THE IMPLEMENTATION OF PROBLEM BASED LEARNING MODEL IN DEVELOPING OF SOCIAL AND ENVIRONMENT AWARENESS THROUGH IPS LEARNING

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi yaitu mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan: (1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; (2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusian; dan (4) memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

Agar tercapai tujuan pembelajaran IPS di atas salah satu indikatornya adalah aktivitas siswa dalam belajar pelajaran IPS harus tinggi, berdasarkan kenyataan hasil pengamatan peneliti selama ini pada waktu siswa belajar IPS, dari jumlah siswa 34 orang, 3 orang masih datang terlambat, 5 orang ngobrol, 4 orang mengerjakan pekerjaan mata pelajaran yang lain, 6 tidak mengerjakan tugas, 9 orang kurang memperhatikan pelajaran, 7 orang tidak peduli dengan lingkungan


(2)

hidupnya, masih membuang sampah tidak pada tempat yang disediakan, sampah dibuang dalam laci meja, pot bunga hidup, selokan dan halaman sekolah, malas membaca dan menulis, malu bertanya, belum dapat menghargai pendapat orang lain, misalnya jika ada teman yang sedang berbicara selalu ditertawakan walaupun tidak ada unsur lucu, rendahnya menanggapi jawaban teman pada saat salah satu kelompok presentasi dsb., dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar, kepedulian sosial siswa dan kepedulian terhadap lingkungan hidup masih tergolong rendah. Harapan yang diinginkan adalah aktivitas dan kepedulian lingkungan siswa dalam pembelajaran IPS tinggi, sehingga diharapkan pada akhirnya akan terjadi pula peningkatan hasil belajar siswa.

Kondisi ini antara lain disebabkan: (1) keterbatasan guru dalam menggunakan strategi pembelajaran yang digunakan kurang bervariasi yaitu menggunakan metode konvensional seperti ceramah, materi yang disampaikan monoton terpaku pada buku paket, tugas yang diberikan ke siswa belum tertantang untuk mengerjakan, evaluasi masih terfokus pada aspek kognitif, media pembelajaran masih sederhana, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah guru IPS 9 orang dengan latar belakang pendidikan yang berbeda jurusan seperti jurusan pendidikan ekonomi 2 orang, jurusan sejarah 3 orang, jurusan geografi 4 orang, dari jumlah guru tersebut yang dapat menggunakan alat bantu teknologi dalam pembelajaran misalnya Laptop dan LCD hanya 3 orang (33%), sedangkan yang lainnya dengan cara konvensional (67%), hal ini menyebabkan siswa belajar tidak termotivasi dan tidak menantang; (2) kemampuan berpikir dan kepedulian sosial serta kepedulian terhadap lingkungan hidup yang ada di kelas tersebut masih rendah, dikarenakan dalam proses pembelajaranya guru hanya menekankan pada kegiatan kemampuan


(3)

kognitif saja, sedangkan kemampuan afektif dan psikomotor tidak menjadi perhatian guru dalam proses pembelajaran; (3) sarana dan prasarana pembelajaran masih kurang memadai, misalnya jumlah buku pegangan siswa kelas 8 hanya tersedia 200 buku dari jumlah rombongan belajar sebanyak 9 rombel, dengan jumlah siswa 288 orang, rata-rata jumlah siswa dalam 1 kelas berjumlah 32 orang, sehingga dalam melakukan diskusi siswa kesulitan mendapatkan informasi secara cepat, karena dalam satu kelas hanya menggunakan 20 buku, jadi dalam 1 (satu) kelompok diskusi yang terdiri dari 4-5 siswa hanya memiliki buku pegangan 2 buku, yang seharusnya masing-masing siswa dapat membaca satu buku sumber.

Kondisi tersebut bila dibiarkan dapat berakibat aktivitas kepedulian sosial dan lingkungan hidup serta hasil belajar siswa pada akhirnya tidak maksimal, sehingga tidak tercapainya Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75, dan siswa tidak peduli terhadap lingkungan hidupnya semakin meningkat yang akan berakibat tidak kondusifnya kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi hal-hal tersebut diperkirakan salah satu cara yang dianggap tepat adalah dengan melakukan tindakan yaitu dengan penerapan model Problem Based Learning, selanjutnya dapat disingkat dengan sebutan PBL, untuk mengembangkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS di SMP Negeri 14 Bandar Lampung.

Ilmu sosial merupakan studi tentang perilaku manusia dalam segala aspeknya. Aspek-aspek tersebut mencakup aspek ekonomi, politik, kejiwaan, hubungan antarmanusia dalam kelompok, budaya, tempat, dan lingkungannya, kehidupan manusia dari waktu ke waktu, dan sebagainya. Pengetahuan sosial adalah ilmu


(4)

yang mempelajari lingkungan sekitar, maka kajian-kajian dari pengetahuan sosial haruslah realistis. IPS bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial, yang berguna bagi kemajuan dirinya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

IPS merupakan program pendidikan yang berupaya mengembangkan pemahaman siswa tentang bagaimana manusia individu dan kelompok hidup bersama dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai penduduk yang hidup di bumi dengan berbagai bentuk isinya, perilaku manusia akan selalu berusaha beradaptasi dengan lingkungannya yang sebaik-baiknya. IPS mendorong secara aktif agar mampu menelaah dan memahami interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Pemahaman tersebut akan mempengaruhi kemampuannya untuk meningkatkan kualitas kehidupan di lingkungannya untuk masa sekarang dan masa yang akan datang (Saidihardjo, 2004: 4).

Salah satu komponen yang paling penting dalam pendidikan adalah guru. Guru semata-mata tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, akan tetapi di lain pihak, siswa juga harus dapat membangun pengetahuan sendiri. Guru membantu proses pembelajaran dengan cara memfasilitasi dan membuat informasi menjadi lebih bermakna bagi siswa. Guru dalam proses pembelajaran sebagai instruktur namun juga sebagai fasilitator, pemberi arah, konsultor dan sekaligus sebagai teman bagi siswa.

Tantangan yang dihadapi dalam pembelajaran IPS dewasa ini mengharuskan guru untuk aktif mensiasati dengan cara mencari model pembelajaran yang sesuai dengan pengembangan kurikulum di mana siswa dituntut untuk belajar secara


(5)

aktif, kreatif, mandiri, serta bertanggung jawab agar mencapai kompetensi yang diharapkan. Namun, bukan berarti guru yang mendominasi dalam kegiatan belajar mengajar yang mengakibatkan siswa menjadi pasif. Pola pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) harus dirubah menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered).

Perubahan serta penyempurnaan kurikulum bertujuan untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan yang harus dilakukan secara menyeluruh termasuk pengembangan peningkatan kecakapan hidup (life skill) yang dapat direalisasikan langsung dalam kehidupannya. Konsep atau bahan kajian pada pembelajaran IPS adalah untuk memberikan bekal kecakapan tersebut. Dengan demikian, siswa diharapkan mampu menjelaskan, menganalisa, dan mencarikan suatu penyelesaian atau solusi nyata dari suatu permasalahan nyata yang diberikan baik permasalahan yang dialami langsung maupun permasalahan nyata yang terjadi di lingkungan sekitar.

Proses belajar mengajar yang berorientasi pada pencapaian keberhasilan tujuan pembelajaran, aktivitas siswa sangat diperlukan karena siswa sebagai subyek didik yang merencanakan dan melaksanakan belajar dengan bimbingan guru. Berdasarkan pernyataan tersebut semestinya guru harus dapat menciptakan pembelajaran yang menarik, tidak membosankan, mudah dipahami siswa, sehingga hasil pembelajaran tidak mudah dilupakan dan keberhasilan belajar baik dalam proses maupun hasil belajar akan tercapai.

Belajar adalah suatu proses di mana suatu organisasi merubah perilakunya sebagai akibat pengalaman (Sardiman, 2003: 21). Salah satu cara yang dilakukan adalah


(6)

memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar siswa sehingga menambah pengalaman langsung bagi siswa untuk meningkatkan kepedulian sosial dan kepedulian terhadap lingkungan hidupnya. Belajar bukan hanya mengingat, tetapi yang lebih utama adalah dapat menerapkan teori keilmuan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu dari dalam dirinya. Tugas pendidik tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengupayakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan berguna tertanam kuat dalam benak siswa.

Lembaga pendidikan di sisi lain juga berperan dalam membina sikap, mental, dan perilaku penduduk yang bertanggung jawab atas lingkungannya. Kesadaran siswa terhadap lingkungan diharapkan mampu menjadi warga negara yang hidup di dalam masyarakat, mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap pengembangan kepedulian lingkungan masyarakat dan menyadari hak dan kewajiban terhadap lingkungan.

Sekolah dan keluarga mempunyai peran penting dalam membentuk perilaku positif anak terhadap lingkungan. Pendidikan lingkungan membentuk konsep dan kesadaran mengenai cara bagaimana tingkah laku mempengaruhi kepedulian lingkungan, pengetahuan, dan keterampilan yang ditanamkan sejak anak-anak usia dini, sebab nilai yang diperoleh manusia pada waktu kecil tidak mudah luntur. Setelah perilaku positif terbentuk maka kepedulian terhadap lingkungan dilaksanakan melalui perbuatan yang sesuai, yang mendukung, tidak bertentangan dengan tujuan pengelolaan lingkungan dengan mengelola lingkungan hidup dengan baik dan bijaksana.


(7)

Lingkungan hidup yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya. Di dalam lingkungan hidup, secara garis besar terdapat tiga macam lingkungan: (1) lingkungan fisik, (2) lingkungan hayati, (3) lingkungan sosial (Arianto, 1988: 23). Lingkungan fisik terdiri dari berbagai macam benda, zat dan keadaan, tanah, air, dan udara dengan seluruh kekayaan alam fisik yang ada di atas dan di dalamnya. Lingkungan hayati meliputi segala makhluk hidup dari yang paling kecil (mikro organisme) sampai yang besar, baik yang berupa hewan maupun tumbuh-tumbuhan, sedangkan lingkungan sosial adalah kehidupan manusia dan interaksinya dengan sesamanya.

