Disparitas putusan hakim dalam memutuskan sebuah perkara tindak pidana narkoba : studi perbandingan mazhab fiqih dan hukum pidana positif tentang putusan kasasi di mahkamah agung

DISPARITAS PlJTUSAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN
SEBUAH PERKARA
TINDAK PIDANA NARKOBA
Studi Perbandingan Mazhab Fiqih dan Hukum Pidana Positif
Tentang Putusan Kasasi di Mahkamah Agtmg

SKRIPSI

Oleh:

ASEP MAULANA

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1427 H/2006 M

DISP ARIT AS HU KUM
DALAM MEMUTUSKAN SEBUAH PERKARA

TINDAK PIDANA NARKOBA
(Studi Kasus Putusan Kasasi di Mahkamah Agung)

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh:
ASEP MAULANA
NIM. 101043122018

Drs. H.A. Djuami Syukri, M.Ag
NIP. 150 256969

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULT AS SYARI' AH DAN HUKUM
UIN SY ARIF HIDAY A TTULLAH
JAKARTA
1427 H/2006 M


PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul
"DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN SEBUAH
PERKARA TINDAK PIDANA NARKOBA"
telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari'ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 25 · Juni 2006.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Perbandingan Madzhab Fiqih.

Jakarta, )5
, Juni 2006

Prof. r. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM.
NIP. 50 210 422

PANITIA UJIAN
I

Ke tu a


: Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA.

Sekretaris

: Kamarusdiana, MH.

Pembimbing I

Penguji II

)

: Ors. Djawahir I-lejazziey, SH., MA.

(

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.


Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Yang Maha
Mengetahui. Atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
tanpa mengalami hambatan yang berarti. Shalawat dan Salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW pengemban risalah Islam yang telah tersebar
keseluruh penjuru dunia.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada pembimbing, yaitu yang
terhom1at Bapak Drs. H. A. Djuani Syukri, M.Ag dan Dedi Nursamsi, S.H., M.Hum.
atas bimbingannya dalam menyelesaikan pembuatan skripsi ini. Ucapan terima kasih
juga disampaikan kepada semua pihak yang telah sudi membantu memecahkan
masalah selama penyusunan skripsi ini.
Akhimya secara khusus penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih yang
tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, yaitu Ayahanda dan
Ibunda yang telah mengasuh, membesarkan, dan mendidik penulis, juga kepada
"seseorang" yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan moril kepada
penulis.
Semoga amal baik mereka dicatat disisi Allah SWT, sebagai amal shaleh kepada
Allah SWT, penulis memanjatkan do'a semoga Dia memberikan hasil karya ini
sebagai amal ibadah penulis kepada-Nya dan semoga pula skripsi ini bermanfaat bagi
mereka yang membacanya, Amin.


DAFTARISI

COVER ................................................................................................................... .
KATA PENGANTAR ..............................................................................................

11

DAFTAR ISi ............................................................................................................ iii
BABI

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. .

BAB II

B. Pembatasan dan Permusan Masalah .................................................

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................


7

D. Metode Penelitian .............................................................................

7

E. Sistematika Penulisan .......................................................................

8

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA
NARKOBA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Tindak Pidana Dalam Islam ............................................................. 10
B. Tindak Pidana Dalam Hukum Positif .................. ............................. 16

C. Pengertian Disparitas Hukum .............................. ............................. 23
BAB III

PUTUSAN PENGADILAN NEGRI, PENGADILAN TINGGI DAN

MAHKAMAH AGUNG TENTANG TINDAK PlDANA NARKOBA
A. Tentang Mahkamah Agung .............................................................. 27
B. Disparitas Pemidanaan Perkara Narkoba di Mahkamah Agung ...... 28
C. Faktor Penyebab Disparitas Hukum ................................................. 31

BAB IV

PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB FIQIH DAN PUTUSAN
PENGADILAN NEGRI, PENGADILAN TINGGI DAN
MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PERKARA TINDAK
PIDANA NARKOBA
A. Tindak Pidana Narkoba Menurut Mazhab Fiqih .............................. 35
B. Disparitas Putusan Perkara Tindak Pidana Narkoba Dalam Putusan
Pengadilan Negri, Pengadilan Tinggi dan Mahkarnah Agung ......... 41

BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 45
B. Saran-saran ....................................................................................... 47


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 49
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................... 51

BABI
PENDHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penyalahgunaan narkotika adalah salah satu bahaya yang paling besar
yang mengancam generasi muda bukan hanya di Indonesia bahkan di seluruh
dunia.
Penggunaan

narkotika

di

bidang

kedokteran


dan

penelitian

pengembangan ilmu pengetahuan memang dapat dinikmati manfaatnya oleh para
ilmuan yang propesional. Semaraknya pemakaian zat tersebut di bidang
kemanusiaan dan kemaslahatan umat dibarengi dengan penggunaan untuk
keperluan yang cenderung distruktip bahkan distruktip sekali. Sehingga dalam ha!
ini telah terjadi penyalahgunaan narkotika.
Menurut

Soedjono

D,

S.H.,

khusus


di

Indonesia

mengena1

penyalahgunaan narkotika menjangkau masyarakat sejak puluhan tahun yang
silam. Sekitar akhir tahun 1970 awal 1971, masyarakat dikejutkan oleh beritaberita mass media tentang mulai terjangkitnya penyalahgunaan narkotika di
Indonesia. 1
Efek-efek negatif penyalahgunaan narkotika akan meningkat sesuai dengan
kuantitas dan kualitasnya. Tingkatan tersebut ialal1

euphoria delirium,

hailuciation, weakniss dan drowsiness. Penggunaan dosis yang tinggi dapat

2

mencapai efek yang paling parah yakni "drowsiness" dalam kondisi ini pemakai
mengalami penurunan kesadaran.


2

Yang dimaksud narkotika dalam UU narkotika bab I pasal 1 ialal1 ada
12 jenis diantaranya opium,morfin, tanaman kokain, dan ganja.

I. Garam-garam dan turunan dari morfin dan kokain
2. Ballan lain baik alamiall, sintetis maupun semi sintetis yang dapat dipakai
pengganti morfina atau kokain yang ditetapkan menteri sebagai

sebagai
narkotika.

