Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala dalam Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia (Studi Kasus di Provinsi Papua)

INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA
DALAM PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI
DI INDONESIA
(Studi Kasus di Provinsi Papua)

FINANCIO DOREBAYO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inventarisasi Hutan
Menyeluruh Berkala dalam Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia (Studi
Kasus di Provinsi Papua) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Financio Dorebayo
NIM E151120111

RINGKASAN
FINANCIO DOREBAYO. Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala dalam
Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia (Studi Kasus di Provinsi Papua).
Dibimbing oleh ENDANG SUHENDANG dan MUHDIN.
Ketersediaan data dan informasi sumber daya hutan sangat berperan dalam
menentukan target dan ukuran-ukuran yang jelas dalam pengelolaan hutan pada
tingkat unit pengelolaan hutan (UPH). Dalam rangka pengelolaan hutan lestari
pada tingkat UPH, penyusunan rencana pengelolaan hutan harus
mempertimbangkan seluruh ekosistem bentang alam dengan tetap
mempertahankan keanekaragaman hayati dan produktivitasnya serta kemampuan
regenerasi dalam mempertahankan hidup dan potensinya untuk memenuhi fungsifungsi ekologi, ekonomi dan sosial saat ini dan masa yang akan datang.
Inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB) merupakan kegiatan
pengumpulan data dan informasi sediaan tegakan hutan berbasis petak pada areal

hutan efektif UPH. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi
mengenai kesesuaian dan ketepatan hasil pelaksanaan IHMB untuk menyusun
rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (RKUPHHKHA) dalam rangka pengelolaan hutan lestari dengan tujuan menghasilkan kayu
secara berkelanjutan. Pengumpulan data menggunakan teknik purposive sampling
dengan pertimbangan lokasi adalah UPH yang telah melaksanakan IHMB yang
hasilnya telah dievaluasi dan diverifikasi oleh Kementerian Kehutanan
(Kemenhut) dan Dinas Provinsi. Pengambilan contoh plot IHMB dilaksanakan
dengan pertimbangan; stratifikasi tutupan hutan, aksesibilitas, waktu dan biaya.
Hasil pelaksanaan IHMB oleh UPH yakni ketersediaan data potensi sediaan
tegakan dan informasi umum lainnya belum dapat dijadikan dasar dalam
penyusunan suatu rencana pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu
secara berkelanjutan dengan prinsip kelestarian hutan. Pada tingkat UPH, rencana
pengelolaan hutan jangka panjang (RKUPHHK-HA) yang berisi tujuan dan
sasaran kegiatan disusun berdasarkan data dan informasi yang menyeluruh
meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Pengertian kata “menyeluruh” dalam
IHMB hanya bermakna menyeluruh terhadap keseluruhan areal hutan efektif saja,
tidak meliputi keseluruhan komponen data dan informasi tentang ekosistem hutan.
Data hasil pelaksanaan IHMB digunakan sebagai dasar dalam penyusunan
RKUPHHK-HA, sementara dalam rencana kerja tahunan usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu pada hutan alam (RKTUPHHK-HA) dilaksanakan berdasarkan

tahapan sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia).
Kata kunci: IHMB, pengelolaan hutan lestari, rencana pengelolaan hutan, unit
pengelolaan hutan

SUMMARY

FINANCIO DOREBAYO. Periodic Comprehensive Forest Inventory on
Production Forest Management in Indonesia (Case Study in Papua Province).
Supervised by ENDANG SUHENDANG and MUHDIN.
The availability of data and information of forest resources plays an
important role to determine the direction and clear targets in forest management at
forest management unit (FMU) level. In order to preserve sustainable forest
management at the sites level, management plans should be set with consideration
of the entire ecosystem landscape while maintaining biological diversity and
productivity as well as regeneration ability in sustaining life and potential to fulfill
functions of the ecological, economic and social for current time and the future.
The periodic comprehensive forest inventory (Inventarisasi Hutan
Menyeluruh Berkala called IHMB) is Indonesian forest stands inventory were
based on compartment at forest effective area of forest management unit (FMU).
The purpose of this study is to get information about the suitability and accuracy