Menurut pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manuasia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009, Pasal 1).

Belajar IPS selama ini penuh dengan hafalan dan seolah-olah mempelajari sesuatu yang abstrak. Salah satu penyebab adalah pembelajaran di sekolah hanya mempelajari konsep-konsep yang ada dalam buku pelajaran/ tekstual, sehingga siswa tidak tahu permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan hidupnya (kontekstual). Hal ini sejalan dengan pernyataan Soemantri (2001: 39) bahwa pembelajaran IPS sebagai mata pelajaran yang membosankan, lunak dan gampang, yang bisa dipelajari beberapa hari sebelum ujian. Disinilah diharapkan peranan para guru untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap siswa dengan program-program pembelajaran lingkungan melalui IPS dengan cara yang inovatif


(8)

dan menarik bagi siswa dan pada akhirnya akan melahirkan suasana yang kondusif bagi pembentukan sikap positif terhadap kepedulian lingkungan.

SMPN 14 Bandar Lampung, penerapan model pembelajaran pada siswa yang memerlukan variasi dan inovasi dari guru. Model pembelajaran yang dilaksanakan dengan model ceramah kurang mampu merangsang siswa untuk belajar lebih giat dan kreatif, proses pembelajaran masih menekankan pada aspek pengetahuan saja dan belum menyentuh aspek sikap dan keterampilan. Dalam diskusi pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan guru hanya dijawab oleh siswa tertentu saja. Sehingga siswa masih kurang dalam menggali dan mempertimbangkan gagasan, siswa cenderung bersifat pasif dan kurang terlatih untuk mengungkapkan pertanyaan maupun mengemukakan pendapat, dan aktivitas siswa masih kurang.

Proses belajar Problem Based Learning (PBL) dibentuk dari ketidakteraturan dan kompleksnya masalah yang ada di dunia nyata. Melalui proses pembelajaran ini siswa dapat dilatih agar dapat menggunakan gejala kehidupan nyata terutama lingkungan untuk bahan kajian dalam proses belajar mengajar, artinya pembelajaran yang kontekstual dan bukan tekstual. Hal tersebut digunakan sebagai pendorong bagi siswa untuk belajar mengintegrasikan dan mengorganisasi informasi yang didapat, sehingga nantinya dapat selalu diingat dan diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang akan dihadapi.

Siswa dituntut bertanggungjawab atas pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru. PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang


(9)

memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang keaktivannya.

Masalah-masalah yang didesain dalam PBL memberikan tantangan pada siswa untuk lebih mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah secara efektif. PBL merupakan suatu strategi pendidikan untuk menentukan sikap penting, kontektual, situasi dunia nyata, dan menyediakan sumber daya, bimbingan dan instruksi kepada pelajar ketika mereka mengembangkan isi pengetahuan dan keterampilan memecahkan masalah. Adapun menurut Sugiarso dan Mustaji (2005: 35) model PBL adalah suatu kegiatan pembelajaran yang berpusat pada masalah. Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan perubahan terhadap diri setiap siswa, baik perubahan dalam kualitas berfikir, kualitas pribadi dan kualitas kemasyarakatan.

Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya. Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan bidangnya. Melalui cara ini, belajar dipersonalisasi sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu. Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih memahami dan menyelesaikannya. Pada akhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik yang membangun bagi kolega. Di sisi lain, siswa seringkali mengalami kesulitan dalam menerapkan keterampilan yang mereka dapatkan di sekolah ke dalam kehidupan


(10)

nyata sehari-hari karena keterampilan-keterampilan itu lebih diajarkan dalam konteks keilmuan, daripada konteks kehidupan nyata. Tugas-tugas sekolah sering lemah dalam konteks, sehingga tidak bermakna bagi kehidupan nyata siswa, karena siswa tidak dapat menghubungkan tugas-tugas dengan apa yang telah mereka ketahui. Guru dapat memberi tugas yang memiliki konteks kehidupan nyata dengan model PBL (pembelajaran berdasarkan masalah).

Sesuai dengan dasar pemikiran dan fenomena, dalam mata pelajaran IPS perlu dicari jalan keluar dalam memecahkan permasalahan tersebut, yaitu dengan model PBL, agar siswa mampu menemukan permasalahan dari lingkungan hidup masing-masing untuk dibawa ke kelas dan didiskusikan untuk dapat dicarikan pemecahan/solusinya. Dengan demikian, perlu melakukan penelitian dengan judul “Penerapan model Problem Based Learning untuk mengembangkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup dalam pembelajaran IPS di SMPN 14 Bandar Lampung tahun 2012-2013.”

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut.

1. Pembelajaran IPS penuh dengan hafalan dan seolah-olah mempelajari sesuatu yang abstrak.

2. Pembelajaran di sekolah hanya mempelajari konsep-konsep yang ada dalam buku pelajaran/tekstual, siswa tidak tahu permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan hidupnya (kontekstual).


(11)

3. Pada umumnya guru IPS masih menggunakan metode yang monoton sehingga pelajaran menjadi membosankan (metode ceramah).

4. Metode ceramah kurang mampu merangsang siswa untuk belajar lebih giat dan berfikir kritis dan kreatif.

5. Proses pembelajaran masih menekankan pada aspek pengetahuan saja, dan belum menyentuh aspek sikap dan keterampilan.

6. Dalam diskusi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru hanya dijawab oleh siswa tertentu saja (siswa-siswa pandai).

7. Siswa masih kurang dalam menggali dan mempertimbangkan gagasan.

8. Siswa cenderung bersifat pasif dan kurang terlatih untuk mengungkapkan pertanyaan maupun mengemukakan pendapat.

9. Model PBL belum diterapkan untuk meningkatkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup dalam pembelajaran IPS di SMPN 14 Bandar Lampung.

C.Pembatasan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang teridentifikasi cukup kompleks maka penelitian ini dibatasi pada masalah pembelajaran di sekolah yang hanya mempelajari konsep-konsep yang ada dalam buku pelajaran/tekstual, siswa tidak tahu permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan hidupnya (kontekstual). Model ceramah kurang mampu merangsang siswa untuk belajar lebih giat dan berfikir kritis dan kreatif, dan model PBL belum diterapkan untuk pembelajaran pendidikan lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada penerapan model PBL untuk meningkatkan: (1) aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS di SMPN 14 Bandar Lampung, (2)


(12)

kepedulian sosial siswa dan kepedulian terhadap lingkungan hidup yang terwujud dalam perilaku tindakan sehari-hari.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS dengan model PBL di SMPN 14 Bandar Lampung?

2. Bagaimanakah mengembangkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup dengan penerapan model PBL dalam pembelajaran IPS siswa di SMPN 14 Bandar Lampung?

E.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut. 1. Untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS dengan

model PBL di SMPN 14 Bandar Lampung.

2. Untuk mengembangkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup dengan penerapan model PBL dalam pembelajaran IPS di SMPN 14 Bandar Lampung.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan dan peningkatan kualitas pembelajaran IPS baik bagi guru/pendidik, siswa, maupun sekolah.


(13)

a. Bagi guru/pendidik, untuk membantu mengatasi permasalahan, memberikan wawasan dan pemahaman metodologis penerapan model PBL, untuk meningkatkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS.

b. Bagi siswa, dapat memperoleh pengalaman belajar dengan model PBL untuk meningkatkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS yang lebih menarik, menyenangkan, memberikan kepuasan yang sangat berguna bagi masyarakat dan kehidupannya.

c. Bagi sekolah, sebagai hasil untuk masukan yang berarti bagi mahasiswa yang sekiranya membutuhkan informasi yang berkenaan dengan topik ini.

G.Ruang Lingkup Keilmuan

Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah kajian ilmu IPS sebagai pelajaran dan pendidikan disiplin ilmu yang bersumber dari kehidupan sosial masyarakat sudah seharusnya memiliki landasan dalam pengembangan, baik sebagai mata pelajaran maupun disiplin ilmu. Ada lima tradisi social studies, yaitu (1) IPS sebagai transmisi kewarganegaraan (Social studies as citizens hip transmission); (2) IPS sebagai ilmu-ilmu social (Social studies as social sciences); (3) IPS sebagai penelitian mendalam (Social studies as reflective inquiry); (4) IPS sebagai kritik kehidupan social (Social studies social criticism); (5) IPS sebagai pengembangan pribadi individu (Social studies as personal development of the individual) (Sapriya, 2009: 13).

Sementara kajian ilmu IPS terdapat 10 tema utama yang berfungsi sebagai mengatur alur untuk kurikulum social di setiap tingkat sekolah, kesepuluh tema


(14)

tersebut terdiri dari, (1) budaya, (2) waktu, kontinuitas dan perubahan, (3) orang, tempat dan lingkungan, (4) individu, pengembangan dan identitas, (5) individu, kelompok dan lembaga, (6) kekuasaan, wewenang dan pemerintahan, (7) produksi, distribusi, dan konsumsi, (8) saint, teknologi dan masyarakat, (9) koneksi global dan (10) cita-cita dan praktik warganegara (National Council for The Social Studies, 1994: 19).

Pendidikan disiplin ilmu berbeda dengan kajian disiplin ilmu yang telah banyak dikenal. Kajian pendidikan disiplin ilmu bersifat synthetic, integrated, dan multidimensional, karena itu, cakupan dan keterkaitan bidang kajian ini sangat luas, baik keterkaitannya dengan bidang agama, filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat pancasila, sains, teknologi, maupun masalah-masalah sosial di masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, ruang lingkup penelitian ini termasuk dalam pengembangan pribadi siswa, hal ini terlihat dari upaya guru yang meningkatkan dan mengemangkan kepribadian siswa. Guru berusaha mengembangkan kompetensinya terutama kompetensi pedagogik dan profesional, yakni penguasaan sekaligus menerapkan model pembelajaran PBL, sekaligus mengembangkan penilaian ranah sikap.