3. Campuran-campuran yang mengandung ballan-ballan yang telall disebutkan di
atas.
Narkotika dapat merusak bukan saJa bagi orang yang dihinggapi
penyakit ini tetapi juga bagi masyarakat sekitar. Dan yar1g paling membahayakan
mengenai kehidupan sosial, budaya, agama, ekonomi bahkan dapat pula menjadi
penyebab kejallatan dan penyakit sosial yang lain.
Adapun yang dimaksud narkoba dalam UU No.OS Tahun 1997 Bab I
pasal I ialall "Zat atau obat baik alamiall atau sintetis bukan narkoba yang
berkhasiat psikoaktif melaui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan khas pada aktivitas mental dan prilaku.
Perkembangan kuantitatif pengedaran gelap dan penyalallgunaan
narkotika menurut keterangan resmi dalam beberapa tahun terakhir ini telah

3

menempati peningkatan yang menyolok, sementara jangkauan penyebarluasannya
tidak hanya di kota-kota besar dengan mengkonsumsi dari berbagai lapisan sosial.
Di tengah naiknya intensitas dan frekuensi operasi oleh penegak
hukum terhadap pengedaran gelap dan penyalahgunaan narkotika, semakin tampil
gambaran tentang kompleksitas gejala ini dalam arti:
I . Pengedaran gelap narkotika, pelebaran distribusi geografis pemasaran
dan pemakainya menunjukan gejala-gejala organized crime
2. Penyalahgunaan narkotika semakin bervariasi baik dalam tingkat dan maksud
penggunaan maupunjenis narkotika yang dipakai.
Akan halnya hubungan antara penyalahgunaan narkotika dengan
kriminalitas, jelas tidak mudah dikaji dalam kerangka hubungan kausalitas semata.
Dan untuk mempelajari hubungan antara keduanya harus dilihat karir pelaku mulai
daii proses perkembangan sebagai pemakai eksperimental, pemakai sesekali saja
sampai pemakai haditual sampai ke tahap berhenti sebagai pemakai sehingga
dapat dijawab pertanyaan "apakah penyalahgunaan narkotika yang mengawali
terjadinya kriminalitas atau sebaliknya?".
J. Matt mengemukakan dalam hubungan itu bahwa korelasi antara obat

bius dan kriminalitas tergantung pada sejumlah faktor an1ara lain beberapa sering
dan pada usia berapa para pemakai itu di ketahui atau di tindak oleh lembagalembaga pengendalian sosial, faktor lain jenis obat bius yang di gunakan serta
lingkungan sosialnya. 3

3 ., •• '-

,,.. ..

4

Sadar akan semua itu maksud pemerintah bersama DPR menciptakan
undang undang tentang narkotika yang lebih luas cakupannya, lebih lengkap dan
lebih berat ancaman pidananya.
Sejak dahulu sampai sekarang problem penj atuhan vonis terhadap
pelaku kejahatan marak diperbincangkan dan diperdeba.tkan. Terutama terkait
dengan penerapan sanksi hukuman pidana. Menurut Alf Ross dalam bukunya "On

Gui! Rensponsibility And Punishment" ada dua tujuan pemidanaan: pertama
ditujukan pada pembalasan penderitaan terhadap pelaku dan kedua terhadap
perbuatan para pelaku. 4

Alf Ross menggambarkan bahwa pemidanaan (apapun bentuknya)
lebih ditujukan pada sifat melawan hukum pelaku. Jikapun berimbas pada pelaku
hal itu merupakan sebuah konsekuensi. Diharapkan nantinya (paling tidak), pelaku
bisa menyadari perbuatannya yang salah dan tidak akan mengulanginya lagi serta
mencegah orang lain meniru perbuatan orang tersebut. 5
Sementara Leo Polak menilai bahwa penjatuhan pidana lebih ditujukan
untuk menjaga keseimbangan tertib hukum. 6 ltulah sebabnya pemidanaan harus
diefektifkan untuk menjaga keseimbangan tata tetib hukum dalam masyarakat agar
tidak terganggu.
Polemik dalam masyarakat akan mw1cul, ketika hakim menjatuhkan
pidana yang berbeda. Kondisi ini dipersepsikan publik sebagai bukti tidak adanya
keadilan (social justice) di dalam sebuh negara hukum dan sekaligus akan
4

Marwah Mas, Konfigurasi Pe'liatuhan Pidana, Hukum On! ine, h. I
'Ibid.
6

JL'J

5

melemahkan atau bahkan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem
penegakan hukum (law emforcement) itu sendiri. Dari sini akan nampak suatu
persoalan serius, apakah hakim telah melaksanakan tugasnya menegakkan hukum
dan keadilan?.
Disparitas adalah perbedaan antara vonis yang clijatuhkan clengan bunyi
peraturan perundang-undangan, yang disebabkan oleh alasan yuriclis maupun
ekstra yuridis. Disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana
yang tidak sama atau tidak seimbang oleh hakim terhadap tindak pidana yang
sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya
dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang sah. 7
Disparitas pidana akan berakibat patal, bilamana dikaitkan dengan

correction administration, yaitu terpidana setelah memperbandingkan pidana
kemudian merasa menjadi korban the judicial caprice akan menjadi terpidana
yang tidak menghargai hukum, padahal penghargaan terhadap hukum tersebut
merupakan salah satu target di dalam tujuan pemidanaan. Bahkan dapat
menimbulkan demoralisasi clan sikap anti rehabilitasi di kalangan terpidana yang
dijatuhi pidana yang lebih berat dari pada yang lain di dalam kasus yang
sebanding. Karenanya, fenomena tersebut menarik oleh penulis mengkaji dengan
memberikan judul skripsi "Disparitas Putusan Hakim Dalam Memutuskan
Sebuah Perkara Tindak Pidana Narkoba (Studi Perbandingan Madzhab

7

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumra,

6

Fikih dan Hokum Pidana Positif tentang Putusan Kasasi Di Mahkamah
Agung)".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Skripsi ini memfokuskan pembahasan pada disparitas pemidanaan atau
perbedaan dalam (vonis) pidana yang dijatuhkan oleh putusan Mahkamah Agung
dalam perkara tindak pidana narkotika. Adapun pembahasan skripsi ini difokuskan
pada putusan Mahkamah Agung.
Agar pembahasan skripsi ini terarah, tidak meluas secara tidak
menentu, maka perlu untuk membatasi permasalahan mengenai disparitas
pemidanaan (khusus) terhadap kasus narkotika, dengan nomor perkara: 13 78
K!PID/2000, tentang perkara narkotika dan psikotropika.
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, dikelompokkan
dalam empat kelompok dengan batasan sebagai berikut:
I. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana narkotika dan obat-obatan (narkoba)
serta bagaimana ancaman hukumannya?
2. Bagaimana putusan hakim Mahkamah Agung terhadap perkara tindak pidana
narkotika dan obat-obatan (narkoba)?
3. Adakah disparitas putusan hakim Mahkamah Agung terhadap perkara tindak
pidana narkotika dan obat-obatan (narkoba)?
4. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan hakim
Mahkamah Agung terhadap perkara tindak pidana narkotika dan obat-obatan
(narkoba)?

