BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penderita tunanetra tertinggi di Asia. Survei Indra Penglihatan dan Pendengaran tahun
1993 – 1996 menunjukkan bahwa angka kebutaan di Indonesia mencapai 1,5. Jumlah ini adalah yang paling tinggi di Asia dibandingkan dengan Bangladesh
1, India 0,7, dan Thailand 0,3 Djunaedi, 2010. Melalui situs Merdeka.com pada tahun 2012, direktur utama Rumah Sakit Mata Cicendo, Hikmat
Wangsaatmadja mengungkapkan bahwa penyakit kebutaan di Indonesia menempati posisi kedua di dunia. Dari sekitar 45 juta penduduk dunia yang buta,
3,5 juta diantaranya atau sekitar 7,7 nya adalah warga Indonesia. Banyaknya jumlah penyandang tunanetra di Indonesia ini sudah
selayaknya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Penyandang tunanetra berhak memperoleh kesempatan yang sama
seperti orang normal lainnya, di berbagai bidang termasuk pendidikan. Pemerintah sendiri telah menjamin hak setiap warga negaranya untuk
memperoleh pendidikan. Tercantum dalam UUD 1945 pasal 31, disebutkan bahwa : “Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh pendidikan”. Pemerintah juga telah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun. Namun kenyataanya masih banyak anak-anak penyandang
disabilitas yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Dalam The 2010 Country Report on Human Rights Practices yang diterbitkan oleh Pemerintah Amerika,
dilaporkan bahwa di Indonesia ada lebih dari 90 anak-anak tunanetra yang
2 tidak bisa membaca dan menulis UNESCAP, 2010. Hal tersebut menunjukan
bahwa penyandang tunanetra selama ini kurang mendapat perhatian, terutama di bidang pendidikan dasar yaitu membaca dan menulis.
Kemampuan membaca dan menulis sangat diperlukan sebagai modal awal untuk memperoleh informasi serta menjadi media efektif untuk
berkomunikasi timbal balik kemampuan bahasa reseptif dan ekpresif. Penyandang tunanetra merupakan salah satu tipe anak berkebutuhan khusus
ABK, yang mengacu pada hilangnya fungsi indera visual sesorang. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan aktivitas membaca, seorang penyandang tunanetra
menggunakan indra nonvisual yang masih berfungsi yaitu indra perabaan atau disebut dria taktual.
Pembelajaran membaca dan menulis untuk tunanetra dilakukan menggunakan huruf Braille. Huruf Braille merupakan kombinasi pola yang
tersusun dari enam titik timbul yang dapat diraba oleh jari. Kombinasi tersebut bisa dilihat seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Kombinasi Titik dalam Huruf Braille enam titik sumber : Modul Menulis –Membaca Huruf Braille Tingkat Dasar Hal. 2
Dalam perkembanganya, sistem penulisan huruf Braille enam titik dikembangkan menjadi delapan titik. Pada tahun 2001, International Standards
Organization ISO mengeluarkan standar penulisan Braille delapan titik untuk huruf latin, ISOTR 11548. Adapun kombinasi titiknya adalah sebagai berikut :
3 Gambar 2. Kombinasi titik huruf Braille delapan titik
sumber : http:www.Brailleauthority.orgeightdot.html Jerman merupakan negara penggagas sekaligus menjadi pengguna
standar penulisan ini Dixon, 2007. Namun standar penulisan Braille delapan titik ini masih belum diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Rata-rata sekolah di
Indonesia masih mengajarkan Braille enam titik. Hasil observasi yang dilakukan peneliti juga menunjukan bahwa pembelajaran di SLB Yaketunis masih
menggunakan standar penulisan Braille enam titik. Untuk menguasai huruf Braille, siswa memerlukan teknik identifikasi
huruf, penguasaan arah, penelusuran baris serta kepekaan indera perabaan yang baik. Kemampuan tersebut tidaklah datang dengan sendirinya pada siswa.
Melainkan, hal tersebut memerlukan latihan dan pembelajaran yang intensif oleh guru, didukung dengan metode dan media pembelajaran yang baik.
Menurut hasil observasi yang dilakukan peneliti di SLB A Yaketunis Yogyakarta, rata-rata kemampuan siswa tunanetra mengenal huruf Braille adalah
tiga sampai enam bulan. Adapun untuk anak dengan cacat ganda atau memiliki keterbatasan lain, waktu yang digunakan bisa mencapai satu tahun atau lebih.
Pengenalan huruf Braille dilakukan bertahap, untuk kelas satu dikenalkan lima belas huruf terlebih dahulu, baru setelah benar-benar bisa memahami perbedaan
antarhuruf, dikenalkan dengan huruf-huruf lain.
4 Salah satu kendala pembelajaran huruf Braille di SLB Yaketunis adalah
siswa sering mengalami kesalahan dalam menentukan titik Braille, sehingga siswa sulit membedakan titik satu dan dua. Dengan demikian, siswa sering
tertukar antara huruf satu dan huruf lain. Permasalahan tersebut ditambah dengan beban siswa untuk mempelajari
dua jenis huruf. Selain huruf Latin Braille biasa atau Latin latin, siswa juga harus mengenal huruf Braille hijaiyah. Hal tersebut dikarenakan mayoritas siswa adalah
beragama Islam. Huruf Braille hijaiyah diajarkan agar siswa juga mampu membaca Al Quran Braille, dimana Al Quran merupakan pedoman yang wajib
diketahui oleh umat Islam. Banyaknya jenis huruf Braille tersebut memaksa siswa untuk belajar mengenali huruf Braille secara intensif. Padahal jam belajar di
sekolah sangatlah terbatas, serta kemampuan guru yang tidak bisa terus mendampingi siswa setiap waktu. Sehingga diperlukan sebuah media
pembelajaran yang bisa mengatasi permasalahan tersebut. Media pembelajaran yang digunakan di SLB A Yaketunis masih
menggunakan media konvensional diantaranya berupa reken plang, reglet dan papan kayu atau media biji-bijian. Media-media konvensional tersebut memiliki
keterbatasan, dikarenakan membutuhkan bimbingan guru secara intensif. Guru harus mengarahkan siswa untuk membuat titik pola Braille, memasukan biji ke
lubang yang tepat, kemudian baru memberi tahu huruf apa yang sudah dibuat. Media konvensional ini membuat siswa mudah bosan dalam belajar, sehingga
kehilangan motivasi belajar. Berdasarkan permasalahan yang ada maka perlu dikembangkan media
belajar huruf Braille yang interaktif, menarik, dan menyenangkan dengan memanfaatkan teknologi suara. Peneliti mengembangkan sebuah Media
5 pengenalan huruf Braille dilengkapi output suara. Media yang dikembangkan
tersusun dari enam tombol Braille yang dikontrol secara elektronik dan dilengkapi dengan output suara. Melalui media ini diharapkan akan dapat membantu siswa
dalam meningkatkan kepekaan, perabaan, serta mengidentifikasi posisi titik pembentuk huruf. Keutamaan media ini dapat membantu anak dalam mengenal
huruf, yang menekankan pada pengenalan bentuk huruf berdasarkan titik-titik yang membentuk huruf Braille tersebut.Selain itu dengan media ini, siswa bisa
mengurangi ketergantungan pada guru saat pembelajaran, sehingga mendorong siswa agar bisa belajar mandiri.
B. Identifikasi Masalah