The Competitiveness Improvement Strategy Of Aloe Vera Agroindustry In Pontianak Municipality

STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI
LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK

ALFATH DESITA JUMIAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Peningkatan
Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013
Alfath Desita Jumiar
NIM H45110041

RINGKASAN
ALFATH DESITA JUMIAR. Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah
Buaya di Kota Pontianak. Dibimbing oleh HENY KUSWANTI DARYANTO dan
LUKMAN MOHAMMAD BAGA.
Kota Pontianak merupakan salah satu sentra agroindustri lidah buaya di
Indonesia yang banyak berkembang pada skala industri kecil dan rumah tangga.
Namun agroindustri ini masih menghadapi berbagai permasalahan, seperti
sulitnya memasarkan produk, rendahnya teknologi produksi, rendahnya teknik
pengolahan dan kualitas produk, terbatasnya modal dan akses pasar, serta
penjualan yang masih berdasarkan pesanan, sehingga akan mempengaruhi
dayasaing dan menyebabkan agroindustri lidah buaya belum berkembang.
Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah
buaya di Kota Pontianak, (2) menganalisis faktor-faktor penentu dayasaing
agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, (3) merumuskan prioritas strategi
peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.
Untuk menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya digunakan

pendekatan teori Diamond Porter. Sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor
penentu dayasaing dan perumusan strategi peningkatan dayasaing agroindustri
lidah buaya digunakan Analytical Hierarchy Process (AHP), dengan struktur
hirarki pada AHP berdasarkan pada teori Diamond Porter. Data AHP diperoleh
dari para pakar yang mengisi kuesioner dengan memberikan skala banding
berpasangan, selanjutnya data diolah dengan Expert Choice 2000.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa agroindustri lidah buaya di Kota
Pontianak belum memiliki dayasaing, karena hanya satu pasang komponen utama
yang memiliki keterkaitan yang saling mendukung diantara enam pasang
komponen utama pada sistem dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota
Pontianak. Sedangkan faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota
Pontianak adalah kondisi permintaan domestik dengan sub faktor komposisi
permintaan domestik, dan kondisi sumberdaya dengan sub faktor sumberdaya
manusia. strategi yang diprioritaskan untuk peningkatan dayasaing agroindustri
lidah buaya di Kota Pontianak adalah (1) memproduksi produk dengan kualitas
yang sesuai dengan permintaan pasar lokal dan ekspor, (2) menciptakan inovasi
produk untuk semua segmen permintaan pasar.
Kebijakan yang sebaiknya perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya
pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak adalah (1) menyusun
program kebijakan mengenai penetapan standarisasi produk skala nasional, (2)

melakukan penyuluhan dan pembinaan secara intensif terhadap penerapan standar
operasional produksi (SOP), dan (3) pemerintah kerjasama dengan pelaku usaha
dalam melakukan pelatihan atau seminar mengenai kewirausahaan agar wawasan
pengusaha menjadi terbuka untuk menerima dan melakukan hal-hal baru serta
mampu berinovasi menciptakant produk yang dibutuhkan pasar.
Kata kunci: agroindustri, AHP, Diamond Porter, dayasaing, lidah buaya.

SUMMARY
ALFATH DESITA JUMIAR. The Competitiveness Improvement Strategy Of
Aloe Vera Agroindustry In Pontianak Municipality. Supervised by HENY
KUSWANTI DARYANTO and LUKMAN MOHAMMAD BAGA.
Pontianak is one of the central productions of aloe vera in Indonesia which
is mostly grown on a small and home scale industries. However, these agroindustry still face various problems, such as the difficulty of marketing product,
lack of production technology, low of product quality and limited production
capital, thereby affecting competitiveness and lead to the agro-industry has not
developed. The purpose of this study were to (1) analyze the competitiveness
condition of aloe vera agroindustry in Pontianak, (2) identify the factors that affect
competitiveness of aloe vera agro-industry in Pontianak, (3) formulate a strategy
to improve the competitiveness of aloe vera agro-industry for development of aloe
vera agro-industry in Pontianak.

Competitiveness analysis of the aloe vera agroindustrial conditions use
Porter's Diamond theory approach. While to analysis of competitiveness
determinats and the strategies formulation for improving competitiveness of aloe
vera agroindustry uses Analytical Hierarchy Process (AHP), the hierarchical
structure of the AHP is based on Porter‟s Diamond theory. AHP data obtained
from experts who fill out a questionnaire in the form of pairwise comparisons
assessment, then the data is processed using Expert Choice 2000
The result descriptive analysis showed that agroindustry aloe vera in
Pontianak does not have competitiveness, because only one pair of main
components which has a mutually supportive relationship among the six pairs of
the main components in the system competitiveness of aloe vera agroindustry in
Pontianak. Whereas the determinants factor in the competitiveness of aloe vera
agroindustry in Pontianak are domestic demand conditions with subfactor home
demand composition, and condition of the resource with the subfactor of human
resource. Strategy priorities to improve competitiveness of aloe vera agroindustry
in Pontianak are (1) to produce high products in accordance with the local and
export market demand, (2) to create innovative products for all segments of the
market demand.
Polices which can be conducted by government in developing aloe vera
agroindustry in Pontianak are (1) to design policy program of product

standardization in national scale, (2) to conduct intensive counseling and guidance
on the implementation of the operational standards of production (SOP), and (3)
government cooperation with businesses in conducting trainings or seminars on
entrepreneurship, in order to be open to entrepreneurs insight receiving and doing
new things and be able to innovate to create the required product market
Key words: competitiveness, agro-industry, aloe vera, Diamond Porter, AHP

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI
LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK


ALFATH DESITA JUMIAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Suharno, M.Adev

Penguji Program Studi

: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS


Judul Tesis
Nama
NIM

: Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya
di Kota Pontianak
: Alfath Desita Jumiar
: H451100411

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Hen Kuswanti
Ketua

anto MEc

If Lukman Mohammad Baga, MAEc
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian:

o1

AUG 2013

Tanggal Lulus:

a4

OCT 2013

Judul Tesis : Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri LIdah Buaya di Kota

Pontianak
Nama
: Alfath Desita Jumiar
NIM
: H451100411

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Heny Kuswanti Daryanto, MEc
Ketua

Ir Lukman Mohammad Baga, MAEc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agribisnis


