Penapisan dan Karakterisasi Aktinomiset Penghasil Senyawa Antibakteri Escherichia coli ATCC 35218 Resisten Antibiotik Beta-Laktam

PENAPISAN DAN KARAKTERISASI AKTINOMISET
PENGHASIL SENYAWA ANTIBAKTERI Escherichia coli
ATCC 35218 RESISTEN ANTIBIOTIK BETA LAKTAM

DYAH NOOR HIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penapisan dan
Karakterisasi Aktinomiset Penghasil Senyawa Antibakteri Escherichia coli ATCC
35218 Resisten Antibiotik Beta-laktam adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014

Dyah Noor Hidayati
NIM G3511000081

RINGKASAN
DYAH NOOR HIDAYATI. Penapisan dan Karakterisasi Aktinomiset Penghasil
Senyawa Antibakteri Escherichia coli ATCC 35218 Resisten Antibiotik ΒetaLaktam. Dibimbing oleh YULIN LESTARI dan BAMBANG MARWOTO.
Diare dan gastroenteritis yang disebabkan oleh mikrob patogen, salah
satunya E. coli, merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Pengobatan yang paling umum adalah dengan pemberian antibiotik,namun, yang
menjadi masalah adalah meningkatnya resistensi patogen terhadap antibiotik,
khususnya golongan beta-laktam. Masalah tersebut menjadikan penemuan
antibiotik baru sangat penting dan aktinomiset merupakan sumber yang sangat
menjanjikan sebagai penghasil penghasil senyawa aktif baru tersebut. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan aktinomiset asli Indonesia yang
menghasilkan senyawa antibakteri E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik betalaktam dan mengidentifikasi ciri-ciri morfologi dan molekuler isolat aktinomiset
penghasil senyawa antibakteri E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik betalaktam tersebut.

Sembilan puluh enam isolat aktinomiset dari kultur stok koleksi
Biotechnology Microbial Culture Collection (BioMCC), BPPT, diremajakan di
dalam media ISP2 (International Streptomyces Project) dan diinkubasikan pada
suhu 28 oC selama 14-21 hari. Pengelompokan aktinomiset ke dalam kelompok
Streptomyces dan non-streptomyces dilakukan berdasarkan morfologi
mikroskopis dari biakan di dalam media agar ISP2 umur 21 hari. Penapisan
aktivitas antibakteri dilakukan menggunakan metode agar plug dan adanya
aktivitas antibakteri ditandai dengan zona bening di sekitar isolat aktinomiset
setelah inkubasi selama 24-48 jam pada suhu 36±1oC. Isolat aktinomiset yang
menunjukkan aktivitas antibakteri selanjutnya dilakukan karakterisasi pola
aktivitas antibakteri berdasarkan umur isolatdi dalam media agar Karakterisasi
pola aktivitas antibakteri dari kultur agar dilakukan dengan menumbuhkan isolat
aktinomiset pada media agar ISP2 dalam cawan selama 15 hari pada suhu 28 oC.
Setiap 3 hari, dari kultur agar diambil untuk dilakukan uji aktivitas antibakteri
menggunakan metode agar plug. Karakterisasi pola aktivitas antibakteri isolat
aktinomiset aktif dari kultur cair dilakukan dengan memfermentasikan isolat di
dalam media cair ISP2 dan diinkubasikan pada suhu 28 oC, 220 rpm, selama 15
hari. Setiap 3 hari fermentasi dilakukan pengambilan sampel dan dilakukan
penyarian senyawa aktif dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat,
dengan perbandingan 1:1 (v/v). Ekstrak etil asetat yang diperoleh dipekatkan dan

selanjutnya digunakan untuk uji aktivitas antibakteri menggunakan metode KirbyBauer pada konsentrasi 1 mg/disc.
Isolat aktinomiset aktif juga dilakukan karakterisasi pola pertumbuhannya di
dalam empat jenis media agar dan media cair yang meliputi media ISP2, ISP4,
MS (Micromonospora Starch), dan BM (Bennet’s Medium). Karakterisasi pola
pertumbuhan di dalam media agar dilakukan dengan menumbuhkan isolat
aktinomiset ke dalam 4 jenis media tersebut dan diinkubasi pada suhu 28 oC
selama 21 hari. Pengamatan yang dilakukan meliputi warna koloni, pembentukan
miselia, dan pertumbuhan spora. Karakterisasi pola pertumbuhan di dalam media
cair dilakukan dengan menumbuhkan isolat aktinomiset selama 15 hari, 28 oC,

220 rpm. Setiap 3 hari sampel diambil dan dilakukan pengukuran volume padatan
selnya (% PMV).
Karakterisasi morfologi mikroskopis isolat aktif dilakukan dengan
pengamatan langsung terhadap kultur di dalam media ISP2 agar umur 21 hari
dengan mikroskop pada perbesaran 500-1000x. Karakterisasi molekuler isolat
aktif dilakukan berdasarkan sekuen parsial 16S rRNA dan dibandingkan dengan
sekuen 16S rRNA yang terdapat di GenBank dengan blastn. Tingkat kekerabatan
di analisis menggunakan perangkat lunak MEGA 5. Ekstrak etil asetat isolat
aktinomiset dengan aktivitas antibakteri paling tinggi dilakukan analisis
menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dan pendugaan berat

molekul senyawa aktif dilakukan menggunakan quadrupole time of flight mass
sphectrometry (QTOF-MS).
Pengelompokan isolat aktinomiset berdasarkan morfologi dan warna, dari
96 isolat aktinomiset, 8 isolat termasuk dalam kelompok Streptomyces dan 88
isolat non-streptomyces. Penapisan aktivitas antibakteri mendapatkan tiga isolat,
yaitu BioMCC-at.HH-64, BioMCC-at.HH-78, dan BioMCC-at.HH-259 yang
menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap E. coli ATCC 35218 dengan rata-rata
diameter penghambatan masing-masing adalah 13,55, 13,88 and 14,71 mm. Hasil
karakterisasi pola aktivitas antibakteri dari kultur padat menunjukkan sampai
umur 15 hari ketiga isolat masih memperlihatkan aktivitas antibakteri dan
aktivitas tertinggi dihasilkan oleh kultur umur 9 hari. Hasil karakterisasi pola
aktivitas antibakteri dari ekstrak etil asetat menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat
dari isolat BioMCC-at.HH-64 sampai hari ke-15 fermentasi tidak menunjukkan
aktivitas antibakteri. Aktivitas antibakteri ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat dari
isolat BioMCC-at.HH-78 dan BioMCC-at.HH-259 setelah 12 hari fermentasi, dan
peningkatan aktivitas antibakteri ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat dari
fermentasi isolat BioMCC-at.HH-259 selama 15 hari.
Hasil karakterisasi pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif, baik dalam
media agar maupun cair ketiga isolat menunjukkan pola pertumbuhan yang relatif
berbeda untuk media yang berbeda. Pola pertumbuhan paling baik ditunjukkan