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah :
I.

Untuk mengetahui apa yang dimaksud tindak pidana narkotika dan
psikotropika

2.

Untuk mengetahui bagaimana putusan hakim Mahkamah Agung terhadap
perkara tindak pidana narkotika dan pskotropika

3. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan dalam
perkara tindak pidana narkotika dan pskotropika
4.

Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan
hakim Mahkamah Agung terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika.

D. Metode Penelitian
I . J enis Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengukur atau menilai praktek hukum (Law in

action) terhadap peraturan perundang-undangan narkotika di Indonesia.
Berdasarkan data yang dikumpulkan, maka penelitian ini digolongkan kepada
penelitian kualitatif, yaitu data dinyatakan dalam bentuk pemyataan, tafsiran.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis clan historis, yaitu kajian
yuridis terhadap putusan majelis hakim setelah vonis dijatuhkan oleh
pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung. Penellitian ini
mendasarkan diri pada praktek (law in action) clan dokumen-dokumen hukum
yang ada di Indonesia.

8

3. Metode Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan
Untuk memperoleh landasan teoritis berupa konsep, pendapat para ahli
hukum pidana dari buku yang berkaitan, dan sumber-sumber lainnya yang
ada korelasinya dengan materi yang akan dibahas dalam skipsi ini.
b. Studi dokumentasi untuk meneliti vonis hakim Mahkamah Agung.
4. Metode Analisa Data
Putusan atau pandangan hakim akan dianalisis secara deskriptif analisis.
Pembahasan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara jelas,
sistematis, objektif, kritis, dan analitis mengenai fakta-fakta yang bersifat
yuridis normatife. Data yang diperoleh dipaparkan kemudian dianalisis dengan

menggunakan pendekatan komparatif dengan berusaha menyajikan

bahan

yang relevan dan mendukung.
5. Teknik Penulisan
Secara teknis, penulisan skripsi ini mengacu pada buku "Pedoman penulisan
skripsi, tesis dan disertasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2005".

F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab. Adapun kelima bab tersebut secara
rinci adalah sebagai berikut:

9

Bab I memuat tentang: Pendahuluan, Latar belakang masalah, Pembatasan dan
Perumusan masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, Metoda penelitian,
Sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang: Disparitas putusan hakim terhadap tindak pidana
narkoba dalam hokum isalam dan positif yang terdiri dari Tindak pidana dalam
hukum islam, Tindak pidana dalam hukum positil: Pengertian disparitas
hukum
Bab III membahas tentang: Putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan
mahkamah agung tentang tindak pidana narkoba yang terdirii dari Tentang
mahkamah agung, Disparitas pemidanaan kasus narkoba di mahkamah agung,
Faktor penyebab disparits hukum.
Bab IV membahas tentang: Perbandingan antar madzhab fikih dan putusan
pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung terhadap perkara
tindak pidana narkoba yang terdiri dari Tindak pidana narkoba menurut
madzhab fikih, Disparitas putusan perkara tindak pidana narkoba.
Bab V memuat tentang: Penutup, Kesimpulan, Saran-saran.

BAB II
DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOBA
DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Tindak Pidana Dalam Islam
Hukum pidana Islam di Indonesia bukanlah hukum positif, melainkan
hanyalah sebagai suatu disiplin ilmu yang dipelajari, sebagai salah satu syariat
yang mengkuhususkan diri pada bidang kepidanaan. Tindak pidana dalam Islam
disebut Fiqih Jinayah. Menurut syariat, kejahatan pada prinsipnya adalah
pelanggaran akhlak atau akhlak yang madzmumah (perilaku yang tercela). Hal ini
karena kerugian yang diderita, baik perseorangan maupun masyarakat bersumber
dari keburukan akhlak atau pelaku kejahatan itu sendiri. 1
Dalam tindak pidana Islam (fiqih jinayah) terdapat dua istilal1, yaitu

jinayah danjarimah. Kedua istilah tersebut secara etimologis mempunyai arti dan
arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif(sinonim) bagi istilah
lainnya atau keduanya bermakna tunggal. Walaupun demikian, kedua istilah
berbeda dalam penerapan kesehariannya.

Jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Pengertian
jinayah menurut terminologi adalah semua perbuatan yang diharamkan (tindakan
yang dilarang oleh hukum Islam), apabila dilakukan perbuatan terse but

1

Rahmat Hakim, Hukurn Pidana Islam; Fiqih Jinayah, (Bandung: CV. Pustaka Setia,

11

mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta
benda.
Menurut aliran (mazhab) Hanafi, ada pemisahan dalam pengertian
jinayah. Katajinayah hanya diperuntukkan bagi semua pcrbuatan yang dilakukan

manusia dengan obyek anggota badan dan jiwa saja, sepe11i melukai atau
membunuh. Adapun kejahatan dengan obyek barang atau harta benda, dinamakan
ghasab. Sedangkan menurut madzhab Syafi'i, Maliki, dan lbnu Hambal tidak

memisahkan antara perbuatan jahat terhadap jiwa dan anggota badan dengan
kejahatan terhadap harta benda. Oleh karena itu, pembahasan tersebut diperoleh
dalamjinayah. 2
Jarimah secara etimologi sama halnya dengan pengertian jinayah,

yakni perbuatan buruk, jelek atau dosa. Adapun secara terminologi, pengertian
jarimah adalah larangan-larangan syara' (yang apabila dikerjakan) diancam

dengan hukuman had atau ta 'zir. Dari pengertian tersebut, bahwa kata jarimah
identik dengan yang disebut dalam hukum post/l(tindak pidana/pelanggaran).
Esensi

dan aplikasi dari pemidanaan hukuman dari suatu jarimah

menurut Islam adalah pencegahan serta balasan (ar-radu waz-zahru) dan perbaikan
dan pengajaran (al-ishlah wat-tzhdzib). Dengan tujuan tersebut, pelaku jarimah
diharapkan tidak mengulangi perbuatannya, disamping itu juga merupakan
tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hat yang sama. 3

2

Ibid, h. 13.

