Development Strategy of Aloe vera in Peat Areas in Support of Pontianak City Regional Development

STRATEGI PENGEMBANGAN LIDAH BUAYA (Aloe vera)
PADA LAHAN GAMBUT UNTUK MENDUKUNG
PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA PONTIANAK

LIA OKTAVIANA ANGRAINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Strategi Pengembangan
Lidah Buaya (Aloe vera) pada Lahan Gambut untuk Mendukung Pengembangan
Wilayah Kota Pontianak” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 13 Maret 2014

Lia Oktaviana Angraini
NIM A156120314

iii

RINGKASAN
LIA OKTAVIANA ANGRAINI. Strategi Pengembangan Lidah Buaya (Aloe
vera) pada Lahan Gambut untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Kota
Pontianak. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan SUWARDI.
Aloe vera dikenal dengan nama “lidah buaya” merupakan salah satu
komoditi unggulan Kota Pontianak yang unik dan menjadi ciri khas Provinsi
Kalimantan Barat. Kota Pontianak menjadi sentra produksi lidah buaya terbesar
di Indonesia dengan agrosistemnya yang tumbuh pada lahan gambut, sehingga
perlu perlakukan khusus dalam usaha taninya. Pemerintah Daerah telah
melakukan berbagai pengembangan, produksi belum berhasil memenuhi
permintaan pasar karena petani tidak terdorong meningkatkan produksi. Belum
proporsionalnya pendapatan yang diterima petani dibandingkan dengan

pendapatan yang diterima pelaku usaha lainnya menjadi salah satu penyebab
kurangnya minat petani untuk meningkatkan produksi.Industri tepung lidah
buayayang diharapkan dapat meningkatkan minat petani untuk meningkatkan
produksi lidah buaya menghadapi kendala pemasaran. Perlu strategi
pengembangan agribisnis lidah buaya dan pengembangan industri tepung lidah
buaya untuk mendorong petani meningkatkan produksi.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penelitian ini dilakukan dengan
tujuan: (1) Memprediksi prospek permintaan lidah buaya di Kota Pontianak, (2)
Mengidentifikasi rantai pemasaran lidah buaya yang menguntungkan petani, (3)
Mengetahui kelayakan finansial industri tepung lidah buaya, (4) Menentukan
strategi pengembangan agribisnis lidah buaya.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pontianak dengan menggunakan data
primer dan data sekunder. Data primer berupa data wawancara dan pengisian
kuesioner ke para stakeholder. Data sekunder berupa data yang diperoleh dari
instansi/lembaga baik pemerintah maupun swasta meliputi data jumlah produksi
dan luas lahan pertanian lidah buaya, data ekspor lidah buaya, data home industry
industri lidah buaya, data finansial PT. Aloevera Indonesia, data kondisi umum
wilayah dan data lainnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah model autoregressive integrated moving average (ARIMA), analisis
marjin pemasaran, analisis kelayakan finansial dan analisis A’WOT (kombinasi

AHP dan SWOT).
Permintaan lidah buaya mendatang diprediksi akan terus meningkat. Tahun
2013 permintaan lidah buaya meningkat menjadi 6 654 ton atau berkisar 4.6% dan
terus meningkat menjadi 8 880 ton atau berkisar 7% pada tahun 2018 dari
produksi tahun 2012. Pengembangan industri tepung lidah buaya di Kota
Pontianak berpotensi mendorong petani untuk meningkatkan produksi. Rantai
pemasaran yang menguntungkan petani adalah pemasaran antara petani langsung
kepada pedagang pengecer atau pengguna seperti industri tepung lidah buaya.
Hasil perhitungan kelayakan finansial menunjukkan industri tepung lidah buaya
layak dikembangkan di Kota Pontianak, karena akan menjadi rantai pemasaran
langsung dari petani ke industri tepung lidah buaya.
Strategi pengembangan yang harus dilakukan Pemerintah Daerah agar
pengembangan agribisnis lidah buaya berjalan baik adalah pemasaran dilakukan

dari petani langsung ke pengguna lidah buaya, perluasan areal pertanian dan
bantuan abu dan pupuk ke petani untuk meningkatkan produksi lidah buaya,
peningkatan kualitas tepung lidah buaya agar permintaan pasar dapat terpenuhi,
pembangunan pabrik tepung lidah buaya, pembangunan jalan pada Kawasan
Sentra Agribisnis dan Kawasan Industri, pengembangan teknologi agribisnis lidah
buaya serta menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk pengembangan ekspor.

Kata kunci:

Agribisnis lidah buaya, lahan gambut, industri tepung lidah buaya,
pengembangan wilayah.

v

ttivitas -amilase dari ekstrak etanol SUMMARY

LIA OKTAVIANA ANGRAINI. Development Strategy of Aloe vera in Peat
Areas in Support of Pontianak City Regional Development. Supervised by
ERNAN RUSTIADI and SUWARDI
Aloe vera which is also known as "lidah buaya" constitutes as one of
Pontianak leading commodities having the uniqueness and characteristic of West
Kalimantan Province. Pontianak City has become the largest production center of
Aloe vera in Indonesia, Aloe vera and its growing on peatland requires special
treatment in its cultivation. The Local Government has undertaken various steps
in its development but the production, however, does not meet the market
demand since the farmers have no incentives to increase production. The
unproportional income received by farmers compared to those earned by Aloe

vera entrepreneurs could also be the cause of farmers not to increase production.
Aloe vera flour industry which is expected to increase farmers interest to boost
Aloe vera production faces marketing constraints. Both agribusiness development
strategy and Aloe vera flour industrial development are needed to encourage
farmers to increase production.
Based on the above problems, this study aims at: (1) Predicting the demand
outlook of Aloe vera, (2) Identifying Aloe vera market chain that benefits
farmers, (3) Determining financial feasibility of Aloe vera flour industry, (4)
Developing Aloe vera agribusiness development strategy.
This research was conducted in Pontianak using both primary and secondary
data. Primary data took the form of interviews and questionnaires given to the
stakeholders while secondary data were obtained from institutions/organizations
both public and private regarding aloevera’s total production and its acreage,
export data, data on home industry, financial data of PT . Aloevera Indonesia, data
on area condition in general and others. The method of analysis used in this
study comprises of a model of Autoregressive Integrated Moving Average
(ARIMA), Marketing Margin Analysis, Financial Analysis and A'WOT Analysis
(combination of AHP and SWOT) .
Aloe vera future demand is predicted to continue to increase. In 2013,
Aloe vera demand will increase to 6 654 tons or equivalent to about 4.6 % and

shall continue increasing to 8 880 tons, or about 7% of 2012 production level by
2018. Development of Aloe vera’s flour industry in Pontianak will encourage
farmers to increase production. Marketing chain that benefits farmers is the one
that directly links farmers to retailers or users such as Aloe vera’s flour industry.
The results on financial feasibility calculation has shown that Aloe vera’s flour
industry should be developed in the city of Pontianak as it would constitute a
direct marketing chain from the farmers to Aloe vera’s flour industry.
Development strategy that the local Government should do in making Aloe
vera agribusiness to run well are, among others, to have a direct marketing from
farmers to Aloe vera users, to expand Aloe vera planting areas as well as to
provide assistance in the form of ash and fertilizers to help farmers to increase
Aloe vera production, to improve Aloe vera flour quality in order to meet market
demand, to construct Aloe vera flour plants, to construct roads in the area of

agribusiness centers as well as industrial estates, to provide technological
assistance on Aloe vera flour industry and to create a business climate conducive
to export development .
Keywords :

Aloe vera agribusiness, peat, Aloe vera flour industry, regional

development .