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri
Lidah Buaya di Kota Pontianak” dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan
dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam
kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:
1. Dr Ir Heny Kuswanti Daryanto, MEc selaku Ketua Komisi Pembimbing,
dan Ir Lukman Mohammad Baga, MAEc selaku Anggota Komisi
Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang

telah diberikan kepada penulis.
2. Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan
kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan
dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.
3. Dr Ir Suharno, M.Adev selaku dosen penguji luar komisi dan Prof Dr Ir
Rita Nurmalina, MS selaku dosen penguji perwakilan program studi
pada ujian tesis yang telah memberikan masukan dan arahan kepada
penulis untuk penyempurnaan tesis.
4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis
dan Dr Ir Suharno, M.Adev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis,
serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas bantuan dan
kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.
5. Dr Radian selaku Dosen Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura,
Ika Windriatmo, SP selaku Kasi P2HP, dan ibu Utari, SP serta rekanrekan di Aloe Vera Center atas bantuan, kesediaan dan kerjasamanya
dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan selama
penelitian.
6. Bapak/Ibu pengusaha olahan lidah buaya di Kota Pontianak atas
kesediaan dan kerjasamanya dalam memberikan informasi yang
diperlukan selama penelitian.
7. Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Agribisnis atas diskusi,
masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan.
8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Bustami M. Noor dan
Winarti, suami tercinta Erwin Polma Panggabean, SP, serta Kakak dan
Adik tercinta, yang telah memberikan dukungan selama mengikuti
pendidikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013

Alfath Desita Jumiar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian dan Batasan Penelitian

1
4
7
7
8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Peranan Agroindustri
8
Karakteristik dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Indonesia 9
Faktor yang Mempengaruhi Dayasaing Agroindustri
10
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Agroindustri
Konsep Dayasaing Kompetitif
Konsep Diamond Porter
Konsep Strategi
Kerangka Pemikiran Operasional

14
14
14
16
20
22

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Pendekatan Teori Diamond Porter (Porter’s Diamond Theory)
Analytical Hierarchy Process (AHP)

25
25
26
26
27
30

5 GAMBARAN UMUM WILAYAH KOTA PONTIANAK
Kondisi Geografi Kota Pontianak
Kondisi Demografi Kota Pontianak
Kondisi Sosial Ekonomi Kota Pontianak

36
38
39

6 PROFIL AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK
Sejarah dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak 41
Karakteristik Pengusaha Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak
42
Kendala Agroindustri Lidah Buaya di Kota Pontianak
47
7 DAYASAING AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK
Kondisi Faktor Sumberdaya
49
Sumberdaya Alam atau Fisik
49
Sumberdaya Manusia
52
Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
53
Sumberdaya Modal
55
Sumberdaya Infrastruktur
55

Kondisi Permintaan Domestik
Komposisi Permintaan Domestik
Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Internasionalisasi Permintaan Domestik
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Industri Terkait
Industri Pendukung
Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan
Peran Pemerintah
Peran Kesempatan
Keterkaitan Komponen Utama Penentu Dayasaing Agroindustri
Lidah Buaya di Kota Pontianak
Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya
dengan Kondisi Permintaan Domestik
Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Permintaan Domestik
dengan Industri Terkait dan Pendukung
Keterkaitan Antara Komponen Industri Terkait dan Pendukung
dengan Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan
Keterkaitan Antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi
Perusahaan dengan Kondisi Faktor Sumberdaya
Keterkaitan Antara Komponen Kondisi Faktor Sumberdaya
dengan Industri Terkait dan Pendukung
Keterkaitan Antara Komponen Persaingan, Struktur dan Strategi
Perusahaan dengan Kondisi Permintaan Domestik
Keterkaitan Komponen Pendukung Penentu Dayasaing Agroindustri
Lidah Buaya di Kota Pontianak
Peran Pemerintah Terhadap Kondisi Faktor Sumberdaya
Peran Pemerintah Terhadap Kondisi Permintaan Domestik
Peran Pemerintah Terhadap Persaingan, Struktur dan Strategi
Perusahaan
Peran Pemerintah Terhadap Industri Terkait dan Pendukung
Peran Kesempatan Terhadap Komponen Utama
8 STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING AGROINDUSTRI
LIDAH BUAYA DI KOTA PONTIANAK
Prioritas Faktor Penentu Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya
di Kota Pontianak
Kondisi Permintaan Domestik dengan Sub Faktor
Komposisi Permintaan Domestik
Kondisi Faktor Sumberdaya dengan Sub Faktor Sumberdaya
Manusia
Prioritas Strategi Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya
di Kota Pontianak
Kebijakan Peningkatan Dayasaing Agroindustri Lidah Buaya
di Kota Pontianak
9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

56
56
57
58
58
59
60
61
61
62
63
63
64
65
65
66
66
67
67
68
68
68
69

71
71
74
75
78
80
80

DAFTAR PUSTAKA

81

LAMPIRAN

85

RIWAYAT HIDUP

97

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Perusahaan pengolah lidah buaya di Indonesia
Luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak
Produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak
Responden pengusaha agroindustri lidah buaya
Nilai skala banding berpasangan
Matrik pendapat individu (MPI)
Matrik pendapat gabungan (MPG)

3
3
4
26
32
33
33

Nilai indeks random (RI)
Luas wilayah Kota Pontianak menurut kecamatan
Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut kecamatan
Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut umur
Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut lapangan kerja
Jumlah petani menurut kecamatan di Kota Pontianak
Kelompok umur pengusaha agroindustri lidah buaya
Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut umur
Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut jenis kelamin
Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut tingkat pendidikan
Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut lama usaha
Pengusaha agroindustri lidah buaya menurut status pekerjaan
Jumlah petani dengan luas lahan lidah buaya di Kota Pontianak
Lembaga pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak

35
37
38
39
40
40
43
43
44
45
46
46
50
54

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kaitan agroindustri dan produksi primer dan pemasaran
Pohon industri lidah buaya
Faktor penghambat dayasaing industri
Keterkaitan pelaku kegiatan agroindustri di Indonesia
Sistem lengkap keunggulan kompetitif nasional
Manfaat strategi
Kerangka pemikiran operasional
Abstraksi sistem keputusan
Keterkaitan antar komponen penentu dayasaing pada sistem
agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak

