Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

(1)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI TENTANG CALON INDEPENDEN DI DALAM

UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2004 TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH

TESIS

Oleh

AGUS SUSANTO

087011014/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI TENTANG CALON INDEPENDEN DI DALAM

UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2004 TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar

Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan

Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

AGUS SUSANTO

087011014/MKn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis

HALAMAN PENGESAHAN

: ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG CALON INDEPENDEN DI DALAM UNDANG-UNDANG

NO. 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN

DAERAH

Nama Mahasiswa

:

AGUS SUSANTO NIM

Program Studi

: 087011014

:

MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. SYAMSUL ARIFIN,S.H.,M.H Ketua

Dr.FAISAL AKBAR.,S.H.,M.Hum Dr.PENDASTAREN TARIGAN.,S.H.,M.S Anggota

Ketua Program Studi

Mengetahui

Anggota

Dekan

Prof.Dr. M. YAMIN.,S.H.,C.N.,M.S Prof.Dr. Runtung, SH, MHum

Tanggal lulus: 5 September 2009


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 5 September 2009

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

Anggota

: Prof. Syamsul Arifin,SH,MH : 1. Dr.Faisal Akbar.,SH.,Mhum

2. Dr.Pendastaren Tarigan.,SH.,MS 3. Prof.Dr.M.Yamin.,SH.,CN.,MS 4. Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum


(5)

ABSTRAK

Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menghasilkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menyatakan dibenarkan adanya calon perseorangan. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah wujud demokrasi yang menitikberatkan kebebasan memilih Kepala Daerah Hukum dan proses pemilihan Kepala Daerah Hukum dalam proses pertarungan

yang bebas. Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan

pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut di atas maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Sejauh mana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang?

2. Bagaimana pengaturan pemilihan Kepala Daerah dalam perundang-undangan?

3. Bagaimana Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon

Perseorangan?

Hasil penelitian menunjukkan 1).Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang setelah diamandemenkannya UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji secara judicial review

terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif ataupun yudikatif sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 2). Pengaturan pemilihan Kepala Daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka Calon Kepala Daerah tidak selamanya harus dari partai politik atau gabungan partai politik melainkan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan yang memiliki pengaruh kepada masyarakat untuk dipilih menjadi kepala daerah dan menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik, terkadang calon independen lebih baik dari partai politik karena kedekatannya kepada masyarakat sehingga pembangunan yang berbasis kemasyarakatan dapat terlaksana dengan baik yakni gotong-royong, koperasi, serta kekeluargaan, 3) Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Calon Perseorangan adalah dengan memakai dasar hukum Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, ” Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, dengan tidak ada kecualinya ”, serta Pasal 28D Ayat (3) berbunyi , ” Setiap Warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. ”

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar : a) Kepada Masyarakat yang memiliki kemampuan serta memiliki jaringan yang baik kepada masyarakat maka tidak mutlak dapat menjadi calon dari partai politik tetapi dapat melalui jalur independen. b)Bagi partai politik jangan berkecil hati dengan adanya calon independen tetapi merupakan koreksi supaya

memperbaiki diri dalam tubuh partai itu sendiri karena kedaulatan sekarang sudah terletak kepada rakyat tidak seperti zaman Orde Baru dimana Kepala Daerah ditentukan oleh Presiden. c)Harapan ke depan bagi partai politik dan calon independen untuk bersama-sama membangun bangsa dengan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah secara jujur , adil, demokrasi, langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Kata kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi, Pemerintah Daerah, Calon Independen

i


(6)

ABSTRACT

The Supreme Court in performing the State authority by examining the laws, in this case, the law No.32/2004 regarding the regional Government resulting in the law of Republic Indonesia No.12/2008 regarding the second amendment on

the law No.32/2004 regarding the regional Government, has justified for presence

of individual or independent candidate. The DirectElection of Regional chief was a manifestation of democracy emphasizing on the freedom of electing the legal Region Chief and process of Legal Region Chief election in free competition system. To consider the background, the formulated topic of discussion is : 1. The extent to which the Supreme Court has authority in Judge authority to

examine the law ?

2. What is the regulation of Regional Chief election in the Statutes ?

3. What is the legal analysis on judgement of Supreme Court about the

independent candidate ?

The result of research indicated : 1) the authority of Supreme Court in judgement power in examination of the law after the amendment of Constitution

1945 has provided the Constitution on legal product determined by the state power

branches of legislative, executive , or judicative as long as it is not controvertial to Constitution 1945, 2) The Regulation of Regional Chief Election Following the

birth of The Law No.32/2004 regarding the Regional Goverment , the candidate of

Regional Chief would be not always from the political party or coalition of political parties , rather than to provide the independent candited with opportunity who has

influence on people to be elected as chief region and to create a better democratic

sistem, sometimes the independent candidate is better than political party because of his close relationship with the people , thus the community –based development

could be implemented appropriately, including mutual working , cooperative , and

tolerance , 3)The Legal Analysis on Decision of Supreme Court on Independent candidate would be to rely on Chapter 27 (1) of Constitution 1945 stating ,“ Every citizen has equal status in the law and goverment and under mandatory to support and promote the law and goverment,without any exception“,and also the chapter 28 D (3) stating, “Each citizen is entitled to enjoy the same opportunity in the

goverment “.

Based on the result of research , it could be then sugested that : a) The people

who have ability and better and wide network should not be made a candidate of political party , but they can be through independent path. b ) The political party

should not be depressed by existence and presence of independent candidate ,but it

should be a correction for them to improve the internal body of political party because the sovereignity has been put on people hand , unlike to New Order time in which the chief region was determined by the President, 3) It is hoped that both political party and independent candidate should develop the nation cooperatively by performing the honest , democratic, equal and transparant, general , free, and secret Election of Chief Region

Keywords : Decision of Supreme Court ,Regional Goverment Independent

Candidate

ii


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati dipanjatkan kehadiran Tuhan yang Maha

Esa atas berkat dan anugrahNya yang telah menambah keyakinan dan kekuatan

bagi penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul ”Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Tentang Calon Independent Di dalam Undang-Undang No 32. Tahun

2004 Tentang Pemerintahan Daerah.”

Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

memeperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Chairudin P.Lubis,DTM & H,SP.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,M.Sc., selaku Direktris Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan ,

sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) sekolah Passcasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof.Dr. Muhamad Yamin, SH.,MS.CN., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

iii


(8)

Utara dan Ibu Dr.T.Keizerina Devi A, SH.,CN,M.Hum selaku Sekretaris Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staff atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Mgister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof Syamsul Arifin, SH, MH, DR. Faisal Akbar SH, M.Hum, DR. Pendastaren Tarigan, S.H,MS atas kesediaannya memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

5. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi Program Studi Magister

Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan

6. Bapak Thomas Tarigan, SH,MKn, yang telah banyak membantu

memberikan ide-ide dan masukan-masukan yang sangat membantu penulis didalam penyelesaian tesis ini.