Eugenia polyantha, flavonoids, saponins, lorem, ipsu

vii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

i

STRATEGI PENGEMBANGAN LIDAH BUAYA (Aloe vera)
PADA LAHAN GAMBUT UNTUK MENDUKUNG

PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA PONTIANAK

LIA OKTAVIANA ANGRAINI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Setia Hadi, MS

iii


Judul Tesis : Strategi Pengembangan Lidah Buaya (Aloe vera) Pada Lahan
Gambut Untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Kota
Pontianak
Nama
: Lia Oktaviana Angraini
NIM
: A156120314

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr
Ketua

Dr Ir Suwardi, MAgr
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun RP Sitorus

Tanggal Ujian:
27 Februari 2014

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Strategi Pengernbangan Lidah Buaya (Aloe vera) Pada Lahan
Gambut Untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Kota
Pontianak
: Lia Oktaviana Angraini
Nama
: A156120314

NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Suwardi, MAgr
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu perenc\ naan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Santun RP Sitorus

Tangga1 Ujian:
27 Februari 2014

Tanggal Lulus :l

3 MAR 201 4

v

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah
ini dilandasi atas keinginan penulis untuk memberi konstibusi pemikiran kepada
Pemerintah Kota Pontianak dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat serta unsur
lain yang terlibat terkait pengembangan lidah buaya (Aloe vera) yang saat ini
sedang menghadapi kendala yang menghambat perkembangannya dan pada
akhirnya mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaiannya. Adapun Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan April sampai Oktober 2013 ini adalah
“Strategi Pengembangan Lidah Buaya (Aloe vera) pada Lahan Gambut untuk
Mendukung Pengembangan Wilayah Kota Pontianak”.
Banyak pihak yang berkontribusi dan sangat membantu sejak awal studi
hingga penyelesaian studi yang diakhiri pada kegiatan penelitian, oleh sebab itu,
izinkan penulis menyampaikan penghargaan yang mendalam kepada mereka yang
terlibat dan berjasa dalam proses studi, penelitian dan penulisan tesis ini.
Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa dorongan dan bimbingan oleh Dr. Ir.
Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr. Ir. Suwardi, M.Agr, masing-masing selaku ketua
dan anggota komisi pembimbing, terima kasih yang setinggi-tingginya atas
bimbingan, masukan, arahan dan motivasi untuk perbaikan dan penyempurnaan
tesis ini.
Pusbindiklatren Bappenas selaku sponsor beasiswa yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan studi serta bantuan dan dukungan
yang diberikan selama melaksanakan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.
Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus selaku ketua program studi Ilmu
Perencanaan Wilayah (PWL) atas motivasi dan bimbingan sejak awal pelaksanaan
studi hingga penelitian ini dan seluruh dosen pengajar PWL atas pengajaran mata
kuliah wajib dan pilihan serta Dyah Retno Panuju, SP, M.Si yang telah
memberikan penjelasan singkat dalam melaksanakan tahapan analisis A’WOT
(AHP dan SWOT) sebagai salah satu teknik analisis data penelitian terkait
pengambilan keputusan.
Kepada Gubernur Kalimantan Barat dan Kepala Badan Kepegawaian
Daerah Prov. Kalbar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis selaku
aparatur Pemerintah Daerah untuk melakukan studi Magister Sains di IPB dan
atas dukungan moril dan materi selama penulis melaksanakan studi ini. Ucapan
yang sama juga disampaikan kepada Kornelius, S.IP, MT dan Erni Muchsin,
S.STP, M.Si masing-masing selaku Sekretaris dan Kepala Sub Bidang Umum dan
Aparatur Badan Kepegawaian Daerah Prov. Kalbar atas kesempatan dan
dukungan kepada penulis dalam melaksanakan studi.
Bapak dan Ibu tercinta, atas kasih sayang telah mendidik dan mengasuh
dengan penuh rasa cinta sejak lahir hingga dapat meraih cita-cita saya dan
memberikan kebanggaan terbesar bagi hidup mereka. Hal yang sama kepada adikadikku tersayang dan seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan, doa dan
dukungan moril dan tenaga.
Dan terutama kepada suami dan anak tersayang, atas doa, motivasi dan
kebersamaan baik suka maupun duka selama penulis menjalani studi.

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya dan semoga
tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor,

Maret 2014

Lia Oktaviana Angraini

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

7

3 METODE PENELITIAN

16

Lokasi dan Waktu Penelitian

16

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

17

Bagan Alir Penelitian

18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

33

Prediksi dan Prospek Permintaan Lidah Buaya

33

Pemasaran Lidah Buaya yang Menguntungkan Petani

35

Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya

40

Strategi Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya

46

5 SIMPULAN DAN SARAN

54

Simpulan

54

Saran

55

DAFTAR PUSTAKA

55

LAMPIRAN

58

RIWAYAT HIDUP

69

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Jenis Produk dan Kapasitas Produk Industri Olahan Lidah Buaya di
Kota Pontianak Tahun 2013
Metode Analisis Data
Syarat Uji Stasioner Data
Skala Penyusunan Prioritas
Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS)
Matriks External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS)
Data Penggunaan Lidah Buaya Tahun 2009 sampai 2012
Prediksi Penggunaan Lidah Buaya Tahun 2013 sampai 2018
Marjin Pemasaran dan Akumulasi Biaya di Tiap Tingkatan Pemasaran
Harga yang Diterima Petani dan Marjin Pemasaran pada MasingMasing Rantai Pemasaran
Biaya Bahan Baku, Biaya Investasi, Biaya Operasional, Biaya
Penyusutan, Asuransi dan Pajak Penghasilan
Pendapatan Tepung Lidah Buaya Tahun ke-1
Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya
Faktor-Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman
Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya
Hasil Analisis Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary
(IFAS) dari Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya.
Hasil Analisis Matriks External Strategic Factor Analysis Summary
(EFAS) dari Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya.