ketika isolat aktinomiset ditumbuhkan di dalam media ISP4. Hasil pengamatan
morfologi mikroskopis menunjukkan bahwa ketiga isolat memiliki spora tunggal
berbentuk bola, yang tumbuh pada pangkal atau percabangan hifa dan termasuk
dalam genus Micromonospora. Hasil blastn menunjukkan bahwa ketiga isolat
memiliki tingkat homologi tertinggi dengan M.chersina sebesar 99%. Berdasarkan
hasil analisis kemiripan, isolat BioMCC-at.HH-64 memiliki tingkat kemiripan
99,17 % dengan BioMCC-at.HH-259. Sedangkan, isolat BioMCC-at.HH-78
memiliki tingkat kemiripan 42,57 % dengan BioMCC-at.HH-64 dan 42,74 %
dengan BioMCC-at.HH-259. Hasil pendugaan terhadap berat molekul senyawa
aktif
adalah sebesar 186,12 Da yang merujuk pada senyawa
napthylethylenediamine. Aktivitas antibakteri senyawa tersebut terhadap E coli
ATCC 35218 belum pernah dilaporkan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa aktinomiset asli Indonesia memiliki potensi sebagai penghasil
senyawa aktif antibakteri yang mampu menghambat E.coli ATCC 35218 resisten
antibiotik beta-laktam.
Kata kunci : aktinomiset, antibakteri, resisten beta-laktam, Micromonospora,16S
rRNA, senyawa aktif, berat molekul

SUMMARY

DYAH NOOR HIDAYATI. Screening and characterization of actinomycetes with
antibacterial activity against Escherichia coli ATCC 35218 beta-lactam resistant.
Supervised by YULIN LESTARI and BAMBANG MARWOTO.
Diarrhea and gastroenteritis caused by microbial pathogens, such as E. coli,
was one of cause death in Indonesia. The most common treatment was with
antibiotics. However, the rates of resistance to some antibiotics were significantly
higher, especially to beta-lactam classes. Therefore, the discovery of new
antibiotics was very important and actinomycetes are very promising as a source
of new active compounds producer. The objectives of this research are to obtain
indigenous Indonesian actinomycetes producing antibacterial activity againts
resistant beta-lactam antibiotic E. coli ATCC 35218, and to characterize
morphologically and genetically of the active isolates as well as for their active
compounds.
Ninety six actinomycetes isolates from Biotechnology Microbial Culture
Collection (BioMCC), BPPT were cultured on ISP2 medium and incubated at 28
o
C for 14-21 days. The actinomycetes isolates were grouped into Streptomyces
and non-streptomyces genus according to their microscopic morphology from 21
days old culture on ISP2 medium. The colour of actinomycetes colonies were
observed on Yeast Starch Agar (YSA) Medium from 14-21 days old cultures.

Antibacterial activity screening was performed by agar plug method and the
activities were indicated by the clearing zone around the actinomycetes isolates
after 24-48 incubation at 36 ± 1 oC. Furthermore, the active isolates were
characterized their antibacterial activity patterns based on the age of the isolates,
both from agar and liquid cultures. Antibacterial activity patterns characterization
from agar cultures was performed by inoculating the isolates in ISP2 agar medium
and incubated at 28 oC, 15 days. Every 3 days of interval incubation, the cultures
were sampled and assayed for their antibacterial activities by agar plug method.
Antibacterial activity patterns characterization from liquid cultures was done by
inoculating the isolates in ISP2 broth medium and incubated in a rotary shaker at
28 oC, 220 rpm, 15 days. Every 3 days of incubation the culture broth were
sampled and extracted using ethyl acetate, 1:1 (v/v), and concentrated. The
extracts were assayed for their antibacterial activities by Kirby-Bauer method at
concentration of 1 mg/disc.
The active actinomycetes were also characterized for their growth patterns
both in solid and liquid media using 4 different media including ISP2, ISP4, MS,
and BM. The isolates were cultured on solid medium and incubated for 21 days at
28 oC and observed their growth patterns, including the colony colour, mycelium
development, and sporulation. The actinomycetes growth patterns in liquid media
were characterized by inoculating the isolates in 4 media and incubated in a rotary

shaker incubator for 15 days, 28 oC, 220 rpm. Every 3 days of incubation, the
cultures were sampled and measured their packed mycelial volume (PMV).
Morphological characterization of actinomycetes isolates was performed by
microscopic observation under 5000-1000x magnification directly from ISP2 21
days old cultures. Molecular characterization of the actinomycetes isolates were
conducted based on 16S rRNA sequences and the partial sequences were obtained

comparing to the genbank (NCBI) databases. The phylogenetic degree was
analyzed by MEGA 5 software. The most active ethyl acetate extract from
actinomycetes isolate was characterized its bioactive compound using High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) and estimated of its molecular
weight by quadrupole time of flight mass sphectrometry (QTOF-MS).
Actinomycetes isolates grouping based on morphology were grouped 8
isolates into Streptomyces and 88 isolates into non-Streptomyces. Three selected
isolates, BioMCC-at.HH-64, BioMCC-at.HH-78, and BioMCC-at.HH-259
showed their antibacterial activity againts E. coli ATCC 35218. The diameter of
inhibition were 13,55, 13,88 and 14,71 mm, respectively. The characterization of
antibacterial activity pattern based on the age of the isolates, showed that up to 15
days of culture, all of the isolates still showed their antibacterial activities. The
highest activities were at 9 days of culture. The characterization of antibacterial

activity pattern from ethyl acetate extracts, showed that the ethyl acetate extracts
from BioMCC-at.HH-64 fermentation broth didn’t show their antibacterial
activity. Meanwhile, BioMCC-at.HH-78’s extract showed its antibacterial activity
from 12 days of fermentation, and BioMCC-at.HH-259’s extract showed its
antibacterial activity from 12 days fermentation and increased after 15 days of
fermentation.
The growth patterns characterization of actinomycetes isolates resulted that
both on solid and liquid cultures they showed varied growth patterns, and their
best growth were in ISP4 medium. The morphological obsevation under
microscope showed that all active isolates were formed single sperical spores
which grows on the tip of hyphae or spreads on the mycelial brancing and belong
to the genera of Micromonospora. The blastn search from partial sequnces of 16S
rRNA were obtained, showed that all active actinomycetes have 99% similarity to
M. chersina. Based on the results of similarity analysis, isolate BioMCC-at.HH-64
has a level of 99,17% similarity with BioMCC-at.HH-259. Meanwhile, isolate
BioMCC-at.HH-78 has a level of 42,57% similarity with BioMCC-at.HH-64 and
42,74% with BioMCC-at.HH-259. The ethyl acetate extract of BioMCC-at.HH259 was analyzed by HPLC and QTOF-MS. The molecular weight estimation of
active compound from BioMCC-at.HH-259 was 186,12 Da which referred to
napthylethylenediamine. The antibacterial activity of this compound against E.
coli ATCC 35218 has not been reported. From the results of this study we

concluded that Indonesian indigenous actinomycetes are potential producers of
antibacterial bioactive compounds with activity against antibiotic resistant betalactam Escherichia coli ATCC 35218.