of the IHMB implementation results to arranging long-term forest management
plans (rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam called
RKUPHHK-HA) in order to forest management that aims to produce sustainable
timber. Data gathered with purposive sampling technique with location
consideration is the FMU that have been implemented of IHMB and the results
has been evaluated and verified by the Ministry of Forestry and Forestry
Provincial Office. Sampling plot of IHMB is carried out with consideration: forest
cover stratification, accessibility, time and cost.
The results of IHMB implementation that contain the availability potentially
standing stock and other general information can not be uses as a basis to
preparing a forest management plan with the aims of generating sustainable
timber with the sustainability forest principles. At the FMU level, the long-term
forest management (RKUPHHK-HA) which contains goals and objective of the
activity that based on comprehensive data and information covering the aspect of
ecological, economic and social. The sense of word “comprehensive” on IHMB
is meaningfully only covered the forest area, without including all components of
the data and information on forest ecosystem. The data result of IHMB
implementation is uses as a basis to arranging RKUPHHK-HA, meanwhile in the
short-term forest management (rencana kerja tahunan usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu pada hutan alam called RKTUPHHK-HA) is implemented by the

stage of silvicultural system (tebang pilih tanam Indonesia called TPTI).

Keywords: IHMB, sustainable forest management, forest management plan, forest
management unit

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA
DALAM PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI
DI INDONESIA
(Studi Kasus di Provinsi Papua)


FINANCIO DOREBAYO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Bahruni, MS

Judul Tesis : Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala dalam Pengelolaan Hutan
Produksi di Indonesia (Studi Kasus di Provinsi Papua)
Nama
: Financio Dorebayo
NIM

: E151120111

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Endang Suhendang, MS
Ketua

Dr Ir Muhdin, MSc F Trop
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Tatang Tiryana, S Hut MSc


Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal ujian: 9 Juli 2015

Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Mulia atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2014 ini adalah
inventarisasi hutan, dengan judul Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala dalam
Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia (Studi Kasus di Provinsi Papua). Karya
ilmiah ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam
rangka penulisan Tesis untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Ilmu Pengelolaan Hutan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Endang Suhendang, MS dan Bapak
Dr.Ir. Muhdin, MSc.F.Trop selaku komisi pembimbing atas bimbingan dan
arahannya dalam penulisan karya ilmiah ini. Selanjutnya penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Kehutanan cq. Pusat Pendidikan

dan Pelatihan Kehutanan selaku sponsor dalam proses belajar di kampus IPB.
Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada manajemen PT. X dan
PT. Y yang telah bersedia sebagai objek dalam penelitian, Kepala Balai dan
semua staf kantor BPPHP Wilayah XVII Jayapura, semua dosen Pascasarjana
Ilmu Pengelolaan Hutan IPB serta teman-teman mahasiswa Pascasarjana IPH
angkatan tahun 2012. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu
(Alm), istri dan kedua anakku serta seluruh keluarga yang tak henti-hentinya
memberikan doa dan semangat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2015
Financio Dorebayo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Unit Pengelolaan Hutan
Inventarisasi Hutan
Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

4
4
5
8


3 METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemecahan Masalah
Asumsi Dasar Penelitian
Teori yang Mendasari Penelitian
Metode Penelitian

14
14
15
15
15

4 HASIL
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kesesuaian dan Ketepatan Data Hasil Pelaksanaan IHMB
dengan Pedoman IHMB
Kesesuaian Data dalam Pedoman IHMB dengan Kriteria dan
Indikator Kelestarian
Validitas dan Reliabilitas Pelaksanaan IHMB
Pemanfaatan Data IHMB dalam Realisasi Pengelolaan Hutan di Tingkat
Unit Pengelolaan Hutan

16
16
19
24
27
29

5 PEMBAHASAN
31
Peranan Data IHMB dalam Pengelolaan Hutan Lestari di Tingkat
Unit Pengelolaan Hutan
31
Kesesuaian dan Ketepatan Realisasi Pelaksanaan IHMB dengan Pedoman 33
Peranan Data IHMB dalam Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan di
Tingkat Unit Pengelolaan Hutan
34
Peranan Data IHMB dalam Realisasi Pengelolaan Hutan
35
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