7. Saudari Rizky Aryetta, S.ST yang telah banyak membantu memberikan data-data informasi yang penulis butuhkan.

8. Seluruh staf dan manajemen IT& B Campus yang telah banyak membantu di dalam penyelesaian tesis ini

9. Seluruh rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi

iv


(9)

penulis dalam rangka penyelesaian studi Program Magister Kenotariatan (M.Kn.).

Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terimakasih kepada ibunda dan istri tercinta yang selalu mengasihi, yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan

nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis dan juga

Bapak Racmady Tanady yang juga telah saya anggap sebagai abang saya sendiri yang begitu peduli dan penuh perhatian terhadap penulis sehingga kasih sayang

mereka merupakan kesempurnaan dan motivasi buat penulis sehingga segala

hambatan-hambatan dalam penulisan ini seakan terasa ringan hingga dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu.

Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

terimakasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan serta doa kepada penulis selama

proses penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2009

Penulis,

Agus Susanto Tan

v


(10)

APBD BPD DAD DAU DPRD DPR DPR DPD KIP KPU KPUD KUBI LPJ MA MPR MPRS MK DAFTAR SINGKATAN

= Anggaran Pendapatan Belanja Daerah = Badan Permusyawaratan Daerah = Dana Alokasi Dasar

= Dana Alokasi Umum

= Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

= Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong = Dewan Perwakilan Rakyat

= Dewan Perwakilan Daerah = Komisi Independen Pemilihan = Komisi Pemilihan Umum

= Komisi Pemilihan Umum Daerah = Kamus Umum Bahasa Indonesia = Laporan Pertanggungjawaban

= Mahkamah Agung

= Majelis Permusyawaratan Rakyat

= Majelis Permusyawaratan Rakyat Semesta = Mahkamah Konstitusi

PANWASLU PARPOL PEMILU

= Panitia Pengawas Pemilihan Umum = Partai Politik

= Pemilihan Umum

PERMENDAGRI = Peraturan Menteri Dalam Negeri PILKADA PNS PPK PPS RAPERDA RFJ RUTR SIKD SKPD SM SPM UUD 1945 WNI

= Pemilihan Kepala Daerah = Pegawai Negeri Sipil

= Panitia Pemilihan Kecamatan = Panitia Pemungutan Suara = Rancangan Peraturan Daerah = Republik Federal Jerman = Rencana Umum Tata Ruangan = Sistem Imformasi Keuangan Daerah = Satuan Kerja Perangkat Daerah = Sebelum Masehi

= Standar Pelayanan Minimum = Undang-Undang Dasar 1945 = Warga Negara Indonesia

vi


(11)

Affirmative Action Akuntabilitas Publik Balances Checks Constituer Concurrent Democratische Rechts Demos Demokratisasi

DAFTAR KATA ASING

: Perkembangan Kelompok Tertentu : Pertanggungjawaban Kepada Rakyat : Keseimbangan

: Pemeriksaan : Membentuk

: Urusan Pemerintah

: Berdemokrasi sesuai dengan peraturan : Rakyat

: Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat

Dependent Variable : Mengandal perubahan

Distribution of Power : Pembagian Kekuasaan

Duabius General Agreement Groundwet Impartial Judiciari Impeachment Independensi Independent Independent Variable Indentity of Nation Interkoneksi Interdependensi Judicial Review Kratos Konstitusi Leader Legal Standing Legislatif Library Research Liberty Life Machtsstaat Monarchie

: Penafsiran Mendua

: Kesepakatan Seluruh Warga Negara : Undang-Undang Dasar

: Tidak Memihak : Proses Pemberhentian : Soal Kemandirian : Tidak berpartai : Variabel Bebas

: Keagungan Kebangsaan : Saling Berhubungan : Saling Tergantung

: Peraturan Perundang-Undangan : Pemerintahan

: Undang-undang Dasar : Pemimpin

: Bepegang kepada hukum : Pembuat undang-undang : Melalui Penelitian Kepustakaan : Kemerdekaan

: Kehidupan

: Berdasarkan Kekuasaan Belaka : Kerajaan

Nietontvankelijk Verklaard : Perkara Tidak Dapat Diterima

Procedural Democracy Procedures Property Policy- Rules Politik Re Rechtsstaat Rekapitulasi Restrukturisasi Rules

Separation Of Power

: Ketentuan dalam berdemokrasi : Aturan

: Tanah milik sendiri

: Kebijakan yang sesuai dengan aturan

: Ilmu yang membahas tentang ketatanegaraan : Kembali

: Berdasarkan Atas Hukum : Pengulangan Kembali : Menyusun kembali : Aturan

: Pemisahan Kekuasaan

vii


(12)

Social Control Social Engineering Stakeholder

Statuere

Symbol Of unity To Search Unified System Verifikasi

Verordenende Macht Yudikatif

: Sarana Pengendalian Masyarakat : Merencanakan kepada Masyarakat : Pemegang kekuasaan

: Membuat Sesuatu Agar Berdiri/ Menetapkan : Simbolik Sebagai Pemersatu

: Mencari

: Berada dalam suatu sistem

: Pemeriksaan tentang benar atau tidaknya laporan : Kekuasaan Tertentu

: Peradilan

viii


(13)

Nama Ayah Ibu Istri Anak

RIWAYAT HIDUP

: Agus Susanto Tan : Tan Peng Khim (Alm) : Rita

: Linda Tan : 1.Jason Jonathan 2.Francoise Jonathan

Tempat/Tanggal Lahir : Perbaungan /09 April 1971 Alamat

e-mail

Pendidikan

: Jl.Sutrisno Gg.F No.08 Medan-20215 North Sumatera-Indonesia

: agus_susanto@itnb.ac.id

Universitas Terbuka – Sertifikat Program Bisnis : Certificate : 1993 Fakultas Hukum – Universitas Sumatera Utara (USU) : SH : 1995 Fakultas Hukum PPS Kenotariatan – USU

Universitas Surapati – Program Manajemen Washington University - USA

: CN : MM : MBA : 2001 : 2004 : 2005 Oxford Centre For Leadership – (OXFORD-UK) : M.OXCEL : 2007 European Business School – Brussels

STM-IMNI-Program Manajemen Pemasaran

: MBA : MM

: 2007 : 2008 Oxford Centre For Leadership (OXFORD-UK)

Sekolah Pasca Sarjana Program Kenotariatan – MKn

: Fellow : 2008

Universitas Sumatera Utara : MKn : 2009

Program Doktor - Universitas Pasundan Bandung

Pengalaman kerja (Sekarang)

: DR (Cand) : Proses Penyusunan Disertasi

IT&B Campus

YAI – Wilayah Sumatera Utara Yayasan Tunas Andalan Nusa

ix

: Managing Director : Regional Director

: Ketua Badan Pelaksana Harian


(14)

Pengalaman kerja (Dahulu)

PT.Allianz Life Indonesia Analog Daily News Best Language School Smiling Entertainment

: Sales Manager : General Manager : Director

: Event Organizer “Wicaksana” Attorney & Counselor of Law : Marketing Director Dosen di berbagai Universitas

Konsultan Pendidikan Dll.

