat dengan menggunakan penanda molekular.
Deteksi keragaman genetik dapat berdasarkan adanya polimorfisme protein atau
DNA. Polimorfisme adalah perbedaan sekuen DNA pada suatu kromosom atau
individu. Polimorfisme DNA memiliki sekuen unik yang dapat digunakan untuk
mempelajari keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar organisme (Weising
et al. 1995).
Ciri penanda molekuler yang baik adalah memiliki tingkat polimorfisme yang
tinggi, penanda alel jelas, dan marka DNA terdistribusi dalam seluruh genom, dan
reproduktivitasnya tinggi. Penanda molekuler yang sering digunakan dalam genetika
populasi adalah random amplified polymorphic DNA (RAPD), restriction fragment
length polymorphism (RFLP), dan amplified fragment length polymorphism (AFLP)
(Edward & Mogg 2001).
Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP)
AFLP merupakan suatu teknik untuk membuat fingerprint DNA genom.
AFLP merupakan salah satu sistem DNA fingerprinting yang bersifat multilokus dan
dapat menghasilkan kapasitas fingerprinting yang besar (Vos et al. 1995). AFLP
merupakan penanda ideal untuk mendeteksi adanya keragaman antar individu,
populasi dan jenis (Muller & Wolfenbarger 1999).
Prinsip dasar teknik AFLP adalah mengamplifikasi secara selektif fragmen
hasil pemotongan dengan dua enzim restriksi. Polimorfisme dapat dideteksi dari
perbedaan letak situs pemotongan dengan enzim restriksi (EcoRI dan MseI) dan
komposisi basa pada primer selektif (Invitrogen 2003).
Prosedur AFLP terdiri dari beberapa tahap (Gambar 3) yang dimulai dengan
pemotongan DNA genom oleh sepasang enzim restriksi. Enzim restriksi yang
digunakan terdiri dari enzim dengan situs pengenalan jarang (rare cutter) dan situs
pengenalan banyak (frequent cutter). Enzim rare cutter adalah enzim EcoRI dengan 6
basa pengenalan (G↓AATTC), sedangkan enzim frequent cutter adalah enzim MseI
dengan 4 basa pengenalan (T↓TAA). Tujuan penggunaan enzim rare cutter adalah
untuk membatasi jumlah fragmen yang akan diamplifikasi karena pemotongan
dengan enzim rare cutter menghasilkan jumlah fragmen yang lebih sedikit daripada
frequent cutter dan fragmen dari pemotongan dengan rare cutter berukuran lebih
besar. Kemudian, enzim frequent cutter bertujuan memotong genom dengan ukuran
lebih kecil sehingga mudah diamplifikasi dan berada pada kisaran ukuran yang
optimal untuk dijalankan pada elektroforesis gel poliakrilamid. Selain itu, menurut
Vos et al. 1995, organisme eukariot memiliki komposisi basa adenin dan timin yang
lebih tinggi daripada basa guanin dan sitosin, sehingga untuk menganalisis genom
eukariot digunakan enzim restriksi yang memiliki basa pengenalan dengan komposisi
basa adenin dan timin yang lebih banyak agar polimorfisme yang dihasilkan lebih
rinci.
5’
3’
GAATTC
CTTAAG
TTAA
AATT
+ EcoRI,
MseI
AATTC
G
T
AAT
+ adaptor EcoRI
Adaptor MseI
AATTCN
AATTCN
NTAA
NTAA
Amplifikasi preselektif
dengan primer EcoRI + A
primer MseI + A
AATTCA
TTAAAGT
GTTA
CAAT
Amplifikasi elektif dengan
penambhan 3 basa
AATTCAAC
TTAAGTTG
TTGTTA
AACAAT
PCR
3’
5’
Gambar 3 Diagram alur AFLP
Hasil pemotongan dengan enzim restriksi tersebut kemudian diligasi dengan
adaptor yang sesuai hasil pemotongan. Adaptor terdiri dari sekuen inti adaptor dan
sekuen spesifik enzim. Sekuen spesifik enzim akan menggabungkan adaptor dengan
fragmen restriksi sehingga dihasilkan template atau cetakan bagi primer pada proses
pre-amplifikasi dengan PCR (Vuylsteke et al. 2007). Reaksi preamplifikasi
menggunakan primer selektif dengan tambahan satu basa pada ujung 3’, sehingga
fragmen yang diamplifikasi hanya fragmen yang memiliki pasangan basa tersebut.
