Refleksi Dan Pengembangan Agribisnis Indonesia

Oleh : Dr. Bustanul Arifin *)

セM

REFLEKSI DAN PENGEMBANGAN
AGRIBISNIS INDONESIA
PENDAHULUAN

Ketika krisis ekonomi menimbulkan
pengangguran besar dan limpahan tenaga kerja
dari sektor perkotaan tidak mampu tertampung
Perjalanan pengembangan agribisnis
di sektor pedesaan, pertanian dan agribisnis pun
di Indonesia hampir paralel dengan sejarah
hams menanggung beban ekonomi-politik yang
pembangunan pertanian secara umum yang
tidak ririgan. Ketangguhan sektor ini yang
mengalami peri ode fase jatuh-bangun yang
sempat dibanggakan pada saat puncak krisis
.menarik untuk ditelusuri lebih dalam. Peri ode
moneter akhirnya tidak mampu bertahan lebih

jatuh bangun terse but sebenarnya am at
lama karena pembangunan pertanian dan proses
berhubungan erat dengan kebijakan ekonomi makro
transformasi ekonomi tidak dapat hanya
dan strategi pembangunan ekonomi secara umum.
disandarkan pada kenaikan harga-harga (inflasi)
Pada era 1970-an Indonesia cukup berhasil
semata. Pergerakan tenaga kerja dari pedesaan ke
membangun fondasi atau basis pertumbuhan
perkotaan - dan sebaliknya - yang berlangsung
ekonomi yang baik setelah pembangunan pertanian
cukup mulus sebelum krisis
dan sistem agribisnis
ekonomi
tidak dapat lagi
KETIKA KRISIS EKONOMI
terintegrasi cukup baik ke
terjadi tanpa biaya sosial
dalam kebijakan ekonomi
MENIMBULKAN PENGANGGURAN yang cukup tinggi. Sektor

makro.
BESAR DAN UMPAHAN TENAGA
pendukung industri danjasa
Hasil besar yang
KERJA DARI SEKTOR PERKOTAAN yang selama itu mampu
secara
nyata
yang
mengimbangi naiknya
TIDAK MAMPU TERTAMPUNG DI
dirasakan langsung oleh
permintaan aggregat karena
SEKTOR PEDESAAN, PERTANIAN
masyarakat banyak adalah
pertumbuhan penduduk kini
terpenuhinya kebutuhan
DAN AGRIBISNIS PUN HARUS
pun belum pulih karena
pangan secara mandiri
MENANGGUNG BEBAN EKONOMI- rendahnya investasi dan

(swasembada)
pada
aktivitas produksi yang
POUTIK YANG TIDAK RINGAN.
pertengahan 1980 an.
mampu
memperluas
KETANGGUHAN SEKTOR INI YANG kesempatan kerja.
Ekonomi nasional tumbuh
cukup tinggi, bahkan lebih
SEMPAT DIBANGGAKAN PADA SAAT
Melakukan pengemdari 7 persen per tahun,
PUNCAK KRISIS MONETER
bangan - at au tepatnya
karena kuatnya basis
upaya
rekonstruksi
AKHIRNYA TIDAK MAMPU
pertanian dan sumber daya
agribisnis - tidak dapat

BERTAHAN LEBIH LAMA KARENA dilakukan secara parsial
alamo Kesempatan kerja
meningkat pesat dan
PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN. mengingat agribisnis adalah
kemampuan sektor-sektor
PROSES TRANSFORMASI EKONOMI suatu rangkaian sistem
ekonomi dalam menyerap
usaha berbasis pertanian
pertumbuhan tenaga kerja TIDAK DAPAT HANYA DISANDARKAN
dan sumberdaya lain, dari
barn juga amat besar. Akan
PADA KENAIKAN HARGA-HARGA
hulu sampai hilir. Agribisnis
tetapi, kondisi kondusif
(INFLASI) SEMATA.
mencakup
sub-sistem
terse but harus berakhir
sarana produksi atau bahan
secara tragis ketika pada akhir 1980-an dan awal

baku di hulu, proses produksi biologis di tingkat bisnis
1990-an ekonomi pertanian dan agribisnis juga harns
atau usahatani, aktivitas transformasi berbagai
menderita cukup serius. Sektor pertanian mengalami
fungsi bentuk (pengolahan), waktu (penyimpanan
fase dekonstruktif dan tumbuh cukup rendah sekitar
atau pengawetan), dan tempat (pergudangan) di
3 persen karena proteksi besar-besaran pada sektor
tengah, serta pemasaran dan perdagangan di hilir,
industri, apalagi berlangsung melalui konglomerasi
dan subsistem pendukung lain seperti jasa,
yang merapuhkan sistem agribisnis serta fondasi
permodalan, perbankan, dan sebagainya. Memilahekonomi Indonesia umumnya .
•) Peneliti Senior INDEF