36
36
37

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

38
41
51

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kriteria dan indikator kelestarian menurut ITTO
Kriteria dan indikator menurut Kementerian Kehutanan (PHPL)
Luas areal hutan PT. X berdasarkan fungsi
Luas areal hutan PT. Y berdasarkan fungsi
Data yang harus diperoleh berdasarkan pedoman IHMB
Sediaan tegakan PT. X
Sediaan tegakan PT. Y
Tekstur tanah PT. X dan PT. Y
Kondisi tapak PT. X dan PT. Y
Kondisi tutupan lahan PT. X dan PT. Y
Kondisi fisiografis PT. X dan PT. Y
Data yang diperlukan untuk menilai kriteria dan indikator
Validitas dan reliabilitas pelaksanaan IHMB
Rencana dan realisasi produksi kayu
Kebutuhan data dan relevansi antara kriteria dan indikator

10
11
17
19
19
20
20
21
22
22
22
25
27
31
32

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran Penelitian
2 Sketsa areal konsesi PT. X
3 Sketsa areal konsesi PT. Y
4 Tim pelaksana IHMB PT. X
5 Tim pelaksana IHMB PT. Y
6 Tahapan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan sistem TPTI

14
17
18
23
23
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Peta areal konsesi IUPHHK-HA PT. X
Peta tutupan lahan PT. X
Peta realisasi plot contoh IHMB PT. X
Rekapitulasi sediaan tegakan per kelas diameter PT. X
Peta areal konsesi PT. Y
Peta tutupan lahan PT. Y
Peta realisasi plot contoh IHMB PT. Y
Rekapitulasi sediaan tegakan per kelas diameter PT. Y
Hasil verifikasi plot dan sediaan tegakan PT. X
Hasil verifikasi plot dan sediaan tegakan PT. Y

41
42
43
44
45
46
47
48
49
50

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No. 41 Th.
1999 tentang Kehutanan). Kata kunci utama dalam definisi ini adalah dominasi
pepohonan. Dominasi pohon dalam luasan yang memadai tersebut diharapkan
mampu membuat hutan memerankan beberapa fungsi, antara lain menjaga
keseimbangan iklim baik mikro maupun makro, menjaga keseimbangan tata air,
memproduksi udara bersih, dan sebagainya yang secara langsung memiliki
manfaat penting bagi kehidupan manusia, serta merupakan sandaran utama bagi
kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya. Dalam pengurusan hutan di
Indonesia, hutan dapat berupa hutan tetap dan hutan tidak tetap. Pengurusan hutan
tetap ditujukan untuk memperoleh manfaat hutan sesuai fungsi pokok produksi,
lindung dan konservasi. Keseluruhan fungsi hutan tetap ini diharapkan akan
memiliki peranan dalam menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
nasional.
Pengelolaan hutan yang baik merupakan suatu keharusan yang wajib
dilaksanakan. Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengelolaan hutan sebagai
acuan bagi para pihak, akan tetapi sampai dengan saat ini praktek pengelolaan
hutan di lapangan masih jauh dari yang diharapkan. Penerapan prinsip
pengelolaan hutan berkelanjutan mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal ini,
antara lain tercermin dalam kriteria pengelolaan hutan lestari yang telah
memasukan aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial.
Pengurusan hutan (forest stewardship) merupakan keseluruhan tindakan
manajemen terhadap sumber daya hutan yang dilakukan dalam rangka
memperoleh totalitas barang, manfaat, jasa dan nilai-nilai yang tersedia dengan
tetap mempertahankan kelestariannya untuk generasi sekarang dan generasi yang
akan datang (Helms 1998). Tantangan terhadap pengelolaan hutan dengan tujuan
untuk menghasilkan kayu kini telah memasuki babak baru, yakni pengelolaan
hutan berkelanjutan yang berlandaskan pada kelestarian ekosistem. Kelestarian
tersebut dapat direalisasikan dalam kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan
dengan memperhatikan dan memperhitungkan faktor fisik, biologis, sediaan
tegakan, karakteristik hutan serta fungsi-fungsi ekologis dari hutan, sehingga
dalam pelaksanaannya tidak akan mengganggu fungsi utama hutan. Kelestarian
hasil dipakai sebagai prinsip dasar dalam pemanenan dan sangat bergantung pada
sistem pengaturan hasil yang digunakan (Seydack 1995).
Ketersediaan rencana pengelolaan hutan dalam jangka panjang merupakan
salah satu syarat utama tercapainya pengelolaan hutan lestari pada unit
pengelolaan hutan dengan pengaturan hasil sebagai komponen utamanya
(Krisnawati 2001). Untuk hal ini perlu adanya dukungan data yang lengkap dan
teliti agar dapat ditentukan rencana dengan tujuan serta target yang tepat. Dengan
demikian maka hasil yang diperoleh akan mampu meningkatkan penerimaan
daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan
aspek-aspek pengelolaan yang lestari.