Reaksi selanjutnya adalah amplifikasi selektif dengan prinsip PCR dan menggunakan
primer selektif dengan tambahan tiga basa pada ujung 3’ sehingga fragmen yang
diamplifikasi hanya fragmen yang memiliki pasangan basa-basa tersebut (Invitrogen
2003).
Pada dasarnya proses amplifikasi DNA menggunakan mesin PCR mengikuti
pola sintesis DNA di dalam sel. Proses sintesis DNA diawali dengan pengudaran utas
ganda menjadi utas tunggal yang disebut denaturasi dan dilanjutkan dengan sintesis
utas baru menggunakan utas tunggal sebagai cetakan. Proses sintesis mempunyai arah
5’-3’, berarti polinukleotida baru ditambahkan pada karbon ketiga (C3) yang
mengandung OH pada nukleotida sebelumnya melalui ikatan 5-3 fosfodiester.
Amplifikasi DNA secara invitro menggunakan mesin PCR juga membutuhkan enzim
polymerase DNA, primer, basa nukleotida (dGTP, dCTP, dATP, dan dTTP), MgCl2,
dan buffer sebagai kofaktor enzim serta penambahan H2O bila diperlukan untuk
memperoleh volume total yang diinginkan.
Amplifikasi selektif menggunakan teknik touchdown PCR. Prinsip dasar
teknik touchdown PCR adalah menaikkan suhu annealing ± 3oC dari suhu melting
primer pada awal siklus. Suhu annealing kemudian diturunkan 1oC setiap siklus,
kemudian siklus PCR berjalan tanpa penurunan suhu annealing jika sudah mencapai
suhu normal untuk primer yang digunakan. Fungsi touchdown PCR adalah
mengoptimasi jumlah DNA amplifikasi ketika suhu melting primer, kombinasi 2
primer, dan sekuen target yang akan diamplifikasi tidak diketahui secara pasti
(Sambrook & Russel 2001).
Menurut Muller & Wolfenbarger (1999), AFLP memiliki beberapa kelebihan
antara lain efisien dalam hal waktu, replikasi dan resolusi lebih tinggi bila
dibandingkan dengan penanda lain seperti RAPD, mikrosatelit, dan RFLP. Selain itu,
dengan AFLP jumlah karakter yang diperoleh lebih banyak karena jumlah fragmen
yang dihasilkan lebih banyak, amplifikasi DNA dapat bersifat spesifik dan stabil.
AFLP seringkali digunakan untuk berbagai analisis molekuler seperti sistematika,
genetika populasi, DNA fingerprinting, dan Quantitatif Trait Loci (QTL) (Muller &
Wolfenbarger 1999).
Keeratinijakal et al. (2010) telah menggunakan AFLP untuk mendeteksi
perbedaan genetik pada 97 aksesi tanaman Curcuma comosa Roxb. Antar aksesi
Curcuma comosa Roxb. tersebut sulit dibedakan secara morfologi, sehingga
digunakan AFLP dengan 9 kombinasi primer untuk membedakan beberapa Curcuma
comosa Roxb. secara genetik. Pada tanaman tomat, marka molekuler yang terpaut
dengan gen Cf-9 yaitu gen yang menentukan ketahanan terhadap patogen
Cladosporium fulvum diperoleh melalui analisis AFLP (Thomas et al. 1995). Menz et
al. (2004) juga menggunakan AFLP untuk melihat keragaman genetik antar kultivar
sorgum dengan mengkombinasikan enzim restriksi PstI/MseI dan EcoRI/MseI.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011 hingga Februari 2012 di
Laboratorium Teknologi Gen, Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologii (BPPT),
Serpong.
Bahan
Penelitian ini menggunakan bahan tanaman temulawak yang terdiri dari 32
aksesi (Tabel 4).
Tabel 4 Aksesi temulawak yang digunakan
No.
Kode
Aksesi
Lokasi
1.
A
Solok
Padang,Sumatera Barat
2.
B
Medan
Sumatera Utara
3.
C
Palembang
Sumatera Selatan
4.
D
Ciamis1
Ciamis, Jawa Barat
5.