1
2
12
14
20
22
24
35
70

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai pangsa pasar sektoral terhadap PDB Indonesia tahun 2004-2010
2 Nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja subsektor agroindustri
3 Struktur hirarki strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya
di Kota Pontianak
4 Hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing agroindustri
lidah buaya di Kota Pontianak
5 Struktur hirarki hasil analisis AHP pada strategi peningkatan dayasaing
agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak

85
85
86
90
96

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agroindustri merupakan salah satu bagian dari subsistem agribisnis yang
berperan sebagai penggerak pembangunan sektor pertanian dalam menciptakan pasar
bagi hasil-hasil pertanian melalui berbagai produk olahannya. Agroindustri berperan
penting dalam kegiatan pembangunan daerah, baik dalam sasaran pemerataan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi, maupun stabilitas nasional (Soekartawi 2000).
Agroindustri telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam perekonomian
nasional, diantaranya berperan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
Nilai pangsa pasar subsektor agroindustri selalu memberikan kontribusi yang lebih
besar dibandingkan subsektor non agroindustri yaitu sebesar 12.59 persen (Lampiran
1). Di samping itu, agroindustri juga berkontribusi dalam menciptakan nilai tambah
bagi produk pertanian dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar
(Lampiran 2).
Agroindustri dianggap sebagai subsektor yang mampu menjadi penyangga
ekonomi nasional. Namun, selama ini agroindustri belum dapat dijadikan sebagai
penarik pembangunan sektor pertanian, dikarenakan masih menghadapi beberapa
permasalahan yang dapat menghambat peningkatan dayasaing nasional seperti adanya
hambatan dalam logistik dan infrastruktur, lambannya perkembangan teknologi,
ekonomi biaya tinggi yang menyebabkan inefisiensi, hambatan pembiayaan (modal),
dan hambatan regulasi (Kementerian Perindustrian 2011). Maka dari itu, penguatan
subsektor agroindustri harus terus dilakukan, diantaranya dengan meningkatkan dan
memperluas sarana dan prasarana fisik dan ekonomi, serta meningkatkan keterpaduan
antara penyedia bahan baku, agroindustri dan lembaga pemasaran.
Produksi primer oleh petani
sebagai penyedia bahan baku

Agroindustri

Lembaga
Pemasaran

Gambar 1 Kaitan agroindustri dengan produksi primer dan pemasaran
Sumber: Soeharjo (1991) dalam Fajri (2000)

Agroindustri mengandalkan produk pertanian yang memiliki karakteristik
mudah rusak (perishable), bulky/volumineous, tergantung kondisi alam, bersifat
musiman, serta teknologi dan manajemennya akomodatif terhadap heterogenitas
sumberdaya manusia (dari tingkat sederhana sampai teknologi maju).
Keberlangsungan agroindustri bergantung pada produk pertanian yang terdapat di
suatu daerah, salah satunya adalah agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak. Lidah
buaya merupakan salah satu tanaman obat (biofarmaka) yang banyak dimanfaatkan
oleh industri farmasi dan kosmetik, bahkan telah meluas pada industri makanan dan
minuman, serta industri pertanian. Nilai tambah produk (added value) yang dihasilkan
dari lidah buaya memiliki nilai ekonomis tinggi. Adapun potensi lidah buaya dapat
dilihat pada pohon industri lidah buaya yang ditunjukkan Gambar 2.

2
Makanan
Gel (Pulp)
Minuman

Kosmetik

Pupuk Organik

Farmasi

Kulit
Teh Lidah Buaya

Spray Dried Powder

Agro Industri

Powder

Freeze Dried Powder

Kosmetik

Ekstrak
Senyawa aktif

Juice

Minuman
Kesehatan

Medical Purposes

Farmasi

Farmasi

Minuman
Kesehatan

Kosmetik
Konsentrat

Farmasi
Industri Kimia

Gambar 2 Pohon industri lidah buaya
Sumber: Aloe Vera Center (2004)

Secara umum, lidah buaya termasuk salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris di
dunia, pemanfaatannya telah banyak dikembangkan oleh negara-negara maju seperti
Amerika, Australia, dan negara di benua Eropa sebagai bahan baku industri farmasi,
kosmetik, dan pangan (Sulaeman 2004). Menurut data statistik penjualan dari
Nutrition Business Journal (NBJ) bahwa produk lidah buaya mengalami peningkatan
sebesar 17.13 persen, dan masuk dalam lima besar produk herbal terlaris di Amerika
(Blumenthal 2012). World Health Organization (WHO) juga mencatat bahwa terdapat
lebih dari 23 negara yang menggunakan lidah buaya sebagai bahan baku obat
(Furnawanthi 2003). Secara komersil, lidah buaya telah dibudidayakan oleh Amerika
Serikat, Meksiko, Karibia, Israel, Australia dan Thailand (Aloe Vera Center, 2004).
Pasar untuk produk lidah buaya pun begitu menjanjikan, salah satunya adalah Jepang
yang menjadi pengguna lidah buaya terbesar di dunia dengan kebutuhan lidah buaya
segar mencapai 20 kontainer atau 300 ton per bulan yang dipasok dari Brazil dan
Thailand (Hendrawati 2007). Permintaan lidah buaya segar pun datang dari negara
Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Taiwan (Aloe Vera Center 2004).
Di Indonesia, pengembangan agribisnis lidah buaya telah diusahakan di daerah
Purworejo (Jawa Tengah), Bogor dan Parung (Jawa Barat), meskipun skala usahanya
masih relatif sempit dan lokasinya terpencar. Sedangkan untuk sentra produksi lidah
buaya terdapat di Kota Pontianak yang berada pada suatu Kawasan Sentra Agribisnis
Pontianak (KSAP) (Wijayanti et al. 2007). Secara umum, lidah buaya memiliki
diversifikasi produk yang luas, misalnya dapat digunakan sebagai bahan baku obat,
kosmetik, makanan, minuman, dan pakan nutrisi untuk ternak. Namun agroindustri
lidah buaya yang ada di Indonesia hanya sebatas mengolah lidah buaya menjadi
produk minuman. Pada Tabel 1 berikut memuat daftar perusahaan produk turunan
lidah buaya di Indonesia.