11
21
22
28
29
30
33
34
38
39

41
42
43
46
48
49

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Tahapan Usaha Tani Lidah Buaya di Lahan Gambut
Pohon Industri Lidah Buaya
Kerangka Pemikiran
Gambar Produk Lidah Buaya
Peta Kota Pontianak
Bagan Alir Operasional Analisis Penelitian
Model Matriks Internal External
Model Matriks Space
Matriks SWOT
Rantai Pemasaran Satu
Rantai Pemasaran Dua
Rantai Pemasaran Tiga

1
3

7
10

17
20
31
32
33
35
36
36

ix

13
14
15
16

Rantai Pemasaran Empat
Hasil Analisis Matrik Internal External
Hasil Analisis Matriks Space
Hasil Analisis Matriks SWOT Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya

36
50
51
52

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Prediksi Permintaan Lidah Buaya dalam Tahun 2013 sampai 2018
Daftar Harga, Biaya dan Keuntungan Pedagang Pengecer Lidah Buaya
Daftar Rincian Mesin, Perlengkapan dan Peralatan yang digunakan
untuk Mengolah Tepung Lidah Buaya
4 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di
Kota Pontianak dengan Discount Rate 5.75 % dengan Asumsi Produksi
Maksimum
5 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di
Kota Pontianak dengan Discount Rate 7.25 % dengan Asumsi Produksi
Maksimum
6 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di
Kota Pontianak dengan Discount Rate 12.25 % dengan Asumsi
Produksi Maksimum
7 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di
Kota Pontianak dengan Discount Rate 5.75 % dengan Asumsi Produksi
Menurun 30%
8 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di
Kota Pontianak dengan Discount Rate 7.25 % dengan asumsi produksi
menurun 30%
9 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di
Kota Pontianak dengan Discount Rate 12.75 % dengan Asumsi
Produksi Menurun 30%
10 Perhitungan Rating Faktor Strategi Internal dan External dalam
Analisis A’WOT untuk Penyusunan Strategi Pengembangan Agribisnis
Lidah Buaya

58
60
61
62

63

64

65

66

67

68

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Aloe vera atau dikenal dengan “lidah buaya” dan produk olahannya
merupakan salah satu komoditi unggulan daerah Kota Pontianak karena unik dan
menjadi ciri khas Provinsi Kalimantan Barat yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Walikota No. 710 tahun 2013. Lidah buaya dikembangkan di Indonesia
pada awal Tahun 1990an oleh bangsa etnis Tionghoa dari Cina dan dibawa
pertama kali ke Provinsi Kalimantan Barat (Dhamayanti 2012). Agroekosistem
lidah buaya di Kota Pontianak dibudidayakan pada lahan gambut, mengingat jenis
tanah di Kota Pontianak didominasi oleh jenis tanah gambut yang mencapai luas
5 592 ha dari luas Kota Pontianak yakni 10 782 ha. Curah hujan tinggi dan
intensitas cahaya sinar matahari yang diperoleh sangat penuh, mengingat Kota
Pontianak dilintasi garis khatulistiwa membuat kondisi ini sangat cocok untuk
pertumbuhan lidah buaya pada lahan gambut di Kota Pontianak. Budi daya lidah
buaya pada lahan gambut memerlukan perlakuan yang khusus. Proses pengelolaan
lahan pertanian lidah buaya pada lahan gambut di Kecamatan Pontianak Utara,
Kota Pontianak disajikan pada Gambar 1.
1

4

Gambar 1

2

3

Tahapan Usaha Tani Lidah Buaya di Lahan Gambut. Sumber :
Aloevera Center (2004). Keterangan: (1) Pengolahan lahan,
(2) Pembuatan drainase, (3) Penanaman dan pemupukan, dan
(4) Pemanenan.

2

Gambar 1 menggambarkan proses kegiatan pertanian lidah buaya pada
lahan gambut yang terdiri atas proses pengolahan lahan, pembuatan drainase,
penanaman, perawatan dan pemupukan (AVC 2004). Pembuatan drainase
dilakukan bertujuan membuang air yang berlebihan agar terjadi oksidasi dan
mineralisasi akibat terjadinya penurunan permukaan air tanah di lahan gambut
(Burhansyah 2002). Budi daya lidah buaya pada lahan gambut membutuhkan
perlakukan yang khusus (Daryono 2004). Karakteristik umum lahan gambut
dicirikan dengan kadar KTK (kapasitas tukar kation) lebih besar dibandingkan
dengan tanah mineral, kadar N relatif tinggi berkisar 1% - 2%, kejenuhan basa
relatif rendah berkisar 10% - 15% dan derajat pH di kawasan pinggir sungai ratarata 4.3. Mengingat wilayah Kota Pontianak dilalui sungai Kapuas sehingga
gambut Kota Pontianak relatif tipis sehingga tergolong gambut subur (Noor 2008).
Sentra produksi lidah buaya terbesar di Indonesia terdapat di Kota
Pontianak yang berada pada suatu Kawasan Sentra Agribisnis Pontianak (KSAP)
(Wijayanti 2007). Lidah buaya yang diproduksi di daerah lain seperti Purworejo,
Bogor dan Parung baru pada skala usaha yang masih relatif sempit dan lokasinya
terpencar. Keunggulan lidah buaya adalah salah satu tanaman obat prioritas WHO,
sangat bermanfaat bagi penderita kanker dan terdaftar dalam Food and Drug
Administration di Amerika (Dimyati dan Sahari 2002).
Pemerintah Daerah telah menyusun rencana pengembangan lidah buaya
untuk mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak yang tercantum dalam
Peraturan Walikota Nomor 710 Tahun 2013 dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Pontianak Tahun 2002 sampai 2012. Rencana pengembangan lidah buaya
yang dituangkan dalam RTRW Kota Pontianak terwujud dalam pengembangan
Kawasan Sentra Agribisnis. Pemerintah Daerah memberikan alokasi lahan untuk
pengembangan kawasan tanaman lidah buaya, pepaya dan jagung seluas 674.70
ha dan pengembangan kawasan agroindustri seluas 6 ha.
Budi daya lidah buaya seluas 300 hektar berpotensi menghasilkan 2 400 ton
lidah buaya, sehingga pendapatan yang akan diperoleh sejumlah 3.6 milyar rupiah
per panen, dengan asumsi harga lidah buaya sebesar Rp 1 500 per kilogram.
Besarnya pendapatan yang diperoleh akan mendukung pengembangan wilayah
Kota Pontianak dan meningkatkan PDRB sektor pertanian, mengingat sektor
pertanian hanya menyumbang 202 juta rupiah atau berkisar 1.45% dari
keseluruhan nilai PDRB Kota Pontianak tahun 2011 (BPS 2012).
Kebijakan pengembangan tersebut ternyata masih belum terlaksana dengan
baik. Permintaan lidah buaya yang tinggi masih belum terpenuhi karena produksi
lidah buaya yang terbatas. Petani takut untuk meningkatkan produksi, mengingat
pada tahun 2000an petani mengalami kerugian karena permintaan turun,
akibatnya petani mengalami kerugian dan mulai beralih ke budi daya tanaman lain.
Data Aloevera Center (2012), diketahui produksi lidah buaya Tahun 2004
berjumlah 16 835 ton menurun drastis menjadi 2 458 ton pada Tahun 2007,
kemudian baru pada tahun 2012 meningkat menjadi 6 359 ton. Jumlah petani
tahun 2007 yang semula berjumlah 115 orang, menurun menjadi 49 petani pada
Tahun 2012. Belum proporsionalnya pendapatan yang diterima petani
dibandingkan dengan pendapatan yang diterima pelaku usaha juga menjadi
penyebab petani kurang berminat untuk meningkatkan produksinya.
Pengembangan lidah buaya harus dilakukan dengan serius untuk mempertahankan
keberadaan lidah buaya serta mengurangi kebocoran nilai tambah ke luar wilayah.