E
Ciamis2
Ciamis, Jawa Barat
6.
F
Salakaria
Ciamis, Jawa Barat
7.
G
Kalisanta
Ciamis, Jawa Barat
8.
H
Karang Anyar
Karang Anyar, Jawa Barat
9.
I
Merapi Farm
Jogjakarta
10.
J
Semarang
Semarang, Jawa Tengah
11.
K
Salatiga
Salatiga, Jawa tengah
12.
L
Sumberejo
Sumberejo, Jawa Timur
13.
M
Blora
Blora, Jawa Tengah
14.
N
Mangunan
Jogjakarta
15.
O
Samas Bantul
Jogjakarta
16.
P
Tagari
Jawa Tengah
17.
Q
Boyolali
Jawa Tengah
18.
R
Purworejo
Jawa Tengah
19.
S
Kulonprogo
Jawa Tengah
20.
T
Menoreh
Jawa Tengah
21.
U
Sentolo
Jogjakarta
22.
V
Pacitan
Jawa Timur
23.
W
Kebun Raya Bali
Bali
24.
X
Kalsel
Kalimantan Selatan
25.
Y
Argomulyo
Kalimantan Timur
26.
Z
Pontianak
Kalimantan Barat
27.
AA
NTB
Nusa Tenggara Barat
28.
AB
Poso
Sulawesi Tengah
29.
AC
Toraja
Sulawesi Selatan
30.
AD
Mataram
Nusa Tenggara Barat
31.
AE
Makale
Sulawesi Selatan
32
AF
P. Seram
Maluku
Primer yang digunakan untuk AFLP disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kombinasi primer yang digunakan pada penelitian
Kombinasi primer
Kode
EcoRI+AAC – MseI+CTG
EAAC-MCTG
EcoRI+AAC – MseI+CAA
EAAC-MCAA
EcoRI+AAC – MseI+CTA
EAAC-MCTA
EcoRI+AAC –MseI+ CTC
EAAC-MCTC
EcoRI+AAC – MseI+CAG
EAAC-MCAG
EcoRI+AAC – MseI+CAC
EAAC-MCAC
EcoRI+ACA – MseI+CTG
EACA-MCTG
EcoRI+ACA – MseI+CAA
EACA-MCAA
EcoRI+ACA – MseI+CTA
EACA-MCTA
EcoRI+ACA – MseI+CTC
EACA-MCTC
EcoRI+ACA – MseI+CAG
EACA-MCAG
EcoRI+ACA – MseI+CAC
EACA-MCAC
Metode
Analisis keragaman pada penelitian ini terbagi ke dalam dua bagian yaitu
analisis keragaman berdasarkan AFLP dan analisis keragaman berdasarkan karakter
morfologi. Analisis AFLP dilakukan melalui beberapa tahap yaitu isolasi DNA dan
analisis AFLP. Tahapan analisis AFLP disajikan pada Lampiran 1.
Isolasi DNA
Isolasi DNA genom temulawak dilakukan dengan metode Sodium Dodesil
Sulfat (SDS) (Angeles et al. 2005) yang dimodifikasi. Untuk itu, sampel daun
temulawak dicuci dengan ddH2O. Setelah itu, 0.2 g sampel daun dipotong hingga
kecil-kecil. Potongan kecil daun tersebut kemudian ditambahi dengan 0.05 g Poly
Vinyl Poly Pirolidon (PVPP). Campuran tersebut kemudian digerus hingga halus dan
dimasukkan ke dalam tabung. Selanjutnya, 2 ml buffer ekstrak (10% CTAB, 0.5 M
EDTA, 1 M Tris-HCl, 5 M NaCl, akuades steril) dan
1% merkaptoetanol
ditambahkan ke dalam suspensi jaringan daun yang sudah digerus, kemudian
campuran tersebut diinkubasi pada suhu 65 oC selama 15 menit. Campuran tersebut
kemudian dipindahkan ke dalam tabung sentrifugasi (falcon) 15 ml. Buffer ekstrak
ditambahkan lagi ke dalam tabung hingga volume keseluruhan menjadi 6 ml. Setelah
itu, campuran tersebut ditambahi dengan SDS 20% sebanyak 6% volume (360 µl),
kemudian di vortex. Selanjutnya, sampel dalam tabung falcon 15 ml diinkubasi pada
suhu 65 oC selama 1 jam. Sampel kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm
[Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] (selama 15 menit. Larutan yang jernih
(supernatan) diambil (± 2 ml), kemudian dipindahkan ke tabung falcon 15 ml yang
baru. Larutan 5 M Kalium Asetat sebanyak 1/3 volume (670 µl) ditambahkan pada
supernatan. Campuran larutan tersebut dikocok dan kemudian diinkubasi selama 15
menit dalam freezer pada suhu -20 oC. Langkah berikutnya, tabung falcon 15 ml yang
mengandung sampel disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 8000 rpm
(Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy), lalu ditambahkan isopropanol sebanyak 2/3
volume sampel. Setelah itu, tabung diinkubasi pada suhu -20oC selama 1 malam.