(15)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

IPS menjadi salah satu mata pelajaran pada kelas VII sampai kelas IX (SMP dan MTs). Melalui mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial, peserta didik diarahkan, dibimbing, dan dibantu untuk menjadi warga negara yang baik serta memiliki sikap dan kepribadian yang unggul.

1. Pengertian IPS

IPS merupakan terjemahan dari social studies, yang dapat diartikan sebagai penelaahan tentang masyarakat. Nasional Council for Social Studies (NCSS) menyatakan sebagai berikut.

The term social studies used to include history, economics, antropology, sociology, civics, geography and all modifications, of subjects whose content as well as aim is social. In all content definitions, the social studies is coceived as the subject matter of the academic disciplines somehow simplified, adapted, modified, or selected for school instruction (Soemantri, 2001: 73). Studi sosial atau IPS adalah meliputi sejarah, ekonomi, antropologi, sosiologi, kewarganegaraan, geografi dan semua subjek yang mempunyai tujuan yang sama yaitu ilmu sosial. Berpijak dari pengertian itu dapat dipahami bahwa bahan ajar dari ilmu-ilmu sosial harus disederhanakan, diseleksi, diadaptasi, dimodifikasi, untuk tujuan institusional pendidikan sebagai dasar pertimbangan untuk kecerdasan, kematangan jiwa peserta didik.


(16)

IPS merupakan mata pelajaran di sekolah dengan tujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial yang bersikap konsep dan pengalaman belajar yang dipilih dan diorganisir dalam kerangka studi keilmuan sosial (Hasan dan Salladin, 1995: 28). Sedangkan menurut Sunal & Haas (1993: 7) “The social studies may be defined an area of the curriculum that derivers goals from the nature of citizenship in a democratic society and links to others societies, draws content from social science and other diciplines, and reflects personal, social, and culture experiences of studies.”

Studi sosial adalah daerah kurikulum yang bertujuan dari masa depan pada warga negara di dalam demokrasi masyarakat dan berhubungan dengan masyarakat lain, berisi pengetahuan sosial dan disiplin lain, dan menggambarkan personal, masyarakat, dan pengalaman kebudayaan siswa.

Menurut Wesley dalam Mortorella (1994: 6), studi sosial adalah ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan-tujuan pendidikan. Sedangkan Barr et al., dalam Mortorella (1994: 6) menyatakan sebagai berikut.

“Pengetahuan sosial adalah suatu program pendidikan yang merupakan reduksi dari berbagai ilmu sosial, yang pada pokoknya mempersoalkan manusia dalam lingkungan alam baik fisik maupun sosialnya yang bahannya diambil dari geografi, sejarah, ekonomi antropologi, sosiologi, ilmu politik, dan psikologi. Jelas sekali dalam definisi-definisi di atas bahwa pengetahuan sosial terdiri dari berbagai disiplin ilmu sosial, antara lain sejarah, geografi, ekonomi, politik, sosiologi, antropologi, dan psikologi.”

IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sejarah, antropologi, sosiologi, dan


(17)

tatanegara, dengan menampilkan mata pelajaran yang mempelajari manusia dalam semua aspek kehidupan dan interaksinya dalam masyarakat.

Agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan diperlukan guru-guru yang mengajar mata pelajaran IPS di SMP dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai atau dengan kata lain memiliki kompetensi dalam bidang tersebut. Materi Pendidikan IPS di SMP sebagaimana dikatakan Saidihardjo (2004: 4) adalah bersumber dari ilmu-ilmu sosial seperti yang disajikan pada tingkat universitas, hanya karena pertimbangan tingkat kecerdasan, kematangan jiwa peserta anak didik, maka bahan pendidikannya disederhanakan, diseleksi, diadaptasi, dan dimodifikasi untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah.

Pengetahuan sosial merupakan seperangkat peristiwa, fakta konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan perilaku dan tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk masa kini, dan diantisipasi untuk masa yang akan datang. Titik berat IPS adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatan dan interaksi antara mereka, dan anak didik diinginkan agar dapat menjadi anggota yang produktif, mempunyai rasa tanggung jawab, tolong-menolong sesamanya, dan dapat mengembangkan nilai-nilai dan ide-ide dari masyarakat.

Peran IPS sangat penting untuk mendidik siswa menggambarkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar dapat mengambil bagian secara aktif dalam kehidupannya kelak sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik.


(18)

Tujuan di atas memberikan tanggung jawab yang berat kepada guru untuk menggunakan banyak pikiran dan energi agar dapat mengajarkan IPS dengan baik. Guru harus memberikan perhatian yang sama kepada mata pelajaran IPS seperti pada mata pelajaran yang lain dalam kurikulum sekolah. Tantangan yang dihadapi siswa sebagai warga negara di masa depan menghendaki pengajaran IPS yang berkualitas.

Berdasarkan berbagai definisi studi sosial atau IPS tersebut tampak jelas bahwa IPS merupakan himpunan pengetahuan tentang kehidupan sosial dari bahan realita kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Di dalam pengetahuan dihimpun semua materi yang berhubungan langsung dengan masalah penyusunan dan pengembangan masyarakat serta menyangkut pengembangan pribadi manusia sebagai masyarakat yang berguna.

2. Tujuan Pembelajaran IPS

Tujuan utama dari pendidikan IPS adalah membantu anak-anak belajar mengenai dunia sosial di mana mereka hidup, realitas sosial dan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mewujudkan pencerahan kehidupan manusia yang berkarakter.

Studi Sosial (IPS) untuk mengembangkan warga masyarakat yang bertanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap sesama atau lingkungan. Aspek-aspek yang dikembangkan dalam mencapai tujuan antara lain: ilmu pengetahuan, proses berfikir, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai karakter. Menurut Suyanto dalam Barnawi dan Arifin (2011: 20-21) menyatakan bahwa karakter adalah cara


(19)

berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat yang ia buat.

Sebagai bidang pelajaran di sekolah, IPS memiliki tujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial dalam bentuk konsep dan pengalaman belajar yang dipilih atau diorganisasikan dalam rangka kajian ilmu sosial. Menurut Soemantri (2001: 44) tujuan pendidikan IPS sebagai salah satu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, psikologi, filsafat, ideologi negara dan agama yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Sesuai dangan pernyataan tersebut bahwa pendidikan IPS diartikan sebagai: (1) menekankan pada tumbuhnya nilai-nilai kewarganegaraan, moral ideologi negara dan agama, (2) menekankan pada isi dan metode berfikir ilmu sosial, (3) menekankan pada reflective inquiri, dan (4) mengambil kebaikan-kebaikan dari butir 1, 2, 3, di atas.

Mata pelajaran IPS merupakan mata pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan karena berkaitan langsung dengan pembentukan perilaku warga negara yang baik yaitu warga negara yang memiliki kamampuan dan keterampilan yang berguna bagi dirinya dalam hidup sehari-hari dan warga negara yang bangga sebagai bangsa Indonesia dan cinta tanah air. Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan sosial memiliki tujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial dalam bentuk konsep dan pengalaman belajar yang dipilih atau diorganisir dalam rangkas kajian ilmu sosial.


(20)

Pengertian di atas terlihat bahwa tujuan utama pendidikan IPS adalah membantu anak belajar mengenal dunia sosial di mana mereka hidup, realitas sosial, dan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan kemauan yang dibutuhkan untuk mewujudkan penyerahan kehidupan manusia, dan melalui pembelajaran pengetahuan sosial adalah siswa diharapkan mampu memahami berbagai konteks sosial secara komprehensip, sehingga mampu mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam bentuk perilaku dan tindakan.

B. Kepedulian Sosial

Kata peduli berarti memerhatikan atau menghiraukan sesuatu. Kepedulian berarti sikap memerhatikan sesuatu. Dengan demikian, kepedulian sosial berarti sikap memerhatikan atau menghiraukan urusan orang lain (sesama anggota masyarakat). Kepedulian sosial yang dimaksud bukanlah untuk mencampuri urusan orang lain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian.

Menurut Inpres No 1 tahun 2010, tentang pendidikan karakter dinyatakan tentang deskripsi peduli sosial adalah; sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Adapun indikator sekolah peduli sosial antara lain: (1) memfasilitasi kegiatan bersifat sosial, (2) melakukan aksi sosial, (3) menyediakan fasilitas untuk menyumbang dan lain-lain, sedangkan indikator kelas peduli sosial antara lain: (1) berempati kepada sesama teman di kelas, (2) membangun kerukunan warga kelas, (3) mengunjungi teman yang sedang menderita sakit, dan (4) mengantar teman yang sakit ke UKS dan lain-lain.


(21)

Menurut Imazizah (2012: 1) kepedulian sosial adalah perasaan bertanggung jawab atas kesulitan yang dihadapi oleh orang lain di mana seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat lebih kental diartikan sebagai perilaku baik seseorang terhadap orang lain di sekitarnya. Kepedulian sosial dimulai dari kemauan “memberi” bukan “menerima”. Sedangkan menurut Soerjono (1982) kepedulian sosial dapat diartikan peduli terhadap kepentingan umum. Kepedulian sosial ini merupakan salah satu bentuk proses sosial. Di mana proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.

Sikap dan perilaku kepedulian sosial bukan pembawaan, tetapi dapat dibentuk melalui pengalaman dan proses belajar dapat dilakukan melalui tiga model, sebagai berikut.

1. Mengamati dan meniru perilaku peduli sosial orang-orang yang diidolakan (mengacu pada teori social learning Bandura).

2. Melalui proses pemerolehan informasi verbal tentang kondisi dan keadaan sosial orang yang lemah, sehingga dapat diperoleh pemahaman dan pengetahuan tentang apa yang menimpa dan dirasakan oleh mereka dan bagaimana ia harus bersikap dan berperilaku peduli kepada orang lemah (mengacu pada teori kognitif Bruner).