3
Tabel 1 Perusahaan pengolah lidah buaya di Indonesia
Perusahaan

Produk

Merk

PT. Libe Bumi Abadi
PT. Niramas Utama

Minuman, tea, juice

Libe

Minuman

Inaco

PT. Aloe Vera Indonesia

Minuman

Aloemax

PT. Aloe Nusantara Utama Jakarta

Tepung

-

PT. Keong Nusantara Abadi
PT. Kavera Biotech

Minuman
Minuman

Wong coco
Kavera

Sumber: Aloe Vera Center (2007); Suinaya (2008); Widonoto (2009)

Lidah buaya dari Kota Pontianak merupakan varietas unggul di Indonesia
dengan ukuran panjang pelepah mencapai 60 sampai 70 cm, lebar pelepah mencapai 8
sampai 13 cm, berat pelepah mencapai 0.8 sampai 1.2 kg, dan ketebalan daging atau
gel lidah buaya mencapai 2 sampai 3 cm (SK Menteri Pertanian 2003). Ukuran lidah
buaya ini lebih besar bila dibandingkan dengan daerah lain atau di negara lain seperti
Amerika dan Cina. Ukuran lidah buaya yang dibudidayakan di Amerika dan Cina,
hanya memiliki panjang pelepah mencapai 50 cm dengan berat 0.5 sampai 0.6
kilogram per pelepah, dan dipanen hanya satu kali dalam setahun karena kendala
musim dingin (Sulaeman 2004). Ukuran tersebut menjadikan lidah buaya Pontianak
termasuk dalam kualitas ekspor yang sesuai dengan kualifikasi permintaan pasar luar
negeri.
Lidah buaya menjadi salah satu komoditas tanaman pertanian unggulan di Kota
Pontianak selain jeruk siam, nenas, pepaya, pisang, dan durian (Dinas Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, 2012). Produksi lidah buaya di Kota
Pontianak mencapai 6 359 ton pada tahun 2012, dan diperkirakan akan meningkat di
tahun berikutnya dikarenakan pemerintah daerah setempat sedang merencanakan
program “One Village One Product” untuk mengembangkan potensi daerah. Tidak
hanya pengembangan dari aspek budidaya, namun juga pada tahap pengolahannya,
sehingga diperkirakan akan terjadi peningkatan luas tanam lidah buaya. Adapun luas
tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Luas tanam dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak
Tahun

Luas Tanam
(Ha)

Luas Panen
(Ha)

Produktivitas
(Ton/Ha)

Produksi
(ton)

2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

161
121
100
70
67
44
37
46
79

137
121
65
20
45
43
37
46
46

122.88
122.88
122.88
122.90
122.89
122.88
122.86
122.87
138.24

16 835
14 868
7 987
2 458
5 530
5 284
4 546
5 652
6 359

Sumber: Aloe Vera Center Kota Pontianak (2012)

4
Di Indonesia, lidah buaya telah menjadi komoditi ekspor dengan negara tujuan
yaitu Hongkong, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Lidah buaya yang diekspor berupa
lidah buaya segar sebagai raw material. Selain sebagai pengekspor lidah buaya segar,
Indonesia juga mengimpor tepung lidah buaya (aloe powder) dari Amerika dan
Australia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri farmasi dan kosmetik dalam
negeri. Harga aloe powder yang di impor tersebut relatif mahal yakni mencapai
US$ 100 sampai 150 per kilogram (Hendrawati 2007). Situasi ini sangat disayangkan
mengingat besarnya potensi dan produksi lidah buaya yang ada di Indonesia
khususnya yang terdapat di Kota Pontianak, belum diikuti dengan besarnya minat
dalam upaya pengembangan agroindustri lidah buaya.
Perumusan Masalah
Di Kota Pontianak terdapat industri pengolahan lidah buaya yang telah ada sejak
tahun 1990. Agroindustri ini berdiri pada skala usaha kecil dan rumah tangga, yang
pada saat itu baru mengolah lidah buaya menjadi minuman siap saji. Kemudian pada
tahun 1995 mengalami perkembangan menjadi minuman lidah buaya dalam kemasan.
Hingga saat ini, agroindustri lidah buaya mengalami perkembangan dalam
diversifikasi produknya, dan telah memproduksi berbagai produk lidah buaya dalam
kemasan seperti teh, dodol, manisan, kerupuk, selai, stick, cokelat lidah buaya, kue
lapis, kue kering, larutan penyegar panas dalam (instan), juice, bahkan telah ada
pengusaha yang memproduksi sabun lidah buaya. Kegiatan pengolahan pada
agroindustri lidah buaya masih menggunakan teknik pengolahan dan teknologi
produksi yang sederhana. Adapun jenis produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Produk turunan lidah buaya di Kota Pontianak
Makanan
Dodol
Kerupuk
Jelly dan manisan
Kue kering dan kue lapis
Selai
Coklat lidah buaya

Minuman
Nata de aloe
Teh
Juice
Larutan penyegar/Instan

Produk lainnya
Sabun

Sumber: Aloe Vera Center (2012)

Dalam perkembangannya, agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak masih
menghadapi berbagai permasalahan, diantaranya menurut Dimyati dan Sahari (2002)
bahwa kandungan nutrisi seperti vitamin, mineral, enzim, dan asam amino pada
produk olahan lidah buaya yang dihasilkan belum sesuai dengan standar International
Aloe Science Council (IASC). Hal ini disebabkan masih rendahnya teknik pengolahan
yang digunakan sehingga kandungan nutrisi pada produk olahan lidah buaya menjadi
berkurang. Standar yang ditetapkan oleh IASC yaitu lidah buaya pada saat diolah
menjadi suatu produk, harus memiliki kandungan nutrisi yang sama dengan lidah
buaya dalam keadaan segar atau belum diolah. Disamping itu menurut Ellyta (2006)