Key words : actinomycetes, antibacteria, resistant beta lactam, Micromonospora,
16S rRNA, active compound, molecular weight

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENAPISAN DAN KARAKTERISASI AKTINOMISET
PENGHASIL SENYAWA ANTIBAKTERI Escherichia coli
ATCC 35218 RESISTEN ANTIBIOTIK BETA LAKTAM


DYAH NOOR HIDAYATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

2

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Laksmi Ambarsari MS

3

Judul Tesis : Penapisan dan Karakterisasi Aktinomiset Penghasil Senyawa
Antibakteri Escherichia coli ATCC 35218 Resisten Antibiotik
Beta-Laktam
Nama
: Dyah Noor Hidayati
NIM
: G351100081

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Yulin Lestari
Ketua

Dr Bambang Marwoto Apt, MEng.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Anja Meryandini, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc, Agr

Tanggal Ujian: 28 April 2014

Tanggal Lulus:

4

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2011 ini adalah
tentang bioprospeksi aktinomiset sebagai penghasil senyawa antibakteri, dengan
judul Penapisan dan Karakterisasi Aktinomiset Penghasil Senyawa Antibakteri
Escherichia coli ATCC 35218 Resisten Antibiotik Βeta-Laktam.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Yulin Lestari dan Bapak Dr
Bambang Marwoto Apt, MEng. selaku pembimbing atas arahan dan
bimbingannya, Ibu Dr Laksmi Ambarsari selaku penguji dari luar komisi atas
saran dan masukannya yang sangat berharga, Program Studi Mikrobiologi,
Jurusan Biologi, IPB dan seluruh pengajar atas ilmu yang diberikan, Kementrian
Riset dan Teknologi atas beasiswa yang diberikan, dan Kepala Balai Pengkajian
Bioteknologi BPPT dan jajarannya atas sarana dan prasarana yang diberikan.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan untuk suami
tercinta atas pengorbanan, kesabaran dan doa’nya, dan juga untuk bapak, ibu,
mamah, kakak-kakak dan adik-adik atas seluruh do’anya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2014

Dyah Noor Hidayati

5

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Aktinomiset
Micromonospora
Antimikrob
Antibiotik Βeta-Laktam
Escherichia coli ATCC 35218
Pengujian Aktivitas Antibakteri

3
3
4
4
5
6
7

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Peremajaan dan Pembuatan Kultur Kerja Isolat Aktinomiset
Pengelompokan Isolat Aktinomiset
Penapisan Aktivitas Antibakteri
Karakterisasi Pola Aktivitas Antibakteri
Karakterisasi Pola Pertumbuhan dan Morfologi
Aktinomiset Aktif
Karakterisasi Molekuler Isolat Aktinomiset Aktif
Karakterisasi Awal dan Pendugaan Berat Molekul Senyawa
Aktif Antibakteri
Digram Alir Peelitian

7
7
8
8
8
8

11
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

12

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

25
25
25

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

53

9
10

6

DAFTAR TABEL

1
2
3
4

Daftar beberapa senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat aktinomiset
Pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif pada berbagai media agar
Hasil kuantifikasi konsentrasi dan kemurnian DNA hasil isolasi
Hasil pensejajaran sekuens parsial 16S rRNA isolat aktinomiset aktif
dengan galur acuan yang terdapat pada database GenBank
5 Persentase nilai jarak genetik dan tingkat homologi antar isolat
aktinomiset aktif

4
16
19
19
20

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur kimia penicillin G dan sefalosporin
2 Bagan ruang lingkup penelitian
3 Aktivitas antibakteri isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-64, BioMCCat.HH-78 dan BioMCC-at.HH-259 terhadap E. coli ATCC 35218
4 Pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset BioMCC-at.HH-64,
BioMCC-at.HH-78 dan BioMCC-at.HH-259 dari kultur agar
5 Pola aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat isolat aktinomiset berdasar
lama fermentasi
6 Morfologi makroskopis isolat aktinomiset aktif di dalam 4 jenis media
agar setelah 21 hari inkubasi
7 Pola pertumbuhan isolat aktinomiset aktif di dalam media cair, ISP2,
ISP4, MS dan BM
8 Morfologi mikroskopis isolat aktinomiset aktif setelah inkubasi 21 hari
pada media agar ISP2
9 Dendogram filogenetik berdasar sekuen gen 16S rRNA isolat
aktinomiset aktif dan genus lainnya
10 Spektrum massa senyawa dari ekstrak etil asetat isolat BioMCC-at.HH259
11 Struktur kimia naphtylethylenediamine dan N-(1-Naphthyl) 1,2ethanediamine dihydrochloride

6
12
13
14
14
16
17
18
21
23
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar isolat aktinomiset yang digunakan dan pengelompokannya
berdasarkan morfologi mikroskopis
2 Hasil karakterisasi pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset dari
kultur agar
3 Hasil karakterisasi pola aktivitas antibakteri isolat aktinomiset dari
ekstrak etil asetat
4 Komposisi media untuk karakterisasi pola pertumbuhan isolat
aktinomiset aktif
5 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset BioMCCat.HH-64 menggunakan primer forward

30
32
33
34
35

7
6 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset
at.HH-64 menggunakan primer reverse
7 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset
at.HH-78 menggunakan primer forward
8 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset
at.HH-78 menggunakan primer reverse
9 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset
at.HH-259 menggunakan primer forward
10 Elektoferogram hasil analisis 16S rRNA isolat aktinomiset
at.HH-259 menggunakan primer reverse
11 Sekuen konsensus 16S rRNA isolat aktinomiset aktif
12 Kromatogram KCKT ekstrak etil asetat isolat aktinomiset
at.HH-259 dan BioMCC-at.HH-78
13 Publikasi ilmiah