Kegiatan Organisasi (Sekarang)

Assosiasi Notaris Indonesia

Yayasan Sosial Lautan Mulia

Pakom “Wira” Poltabes MS

Pakom “Garuda” Perhubungan Kodam I/BB Perkumpulan “Tio Ciu”

Perhimpunan “INTI” – Medan Cambridge Association of Managers

Kegiatan Organisasi (Dahulu)

: Anggota Luar Biasa : Ketua Pemuda

: Sekretaris

: Kepala Departemen Hukum : Penasehat

: Certified Manager/Fellow

Yayasan Sosial Emas KMB – USU

Universitas Sumatera Utara SMU – Husni Thamrin

: Wakil Ketua : Ketua Umum : Komisaris Kelas

: OSIS / Pemimpin Kelas / Ketua Kegiatan lain di dalam dan luar USU : Pembawa Acara (MC)

Dll

x


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR SINGKATAN ... vii

DAFTAR KATA ASING ... viii

RESUME ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 16

G. Metodologi Penelitian ... 18

1. Jenis Penelitian ... 18

2. Sumber Data ... 19

3. Alat Pengumpulan Data ... 20

4. Analisa Data ... 20

xi


(16)

BAB II KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-

UNDANG ……… 21

A. Badan Kekuasaan Kehakiman ... 21

B. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 43

C. Wewenang Mahkamah Konstitusi ... 51

BAB III PENGATURAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DALAM PERUNDANG-UNDANGAN ... 60

A. Pemilihan Kepala Daerah ... .. 60

B. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung ... 73

B.1. Hubungan Kepala Daerah Dengan DPRD Pasca Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah... 80

B.2. Wewenang DPRD Dalam Pilkada Langsung UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ... 85

C. Mekanisme Tahapan Pelaksanaan Pilkada langsung ... 87

D. Calon Perseorangan Dibenarkan Ikut Dalam Pemilihan Kepala Daerah ... 89

BAB IV ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP CALON INDEPENDEN ... 93

A. Latar Belakang Gugatan ... 93

B. Putusan Mahkamah Konstitusi ... 94

C. Alasan Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Calon Independen ... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109

xii


(17)

ABSTRAK

Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara melakukan pengujian undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menghasilkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah menyatakan dibenarkan adanya calon perseorangan. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah wujud demokrasi yang menitikberatkan kebebasan memilih Kepala Daerah Hukum dan proses pemilihan Kepala Daerah Hukum dalam proses pertarungan

yang bebas. Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan

pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut di atas maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Sejauh mana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang?

2. Bagaimana pengaturan pemilihan Kepala Daerah dalam perundang-undangan?

3. Bagaimana Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon

Perseorangan?

Hasil penelitian menunjukkan 1).Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang setelah diamandemenkannya UUD 1945 telah memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji secara judicial review

terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif ataupun yudikatif sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945 2). Pengaturan pemilihan Kepala Daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka Calon Kepala Daerah tidak selamanya harus dari partai politik atau gabungan partai politik melainkan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan yang memiliki pengaruh kepada masyarakat untuk dipilih menjadi kepala daerah dan menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik, terkadang calon independen lebih baik dari partai politik karena kedekatannya kepada masyarakat sehingga pembangunan yang berbasis kemasyarakatan dapat terlaksana dengan baik yakni gotong-royong, koperasi, serta kekeluargaan, 3) Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Calon Perseorangan adalah dengan memakai dasar hukum Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi, ” Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, dengan tidak ada kecualinya ”, serta Pasal 28D Ayat (3) berbunyi , ” Setiap Warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. ”

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar : a) Kepada Masyarakat yang memiliki kemampuan serta memiliki jaringan yang baik kepada masyarakat maka tidak mutlak dapat menjadi calon dari partai politik tetapi dapat melalui jalur independen. b)Bagi partai politik jangan berkecil hati dengan adanya calon independen tetapi merupakan koreksi supaya

memperbaiki diri dalam tubuh partai itu sendiri karena kedaulatan sekarang sudah terletak kepada rakyat tidak seperti zaman Orde Baru dimana Kepala Daerah ditentukan oleh Presiden. c)Harapan ke depan bagi partai politik dan calon independen untuk bersama-sama membangun bangsa dengan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah secara jujur , adil, demokrasi, langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Kata kunci : Putusan Mahkamah Konstitusi, Pemerintah Daerah, Calon Independen

i


(18)

ABSTRACT

The Supreme Court in performing the State authority by examining the laws, in this case, the law No.32/2004 regarding the regional Government resulting in the law of Republic Indonesia No.12/2008 regarding the second amendment on

the law No.32/2004 regarding the regional Government, has justified for presence

of individual or independent candidate. The DirectElection of Regional chief was a manifestation of democracy emphasizing on the freedom of electing the legal Region Chief and process of Legal Region Chief election in free competition system. To consider the background, the formulated topic of discussion is : 1. The extent to which the Supreme Court has authority in Judge authority to

examine the law ?

2. What is the regulation of Regional Chief election in the Statutes ?

3. What is the legal analysis on judgement of Supreme Court about the

independent candidate ?

The result of research indicated : 1) the authority of Supreme Court in judgement power in examination of the law after the amendment of Constitution

1945 has provided the Constitution on legal product determined by the state power

branches of legislative, executive , or judicative as long as it is not controvertial to Constitution 1945, 2) The Regulation of Regional Chief Election Following the

birth of The Law No.32/2004 regarding the Regional Goverment , the candidate of

Regional Chief would be not always from the political party or coalition of political parties , rather than to provide the independent candited with opportunity who has

influence on people to be elected as chief region and to create a better democratic

sistem, sometimes the independent candidate is better than political party because of his close relationship with the people , thus the community –based development

could be implemented appropriately, including mutual working , cooperative , and

tolerance , 3)The Legal Analysis on Decision of Supreme Court on Independent candidate would be to rely on Chapter 27 (1) of Constitution 1945 stating ,“ Every citizen has equal status in the law and goverment and under mandatory to support and promote the law and goverment,without any exception“,and also the chapter 28 D (3) stating, “Each citizen is entitled to enjoy the same opportunity in the

goverment “.