5
bahwa kualitas produk yang dihasilkan belum sesuai dengan apa yang diinginkan
pasar, padahal kualitas produk yang dihasilkan merupakan faktor utama penentu harga
dan permintaan produk di pasar domestik maupun ekspor. Kemampuan untuk
menjamin kualitas sesuai dengan permintaan konsumen merupakan kunci keunggulan
kompetitif. Namun, untuk meningkatkan kualitas produk lidah buaya, pengusaha
masih terkendala dengan modal produksi.
Kualitas produk yang dimaksud terkait dengan tidak adanya informasi nilai gizi
dan ingredient dalam kemasan, belum adanya izin resmi dari BP-POM. Izin yang
dimiliki hanya sebatas izin dari Dinas Kesehatan berupa P-IRT, bahan kemasan yang
masih sederhana dimana pengolah hanya menggunakan kotak mika, untuk minuman
lidah buaya hanya dikemas dalam plastik yang dipress. Jikapun ada pengusaha yang
menggunakan bahan kemasan yang berkualitas, pengusaha tersebut harus memesan
atau membelinya dari luar Kota Pontianak seperti dari Bandung, Jakarta, hingga ke
Kuching (Malaysia). Tidak adanya perusahaan atau agen yang menjual kemasan di
Kota Pontianak, menjadikan pengusaha agroindustri lidah buaya harus mengeluarkan
biaya ekstra untuk memperoleh kemasan yang baik bagi produknya. Belum
tersedianya industri kemasan di wilayah Kota Pontianak, menyebabkan agroindustri
lidah buaya mengalami kesulitan dalam memenuhi input untuk proses pengemasan.
Di sisi lain, penggunaan air untuk pencucian, perendaman, dan konsumsi juga
mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, khususnya untuk memproduksi
minuman lidah buaya. Hal ini karena kualitas air yang digunakan sangat
mempengaruhi rasa dan masa simpan produk. Untuk mendapatkan air yang berkualitas,
pengusaha harus memesannya melalui distributor air yang berada di luar Kota
Pontianak, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan menjadi bertambah. Tingginya
biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi akan mempengaruhi harga jual produk
yang relatif mahal, sehingga menjadikan agroindustri tidak berdayasaing. Menurut
Salvatore (1997) bahwa dayasaing tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu
yang baik, sehingga perusahaan atau industri memiliki keunggulan di pasar domestik
atau internasional dibandingkan pesaingnya.
Keberlanjutan proses produksi agroindustri lidah buaya ditentukan berdasarkan
pesanan dari konsumen, karena sebagian besar pengolah belum memiliki pasar yang
pasti atau tetap yang bersedia membeli produk lidah buaya yang dihasilkan. Pengusaha
mendistribusikan produk lidah buayanya di pasar lokal Kota Pontianak, seperti di
toko-toko swalayan, supermarket, toko souvenir dan makanan khas Kota Pontianak,
bandara, dan tempat lainnya dengan sistem kongsinasi. Permintaan produk lidah buaya
di pasar Kota Pontianak sendiri masih terbilang rendah, hal ini terlihat dari masih
sedikitnya jumlah produk yang dipasarkan pengusaha dan lambatnya produk tersebut
terjual di pasar. Pengusaha lebih banyak memasarkan produknya ke luar daerah seperti
Jakarta, Semarang, Bali, Bandung, dan Batam, bahkan sudah ada pengusaha yang
mengekspor produk lidah buayanya. Hal ini mengingat permintaan di luar daerah Kota
Pontianak relatif lebih banyak dan pemasarannya lebih baik dibandingkan pasar lokal
Kota Pontianak, meskipun belum semua pengusaha mengalami hal serupa. Jaringan
pasar di luar Kota Pontianak dibangun pengusaha berdasarkan pada kerjasama dengan
kerabat atau kolega yang tinggal di luar Kota Pontianak yang kemudian bersedia
memasarkan atau mempromosikan produk lidah buaya di daerah tempat tinggalnya.
Akan tetapi, mayoritas pengusaha belum memiliki akses pasar yang baik hingga luar
Kota Pontianak, sehingga menyebabkan pasar tujuan produk lidah buaya menjadi
sangat terbatas.

6
Dari teknologi pengolahan, agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak masih
sederhana dan hampir semua pengusaha yang ada memproduksi lidah buaya menjadi
produk yang hampir sama seperti dodol, manisan, dan minuman (nata de aloe). Belum
adanya inovasi produk yang berbeda baik dari segi bentuk maupun manfaat,
menyebabkan produk lidah buaya yang dihasilkan belum memiliki keunggulan yang
dapat dimanfaatkan secara luas. Menurut Porter (1990), persoalan dayasaing industri
senantiasa terkait dengan strategi bersaing yang berorientasi pada harga rendah dan
pembedaan produk. Seperti diketahui lidah buaya memiliki diversifikasi produk yang
luas, tidak hanya dapat diolah menjadi makanan dan minuman, namun dapat juga
diolah menjadi tepung lidah buaya yang bermanfaat untuk industri farmasi, kosmetik,
makanan, minuman, dan pakan. Dengan mengolah lidah buaya menjadi tepung, maka
kandungan nutrisi lidah buaya dapat terjaga dengan baik sesuai dengan kandungan
nutrisi pada tanaman segarnya.
Pengolahan lidah buaya menjadi tepung akan memberikan nilai tambah yang
besar bagi agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak, tidak hanya memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, namun pasar untuk tepung lidah buaya juga cukup menjanjikan
khususnya untuk pasar dalam negeri, karena selama ini industri farmasi dan kosmetik
di Indonesia masih mengimpor tepung lidah buaya dari Amerika dan Australia.
Sedangkan industri tepung lidah buaya yang ada di Indonesia belum mampu
mengsuplai kebutuhan pasar tersebut. Menurut Sulaeman (2004), hasil olahan yang
terbatas hanya akan memberikan sedikit nilai tambah. Nilai tambah yang besar akan
diperoleh jika lidah buaya dapat diolah menjadi produk yang dibutuhkan industri
sebagai bahan baku industri lanjutan, seperti industri farmasi dan kosmetik. Di
samping itu, dengan adanya inovasi produk yang berbeda dari yang lain, akan
memberikan keunggulan tersendiri pada agroindustri lidah buaya tersebut, sehingga
mampu bersaing di pasar domestik maupun internasional.
Porter (1990) mengungkapkan bahwa dayasaing industri adalah kemampuan
industri untuk memperoleh keunggulan kompetitif dengan berdasarkan pada empat
komponen utama yaitu kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, strategi perusahaan
dan struktur persaingan, industri pendukung dan industri terkait, dan dua komponen
pendukung yaitu peran pemerintah, dan peran kesempatan. Peranan masing-masing
komponen tersebut sangat diperlukan bagi terbentuknya dayasaing industri di suatu
wilayah atau daerah yang memiliki potensi sumberdaya pertanian unggulan. Semua
komponen tersebut saling mempengaruhi dan memiliki keterkaitan antar satu dengan
lainnya, serta akan membentuk sebuah sistem dayasaing industri yang saling
terintegrasi di suatu wilayah atau daerah. Sistem dayasaing industri tersebut dikenal
dengan model Diamond Porter. Menurut Wiyadi (2009) bahwa model Diamond
Porter bersifat dinamis dan komprehensif, karena tidak hanya mencakup kondisi
faktor tetapi juga dimensi penting lainnya secara simultan.
Jika merujuk pada komponen model Diamond Porter, permasalahan yang
dialami agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak sangat terkait dengan komponen
Diamond Porter seperti tidak adanya industri kemasan yang berkaitan dengan
komponen industri terkait dan pendukung, sulitnya mendapatkan air bersih yang
berkaitan dengan komponen kondisi sumberdaya, belum terpenuhinya permintaan
pasar akan tepung lidah buaya yang berkaitan dengan komponen kondisi permintaan,
dan lain sebagainya. Kondisi ini menyebabkan agroindustri lidah buaya di Kota
Pontianak belum mengalami perkembangan sebagaimana yang terjadi pada subsistem
on farm lidah buaya. Oleh karena itu, menurut Idawati (2002) bahwa industri