3

Industri olahan lidah buaya yang berkembang di Kota Pontianak baru
sebatas perdagangan lidah buaya dalam bentuk pelepah dan produk olahan
makanan dan minuman home industry yang berjumlah 16 home industry dan 2
perusahaan besar nasional yaitu PT. Niramas Utama dan PT. Aloevera Indonesia.
Hasil olahan yang terbatas tersebut hanya memberikan sedikit nilai tambah dalam
pengembangan lidah buaya. Nilai tambah yang besar akan diperoleh jika lidah
buaya dapat diolah menjadi produk yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku
industri lanjutan, seperti industri farmasi dan kosmetik (Sulaeman 2004). Produk
kosmetik dan farmasi yang dihasilkan dengan bahan baku lidah buaya tidak bisa
digunakan secara langsung dalam bentuk pelepah segar, tetapi harus diolah dahulu
menjadi gel (Aloe gel) atau tepung (Aloe powder). Tepung lidah buaya pernah
diproduksi oleh PT. Aloevera Indonesia di Kota Pontianak selama tahun 2006
sampai 2007. Produksi tepung lidah buaya dihentikan karena kualitas produk yang
belum sesuai permintaan pasar (Ellyta 2004). Pentingnya pengembangan industri
tepung lidah buaya di Kota Pontianak bertujuan menumbuhkan pasar baru yang
dapat menampung produksi lidah buaya, mengingat rasio perbandingan antara
bahan baku dan tepung yang dihasilkan adalah 150:1 atau 150 kg daun
menghasilkan 1 kg tepung (Hendrawati et al. 2012). Besarnya jumlah kebutuhan
lidah buaya dalam industri tepung lidah buaya akan mendorong minat petani
untuk meningkatkan produksi dan akhirnya lidah buaya dapat berkontribusi dalam
pengembangan wilayah Kota Pontianak. Hubungan antara lidah buaya dan produk
turunannya terlihat sebagaimana pohon industri lidah buaya pada Gambar 2.

Makanan
Gel (Pulp)
Minuman

Kosmetik

Pupuk Organik

Farmasi

Kulit
Teh
Lidah Buaya

Spray Dried Powder

Agro Industri

Powder

Freeze Dried Powder

Kosmetik

Ekstrak
Senyawa aktif

Juice

Minuman
Kesehatan

Medical Purposes

Farmasi

Farmasi

Minuman
Kesehatan

Kosmetik
Konsentrat

Farmasi
Industri Kimia

Gambar 2 Pohon Industri Lidah Buaya, Sumber: Aloevera Center (2004)

Pasar untuk tepung lidah buaya juga cukup menjanjikan khususnya untuk
pasar dalam negeri. Industri farmasi dan kosmetik di Indonesia masih mengimpor

4

tepung lidah buaya dari Amerika dan Australia. Industri tepung lidah buaya yang
ada di Indonesia belum mampu mensuplai kebutuhan pasar tersebut. Terbatasnya
produksi lidah buaya dari pesaing seperti Amerika dan Australia karena
terkendalanya musim, mengakibatnya ekspor lidah buaya negara pesaing menjadi
terhambat, sedangkan permintaan lidah buaya semakin meningkat, baik dalam
bentuk pelepah maupun tepung lidah buaya. Produksi lidah buaya dinilai akan
meningkatkan kinerja sumber daya manusia khususnya petani dan pelaku usaha,
sehingga perlu upaya menumbuhkan minat pelaku usaha untuk mengembangkan
industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak.
Kamaruddin (2006) juga menyarankan untuk memprioritaskan
pengembangan industri tepung lidah buaya di Kawasan Sentra Agribisnis Kota
Pontianak. Sejalan dengan strategi tersebut, Lewis (1967) dalam Rustiadi et al.
(2011) juga memandang pentingnya pengembangann sektor industri dalam rangka
mendukung pengembangan sektor pertanian. Lebih lanjut disampaikan,
pengembangan sektor pertanian lidah buaya tanpa diikuti perkembangan sektor
industri, akan memperburuk term of trade sektor pertanian. Pengembangan lidah
buaya tanpa diikuti pengembangan industri olahan, baik industri kecil maupun
besar seperti tepung lidah buaya tidak akan memberikan nilai tambah yang besar
bagi pertanian lidah buaya. Akibatnya akan terjadi kelebihan produksi atau tenaga
kerja dalam usaha tani lidah buaya, pendapatan di sektor pertanian akan menurun
dan rangsangan penanaman modal baru tidak terjadi lagi. Dengan demikian, sudah
seharusnya Pemerintah Daerah mengembangkan industri tepung lidah buaya
secara serius untuk mendorong pengembangan lidah buaya dalam mendukung
pengembangan wilayah Kota Pontianak.
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan adanya strategi pengembangan lidah
buaya, baik dari aspek produksi, pemasaran, pengolahan dan kebijakan.