3 fl,,;,J i. l'.:.'l

12

Dalam aflikasinya hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan,
sebagai berikut:
I. memelihara masyarakat
2. sebagai upaya pencegahan atau prevensi khusus bagi pdaku
3. upaya pendidikan dan pengajaran (ta'dib dan tahdzib)
4. hukuman sebagai balasan atas perbuatan.
Adapun mengenai macam-macam hukuman ini, Prof. H. A. lazuli
membaginya sebagai berikut:
1. Ditinjau dari terdapatnya nash dan tidaknya dalam al-Qur' an atau al-Hadits

dibagi menjadi dua :
a.

Hukuman yang ada nashnya yaitu hudud, qhisas, diyat dan kafarah

b.

Hukuman yang tidak ada nashnya yaitu hukuman ta'zir.

2. Ditinjau dari sudut kaitan antara hukuman yang satu dengan hukuman yang
lainnya terbagi menjadi empat :
a. Hukuman pokok (al-Uqubat al-ashliyyah)
b. Hukuman pengganti (al-Uqubat al-badaliyyah)
c. Hukuman tambahan (al-Uqubat at-tabaiyyah)
d. Hukuman pelengkap (al-Uqubat al-takmiliyyah)
3. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat dan ringannya
hukuman, hukuman terbagi atas dua yaitu :
a.

Hukuman yang mempunyai batas tertentu

13

b.

Hukuman yang merupakan altematif karena terdapat batas tertinggi dan
terendah.

4. Ditinjau dari segi objek yang dilakuknnya hukuman terloagi empat:
a.

Hukuman badan

b.

Hukuman yang dikenakan terhadap jiwa

c.

Hukuman yang dikenakan terhadap hilanggnya kemerdekaan

d.

Hukuman terhadap harta benda. 4
Istilah narkotika tidak secara eksplisit ditemukan dalam hukum Islam,

namun melihat dari pengaruh yang ditimbulkan, maka ia dapat dibandingkan
dengan al-khamru

HセI@

yakhmiru-khamran ( lfo Mセ@

yang berasal dari kata khamara-yakhmuru atau

). Secara etimologi, kata al-khamru berarti
Mセ@

tertutup, tersembunyi, rahasia, berubah dari aslinya. 5 Muhammad Ali ashShabuni mendefinisikan, khamar sebagai benda atau zat yang memabukan yang

terbuat dari anggur dan lain sebagainya. 6 Menurut Sayyid Sabiq, khamar adalah
cairan yang dihasilkan dari peragian biji-bijian atau buah-buahan dan mengubah
sari patinya menjadi alkohol dengan menggunakan katalisator (enzim) yang
mempunyai

kemampuan

untuk

memisahkan

unsur-unsur

tertentu

yang

merubahnya melalui proses peragian. 7

' Ibid. h. 68
5

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), Edisi II, Cet. ke-14, h. 367.
6
Muhammad Ali ash-Shabuni, Rawai'uI al-Bayan Tafsiruhu Ayati al-Ahkam Min aIQur'ani, (Beirut: Daar al-Fikr), Juz ke-1, h. 267.
c .... i.:,... c;;.,..t. ,../_('.,..,..,,..,., /f.t,,.in1t• T1!l!'lr !'11-i:;'ikr) h 11(}
7 」セNnLZエ@

14

Pengertian narkoba yaitu terdiri dari narkotika dan obat-obatan.
Sedangkan pengertian narkotika dalam Undang-undang Republik Indonesia No.
22 Tabun 1997 memberi sebuab termenilogi mengenai narkotika, yaitu zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis atau semi sintetis
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubaban kesadaran, hilangnya rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam tiga
golongan (pasal I). 8
Disebutkan dalam sebuab hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari
Abdullah Bin Umar :
••セi@

.i..S. ••·
BセiNG@
...
(.foo ( u

J'l>J) セ@ . ' . セ@

"' セM
•·Jli ·?'"-G.,
.' 01

J 'Z[セイjQ@

',•
01 セ@

セM

J •••

Artinya:
"Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Musanna dan muhammad
bin Haitim. Berkata: Telah menceritakan pula kepada kami Yahya (al-Qatan) dari
'Ubaidillah. Naji' memberitahukan kepada kami dari Jbnu Umar ia berkata: Dan
aku tidak mengetahui (akan ha! itu) kecuali yang datang dari Nabi SAW. bahwa
beliau bersabda: Setiap yang memabukan adalah khamar dan setiap khamar
adalah haram ". (HR. Muslim)
Setiap sesuatu yang memabukkan adalab termasuk khamar, baik yang
terbuat dari jenis minuman atau yang dibuat dari sari \mah anggur murni yang
dimasak sampai mendidih atau selainnya. Jadi hadits di atas menjelaskan, bahwa
syariat tidak mempersoalkan jenis maupun macam bahan yang pembuat, asal
8

3.

Sinar Grafika, Undang-undang Narkotika & Psikotropika, (Jakarta: 2002), Cet. ke-3, h.

15

memenuhi kriteria yang memabukan, maka ia digolongkan kedalam khamar.
Begitu juga dengan hukum yang berlaku terhadap khamar, juga berlaku atas
selainnya (kurma, madu, gandum dan biji-bijian).

Khamar tidak hanya terbatas pada perasan anggur saja, tetapi termasuk
pula perasan (buah) yang berasal dari kurma, madu, d:an gandum serta syair.
Adapun kelima poin yang disebutkan di atas tadi, disebabkan bahwa pada masa itu
hanya kelima jenis tersebut yang banyak digunakan orang untuk bahan pembuat

khamar.
Menumt para ahli medis, perkataan khamar selalu digunakan untuk
sebutan bagi setiap jenis minuman yang mengandung alkohol, yaitu cairan yang
tidak berwarna yang mudah menguap, mudah dibakar, dipakai dalam industri dan
pengobatan serta merupakan w1sur yang memabukkan dalam kebanyakan
minuman keras.
Pengharaman khamar terhadap kaum muslim, turun secara bertahap
sesuai dengan perkembangan psikologis masyarakat pada waktu itu. Sehingga
dengan demikian hukum yang diturunkan akan lebih disenangi oleh jiwa untuk
ditaati.
Wahyu yang mula-mula tumn yang menerangkan khamar adalah surat
al-Baqarah (2): 219, yang menjelaskan bahwa di dalam khamar terkandung
manfaat dan madharat. Manfaat yai1g dimaksud adalah manfaat yang lebih bersifat
pada materil, di antaranya keuntungan bagi penjual khamar dan kemungkinan
memperoleh harta yang banyak tanpa bersusah payah. Akan tetapi madharat yang