Based on the result of research , it could be then sugested that : a) The people

who have ability and better and wide network should not be made a candidate of political party , but they can be through independent path. b ) The political party

should not be depressed by existence and presence of independent candidate ,but it

should be a correction for them to improve the internal body of political party because the sovereignity has been put on people hand , unlike to New Order time in which the chief region was determined by the President, 3) It is hoped that both political party and independent candidate should develop the nation cooperatively by performing the honest , democratic, equal and transparant, general , free, and secret Election of Chief Region

Keywords : Decision of Supreme Court ,Regional Goverment Independent

Candidate

ii


(19)

A. Latar Belakang

BAB I

PENDAHULUAN

1

Demokrasi merupakan suatu sistem untuk mengatur tata tertib masyarakat

dan juga mengadakan perubahan masyarakat, menentukan corak kebudayaan sendiri, kebebasan, berkumpul, menentukan kebebasan bergerak, menyatakan

pendapat dan tulisan, menganut agama dan kepercayaan dan keyakinan masing- masing.

Teorisasi demokrasi melahirkan dua pendekatan yang lazim digunakan apabila hendak menjelaskan konsep demokrasi, yaitu pendekatan klasik normatif

yang juga dikenal dengan pendekatan substantif dan pendekatan empiris minimalis

atau juga dikenal dengan pendekatan prosedural1. Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi; pemahaman secara normatif dan

pemahaman secara empirik. Untuk pemahaman yang terakhir ini disebut juga

sebagai Procedural Democracy2.

Pendekatan klasik normatif memahami demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan (resep bagaimana demokrasi itu seharusnya), sementara

pendekatan empiris minimalis lebih menekankan pada sistem politik yang dibangun

(deskripsi tentang apa demokrasi itu sekarang). Pendekatan klasik normatif lebih

banyak membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara substantif dan

umumnya mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah kehendak rakyat sebagai sumber alat untuk mencapai kebaikan bersama3.

1 Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Liebe Book, Yogyakarta, 2004, hal 37.

2 Afan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 3.

3 Suyatno, Op.Cit, hal 37.


(20)

2

Pada umumnya pendefinisian demokrasi diletakkan pada dasar sebuah pemerintahan dari rakyat, bukannya dari pada Aristokrat, kaum Monarki, Birokrat, para ahli ataupun para pemimpin agama, oleh rakyat dan untuk rakyat.4

Perkembangan selanjutnya demokrasi ditandai dengan lahirnya Magna

Carta (Piagam Besar) pada 15 juni 1215. Magna Carta merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja Jhon dari Inggris dimana untuk

pertama kalinya seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana

bagi keperluan perang dan sebagainya5. Magna Carta memiliki dua pesan yang berjangkauan luas; pertama, bahwa kekuasaan pemerintahan adalah terbatas; dan kedua, bahwa hak asasi manusia lebih tinggi dari kekuasaan raja6.

Rene Descartes (1596-1650) melalui ucapannya Cogito Ergo Sum (saya

berfikir maka saya ada) mengilhami lahirnya gagasan nilai-nilai kebebasan

manusia. Gagasan tersebut memberikan ruang leluasa bagi pengembangan

demokrasi. Karya-karya yang menyuarakan kebebasan pada gilirannya bertebaran

pada masa itu, semisal karya Jhon Locke (1632-1704), Charles de Secondat

Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778), yang kesemuanya memiliki tujuan tunggal yakni bagaimana membangun struktur politik yang serasional mungkin7.

John Locke melalui karyanya ”Two Treatis of Government” menyatakan

struktur politik seharusnya didasarkan pada persamaan penuh dan kebebasan

4 Ibid, hal. 33.

5 Mariam Budiarjo, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Rajawali Press, AIPI, Jakarta, 1993, hal. 54.

6 Ramdlonnaning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Krimonologi UI, Jakarta, 1983, hal. 9.

7 Ibid, hal. 18.


(21)

3

dibatasi hanya karena harus menghormati satu sama lain dalam kerangka hidup bersama dan damai. Implementasi kekuasaan dijalankan dalam lembaga yang

terpisah kewenangannya. Lembaga legislatif membuat hukum sedangkan lembaga eksekutif yang menjalankan hukum serta bertanggung jawab pada monarki dan

pemerintahannya.8

Negara memiliki kekuasaan namun dibatasi oleh hak alamiah yang dimiliki

oleh manusia sejak lahir, yaitu hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan dan hak

atas milik pribadi9

. Karya Locke sangat berpengaruh pada perkembangan politik selanjutnya. Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, atas

kebebasan dan hak untuk mempunyai hak milik (Life, Liberty, and Property)10.

Undang-Undang Dasar adalah sumber utama dari norma-norma hukum tata

negara serta mengatur bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapannya di

pusat dan di daerah, mengatur tugas-tugas alat perlengkapan itu serta hubungannya

satu sama lain.11

Undang-Undang Dasar sesuatu negara, akan diketahui bentuk dan susunan

negara itu, misalnya bahwa bentuk negara Republik Indonesia adalah ”republik”

dengan susunan ”kesatuan”, bukan susunan negara ”serikat” (federasi).12

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 menghasilkan alat-alat

perlengkapan negara yang baru seperti Dewan Perwakilan Daerah, Komisi

Yudisial, Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court).

8 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Fokus Media, hal. 43.

9 Arif Budiman, Teori Negara : Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia, Jakarta, 1996, hal. 24.

10 Mariam Budiarjo, Op.Cit., hal. 56.

11 M.Solly Lubis, Hukum Tatanegara, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 31. 12 Ibid, hal. 31


(22)

4

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru dalam struktur

kelembagaan Negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal 24C jo Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang termasuk salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani permasalahan ketatanegaraan berdasarkan otoritas Undang-Undang Dasar 1945, yang meliputi lima perkara pokok yaitu, (i) menguji konstitusionalitas undang-

undang, (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar 1945, (iii) memutus pembubaran partai politik,

(iv) memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan (v) memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas suatu

Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yakni melalui penafsiran/interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi undang-undang yang dihasilkan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara

yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara.

Dengan demikian undang-undang yang dihasilkan oleh legislatif (Dewan

Perwakilan Rakyat bersama Presiden) diimbangi oleh adanya pengujian (formal

dan materiil) dari yudisial c.q Mahkamah Konstitusi.13

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yakni Yayasan Pusat Reformasi

Pemilu, Yayasan Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia, Yayasan Jaringan Pendidikan Pemilih, Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan

Kemitraan Masyarakat Indonesia, Indonesian Corruption Watch, serta beberapa

orang Ketua Komisi Pemilihan Umum Propinsi yakni Setia Permana, Indra Abidin,

13 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 31-32.