BioMCC36
BioMCC37
BioMCC38
BioMCC39
BioMCC40
41
BioMCC42
43

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit infeksi hingga saat ini masih menjadi salah satu penyebab tertinggi
kematian di Indonesia, dan infeksi saluran pencernaan masih menduduki posisi
ke-2 penyebab kematian secara umum setelah pneumonia. Berdasarkan profil data
kesehatan Indonesia tahun 2011, penyakit infeksi masih mendominasi 10 besar
penyakit rawat inap di rumah sakit pada tahun 2010. Diare dan gastroenteritis
yang disebabkan oleh infeksi patogen dilaporkan menempati posisi tertinggi,
dengan jumlah kasus pasien rawat inap sebanyak 73.889, dan 1.289 (1,79%)
dilaporkan meninggal dunia (Kemenkes RI 2012).
Penyebab infeksi saluran pencernaan yang terjadi di Indonesia antara lain
diakibatkan oleh infeksi patogen Escherichia coli, dan pengobatan yang umum
digunakan adalah dengan penambahan nutrisi dan cairan serta pemberian
antimikrob. Antimikrob yang umum digunakan di Indonesia untuk pengobatan
infeksi tersebut antara lain adalah siprofloksasin, ampisilin, kloramfenikol, dan
gentamisin. Intensitas penggunaan antimikrob yang relatif tinggi menimbulkan
berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama
munculnya resistensi bakteri terhadap antimikrob, selain berdampak pada
morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan
sosial yang sangat tinggi. Resistensi pada awalnya terjadi di tingkat rumah sakit,
tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, termasuk E. coli.
Hasil studi berkenaan dengan resistensi antimikrob di Indonesia
menyatakaan bahwa dari 2494 individu di masyarakat, 53% E. coli resisten
terhadap berbagai jenis antimikrob yang ada di pasaran, antara lain: ampisilin
(34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (15%). Hasil penelitian terhadap
781 pasien yang dirawat dirumah sakit didapatkan 81% E. coli resisten terhadap
lebih dari satu jenis antimikrob, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%),
kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%) (Lestari et al.
2005; Duerink et al. 2007). Penelitian lain juga melaporkan bahwa beberapa
galur E. coli di Indonesia telah mengalami mutasi gen, dari sensitif menjadi
resisten terhadap antimikrob golongan fluoroquinolon (Kuntaman et al. 2005).
Resistensi E. coli terhadap antimikrob juga dilaporkan oleh peneliti di dunia
(Livermore et al. 2003).
Masalah resistensi E. coli terhadap antimikrob yang sudah ada di pasaran
terutama golongan beta-laktam, harus segera diatasi. Salah satu caranya adalah
dengan senantiasa mencari antimikrob baru dengan potensi yang lebih tinggi dan
mekanisme yang berbeda dalam menghambat atau membunuh patogen penyebab
infeksi. Di sisi lain, munculnya galur baru yang resisten lebih cepat dibandingkan
dengan tingkat penemuan antimikrob baru yang semakin lambat (Donadio et al.
2002). Pada saat ini, para peneliti di dunia tengah gencar mengembangkan
pencarian antimikrob baru yang bersumber pada mikrob, terutama aktinomiset,
karena sangat berpotensi untuk menghasilkan senyawa aktif baru. Menurut Berdy
(2005), dari 16500 senyawa antimikrob yang diisolasi dari mikrob, 52,7% (8700
antimikrob) diantaranya dari aktinomiset, sedangkan sisanya yaitu 29,7% dan

2
17,6% berturut-turut diisolasi dari kapang dan bakteri. Dari 8700 antimikrob yang
diisolasi dari aktinomiset, 6550 diantaranya diisolasi dari genus Streptomyces dan
sisanya, 2250 dari kelompok non-streptomyces atau rare actinomycetes.
Penemuan antimikrob baru dari rare actinomycetes juga dilaporkan oleh
beberapa peneliti di dunia (Hopmann et al. 2002; Beltrametti et al. 2006).
Di Indonesia, penelitian untuk mendapatkan antimikrob baru dengan
memanfaatkan mikrob asli Indonesia masih sangat sedikit, dikarenakan biaya
yang dibutuhkan cukup besar dan memakan waktu yang cukup lama. Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan tema penapisan dan
karakterisasi aktinomiset penghasil senyawa antibakteri E. coli resisten antibiotik,
dengan memanfaatkan biodiversitas aktinomiset asli dari alam Indonesia yang di
koleksi BP Bioteknologi, BPPT.

Perumusan Masalah
Munculnya resistensi patogen E. coli penyebab penyakit infeksi saluran
pencernaan terhadap antibiotik yang sudah ada di pasaran. Di sisi lain, penyakit
infeksi saluran pencernaan masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi
di dunia dan Indonesia. Masih kurangnya pemanfaatan keragaman mikrob asli
Indonesia, terutama aktinomiset sebagai sumber pencarian bahan obat baru.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat aktinomiset asli Indonesia sebagai
penghasil senyawa antibakteri E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik betalaktam dan ciri-ciri morfologi serta molekuler isolat aktinomiset penghasil
senyawa antimikrob E. coli ATCC 35218 resisten antibiotik beta-laktam.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi peremajaan isolat aktinomiset,
pengelompokan isolat aktinomiset berdasarkan morfologi mikroskopis, penapisan
aktivitas antibakteri E. coli ATCC 35218, karakterisasi pola aktivitas antibakteri
isolat aktinomiset aktif dari kultur agar dan ekstrak etil asetat, karakterisasi pola
pertumbuhan isolat aktinomiset aktif dalam media agar dan cair, karakterisasi
morfologi dan 16S rRNA isolat aktinomiset aktif, analisis KCKT terhadap ekstrak
etil asetat dari isolat paling aktif dan pendugaan berat molekul senyawa aktif
antibakteri dengan QTOF-MS.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Aktinomiset
Aktinomiset merupakan bakteri gram-positif aerob yang membentuk
filamen bercabang atau hifa, tidak membentuk kepingan-kepingan dan
memproduksi spora aseksual, yang menyerupai kapang dalam morfologinya.
Pertumbuhan aktinomiset di dalam media padat atau agar akan membentuk
percabangan hifa yang tumbuh baik pada permukaan atau menembus ke dalam
agar. Pada umumnya, septa membagi hifa ke dalam bentuk sel yang panjang (20
µm atau lebih) yang berisi beberapa nucleoid, beberapa membentuk struktur yang
menyerupai jaringan yang disebut sebagai thallus. Beberapa aktinomiset juga
memiliki miselia aerial yang terbentang di atas substrat atau agar dan membentuk
konidia (spora aseksual dengan dinding tipis) atau konidiospora pada ujung
filamen. Spora berada di dalam sporangium dan memiliki bentuk sangat
bervariasi. Spora aktinomiset berkembang dari pembentukan septa pada ujung
filamen, pada umumnya merupakan respon terhadap makanan yang berkurang,
sebagian besar tidak tahan terhadap pemanasan tetapi tahan terhadap pengeringan
dengan baik (Kar 2008).
Aktinomiset banyak dijumpai pada tanah terutama bagian rizosfer, namun
saat ini aktinomiset banyak diisolasi dari sumber lainnya antara lain dari air,
tanaman, sedimen laut dan organisme laut (Pathom-aree 2006; Ceyclan et al 2008;
Imada et al 2010). Sebagian besar aktinomiset yang berhasil diisolasi dari alam
merupakan kelompok Streptomyces, dan untuk mendapatkan aktinomiset dari
kelompok non-streptomyces, para peneliti di dunia telah melakukan
pengembangan teknik isolasi dan modifikasi media isolasi (Gavrish et al 2008).
Aktinomiset dikenal sebagai mikrob penghasil berbagai macam senyawa
metabolit sekunder, yaitu suatu senyawa hasil metabolisme mikrob yang
diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sekunder, antara lain untuk bertahan hidup
dari kompetisi antar mikrob, menyediakan mekanisme pertahanan dan
memfasilitasi proses reproduksi, namun tidak dibutuhkan untuk pertumbuhan,
perkembangan dan reproduksi. Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
aktinomiset berupa agen antimikrob, antikanker, agen penurun kolesterol,
imunosuppresan, antiparasit, herbisida dan senyawa-senyawa lainnya (Miao dan
Davies 2010). Daftar beberapa senyawa aktif yang dihasilkan oleh aktinomiset
ditampilkan dalam Tabel 1.