16

dikandung lebih besar dari sekedar keuntungan yang hanya diperoleh segelintir
orang saja, yaitu penjual. Kemudian disusul dengan turunnya surat an-Nisa' (4):
43, yang terang-terangan melarang orang muslim untuk menunaikan shalat apabila
dalam keadaan mabuk.
Ayat diatas merupakan pengantar diharamkannya meminwn khamar
secara final. Kemudian turun surat al-Maidah (5): 90-91

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan
keji lermasuk perbualan syai/an. Maka jauhilah perbua/an-perbua/an ilu agar
kamu mendapal keberuntungan. Sesungguhnya syailan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dari mengingat Allah
dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu) ".
(Q.S. al-Maidah (5): 90-91)
Barulah di dalam surat al-Maidah (5): 90-91, diharamkannya meminwn

khamar secara tegas bagi kaum muslim. Pengharaman terakhir terjadi setelah
perang Ahzab tahun keempat atau kelima hijriyah. Riwayat Jain mengatakan
terjadi sewaktu perjanjian Hudaibiyah tahun keenam hijriah.
B. Tindak Pidana Dalam Hokum Positif

Sebelum membicarakan tindak pidana, terlebih dahulu perlu diketahui
arti hukwn pidana. R. Abdoel Djamili, S.H. mengartikan hukwn pidana ialah

17

"sebuah ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam
meniadakan

pelanggaran

kepentingan

umum''. 11

Sedangkan

Wirdjono

Prodjodikoro mengartikan hukum pidana sebagai "peraturan hukum mengenai

pidana". 12
lstilah tindak pidana berasal dari istilah hukurn pidana Belanda, yaitu
"Stafbaar fail", 13 yang terdiri dari tiga kata, yaitu slafartinya pidana dan hukum,
baar artinya dapat dan boleh, fail artinya tindak. Walaupun istilah ini terdapat
dalam WvS Belanda, demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak
ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan slaf baar fail itu. Karena
itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah tersebut. Istilahistilah yang pemah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun
dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari slafbaar fail adalah: 14
I. Tindak pidana, digunakan resmi istilah dalam undang-undang kita. Ahli
hukum yang menggunakan istilah ini, seperti: Prof. DT. Wirjono Prodjodikoro,
S.H.
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, seperti: Mrs. R. Resna
dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana", Mrs. Dr. H.J. Van Schravendijk
dalam buku "Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia", Prof. A. Zainal
Abidin, S.H. dalam bukunya "Hukum Pidana".

11
R. Abdoel Djamili, Penganlar Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Husada,
2000), Cet. ke-6, h. I.
12
Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Cresco, I 989), Ed. 2, Cet. ke-6, h. I.

13

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, h. 76.

14

1L.:,J L.

,.,,..,

18

3. Delik, yang berasal dari bahasa latin "delictum". Istilah ini dapat dijumpai
dalam berbagai literatur, misalnya: Prof. Drs. E. Utrecht, S.H., walaupun
beliau juga menggunakan istilah peristiwa pidana. Prof. A. Zainal Abidin
dalam bukunya "Hukurn Pidana !''. Prof. Moeljatno dalam buku "Delik-delik
Percobaan, Delik-delik Penyertaan", walaupun menurut beliau lebih tepat
disebut perbuatan pidana.
4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku "Pokok-pokok Hukum
Pidana" yang ditulis oleh Mrs. M. H. Tirta Midjaja.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, ini digunakan oleh Mrs. Korni dalam bukunya
"Ringkasan Tentang Hukum Pidana", begitu juga Schravendijk dalam
bukunya "Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia''.
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk undang-undang
dalam UU No. 12/prt/l 95 l tentang senjata api dan bahan peledak.
7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mrs. Moeljatno dalam pelbagai tulisan
beliau.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetian tindak
pidana menuruit Moeljatno, yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukurn larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa yang melanbggara larangan tersebut.
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari dua sudut pandang,
yakni: (I) dari sudut teoritis, dan (2) dari sudut undang-undang. 15 Maksud teoritis

15 IL:...J t..

"70

19

ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi
rumusannya. Sedangkan dari undang-undang ialah bagaimana kenyataan tindak
pidana itu dirunmskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang ada.
1. Unsur tindak pidana menurut beberapa teoritisi.
Telah dibicarakan pelbagai rumusan tindak pidana yang disusun oleh
berbagai ahli hukum, baik penganut dualisme maupun paham monisme.
Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana ialah:
a.

Perbuatan yang dilarang;

b.

Yang dilarang (oleh aturan hukum);

c.

Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah

aturan hukum. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa
tidak

mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana.

Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada
umumnya dijatuhi pidana.
Menurut R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur sebagai
berikut:
a.

Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);

b.

Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c.

Diadakan tindakan penghukuman.

20

Menurut batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak
pidana, yakni:
a.

Kelakuan manusia;

b.

Diancam dengan pidana;

c.

Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur tiga batasan penganut paham dualisme

tersebut, tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan
yang dilarang, dimuat dalam undang-undang dan diancam pidana bagi yang
melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur
tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, sematamata menganai perbuatannya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pendapat
penganut paham monisme, memang tampak beda. Di antara tokohnya ialah:
Jonkers dan Schravendijk. 16
Dari batasan yang dibuat Jonkers dapat dirinci unsur-unsur pidana, yaitu:
a.

Perbuatan (yang);

b.

Melawan hukurn (yang berhubungan dengan);

c.

Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

d.

Dipertanggungjawabkan.
Menurut Schravendijk, dalam batasan yang dibuatnya, w1sur-unsur

tindak pidana sebagai berikut:
a.

16

Kelakuan (orang yang);

Jt.;,.J

h

Q'l

21

b.

Bertentangan dengan keinsyafan hukwn;

c.

Diancam dengan hukuman;

d.

Dilakukan oleh orang (yang dapat);

e.