(23)

5

Hasyim Asy ari, Wahyudi Purnomo, Suparman Marzuki, Irham Buana Nasution, Pattimura, Yassin H.Tuloli, Rozali Abdullah, Ahmad Syah Mirzan, Yulida Mirzan,

Ardiyan Saptawan, Zainawi Yazid mengajukan keberatan atas beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ketentuan pasal-pasal tersebut yang isinya adalah bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar 1945 yakni Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yakni ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

”Putusan Mahkamah Konstitusi menghasilkan beberapa hasil revisi Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada November 2008 sampai bulan Juli 2009, pilkada dilakukan paling lambat Oktober 2008. Manakala dijumpai putaran

kedua, pelaksanaannya paling lambat dilakukan Desember 2008.

Berdasarkan Pasal 59 ayat (2a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan dibenarkan adanya calon

independen yakni :

Pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :

a. Propinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen);


(24)

6

b. Propinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai

dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5%

(lima persen);

c. Propinsi dengan jumlah lebih penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai

dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya

4% (empat persen);

d. Propinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).

Sedangkan calon independen yang didukung oleh sejumlah orang dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati/wakil bupati apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :

a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa didukung sekurang-kurangnya 6,5 % (enam koma lima

persen).

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, harus didukung sekurang-kurangnya 5 % (lima persen);

c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya

4%

d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa

harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).


(25)

7

Jumlah dukungan harus tersebar di lebih 50% (lima puluh persen) jumlah

kabupaten/kota di propinsi serta di kabupaten dengan jumlah dukungan tersebar

lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan.14

Berkas dukungan dibuat dalam bentuk pernyataan dukungan yang dilampiri dengan fotocopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk;15

Verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon independen untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Propinsi

yang dibantu oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten/Kota, PPK (Panitia

Pemilihan Kecamatan), dan PPS (Panitia Pemungutan Suara), sedangkan untuk pemilihan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten/Kota yang dibantu oleh PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) dan PPS (Panitia Pemungutan Suara).16

Pilkada yang langsung adalah wujud demokrasi yang menitikberatkan kebebasan memilih Kepala Daerah Hukum dan proses pemilihan Kepala Daerah Hukum dalam proses pertarungan yang bebas maka hampir dapat dipastikan sebagai pemenangnya adalah orang yang kuat terutama sumber daya ekonominya.17

Tahun 2005 ada 192 kabupaten, 32 kota dan 14 provinsi yang melaksanakan pilkada secara langsung. Jawa Tengah misalnya ada 17

14 Pasal 59 butir (2c) dan butir (2d) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

15 Pasal 59 butir (5a) b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

16 Pasal 59 A butir (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

17 Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, Bina Media, Medan, 2008, hal. 97. Universitas Sumatera Utara


(26)

8

kabupaten/kota. Untuk pertama kalinya pilkada langsung akan dilaksanakan di

Kabupaten Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.18

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal

59 ayat (3) mengakomodasikan calon independen sekalipun hanya bersifat implisit

dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Walaupun demikian prospek calon independen tampaknya masih sangat sulit untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan calon yang berasal dari partai politik. Pengaturan dalam bentuk peraturan pemerintah akan hal ini masih sangat sulit untuk dipastikan, sekalipun

setiap partai politik berkewajiban mengakomodasi calon independen. Masalahnya

adalah apakah setiap partai politik akan legowo, serta menafsirkan kata ”wajib” mengakomodasi pada saat menerima calon independen sementara pada waktu yang

sama setiap partai politik memiliki calon masing-masing ? Jika mekanisme terhadap calon independen yang mencalonkan diri melalui kendaraan partai politik

ini tidak jelas, kemungkinan besar calon independen hanya akan menjadi asesoris demokrasi belaka.19

Penulis berharap dengan adanya pilkada yang langsung di daerah maka demokrasi yang selama ini hanya dipunyai oleh partai politik maka dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka pemimpin daerah tidak selamanya melalui jalur partai namun bisa melalui

perseorangan dengan aturan yang sudah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

18 Suwandi, I.M, Implikasi Pilkada dalam Undan-Undang 32/2004, Jakarta, 6 November

2004.

19 S.H Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal. 119-120.


(27)

9

Demikianlah hal yang diuraikan di atas dirasakan sangat penting sehingga penulis mengadakan Penelitian tentang Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang No : 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah Dengan Mengacu Kepada Undang-Undang Dasar dianggap sesuatu yang

penting untuk memberi masukan kepada Pemerintah dan para stakeholder terkait

sebagai sumbangan pemikiran untuk mensukseskan pilkada pada masa yang akan datang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut di atas maka terdapat

beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Sejauh mana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang?

2. Bagaimana pengaturan pemilihan Kepala Daerah dalam perundang-undangan? 3. Bagaimana Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang

Calon Independen ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan

kehakiman dalam pengujian Undang-Undang.

2. Untuk mengetahui pengaturan pemilihan Kepala Daerah dalam perundang- undangan.

3. Untuk menjelaskan Analisis Hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen.


(28)

D. Manfaat Penelitian

10

Dalam penelitian ini diharapkan ada 2 (dua) manfaat yang dapat dihasilkan yaitu yang bersifat teoritis dan bersifat praktis.

1. Bersifat teoritis, yakni hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang dapat memberikan

andil bagi peningkatan pengetahuan dalam disiplin Ilmu Hukum khususnya dalam bidang Mahkamah Konstitusi

2. Bersifat Praktis, yakni hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai :

a. Pedoman dan masukan atau rekomendasi kepada Pemerintah khususnya Mahkamah Konstitusi dan instansi terkait yang lainnya bertujuan untuk menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk menegakkan demokrasi. b. Sebagai informasi kepada masyarakat tentang upaya hukum yang berlaku jika terjadi sengketa terhadap Undang-Undang maka ketentuan dasar yang dipakai adalah Undang-Undang Dasar 1945.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang tersedia dan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum dan Magister

Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara penelitian ini dengan judul ”Analisis

Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen di

dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah” belum

pernah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dan dengan demikian penelitian ini adalah asli.


(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

11

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,20 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.21 Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus

atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. Konsep negara hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu ”rechtsstaat” antara lain oleh Immanuel Kant,

Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum dikembangkan dengan sebutan ”The Rule of Law”

yang diperoleh oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.22

Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah

”rechtsstaat” mencakup empat elemen penting, yaitu; 1) Perlindungan hak asasi

manusia; 2) Pembagian kekuasaan; 3) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang;

dan 4) Peradilan tata usaha negara.23

Sedang A.V. Dicey menyebutkan tiga ciri-ciri

20 J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting : M. Hisyam), (Jakarta : FE UI, 1996), hal. 203 lihat M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitan, (Bandung : Mandar Maju, 1994 ), hal. 27 menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi

intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

21 Ibid, hal. 16.

22 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 152.

23 Ibid. hal. 152.


(30)

12

penting ”The Rule of Law”, yaitu; 1) Supremacy of law; 2) Equality before the law; dan 3) Due process of law.24

Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dua isi pokok yang senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Melihat kecenderungan perkembangan negara hukum modern yang dipengaruhi oleh perkembangan kompleksitas kehidupan berbangsa dan bernegara serta kemajuan teknologi, lahir prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan negara hukum. Terdapat dua belas prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum saat ini.