Kemudian, sampel dalam tabung disentrifugasi kembali pada kecepatan 8000 rpm
[Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 15 menit. Cairan dibuang,
endapannya ditambahi dengan 500 µl TE buffer (10 mM Tris-HCl, 1 mM EDTA).
Kontaminan RNA dalam sampel dihilangkan dengan penambahan enzim
RNAse sebanyak 1/100 volume sampel dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam.
Sampel tersebut kemudian ditambahi dengan larutan kloroform/isoamilalkohol (24:1)
sebanyak volume sampel. Larutan dihomogenkan dengan dibolak-balik secara
perlahan, lalu disentrifugasi pada kecepatan 11 000 rpm (Beckman J2-HS, KUBOTA
& Tommy) selama 10 menit. Cairan yang berada di lapisan atas kemudian
dipindahkan ke tabung Eppendorf 1,5 ml yang baru. Sampel kemudian ditambahi
dengan isopropanol sebanyak volume sampel dan selanjutnya diinkubasi selama 1
jam pada suhu -20 oC. Setelah itu, sampel disentrifugasi kembali pada kecepatan 11
000 rpm [Beckman J2-HS, KUBOTA & Tommy] selama 10 menit. Endapan
kemudian dikeringkan, lalu ditambahi dengan 25 µl TE buffer (10 mM Tris-HCl, 1
mM EDTA). Hasil isolasi DNA dianalisis kualitasnya dengan elektroforesis di gel
agarosa 0.8% dan disimpan pada suhu -20 oC dan digunakan sebagai bahan untuk
tahap selanjutnya.
Analisis AFLP
Genom DNA sebanyak 50 ng dipotong dengan sepasang enzim restriksi
(EcoR I dan Mse I). Adaptor EcoR I, Mse I dan 1 unit T4 DNA ligase kemudian
ditambahkan ke dalam reaksi pada suhu 37 oC selama 2 jam dan dilanjutkan dengan
suhu 65 oC selama 20 menit. Komposisi pemotongan dan ligasi DNA disajikan pada
Lampiran 2. Hasil ligasi diencerkan 1:10, kemudian dipakai sebagai cetakan untuk
Pre-Amplifikasi. Reaksi Pre-Amplifikasi terdiri dari 3 µl DNA hasil ligasi, 2.5 µl Taq
buffer, 1 U Taq DNA pol, 25 mM MgCl2, 25 mM dNTPs, 10 pmol primer Mse-C, 10
pmol primer Eco-A dan H2O steril. Komposisi PCR untuk pre-amplifikasi disajikan
pada Lampiran 3. Amplifikasi dilakukan menggunakan thermocycle dengan tahapan
program sebagai berikut: 72 oC selama 2 menit, 94 oC selama 30 detik, 56 oC selama
30 detik, 72 oC selama 2 menit, kembali dari tahap 94 oC selama 29 kali, dan 60 oC
selama 10 menit.