Dipersalahkan/kesalahan.
Walaupun rincian dari tiga rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun

pada hakekatnya ada persamaannya, ialah tidak memisahkan antara unsurunsur mengenai perbuatannya dengan unsur-unsur mengenai orangnya.
2. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang.
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu
yang termasuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggaran.
Temyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah
mengenai tingkah laku atau perbuatan, walaupun ada pengecualian, seperti
pasal 351 (penganiayaan). 17
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP tersebut,
maka dapat dikatahui, adanya delapan unsur tindak pidana, yaitu: 18
a.

Unsur tingkah laku;

b.

Unsur melawan hukum;

c.

Unsur kesalahan;

d.

Unsur akibat konstitutif;

e.

Unsur keadaan yang menyertai;

f.

Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana;
17

Ibid. h. 85

18

11-..;,.1 h

t:.

I

22

g.

Unsur syarat tambahan untuk dapat memperberat pidana;

h.

Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana.
Dari delapan unsur tersebut, ada dua unsur yang termasuk unsur-unsur

subyektif, yakni kesalahan dan melawan hukum, sedaagkan selebihnya adalah
berupa unsur-unsur obyektif.
Mengenai tindak pidana narkoba Undang-undang Republik Indonesia
No. 22 tahun 1997 tentang narkotika, memberi scbuah terminologi yang
lengkap mengenai narkotika, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman baik sintetis atau semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hi langnya rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam tiga golongan (pasal
1).19

Undang-undang No. 22 tahun 1997 merupakan pengganti dari undangundang narkotika yang lama, yakni UU No. 9 tahun 1976. Ini merupakan
langkah spektakuler reformasi hukum pidana dalam perundang-undangan
narkotika Indonesia yang cukup memiliki sejarah yang panjang.
Kelahiran undang-undang ini merupakan merupakan antisipasi terhadap
ancaman

kriminalitas

dalam

bentuk

"penyalahgunaan"

narkotika,

memberantas peredaran gelap narkotika untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan atau pengembangan ilmu pengetahuan (pasal 3). 20

19

Sinar Grafika, Undang-Undang Narkotika & Psikotropika, (Jakarta: 2002), Cet. ke-3, h.

20

0.C. Kaligis & Associates, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, (Bandung:

3.
A lumn; ')flf\')'\ ra.t

t-.,._ 1

h

hA

23

Begitu juga mengenai pengertian psikotropika yang diatur dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1997. Dalam undang-undang ini yang dimaksud
dengan Psikotropika adalah zat atau obat. baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melal ui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pacla aktivitas mental dan
prilaku. (Bab I pasal 1).
Psikotropika

yang

mempunyai

potensi

mengakibatkan

sindroma

ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) digolongkan menjadi :
I. psikotropika golongan I
2. psikotropika golongan I
3. psikotropika golongan II
4. psikotropika golongan III
5. psikotropika IV .
Jenis-jenis

psikotropika

golongan

I,

psikotropika

golongan

II,

psikotropika golongan III, psikotropika golongan IV sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk pertama kali ditetapkan dan dilampirkan dalam undangundang ini, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan. Ketentuan lebih
lanjut untuk penetapan dan perubahan jenis-jenis psikotropika sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur oleh Menteri.

C. Pengertian Disparitas Hukmn
Dalam penyelenggara sistim peradilan pidar1a, vonis hakim menjadi
bagian paling menentukan dari rangkaian hukum acara formil. Karena mempunyai

24

konsekuensi yang sangat luas terhadap diri terpidana maupun masyarakat secara
um um.
Pengertian disaparitas (disparitiy) secara etimologi yaitu berbeda. 21
Sedangkan disparitas pemidanaan (disparity of sentencing) menurut tem1enologi
adalah penjatuhan pidana yang tidak sama atau tidak seimbang oleh hakim: 22
I. Tindak-tindak pidana yang sama
2. Tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa
dasar pembenaran yang sah
3. Tindak pidana yang sama yang pelakunya lebih dari seseorang. 23
Putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim didasarkan oleh
keyakinan hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana dan patut untuk
dipidana. Dan masyarakatlah yang nantinya memberikan penilaian adil dan
tidaknya suatu putusan, sebab suatu putusan sangat relatif, tergantung dari sudut
mana kita memandangnya.
Disparitas adalah perbedaan antara vonis yang dijatuhkan dengan bunyi
peraturan perundang-undangan, yang disebabkan oleh alasan yuridis maupun
ekstra yun·a·1s. 24
Adapun alasan-alasan yuridis tersebut yaitu:

21

M. Abdar Sulthon S., Kamus lengkap Bahasa Dunia, (Jakarta: garda Media)
Lihat, antara lain: Oemar Sena Adji, Hukum Hakim Pidana, (Jakm1a: Erlangga, 1984),
Cet. ke-2, h. 27 dan Munir Fuadi, A/iran Hukum Kritis; Paradigma Ketidakberdayaan Hukum,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), Cet. ke-1, h. 49.
23
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, h. 53.
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumra,
22

I CICIO\

イG。Nセ@

In:. ')

h

.C::'l

25

I . Hakim mempunyai kebebasan dalam batas hukuman maksimal dan minimal.
Dari sini hakim mempunyai kebebasan dalam

ュ・ョQセ。イゥ@

hukuman-hukuman

yang dijatuhkan terhadap terdakwa, namun kebebasan tersebut bukan berarti
hakim dapat memutuskan hukuman dengan kesewemmg-wenangan subyektif
dalam menetapkan berat ringannya hukuman. Misal dalam undang-undang no.
22 tahun 1997 tentang narkotika pasal 78 ayat I huruf b, yaitu : " Memiliki,
menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika
golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama I 0
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (Lima ratus juta
rupiah).
2. Tidak adanya teori pidana (pemidanaan). Perlu diketahui bahwa dalam
yurisprudensi, undang-undang dan doktrin maupun perundang-undangan
sendiripun dalam KUHP tidak memberikan sutu pegangan teori hukum pidana
sebagai dasar penghukuman, sehingga dapat dikatakan ia memberikan
kebebasan kepada hakim teori manakah yang akan digunakan dalam
menetapkan hukuman. Dalam KUHAP, KUHP dan Undang-undang tidak
terdapat ketentuaan pidananya. 25
Alasan-alasan ekstra yuridis yaitu:
I. Alasan sosial, yaitu hakim dalam menentukan hukuman tidak hanya melihat
batasan hukuman maksimal dan minimal saja akan tetapi hakim hams melihat
dari segi sosial si pelaku.