A6RIMEIJ.IA

Volume 9, No.1 - Maret 2004

4


ml'1ah suatu slstem
agn'b'Isms
.
. daIam satuan yang\
terpisah hanya akan menimbulkan gangguan serius
dalam seluruh rangkaian yang ada, dan bahkan dapat
menciptakan permasalahan tingkat berikutnya yang
lebih dahsyat.
Agribisnis memang mengedepankan suatu
sistem budaya, organisasi dan manajemen yang
amat rasional, dirancang untuk memperoleh nilai
tam bah (komersial) yang dapat disebar dan
dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara fair,
dari petani produsen, pedagang dan konsumen dari
segenap lapisan masyarakat. Membangun
agribisnis di tingkat mikro tentu saja amat
berhubungan dengan peningkatan kapasitas
(capacity building) petani dan pelaku usahatani
sebagai aktor terpenting dalam agribisnis. Namun,

membiarkan para petani dan pelaku agribisnis
terjerumus dalam kancah perdagangan intemasional
yang makin tidak simetris ini tentu saja dapat
melenyapkan seluruh upaya yang dilakukan secara
susah payah di tingkat mikro terse but.
Tulisan ini menganalisis perjalanan
pengembangan agribisnis sebagai referensi
berharga bagi upaya rekonstruksi sistem agribisnis
dan pembangunan pertanian secara umum. Upaya
terse but amat rei evan dalam perspektif
merealisasikan wac ana terpenting pasca krisis
ekonomi, bahwa Indonesia harns lebih serius dalam
membangun basis sumberdaya alam dan potensi
ekonomi domestik dengan langkah investasi yang
menguntungkan. Struktur tulisan ini diawali oleh
analisis terhadap kondisi perjalanan sistem agribisnis
dan menelusuri fenomena di balikjatuh-bangunnya
dan sektor pertanian Indonesia. Pembagian analisis
ke dalam beberapa fase terse but diharapkan· dapat
membedah lebih dalam karakter sekian macam

kebijakan dan kondisi pembangunan ekonomi politik
di Indonesia. Kemudian, pelajaran berharga dari
masing-masing fase dapat digunakan untuk
mengurai langkah yang diperlukan ke depan,
sekaligus menjawab tantangan pengembangan
agribisnis Indonesia di masa mendatang.

FASE PERJALANAN AGRIBISNIS
INDONESIA

Secara umum dalam periode modern
pembangunan pertanian Indonesia, catatan
pertumbuhan yang tercatat pun tidak terlalu buruk.
Sektor pertanian tumbuh sekitar 3.73 persen rata-

L . -_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _- - - -

rata per tahun pada periode 1960-2001, suatu angka
pertumbuhan yang tidak terlalu rendah, walaupun
secara detail tidak mampu menjelaskan fase jatuhbangun yang lebih menarik untuk ditelusuri. Peran

subsektor pangan dan tanaman perkebunan cukup
dominan dalam struktur pertumbuhan sektor
pertanian tersebut. Demikian pula subsektor
petemakan dan perikanan, juga berkontrubusi amat
penting dalam pembangunan fondasi agribisnis di
Indonesia.
Dekomposisi terhadap fase pertumbuhan
dialakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih
obyektif tentang prioritas kebijakan pembangunan
ekonomi Indonesia untuk periode yang dimaksud.
Periode sebelum 1967 atau selama Orde Lama
rezim Presiden Soekamo tidak terlalaubanyak yang
dapat dicatat karena dukungan data dan informasi
pun tidak cukup baik untuk melakukan analisis
mendalam menurut standar ekonomi kuantitatif. Hal
paling penting yang layak dicatat adalah munculnya
kebijakan bidang pangan Bimbingan Massal
(BIMAS) dan Intensifikasi Massal (INMAS) yang
dipelopori mahasiswa dan dosen Institut Pertanian
Bogor (IPB), yang sebenamya amat kompatibel

dengan munculnya Revolusi Hijau di hampir seluruh
belahan bumi. Dari sinilah, basis modemisasi sektor
pertanian dan lonjakan perubahan teknologi
pertanian serta kelembagaan ekonomi tingkat petani
sampai konsumen berkembang sangat pesat.
Fase konsolidasi peletakan fondasi
pertumbuhan itu berlangsung selama periQde awal
masa rezim Orde Baru Presiden Soeharto (19671978). Pemilihan tahun 1978 itu karena merupakan
tonggak pertama kali Indonesia melakukan
devaluasi Rupiah untuk menstimulasi ekspor nonmigas, terutama dari sektor pertanian. Fase 19781986 dikenal dengan pertumbuhan pertanian tinggi,
yang diakhirnya ditandai oleh pencapaian tingkat
swasembada beras. Pada tahun 1986 pemerintah
melakukan deregulasi perundangan dengan
mendorong liberalisasi perdagangan dan sektor
keuangan. Setelah itulah (1986-1997), sektor
pertanian mengalami fase dekonstruksi yang amat
memprihatinkan karena proteksi besar besaran
terhadap sektor industri, serta proses konglomerasi
yang terjadi di mana-mana telah memperlambat laju
pertumbuhan sektor pertanian. Fase krisis ekonomi