Kedua belas Prinsip tersebut adalah :25

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)

Adanya pengakuan normatif dan empiris terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan norma hukum secara hirarkis yang berpuncak pada supremasi konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku pemerintahan dan masyarakat yang berdasarkan diri pada aturan hukum.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality Before the Law)

Setiap orang adalah sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Segala sikap dan tindakan diskriminatif adalah sikap dan tindakan terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara untuk mendorong mempercepat perkembangan kelompok tertentu (affirmative action).

3. Asas Legalitas (Due Process of Law)

Segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang- undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dahulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan yang dilakukan pemerintah harus

didasarkan atas aturan atau rules and procedures. Agar hal ini tidak menjadikan birokrasi terlalu kaku, maka diakui pula prinsif frijsermessen yang memungkinkan para pejabat adminisrasi negara mengembangkan dan

24 A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitusion, Tenth Edition, (London : Macmillan Education LDT, 1959).

25 Jimly Asshiddiqie, Op Cit., hal. 154-162.


(31)

13

menetapkan sendiri beleid-regels atau policy-rules yang berlaku internal dalam rangka menjalankan tugas yang diberikan oleh peraturan yang sah.

4. Pembatasan Kekuasaan.

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara

menetapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horisontal. Pembatasan kekuasaan ini adalah untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan mengembangkan mekanisme

checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan.

5. Organ-Organ Pemerintahan yang Independen.

Sebagai upaya pembatasan kekuasaan, saat ini berkembang pula adanya

pengaturan kelembagaan pemerintahan yang tanpa campur tangan pemerintah yakni bank sentral, organisasi tentara, kepolisian dan kejaksaan. Selain itu ada

pula lembaga-lembaga baru seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Pemilihan Umum, Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain- lain. Independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap penting untuk menjamin demokrasi agar tidak dapat disalahgunakan oleh pemerintah.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak.

Peradilan bebas dan tidak memihak (indepedendent and impartial judiciari)

mutlak keberadaannya dalam negara hukum. Hakim tidak boleh memihak kecuali kepada kebenaran dan keadilan, serta tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun baik oleh kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang

(ekonomi). Untuk menjamin kebenaran dan keadilan, tidak diperkenankan

adanya intervensi terhadap putusan pengadilan.

7. Peradilan Tata Usaha Negara.

Meskipun peradilan tata usaha negara adalah bagian dari peradilan secara luas yang harus bebas dan tidak memihak, namun keberadaannya perlu disebutkan

secara khusus. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi

warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi yang menjadi kompetensi peradilan tata usaha negara. Keberadaan peradilan ini menjamin

hak-hak warga negara yang dilanggar oleh keputusan-keputusan pejabat

administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Keberadaan pengadilan tata usaha negara harus diikuti dengan jaminan bahwa keputusan pengadilan tersebut ditaati oleh pejabat administrasi negara.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court).

Disamping peradilan tata usaha negara, negara hukun modern juga lazim

mengadopsi gagasan pembentukan mahkamah konstitusi sebagai upaya

memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan untuk menjamin demokrasi. Misalnya, mahkamah ini diberi fungsi melakukan

pengujian atas konstitusinasionalitas undang-undang dan memutus sengketa kewenangan antar lembaga-lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang

kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan.

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia.

Adanya perlindungan konstitusional terhadap Hak Asasi Manusia dengan

jaminan hukum bagi tuntutan penegaknya melalui proses yang adil. Terbentuknya negara dan penyelenggaraan kekuasaan negara tidak boleh mengurangi arti dan makna kebebasan dasar dan Hak Asasi Manusia.

Seandainya suatu negara Hak Asasi Manusia terabaikan atau pelanggaran Hak


(32)

14

Asasi Manusia tidak dapat diatasi secara adil, negara ini tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya.

10.Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat ).

Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjadi peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan

kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara pihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal

ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksud untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan

obsolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.

11.Berfungsi Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat).

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Cita- cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara hukum maupun gagasan negara demokrasi dimaksudkan untuk meningkatkan

kesejahteraan umum. Dalam konteks Indonesia, gagasan negara hukum yang

demokratis adalah untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

12.Transparansi dan Kontrol Sosial.

Adanya transparansi dan kontrol sosial terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum sehingga dapat memperbaiki kelemahan mekanisme

kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Partisipasi secara

langsung sangat dibutuhkan karena mekanisme perwakilan di perlemen tidak

selalu dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Ini adalah

bentuk Representation in presence.

Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Dalam sebuah negara hukum dengan sendirinya dianut

supremasi hukum. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi yang merupakan wujud kesepakatan seluruh warga negara (general agremeent). Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara

hukum dengan sendirinya menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus

merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial


(33)

15

tertinggi cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara.26

Mahkamah Konstitusi dalam kerangka hukum setelah perubahan UUD 1945 untuk memperkuat pranata demokrasi yang penyelenggaraannya untuk menegakkan

hukum dan keadilan serta kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung. Kerangka berfikir mengenai pemilihan Kepala Daerah ditentukan oleh perspektif yang digunakan untuk mengukur demokratis atau tidaknya sebuah sistem politik. Sistem politik demokratik tidak semata-mata dapat diukur dari aspek prosedural. Metode pemilihan langsung oleh banyak kalangan politisi dan

pengamat politik dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis karena

memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk memilih wakil- wakil

atau pemimpinnya.27

Demokrasi merupakan suatu ajaran yang sifatnya universal, dalam sistem

pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada di

dalam keputusan bersama rakyat. Secara umum prinsip demokrasi meliputi adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas, pers yang bebas. Pemilihan

26 Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum

Demokrasi, Yogyakarta, Kreasi Total Media, 2007, hal 27 lihat bandingkan Jimmly Asshiddiqie,

Wewenang dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Negara Hukum yang Demokratis,

Disampaikan Pada Acara Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke-53 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 12 Januari 2007, hal. 13-14 menyatakan “Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi (MK) telah muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia sebelum merdeka. Pada saat pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun ide ini ditolak oleh Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama Undang- Undang Dasar yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi Undang-Undang Dasar 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah sarjana hukum kita belum banyak memiliki pengalaman hal ini.