3. Melalui penerimaan penguat/reinforcement berupa konsekuensi logis yang akan diterima seseorang setelah melakukan kepedulian sosial (mengacu pada teori operant conditioning Skinner (konsekuensi mempengaruhi perilaku) (Imazizah, 2012: 1).

Sari (2012: 1) menyatakan “Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar IPS, berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep dan pengembangan sikap kepedulian sosial siswa.” Yang menjadi objek/sasaran kepedulian sosial siswa adalah masyarakat umum dengan tidak memandang status masyarakat tersebut,


(22)

sedangkan yang dapat lakukan siswa untuk masyarakat adalah melalui kepedulian sebagai berikut.

1. Melalui peningkatan kepekaan kepeduliaan horizontal, seseorang dapat meningkatkan kemampuan kepekaan sosial, kapan dan di mana harus melakukan action. Kemudian kepekaan, kejadian dan kecepatan untuk memperoleh informasi tentang adanya suatu hal yang memerlukan bantuan.

2. Melalui peningkatan kepekaan kepedulian sosial, seseorang tidak dihadapkan kesenjangan sosial atau jarak sosial dapat dipersempit, dan dapat memberikan kontribusi dalam bentuk upaya perawatan dan peningkatan modal sosial (social capital) bangsa Indonesia dalam rangka menuju kenyamanan dan ketentraman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Fadli, 2010: 1).

Melalui pendekatan 2 aspek tersebut aspek sosial dan aspek kepedulian menjadikan kita untuk siap terjun dan mempersiapkan diri untuk sepenuhnya pengabdian ke masyarakat.

Sementara pranata dan proses pembentukan kepedulian sosial dalam Islam, sebagai berikut.

1. Tebar salam (afsussalam); membuka pintu informasi dan substansinya menciptakan kedamaian dan kesejahteraan sosial.

2. Silaturrahmi; memungkinkan tersambungnya keberlanjutan interaksi yang terputus, lebih mampu memaafkan dan memahami orang lain, verifikasi dan update informasi sehingga semakin peduli.

3. Shalat berjamaah; mengkondisikan terjadinya interaksi sosial secara rutin.

4. Merawat jenazah; interaksi langsung kepada si „kecil‟ (mayat yang sudah tidak punya daya apapun).

5. Puasa.

6. Zakat dan shadaqah (Imazizah, 2012: 1).

Menurut Triatmini (2011: 1) dampak positif memiliki kepedulian sosial, sebagai berikut.

1. Terwujudnya sikap hidup gotong royong 2. Terjalinya hubungan batin yang akrab 3. Menumbuhkan kerukunan dan kebersamaan


(23)

4. Terjadinya pemerataan kesejahteraan

5. Menghilangkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya 6. Terwujudnya persatuan dan kesatuan

7. Menciptakan kondisi masyarakat yang kuat dan harmonis 8. Menghilangkan rasa dengki dan dendam

Kepedulian sosial erat kaitannya dengan partisipasi sosial. Menurut Bedjo (1996), yang dimaksudkan dengan partisipasi adalah: “Perilaku yang memberikan pemikiran terhadap sesuatu atau seseorang. Perilaku merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan rangsangan dari luar lingkungannya.

Pengertian lain tentang partisipasi juga dikemukakan oleh Slameto (1995) yang mengatakan bahwa partisipasi adalah: “Pemusatan energi psikis yang tertuju pada suatu obyek, dan juga meliputi banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas yang sedang dilakukan.”

Berdasarkan uraian mengenai kepedulian sosial di atas, dapat disimpulkan bahwa kepedulian sosial merupakan perilaku baik seseorang terhadap orang lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi orang lain dengan tujuan kebaikan dan perdamaian dengan tidak memandang status orang lain tersebut.

C. Kepedulian Lingkungan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32/2009 Pasal 1 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang dimaksud lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manuasia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,


(24)

kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Berdasarkan pernyataan tersebut berarti lingkungan berkenaan dengan segala sesuatu yang ada di sekitar kita yaitu, udara, air, tanah dan tumbuh-tumbuhan, hewan dan microorganisme yang mendiaminya. Ilmu lingkungan adalah suatu studi tentang lingkungan, baik komponen hidup dan tidak hidup serta interaksi antara komponen-komponen tersebut. Segala sesuatu itu disebut komponen lingkungan, ada yang bersifat abiotik, ada pula yang bersifat biotik, termasuk manusia dengan segala perilakunya. Adapun komponen abiotik pada umumnya adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi mahluk-mahluk hidup yang terdiri dari tanah, atmosfer (lapisan udara yang mengelilingi bumi), air, dan sinar matahari, sedangkan komponen biotik berupa semua makhluk hidup, baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun manusia.

Menurut Arianto (1988: 21) lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup lainnya. Di atas lingkungan hidup inilah manusia berusaha mencapai dan meningkatkan kemakmuran.

Kepedulian lingkungan merupakan sikap/kemampuan internal dalam mengambil tindakan terhadap segala sesuatu yang berada di sekitar kita, mampu memilih secara tegas di antara beberapa kemungkinan. Menurut Winkel (1996: 104) mengambil sikap, bertahan dalam sikap tertentu atau berubah sikap, semuanya


(25)

memegang peranan penting dalam kehidupan manusia dan merupakan sumber energi mental.

Usaha untuk menumbuhkan dan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan memerlukan peran penyandaran dan informasi. Setelah proses penyandaran informasi, yang diperlukan adalah merubah sikap yang positif terhadap peningkatan kepedulian lingkungan. Jika sikap telah terbentuk akan memunculkan perbuatan yang sesuai dan mendukung usaha meningkatkan kepedulian lingkungan. Pengembangan kepedulian lingkungan menuntut adanya penanaman nilai-nilai kesadaran lingkungan hidup, yang sebaiknya ditanamkan sejak anak-anak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Sehingga akan membentuk perilaku siswa sekaligus mampu menciptakan rasa ingin tahu yang lebih jauh pada siswa.

Kepedulian membutuhkan kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan partisipasi dalam suatu kegiatan yang berupa pengelolaan lingkungan hidup. Kesadaran akan pentingnya dan perlunya pengeloalaan lingkungan hidup baik yang timbul dari pendidikan, pelatihan, pemberian penghargaan, rangsangan, dorongan, penerangan, dan informasi yang terus-menerus diberikan, dengan demikian diharapkan akan menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan dan berperan aktif melakukan kegiatan melestarikan lingkungan sekitar.

Kualitas hidup dari semua warga negara di dunia telah dipengarui oleh lingkungan berbagai peristiwa-peristiwa global. Kita perlu menginterprestasikan lingkungan daik fisik, biologi, dan sosial menjadi lebih penting karena perubahan secara signifikan terjadi secara cepat di lingkungan kita. Oleh karena itu, perlu untuk


(26)

mengintegtrasikan kepedulian lingkungan di semua tingkat nasional atau perencanaan internasional menjadi lebih nyata dan pernah dilaksanakan.

Peningkatan kepedulian lingkungan perlu diarahkan agar dapat menjangkau semua lapisan yang lebih luas. Oleh karena itu, ketersediaan informasi yang berkenaan dengan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan dikembangkan dan diperluas sehingga pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup dapat lebih meningkat. Dari berbagai pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kepedulian lingkungan adalah sikap dalam mengambil tindakan terhadap segala sesuatu yang berbeda di sekitar kita yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan dengan menumbuhkan percaya dan kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan partisipatif dalam suatu kegiatan. Menurut Inpres No 1 tahun 2010, tentang pendidikan karakter dinyatakan tentang deskripsi peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

D.Aktivitas Siswa dalam Belajar 1. Pengertian aktivitas

Aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Aktivitas diperlukan dalam belajar sebab pada prinsipnya balajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan.Tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas.


(27)

Aktivitas merupakan salah satu prinsip belajar yang mencakup perhatian, motivasi, aktivitas, pengalaman atau perbuatan (terlibat langsung). Pengulangan, tantangan, balikan, dan penguatan. Beberapa teori menyatakan bahwa siswa dapat membentuk suatu yang lebih berarti, produktif, dan integrasi pengetahuan didasarkan bila mereka belajar materi pokok di dalam kelas dalam konteks aktivitas autentik yaitu aktivitas serupa yang mereka temukan di luar.

Aktivitas memerlukan dukungan yang sesuai untuk dipertimbangkan (scaffolding) untuk memastikan bahwa siswa menyelesaikan tugasnya dangan baik. Dengan menempatkan aktivitas kelas dalam konteks kehidupan nyata, kita dapat membantu siswa menemukan alasan mengapa mereka mempelajari materi pokok. Menurut Montessori dalam Sardiman (2003: 96) anak-anak itu memiliki tenaga-tenaga untuk berkembang sendiri, membentuk sendiri. Hal ini menunjukan bahwa yang lebih banyak melakukan aktivitas di dalam pembentukan diri adalah anak itu sendiri. Pendidik berperan dalam memberikan bimbingan, mengamati bagaimana perkembangan anak-anak didiknya dan merencanakan segala kegiatan yang diperbuat oleh anak didik.

Proses belajar tidak mungkin terjadi tanpa ada aktivitas, sehingga untuk mendapatkannya setiap orang yang belajar harus terlibat secara aktif. Keterlibatan ini lebih ditekankan pada keterlibatan mental (intelektual dan emosional), meskipun keterlibatan fisik dalam hal-hal tertentu mungkin diperlukan.

Menurut Frankel dalam Soenarjati (1989, 107-108) kegiatan belajar mengajar bertujuan untuk mengembangkan nilai atau memajukan nilai, yang dapat dilihat dari dua segi yaitu segi hasil yang diinginkan (desired outcome) dan segi fungsi


(28)

(function). Hasil aktivitas belajar yang diinginkan digolongkan menjadi tiga: (1) kemajuan dan kemampuan dan tingkah laku yang berhubungan dengan nilai, (2) aktivitas belajar yang dapat menciptakan berbagai macam produk yang telah ditentukan. Ketiga, hasil aktivitas belajar yang berupa pengalaman yang berhubungan dengan nilai. Pengalaman ini dimaksudkan untuk memperluas pandangan siswa tentang nilai.