(1997 -2001) adalah konsekuensi logis dari
memburuknya sektor pertanian sejak periode
sebelumnya. Terakhir, adalah kondisi terkini sektor
;tfllUMA"'IJIA

Volume 9, No.1 - Maret2004

5

\':-------agribisnis dan pertanian secara umum yang mengalami fase transisi politik dan desentralisasi yang masih amat
sukar terbaca secara baik oleh sebagian besar masyarakat. Ikhtisar dekomposisi pertumbuhan, dan kinerja
produktivitas pertanian itu dapat dilihat pada Tabel 1.
Basis data yang digunakan dalam upaya dekomposisi ini adalah Produk Domestik Bruto (PDB) sektor
pertanian dengan harga konstan 1993 yang dipublikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS). PDB sektor pertanian
ini diaggregasi dari lima subsektor penting: tanaman pangan - termasuk hortikultura - perkebunan, peternakan,
dan perikanan. Sub-sektor kehutanan dikeluarkan dari perhitungan dalam tulisan ini, karena lebih banyak melibatkan
perusahaan besar, pemegang konsesi hutan. Komponen penting lagi yang perlu dianalisis di sini adalah kinerja
produksi, yang dihimpun dari FAOSTAT yang dikeluarkan oleh Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO).
Produktivitas lahan dihitung dengan cara membandingkan tingkat produksi dengan luas lahan (arable land),
sedangkan produktivitas tenaga kerja adalah dihitung dengan membandingkan produksi dengan jumlah tenaga
kerja. Ukuran laju pertumbuhan menggunakan formula eksponensial biasa, yang dilakukan per periode fase
pertumbuhan.
Tabel 1. Dekomposisi Perjalanan Pembangunan Pertanian (persen per tahun)
Uraian

1. PDB Pertanian
(2) Tanaman pangan
(2) Tanaman perkebunan
. (2) Peternakan
(2)Perikanan
2. Produksi Pertanian
(2) Produktivitas lahan
(2) Produktivitas ten.kerja

Konsolidasi
1967-78

Thmbuh tinggi
1978-86

Dekonstruksi
1986-97

Krisis ekonomi
1997-01

3.39
3.58
4.53
2.02
3.44
3.57
2.08
2.32

5.72
4.95
5.85
6.99
5.15
6.76
4.13
5.57

3.38
1.90
6.23
5.78
5.36
3.99
1.83
2.03

1.57
1.62
1.29
-1.92
5.45
-0.47
-1.45
-0.47

Sumber: Dihitung dari data BPS and FAO
Penjelasan singkat masing-masing fase
penting dalam perjalanan agribisnis dan
pembangunan pertanian secara umum dapat
diuraikan sebagai berikut:

FASE KONSOLIDASI: 1967 -1978
Pada fase kondolidasi 1967-1978 ini, sektor
pertanian tumubuh sekitar 3.39 persen, lebih banyak
disebabkan kinerja subsektor tanaman pangan dan
perkebunan yang tumbuh 3.58 dan 4.53 persen
masing-masing. Produksi beras sendiri pada tahun
1970an mencapai lebih 2 juta ton, dan produktivitas
telah mencapai 2.5' ton per hektar, atau sekitar dua
kali lipat kinerja tahun 1963. Tiga kebijakan penting
yang perlu dicatat adalah (1) intensifikasi, (2)
ekstensikasi, dan (3) diversifikasi yang secara
spektakuler didukung oleh mampu meningkatkan
produksi dan produktivitas sektor pertanian. Dalam
konteks usahatani, intensifikasi sering pula
diterjemahkan penggunaan teknologi biologi dan
kimia (pupuk, benih unggul, pestida dan hebisida)

dan teknologi mekanis (traktorisasi dan kombinasi
manajemen air irigasi dan drainase). Ekstensifikasi
adalah perluasan area yang mengkonversi hutan
tidak produktif menjadi areal persawahan dan
pertanian
lain.
Diversifikasi
adalah
penganekaragaman usaha agribisnis untuk
menambah pendapatan rumah tangga petani,
sampai pada usahatani terpadu peternakan dan
perikanan yang telah menjadi andalan masyarakat
pedesaan umumnya.
Fase ini sebenarnya amat penting untuk
meletakkan fondasi yang kokoh untuk mencapai
fase pertumbuhan tinggl yang terjadi pada periode
1978-1986 berikutnya. Perhatian besar yang
ditunjukkan pemerintah untuk menggenjot
pembangunan infrastruktur vital seperti sarana
irigasi,jalan dan industri pendukung seperti semen,
pupuk dan lain-lain. Berbagai pembenahan institusi
ekonomi juga amat mewarnai integrasi kebijakan
agribisnis ke dalam strategi ekonomi makro secara
umum. Peranan kredit pertanian - walaupun
bersubsidi - keterjangkauan akses finansial sampai
tingkat pelosok pedesaan adalah reformasi
,t6IUMb'DIA

Volume 9, No, 1 - Maret 2004

6

spektakuler bidang ekonomi yang tidak tertandingi
di negara berkembang manapun.