2
Untuk memperoleh rencana pengaturan hasil hutan yang baik, diperlukan
ketersediaan data sumber daya hutan yang lengkap dan akurat. Ketersediaan data
tersebut dapat diperoleh dengan pelaksanaan kegiatan inventarisasi hutan.
Inventarisasi hutan merupakan rangkaian kegiatan dengan suatu metode tertentu
untuk memperoleh data dan informasi tentang sumberdaya hutan, potensi
kekayaan alam hutan serta lingkungannya secara lengkap. Melalui kegiatan
inventarisasi dapat diperoleh gambaran tentang keadaan hutan yang meliputi
keragaman jenis, kondisi tapak, aksesibilitas dan sosial ekonomi masyarakat,
sehingga informasi ini diperlukan untuk menentukan alternatif tindakan
pengelolaan hutan.
Pemerintah telah mewajibkan seluruh unit pengelolaan hutan (UPH) atau
pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam (IUPHHKHA) untuk menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada
hutan alam (RKUPHHK-HA) sepuluh tahunan yang disusun berdasarkan
inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB). RKUPHHK-HA disusun
berdasarkan pertimbangan aspek-aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha serta
keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat sekitar
hutan.
IHMB adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang kondisi
sediaan tegakan hutan (timber standing stock), yang dilaksanakan secara berkala 1
kali dalam 10 tahun pada seluruh petak di dalam kawasan hutan produksi setiap
wilayah unit pengelolaan/unit manajemen. Dalam pedomannya dijelaskan bahwa
IHMB bertujuan untuk mengetahui kondisi sediaan tegakan (timber standing
stock), sebagai bahan dasar dalam penyusunan RKUPHHK dan sebagai bahan
pemantauan kecenderungan kelestarian sediaan tegakan di areal IUPHHK pada
hutan alam maupun hutan tanaman dan atau kesatuan pengelolaan hutan produksi
(Kemenhut 2009).
Progres pelaksanaan IHMB sampai dengan bulan Desember 2009 tercatat
sebanyak 124 unit (40,78%) yang telah melaksanakan dari total 304 unit
IUPHHK-HA di Indonesia (Direktorat Bina Usaha Hutan Alam, Kemenhut 2010).
Sehubungan dengan hal tersebut, Kemenhut mengeluarkan surat edaran nomor
SE.09/VI-BPHA/2010
tentang
percepatan
pelaksanaan
IHMB
dan
SE.14/VI/BPHA/2010 yang menetapkan batas waktu pelaksanaan IHMB paling
lambat tanggal 31 Agustus 2011. Besarnya biaya operasional dalam pelaksanaan
IHMB dan keterbatasan jumlah tenaga teknis yang tersedia pada UPH merupakan
alasan yang sering dikeluhkan. Selain itu pada saat kewajiban tersebut ditetapkan
(bulan Mei 2009) sebagian besar IUPHHK-HA telah beroperasi sesuai
RKTUPHHK-HA yang telah ditetapkan pada tahun sebelumnya, sehingga IHMB
dilaksanakan pada saat yang sama dengan dengan kegiatan operasional IUPHHKHA yang sedang berjalan.
Sampai dengan tahun 2014, IHMB telah dilaksanakan oleh seluruh
IUPHHK-HA di Indonesia, serta telah dievaluasi dan diverifikasi oleh tim
gabungan dari Kemenhut dan Dinas Kehutanan Provinsi. Namun dalam
pedomannya tidak tidak ditetapkan kewajiban pemeliharaan plot contoh IHMB
sehingga keberadaan identitas plot contoh berupa patok permanen, batas plot
contoh, batas subplot dalam kondisi yang tidak terurus bahkan tidak ditemukan
pada saat verifikasi di lapangan. Faktor lain yang juga mempengaruhi pelaksanaan
IHMB pada unit pengelolaan hutan menjadi tidak maksimal adalah banyaknya