Prinsip-prinsip aktivitas dalam belajar yang dilihat dari sudut pandang perkembangan konsep jiwa menurut ilmu jiwa yakni menurut pandangan ilmu jiwa lama dan pandangan ilmu jiwa modern (Sardiman, 2003: 97). Menurut pandangan ilmu jiwa lama, aktivitas jiwa didominasi oleh guru. Sedang menurut pandangan ilmu jiwa modern aktivitas didominasi oleh siswa. Dengan melihat unsur kejiwaan seseorang subjek didik dapat diketahui bagaimana prinsip aktivitas yang terjadi dalam belajar. Sehingga komponen manusiawi yang melakukan aktivitas dalam belajar mengajar yaitu siswa dan guru menjadi fokus perhatian.

Aktivitas setiap siswa tidak selalu sama. Hal tersebut di pengaruhi oleh banyak hal. Perbedaan aktivitas siswa tersebut memunculkan adanya rentangan kadar aktivitas belajar yang rendah sampai yang tinggi.

2. Macam-macam aktivitas

Diedrich dalam Sardiman (2003: 101) membuat suatu daftar macam-macam kegiatan siswa yang digolongkan sebagai berikut.

1) Visual activities, yang termasuk di dalamnya misal membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.


(29)

Aktivitas siswa

Fisik

Psikis

1. Melihat (visual) 2. Berbicara (oral)

3. Mendengarkan (listening) 4. Menulis (writing ) 5. Menggambar (drawing)

6. Gerak (motor)

1. Mental 2. Emosional

2) Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberikan saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi.

3) Listening activities, sebagai contoh mendengarkan uraian, percakapan diskusi, musik, pidato.

4) Writing activitis, seperti: menulis cerita, karangan, laporan, angket, manyalin.

5) Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram.

6) Motor activities, yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak.

7) Mental activities, sebagai contoh: menganggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan.

8) Emotional activities, seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.

Berdasarkan teori di atas, aktivitas siswa dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu aktivitas fisik dan aktivitas psikis. Aktivitas fisik meliputi aktivitas melihat (visual activities), berbicara (oral activities), mendengarkan (listening activities), menulis (writing activities), menggambar (drawing activities), dan gerak (motor activities). Aktivitas psikis meliputi, aktivitas mental (mental activities), dan emosional (emotional activities). Secara visual dapat dilihat dari dalam Gambar 2.1 sebagai berikut.


(30)

Salah satu pusat kegiatan belajar adalah sekolah. Oleh karena itu, sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah. Aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi.

Selanjutnya Elliot (2000: 385) mengidentifikasikan aktivitas menjadi delapan tipe, aktivitas tersebut: (1) membaca surat bergiliran, (2) bekerja di tempat duduknya, (3) presentasi yang tidak ditanggapi, (4) presentasi yang ditanggapi, (5) penggunaan media, (6) membaca dengan seksama, (7) pengembangan cara berfikir, dan (8) permainan, bermain, transisi, dan hal-hal yang berhubungan dengan kerumahtanggaan.

Aktivitas kelas dalam siklus yang mana perilaku siswa digambarkan melalui peraturan. Ketika guru dan siswa menampilkan dan menguatkan tingkah laku khusus yang berulang-ulang melalui peraturan, peraturan ini menjadi sebuah bagian dari kelas regular yang rutin. Peraturan aktivitas kelas dibagi menjadi lima langkah, sebagai berikut.

1) Menggambarkan aktivitas kelas. Kita dapat memberikan komentar dahulu dalam aturan kelas secara umum (tidak ada yang keluar), tatapi aktivitas khusus membutuhkan aturan khusus. Ketika guru bekerja dengan satu kelompok membaca, anggota yang lainnya harus duduk di tempatnya masing-masing.

2) Membutuhkan perilaku sosial yang penting bagi aktivitas. Apakah guru menginginkan siswa untuk penuhi selama berktivitas? Bagaimana seharusnya mereka meninggalkan semuannya itu? Menjawab dua pertanyaan tersebut harus dapat mengidentifikasi perilaku yang dibutuhkan. Juga mempertimbangkan aktivitas apa yang tidak sesuai. 3) Menentukan daftar aturan kebutuhan aktivitas. Membuat satu peraturan

untuk menyeleksi aktivitas. Peraturan menambah struktur untuk beberapa aktivitas dan meningkatkan belajar dengan menyediakan suatu


(31)

pergerakan yang berarti.Peraturan menguraiakan perilaku yang penting untuk memenuhi aktivitas.

4) Pastikan untuk merumuskan sekelompok peraturan aktivitas umum, kita dapat memberikan komentar dahulu yang diperlukan seperti peraturan, dan kamu dapat memahami keperluan tertentu yaitu peraturan aktivitas khusus yang konsisten dengan peraturan umum. Selain itu, siswa menjadi bingung, dan kontradiksi dapat mendorong ke arah perilaku buruk (Elliot, 2000: 392).

Kesuksesan guru dalam menetapkan sebuah sistem kerja di dalam kelas dengan peraturan dan mendesain prosedur untuk menjaga sistem dalam urutan yang benar. Kesuksesan guru mengelompokan peraturan pada tahun pertama sekolah dimulai, meskipun pertamanya siswa mempelajari peraturan umum yang berlaku bagi perilaku sekolah. Terakhir, meskipun kelas tergantung pada kemampuan guru untuk membuat siswa memahami prosedur di dalam kelas, guru harus siap untuk mengatasi adanya pelanggaran.

Jika berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, tentu sekolah-sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal dan bahkan akan memperlancar peranannya sebagai pusat dan transformasi kebudayaan. Tetapi sebaliknya ini semua merupakan tantangan yang menuntut jawaban dari para guru.

Berdasarkan pengertian aktivitas di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aktivitas dalam pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Secara luas aktivitas menyangkut perilaku siswa, baik yang bersifat fisik maupun psikis. Aktivitas fisik dapat diamati seperti membaca, mendengar, menulis. Aktivitas psikis sulit untuk


(32)

diamati. Ketertarikan kedua aktivitas tersebut akan membuahkan aktivitas belajar yang optimal.

E. Model Problem Based Learning (PBL) 1. Pengertian model PBL

Gijbels (2005: 29) menyatakan bahwa Problem Based Learning digunakan untuk menunjuk beberapa pendekatan kontektual untuk pengajaran yang bermuara pada pengajaran berdasar masalah-masalah nyata. Titik berat masalah-masalah nyata sabagai tanda proses pembelajaran merupakan definisi paling penting yaitu PBL is used to refer to many contextualzed approaches to instruction that anchoe of learning and teaching in concrete. This focus on conceret problems as initiating the learning process is central in most definition of PBL.

Menurut Rhem (2005: 1) dalam PBL orientasi siswa terhadap pemahaman lebih pada pengumpulan fakta.

They learn via contextualized problem sets and situation. Because of that, and all that goes with that, namely the dynamics of group work and independent investigation, they achive higher levels of comperhension, develop more learning and knowledge-forming skills and more social skills as well.

Pernyataan tersebut berarti dalam PBL siswa belajar melalui situasi dan setting pada masalah-masalah yang nyata (kontekstual). Karena itu, semua dijalankan dengan cara-cara dinamika kerja kelompok, investigasi secara independen, mencapai tingkat pamahaman yang lebih tinggi, mengembangkan keterampilan bentuk pengetahuan dan keterampilan sosial.


(33)

Model PBL mempunyai nama lain yaitu: The Model has also been refered to by other names, such as project-based teaching, experienced-based education, authentic learning, and anchored instruction (Arends, 1997: 156). Model PBL mempunyai nama lain yaitu pembelajaran berbasis proyek, pendidikan berbasis pengalaman, belajar autentik, dan pembelajaran berakar pada kehidupan nyata. Berbeda dengan pembelajaran langsung yang menekankan pada presentasi, ide-ide atau demontrasi keterampilan oleh guru. Peran guru dalam model PBL adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. PBL tidak akan dapat terjadi tanpa keterlibatan guru delam mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka.

Model PBL adalah metode mengajar yang menggunakan masalah yang nyata, proses di mana siswa belajar, berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah, mendukung pengembangan keterampilan untuk selamanya dan untuk memperoleh pengetahuan. PBL metode mengajar dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, kerja kelompok, umpan balik, diskusi, dan laporan akhir. Dengan demikian, siswa didorong untuk lebih aktif terlibat dalam materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berfikir kritis. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurhadi (2003: 55), PBL adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.


(34)

Model PBL atau pembelajaran berdasarkan masalah berguna untuk merangsang siswa berfikir dalam situasi yang berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar. Menurut Ibrahim dkk, (2000: 5). Secara garis besar PBL menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan pengamatan.

Siswa dituntut bertanggung jawab atas pendidikan yang mereka jalani, serta diarahkan untuk tidak terlalu tergantung pada guru. PBL membentuk siswa mandiri yang dapat melanjutkan proses belajar pada kehidupan dan karir yang akan mereka jalani. Seorang guru lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu siswa menjalani proses pendidikan. Ketika siswa menjadi lebih cakap dalam menjalani proses belajar PBL, tutor akan berkurang keaktifannya.

Siswa dihadapkan pada masalah dan mencoba untuk menyelesaikan dengan bekal pengetahuan yang mereka miliki. Pertama-tama mereka mengidentifikasi apa yang harus dipelajari untuk memahami lebih baik permasalahan dan bagaimana cara memecahkannya. Langkah selanjutnya, siswa mulai mencari informasi dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, informasi online atau bertanya pada pakar yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya tiap individu.

Menurut Trianto (2007: 67) Problem Based Learning telah dikenal sejak zaman John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum PBL menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Sedangkan menurut Sanjaya (2005: 211) PBL dapat diartikan sebagai rangkaian


(35)

aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.

Menurut Dewey (dalam Trianto, 2007: 68) “Belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan dijadikan bahan dan materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.”