FASE TUMBUH TINGGI: 1978 - 1986

FASE DEKONSTRUKSI: 1986 - 1997

Pada periode 1986 - 1997 sektor pertanian
Periode 1978 - 1986 adalah fase yang
memang mengalami kontraksi tingkat pertumbuhan
penting bagi pengembangan agribisnis di Indonesia
di bawah 3.4 persen pertahun, amat kontras dengan
karena bertabur kisah sukses yang spektakuler.
periode sebelumnya. Pada peri ode 1986-1997 ini
Sektor pertanian tumbuh lebih dari 5.7 persen,
sering dinamakan fase dekonstruksi karena sektor
karena strategi pembangunan ekonomi memang
pertanian mengalami fase
berbasis
pertanian.
PERIODE 1978 - 1986 ADAlAH
pengaeuhan セァョッイ。」・I@
Peningkatan
produksi
oleh para perumus
pangan,
perkebunan,
FASE YANG PENTING BAGI
kebijakan dan bahkan oleh
perikanan dan petemakan
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI
para ekonom sendiri.
hampir semuanya tumbuh
INDONESIA KARENA BERTABUR·
tinggi dan bahkan meneatat
Anggapan keberhasilan
KISAH SUKSES YANG
swasembada pangan
angka
pertumbuhan
produksi 6.8 persen.
telah
menimbulkan per-.
SPEKTAKUlER. SEKTOR
sepsi bahwa pembangunRevolusi Hijau telah eukup
PERTANIAN TUMBUH LEBIH DARI
an agribisnis akan bergulir
berjasa
meningkatkan
5.7
PERSEN,
KARENA
STRATEGI
sendirinya (taken for
produktivitas pangan sampai
granted) dan melupakan
5.6 persen dan akhimya PEMBANGUNAN EKONOMI MEMANG
prasyarat pemihakan dan
meneapai puneaknya pada
BERBASIS PERTANIAN.
keras. yang terjadi
peneapaian swasembada
PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN, kerja
pangan yang mengantar
pada peri ode-peri ode
PERKEBUNAN, PERIKANAN DAN
Presiden Soeharto ke meja
sebelumnya. Indikas} fase
buruk sektor pertanian
kehormatan FAO di Roma.
PETERNAKAN HAMPIR SEMUANYA
sebenamya telah muneul
Pertumbuhan produktivitas
TUMBUH TINGGI DAN BAHKAN
pada awal 1990an ketika
tenaga kerja pun eukup
MENCATAT ANGKA PERTUMBUHAN
kebijakan teknokratik
ampuh untuk mengentaskan
PRODUKSI 6.8 PERSEN. REVOlUSI
masyarakat Indonesia dari
pembangunan ekonomi
kemiskinan.
mengarah
pada strategi
HIJAU TELAH CUKUP BERJASA
industrialisasi footloose
Hal lebih penting
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS
seeara besar-besaran.
lagi adalah bahwa revolusi
PANGAN SAMPAI 5.6 PERSEN DAN
Sejak pertengahteknologi pangan pada saat
an 1980-an itu berbagai
itu juga menjadi salah satu
AKHIRNYA MENCAPAI PUNCAKNYA
indikasi tingkat pemerataan
komponen
proteksi untuk
PADA PENCAPAIAN SWASEMBADA
di tingkat pedesaan (bahkan
sektor industri diberikan,
PANGAN YANG MENGANTAR
perkotaan). Daerah proyang membawa dampak
PRESIDEN
SOEHARTO
KE
MEJA
pada kinerja sektor indusduksi padi seakan amat
tri dan manufaktur yang
indentik dengan kesejahteKEHORMATAN FAO DI ROMA.
raan pedesaan, seperti yang
tumbuh pesat di atas dua
PERTUMBUHAN PRODUKTIVITAS
dialami daerah Pantai Utara
digit. Hampir semua merasa bangga bahwa proJawa dan sebagian besar TENAGA KERJA PUN CUKUP AMPUH
UNTUK MENGENTASKAN
Jawa, Lampung, Solok di
ses transflflllasi struktur
Sumatra Barat, Maros di
perekonomian telah memMASYARAKAT INDONESIA DARI
Sulawsesi dan sebagainya.
bawa hasil, maksudnya
KEMISKINAN.
Namun demikian, kritik pun
Indonesia telah bertransbermuneulan karena menjadikan ketergantungan
formasi dari negara agraris menjadi negara industri.
petani keeil dan buruh tani kepada para tuan tanah
Mungkin saja, proteksi yang diberika kepada sektor
atau pada skala yang lebih luas, ketergantungan
industri - tepatnya kepada beberapa pelaku tertentu
negara berkembang pada negara maju karena benih
saja - tidak disadari penuh oleh para perumus
bersertifikat dengan kualitas tinggi berasal dari
kebijakan waktu itu bahwa tindakan demikian amat
perusahaan
tidak merugikan sektor pertanian.
A.6Il1MEDIII