Perumusan Masalah
Lidah buaya dan produk olahannya merupakan salah satu komoditi
unggulan Kota Pontianak yang unik dan menjadi ciri khas Provinsi Kalimantan
Barat. Lidah buaya tumbuh sangat subur di lahan gambut Kota Pontianak karena
curah hujan Kota Pontianak yang cukup tinggi dan intensitas cahaya sinar
matahari yang diperoleh sangat baik, mengingat wilayahnya dilintasi garis
khatulistiwa membuat kondisi ini sangat cocok untuk pertumbuhan lidah buaya di
Kota Pontianak.
Pemerintah Daerah telah melakukan pengembangan lidah buaya dalam
Peraturan Walikota Nomor 710 Tahun 2013 dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Pontianak Tahun 2002 sampai 2012 mulai dari pengembangan budi daya
hingga pengembangan industri olahan lidah buaya. Kebijakan yang dilakukan
masih belum memenuhi kebutuhan pasar karena terbatasnya produksi lidah buaya.
Petani takut untuk meningkatkan produksi, mengingat pada tahun 2000an petani
mengalami kerugian karena permintaan menurun. Perlu dilakukan prediksi
permintaan dan prospek lidah buaya agar diketahui jumlah permintaan lidah
buaya yang diinginkan pasar.

5

Belum proporsionalnya pendapatan yang diterima petani dibandingkan
dengan pendapatan yang diterima pelaku usaha juga menjadi penyebab kurangnya
rminat petani untuk meningkatkan produksi. Perlu diidentifikasi rantai pemasaran
lidah buaya yang paling menguntungkan petani.
Industri tepung lidah buaya yang diharapkan dapat meningkatkan minat
petani untuk meningkatkan produksi lidah buaya serta menumbuhkembangkan
industri kosmetik dan farmasi menghadapi kendala pemasaran. Produk tepung
lidah buaya berasal dari Kota Pontianak tidak dapat bersaing dengan pesaing lain
karena kualitas belum sesuai permintaan pasar dan kurangnya kepercayaan pasar
terhadap kuantitas produk yang belum terjamin.
Perdagangan pelepah segar dan olahan home industry lidah buaya hanya
memberikan sedikit nilai tambah dalam pengembangan lidah buaya. Nilai tambah
yang besar akan diperoleh jika lidah buaya dapat diolah menjadi produk yang
dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjutan, seperti industri farmasi
dan kosmetik (Sulaeman 2004). Produk kosmetik dan farmasi yang dihasilkan
dengan bahan baku lidah buaya harus diolah dahulu menjadi gel (Aloe gel) atau
tepung (Aloe powder). Tepung lidah buaya memiliki potensi permintaan pasar
domestik dan global serta peluang pasar dalam negeri yang tinggi. Merupakan
peluang untuk mendorong minat petani untuk meningkatkan produksi lidah buaya
pada gilirannya akan mendorong pengembangan lidah buaya. Perlu upaya
menumbuhkan minat pelaku usaha untuk mengembangkan industri tepung lidah
buaya di Kota Pontianak. Kamaruddin (2006) juga menyarankan untuk
memprioritaskan pengembangan industri tepung lidah buaya di Kawasan Sentra
Agribisnis Kota Pontianak.
Berbagai program pengembangan lidah buaya yang dilakukan Pemerintah
Daerah belum mampu mengatasi masalah produksi, pemasaran hingga industri
pengolahan lidah buaya. Perlu dianalisis strategi pengembangan agribisnis lidah
buaya agar pengembangan lidah buaya untuk mendukung pengembangan wilayah
dapat tercapai.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk:
1. Memprediksi dan prospek permintaan lidah buaya di masa mendatang;
2. Mengidentifikasi rantai pemasaran lidah buaya yang paling menguntungkan
petani;
3. Mengetahui kelayakan finansial industri tepung lidah buaya;
4. Menentukan strategi pengembangan agribisnis lidah buaya untuk mendorong
pengembangan wilayah Kota Pontianak.

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

6

1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pengambil kebijakan (Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Pemerintah Kota Pontianak)
dalam pengembangan lidah buaya dalam mendukung pengembangan wilayah
Kota Pontianak;
2. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti
pengembangan lidah buaya di Kota Pontianak;
3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana pengembangan wawasan dalam
menganalisis dan memecahkan permasalahan yang terjadi pada pengembangan
lidah buaya.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dititikberatkan pada strategi yang dilakukan
dalam upaya pengembangan lidah buaya di Kota Pontianak yang meliputi aspek
produksi, pemasaran dan pengembangan industri olahan tepung lidah buaya.
Wilayah penelitian dibatasi pada Kota Pontianak yang merupakan sentra produksi
lidah buaya dan agribisnis lidah buaya terbesar di Indonesia.
Penentuan objek penelitian maupun responden ditentukan dengan metode
purposive sampling berdasarkan pertimbangan efektivitas dan kemudahan dalam
pencapaian tujuan penelitian.

Kerangka Pemikiran
Sejak diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun
1999 kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, landasan
perencanaan dan pengembangan wilayah semakin jelas dan menarik. Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah secara bersama menyelenggarakan pemerintahan
dengan menjunjung tinggi asas pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian sumber
daya alam dan sumber daya lainnya untuk mewujudkan pengembangan wilayah.
Kota Pontianak sebagai sentra produksi lidah buaya memiliki potensi agroklimat
dan tanah gambut yang sangat cocok bagi pertumbuhan lidah buaya. Lidah buaya
termasuk salah satu tanaman obat terlaris di pasar dunia dan memiliki prospek
tinggi.
Pemerintah Daerah telah melakukan upaya pengembangan, baik
pengembangan budi daya dan pengembangan industri olahan lidah buaya.
Kebutuhan pasar lidah buaya belum mampu terpenuhi karena produksi lidah
buaya yang terbatas. Petani takut untuk meningkatkan produksi jika permintaan
menurun. Belum proporsionalnya pendapatan yang diterima petani dibandingkan
dengan pendapatan yang diterima pelaku usaha juga menjadi penyebab petani
kurang berminat untuk meningkatkan produksi. Di sisi lain, tepung lidah buaya
yang memiliki prospek dan potensi untuk pengembangan lidah buaya dalam
mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak menghadapi masalah
pemasaran. Produk tepung lidah buaya berasal dari Kota Pontianak tidak mampu
bersaing dengan pesaing domestik maupun global karena kualitasnya yang belum

7

sesuai permintaan pasar dan kuantitasnya belum terjamin. Perlu strategi
pengembangan lidah buaya untuk mendukung pengembangan wilayah Kota
Pontianak. Lebih rinci kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

-

Potensi sumber daya
Kondisi geografis
Kondisi iklim
Intensitas cahaya
Kondisi permintaan
Nilai sejarah

Lidah buaya adalah komoditas
unggulan Kota Pontianak

sentra produksi terbesar dan
pengkajian nilai tambah di
Indonesia

prospek tinggi mendukung
pengembangan wilayah
program pengembangan
Pemerintah belum berhasil

Lidah
buaya
terbatas

aloe powder memiliki nilai tambah
yang besar dan prospek tinggi
mendorong minat petani
meningkatkan produksi

Pendapatan
petani tidak
proporsional

upaya menumbuhkan kembali
industri tepung lidah buaya
Produk tepung berasal dari
Pontianak tidak mampu
bersaing

strategi pengembangan lidah
buaya

Gambar 3 Kerangka Pemikiran

TINJAUAN PUSTAKA
Lidah Buaya
Tanaman lidah buaya menyerupai kaktus tersebut merupakan jenis sukulen
atau banyak mengandung cairan. Lidah buaya merupakan tumbuhan yang dapat
hidup di tempat yang bersuhu tinggi atau ditanam di pekarangan rumah sebagai
tanaman hias. Ciri-ciri tanaman lidah buaya, antara lain daunnya agak runcing
berbentuk taji, tebal, getas, tepinya bergerigi/berduri kecil, permukaan berbintikbintik dengan panjang 15-36 cm dan lebar 2-6 cm (Intan 2012).