Setelah mendapatkan informasi, mereka kembali pada masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari untuk lebih memahami dan menyelesaikannya. Diakhir proses, siswa melakukan penilaian terhadap dirinya dan memberi kritik membangun bagi kolega. Guru dapat memberi tugas yang memiliki konteks kehidupan nyata, dengan model PBL (pembelajaran berdasarkan masalah).

Metode PBL sendiri syarat dengan pendekatan-pendekatan diskusi kelompok dalam mencari pemecahan masalah, debat, dan kontroversi, keingintahuan siswa lebih besar, PBL adalah metode mengajar yang memotivasi siswa untuk mencapai sukses secara akademik. Model PBL adalah salah satu strategi pelatihan, siswa bekerja bersama dalam kelompok, dan bertanggung jawab untuk pemecahan masalah secara profesional, guru berfungsi sebagai pengamat dan penasehat. PBL merupakan lingkungan pembelajaran dengan masalah yang menggerakan siswa


(36)

untuk belajar. Dalam mempelajari suatu pengetahuan, sebelumnya siswa diberikan masalah, sehingga siswa mengetahui bahwa mereka membutuhkan pengetahuan baru untuk dapat memecahkan masalah.

2. Ciri-ciri model PBL

Menurut Sanjaya (2005: 212) terdapat tiga ciri utama dari model PBL, berikut. a. PBL merupakan aktivitas pembelajaran, artinya dalam implementasi

PBL ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa. PBL tidak mengharapkan siswa hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, akan tetapi melalui PBL siswa aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya menyimpulkan.

b. Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. PBL menempatkan masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah maka tidak mungkin ada proses pembelajaran. c. Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan

berpikir secara ilmiah. Berpikir dengan menggunakan metode ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif. Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya berpikir ilmiah dilakukan melalui tahap-tahap tertentu, sedangkan empiris artinya proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas

Berbagai pengembang pembelajaran berdasarkan masalah banyak memberikan karakteristik PBL. Gijbels (2005: 29-30) menggunakan 6 karakteristik inti dalam PBL, sebagai berikut.

1) Learning is student-centered

2) Learning occurs in small student group 3) A tutor is present as a facilitator or guide

4) Authentic problems are presented at the beginning of the learning sequence, before any preparation or study has occurred

5) The problems encountered are used as tools to achieve the required knowlwdge and the problem-solving skillls necessary to eventually solve the problems


(37)

Arti peryataan tersebut di atas yaitu: (1) belajar berpusat pada siswa, (2) belajar dalam kelompok kecil, (3) seorang tutor bertindak sebagai fasilitator atau guide, (4) masalah-masalah disajikan dari awal urutan belajar sebelum beberapa atau pelajaran berlangsung, (5) sulitnya masalah digunakan sebagai alat untuk mencapai pengetahuan yang dibutuhkan dan keterampilan pemecahan masalah pada akhirnya diperlukan memecahkan masalah, dan (6) informasi baru diperoleh melalui belajar mandiri.

Ini tidak berarti bahwa guru melepaskan otoritasnya untuk membuat pertimbangan tentang kekuatan apa yang menjadi penting untuk siswa belajar, melainkan ciri yang parsial dan tanggung jawab yang tegas kepada siswa sendiri. Dengan kata lain, bukan berarti guru yang mendominasi dalam kegiatan belajar mengajar yang mengakibatkan siswa kiranya juga meningkatkan kemungkinan siswa termotivasi untuk belajar.

PBL mempunyai ciri siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya secara berpasangan atau dalam kelompok. Bekerja sama meberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas komplek dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berfikir (Ibrahim, dkk., 2000: 4).

Menurut Gallow yang menyatakan bahwa salah satu dari ciri utama PBL adalah student-centered. Student-Centered mengacu pada peluang belajar yang berkait dengan para siswa, yang mana tujuan sedikitnya ditentukan oleh para siswa sendiri.


(38)

Karakteristik model PBL menurut Arends (1997, 157-158) sebagai berikut.

1) Driving question or problem. Pengajuan pertanyaan atau masalah PBL mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata (autentik), menghindari jawaban sederhana dan memungkinkan adanya macam solusi untuk situasi itu.

2) Interdiciplinary focus. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin dengan masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa menunjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. 3) Authentic investigation. Penyelidikan autentik: PBL mengharuskan

siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.

4) Production of artifacts and exhibits. Menghasilkan produk: PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili banyak penyelesaian masalah yang mereka temukan.

5) Collaboration. Kolaborasi: PBL menuntut adanya kerjasama kolaborasi antara anggota kelompok.

3. Tujuan pembelajaran PBL

Model PBL digunakan untuk melibatkan para siswa di dalam belajar. Model PBL didasarkan pada beberapa teori kognitif. Para siswa bekerja pada permasalahan yang dirasakan berarti atau relevan. Para guru menyajikan para siswa dengan suatu penetapan masalah, kemudian dalam kelompok kerja siswa meneliti masalah itu, melakukan riset, mendiskusikan, meneliti, dan menghasilkan penjelasan bersifat sementara, solusi, atau rekomendasi. Pentingnya PBL untuk para siswa yang tidak menguasai pengetahuan yang cukup untuk menunjuk masalah.

Model PBL tidak dirancang utuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Model PBL utamanya dikembangkan untuk


(39)

membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual, belajar dengan pengalaman nyata dan menjadi siswa yang otonom dan mandiri.

Tujuan model PBL menurut Arends (1997: 158) adalah menghasilkan siswa yang mempunyai kamampuan sebagai berikut.

1) Mengatasi masalah yang dihadapi dalam kehidupannya dengan inisiatif dan antusiasisme;

2) Melakukan pemecahan masalah secara efektif dengan berdasar pada pengetahuan yang terinteregasi, fleksibel, dan berguna;

3) Menggunakan keterampilan belajar yang mandiri dan efektif.

4) Memantau dan menilai kelayakan pengetahuan, pemecahan masalah, dan keterampilan belajar mandiri secara berkesinambungan;

5) Kolaborasi secara efektif sebagai anggota kelompok.

Berdasarkan pada tujuan tersebut, hal-hal yang seharusnya ada dalam model PBL sebagai berikut.

1) Penguasaan berlandaskan pengetahuan yang luas dan terintegrasi, yang siap pakai dan siap untuk diterapkan pada analisis an pemecahan masalah.

2) Pengembangan efektifitas dan efisiensi dalam keterampilan pemecahan masalah, keterampilan belajar mandiri (self-derected learning), dan keterampilan tim.

4. Langkah-langkah model PBL

Tujuh langkah penerapan model PBL menurut Agung (2010: 12-7) sebagai berikut.

Langkah 1 : Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas Langkah 2 : Merumuskan masalah


(40)

Langkah 4 : Menata gagasan pendidik dan secara sistematis menganalisisnya dengan dalam

Langkah 5 : Memformulasikan tujuan pembelajaran

Langkah 6 : Mencari informasi tambahan dari sumber yang lain

Langkah 7 : Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan membuat laporan untuk dosen/kelas.

Berdasarkan pendapat di atas, maka peneliti merancang langkah-langkah penerapan model Problem Based Learningyang sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kelas yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut.

1. Guru memberikan apresiasi dan menjelaskan secara global kompetensi dasar yang akan dibahas pada awal kegiatan pembelajaran (langkah 1).

2. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran/indikator yang akan dicapai dalam kegiatan belajar (langkah 2).

3. Kemudian guru membentuk kelompok dan memberikan tugas kepada setiap kelompok untuk dikerjakan dan dipresentasikan setelah kerja kelompok selesai (langkah 3).

4. Guru membantu siswa merumuskan dan mengorganisasikan tugas yang berhubungan dengan masalah yang ditugaskan (menetapkan topik, tuga, dan lain-lain) sesuai langkah 4.

5. Guru memantau siswa untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan, melaksanakan eksperimen atau penelitian untuk mendapatkan data yang akurat, pengumpulan data, atau mendeskripsikan temuan yang diperoleh terhadap diskusi/ penelitian yang mereka rencanakan (langkah 5)

6. Guru membantu siswa berbagi tugas dalam menyusun laporan/membuat power point dalam anggota kelompok (langkah 5)

7. Guru memberi kesempatan kepada satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas dengan alat bantu laptop dan LCD (langkah 6).


(41)

8. Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan tenggapan, pertanyaan ataupun sanggahan kepada kelompok yang presentasi (langkah 7)

9. Guru bersama siswa membuat kesimpulan hasil diskusi (langkah 7).

5. Keuntungan dan kekurangan model PBL

Keuntungan dan kekurangan cara pemecahan masalah menurut Rusyan dan Daryani (1990: 41-42) sebagai berikut.

Keuntungannya: (1) cara ini dapat membuat belajar anda lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia kerja; (2) belajar melalui pemecahan masalah dapat membiasakan anda menghadapidan memecahkan masalah secara terampil, apabila menghadapi permasalahan di dalam kehidupan dan keluarga, bermasyarakat dan bekerja; sustu kehidupan yang bermakna bagi kehidupan anda; (3) cara ini merangsang perkembangan kemampuan berpikir anda secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam belajar banyak melakukan proses metal dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencapai permasalahannya. Kekurangan dari cara belajar pemecahan masalah diantaranya: (1) menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya sesuai dengan tingkat kemampuan anda sendiri dan pengalaman yang telah dimiliki anda. (2) proses belajar dengan cara ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering menggunakan bidang studi lain; (3) mengubah kebiasaan anda belajar dengan mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai sumber belajar, merupkan kesulitan tersendiri bagi anda.

F. Penelitian yang Relevan

Pengambilan pokok permasalahan serta hasilnya dari penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini berguna sebagai penguat hasil dari penelitian ini. Beberapa judul dan hasil penelitian yang pernah dilakukan dapat dilihat sebagai berikut. 1. Woro (2005) dalam penelitiannya berjudul “Implementasi model Problem

Based Learning untuk mengembangkan kepedulian lingkungan melalui pembelajaran IPS di SMP N 8 Yogyakarta.” berkesimpulan: Implementasi PBL


(42)

dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang diwujudkan dengan bekerjasama membagi pekerjaan dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru, bertanggung jawab, siswa saling menghargai pendapat dan tanggapan saat diskusi, serta dapat menghasilkan karya yang dapat dipresentasikan dengan baik.