Volume 9, No.1 - Maret 2004

7

、ゥウエッイ[|lNMセᆳ

Kebijakan agribisnis pun terkesan amat
karena dampak yang ditimbulkan justru meresahkan
pada periode 1998-2000 sektor pertanian sempat
masyarakat. Generalisasi beberapa studi empiris
menjadi penyelamat ekonomi Indonesia, itu pun
yang menyimpulkan bahwa rantai tantaniaga
karena limpahan lonjakan nilai tukar dollar AS yang
dinikmati komoditas ekspor sektor pertanian
komoditas agribisnis terlalu panjang - sehingga
harus diperpendek - telah menjadi salah satu
terutama perkebunan dan perikanan. Namun,
penyebab ambruknya tingkat kesejahteraan petani
ketika basis utama untuk membangun kualitas
.
pertumbuhan sektor
dan
melencengnya
DALAM DUA TAHUN TERAKHIR, SEKTOR
pembangunan agribisnis di
pertanian dilupakan begitu
Indonesia.
Efisiensi
PERTANIAN (DAN PETANI) TERUS
saja, sektor pertanian
pemasaran tidak hanya
hanya tumbuh sekitar 1-2
MENERUS TERPOJOK DAN
ditentukan dari panjang atau
persen.
Tingkat pertumTERPINGGIRKAN. TIDAK PERlU OISEBUT
pendeknya rantai tataniaga,
buhan sebesar itu tentu
LAGI, BETAPA PADA MUSIM KEMARAU
tetapi ditentukan oleh tingkat
saja
tidak mampu
PETANI HARUS MENDERITA PALING
menciptakan lapangan
balas jasa yang fair sesuai
PARAH KARENA INFRASTRUKTUR
dengan
jasa
yang
kerja, apalagi jika harus
dikeluarkan oleh sekian
menyerap pertumbuhan
PENTING SEPERTI BEN DUNGAN DAN
pelaku pemasaran yang
tenaga
kerj a baru,
SAlURAN IRRIGASI LALAI DIURUS, BAlK
terlibat. Artinya, solusi
terutama di pedesaan.
OlEH PEMERINTAH PUSAT MAUPUN OlEH
kebijakan untuk memangkas
Akibatnya, dalam
PEMERINTAH DAERAH. KUALITAS JAlAN
rantai tataniaga dan
dua tahun terakhir, sektor
mendirikan suatu lembaga RUSAK PARAH DAN MENGGANGGU SISTEM
pertanian (dan petani)
pemasaran baru - walau
terus men-erus terpojok
OISTRIBUSI KOMODITAS STRATE GIS ,
sering mengatasnamakan
dan terpinggirkan. Tidak
SEHINGGA MENINGKATKAN BIAYA
koperasi dan pembela
perlu
disebut lagi, betapa
TRANSPORTASI SECARA SIGNIFIKAN.
kesejahteraan petani pad a musim kemarau
harnslah diaplikasikan secara spesifik dan hati-hati.
petani harus menderita paling parah karen a
Apalagi, karakter perburuan rente (rent-seeking)
infrastruktur penting seperti bendungan dan saluran
dari pelaku ekonomi dan birokrasi yang amat
irrigasi lalai diurus, baik oleh pemerintah pusat
sentralistis tidak begitu saja mampu membawa visi
maupun oleh pemerintah daerah. Kualitas jalan
kesejahteraan seperti diamanatkan oleh suatu tujuan
rusak parah dan meilgganggu sistem distribusi
kebijakan.
komoditas strategis, sehingga meningkatkan biaya
Dampak paling buruk dari proses
transportasi secara signifikan. Dampak berikutnya
industrialisasi yang ditempuh dengan proses
adalah harga jual di tingkat konst1II1en melambung
konglomerasi tersebut, adalah tidak meratanya
tinggi dan harga di tingkat petani produsen nyaris
pembangunan antara pedesaan dan di perkotaan,
tidak berubah, sehingga tidak cukup menjadi insentif
bahkan antara Jawa dan Luar Jawa secara umum.
bagi petani untuk meningkatkan produksi dan
Semua orang tahu, bahwa antiklimaks dari proses
produktivitasnya. Dalam bahasa ekonomi,
pembangunan yang amat timpang terse but ikut
elastisitas transmisi harga dari konsumen ke
berkontribusi pada krisis ekonomi Indonesia, yang
produsen sangat kecil sehingga petanilah yang harns
sebenamya secara teknis hanya dipicu oleh krisis
menanggung perbedaan harga di tingkat konsumen
nilai tukar dan krisis perbankan (moneter).
dan tingkat produsen tersebut.
Fakta dan data sampai saat ini masih tidak
Indonesia tidak berhasil melokalisir krisis moneter
tersebut karena berdampak luas pada sendi-sendi
terlalu berubah drastis bahwa sektor pertanian
masih merupakan basis ekonomi rakyat di pedesaan,
perekonomian dan sistem politik yang sedang
atau masih merupakan tumpuan harapan bagi
menjadi bentuk danjati-dirinya.
hampir 80 persen pendudukIndonesia. Walaupun .
FASE KRISIS: 1997-2001
pangsa terhadap perekonomian PDB te1ah menurun
menjadi sekitar 16 persen saja, sektor pertanian
Ketika sektor pertanian harus menanggung
masih mampu menyerap sekitar 50 persen tenaga
dampak krisis ekonomi untuk menyerap limpahan
kerja, terutama di pedesaan. Dengan kata lain,
tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, daya
Indonesia masih memerlukan sektor pertanhm
tahan sektor pertanian tidak cukup kuat. Benar,
sebagai basis pembangunan ekonomi sampai sekian
A6RIMI':D.M

