B. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan seni dan budaya semakin disadari sebagai sebuah fenomena kehidupan manusia yang paling progresif, baik dalam hal pertemuan dan
pergerakan manusia secara fisik ataupun idegagasan serta pengaruhnya dalam bidang ekonomi. Karenanya banyak negara yang kini menjadikan kebudayaan
komersial atau non komersial sebagai bagian utama strategi pembangunannya. Selanjutnya, dalam jangka panjang akan terbentuk sebuah sistem industri budaya.
Dimana kebudayaan bertindak sebagai faktor utama pembentukan pola hidup, sekaligus mewakili citra sebuah komunitas. Di Indonesia, poros-poros seni dan
budaya seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Denpasar Bali telah menyadari hal ini dan mulai membangun sistem industri budayanya masing-masing. Meski dalam
beberapa kasus, industri budaya lebih merupakan ekspansi daripada pengenalan kebudayaan, tetapi dalam beberapa pengalaman utama, industri budaya justru
merangsang kehidupan masyarakat pendukungnya. Hak Kekayaan Intelektual adalah padanan kata yang digunakan untuk
Intellectual Property Rights
, yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Dalam
Perjanjian TRIPs, HAKI didefinisikan sebagai “
the right [of Creators] to prevent others from using their inventions, designs, or other creations
”.
5
Pada intinya Hak Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam Hak
Kekayaan Intelektual adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena
5
WTO,
TRIPs
, http:www.wto.orgenglishthewto_ewhatis_etif_eagrm6_e.htm,
diakses pada tanggal 20 Agustus 2011.
kemampuan intelektual manusia. Hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual muncul dari hak eksklusif yang diberikan negara
kepada individu pelaku Hak Kekayaan Intelektual
inventor
, pencipta, pendesain dan sebagainya tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya
kreativitasnya dan agar orang lain terpacu untuk dapat lebih lanjut
mengembangkannya lagi.
6
Hak Kekayaan Intelektual pada hakikatnya merupakan suatu hak dengan karakteristik khusus dan istimewa, karena hak tersebut diberikan oleh negara.
Negara berdasarkan ketentuan Undang-undang, memberikan hak khusus tersebut kepada yang berhak sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang harus
dipenuhi.
7
Hak kekayaan di sini menyangkut pengertian “pemilikan”
ownership
yang menyangkut lembaga sosial dan hukum, keduanya selalu terkait dengan
“pemilik”
owner
dan sesuatu benda yang dimiliki
something owned
. Secara
luas konsep “kepemilikan” dan “kekayaan” apabila dikaitkan dengan “hak”, maka ditinjau dari segi hukum, dikenal hak yang menyangkut kepemilikan dan hak yang
menyangkut kebendaan. Pada dasarnya hak kebendaan meliputi juga hak kepemilikan karena kepemilikan senantiasa berhubungan dengan benda tertentu
baik secara
materiil maupun immaterial. Menurut W.R. Cornish, “hak milik
intelektual melindungi pemakaian idea dan informasi yang mempunyai nilai
6
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual,
Tangerang: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2006, hal. 3.
7
Sentosa Sembiring,
Hak Kekayaan Intelektual dalam Berbagai Perundangan-undangan
Bandung: Yrama Widya, 2002, hal. 13.
komersiil atau nilai
ekonomi”.
8
Pemilikannya tidak berupa hasil kemampuan
intelektual manusianya yang baru berupa idea tertentu. Hak milik intelektual ini baru ada, bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang
dapat dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis. Pemakaian istilah
folklore
untuk kebudayaan tradisional pada awalnya
dipandang oleh sebagian orang memiliki konotasi negatif, menggambarkan sesuatu kreasi yang rendah. Guna menghilangkan citra negatif tersebut diperlukan
suatu pengertian yang tepat. Maka dari itu, dikembangkan suatu pengertian
folklore
yang baru sebagai hasil
elaborasi
dan
resultante
dari beberapa pengertian yang berkembang sehingga pengertiannya dapat diterima luas dan pantas sesuai
dengan maksudnya serta relevan dengan perjanjian internasional. Dengan harapan
seperti itu maka
folklore
mengandung pengertian tidak semata terfokus pada hal artistik kesusasteraan serta seni pertunjukan, namun sangat luas cakupannya
meliputi semua aspek kebudayaan. Terminologi
folklore
sendiri juga dipisahkan dari
tradisional knowledge
oleh WIPO
The World Intellectual Property Organization
dan UNESCO
The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
, yaitu sebagai berikut:
“… expression of folklore means productions consisting of
characteristic elements of the traditional artistic heritage
developed and maintain by a community of a country or by
individuals reflecting the traditional artistic expectations of such a
community, in particular: verbal expressions, such a s folk tales,
folk poetry and riddles; musical expressions, such as folk songs
and instrumenta l music; expressions by action, such asfolk dances,
plays and artistic forms or rituals; whether or not reduced to
material form; and tangible expressions, such as: productions of
folk art, in particular, dra wings, paintings carvings,
8
W. R. Cornish,
Intellectual Property
dalam Etty Susilowati,
Kontrak Alih Teknologi pada Industri Manufaktur
, Yogyakarta : Genta Press, 2007, hal. 106.
sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewellery,
basket weaving, needlework, textiles, ca rpets, costumes; musical instruments; architectural forms
”.
9
Di dalam hukum internasional perlindungan hak kekayaan intelektual atas
folklore
diatur di dalam TRIPs
Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods
dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing
The World
Trade Organization
Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. TRIPs sebagai lampiran WTO
World Trade Organization Agreement
merupakan dokumen yang mengikat Indonesia. Berdasarkan hukum internasional, persetujuan internasional yang telah
diratifikasi merupakan hukum nasional bagi Negara itu sendiri.
10
Selain TRIPs, UNESCO dan WIPO telah melaksanakan berbagai usaha untuk pengaturan
folklore
. Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976 pengaturan
folklore
telah dimuat juga di dalam
Tunis Model La w on Copyright for
Developing Countries
. WIPO pada tahun 1982 telah juga mengaturnya dalam model
Provisions for National La ws on the Protection of Expressions of Folklore
against Illicit Exploitation and Other Prejudical Actions.
11
Konferensi Internasional mengenai Hak Budaya dan Hak Kekayaan Intelektual dari Penduduk
Asli yang diadakan pada tahun 1993 di Mataatua Selandia Baru berhasil mengeluarkan Deklarasi Mataatua, yang pada intinya menyatakan bahwa :
12
9
Tim Lindsey, dkk,
Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar
, Bandung : PT. Alumni, 2006, hal. 276.
10
Achmad Zen Umar Purba,
Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs
, Bandung: PT Alumni, 2005, hal. 17.
11
Tim Lindsey, dkk
, Op.cit
, hal. 276-277.
12
Ibid
, hal. 279-280.
a. Hak untuk melindungi pengetahuan tradisional adalah sebagian dari
hak menentukan nasib sendiri; b.
Masyarakat tradisional seharusnya menentukan untuk dirinya sendiri apa yang merupakan kekayaan intelektual dan budaya mereka;
b. Mekanisme perlindungan kekayaan tradisional kurang memadai;
c. Kode etik harus dikembangkan yang harus ditaati
user
asing apabila melakukan
observasi dan
pencatatan-pencatatan pengetahuan
tradisional dan adat; d.
Sebuah lembaga harus dibentuk untuk melestarikan budaya dan memantau komersialisasi karya-karya dan pengetahuan ini, untuk
memberi usulan kepada penduduk asli mengenai bagaimana mereka dapat melindungi sejarah budayanya dan untuk berunding dengan
pemerintah mengenai undang-undang yang berdampak atas hak tradisional;
b. Sebuah sistem tambahan mengenai hak budaya dan kekayaan
intelektual harus dibentuk yang mengakui; c.
Kepemilikan berkelompok yang berlaku surut berdasarkan asal-usul dari karya-karya bersejarah dan kontemporer;
d. Perlindungan terhadap pelecehan dari benda budaya yang penting;
e. Kerangka yang mementingkan kerja sama dibandingkan yang bersifat
bersaing; dan f.
Yang paling berhak adalah keturunan dari pemelihara pengetahuan tradisional.
Selain dengan diterbitkannya model hukum dan peraturan untuk
melindungi
folklore
ini, juga telah diselenggarakan oleh UNESCOWIPO suatu pertemuan di Phuket, Thailand, dari 8 to 10 April 1997 berupa forum dunia, yaitu
World Forum on the Protection of Folklore
. Sedangkan dalam ranah hukum nasional, hak kekayaan intelektual telah
diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan tuntutan TRIPs, yaitu UU No. 29 Tahun 2000 Perlindungan Varietas Tanaman, UU No.