4
Tabel 1 Daftar beberapa senyawa aktif yang dihasilkan oleh aktinomiset
Organisme penghasil Senyawa
Aplikasi
Sumber Referensi
Micromonospora sp.
Micromonospora sp.
M. purpurea
Streptomyces
aureofaciens
S. griseus
Amycolaptosis orientalis
Saccharopolyspora
erythraea
S. avermitilis
S. clavuligerus
S. hygroscopicus
S. hygroscopicus
S. noursei
S. verticillus

Maklamisin
Diazepinomisin
Gentamisin
Tetrasiklin

Antibakteri
Antibakteri
Antibakteri
Antibakteri

Streptomisin
Vankomisin
Eritromisin

Antibakteri
Antibakteri
Antibakteri

Avermektin
Asam
klavulanat
Bialopos
Rapamisin
Nistatin
Bleomisin

Anticacing
Inhibitor β-laktamase
Herbisida
Immunosupresan
Antifungi
Antikanker

Igarashi et al. (2011)
Charan et al. (2004)
Miao dan Davis (2010)

Micromonospora
Micromonospora merupakan aktinomiset yang termasuk dalam famili
Micromonosporaceae. Ciri-ciri dari genus Micromonospora antara lain,
mempunyai miselia bercabang, spora tidak bergerak (non-motile), berupa spora
tunggal yang melekat pada sporofor pendek atau panjang yang ditemukan dalam
kelompok-kelompok percabangan. Miselia aerial tidak ditemukan, atau pada
beberapa kultur ditemukan sebagai pengembangan koloni yang tidak teratur, dan
hanya berwarna putih atau keabu-abuan (Holt et al. 2000). Isolasi
Micromonospora dapat dilakukan dari habitat aslinya di alam, antara lain dari
tanah rizosfer (Cheng et al. 2011), tanah gambut (Thawai et al. 2005), air (Trujillo
et al. 2005), tanaman (Kirby dan Meyers 2010), dan bahkan dari lingkungan yang
sangat ekstrim seperti sedimen laut dalam (Gärtner et al. 2011) dan bebatuan di
Antartica (Hirsch et al. 2004).
Micromonospora dikenal sebagai penghasil antibiotik, khususnya antibiotik
aminoglikosida (gentamisin dan netamisin), enedin, dan oligosakarida (Berdy
2005). Beberapa senyawa aktif baru dilaporkan berhasil diisolasi dari
Micromonospora, di antaranya adalah lupinacidin, suatu antitumor yang
dihasilkan oleh M. lupini (Igarashi et al. 2007); levantilide A dan B, golongan
makrolida baru (Gärtner et al. 2011); serta retymicin, galtamycin B dan
saquayamycin Z yang dihasilkan oleh Micromonospora sp. Tü 6368 (Antal et al.
2005).

Antimikrob
Antimikrob adalah suatu senyawa yang dihasilkan oleh mikrob yang pada
konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan, atau membunuh, mikrob
lainnya. Selain dihasilkan oleh mikrob, senyawa antimikrob juga dihasilkan oleh
tanaman tingkat tinggi dan juga hewan. Pada umumnya antimikrob diproduksi
melalui proses fermentasi. Namun saat ini, produksi dengan proses semisintetis

5
semakin meningkat, produk yang diperoleh dari hasil fermentasi di modifikasi
secara kimia. Beberapa senyawa kimia sintetis juga digunakan untuk kemoterapi
infeksi penyakit, seperti sulfonamid dan kuinolon. Ribuan antimikrob telah
banyak dikenal dan setiap tahunnya lusinan antimikrob ditemukan, namun hanya
sebagian kecil yang digunakan secara klinis untuk pengobatan (Berdy 2005;
Jayaraman 2009).
Sampai saat ini antimikrob masih sangat dibutuhkan, karena merupakan
satu-satunya obat untuk penyakit infeksi yang masih menjadi salah satu penyebab
tertinggi kematian di dunia, terutama di negara berkembang. Berdasarkan cara
kerjanya antimikrob bekerja dengan mengganggu pembentukan dinding sel
bakteri (golongan beta-laktam dan glikopeptida), menghambat sintesis protein
(golongan makrolida dan aminoglikosida), mengganggu sintesis asam nukleat
(fluorokuinolon dan rifampin), merusak struktur membran (polimiksin dan
daptomisin), dan menghambat jalur metabolisme (sulfonamid) (Tenover 2006).
Penggunaan antimikrob secara terus menerus yang tidak sesuai dapat
menimbulkan resistensi bakteri. Resistensi dapat terjadi melalui beberapa cara,
yaitu merusak antimikrob dengan enzim yang diproduksi, mengubah reseptor titik
tangkap antimikrob, mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antimikrob pada sel
bakteri, antimikrob tidak dapat menembus dinding sel akibat perubahan sifat
dinding sel bakteri, dan antimikrob masuk ke dalam sel bakteri, namun segera
dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif keluar sel (Levy dan
Marshall 2004; Saga dan Yamaguchi 2009).
Antibiotik Βeta-Laktam
Antibiotik beta-laktam merupakan golongan antibiotik yang cukup besar
dan paling banyak digunakan. Semua antibiotik yang termasuk dalam golongan
β–laktam mempunyai struktur molekul yang mengandung gugus beta-laktam.
Golongan antibiotik ini meliputi penicillin dan turunannya, cephalosporin,
monobactam, dan carbapenem (Gambar 1). Antibiotik beta-laktam bekerja
dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri, yaitu dengan mengikat
enzim yang membentuk dinding sel, penicillin binding proteins (PBPs).
Penghambatan PBPs melemahkan dinding sel, yang mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan sel dan perlahan-lahan akan menyebabkan kematian sel (Babic et al.
2006).
Kelompok besar antibiotik golongan beta-laktam adalah turunan 6aminopenicillanic acid (6-APA) dan sefalosporin (Gambar 2). Antibiotik yang
merupakan turunan 6-APA antara lain penicillin G, penicillin V, ampicillin,
methicillin dan carbenicillin. Sebagian besar bakteri mengalami resistensi
terhadap penicillin, karena adanya penicillinase atau beta-laktamase kelompok A
(Bradford 2001). Kelompok sefalosporin hingga sekarang ini masih banyak
digunakan, dan terdiri dari 5 generasi yang berbeda dalam spektrum aktivitas.
Sefalosporin generasi pertama (cefadroxil, cephradine) lebih efektif terhadap
bakteri Gram-positif dibanding Gram-negatif. Generasi kedua (cefuroxime,
cefaclor) memiliki aktivitas terhadap bakteri Gram-positif sama baiknya terhadap
Gram-negatif. Sefalosporin generasi ketiga, keempat dan kelima (cefotaxime,
ceftriaxon), pada umumnya efektif terhadap bakteri Gram-negatif dan

6
Staphylococcus tidak resisten meticilin, dan terkadang mencapai sistem saraf
pusat sehingga digunakan untuk pengobatan meningitis (Rice 2012).