26

2. Alasan individual, dengan adanya kebebasan hakim dan tidak adanya pedoman
pemidanaan dalam penetapan hukuman, hakim mempunyai kebebasan untuk
memakai teori yang ia pakai dalam menetapkan hukuman.
3. Alasan politik, peranan terdakwa, para saksi dan ahli, pejabat penyidik, jaksa,
hakim baik dalam tingkat daerah, banding dan kasasi. Dalam perkara pidana
demikian maka penyidik, penuntut, hakim yang menyidangi perkara, terdakwa
dan pengacara, memegang peranan dalam mempengamhi hukuman. 26
Berdasarkan ketentuan KUHAP inilah maka politik hukum dapat
mempengaruhi sebuah putusan dalam menentukan penjatuhan hukuman.

26

fl



I

1

n.

BAB III
PUTUSAN PENGADILAN NEGRI, PENGADILAN TINGGI
DAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG TINDAK PIDANA NARKOBA

A. Tentang Mahkamah Agung
Masa penjajahan atas bumi pertiwi Indonesia, selain mempengaruhi
roda pemerintahan yang berlakupun pula sangat berpengaruh besar terhadap
peradilan di Indonesia. Sejarah berdirinya Mahkamah Agung kiranya tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh penjajahan di bumi Indonesia ini. !tu semua terbukti
dengan adanya kurun waktu penjajahan Belanda, Inggris, dan Jepang. 1 Oleh
karenanya, perkembangan peradilan di Indonesia tidak lu:put dari pengaruh kurun
waktu tersebut.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang disahkan pada tanggal 15 Januari 2004, Mahkamah Agung be1tugas dan
berwenang memeriksa dan memutus: 2
I . Permohonan kasasi
2. Sengketa tentang kewenangan mengadili
3. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (bab III pasal 28)

1
2
..,11n,1

QセM\ᄋ@

htp/www.ma-ri.go.id, Sejarah Mahkamah Agung.
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman & Undang-undang Mahka1nah Agung Tahun
r'\l

ct,,.. 1..... ,,...\

r,..+

I,,,. t h

?..'7

28

4. Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan
tingkat banding atau tingkat terakhir dari semua lingkungan peradilan (pasal
29)

5. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapanpenatapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak
berwenang atau melampaui batas kewenangan, salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku, lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan (pasal 30 dan 31). Dalam KUHAP pasal
253 dijelaskan yaitu, " apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan
atau diterapkan sebagaimana mestinya, apakah benar secara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, apakah benar pengadilan
telah melampaui batas wewenangnya.
6. Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya
terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
7. Mahkamah Agung berwenang tidak sah semua peraturan perundang-undangan
tingkat yang lebih rendah dari pada undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 3
B. Disparitas Pemidananaan Perkara Narkoba di Mahkamah Agung
Mahkamah Agung yang memeriksa dalam tingkat kasasi atas
permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum pada K1ejaksaan Negeri Sleman,

29

Mahkamah Agung mengabulkan pennohonan kasasi terse:but. Mahkamah Agung
membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta tanggal 20 Juli 2000 No.
43/PID/2000/PT.Y, dengan Putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana "Mengedarkan Psikotropika yang berupa obat yang
tidak terdaftar pada Departemen yang tidak bertanggung jawab di bidang
kesehatan ".
2. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp
25.000.000,-.
3. Menetapkan, apabila pidana denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 3 bulan.
4. Menetapkan barang barang bukti berupa :
a. 353 butir ectacy jenis sunkist superman dan LI 14 paket shabu-shabu berat
+/- 125,2 gram.

b. I timbangan elektronik.
c. 2 tas ukuran besar dan kecil.
d. 4 kotak dus isi alumunium foil.
e. 4 buah plastik isi bubuk.
f.

7 bendel plastik pembungkus.

g. Dirampas untuk dimusnahkan.
5. Uang tunai sebanyak Rp. 1.600.000,- dirampas untuk negara.

30

6. Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara disemua tingkat
peradilan.
Dengan berdasarkan putusan yang telah diputus oleh Pengadilan Tinggi
Yogyakarta, Pengadilan Negri Sleman mengajukan pennohonan kasasi beserta
alasan-alasannya dan dengan cara menurut Undang-undang. Oleh karena itu dapat
diterima oleh Mahkamah Agung dengan berpendapat bahwa keberatan-keberatan
tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex /acti/Pengadilan Tinggi Yogyakarta
salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut: 4
I. Bahwa dari keterangan saksi-saksi maupun terdakwa di

persidangan

dihubungkan dengan barang-barang bukti yang diajukan ke persidangan, telah
terungkap fakta-fakta.
2. Bahwa benar saudara saksi telah datang ke rumah terdakwa untuk
menyerahkan sejumlah uang, dan ketika saksi digeledah petugas ditemukan
shabu- shabu.
3. Bahwa terbukti pula di rumah terdakwa ditemukan shabu-shabu sebanyak 14
paket, 353 ekstasi, satu timbangan, empat kotak alumunium foil, 7 bendel
plastik pembungkus, serta uang sebanyak Rp. 1.600.000,Berdasarkan kejadian dan fakta-fakta tersebut, menurut pendapat
Mahkamah Agung bahwa perbuatan terdakwa bukar1 hanya memiliki atau
meny1mpan

shabu-shabu/psikotropika,

sehingga

perbuatan

terdakwa

telah

memenuhi rumusan pasal 60 ayat I sub c Undang-undang No. 5 Thn. 1997,

31

tentang psikotropika.seperti telah dipertimbangkan dengan tepat oleh Pengadilan
Negri Steman.
Maka

dengan

bukti-bukti

tersebut

Mahkamah

Agung

dalam

putusannya pada hari Kamis tanggal 16 Nopember 2000, No. 1378K/PID/2000,
telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan menghukum
terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda Rp.
25.000.000,-. Jika denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 3 (tiga) bulan. 5
C. Faktor Pcnyebab Disparitas Hukum

Dalam pembahasan ini akan dikemukakan faktor-faktor penyebab
te1:jadinya disparitas pemidanaan yang bersumber dari hukum itu sendiri:
1. Hakim mempunyai kebebasan

yang sangat luas untuk memilih dan

menentukan berat dan jenis pidana.
Dalam hukum pidana positif Indonesia hakim mempunyai kebebasan yang
sangat luas untuk memilih jenis pidana (straf soort) yang dikehendaki,
sehubungan dengan penggunaan sistem alternattif dalam pengancaman pidana
di dalam undang-undang. 6
Dari rumusan pasal 81 ayat (I) hurnf a dan hurnf c ayat (2) huruf a Undangundang No. 22 thn.1997, dapat diketahui beberapa pidana pokok yang
diancamkan kepada pelaku secara alternatif. Alternatif di sini berarti, hanya
satu di antara pidana-pidana pokok yang diancamkan tersebut, yang dapat
5