Setelah diamplifikasi, hasil PCR diencerkan 1:10, kemudian diamplikasi
selektif menggunakan 12 kombinasi primer (Tabel 5). Campuran PCR terdiri dari 5
µl hasil preamplifikasi, 2,5 µl Taq buffer (10 x), 0.04 U Ampli Taq gold, 25mM
MgCl2, primer selektif masing-masing 10 pmol Mse I dan EcoR I, dan H2O steril
sampai volume 25 µl. Campuran kemudian dicampur secara perlahan dan
disentrifugasi singkat untuk menurunkan seluruh cairan di dalam tabung. Amplifikasi
dilakukan dengan menggunakan PCR. Program yang digunakan adalah sebagai
berikut: denaturasi pra-PCR 94 oC selama 2 menit, diikuti dengan denaturasi pada 94
o
C selama 30 detik, annealing 65 oC selama 30 detik dan extending 72 oC selama 2
menit. Tahap berikutnya adalah suhu annealing diturunkan 0,7 oC selama 12 siklus
dan 23 siklus berikutnya PCR dilakukan dengan suhu 94 oC selama 30 detik, suhu 56
o
C selama 30 detik, dan suhu 72 oC selama 60 detik dan diakhiri dengan suhu 4 oC.
Pemisahan pita-pita hasil amplifikasi dilakukan dengan menggunakan alat Agilent
2100 Bionalyzer. Komposisi PCR untuk amplifikasi selektif disajikan pada Lampiran
4.
Profil pita DNA diterjemahkan ke dalam data biner dengan ketentuan nilai 0
untuk tidak ada pita dan 1 untuk adanya pita DNA pada satu posisi yang sama dari
aksesi yang dibandingkan. Kesamaan genetik dibuat dalam bentuk matrik dengan
similarity for qualitative data (SIMQUAL), kemudian klastering dilakukan dengan
sub program SAHN dengan metode Unweigth Pair Group Method with Arithmatic
(UPGMA) program NTSYS-pc 2.02 (Rohlf
1998), menggunakan koefisien
kemiripan DICE.
Pengamatan Karakter Morfologi
Karakter morfologi yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pita ungu ibu tulang daun
Pengamatan pita ungu pada ibu tulang daun dilakukan pada daun ke-3 dari
atas yang terdiri dari yang sangat jelas jika > 75% ibu tulang daun tertutup pita ungu,
jelas jika antara 50% hingga 75% ibu tulang daun tertutup pita ungu, kurang jelas
jika 25% hingga 50% ibu tulang daun tertutup pita ungu dan tidak jelas jika tidak
terdapat pita ungu pada ibu tulang daun.
2. Warna daging rimpang.
Pengamatan warna daging rimpang dilakukan saat panen dan dilakukan
terhadap rimpang induk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakter Morfologi
Hasil pengamatan karakter kualitatif berupa morfologi bentuk daun, bentuk
pangkal daun, bentuk ujung daun dan pertulangan daun pada 32 aksesi tanaman
temulawak yang ditanam pada kebun koleksi BPPT Serpong, menunjukkan tidak
terdapat perbedaan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa bentuk daun adalah
oblong lanceolate, bentuk pangkal daun adalah meruncing, bentuk ujung daun adalah
meruncing, dan pertulangan daun adalah menyirip. Perbedaan terletak pada warna
pita ungu tulang daun. Oleh sebab itu pengamatan karakter vegetatif terhadap 32
aksesi temulawak dilakukan terhadap warna pita ungu ibu tulang daun dan warna
rimpang. Hasil pengamatan warna pita ungu tulang daun dan warna rimpang dari 32
aksesi temulawak disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Variasi warna pita ungu ibu tulang daun dan rimpang dari 32 aksesi
temulawak
No.
Kode
Aksesi
Warna tulang daun
Warna rimpang
1.
A
Solok
Tidak ungu
Jingga
2.
B
Medan
Ungu muda
Jingga
3.
C
Palembang
Tidak ungu
Jingga
4.
D
Ciamis1
Ungu tua
Jingga
5.
E
Ciamis2
Tidak ungu
Jingga muda
6.
F
Salakaria
Ungu muda
Jingga
7.
G
Kalisanta
Tidak ungu
Jingga muda
8.
H
Karang Anyar
Ungu tua
Jingga
9.
I
Merapi Farm
Ungu tua
Kuning
10.
J
Semarang
Ungu muda
Jingga muda
11.
K
Salatiga
Tidak ungu
kuning
12.
L
Sumberejo
Ungu muda
Kuning
13.
M
Blora
Ungu muda
Jingga muda
14.
N
Mangunan
Tidak ungu
Kuning keputihan
15.
O
Samas Bantul
Tidak ungu
Kuning
16.
P
Tagari
Ungu muda
Kuning
17.
Q
Boyolali
Ungu tua
Jingga
18.
R
Purworejo
Tidak ungu
Jingga
19.
S
Kulonprogo
Ungu muda
Kuning keputihan
20.
T
Menoreh
Tidak ungu
Kuning keputihan
21.
U
Sentolo
Tidak ungu
Jingga
22.
V
Pacitan
Ungu muda
Jingga muda
23.
W
Bali
Tidak ungu
Kuning
24.
X
Kalsel
Tidak ungu
Kuning
25.
Y
Argomulyo
Tidak ungu
Kuning
26.
Z
Pontianak
Tidak ungu
Jingga
27.
AA
NTB
Tidak ungu
Kuning
28.
AB
Poso
Tidak ungu
Kuning
29.
AC
Toraja
Tidak ungu
Kuning
30.
AD
Mataram
Tidak ungu
Kuning
31.
AE
Makale
Ungu muda
Jingga
32
AF
P. Seram
Ungu tua
Kuning
Pengamatan terhadap karakter morfologi memperlihatkan bahwa dari 32
aksesi tanaman temulawak terdapat tiga variasi warna ungu pita ungu ibu tulang
daun, yaitu sangat jelas, jelas dan kurang jelas (Gambar 4). Pengamatan terhadap
warna rimpang memperlihatkan bahwa dari 32 aksesi tanaman temulawak terdapat
empat variasi warna rimpang, yaitu jingga tua, jingga, kuning dan kuning keputihan
(Gambar 5).
a
c
b
Gambar 4 Variasi warna pita ungu ibu tulang daun temulawak, (a) sangat jelas,
(b) jelas, dan (c) kurang jelas
a
b
c
d
Gambar 5 Variasi warna rimpang, (a) jingga tua (b) jingga (c) kuning (d) kuning
keputihan
Warna ungu pita ibu tulang daun dan warna rimpang merupakan variasi yang
sering ditemukan dalam temulawak. Perbedaan lingkungan tanam diduga
menimbulkan keragaman alami temulawak, walaupun tanaman ini membiak secara
vegetatif. Petunjuk adanya keragaman semacam itu pertama kali dikemukakan oleh
Prana (1985) yang menyatakan bahwa rasa dan aroma temulawak yang diambil dari
populasi “liar” tidak selalu sama dengan yang bersumber dari populasi budidaya.
Analisis Profil Pita AFLP
DNA genom dari 32 aksesi temulawak yang berkualitas tinggi sangat
dibutuhkan untuk analisis AFLP (Vos et al. 1995), karena DNA yang utuh dan murni
dapat memudahkan enzim endonuklease restriksi (RE) bekerja memotong DNA
sesuai dengan sisi pengenalannya (Nathans & Smith 1975). Hal ini sangat penting
karena salah satu kriteria analisis menggunakan penanda AFLP ialah persamaan dan
perbedaan situs pengenalan enzim RE yang dapat menghasilkan ukuran fragmen
DNA yang berbeda antara 50-100 pita DNA (Vos et al. 1995). Teknik AFLP dapat
mendeteksi polimorfisme pada aksesi temulawak dengan menganalisis seluruh
genom. Menurut Omoto dan Lurquin (2004), polimorfisme pada AFLP dideteksi
dengan adanya perbedaan ukuran fragmen DNA. Polimorfisme yang dihasilkan
menunjukkan adanya perbedaan letak penanda AFLP (urutan basa pengenalan enzim
restriksi EcoRI dan MseI dan primer selektif) sehingga dapat diperoleh informasi
perbedaan genetik pada setiap sampel. Perbedaan ukuran fragmen DNA
menghasilkan suatu pola pita DNA tertentu.
Teknik AFLP diawali dengan memotong genom temulawak dengan enzim
EcoRI dan MseI. Enzim EcoRI memiliki pengenalan sekuen 5’-G↓AATTC-3’ dan
memotong antara basa Guanin (G) dan Adenin (A). Enzim MseI memiliki pengenalan
sekuen 5’-T↓TAA-3’ dan memotong antara timin (T) dan timin (T). Penggunaan
enzim EcoRI dan MseI bertujuan memperoleh polimorfisme yang lebih rinci, karena
kedua enzim tersebut lebih banyak tersusun atas basa adenin dan tim