Gambar 1 Struktur kimia penicillin G (kiri) dan sefalosporin (kanan) (Babic et al.
2006)
Mekanisme resistensi terhadap antibiotik beta-laktam meliputi, penurunan
kemampuan antibiotik untuk mencapai PBPs, menurunkan afinitas pengikatan
PBPs, dan merusak antibiotik melalui ekspresi enzim beta-laktamase. Enzim beta
-laktamase bekerja dengen mengikat dan memotong cincin beta-laktam. Pada
bakteri Gram-positif, antibiotik memiliki kebebasan untuk menjangkau membran
sitoplasma bakteri, dimana terdapat PBPs. Pada bakteri Gram-negatif, membran
terluar dari bakteri (yang tidak dijumpai pada Gram-positif) mampu membatasi
masuknya beta-laktam dan memusatkan molekul beta-laktamase. Molekul betalaktam apabila tidak mampu mencapai ruang periplasma, baik karena terjadi
penurunan kemampuan jangkauan atau karena meningkatnya efluk. Pengumpulan
beta-laktamase, walaupun relatif lemah, akan dapat menyebabkan tingkat
resistensi yang tinggi (Poole 2004; Wilke et al. 2005; Bockstael dan Aerschot
2008).

Escherichia coli ATCC 35218
Bakteri E. coli merupakan kelompok gram-negatif yang tidak membentuk
spora, berbentuk batang anaerob fakultatif dan tergolong ke dalam famili
Enterobacteriaceae. Sebagian besar E. coli spp. merupakan penghuni yang tidak
berbahaya di dalam usus manusia dan hewan berdarah-panas lainnya, namun,
beberapa galur dapat menimbulkan penyakit. Berdasarkan penyakit yang
ditimbulkan E. coli digolongkan menjadi ETEC (Enterotoxigenic E. coli), EPEC
(Enteropathogenic E. coli), EIEC (Enteroinvasive E. coli), EHEC
(Enterohemorrhagic E. coli) dan EAEC (Enteroaggregative E. coli). Kejadian
infeksi tertinggi di negara berkembang, termasuk Indonesia, diakibatkan EHEC,
salah satunya akibat patogen E. coli serotype O157:H7. Infeksi terjadi akibat
konsumsi daging, buah, sayuran dan air yang tercemar (Miller et al. 2001;
Kiranmayi et al. 2010).
Dalam penelitian-penelitian uji kerentanan E. coli serotype O157:H7
terhadap suatu antimikrob, karena sifatnya yang sangat patogen, maka untuk
keselamatan dan keamanan menggunakan bakteri pengganti yang tidak bersifat
patogen namun memiliki sifat yang paling mirip, yaitu menggunakan E. coli
ATCC 35218 (Gurtler et al. 2010). Escherichia coli ATCC 35218 merupakan
galur yang menghasilkan beta-laktamase, yaitu suatu enzim yang mampu
menghidrolisis cincin beta-laktam dan menjadikan antimikrob tidak aktif sebelum

7
mencapai target penicillin-binding proteins (PBPs). Βeta-laktamase
yang
dihasilkan adalah TEM-1 yang termasuk dalam beta-laktamase kelompok A
(penicillinase). Βeta-laktamase kelompok A adalah kelompok yang paling luas
penyebarannya, enzim tersebut dibawa dalam plasmid, sensitif terhadap inhibitor
yang secara komersial ada di pasaran dan resisten terhadap penisilin dan
sefalosporin turunan pertama (Gupta 2007). Jenis enzim tersebut banyak dijumpai
pada isolat klinis dan dapat dihambat oleh clavulanat, sulbaktam and tazobaktam.
Pada bakteri gram negatif termasuk E. coli, enzim beta-laktamase terdapat pada
bagian periplasma, tempat bakteri melawan antimikrob sebelum sampai pada situs
reseptor (Bradford 2001; Miller et al. 2001).
Mekanisme resistensi E. coli terhadap antimikrob yang terjadi kemungkinan
karena menerima gen penyandi enzim beta-laktamase yang berfungsi merusak
antimikrob sebelum antimikrob memberikan reaksi. Mekanisme ke dua, bakteri
menerima tekanan dari dalam sel yang dapat menghancurkan antimikrob sebelum
mencapai sasaran (mekanisme effluks). Mekanisme ke tiga, bakteri menerima gen
untuk siklus metabolisme yang memungkinkan dinding sel mengubah tempat
pelekatan suatu agen antimikrob sehingga antimikrob tidak dapat melekat (Rupp
dan Fey 2003; Tenover 2006).

Pengujian Aktivitas Antibakteri
Munculnya resistensi antimikrob mendorong para peneliti untuk mencari
senyawa antimikrob baru, salah satunya menggunakan mikrob sebagai sumber
pencarian dengan berbagai metode pengujian. Dalam uji aktivitas antimikrob dari
mikrob beberapa peneliti melakukan pengujian awal untuk mengetahui ada
tidaknya aktivitas antibakteri yang dihasilkan oleh isolat mikrob tersebut. Metode
ini bersifat kualitatif dan menggunakan mikrob uji yang tidak atau sedikit bersifat
patogen, selanjutnya dilakukan penapisan dengan metode pengenceran, metode ini
bersifat kuantitatif dan biasanya menggunakan mikrob yang benar-benar patogen
(Smania-Jr et al. 2007). Penapisan awal aktivitas antibakteri dapat dilakukan
dengan berbagai cara, antara lain adalah dengan metode streak (Ogunmwonyi et
al. 2010), metode agar overlay (Thakur et al. 2007), metode agar well, metode
difusi agar (Al-Zahrani 2007), dan metode difusi cakram (Ilic et al. 2007).

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT (BP
Bioteknologi), Kawasan Puspiptek Serpong. Penelitian dilaksanakan mulai
November 2011 sampai Juni 2013.

8
Peremajaan dan Pembuatan Kultur Kerja Isolat Aktinomiset
Isolat aktinomiset yang digunakan merupakan koleksi BP Bioteknologi
BPPT hasil isolasi dari tanah beberapa daerah di Indonesia. Peremajaan isolat
aktinomiset dilakukan dengan menumbuhkan kembali isolat aktinomiset dari stok
dalam gliserol beku pada media agar International Streptomyces Project (ISP) 2
dan diinkubasikan pada suhu 28 oC selama 14-21 hari. Koloni tunggal yang
diperoleh ditumbuhkan di dalam 5 ml media ISP1 dan diinkubasi pada suhu 30 oC
selama 72 jam. Kultur dalam media ISP1 kemudian diinokulasikan sebanyak 200
µl ke dalam media ISP2 dalam tabung dan di inkubasi pada suhu 28 oC selama 1421 hari. Isolat aktinomiset dalam tabung selanjutnya digunakan sebagai kultur
kerja dan disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 2-5 o C.

Pengelompokan Isolat Aktinomiset
Pengelompokan isolat aktinomiset menjadi kelompok Streptomyces dan
non-streptomyces, dilakukan berdasarkan morfologi mikroskopis. Pengamatan
morfologi mikroskopis secara langsung dilakukan terhadap koloni yang tumbuh
pada media agar ISP2 (14-21 hari) pada perbesaran 400x menggunakan
mikroskop (Olympus BX51). Karaktersistik morfologi yang diperoleh
dibandingkan dengan panduan yang terdapat pada Bergey’s Manual (Kawamoto
1989).

Penapisan Aktivitas Antibakteri
Penapisan aktivitas antibakteri dilakukan terhadap 96 isolat menggunakan
metode agar plug pada media Mueller Hinton Agar (MHA). Isolat aktinomiset di
dalam media agar ISP2 dalam cawan (21 hari) dipotong (diameter ± 7 mm) dan
diletakkan di atas media uji Mueller Hinton Agar (MHA) yang telah diinokulasi
dengan bakteri uji sebanyak 106 cfu/ml. Cawan di inkubasi selama 24 jam pada
suhu 36 ± 1oC dan dilakukan pengamatan aktivitas antibakteri, yang ditandai
dengan zona bening disekitar isolat aktinomiset. Aktivitas daya hambat diperoleh
dengan mengukur diameter zona bening di sekitar isolat menggunakan jangka
sorong (Mitutoyo, Japan) (Sharma et al. 2011).

Karakterisasi pola aktivitas antibakteri
Karakterisasi pola aktivitas antibakteri dari kultur agar dilakukan dengan
menumbuhkan isolat aktinomiset aktif pada media agar ISP2 dalam cawan dan
diinkubasikan pada suhu 28 oC selama 15 hari. Setiap 3 hari inkubasi, kultur
diambil dan dilakukan uji aktivitas antibakteri menggunakan metode agar plug
(seperti metode penapisan aktivitas antibakteri di atas). Karakterisasi pola
aktivitas antibakteri dari ekstrak etil asetat dilakukan dengan menumbuhkan isolat
aktinomiset di dalam media cair ISP2, pada suhu 28 oC selama 15 hari, dan
dilakukan pengocokan dengan kecepatan 220 rpm (Rotary Shaker Incubator,

9
Takasaki Scientific Instruments Corp). Setiap 3 hari inkubasi, 350 ml kultur
diambil dan dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat (1:1 v/v).
Campuran di kocok dalam pengocok (Resipro Shaker SR-2s, Taitec) dengan
kecepatan 300 stroke/menit selama 60 menit, dan kemudian disentrifugasi pada
kecepatan 3000 x g (Kubota 7780) selama 20 menit. Fase organik dipisahkan dari
fase air dan dipekatkan pada suhu 40 oC, ± 3 jam dalam labu rotavapor sampai
diperoleh kurang lebih 20 ml ekstrak. Pemekatan dilanjutkan dengan
memindahkan ekstrak ke dalam tabung dan proses dilakukan dengan alat pemekat
pada suhu 30 oC, ± 90 menit (Sakuma EC-2000) sehingga diperoleh ekstrak etil
asetat pekat. Ekstrak etil asetat kemudian dilarutkan dalam metanol (HPLC
Grade 99% kemurnian) dan dibuat pada konsentrasi 30000 mg/l. Uji aktivitas
antibakteri dilakukan dengan metode Kirby-Bauer (Bauer et al. 1966). Ekstrak etil
asetat dalam metanol diteteskan ke dalam kertas cakram diameter 6 mm sampai
konsentrasi 1 mg/disc (30 µl) dan dikering anginkan. Kertas cakram selanjutnya
diletakkan di atas media MHA yang telah di inokulasi dengan bakteri uji (10 6
cfu/ml) dan di inkubasi pada suhu 36 ± 1 oC selama 24-48 jam. Kontrol negatif
yang digunakan adalah etil asetat dan metanol, dan sebagai kontrol positif adalah
ampisilin pada konsentrasi 30 µg/disc, juga dilakukan uji aktivitas antibakteri.

Karakterisasi pola pertumbuhan dan morfologi aktinomiset aktif
Karakterisasi pola pertumbuhan di dalam media agar dilakukan dengan
menumbuhkan isolat pada empat jenis media agar dalam cawan, yaitu Yeastextract malt-extract (ISP2), Inorganic salt-starch (ISP4), Micromonospora Starch
Medium (MS), dan Bennett’s Medium (BM) (Lampiran 4). Inkubasi selama
selama 21 hari pada suhu 28 oC dan dilakukan pengamatan yang meliputi warna
koloni, pertumbuhan miselia, dan pertumbuhan spora. Karakterisasi pola
pertumbuhan isolat aktinomiset di dalam media cair dilakukan dengan
menumbuhkan masing-masing kultur murni aktinomiset ke dalam 30 ml media
vegetatif (ISP2 cair). Kultur vegetatif sebanyak 10 % (v/v)(106 spora/mL)
dipindahkan ke dalam 45 ml media fermentasi cair setelah 72 jam inkubasi pada
suhu 28 oC, 220 rpm Fermentasi dilakukan pada kondisi yang sama selama 15
hari dan setiap selang waktu 3 hari kultur di panen. Sepuluh mililiter kultur
dimasukkan ke dalam tabung dan disentrifugasi pada kecepatan 3000 x g selama 5
menit pada suhu 4 oC untuk memisahkan miselia dari partikel-partikel di dalam
media (dilakukan menggunakan Kubota 7780). Miselia yang telah terpisah
dilarutkan kembali dengan larutan salin (0,85% natrium klorida) sampai diperoleh
volume awal. Tahap ini di ulang sampai 3 kali, kemudian tabung dibiarkan selama
20 menit agar miselia mengendap. Padatan miselia atau packed mycelial volume
(PMV) di ukur dan dinyatakan sebagai persen (%) sel terhadap volume (10 ml)
cairan (Rho et al. 1991).
Karakterisasi morfologi isolat aktinomiset secara mikroskopis dilakukan
dengan pengamatan terhadap kultur di dalam media agar yang meliputi struktur
miselia, spora, dan perkembangan sporofor secara langsung dibawah mikroskop
(perbesaran 500-1000x). Morfologi isolat yang telah diamati dibandingkan dengan
morfologi aktinomiset yang diberikan dalam Bergey’s Manual untuk pendugaan
identifikasi isolat sampai ke tingkat genus (Kawamoto 1989).