Ibid, h. 24

6 Jl.A .. 1.,.,.1; rln i:.'lrrl l\.hnun".lrl::i h::itl::in-h::ichin ata11 ォpNQオャセイエZjョ@
nP.mirlanaan di tin2:kat bawah.

33

750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rnpiah), ayat (2) hurnf a maksimal
pidana khususnya 18 (delapan belas) tahun dan denda Rp. 2.000.000.000,00
(dua milyar rupiah), ayat (3) huruf a maksimal pidana khususnya adalah
pidana mati atau penjara seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun penjara dan
denda Rp. 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).
Dalam batas-batasan minimal hingga maksimal tersebut, hakim bebas leluasa
bergerak

menjatuhkan pidana. Kondisi inilah, yang bisa menyebabkan

terjadinya disparitas pemidanaan karena bisa dipahmni bahwa hakim tidak
selalu menghasilkan pemidanaan yang seragam.
2. Secara teoritis, disparitas hukum dapat dibenarkan sebagai pencem1inan
karakteristik aliran modern (positive school) yang berkembang pada abad 19.
Karakteristik aliran moderen yakni, Let the punismenl fit the criminal
menghendaki hukum yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan tertentu baik
yang melekat pada diri pelaku maupun yang mempengaruhi perbuatan pelaku
sebagai keadaan-keadaan yang dapat meringankan berat pidana. 11 Adanya
pembenaran terhadap disparitas pemidanaan dikemukakan pula oleh Cesare
Lambroso (salah satu pelopor aliran modern) sebagairnana dikutif oleh Muladi
dan Barda Nawawi Arief, different criminals have different needs yaitu,
sepanjang masing-masing pelaku mempunyai motif yang berbeda-beda saat

34

melakukan kejahatan adalah suatu kebodohan bila menerapkan pidana yang
sama kepada mereka. 12
3. Pedoman pemidanaan
Diatumya ketentuan alternatif pidana, batas minimal dan maksimal pidana
tanpa dibarengi dengan pengaturan pedoman pemidanaan yang dapat
memberikan kemungkinan bagi hakim memperhitungkan seluruh fase-fase
kejadian. Menurut Muladi, tanpa adanya pedoman pemidanaan, berat
ringannya pidana yang dijatuhkan, akan bergantung pada subyektifitas hakim.
Di dalan1 prakteknya subyektifitas hakim sering menimbulkan disparitas
pemidanaan, karena keadilan bukan sekedar menurut undang-undang semata
tetapijuga keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. 13
4. Undang-undang yang tidak proporsionalitas dalan1 menempatkan batasan
antara kejahatan yang dilakukan dengan pidana yang diancamkan, antara satu
kejahatan dengan kejahatan lain. 14
Ketidakjelasan pandangan legislatif (DPR) selama ini mengenai
pemidanaan yang tidak dilandasi pada satu perangkat parameter yang konkrit
dalam menentukan ancaman pidana menyebabkan terjaclinya inkosistensi dalam
penentuan keseriusan berbagai tindak pidana yang dirumuskan dalam undangundang, sehingga sanksinya pun sangat beragam, yang pada gilirannya
menimbulkan disparitas dalam penjatuhan pidana oleh pengadilan.
12
13

Ibid, h. 63
Ibid, h. 52.

14

Harkristuti Harkrisnowo, Rekontruksi Konsep Pemiidanaan; Suatu Gugatan Prosees
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Hukum Online, (Pidana pengukuhan sebagai guru besar pada
..... , J '11

.i: r>----1,\

t..

1

BABIV
PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB FIQIH DAN PUTUSAN
PENGADILAN NEGRI, PENGADILAN TfcNGGI
DAN MAHKAMAH AGUNG
TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA NARKOBA

A. Tindak Pidana Narkoba Menurut Mazhab Fiqih.

Hukuman had bagi peminum khamar tidak dijelaskan dalam nash alQur'an begitu juga tidak ada keterangan tentang kadar ukurannya secara jelas
dalam as-Sunnah. Sebab semua riwayat yang akurat (shoheh) dari Rasulullab
s.a.w. tidak ada yang menyebutkan kadar ukuran tertentu, kecuali satu riwayat
yang diriwayatkan dari Ali r.a. yang menjelasakan babwa beliau memukul
peminum khamar sebanyak 40 kali. 1
Kendati demikian, telab ada riwayat yang pas ti dari R

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

PENDAHULUAN DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Dalam Menangani Perkara Anak).

0 4 13

PENUTUP DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Dalam Menangani Perkara Anak).

0 2 5

SKRIPSIPERTIMBANGAN HAKIM AGUNG DALAM MENJATUHKAN PERTIMBANGAN HAKIM AGUNG DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP KEPALA DAERAH YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung).

0 3 11

SKRIPSI DISPARITAS PIDANA DALAM PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA Disparitas Pidana Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Pencurian Di Pengadilan Negeri Klaten (Studi Kasus Putusan No.97/Pid.B/2013/Pn.Klt Dan Putusan No.53/Pid.B/2013/PN.Klt).

0 1 11

DISPARITAS PIDANA DALAM PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DI PENGADILAN NEGERI KLATEN Disparitas Pidana Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Pencurian Di Pengadilan Negeri Klaten (Studi Kasus Putusan No.97/Pid.B/2013/Pn.Klt Dan Putusan No.53/Pid.B/

0 2 20

ALASAN HUKUM JAKSA PENUNTUT UMUM MENGAJUKAN KASASI ATAS DASAR JUDEX FACTI KELIRU MENAFSIRKAN TINDAK PIDANA PENIPUAN DAN ARGUMENTASI HUKUM HAKIM MAHKAMAH AGUNG MENJATUHKAN PUTUSAN MENGABULKAN PERMOHANAN KASASI (Studi Kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomo

0 0 1

ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN KASASI MAHKAMAH AGUNG DALAM PERKARA INTERVENSI

0 7 16

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM UPAYA HUKUM KASASI ATAS PUTUSAN BEBAS PERKARA PIDANA Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 18

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SUNGGUMINASA)

0 0 142