7
pengolahan lidah buaya di Kota Pontianak perlu mendapat perhatian berupa
pembinaan dan pengembangan industri yang mengarah pada upaya peningkatan
dayasaing, hal ini dikarenakan industri pengolahan lidah buaya yang ada masih
terbatas pada industri rumah tangga dengan peralatan teknologi yang sederhana,
keterbatasan modal dan sumberdaya yang dimiliki.
Dengan demikian, diperlukan kerjasama dari semua pihak, baik itu pelaku usaha
maupun pemerintah untuk membangun agroindustri lidah buaya yang berdayasaing di
Kota Pontianak, agar pengembangan agroindustri lidah buaya dapat terwujud. Salah
satu caranya adalah dengan mengetahui kondisi dayasaing dan faktor-faktor yang
menjadi penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak dengan
berdasarkan komponen yang terdapat pada Diamond Porter, serta merumuskan
prioritas strategi yang dapat meningkatkan dayasaing agroindustri tersebut. Oleh
karena itu, perumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ?
2. Faktor-faktor apa saja yang menentukan dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota
Pontianak ?
3. Bagaimana merumuskan prioritas strategi peningkatan dayasaing untuk
pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak ?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis kondisi dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.
2. Menganalisis faktor-faktor penentu dayasaing agroindustri lidah buaya di Kota
Pontianak.
3. Merumuskan prioritas strategi peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya
untuk pengembangan agroindustri lidah buaya di Kota Pontianak.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah daerah atau instansi terkait
dalam membangun sektor pertanian khususnya komoditas lidah buaya di Kota
Pontianak.
2. Sebagai referensi untuk menentukan kebijakan dan strategi dalam usaha
pengembangan agroindustri lidah buaya yang berdayasaing.
3. Dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti
lebih lanjut tentang agribisnis lidah buaya.
4. Bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana pengembangan wawasan dalam
menganalisis dan memecahkan permasalahan yang terjadi pada agroindustri,
khususnya komoditas lidah buaya.

8
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Adapun ruang lingkup dan batasan dalam penelitian ini antara lain :
1. Penelitian ini dilakukan di Kota Pontianak sebagai sentra produksi dan agroindustri
lidah buaya yang ada di Kalimantan Barat.
2. Penelitian ini difokuskan pada agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak,
yang memproduksi produk makanan dan minuman lidah buaya dalam kemasan
pada skala industri kecil dan rumah tangga.
3. Penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor penentu dayasaing yang mempengaruhi
keunggulan kompetitif agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak.
4. Penelitian ini menitikberatkan pada prioritas strategi yang dilakukan dalam upaya
peningkatan dayasaing agroindustri lidah buaya yang ada di Kota Pontianak.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Peranan Agroindustri
Sektor agroindustri dianggap sebagai bagian dari sektor manufaktur yang
memproses bahan baku dan produk antara yang berasal dari pertanian, perikanan dan
kehutanan. Dengan demikian, sektor agroindustri merupakan bagian dari konsep
agribisnis yang luas yakni mencakup suppliers input pertanian, perikanan dan sektor
kehutanan, serta distributor makanan dan non-makanan dari agroindustri (FAO 2009).
Menurut Soekartawi (2000), agroindustri merupakan bagian dari enam subsistem
agribisnis yaitu subsistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usahatani,
pengolahan hasil (agroindustri), pemasaran, sarana dan pembinaan. Keenam subsistem
tersebut saling terkait dan tergantung satu sama lain, hambatan dalam satu subsistem
akan mengakibatkan hambatan pada subsistem yang lain. Kegiatan agroindustri tidak
mungkin berkembang tanpa dukungan pengadaan bahan baku dari kegiatan produksi
pertanian maupun dukungan sarana perdagangan dan pemasaran.
Berdasarkan pengertian agroindustri diatas, maka agroindustri dapat diartikan
dalam dua hal. Pertama, agroindustri adalah industri yang berbahan baku utama dari
produk pertanian. Suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan
jumlah minimal 20 persen dari jumlah bahan baku yang digunakan disebut
agroindustri (FAO 2011). Kedua, agroindustri adalah suatu tahapan pembangunan
sebagai kelanjutan dari pembangunan pertanian, tetapi sebelum tahapan pertanian
tersebut mencapai tahapan pembangunan industri (Soekartawi 2000). Kaitan
agroindustri dalam pertanian ada yang berlangsung kebelakang (backward linkage)
dan kedepan (forward linkage). Agroindustri yang melakukan kegiatan pengadaan dan
penyaluran sarana produksi pertanian disebut agroindustri hulu (upstream), sedangkan
agroindustri yang melakukan kegiatan penanganan dan pengolahan produk pertanian
disebut agroindustri hilir (downstream). Dalam agroindustri hilir terdapat tiga
komponen penting yang merupakan satu kesatuan, yaitu pengadaan bahan baku
(procurement), pengolahan (processing), dan pemasaran (marketing).
Agroindustri berperan penting dalam sistem agribisnis karena berpotensi
mendorong pertumbuhan dengan pangsa pasar produk nasional yang relatif besar,
memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, menumbuhkembangkan