8

Dhamayanti (2012) menyatakan di daerah Pontianak khususnya di Kota
Pontianak terdapat sekitar 20 jenis Aloe vera yang dibudidayakan. Terdapat satu
jenis Aloe vera yang unggul dan sering diminati atau dikonsumsi oleh penduduk
atau masyarakat Kota Pontianak yaitu Aloe vera aloenensis. Ciri-ciri Aloe vera
aloensis yaitu ukurannya lebih besar, lebih mudah dalam pengolahannya, dan
lebih mudah dipasarkan. Ada pula jenis Aloe vera yang bagus namun berbau
tajam yaitu Aloe vera barbodensis. Jenis Aloe vera ini sedikit dipasarkan dan
jarang diminati oleh masyarakat. Aloe vera ini biasanya digunakan dalam
pembuatan tepung.
Morfologi Lidah Buaya
a. Batang Tanaman
Lidah buaya atau Aloe vera berbatang pendek dan kecil yang dikelilingi
oleh pelepah daun. Batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh daun-daun yang
rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Melalui batang ini akan muncul tunastunas yang selanjutnya menjadikan anakan. Lidah buaya yang bertangkai panjang
juga muncul dari batang melalui celah-celah atau ketiak daun. Lidah buaya tidak
mempunyai cabang. Batang lidah buaya juga dapat distek untuk perbanyakan
tanaman (Intan 2012).
b. Daun
Daun tanaman lidah buaya berbentuk pita dengan helaian yang memanjang.
Daun lidah buaya melekat dari bagian bawah batu satu dengan yang lain
berhadap-hadapan membentuk struktur khas yang disebut roset. Daunnya
berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau keabu-abuan, bersifat sukulen
(banyak mengandung air) dan banyak mengandung getah atau lendir (gel) yang
biasanya dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Bentuk daunnya menyerupai
pedang dengan ujung meruncing, permukaan daun dilapisi lilin, dengan duri
lemas dipinggirnya. Panjang daun dapat mencapai 50 – 75 cm, dengan berat 0.5 –
1 kg, daun melingkar rapat di sekeliling batang bersaf-saf. Pada tepi daun terdapat
duri yang tidak terlalu keras, warna daunnya berwarna hijau, dan pada daun yang
masih muda terdapat bercak-bercak putih (Intan 2012).
c. Bunga
Bunga lidah buaya berwarna kuning atau kemerahan berupa pipa yang
mengumpul, keluar dari ketiak daun. Bunganya berukuran kecil, tersusun dalam
rangkaian berbentuk tandan, dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Bunga lidah
buaya biasanya muncul bila ditanam di pegunungan (Intan 2012).
d. Akar
Akar tanaman lidah buaya berupa akar serabut yang pendek menyebar
kesamping di bagian bawah tanaman. Panjang akar berkisar antara 50 – 100 cm.
Untuk pertumbuhannya tanaman menghendaki tanah yang subur dan gembur di
bagian atasnya (Intan 2012).
Manfaat Lidah Buaya
Menurut AVC (2004) lidah buaya mempunyai berbagai manfaat dalam
kehidupan manusia diantaranya sebagai bahan makanan, bahan kosmetik, bahan
industri farmasi, bahan pengobatan tradisional dan bahan baku industri pertanian.
Lebih rinci akan diuraikan sebagai berikut:

9

1.

Sebagai bahan makanan
Manfaat dalam bidang pangan yang terkandung di dalam lidah buaya
meliputi minuman kesehatan, juice, makanan dan food suplement (AVC 2004).
2. Sebagai bahan kosmetik
Sebagai bahan kosmetika, lidah buaya digunakan untuk membuat produkproduk seperti krim cukur, formula pelindung sinar matahari (sun protectin
formula), pelembab kulit, pembersih muka, penyegar, masker, lipstik, deodoran,
shampoo, dan kondisioner rambut. Kegunaan sebagai bahan baku perawatan kulit
(sun block, hand dan body lotion, skincleansers, facial moistures), perawatan
rambut (shampo, creambath) dan untuk perawatan kuku (AVC 2004).
3. Sebagai bahan industri farmasi
Bidang farmasi dan kesehatan, AVC (2004) menyebutkan manfaat lidah
buaya antara lain anti inflammasi (peradangan), anti oxidant, laxatif (pencahar),
anti mikrobial & molusisidal, anti kanker (aceman sebagai imunostimulator),
afrosiak, immunomodulator (kekebalan) dan hepatoprotektor.
4. Sebagai bahan pengobatan tradisional
Dalam ilmu pengobatan tradisional, banyak ramuan menggunakan bahan
lidah buaya yang digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan bahwa lidah buaya
dapat dijadikan sebagai obat cacing, luka bakar, bisul, luka bermasalah, amandel,
sakit mata, dan keseleo.
5. Mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh
Menurut pengamat makanan kesehatan Freddy (2004) dalam AVC (2004)
dari sekitar 200 jenis tanaman lidah buaya atau herbal food, yang baik digunakan
untuk pengobatan adalah jenis Aloe barbadensis miller. Lidah buaya untuk herbal
products jenis ini mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh (AVC 2004).
Di antara ke-72 zat yang dibutuhkan tubuh itu terdapat 18 macam asam amino,
karbohidrat, lemak, air, vitamin, mineral, enzim, hormon, dan zat golongan obat.
Antara lain antibiotik, antiseptik, antibakteri, antikanker, antivirus, antijamur,
antiinfeksi, antiperadangan, antipembengkakan, antiparkinson, antiaterosklerosis,
serta antivirus yang resisten terhadap antibiotik.
Dengan banyaknya kandungan di dalam lidah buaya, tidak hanya berguna
untuk menjaga kesehatan, tetapi juga mampu mengatasi berbagai macam
penyakit, seperti menurunkan gula darah pada penderita diabetes, dan
menurunkan tingginya kolesterol dalam tubuh (AVC 2004).
6. Sebagai bahan baku industri pertanian
Bidang pertanian, manfaat lidah buaya antara lain memiliki kegunaan
sebagai bahan baku pupuk organik, suplement hidroponik, suplement media kultur
jaringan dan penambah nutrisi untuk pakan ternak (AVC 2004).
Produk Lidah Buaya di Kota Pontianak
Lidah buaya memiliki diversifikasi produk yang luas, diantaranya dapat
digunakan sebagai bahan baku obat, kosmetik, makanan, minuman, dan pakan
nutrisi untuk ternak. Agroindustri lidah buaya yang ada di Indonesia hanya
sebatas mengolah lidah buaya menjadi produk minuman. Agroindustri ini berdiri
pada skala usaha kecil dan rumah tangga, yang pada saat itu hanya mengolah