27 http://groups.yahoo.com/group/HMI-MPO/message/2816


(34)

16

Kepala Daerah secara langsung menjadi momentum untuk mempertegas dalam lajur pengembangan dan penumbuhan demokrasi.28

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang

konkrit, yang disebut dengan operational definition.29

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran

mendua (dua bius) dari suatu istilah yang dipakai.30

Dalam penulisan tesis ini diperlukan konsepsi yang merupakan definisi operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut :

a. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang termasuk salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani permasalahan ketatanegaraan berdasarkan otoritas Undang-Undang Dasar 1945, yang meliputi lima perkara pokok yaitu, (i) menguji konstitusionalitas undang- undang, (ii) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar 1945, (iii) memutus pembubaran partai politik, (iv) memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan (v) memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

28 http://www.hary.com/kajian.php

29 Sutan Remy Syahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.

30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya , 2005, hal. 139


(35)

17

b. Pilkada secara langsung untuk memilih kepala daerah yang lebih demokrasi sesuai dengan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan yang kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

c. Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Undang-Undang No. 5 Tahun 2007 tanggal 23 Juli 2007, maka perorangan atau independen dapat

mengajukan pasangan calon kepala daerah dengan ketentuan yang diatur dalam

undang-undang.

Calon perseorangan merupakan calon yang ikut pemilihan kepala daerah tidak melalui partai politik, gabungan partai politik melainkan keikutsertaannya melalui perorangan. Adapun kelemahan calon perseorangan adalah apabila calon perseorangan tidak memiliki kemampuan berpolitik yang baik serta tidak adanya dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik itu ditingkat I maupun ditingkat II maka akan terjadi pembuatan peraturan daerah serta pengesahan

anggaran daerah tidak akan berjalan dengan baik.

Keunggulan dari calon partai politik dan gabungan partai politik adalah terjadinya hubungan yang baik antara kepala daerah dengan partai politik yang mendukungnya, serta pembangunan daerah akan terlaksana dengan baik karena adanya dukungan dari partai politik tersebut.


(36)

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

18

Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research, yaitu yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari).31 Pada

dasarnya yang dicari itu adalah ”pengetahuan yang benar” untuk menjawab

pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu dengan menggunakan logika berfikir

yang ditempuh melalui penalaran deduktif32

dan sistematis dalam

penguraiannya.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya serta juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap

fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah metode pendekatan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Dalam hubungan ini dilakukan pengukuran dan analisis terhadap ”Analisis Hukum Terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen di dalam Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”

31 Bambang Sungono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Indonesia, Jakarta 2005, hal. 27.

32 Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Seseungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. Pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang lebih bersifat aksiomatif (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.


(37)

2. Sumber Data

19

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder untuk

mendapatkan konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual

dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek yang diteliti yang dapat berupa peraturan-perundangan dan karya ilmiah.

Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum

primer, sekunder dan tersier. a. Bahan Hukum Primer.

Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini

diantaranya adalah, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

misalnya, Rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, serta penelitian lain yang relevan dengan penulisan ini. c. Bahan Hukum Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus umum, kamus hukum,


(38)

20

ensiklopedia, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum, laporan ilmiah yang akan dianalisa dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka. Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan

hukum primer yaitu peraturan perundangan-undangan, dokumen-dokumen dan teori

yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisa Data

Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer,

sekunder dan tersier maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif, yakni

pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk dapat memberikan gambaran secara jelas atas permasalahan yang ada yang akhirnya dinyatakan dalam

bentuk deskriptif analisis.


(39)

BAB II

21

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

A. Badan Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman dan peradilan adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan harus dapat bekerja dengan baik dalam tugasnya sehingga menghasilkan putusan yang obyektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan karena badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain termasuk pemerintahan.

1. Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara yang menurut Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 melakukan kekuasaan kehakiman bersama lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang (ayat 1); susunan dan kekuasaan

badan-badan kehakiman diatur dengan Undang-Undang (ayat 2)

Berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, maka fungsi kehakiman yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara yang tertinggi yang membawahi badan peradilan lainnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dengan fungsi sebagai berikut :

a. Fungsi (pokok) mengadili meliputi : 1. Fungsi peradilan kasasi;


(40)

22

2. Fungsi peradilan untuk sengketa kewenangan mengadili dan sengketa perampasan kapal asing;

3. Fungsi Peninjauan Kembali (PK );

4. Fungsi hak menguji material (materiel toetssingrecht).33

b. Fungsi administratif meliputi : organisasi, administrasi, dan keuangan yang terdiri dari :

1) Fungsi pengawasan mencakup bidang : a. Masalah teknis peradilan;

b. Terhadap perbuatan hukum dan perilaku para hakim serta pejabat kepaniteraan;

c. Administrasi peradilan; 2) Fungsi pengaturan

c. Fungsi yang bersifat ketatanegaraan34 meliputi : 1) Fungsi penasihat (advieserende functie ); 2) Fungsi pengawasan partai politik;

3) Fungsi pengawasan pemilu (pemilihan umum); 4) Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah.

Judicial Review diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem hukum tertentu. Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan Judicial review

berarti peninjauan oleh lembaga pengadilan sehingga pada dasarnya, kedua istilah tersebut mengandung arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau. Perbedaannya adalah dalam istilah judicial review sudah secara spesifik

33 Soedirjo, Mahkamah Agung, Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya, Media Sarana ,Jakarta 1987, hal. 7.

34 Henry P. Panggabean, “Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari“, Sinar Harapan, Jakarta , 2001, hal. 149.


(41)

23

ditentukan bahwa kewenangan tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan, yaitu hakim.

1. Hak Menguji

Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji (Toetsingsrecht),35 yaitu :

a. hak menguji formal (formaleToetsingsrecht); dan b. hak menguji materil (materieleToetsingsrecht).

Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, misalnya melalui cara-cara (procedure) sebagaimana ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.36 Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal

prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya.37

Hak menguji materil adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.

2. Judicial Review

Judicial review, dapat diartikan sebagai berikut :

35 Ph. Kleitjes, sebagaimana dikutip Sri Soementri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997, hal. 28

36 Ibid, hal. 28.

37 Jimly Asshiddiqie, “Menelaah Putusan Mahkamah Agung Tentang Judicial Review atas PP No. 19 Tahun 2000 yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,”

(tanpa tempat, tanpa tahun), hal 1.


(42)

24

1. judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus kongkret di pengadilan.

2. judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah

legislative acts, executive acts, dan administrative acts bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar (tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan).

Defenisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Definisi judicial review dipakai pada negara yang menganut common law system. Istilah judicial review juga digunakan dalam membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu judicial review, merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara (separation of power).38

Sebelum diaturnya hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, pengaturan hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim dalam melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, Undang-Undang Nomor 14

38 Jimly Asshiddiqie. Op.Cit., hal. 1.


(43)

25

Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan PERMA Nomor 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil. Secara yuridis terdapat

permasalahan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu sebagai berikut :

1. Putusan Mahkamah Agung tidak boleh bertentangan dengan Peraturan

Perundang-Undangan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan . Pasal 56 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan mengatur semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya

mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.39 Hal itu berarti bahwa peraturan atau putusan Mahkamah Agung tidak boleh

bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam pasal 7 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang- Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan

39 Dalam Pasal 54 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan diatur ketentuan : ”Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini ”.