9
sektor lain, dan adanya unsur keragaman dalam kegiatan, sehingga agroindustri
dianggap sebagai suatu sektor yang memimpin (leading sector) dimasa yang akan
datang (Saragih 2010). Selain menciptakan nilai tambah, agroindustri juga ikut
berperan dalam membuka peluang kerja khususnya dapat menarik tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor industri hasil pertanian (agroindustri), meningkatkan
penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor hasil agroindustri, memperbaiki
pembagian pendapatan, menarik pembangunan sektor pertanian, dan mendorong
berkembangnya industri hulu dan hilir pertanian (Supriyati dan Suryani 2006).
Karakteristik dan Perkembangan Agroindustri Lidah Buaya di Indonesia
Supriyati dan Suryani (2006) mengatakan bahwa peluang pengembangan
agroindustri berdasarkan pada karakteristik pelakunya, dimana sifat karakteristik
sumberdaya manusia, manajemen, usaha produksi (usahatani), sebaran produksi,
karakteristik produksi (produksi, kualitas dan kuantitas produk, pola musiman),
kelembagaan pemasaran dan permodalan sektor pertanian, merupakan faktor-faktor
yang menyebabkan usaha agribisnis dan agroindustri berbeda dengan sektor lainnya
(industri, perdagangan dan jasa). Namun, karakteristik agroindustri yang menonjol
adalah adanya ketergantungan antar elemen-elemen agroindustri, yaitu pengadaan
bahan baku, pengolahan, dan pemasaran produk (Suprapto 2011).
Berdasarkan skala usahanya, agroindustri dikategorikan menjadi skala kecil atau
rumah tangga, skala menengah, dan skala besar. Umumnya, usaha skala menengah
dan besar sudah terintegrasi dengan pengolahan hasil pertanian (agroindustri) dan
pemasaran (ekspor), yang merupakan produsen sarana dan prasarana produksi,
pedagang, industriawan, eksportir, serta penyedia jasa-jasa seperti konsultan, lembaga
keuangan serta lembaga pendidikan dan pelatihan agribisnis. Sementara itu, usaha
skala kecil atau rumah tangga adalah kelompok yang dari segi ekonomi sangat lemah,
akses ke sumber permodalan terbatas, memperoleh margin yang paling rendah, dan
menghadapi resiko usaha yang paling besar (Supriyati dan Suryani 2006).
Industri pengolahan lidah buaya di Indonesia, khususnya di Kota Pontianak
sebagai sentra produksi lidah buaya, merupakan industri rumah tangga dengan
peralatan teknologi yang sederhana (manual dan semi manual). Sederhananya
teknologi pengolahan lidah buaya yang digunakan oleh home industry tidak lepas dari
kemampuan modal dan sumberdaya yang dimiliki (Idawati 2002). Hal senada
diungkapkan oleh Jumiar (2005) bahwa kondisi agroindustri lidah buaya yang terdapat
di Kota Pontianak banyak berkembang pada skala industri rumah tangga (home
industry) yang pada umumnya memproduksi minuman lidah buaya, dimana proses
produksi dan peralatan yang digunakan masih konvensional. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan agroindustri lidah buaya yang ada di Amerika, dimana lidah buaya
telah banyak diolah dalam bentuk powder menjadi produk “Royal Body Care” yang
digunakan oleh Food and Drug Administrastion untuk merawat pasien penderita
kanker (Sumarno 2002).
Secara teknologi pengolahan sebenarnya agroindustri lidah buaya di Indonesia
dapat memproduksi tepung lidah buaya yang dibutuhkan oleh industri farmasi dan
kosmetik dalam negeri. Menurut Hendrawati (2007) bahwa kualitas mutu tepung lidah
buaya yang dihasilkan sesuai dengan standar International Aloe Sciences Council
(IASC), industri yang dirancang layak dari aspek teknis dan pasar, kualitas tepung
lidah buaya yang dirancang juga dapat digunakan untuk formulasi produk kosmetika,

10
farmasi, makanan dan minuman kesehatan, serta lokasi terbaik berada di kecamatan
Pontianak Utara. Dilihat dari batas harga jual tepung lidah buaya tersebut lebih murah
jika dibandingkan dengan impor tepung lidah buaya dari Amerika atau Australia yang
mencapai harga US$ 100 sampai 150 per kilogram.
Sedangkan jika dilihat dari perkembangan kelembagaan yang ada pada komoditi
lidah buaya (aloe vera) di Kalimantan Barat, Tjitroresmi (2003) mengungkapkan
bahwa berbagai faktor di off-farm perlu dibenahi mulai dari identifikasi potensi pasar
domestik dan ekspor, sarana prasarana penunjang pemasaran ke luar daerah, seperti
cold storage dan armada kapal, industri pengolah lidah buaya menjadi bahan setengah
jadi bagi industri farmasi, kosmetika, dan lainnya, sumber daya manusia yang kreatif
dan mampu mencari informasi dan potensi pasar sekaligus mengembangkan inovasi
baru dan perlakukan pasca panen lainnya. Kelembagaan ditingkat petani dan
kelembagaan yang menyangkut aspek penyediaan sarana produksi, penyuluhan,
permodalan, penelitian dan pasar perlu dikembangkan untuk meningkatkan
kemampuan manajerial petani dan keberhasilan bisnis aloe vera, serta kurang efektif
dan efisiennya kelembagaan sarana produksi pemerintah yakni Aloe Vera Center.
Faktor yang Mempengaruhi Dayasaing Agroindustri
Haryadi (1998) mengungkapkan bahwa ada lima aspek yang berkaitan erat
dengan keberhasilan usaha, yaitu aspek pemasaran, produksi, ketenagakerjaan,
kewirausahaan dan akses kepada pelayanan. Keberhasilan dan pengembangan usaha
kecil atau rumah tangga juga ditentukan oleh sumberdaya manusia berupa pendidikan
dan skill yang dimiliki, ketersediaan modal baik investasi maupun modal kerja,
perbaikan teknologi dan mencoba teknologi yang baru melalui pendidikan dan
pelatihan untuk pengembangan teknologi, pemasaran yakni dengan memberi
kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi pasar, baku mutu produk,
mempelajari teknologi pengembangan produk untuk memenuhi permintaan pasar serta
menambah pengetahuan mengenai akses informasi, pengelolahan manajemen, dengan
meningkatkan pengetahuan tentang pelayanan yang dapat diperoleh untuk
mengembangkan usaha serta memberi pengetahuan tentang penerapan azas ekonomi
(Sumodiningrat 1998; Hubeis 1997; Sjaifudian et al. 1997). Disamping faktor tersebut
Hubeis (1997) juga menambahkan bahwa ada beberapa faktor lain yang ikut
mempengaruhi keberhasilan suatu usaha, yaitu:
a) Kebijakan pemerintah, berkaitan dengan upaya pemerintah untuk mengatur semua
dimensi kegiatan manusia dalam suatu wilayah. Kebijakan pemerintah terhadap
suatu usaha atau aktor ekonomi lainnya seperti perkreditan, perpajakan, perijinan,
kemitraan, perundang-undangan, kebijakan mengenai perkembangan teknologi
serta kebijakan mengenai perdagangan.
b) Akses ke lembaga keuangan, berkaitan dengan sumber modal dari perbankan dalam
menyediakan fasilitas kredit.
c) Sistem informasi, berkaitan dengan penyediaan sumber informasi yang aktual
tentang pasar, pasokan, produksi, teknologi, dan tentang pasar produk yang
ditawarkan.
d) Lokasi usaha, berkaitan dengan tempat usaha yang strategis, misalnya dekat dengan
jaringan transportasi karena biaya transportasi akan mempengaruhi biaya
pemasaran.