Volume 9, No.1 - Maret 2004

8

tahun ke depan. Sektor pertanian saat j e l a S \ ' - - - - - - - - - - - - - - - - - - Masyarakat lebih sering menjadi obyek
memerlukan langkah langkah nyata untuk
pembangunan, bukan menjadi subyek yang
merangsang investasi, meningkatkan nilai tambah
memperoleh ruang yang seimbang dalam
dan mencari pasar-pasar baru di dalam negeri dan
menunjukkan kiprahnya membangun sistem
luar negeri. Keseriusan upaya merangsang
ekonomi daerah. Demikian pula, selama dua tahun
pertumbuhan tinggi di sektor pertanian adalah suatu
perjalanan otonomi daerah, pejabat, politisi dan para
keharusan apabila pengembangan sistem agribisnis
elit pelaku ekonomi di pusat terus saja melemparkan
berkerakyatan yang lebih modern, mengikuti irama
berita-berita miring tentang ketidak-siapan para
desentralisasi dan responsif terhadap perubahan
pelaku dan perangkat institusi di daerah. Apabila
global memang akan dijadikan prioritas. Namun
terdapat dialog antara pusat dan daerah (dalam arti
perubahan kebijakan desentralisasi ekonomi dan
sebenarnya, bukan sekedar basa-basi) hal itu pun
oton{)mi daerah yang seharusnya membawa
tidak lebih dari sekedar tindakan ad-hoc
kesejahteraan pada masyarakat, ternyata hanya
penyelesaian masalah sesaat alias "pemadaman
menimbulkan euphoria politik berupa perubahan
kebakaran" di tingkat permukaan tanpa menyentuh
kewenangan pada sekolompok keeil elit di daerah.
esensi akar masalah yang sebenarnya.
Akibatnya adalah terlalu banyak
FASE TRANSISI DAN DESENTRALISASI:
penyimpangan administratif (baea: korupsi) yang
2001 - SEKARANG
terjadi di daerah dan terakselerasi pada masa
Fase transisi politik dan periode desentralisasi
transisi pelaksanaan otonomi daerah selama tiga
tahun terakhir. Walaupun sampai saat ini hanya
ekonomi saat ini memang tidak terlalu jelas bagi
sedikit studi makro-kolektif yang mampu
segenap pelaku agribisnis di Indonesia. Paket
kebijakan desentralisasi ekonomi (dan politik) yang
mengkuantifikasi dampak ekonomis dari
pelaksanaan otonomi daerah terhadap kinerja
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22/1999
agribisnis Indoensia bahkan kinerja ekonorni seeara
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 251
nasional, beberapa studi-studi independen hampir
1999 ten tang Perimbangan Keuangan Pusat
. seluruhnya mengkonfrrmasi beban-beban tambahan
Daerah masih menjadi taka-teki besar bagi
yang harus ditanggung oleh sistem perekonomian
agribisnis .Indonesia. Ketika ォ・キョセァ。@
telah
menjadi demikian besar,
karena bertambahnya
ketika masyarakat madani KOMPLAIN TENTANG MUNCUlNYA RIBUAN
kewenangan
dan
di daerah masih meneari
kekuasaan absolut di
PERATURANDAERAHBARU-BUKAN
bentuk untuk lebih SEKEDAR RATUSAN - SEJAK BERlAKUNYA
daerah. Pada kesempatan
berperan dalam seluruh
lain, penulis pernah
OTONOMIDAERAHADALAHSAlAHSATU
tatanan
kehidupan
merangkum beberapa
CONTOH SAJA DARI SEKIAN BANYAK
ekonomi dan politik, dan
karakter regresif karena
KEPUTUSAN KOlUTIF YANG BERDAMPAK
ketika sistem kontrol belum
otonomi daerah: seperti
terbangun seeara baik,
menurunnya
angka
REGRESIF BAGI KINERJA
kewenangan tidak jarang
realisasi investasi di
PEREKONOMIAN. MASYARAKAT lEBIH
menjelma
menjadi
daerah, dampak inflatoir
SERING MENJADI OBYEK PEMBANGUNAN,
kekuasaan. Kekuasaan
dari sekian maeam pajak
BUKAN
MENJADI
SUBYEK
YANG
yang demikian, walaupun
danretribusibaru,tingginya
MEMPEROlEH RUANG YANG SEIMBANG
sering diperhalus dalam
biaya
tak
terduga
DALAM MENUNJUKKAN KIPRAHNYA
format kekuasaan kolektif
(unpredictable costs)
antara lembaga eksekutif MEMBANGUN SISTEM EKONOMI DAERAH.
yang harus ditanggung
dan legislatifplus segelintir
dunia
usaha,
serta
elit pelaku ekonomi dan tokoh masyarakat di daerah,
meningkatknya risiko usaha karena tingkat
kekuasaan kolutiftersebut terkadang menjadi amat
ketidakpastian hukum yangjuga meningkat (Arifin,
powerful.
2002).
Komplain tentang muneulnya ribuan
Studi yang dilakukan Lembaga
peraturan daerah baru-bukan sekedar ratusan Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat - Fakultas
sejak berlakunya otonomi daerah adalah salah satu
Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI)
eontoh saja dari sekian banyak keputusan kolutif
terhadap hampir 1800 responden perusahaan di 60
yang berdampak regresifbagi kinerja perekonornian.
kabupaten/kota memperkuat keeenderungan
;lORIMEDl;l