(44)

26

Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan daerah.40

Hal tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Agung untuk melaksanakan hak menguji terhadap peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang41Perbedaan tentang sifat dari kewenangan Mahkamah Agung dalam melaksanakan hak menguji yang dijelaskan berikut ini :

a. Bersifat aktif

Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan-undangan yang mengatur bahwa wewenang Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan secara bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.42

40 Lihat Pasal 7. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - Undangan

41 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/dan atau antar lembaga-lembaga Tinggi Negara telah dicabut dengan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 samapai dengan Tahun 2002 sehingga yang berlaku adalah TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan- undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan sedangkan amanat TAP MPR Nomor I/MPR/2003 yang memerintahkan pembentukan undang-undang yang mengatur tentang tata urutan peraturan perundang- undangan sehingga berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak ada mengatur tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/dan atau antar lembaga – lembaga Tinggi Negara, Pasal 26 ayat (1) Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 1 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 1999.

42 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan perundangan-undangan diatur bahwa ”Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.”


(1)

hukum dan pemerintahan, dengan tidak ada kecualinya ”, serta Pasal 28D Ayat (3) berbunyi , ” Setiap Warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. ”

B. Saran

Berdasarkan uraian dan analisis dari hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka berikut ini dapat disarankan sebagai berikut :

1. Kepada individu yang memiliki kemampuan serta memiliki jaringan yang baik di masyarakat maka tidak mutlak harus menjadi calon dari partai politik tetapi dapat melalui jalur independen

2. Bagi partai politik jangan berkecil hati dengan adanya calon independen tetapi merupakan koreksi supaya memperbaiki diri dalam tubuh partai itu sendiri karena kedaulatan sekarang sudah terletak kepada rakyat tidak seperti zaman Orde Baru dimana Kepala Daerah ditentukan oleh Presiden

3. Harapan ke depan bagi partai politik dan calon independen untuk bersama- sama membangun bangsa dengan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah secara jujur , adil, demokrasi, langsung, umum, bebas, dan rahasia.


(2)

I. Buku-Buku

DAFTAR PUSTAKA

109

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, 2005.

_______________, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2002.

Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta, Raja Grafindo, 2007.

Barent, Erick, An Introduction to Constitutional Law, Great Briain, Biddles ltd, Guildford and King Lynn, 1988.

Basuki, Nur Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Yogyakarta, Laksbang

Mediatama, 2008.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary with Pronunciation 6th

ed, United States of America, West Publishing Co., 1990.

Budiharjo, Miriam, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Rajawali Press AIPI, 1993.

____________________, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1989. Budiman, Arif, Teori Negara : Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta,

Gramedia, 1996.

Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.

Dicey, A.V, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition, Macmillan Education LDT, London, 1959

Eko, Sutoro, Menjelajahi Rimba Demokrasi, Yogyakarta, Liebe Book, 2004. Gaffar, Afan, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka


(3)

Ikhsan, Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2004.

Kansil, C.S.T., Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2002.

Kortmann, C.A.J.M, Constitutionalrecht, Kluwer, Deventer, 1960.

Latif, Abdul, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta, Kreasi Total Media, 2007.

Lubis, M. Solly, Hukum Tatanegara, Bandung, Mandar Maju, 2008

_____________, Filsafat Ilmu dan Penelitan, Bandung, Mandar Maju, 1994. ____________ , Asas-Asas Hukum Tata Negara, Bandung, Alumni, 1978.

Mahfud, Moh, MD Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2001.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005.

Mutty, Beberapa Masalah Sekitar Otonomi Desa, Jakarta, Widya Praja IIP, 1990. Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia,

Jakarta, Grafiti, 1995.

Panggabean, Henry, “Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari“, Jakarta, Sinar Harapan, 2001.

Ramdlonnaning, Cita dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta, Lembaga Krimonologi UI, 1983.

Sabine, George H., A Histiry of Political Theory, Third Edition, (New York– Chicago–San Fransisco–Toronto–London; Holt, Rinehart and Winston, 1961.

S H Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Soedirjo, Mahkamah Agung, Kedudukan, Susunan, dan Kekuasaannya, Jakarta, Media Sarana, 1987.


(4)

111

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Indonesia, 2005.

Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Yogyakarta, Liebe Book, 2004.

Suseno Franz Magnis, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia, 1991.

Syahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993.

Syahruni, Taufiqurrohman, Hukum Konstitusi Proses dan Prosedur Perubahan Undang-Undang Dasar di Indonesia 1945-2002, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004.

Syamsuddin Haris, Paradigma Baru Otonomi Daerah, Jakarta, Pusat Penelitian LIPI, 2001.

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, Ni matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003.

Yamin, Muhammad, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1952.

Yani, Ahmad, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung, Fokus Media, 2007.

Wuisman, .J.J M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Penyunting : M. Hisyam), Jakarta, FE UI, 1996.

Widjaja, H.AW. Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005.

II. Internet

http://www.bkksi.or.id/modules.php?name=News&file= article& sid= 250 http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=224 http://id.wikipedia.org/wiki/Pilkada,


(5)

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0307/23/opi02.html

112

http : //portal.mahkamah kosntitusi. go.id/websitemk/putusan/risalah-sidang- perkara% 205.puu-2007.pdf

http:// www.Tekmira.esdm.go.id/curentissues/?p=25

III. Majalah, Tesis, Disertasi, Jurnal, Artikel, dan Kamus

Asshiddiqie, Jimly, Wewenang Dan Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Negara Hukum Yang Demokratis, Disampaikan Pada Acara Orasi Ilmiah

Peringatan Dies Natalis Ke-53 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 12 Januari 2007.

Kantaprawira, Rusadi, Pengaruh Pemilihan Umum Terhadap Perilaku Politik

Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia : Dimensi Budaya Politik

dan Budaya Hukum, Disertasi, Bandung, Pascasarjana Unpad, 1992. Nasution, Faisal Akbar, Payung Hukum Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah

Secara Langsung, Makalah Diajukan dalam Dialog Menyongsong Pemilihan Gubernur Provisnsi Sumatera Utara yang diadakan oleh Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UISU, tanggal 23 Maret 2008 Ndraha, Prospek Pemerintahan Desa Pada Millenium Ketiga, Jurnal Ilmu

Pemerintahan, Jakarta, 1997.

Soemantri, Sri, Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1993

Soemantri, Sri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Bandung, Alumni, 1987.

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Edisi Kedua, Jakarta, Balai Pustaka, 1991.

IV. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen (UUD NRI 1945 ) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata kerja Lembaga


(6)

113

Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.

Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Keberatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

Surat Mendagri Nomor 120/1306/SJ tentang Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Laporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah

Keputusan Mendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah