Latar Belakang Masalah Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Folklore dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum Internasional T1 312006046 BAB I

B. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan seni dan budaya semakin disadari sebagai sebuah fenomena kehidupan manusia yang paling progresif, baik dalam hal pertemuan dan pergerakan manusia secara fisik ataupun idegagasan serta pengaruhnya dalam bidang ekonomi. Karenanya banyak negara yang kini menjadikan kebudayaan komersial atau non komersial sebagai bagian utama strategi pembangunannya. Selanjutnya, dalam jangka panjang akan terbentuk sebuah sistem industri budaya. Dimana kebudayaan bertindak sebagai faktor utama pembentukan pola hidup, sekaligus mewakili citra sebuah komunitas. Di Indonesia, poros-poros seni dan budaya seperti Jakarta, Bandung, Jogja, Denpasar Bali telah menyadari hal ini dan mulai membangun sistem industri budayanya masing-masing. Meski dalam beberapa kasus, industri budaya lebih merupakan ekspansi daripada pengenalan kebudayaan, tetapi dalam beberapa pengalaman utama, industri budaya justru merangsang kehidupan masyarakat pendukungnya. Hak Kekayaan Intelektual adalah padanan kata yang digunakan untuk Intellectual Property Rights , yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Dalam Perjanjian TRIPs, HAKI didefinisikan sebagai “ the right [of Creators] to prevent others from using their inventions, designs, or other creations ”. 5 Pada intinya Hak Kekayaan Intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam Hak Kekayaan Intelektual adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena 5 WTO, TRIPs , http:www.wto.orgenglishthewto_ewhatis_etif_eagrm6_e.htm, diakses pada tanggal 20 Agustus 2011. kemampuan intelektual manusia. Hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual muncul dari hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku Hak Kekayaan Intelektual inventor , pencipta, pendesain dan sebagainya tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya kreativitasnya dan agar orang lain terpacu untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi. 6 Hak Kekayaan Intelektual pada hakikatnya merupakan suatu hak dengan karakteristik khusus dan istimewa, karena hak tersebut diberikan oleh negara. Negara berdasarkan ketentuan Undang-undang, memberikan hak khusus tersebut kepada yang berhak sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. 7 Hak kekayaan di sini menyangkut pengertian “pemilikan” ownership yang menyangkut lembaga sosial dan hukum, keduanya selalu terkait dengan “pemilik” owner dan sesuatu benda yang dimiliki something owned . Secara luas konsep “kepemilikan” dan “kekayaan” apabila dikaitkan dengan “hak”, maka ditinjau dari segi hukum, dikenal hak yang menyangkut kepemilikan dan hak yang menyangkut kebendaan. Pada dasarnya hak kebendaan meliputi juga hak kepemilikan karena kepemilikan senantiasa berhubungan dengan benda tertentu baik secara materiil maupun immaterial. Menurut W.R. Cornish, “hak milik intelektual melindungi pemakaian idea dan informasi yang mempunyai nilai 6 Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Tangerang: Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2006, hal. 3. 7 Sentosa Sembiring, Hak Kekayaan Intelektual dalam Berbagai Perundangan-undangan Bandung: Yrama Widya, 2002, hal. 13. komersiil atau nilai ekonomi”. 8 Pemilikannya tidak berupa hasil kemampuan intelektual manusianya yang baru berupa idea tertentu. Hak milik intelektual ini baru ada, bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis. Pemakaian istilah folklore untuk kebudayaan tradisional pada awalnya dipandang oleh sebagian orang memiliki konotasi negatif, menggambarkan sesuatu kreasi yang rendah. Guna menghilangkan citra negatif tersebut diperlukan suatu pengertian yang tepat. Maka dari itu, dikembangkan suatu pengertian folklore yang baru sebagai hasil elaborasi dan resultante dari beberapa pengertian yang berkembang sehingga pengertiannya dapat diterima luas dan pantas sesuai dengan maksudnya serta relevan dengan perjanjian internasional. Dengan harapan seperti itu maka folklore mengandung pengertian tidak semata terfokus pada hal artistik kesusasteraan serta seni pertunjukan, namun sangat luas cakupannya meliputi semua aspek kebudayaan. Terminologi folklore sendiri juga dipisahkan dari tradisional knowledge oleh WIPO The World Intellectual Property Organization dan UNESCO The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization , yaitu sebagai berikut: “… expression of folklore means productions consisting of characteristic elements of the traditional artistic heritage developed and maintain by a community of a country or by individuals reflecting the traditional artistic expectations of such a community, in particular: verbal expressions, such a s folk tales, folk poetry and riddles; musical expressions, such as folk songs and instrumenta l music; expressions by action, such asfolk dances, plays and artistic forms or rituals; whether or not reduced to material form; and tangible expressions, such as: productions of folk art, in particular, dra wings, paintings carvings, 8 W. R. Cornish, Intellectual Property dalam Etty Susilowati, Kontrak Alih Teknologi pada Industri Manufaktur , Yogyakarta : Genta Press, 2007, hal. 106. sculptures, pottery, terracotta, mosaic, woodwork, metalware, jewellery, basket weaving, needlework, textiles, ca rpets, costumes; musical instruments; architectural forms ”. 