2. Harnoko (2005) dalam penelitiannya berjudul “Model Problem Based Learning untuk pendidikan lingkungan yang terintegrasi pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, di Sekolah Menengah Pertama Negeri 16 Yogyakarta.” berkesimpulan sebagai berikut.

a. Model PBL mengutamakan pemecahan masalah melalui dialog, diskusi, kerjasama, mengajukan pendapat, bertanya dan menjawab. Model ini ternyata efektif dengan hasil yang menggembirakan. Oleh karena itu, guru diharapkan lebih inovatif dalam menggunakan model pembelajaran dan dituntut meningkatkan kemampuan, kemauan sehingga dapat menggairahkan proses pembelajaran.

b. Interaksi antara guru-siswa serta sesama sangat penting sebagai modal utama agar dalam bekerjasama, diskusi, berkelompok untuk memecahkan masalah yang dihadapi, semangat untuk mengembangkan pendekatan dengan membangun komunikasi multi arah, mengurangi dominasi guru, serta memberi kesempatan pada siswa seluas-luasnya untuk berkarya. Dalam model ini, guru harus menempatkan diri sebagai fasilitator, mediator dan motivator bagi siswa.

c. Model pembelajaran ini sangat tepat untuk inovasi pembelajaran. Akan tetapi membiasakan sesuatu yang belum terbiasa, perlu kemauan


(43)

penyesuaian sungguh-sungguh, karena itu, implikasi adalah perlu dikembangkan terus semangat inovasi khususnya inovasi pembelajaran melalui tindakan kelas baik secara sendiri-sendiri maupun melalui lembaga atau pertemuan informal lain.

3. Muhadi (2005) dalam penelitiannya berjudul “Model Team Teaching untuk Pendidikan Lingkungan yang Terintegrasi pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP.” berkesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran dengan model team teaching untuk pendidikan lingkungan yang terintegrasi pada mata pelajaran IPS memberikan dampak positif, yaitu (1) peningkatan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, (2) peningkatan kepedulian siswa terhadap lingkungan. Penelitian ini juga menghasilkan sesuatu yang lain, yaitu (1) peningkatan kinerja guru yang diwujudkan melalui penelitian dalam melihat unjuk kerjanya, melakukan refleksi, dan melanjutkan perbaikan, (2) siswa mudah mengikuti materi pelajaran dalam proses pembelajaran dan belajar tidak merasa terpaksa.

G. Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang masalah dan kajian teoritik bahwa proses pembelajaran pendidikan lingkungan belum dilakukan dengan cara yang lebih menarik, menyenangkan dan memupuk kerjasama dalam belajar pada mata pelajaran IPS di SMP, pembelajaran di sekolah hanya mempelajari konsep-konsep yang ada dalam buku pelajaran, serta metode pengajaran masih bersifat konfensional (metode ceramah), menghafal, hanya pada kognitif dan belum ada metode dengan model PBL. Kebanyakan siswa belum memahami atau kurang


(44)

sadar dan peduli terhadap permasalahan lingkungan serta pemecahan masalahnya. Faktor penyebabnya yaitu: kurangnya pemahaman guru, kurangnya kreativitas dan pemahaman guru dalam mengajar untuk mengembangkan kepedulian siswa terhadap lingkungan. Adapun cara yang dapat digunakan dalam mengembangkan kepedulian lingkungan diterapkan pada setiap mata pelajaran yang relevan.

Upaya pemecahan masalah adalah dengan memperbaharui sistem mengajar dengan berbagai alternatif salah satunya melalui model pembelajaran berdasarkan masalah (PBL). Model pembelajaran berdasarkan masalah dapat diterapkan untuk mengajar materi dimana siswa dapat memahami nilai-nilai kepedulian lingkungan yang terkandung di dalamnya. Dengan PBL dapat memunculkan berbagai aktivitas dan kreativitas guru dalam memberikan solusi terhadap masalah-masalah lingkungan.

Penerapan model PBL diharapkan dapat meningkatkan kepedulian lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS, dapat memunculkan kekreatifan guru dalam menyampaikan materi, memberikan sikap optimis terhadap siswa untuk belajar pada mata pelajaran IPS, dan dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam kelas. Implementasi model PBL melalui mata pelajaran pengetahuan sosial juga merupakan salah satu cara mendekatkan generasi muda kepada alam, dengan/tanpa perlu menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar mereka peduli dengan kelestarian alam di dalam lingkungannya.

Pengajaran model PBL untuk mengembangkan kepedulian lingkungan hidup melalui mata pelajaran pengetahuan sosial dalam proses pembelajaran menjadi tidak membosankan, siswa tertarik dan dapat timbul rasa perhatian atau rasa


(45)

kepedulian terhadap lingkungan, baik berupa perwujudan tindakan secara langsung maupun sikap yang dimilikinya.

Penerapan PBL pada mata pelajaran pengetahuan sosial siswa menjadi tertarik, aktif dalam kelas, pembelajaran tidak membosankan, dan dapat timbul rasa perhatian atau rasa kepedulian terhadap lingkungan, baik berupa perwujudan tindakan secara langsung maupun sikap yang dimilikinya.Siswa juga dapat memahami arti penting kesadaran dan pengelolaan lingkungan sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan dan dapat memecahkan masalah lingkungan yang dihadapi dalam perilaku sehari-hari dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya.


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan penelitian

Rancangan model penelitian tindakan kelas ini adalah model spiral atau siklus dari Kemmis dan Taggart dalam Pargito (2011: 37), yaitu: (1) plan (perencanaan), (2) act (tindakan), (3) observe (pengamatan), dan (4) reflect (perenungan). Pendapat serupa dikemukakan oleh Suwarsih (1994: 19), model penelitian tindakan kelas ini memiliki empat tahapan pada tiap siklus, yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi.

Pendekatan penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian tindakan merupakan penelitian yang dilakukan sebagai strategi pemecahan masalah dengan memanfaatkan tindakan nyata, kemudian melakukan refleksi terhadap hasil tindakan. Hasil dan refleksi tersebut dijadikan sebagai langkah pemilihan tindakan berikutnya sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.

Penelitian tindakan ini difokuskan pada situasi kelas atau lazim disebut dengan classroom action research (Kemmis dan Taggart dalam Pargito, 2011: 9-14). Metode ini dipilih berdasarkan pertimbangan: (1) masalah dan tujuan penelitian menuntut sejumlah informasi dan tindak lanjut berdasarkan prinsip


(47)

daur ulang, (2) masalah dan tujuan penelitian menuntut tindakan reflektif, kolaboratif, dan partisipatif berdasarkan situasi kelas dalam pelaksanaan pembelajaran.

Penelitian tindakan kelas adalah penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki kegiatan proses pembelajaran di kelas. Upaya penelitian ini dilakukan dengan melaksanakan tindakan untuk mencari jawaban atas permasalahan yang diahadapi guru dalam tugas sehari-hari di kelas. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Suyanto (1997: 4) bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu bentuk penelitian yang reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas secara profesional.

Tujuan utama penelitian tindakan kelas sebagai berikut.

1) Demi perbaikan dan atau peningkatan praktik pembelajaran secara berkesinambungan yang pada dasarnya melekat pada terlaksanannya misi profesional pendidikan yang diemban guru.

2) Pengembangan kemampuan keterampilan guru untuk menghadapi permasalahan aktual pembelajaran di kelasnya, dan atau di sekolah sendiri. 3) Dapat ditumbuhkannya budaya penelitian di kalangan guru dan pendidik

untuk meningkatkan kualitas praktik pembelajaran di sekolah.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Suyanto (1997: 7) bahwa tujuan penelitian tindakan kelas adalah untuk peningkatan dan atau perbaikan praktik pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh guru dan terjadinya proses latihan dalam jabatan selama proses penelitian tindakan kelas berlangsung.


(48)

Dalam penelitian tindakan yang difokuskan pada kelas ini melibatkan para pelaku proses pembelajaran dengan PBL untuk meningkatkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup melalui pembelajaran IPS di SMP.

Peran aktif dan dukungan dari para guru IPS serta para siswa dalam penelitian ini sangat nyata karena semuanya telah menyadari perlunya penelitian ini, di mana tujuan penelitian untuk menciptakan perubahan-perubahan ke arah peningkatan kualitas proses pembelajaran. Rancangan model penelitian tindakan kelas ini adalah model spiral atau siklus menurut Kemmis dan Taggart (1988: 8).

B. Setting Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMPN 14 Bandar Lampung pada mata pelajaran Imu Pengetahuan Sosial kelas VIII.5 semester I, dengan jumlah siswa sebanyak 34 orang, yang terdiri dari 12 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan. Penelitian ini diprogramkan sampai dengan Desember 2012.

Selanjutnya, sesuai dengan setting penelitiannya, karena penelitian ini dilakukan secara kolaboratif, maka yang menjadi kolaborator utama adalah para guru pengajar mata pelajaran IPS, sedangkan subjek-subjek lain seperti para siswa yang mengikuti pelajaran IPS, wali kelas, kepala sekolah, dan para karyawan yang masih terkait dengan penelitian ini, sebagai kolaborator pendukung yang merupakan sumber data penting yang mendukung keberhasilan pelaksanaan tindakan kelas.


(1)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat ditarik simpulan sebagai berikut.

1. Peningkatkan aktivitas belajar siswa melalui model Problem Based Learning (PBL) dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial terlaksana dengan baik dalam tiga siklus pelaksanaan pembelajaran. Hal ini diwujudkan dengan adanya bekerjasama membagi pekerjaan dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru, bertanggung jawab, siswa saling menghargai pendapat dan tanggapan saat diskusi, serta dapat menghasilkan karya yang dapat dipresentasikan dengan baik.

2. Pengembangkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup melalui penerapan model Problem Based Learning (PBL) telah terwujud dalam tiga siklus. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup yang sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta dibuktikan dengan siswa tetap menjaga kebersihan lingkungan kelas dan sekitarnya dengan membuang sampah di tempatnya dan ruang kelas yang lebih rapih, bersih dan terjalinya interaksi antar siswa secara sangat baik. Guru selalu menanamkan cara-cara yang dapat memberi kebaikan padakehidupan sosial dan


(2)

152 lingkunganhidup dan siswa dapat menerima dengan baik serta dapat menerapkanya dalam kehidupan nyata sehari-hari di lingkungan sekolahnya.

B. Saran

Berdasarkan simpulan hasil penelitian di atas, sesuai dengan maksud penelitian ini, maka peneliti menyarankan:

1. Guru dapat membangun komunikasi dari berbagai arah untuk meningkatkan aktivitas siswa dan akhirnya siswa dapat menghasilkan sebuah karya yang dapat dipresentasikan di depan kelas.

2. Model Problem Based Learning merupakan salah satu inovasi dalam pembelajaran, dengan model ini siswa akan termotivasi untuk belajar, mandiri, bekerja sama, cepat mengambil keputusan, pandai mengemukakan pendapat, dan aktif dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru serta lebih kreatif dan biasa menyikapi secara kritis dan kreatif.

3. Guru mendapat tambahan pengetahuan melalui penelitian tindakan ini dan model Problem Based Learning dapat dilaksanakan di dalam kelas sebagai variasi dalam mengajar.

4. Penelitian ini masih banyak kekurangannya, sehingga perlu dikembangkan lagi penelitian yang serupa pada bidang dan sampel yang lebih luas untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

5. Kepada pihak sekolah agar dapat memberi perhatian khusus terhadap siswa yang memiliki kemampuan kognitif dan afektif yang kurang baik untuk mendapatkan bimbingan khusus secara intensif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Agung. 2010. Langkah-Langkah Problem Based Learning. (Online) (http://agung-Spirit.blogspot-com/2010/12/7. Artikel diunduh pada tanggal 7 Agustus 2012).

Arends, R. L. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw-Hill.

Arianto, Ismail, dkk. 1988. Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup untuk IKIP dan FKIP. Depdikbud. Jakarta Dirjen Pendidikan Tinggi dan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.

Barnawi & M, Arifin. 2011. Strategi dan Kebijakan Pembelajaan Pendidikan Karakter. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.

Bedjo. 1996. Perhatian Orang Tua dari Keluarga dalam Pendidikan

Anak-Anaknya. Majalah Ilmiah Universitas Udayana. Bali: Universitas Udayana. Elliot, S. N., Kratochwill, T. R., Cook, J. L., et al. 2000. Educational psychology:

Effective Teacting, Effective Learning. New York: McGraw-Hiil.

Fadli. 2010. Konsep Kepedulian Mahasiswa dengan Sosial Masyarakat. (Online). (http://drfadli.blogdetik.com/2010/02/18/konsep-kepedulian-mahasiswa-dengan-sosial-masyarakat/, diakses tanggal 04 Juni 2013).

Gijbels, D., Dochy, F., & Van de Bossche, F. 2005. Effects of Problem-Based- Learning: A Meta-Analysis From the Angle of Assessment. Journal of Reveew of Educational Research, 75, 27-49.

Harnoko. 2005. Model Problem Based Learning untuk Pendidikan Lingkungan yang Terintegrasi pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, di Sekolah Mengengah Pertama Negeri 16 Yogyakarta. Tesis Universitas Negeri Yogyakarta, tidak diterbitkan.

Hasan dan Salladin. 1995. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi.

Ibrahim N., dkk. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Unesa University Press.


(4)

154 Imazizah. 2012. Kepedulian Sosial. (Online).

(http://iimazizah.wordpress.com/2012/12/18/kepedulian-sosial/, diakses tanggal 04 Juni 2013).

INPRES No 1. 2010. Pendidikan Karakter. Bahan Pendidikan dan Latihan Instruktur bagi Tem Pengembang Kurikulum Provinsi. Bogor.

Kemmis, S. dan Mc. Taggart, R. 1988. The Action Research Planner. Victoria Dearcin University Press.

Martorella, H. P. 1994. Social Studies for Elementary Social Education. New York: Macmillan.

Miles, M. B., & Hubermen, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif (Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi). UI-Press: Jakarta. (Buku asli diterbitkan tahun 1984).

Muhadi. 2005. Model Team Teaching untuk Pendidikan Lingkungan yang Terintegrasi pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP. Karya ilmiah tidak diterbitkan

National Council For the Sosial Studies. 1994. Yogyakarta: Mitra Gamawidya. Nurgiyantoro, Burhan. 1987. Penelitian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.

Yogyakarta : BPFE UGM.

Nurhadi, Burhanuddin Y., Agus G. S. 2003. Pembelajaran Kontektual (Contextual Teaching and Learning) dan Penerapanya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.

Pargito. 2011. Penelitian Tindakan Bagi Guru dan Dosen. Bandar Lampung: Anugrah Utama (AURA).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Permendiknas No.22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta: PGRI Yogyakarta.

Rhem, J. 1998. Problem Based Learning: An Instruction Forum: The National Teaching & Learning. 8,1-4.

Rusyan, A.Tabrani dan Daryani. S., Yani. 1990. Penuntun Belajar Yang Sukses. Jakarta: Nine Karya Jaya.

Saidiharjo. 2004. Tinjauan Kritis Metode Pembelajaran IPS dalam Rangka Kerikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan dalam seminar Persiapan implementasi KBK bagi dosen perguruan tinggi, di Universitas Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis


(5)

Sapriya. 2009. Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sardiman. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sari, Uus Yusmantara. 2012. Pengaruh Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar IPS Terhadap Pemahaman Konsep dan Pengembangan Sikap Kepedulian Sosial Siswa Sekolah Dasar. Karya Ilmiah SD Sukahaji, Cimekar Kecamatan Cileunyi. Tidak Diterbitkan.

Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.

Soemantri, M. N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Soenarjati, C. 1989. Dasar dan Konsep Pendidikan Pancasila. Yogjakarta: Laboratorium Jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan FSIPS IKIP Yogjakarta.

Soerjono, Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiarso dan Mustaji, Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik Penerapan dalam Pembelajaran Berbasis Masalah. Surabaya.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sunal, Z. C. & Hass, E. M. 1993. Social Studies and the Elementary Middle School Students. New York: Harcourt Brace College Publisher.

Suwarsih, Madya. 1994. Panduan Penelitian Tindakan. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.

Suyanto. 1997. Pedoman Pelaksanaan Tindakan Kelas Bagian Satu: Pengenalan Penelitian Tindakan. Yogyakarta: BP3GSD UP3SD-UKMP-SD Dirjen Dikti Depdikbud.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Triatmini. 2011. Kepedulian Sosial. (Online).

(http://pembelpai.blogspot.com/2011/01/bab-iii-kepedulian-sosial.html, diakses tanggal 04 Juni 2013).

Undang-Undang No. 20 Bab II pasal 3 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).


(6)

156 Undang-undang. 2009. Undang-undang, Nomor 32, Tahun 2009, tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Universitas Lampung. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Winke1, W. S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Woro P., Arba Aida. 2005. Implementasi Model Problem Based Learning untuk Mengembangkan Kepedulian Lingkungan melalui Pembelajaran IPS di SMP N 8 Yogyakarta. Tesis Universitas Negeri Yogyakarta, tidak diterbitkan.


Dokumen yang terkait

The Implementation Of Problem Based Learning Model Through Group Investigation In Mathematics Learning Viewed From Student’s Adaptive Reasoning In SMP Negeri 1 Surakarta

0 2 7

THE IMPLEMENTATION OF PROBLEM BASED LEARNING MODEL THROUGH GROUP INVESTIGATION IN The Implementation Of Problem Based Learning Model Through Group Investigation In Mathematics Learning Viewed From Student’s Adaptive Reasoning In SMP Negeri 1 Surakarta.

0 2 17

INTRODUCTION The Implementation Of Problem Based Learning Model Through Group Investigation In Mathematics Learning Viewed From Student’s Adaptive Reasoning In SMP Negeri 1 Surakarta.

0 4 6

THE IMPLEMENTATION OF PROBLEM BASED LEARNING MODEL THROUGH GROUP INVESTIGATION IN The Implementation Of Problem Based Learning Model Through Group Investigation In Mathematics Learning Viewed From Student’s Adaptive Reasoning In SMP Negeri 1 Surakarta.

0 2 12

IMPLEMENTATION OF THE POLYA PROBLEM SOLVING APPROACH IN MATHEMATICS LEARNING THROUGH GROUP Implementation Of The Polya Problem Solving Approach In Mathematics Learning Through Group Investigation Strategy Based On Strategic Competence For Grade VII OF SM

0 3 16

IMPLEMENTATION OF THE POLYA PROBLEM SOLVING APPROACH IN MATHEMATICS LEARNING THROUGH GROUP Implementation Of The Polya Problem Solving Approach In Mathematics Learning Through Group Investigation Strategy Based On Strategic Competence For Grade VII OF SM

0 3 12

THE COMPARISON OF EFFECTIVENESS OF PROJECT-BASED LEARNING AND PROBLEM-BASED LEARNING ON THE SPACE MODEL OF FLAT SIDE IN TERMS OF ACHIEVEMENT OF LEARNING OBJECTIVES STUDENT.

0 0 6

DEVELOPING STUDENT’S INTEREST IN MATHEMATICS LEARNING THROUGH COLLABORATIVE PROBLEM BASED LEARNING MODEL.

0 0 6

IMPROVING THE STUDENTS’ CONFIDENCE IN LEARNING MATHEMATICS THROUGH PROBLEM BASED LEARNING.

0 0 6

Problem Based Learning (PBL) in Competence Based Curriculum and The Accademic Achievement: Evaluation of PBL Implementation

0 1 9