11
e) Gender. Pria umumnya lebih berani dalam mengambil resiko yang merupakan
faktor penting dalam pengelolaan usaha, namun dari segi sosial budaya,
kesempatan berusaha bagi pria lebih besar. Sehingga mengembangkan usaha kecil
menjadi sangat relevan dengan isu perempuan, mengingat usaha kecil merupakan
sumber pendapatan dan peluang berusaha utama bagi kebanyakan perempuan dan
masyarakat pada umumnya.
f) Umur pengusaha. Usia produktif yaitu 15 sampai 55 tahun merupakan salah satu
faktor penting dalam mengembangkan usaha menjadi lebih baik. Dari perspektif
perluasan kesempatan kerja, adanya kelompok usia produktif di dalam struktur
demografis pengusaha menggambarkan bahwa usaha kecil dan menengah dapat
menjadi sektor alternatif untuk mengurangi jumlah pengangguran.
Indikator penting untuk mencapai kesuksesan jangka panjang dalam usaha kecil
dan menengah adalah jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship dan keberuntungan
atau luck (Jay Barney 1986 dalam Ong WJ 2010). Industri kecil dan menengah di
Poerto Rico dapat meraih kesuksesan di pasar global karena adanya kemampuan
finansial, kemampuan sumberdaya manusia, teknologi yang canggih dan lengkap,
inovasi produksi, dan strategi (Rodríguez 2011). Faktor yang dapat menghambat
dayasaing suatu industri yaitu disebabkan terbatasnya sumberdaya permodalan,
hambatan teknologi dan rendahnya efektivitas kelembagaan yang mampu
melaksanakan fungsi-fungsi strategis. Sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas
dan dayasaing agroindustri, keterbatasan kapasitas dan kemampuan pelaku
agroindustri untuk menghimpun sumberdaya dalam meningkatkan posisi tawar,
lemahnya keterkaitan struktural agroindustri, baik secara internal maupun dalam
hubungannya dengan sektor lain, kebijaksanaan makro dan mikro ekonomi yang
kurang berpihak pada agroindustri (Djamhari 2004).
Terhambatnya pengembangan agroindustri khususnya yang ada di dalam negeri,
disebabkam karena adanya faktor seperti kurangnya ketersediaan bahan baku yang
cukup dan continue, kurangnya peran agroindustri di pedesaan karena masih
berkonsentrasinya agroindustri di perkotaan, kurang konsistennya kebijakan
pemerintah terhadap agroindustri, kurangnya fasilitas permodalan (perkreditan) dan
kalaupun ada prosedurnya amat ketat, keterbatasan pasar, lemahnya infrastruktur,
kurangnya perhatian terhadap penelitian dan pengembangan, lemahnya keterkaitan
industri hulu dan hilir, kualitas produksi dan prosesing yang belum mampu bersaing,
dan lemahnya entrepreneurship (Soekartawi 2000). Oleh karena itu, untuk menata
pembangunan agroindustri yang ada maka diperlukan visi dan misi pembangunan
agroindustri. Faktor penghambat dayasaing industri lainnya adalah rendahnya
produktivitas, infrastruktur yang kurang mendukung, peningkatan biaya produksi dan
keterbatasan inovasi (Lestari 2010).

12
Kebijakan pemerintah
yang kurang mendukung
Harga
BBM naik

UMR
naik terus

Otonomi
daerah

Tingkat kewirausahaan dan
inovasi yang rendah

Dayasaing
menurun

Kurang
dukungan
pemerintah

Kualitas
SDM rendah

Biaya produksi
meningkat
Birokrasi

Infrastruktur
terbatas

Pungutan
bertambah
terus
Banyaknya
perda

Produktivitas
rendah

Kredit
Bank
terbatas

Bank nasional
belum
sepenuhnya
pulih

Kapasitas
produksi
terbatas
Investasi
rendah

Penguasaan
teknologi
rendah
Kurang
dukungan dari
swasta/
universitas

Rasa ketidakpastian
untuk melakukan bisnis
di Indonesia masih besar

Gambar 3 Faktor penghambat dayasaing industri
Sumber: Lestari (2007)

Tiap-tiap agroindustri memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung
dimana lokasi agroindustri tersebut berada, sehingga faktor yang mempengaruhi
dayasaingnya juga tidak sama. Seperti yang diungkapkan oleh Adi Bronto (2011)
dalam penelitiannya mengenai pengembangan agroindustri gambir di Kabupaten lima
Puluh Kota di Sumatera Barat bahwa lemahnya sistem kelembagaan pada agroindustri
gambir di daerah tersebut akan mempengaruhi dayasaing agroindustri gambir,
sehingga perlu dilakukan langkah-langkah strategis seperti pendirian industri katekin
dan tannin, melakukan perbaikan kelembagaan melalui pembentukan klaster
agroindustri gambir untuk melaksanakan pengembangan pemasaran (domestik
maupun ekspor), perbaikan teknologi, pengembangan produk, peningkatan kualitas
sumberdaya manusia maupun penanganan masalah permodalan. Pada tahap