Volume g, No.1 - Marel2004

9

regresif di atas.

Sebanyak 79 persen

、。イセlMᆳ

atau aplikasi strategi pengembangan ekonomi lokal
responden hams mengeluarkan biaya tambahan
menjadi begitu krusial dalam konteks desentralisasi
dalam berhubungan dengan birokrasi pemerintahan,
ekonomi dan otonomi daerah seperti sekarang.
yang besamya bervariasi antara sekitar 10 persen
Setiap daerah otonom perlu menjadi motivator dan
lebih tinggi di Jawa dan lebih dari 11 persen biaya
fasilitator - minimal dalam pertukaran informasi
tambahan di Luar Jawa. Hal yang eukup memilukan
mengenai berkah sumberdaya (resource
adalah bahwa usaha keeil menengah (UKM) hams
endowments): lahan, tenaga kerja, sUlnber
mengeluarkan biaya tambahan sebesar 11 persen
permodalan dan teknologi - dalam bentuk
dari total biaya produksi, sedangkan usaha besar
penyediaan basis data dan
hanya mengeluarkan biaya
informasi
dalam
tambahan 8 persen (Lihat APABllA PlliHAN DAN KESEMPATAN
menggalang kerjasama
Arifin, 2002). Semua ini
TERSEDIA, PETANI PRODUSEN
antar daerah serta dalam
memang
menjadikan
PASTI AKAN lEBIH lElUASA
fungsi koordinasi yang
tantangan varian bam dan
MElAKUKAN DIVERSIFIKASI
dijalankan
oleh propinsi.
perlu
lebih
serius
USAHA.
INllAH
PERSPEKTIF
MIKRO
Para elit di tingkat propinsi
dipeeahkan
oleh
I(ElAYAKAN
USAHA
YANG
TERUSsebagai
perwakilan
masyakarat agribisnis,
MENERUS
HARUS
DIBANGUN
DAN
pemerintah pusat perlu
terutama
pemerintah
menjadi koordinator yang
DIBERDAYAKAN. SEDANGKAN
daerah dan pemerintah
lebih berwibawa untuk
pusat sendiri.
DAlAM PERSPEKTIF MAKRO,
merumuskan
dan
Pengembangan
NEGARA (DAN DAERAH) WAJIB
menjalankan orkestra
agribisnis dalam fase
UNTUK MENYEDIAKAN ATAU
pengembangan ekonomi
desentralisasi ekonomi dan
MEMFASILITASI "lAPANGAN"
daerah, harus membawa
pembangunan ekonomi
DIVERSIFIKASI
USAHA
TERSEBUT·
misi kepentingan nasional,
regional
harus
DENGAN
SERANGKAIAN·
KEBIJAKAN
keutuhan bangsa dan
diterjemahkan menjadi
YANG
AFIRMATIF
YANG
TEPAT
kemajemukan
peningkatan
basis
SASARAN.
perkembangan ekonomi.
kemandirian daerah yang
seeara teoritis dan empiris
mampu mengalirkan dan bahkan meneiptakan
dampak ganda aktivitas ekonomi lain di daerah.
Otonomi daerah perlu diterjemahkan sebagai suatu
kewenangan di daerah untuk lebih leluasa
melakukan kombinasi strategi pemanfaatan suatu
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif
yang ada di suatu daerah otonom, khususnya dalam
kerangka pengembangan agribisnis. Kata kunei
"kombinasi" kedua strategi di atas memang tidak
mudah dilaksanakan, bukan karena nuansa "tradeoff" diantara keduanya, tetapi lebih banyak karena
keterbatasan sumberdana dan kemampuan, prioritas
strategi pembangunan memang hams dipilih.
Untuk itu, para elit daerah perlu lebih
sungguh-sungguh untk menentukan arah kebijakan
ekonomi regional di daerah, apalagi sebagian besar
dari reneana strategis pembangunan daerah adalah
berbasis agribisnis dan sumberdaya lain. Pemilihan