9 Di dalam hukum internasional perlindungan hak kekayaan intelektual atas folklore diatur di dalam TRIPs Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods dan kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. TRIPs sebagai lampiran WTO World Trade Organization Agreement merupakan dokumen yang mengikat Indonesia. Berdasarkan hukum internasional, persetujuan internasional yang telah diratifikasi merupakan hukum nasional bagi Negara itu sendiri. 10 Selain TRIPs, UNESCO dan WIPO telah melaksanakan berbagai usaha untuk pengaturan folklore . Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976 pengaturan folklore telah dimuat juga di dalam Tunis Model La w on Copyright for Developing Countries . WIPO pada tahun 1982 telah juga mengaturnya dalam model Provisions for National La ws on the Protection of Expressions of Folklore against Illicit Exploitation and Other Prejudical Actions. 11 Konferensi Internasional mengenai Hak Budaya dan Hak Kekayaan Intelektual dari Penduduk Asli yang diadakan pada tahun 1993 di Mataatua Selandia Baru berhasil mengeluarkan Deklarasi Mataatua, yang pada intinya menyatakan bahwa : 12 9 Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar , Bandung : PT. Alumni, 2006, hal. 276. 10 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs , Bandung: PT Alumni, 2005, hal. 17. 11 Tim Lindsey, dkk , Op.cit , hal. 276-277. 12 Ibid , hal. 279-280. a. Hak untuk melindungi pengetahuan tradisional adalah sebagian dari hak menentukan nasib sendiri; b. Masyarakat tradisional seharusnya menentukan untuk dirinya sendiri apa yang merupakan kekayaan intelektual dan budaya mereka; b. Mekanisme perlindungan kekayaan tradisional kurang memadai; c. Kode etik harus dikembangkan yang harus ditaati user asing apabila melakukan observasi dan pencatatan-pencatatan pengetahuan tradisional dan adat; d. Sebuah lembaga harus dibentuk untuk melestarikan budaya dan memantau komersialisasi karya-karya dan pengetahuan ini, untuk memberi usulan kepada penduduk asli mengenai bagaimana mereka dapat melindungi sejarah budayanya dan untuk berunding dengan pemerintah mengenai undang-undang yang berdampak atas hak tradisional; b. Sebuah sistem tambahan mengenai hak budaya dan kekayaan intelektual harus dibentuk yang mengakui; c. Kepemilikan berkelompok yang berlaku surut berdasarkan asal-usul dari karya-karya bersejarah dan kontemporer; d. Perlindungan terhadap pelecehan dari benda budaya yang penting; e. Kerangka yang mementingkan kerja sama dibandingkan yang bersifat bersaing; dan f. Yang paling berhak adalah keturunan dari pemelihara pengetahuan tradisional. Selain dengan diterbitkannya model hukum dan peraturan untuk melindungi folklore ini, juga telah diselenggarakan oleh UNESCOWIPO suatu pertemuan di Phuket, Thailand, dari 8 to 10 April 1997 berupa forum dunia, yaitu World Forum on the Protection of Folklore . Sedangkan dalam ranah hukum nasional, hak kekayaan intelektual telah diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan sesuai dengan tuntutan TRIPs, yaitu UU No. 29 Tahun 2000 Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 30 Tahun 2000 Rahasia Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 Desain Industri, UU No. 32 Tahun 2000 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No. 14 Tahun 2001 Paten, UU No. 15 Tahun 2001 Merek, dan UU No. 19 Tahun 2002 Hak Cipta. Pengaturan hak kekayaan intelektual atas folklore dan usaha pelestariannya di Indonesia sudah dimulai sejak diterbitkannya Undang-undang Hak Cipta. Kepemilikan atas Folklore ini atau pemegang Hak Ciptanya menurut ketentuan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta: “Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya”. 13 Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Negara memegang Hak Cipta terhadap karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya, folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Di samping itu, negara juga seyogyanya berkewajiban untuk memelihara dan melindunginya dari gangguan pihak lain. Dalam rangka melindungi folklore dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli ataupun komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersil tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Jadi apabila pihak asing memanfaatkan karya budayapengetahuan tradisionalnya tanpa mengindahkan kepentingan Indonesia atau masyarakat tradisional, negara harus mempertahankannya dan menggugatnya. 14 Seperti contoh kasus di mana Malaysia menjadikan lagu yang berirama sama persis dengan Rasa Sayange sebagai jingle lagu Truly Asia untuk promosi pariwisata negeri jiran itu. Meski syair lagunya tidak sama, Rasa 13 Lihat Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 14 Muhammad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual , Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 60. Sayange versi Malaysia yang berjudul Rasa Sayang Hey itu memiliki notasi dan irama yang hampir sama persis dengan lagu Rasa Sayange yang lebih dahulu ada di Indonesia. Malaysia juga mengklaim Tarian Reog Ponorogo sebagai warisan budaya mereka. Reog Malaysia yang muncul di website Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Malaysia dengan alamat situs http:www.heritage.gov.my itu terdapat banyak kemiripan dengan reog Ponorogo. 15 Selain itu Kantor berita Malaysia, Bernama, pada tanggal 15 Juni 2012, melansir berita bahwa Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Datuk Seri Rais Yatim berencana mendaftarkan Tari Tortor dan alat musik Gondang Sembilan dari Mandailing dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005. 16 Kasus-kasus tersebut bisa dijadikan pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam rangka melindungi folklore dan hasil kebudayaan rakyat, untuk segera mematenkan hasil-hasil kebudayannya. Sebagai anggota World Trade Organization WTO, maka Indonesia harus menyesuaikan semua ketentuan Hak Kekayaan Intelektual yang ada dengan ketentuan TRIPS, dengan catatan bahwa dalam hal ini harus sejauh mungkin diupayakan agar penerapan dan implementasi ketentuan TRIPS tersebut tidak merugikan kepentingan Indonesia. Namun, karena sistem hukum Indonesia menganut Civil La w system , ada perbedaan dengan negara yang sistem hukumnya menganut Common La w system . Salah satu ciri negara-negara yang menganut 15 Antara News, Reog Malaysia Asli Buatan Indonesia , http:www.antaranews.comview?i=1195762369c=SBHs= , diakses pada tanggal 01 November 2011. 16 Tempo, Malaysia Klaim Tari Tortor, Indonesia Harus tegas , http:www.tempo.coreadnews20120618173411217Malaysia-Klaim-Tari-Tortor-Indonesia- Harus-Tegas , diakses pada tanggal 30 Juni 2012. Civil La w system biasanya membuat peraturan yang detail karena hukum harus tertulis dan ada pemisahan secara tegas dan jelas antara hukum publik dengan hukum privat Sedangkan negara yang Common La w system didominasi oleh hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan melalui putusan hakim dan tidak ada pemisahan yang tegas dan jelas antara hukum publik dan privat. Selain itu, hukum internasional belum mempunyai aturan tegas mengenai folklore . Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Hak Kekayaan Intelektual pada awalnya didominasi negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara yang lebih memprioritaskan pada hak cipta dan hak industrial. 17 Hal inilah tentunya yang akan menjadikan perbedaan dalam pengaturan pengaturan Hak Kekayaan Intelektual atas folklore kesenian tradisional dalam hukum nasional dan internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji secara mendalam melalui analisa ilmu hukum mengenai perlindungan hukum terhadap folklore kesenian tradisional dalam hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional dan hukum Hak Kekayaan Intelektual internasional.

C. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi Asas Yurisdiksi Universal dalam Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional T1 312011605 BAB I

0 1 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Spesies Langka Flora dan Fauna Liar dalam Ranah Hukum Internasional dan Hukum Nasional T1 312007058 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Folklore dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum Internasional T1 312006046 BAB II

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Folklore dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum Internasional T1 312006046 BAB IV

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum Terhadap Folklore dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia dan Hukum Internasional

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Standar Perlindungan Hak – Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional T1 312008059 BAB I

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Standar Perlindungan Hak – Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional T1 312008059 BAB II

0 0 37

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Standar Perlindungan Hak – Hak Tersangka atau Terdakwa Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional T1 312008059 BAB IV

0 0 6

POLITIK HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL I

0 29 205