30 Tahun 2000 Rahasia Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 Desain Industri, UU No. 32 Tahun 2000 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No. 14 Tahun 2001
Paten, UU No. 15 Tahun 2001 Merek, dan UU No. 19 Tahun 2002 Hak Cipta. Pengaturan hak kekayaan intelektual atas
folklore
dan usaha
pelestariannya di Indonesia sudah dimulai sejak diterbitkannya Undang-undang Hak Cipta. Kepemilikan atas
Folklore
ini atau pemegang Hak Ciptanya menurut ketentuan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta: “Negara memegang Hak Cipta atas
folklore
dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda,
babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya”.
13
Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta, Negara memegang Hak Cipta terhadap karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya,
folklor
dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Di samping itu, negara juga seyogyanya
berkewajiban untuk memelihara dan melindunginya dari gangguan pihak lain. Dalam rangka melindungi
folklore
dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli ataupun komersialisasi serta tindakan yang
merusak atau pemanfaatan komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersil tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang
Hak Cipta. Jadi apabila pihak asing memanfaatkan karya budayapengetahuan tradisionalnya tanpa mengindahkan kepentingan Indonesia atau masyarakat
tradisional, negara harus mempertahankannya dan menggugatnya.
14
Seperti contoh kasus di mana Malaysia menjadikan lagu yang berirama sama persis dengan Rasa Sayange sebagai jingle lagu Truly Asia untuk
promosi pariwisata negeri jiran itu. Meski syair lagunya tidak sama, Rasa
13
Lihat Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
14
Muhammad Djumhana,
Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 60.
Sayange versi Malaysia yang berjudul Rasa Sayang Hey itu memiliki notasi dan irama yang hampir sama persis dengan lagu Rasa Sayange yang lebih dahulu ada
di Indonesia. Malaysia juga mengklaim Tarian Reog Ponorogo sebagai warisan budaya mereka. Reog Malaysia yang muncul di website Kementerian
Kebudayaan, Kesenian, dan
Warisan Malaysia dengan alamat situs http:www.heritage.gov.my itu terdapat banyak kemiripan dengan reog
Ponorogo.
15
Selain itu Kantor berita Malaysia,
Bernama,
pada tanggal 15 Juni 2012, melansir berita bahwa Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan
Datuk Seri Rais Yatim berencana mendaftarkan Tari Tortor dan alat musik Gondang Sembilan dari Mandailing dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan
2005.
16
Kasus-kasus tersebut bisa dijadikan pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam rangka melindungi
folklore
dan hasil kebudayaan rakyat, untuk segera mematenkan hasil-hasil kebudayannya.
Sebagai anggota World Trade Organization WTO, maka Indonesia harus menyesuaikan semua ketentuan Hak Kekayaan Intelektual yang ada dengan
ketentuan TRIPS, dengan catatan bahwa dalam hal ini harus sejauh mungkin diupayakan agar penerapan dan implementasi ketentuan TRIPS tersebut tidak
merugikan kepentingan Indonesia. Namun, karena sistem hukum Indonesia menganut
Civil La w system
, ada perbedaan dengan negara yang sistem hukumnya menganut
Common La w system
. Salah satu ciri negara-negara yang menganut
15
Antara News,
Reog Malaysia
Asli Buatan
Indonesia
, http:www.antaranews.comview?i=1195762369c=SBHs=
, diakses
pada tanggal
01 November 2011.
16
Tempo,
Malaysia Klaim
Tari Tortor,
Indonesia Harus
tegas
, http:www.tempo.coreadnews20120618173411217Malaysia-Klaim-Tari-Tortor-Indonesia-
Harus-Tegas , diakses pada tanggal 30 Juni 2012.
Civil La w system
biasanya membuat peraturan yang detail karena hukum harus tertulis dan ada pemisahan secara tegas dan jelas antara hukum publik dengan
hukum privat Sedangkan negara yang
Common La w system
didominasi oleh hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan melalui putusan hakim dan tidak ada
pemisahan yang tegas dan jelas antara hukum publik dan privat. Selain itu, hukum internasional belum mempunyai aturan tegas mengenai
folklore
. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Hak Kekayaan Intelektual pada awalnya
didominasi negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara yang lebih memprioritaskan pada hak cipta dan hak industrial.
17
Hal inilah tentunya yang akan menjadikan perbedaan dalam pengaturan pengaturan Hak Kekayaan
Intelektual atas
folklore
kesenian tradisional dalam hukum nasional dan internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji
secara mendalam melalui analisa ilmu hukum mengenai perlindungan hukum terhadap
folklore
kesenian tradisional dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional dan hukum Hak Kekayaan Intelektual internasional.
C. Rumusan Masalah