10

lidah buaya menjadi minuman siap saji, kemudian mengalami perkembangan pada
diversifikasi produknya, dan saat ini telah memproduksi berbagai produk lidah
buaya dalam kemasan seperti teh, dodol, manisan, kerupuk, selai, stick, cokelat
lidah buaya, kue lapis, kue kering, larutan penyegar panas dalam (instan), juice,
bahkan telah ada pengusaha yang memproduksi sabun lidah buaya meskipun
teknik pengolahan dan teknologi produksinya masih sangat sederhana (Jumiar
2013).
Produk industri olahan lidah buaya yang banyak beredar di pasar adalah
minuman lidah buaya. Minuman lidah buaya yang beredar tersebut didominasi
oleh perusahaan-perusahaan besar nasional seperti PT. Niramas Utama dan PT.
Keong Nusantara Abadi, PT. Aloevera Indonesia, PT. Libe Bumi Abadi, dan
PT. Kavera Biotech. Produk minuman lidah buaya yang paling banyak menguasai
pasar nasional adalah PT. Niramas Utama dengan merk Inaco dan PT. Keong
Nusantara Abadi dengan merk Wong Coco (Jumiar 2013).
Perdagangan lidah buaya yang berkembang di Kota Pontianak masih berupa
pelepah segar dan produk olahan makanan dan minuman. Produk industri olahan
makanan dan minuman berbahan baku lidah buaya dapat dilihat pada Gambar 4.
1

2

3

4

Gambar 4 Produk olahan lidah buaya: 1) Keripik lidah buaya, 2) Teh lidah buaya,
3) Minuman lidah buaya, 4) Manisan lidah buaya. Sumber: AVC (2004)
Hampir semua industri memproduksi produk industri olahan lidah buaya
yang sama seperti dodol, manisan dan minuman. Hasil olahan produk yang sama
tersebut karena faktor teknologi pengolahan yang masih sederhana (Jumiar 2013).
Adapun jenis produk dan kapasitas produk yang dihasilkan industri lidah buaya di
Kota Pontianak yang dihasilkan pada tahun 2013 disajikan dalam Tabel 1.

11

Tabel 1 Jenis Produk dan Kapasitas Produk Industri Olahan Lidah Buaya di
Kota Pontianak Tahun 2013
No.

Industri

1
2
3

Triple
PT. Niramas Utama
Isunvera

4
5
6
7

Segar Rasa
Madinah
Mitra Sumber Aloe vera
Rotiku Hidup

8
9
10
11
12

Mavera
Nusa Indah
Plabour
Kimken
Hidayah

Produk olahan
Minuman
Minuman
Kerupuk, manisan,
teh, coklat, stick
Minuman
Minuman
Minuman
Minuman, jelly, teh,
dodol, kerupuk
Minuman
Manisan, dodol
Dodo, stick
Minuman, selai
Dodol

Kapasitas
(ton/bulan)
150
140
40
15
15
10
10
9
3
3
3
2

Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Pontianak (2013)

Berdasarkan data Tabel 1 diatas, diketahui kapasitas produk olahan lidah
buaya yang dihasilkan oleh industri olahan lidah buaya di Kota Pontianak cukup
besar. Sebagian besar hasil olahan dipasarkan ke swalayan dan pedagang
cendramata di Kota Pontianak, hanya PT. Niramas Utama yang menjual produk
olahan keluar pulau. Sebagian besar pelepah lidah buaya sebagai bahan baku
dibeli langsung ke petani dan sebagian pengusaha mengambil dari kebun sendiri.

Budi Daya Lidah Buaya di Lahan Gambut di Kota Pontianak
Definisi gambut menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) adalah tanah yang tersusun dari bahan
organik, baik dengan ketebalan 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan
organik lebih dari 50 cm. Karakteristik umum lahan gambut dicirikan dengan nilai
KTK (kapasitas tukar kation) berkisar antara 100 sampai 300 me/100 g tanah dan
derajat pH rata-rata kurang dari 4.0 (Driessen dan Soepraptohardjo 1974 dalam
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006),
kadar N relatif tinggi berkisar 1 - 2%, kejenuhan basa relatif rendah berkisar 10 15% (Noor 2008). Mengingat pembentukan gambut Kota Pontianak dipengaruhi
oleh air sungai, karena dilalui sungai Kapuas sehingga gambut Kota Pontianak
tergolong gambut mesotrofik atau gambut dengan tingkat kesuburan yang sedang
(Polak 1949 dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian 2006).
Taryono dan Rosman (2003) menyatakan bahwa tanaman lidah buaya dapat
tumbuh dengan baik pada jenis tanah podsolik latosol, andosol dan regosol yang