CATATAN PENUTUP: TANTANGAN
KE DEPAN
Tantangan terbesar pengembangan
agribisnis Indonesia saat ini adalah upaya
rekonstruksi peran agribisnis seeara lebih utuh dan
terintegrasi ke dalam pembangunan ekonomi makro
seeara nasional. Rekonstruksi agribinis ini
sebenamya dapat diukur dengan seberapa besar
tingkat diversifikasi usaha ke arah penerimaan
ekonomis yang lebih baik (upward diversification).
Pergeseran komoditas agribisnis dari bahan pangan
berbasis padi ke komoditas non-padi seperti
hortikultura, buah-buahan, tanaman keras dan lainlain adalah salah satu bukti tingkat kelayakan usaha
ekonomis yang lebih tinggi dari komoditas non-padi
tersebut. Namun demikian, langkah diversifikasi
usaha ini pun tidak akan dapat berjalan mulus apabila
A6BIMEDIA

Volume 9. No.1 - Maret 2004

10

pendapatan overall petani produsen masih

イ・ョ、。ィセlM

_ _ _ _- - - - - - - - - - Terakhir, dalam konteks semangat
Mereka memerlukan tambahan modal kerja dan
desentralisasi
ekonomi dan otonomi daerah yang
investasi untuk adopsi teknologi baru, akses
semakin menggebu, pemerintah pusat dan
informasi, intensitas tenaga kerja proses produksi,
pemerintah daerah harns merangsang dunia usaha
manajemen pengolahan, pemasaran, dan pasca
swasta untuk menggarap dan memanfaatkan
panen lain, baik secara individual maupun Secara
inisiatif investasi baru di
kelompok sebagaimana
tingkat
daerah untuk
disyaratakan dalam sistem
KEPUTUSAN INDONESIA UNTUK
mengembangkan
agribisnis. Apabila pilihan
MERATIFIKASI DAN MENGIKATKAN
agribisnis dan basis
dan kesempatan tersedia,
DIRI DENGAN KETENTUAN DAN
sumberdaya alam lain.
petani produsen pasti akan
SKEMA PERDAGANGAN DUNIA
Pemerintah
daerah
lebih leluasa melakukan
(WTO) TELAH MEMBAWA
dilarang keras membunuh
diversifikasi usaha. Inilah
KONSEKUENSI TANTANGAN
inisiatif lokal itu, misal
perspektif mikro kelayakan PERSAINGAN DUNIA YANG SEMAKIN
karena aparatnya berbeda
usaha yang terus-menerus
KERAS. PENGUATAN BASIS DEPAN
partai atau ideologi politik
harus dibangun dan
(FRONT-LINE) SISTEM AGRIBISNIS
dengan pelaku ekonomi
diberdayakan. Sedangkan
INDONESIA JUGA PERLU
yang melakukan investasi
dalam perspektif makro,
DITERJEMAHKAN DENGAN
agribisnis di daerah.
negara (dan daerah) wajib
LANGKAH PEMIHAKAN YANG
Pemerintah pusat perlu
,untuk menyediakan atau
SUNGGGUH-SUNGGUH TERHADAP
memberikan insentif yang
memfasilitasi "lapangan"
DUNIA AGRIBISNIS, TERUTAMA
lebih besar lagi untuk
diversifikasi usaha tersebut
BAGI PETANI SEBAGAI PELAKU
inisiatif investasi di tingkat
dengan
serangkaian
TERPENTING.
daerah, demi masa depan
kebijakan yang afirmatif
pengembangan agribisnis dan pembangunan
yang tepat sasaran.
ekonomi Indonesia yang lebih cerah dan
Keputusan Indonesia untuk meratifikasi
berkelajutan.
dan mengikatkan diri dengan ketentuan dan skema
perdagangan dunia (WTO) telah membawa
konsekuensi tantangan persaingan dunia yang
semakin keras. Penguatan basis depan (front-line)
sistem agribisnis Indonesia juga perlu diterjemahkan
dengan langkah pemihakan yang sunggguh-sungguh
terhadap dunia agribisnis, terutama bagi petani
sebagai pelaku terpenting. Daya saing agribisnis
Indonesia ditentukan oleh keseriusan seluruh pelaku
ekonomi, akademisi dan pemerintah dalam
meningkatkan efisiensi, mutu produk dan intelijen
pasar yang memang am at dibutuhkan di era
keterbukaan. Membiarkan produk agribisnis
Indonesia "dihantam" oleh produk agribisnis asing
- apalagi di rumah sendiri - jelas bukan merupakan
sikap dan langkah terpuji. Era keterbukaan tentu
saja masih harus diikat dengan etika dan kesantuan
yang menjunjung tinggi level-palying field yang
lebih beradab.

Referensi
Arifin. 2002. Formasi Makro-Mikro
Ekonomi Indonesia. Jakarta: Indef.
Badan Pusat Statistik. (berbagai tahun). Statistik
Indonesia. Jakarta. BPS.
Food and Agricultural Organization (FAO). 2002.
FAO Statistics (FAOSTAT) CD Rom
Version. Rome: FAO
Mellor. 1995. Agriculture on the Road
to Industrialization. New Yortk: The Johns
Hopkins University Press
Timmer. 1989. "Food Price Policy: The
Rationale for Government Intervention".
Food Policy, February 1989. pp 18-27.

A.6R1MEDIA.

Volume 9, No.1 - Maret 2004

11