10
Karakterisasi Molekuler Isolat Aktinomiset Aktif
Isolasi DNA
DNA isolat aktinomiset diekstraksi menggunakan Instagene Matrix
(BioRad) dan dilakukan sesuai prosedur dari pabrik. Koloni tunggal aktinomiset
pada media agar diambil dan dimasukkan ke dalam tabung mikro yang telah diisi
dengan 10 µ l ddH2O, kemudian ditambahkan kedalamnya 90 µl larutan Instagene
Matrix. Tabung yang berisi campuran tersebut selanjutnya dipanaskan pada suhu
100 ºC selama 15 menit dan disentrifugasi pada kecepatan 12500 rpm/16500 x g
(TOMY MX-301, USA) selama 3 menit. Supernatan diambil sebanyak 8 µl untuk
dilakukan amplifikasi menggunakan PCR (PCR Thermal Cycler, Takara, Japan).
Konsentrasi dan kemurnian DNA hasil isolasi ditentukan dengan spektrofotometer
(Nanodrop ND-1000).
Amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA hasil ekstraksi
Amplifikasi dilakukan menggunakan Master mix dari produk Go Taq Green
Master Mix (Promega) dalam campuran yang terdiri dari ddH2O 1.6 µL, DMSO 1
µl, primer universal 178 F (5′-GATCCACATGATGTATTAGTGC) 0.2 µl,
primer universal 179 R (5'-GGTGTTGTCGTTGTTCCAGTAGAGGATGTC) 0.2
µl, Master Mix 9 µl, dan template 8 µL. Semua bahan dicampur dengan pipet dan
larutan dispindown dengan disentrifugasi. Kondisi PCR yang digunakan adalah
sebagai berikut : pre-denaturasi 96 oC, 2 menit; denaturasi 96 oC, 20 detik;
annealing 60 oC, 20 detik; elongasi 72 oC, 1 menit; elongasi akhir 72 oC, dan
dilakukan sebanyak 35 siklus.
Pemurnian produk PCR
Tahap ini dilakukan menggunakan Gel/PCR DNA fragments Extraction Kit
(DF Buffer, Washing Buffer, Elution Buffer, DF Column). Produk PCR 4 µ l
diambil, ditambah dengan 6 µ l ddH2O dan dicampur dengan 1 µL 10x loading
dye. Campuran dimasukkan ke dalam sumur gel agarosa (1%) dan dilakukan
elektroforesis, adanya fragmen DNA divisualisasi dengan UV. Potongan DNA
yang terbentuk pada gel agarose kemudian dipotong ± 300 mg dan dimasukkan ke
dalam tabung mikro. Buffer DF ditambahkan ke dalam tabung sebanyak 500 µl,
dihomogenkan dengan vortek, dan diinkubasi pada suhu 55-60 oC selama 10
menit sampai potongan gel benar-benar terlarut. Selama inkubasi, tabung dibolakbalik tiap 2-3 menit dan sampel didinginkan sampai suhu ruang. Campuran
sampel diambil sebanyak 800 µl dan dimasukkan ke dalam DF Column yang
ditempatkan pada tabung pengumpul, kemudian disentrifugasi 8000 rpm selama
30 detik. Cairan yang mengalir sepanjang kolom dibuang dan diletakkan kembali
pada tabung pengumpul. Selanjutnya, 500 µl Washing Buffer (ditambah etanol)
ditambahkan ke dalam DF Column dan disentrifugasi 8000 rpm selama 30 detik.
Cairan yang mengalir sepanjang kolom dibuang dan diletakkan kembali pada
tabung pengumpul dan dilakukan sentrifugasi lagi selama 2 menit (14000 rpm)
untuk mengeringkan matriks dalam kolom. Kolom yang telah kering dimasukkan
ke dalam tabung mikro baru dan ditambahkan ke dalamnya 15-50 µl Elution
Buffer pada bagian tengah matriks. Tabung mikro berisi kolom dibiarkan selama 2
menit sampai elution buffer terserap oleh matriks, kemudian disentrifugasi 15000
rpm selama 2 menit untuk mencuci bersih DNA yang telah dimurnikan.

11
Amplifikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA hasil pemurnian
Tahap ini dilakukan menggunakan Master mix dari produk Go Taq Green
Master Mix (Promega). Amplifikasi dilakukan dalam campuran yang terdiri dari
ddH2O 1.6 µl, DMSO 1 µl, primer 178 F 0.2 µl, primer 179 R 0.2 µl, Master Mix
9 µl, dan Template 8 µl. Kondisi PCR yang digunakan adalah sebagai berikut :
pre-denaturasi 96 oC, 2 menit; denaturasi 96 oC, 20 detik; annealing 60 oC, 20
detik; elongasi 72 oC, 1 menit; elongasi akhir 72 oC, dan dilakukan sebanyak 35
siklus. Produk PCR yang telah dilakukan pemurnian disekuens menggunakan ABI
3130 Genetic Analyzer. Hasil sekuens 16S rRNA dibandingkan dengan database
yang ada di genebank National Center Biotechnology Information (NCBI) dengan
Basic Aligment Search Tool (BLAST). Sekuen 16S rRNA selanjutnya
disejajarkan menggunakan program CLUSTAL W2. Analisis filogenetik
dilakukan menggunakan perangkat lunak MEGA 5. Jarak genetik dikomputasi
menggunakan metode p-distance (Tamura et al. 2011).

Karakterisasi awal dan pendugaan berat molekul senyawa aktif antibakteri
Ekstrak etil asetat isolat aktinomiset aktif yang telah dikeringkan dibuat
larutan pada konsentrasi 1000 mg/l menggunakan metanol (HPLC Grade).
Larutan selanjutnya, dianalisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT). Sistem KCKT yang digunakan adalah Waters 2695, dengan kolom C18
Puresil (5µ; 4,6x150 mm), fase gerak asetronitril 100%, pada panjang gelombang
254 nm. Dari larutan yang sama dilakukan analisis menggunakan quadrupole
time-of flight mass sphectrometry (QTOF-MS)(XEVO Waters) untuk pendugaan
berat molekul senyawa yang terdapat dalam ekstrak etil asetat isolat aktinomiset
aktif. Berat molekul yang diperoleh dibandingkan dengan database yang terdapat
di ChemSpider untuk mengetahui jenis senyawa.

12
Digram Alir Penelitian

96
isolat aktinomiset

Streptomyces

Non-streptomyces

Penapisan aktivitas antibakteri
E.coli ATCC 35218

Isolat aktinomiset
aktif

Karakterisasi isolat
aktinomiset

16S rRNA

Karakterisasi pola pertumbuhan
isolat aktinomiset

Morfologi

A

B

C

D

Karakterisasi pola
aktivitas antibakteri

Kultur agar

Media Padat dan Cair

Isolat aktinomiset potensial
sebagai penghasil senyawa
antibakteri E.coli ATCC 35218
yang terkarakterisasi secara
morfologi dan molekuler

Ekstrak kasar

Ekstrak paling aktif
Analalisis
KCKT, QTOF-MS

Gambar 2 Diagram alir keseluruhan penelitian

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengelompokan isolat aktinomiset berdasarkan morfologi mikroskopis
diperoleh 8 isolat yang termasuk ke