12

memiliki drainase yang baik, kandungan bahan organik tinggi dan gembur.
Tanaman lidah buaya dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai tinggi,
namun untuk berproduksi secara optimal menghendaki ketinggian 200 – 700 m di
atas permukaan laut. Tanaman ini termasuk tanaman yang membutuhkan cahaya
sinar matahari penuh (iklim panas) dengan kelembaban cukup tinggi, sekitar
16 – 30 oC, curah hujan berkisar 2 500 – 4 000 mm per-tahun. Hal ini sesuai
dengan karakteristik wilayah Kota Pontianak. Menurut data BPS Kota Pontianak
Tahun 2012, jenis tanah di Kota Pontianak adalah tanah gambut, ketinggian
wilayah berkisar 0.1 sampai 1.5 meter diatas permukaan laut, curah hujan berkisar
antara 3 000 – 4 000 mm per tahun dan beriklim tropis dengan suhu yang
tertinggi (berkisar antara 28 – 32 oC dan suhu rata –rata pada siang hari 30 oC),
mengingat wilayahnya yang dilintasi garis khatulistiwa sehingga intensitas cahaya
matahari yang diperoleh sangat penuh. Kesesuaian kriteria tersebut membuat lidah
buaya yang dihasilkan di Kota Pontianak memiliki kualitas yang sangat baik.
Lahan gambut yang dijadikan lokasi budi daya lidah buaya harus diberikan
perlakuan-perlakuan, seperti penurunan permukaan air tanah dengan cara
membuat drainase atau parit mengingat pada lahan gambut daerahnya selalu jenuh
dengan air, sehingga dibuat drainase untuk membuang air yang berlebihan agar
terjadi oksidasi dan mineralisasi (Burhansyah 2002).
Dalam melaksanakan usaha tani lidah buaya diperlukan input faktor
produksi seperti bibit, pupuk, tenaga kerja, peralatan dan modal. Umumnya bibit
berasal dari daerah setempat dan diperoleh secara turun temurun. Pupuk yang
digunakan dalam pedagangan lidah buaya adalah pupuk organik dan anorganik
(Burhansyah 2002). Lahan gambut memerlukan pemupukan NPK serta hara
mikro Cu dan Zn, karena gambut mempunyai afinitas yang lemah terhadap kation
maupun anion, sehingga pemberian pupuk harus dilakukan secara bertahap sesuai
dengan masa pertumbuhan tanaman (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian 2006). Pemberian pupuk kandang menurut Endriani
(2006) mampu meningkatkan tinggi tanaman lidah buaya, namun pemberian
pupuk kotoran ayam memberikan hasil yang paling baik diantara pupuk kandang
lainnya. Lebih lanjut Yurisinthae (2012) mengemukakan penggunaan pupuk urea
menjadi tidak optimal apabila pemberian abu pada tanaman lidah buaya dilakukan
secara berlebihan, karena akan menyebabkan pH tanah menjadi basa (pH tinggi),
sebagai penyumbang unsur N, maka pemberian pupuk urea tidak dianjurkan
dalam kondisi pH tanah yang tidak mendukung.
Tanaman lidah buaya ditanam dengan jarak tanam yang bervariasi, dari
jarak tanam 200 x 100 cm (populasi tanaman 5 000 per hektar) sampai
120 x 75 cm (populasi tanaman 10 800 per hektar). Secara teknis AVC (2004)
merekomendasikan populasi tanaman sebanyak 8 000 /hektar (Burhansyah 2002).
Tindakan pengendalian hama dan penyakit umumnya jarang dilakukan,
karena perawatan yang intensif umumnya tanaman lidah buaya tidak mudah
terserang hama dan penyakit. Tindakan hama dan penyakit dilakukan dengan cara
membuang tanaman yang terserang hama bekicot (Achatina fulica). Penyakit yang
sering menyerang tanaman ini dari golongan jamur seperti Fusarium yang
menyerang pangkal batang atau akar sehingga tanaman mati (Burhansyah 2002).
Produksi pelepah setiap pohon per bulan untuk tanaman yang berumur satu
tahun minimal 0.6 - 0.8 kg dengan panjang berkisar 35 - 50 cm dan lebar di
bagian pangkal antara 8 - 13 cm dengan tingkat produksi berkisar 70% sedangkan

13

tahun kedua, berat satu pelepah bisa mencapai 0.8 – 1.2 kg dengan tingkat
produksi sekitar 80% (Burhansyah 2002).
Tanaman lidah buaya dari bibit yang baik umumnya dipanen pada umur
7 - 8 bulan sejak ditanam di lapangan dengan masa puncak produksi pada umur
4 - 5 tahun. Penentuan umur ekonomis didasarkan rata-rata nilai produksi per
tahun yang maksimum. Hasil analisis Burhansyah (2002) menyebutkan umur
ekonomis terjadi tahun ke-3 dengan nilai produksi Rp 32 880 976. Mulai tahun
keempat hingga ketujuh nilai produksi terus menurun (Burhansyah 2002).
Sistem pengembangan usaha tani lidah buaya juga perlu diperhatikan agar
tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Pengembangan usaha tani lidah
buaya dengan sistem monokultur secara luas akan menyebabkan eksternalitas
negatif (degradasi lingkungan), karena lidah buaya adalah tanaman herba rendah
dan memerlukan lingkungan yang terbuka sehingga tidak baik dalam konservasi
kawasan, selain kebijakan pembatasan penguasaan lahan usaha tani terutama pada
skala perusahaan besar, upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
eksternalitas ini adalah pola usaha tani dengan multi usaha. Disamping memiliki
usaha tani lidah buaya pada suatu petak, pada petak lain diusahakan komoditas
yang secara fisik dan ekonomi layak diusahakan (Kamaruddin 2006).

Konsep Pengembangan Lidah buaya untuk Mendukung Pengembangan
Wilayah Kota Pontianak
Sejak diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun
1999 kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, landasan
perencanaan dan pengembangan wilayah semakin jelas dan menarik. Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah secara bersama menyelenggarakan pemerintahan
dengan menjunjung tinggi asas pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian sumber
daya alam dan sumber daya lainnya untuk mewujudkan pengembangan wilayah.
Sejalan dengan hal tersebut, Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi et al.
(2011) menyatakan bahwa pengembangan wilayah tidak terlepas dari
pemanfaatan sumber daya alam.
Potensi sumber daya alam Kota Pontianak yang memiliki potensi besar
untuk berkembang dan mencapai pengembangan wilayah berasal dari lidah buaya.
Lidah buaya Kota Pontianak mengalami perkembangan yang pesat. Lidah buaya
pertama kali digunakan sebagai tanaman hias ditanam di pot di halaman rumah.
Pada pertengahan tahun 1990an mulai dijadikan tanaman tumpangsari oleh
penduduk kota Pontianak. Pada tahun 1995, lidah buaya mulai diperdagangkan
berupa pelepah di kios sepanjang jalan 28 Oktober. Sejak Tahun 2000, mulai
berkembang agroindustri lidah buaya oleh pengusaha kecil dan menengah yang
mengolah lidah buaya menjadi berbagai produk seperti makanan dan minuman di
Kota Pontianak yang dipasarkan di kios sepanjang jalan 28 Oktober, kios
makanan khas, kios bandara, dan pasar swalayan, namun potensi nilai tambah
yang lebih besar yakni produk tepung lidah buaya belum mampu berkembang,
sementara diketahui bahwa Kota Pontianak merupakan sentra produksi lidah
buaya terbesar di Indonesia. Besarnya potensi lidah buaya sangat disayangkan
jika tidak dikembangkan.

14

Pengembangan lidah buaya akan berjalan baik apabila terjalin keterpaduan
sektor antara pertanian lidah buaya dengan industri tepung lidah buaya. Dengan
kata lain, untuk mendorong terwujudnya pengembangan lidah buaya
membutuhkan industri tepung lidah buaya sebagai pasar yang menampung lidah
buaya. De