3
jumlah plot contoh yang harus dibuat berdasarkan luas areal efektif berhutan yang
menyita waktu operasionalnya.
Perumusan Masalah
Realisasi pengelolaan hutan oleh UPH dilaksanakan berdasarkan
RKTUPHHK-HA yang merupakan penjabaran dari RKUPHHK-HA yang telah
berbasis IHMB. Kenyataan di lapangan bahwa sering terjadi ketidaksesuaian
antara rencana yang telah ditetapkan dengan realisasi pelaksanaannya merupakan
salah satu faktor penghambat dalam pengelolaan hutan di tingkat UPH. Di
samping itu, keengganan UPH mengikutsertakan karyawannya dalam pelatihan
teknis kehutanan untuk memenuhi kecukupan tenaga teknis yang berkualifikasi
juga merupakan suatu kelemahan. Hal-hal seperti yang tersebut di atas merupakan
penghambat dalam proses pencapaian pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL).
Berdasarkan latar belakang seperti yang tersebut di atas, terdapat beberapa
pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini, yakni:
1. Apakah data yang harus dikumpulkan menurut pedoman IHMB sudah
mencakup seluruh data yang diperlukan untuk menyusun rencana pengelolaan
hutan berdasarkan prinsip kelestarian hutan sesuai dengan kriteria dan
indikator kelestarian yang ditetapkan oleh ITTO dan Kemenhut (PHPL)?
2. Apakah data hasil pelaksanaan IHMB sudah merupakan keseluruhan data yang
seharusnya diperoleh sesuai dengan pedoman IHMB?
3. Apakah data hasil pelaksanaan IHMB sudah sesuai dengan data yang
diperlukan untuk menyusun RKUPHHK-HA?
4. Apakah data hasil pelaksanaan IHMB dipergunakan dalam kegiatan
pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan hutan di lapangan?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai
kesesuaian dan ketepatan hasil pelaksanaan IHMB untuk menyusun RKUPHHKHA dalam rangka pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu secara
berkelanjutan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran
tentang ketepatan dan kesesuaian data yang seharusnya diperoleh melalui
pelaksanaan IHMB berdasarkan pedoman yang ada bilamana dibandingkan
dengan data yang diperlukan dalam penyusunan RKUPHHK-HA dalam rangka
pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu secara berkelanjutan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah menilai kesesuaian dan ketepatan data
hasil pelaksanaan IHMB berdasarkan pedoman untuk penyusunan RKUPHHKHA dalam rangka pengelolaan hutan untuk memperoleh hasil kayu secara
berkelanjutan.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Unit Pengelolaan Hutan
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan merupakan serangkaian proses
perencanaan dan atau penyusunan disain kawasan hutan yang didasarkan atas
fungsi pokok dan peruntukannya yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan
hutan yang efisien dan lestari. Sesuai dengan Undang Undang tentang Kehutanan
(1999), pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat
provinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan. Pembentukan wilayah unit
pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah
aliran sungai (DAS), sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat
termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Lebih
lanjut pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan
hutan dan penutupan hutan untuk setiap DAS atau pulau guna optimalisasi
manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat
sebesar 30% dari luas DAS atau pulau dengan sebaran yang optimal.
Dalam perkembangannya pemerintah membentuk wilayah pengelolaan
hutan dalam bentuk organisasi kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, KPH adalah wilayah pengelolaan
hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien
dan lestari. Seluruh kawasan hutan dibagi sesuai dengan fungsi pokok hutan yakni
hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Organisasi KPH tersebut
memiliki tugas dan fungsi antara lain: 1) menyelenggarakan pengelolaan hutan
yang meliputi: a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, b)
pemanfaatan hutan, c) penggunaan kawasan hutan, d) rehabilitasi hutan dan
reklamasi serta e) perlindungan hutan dan konservasi alam, 2) menjabarkan
kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk
diimplementasikan, 3) melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya
mulai dari perencanaan pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan serta
pengendalian, 4) melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan
kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya dan 5) membuka peluang investasi
guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Kartodihardjo et al. (2011) menyatakan bahwa kegagalan dalam
pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh ketiadaan atau
kelemahan “rumah dan penghuninya” yaitu pengelolaan hutan di tingkat tapak.
Ketiadaan atau kelemahan “siapa” yang dari waktu ke waktu mengetahui dan
memperhatikan perkembangan sumber daya hutan di lapangan, memelihara dan
menjaga hasil-hasil penanaman di lahan kritis, mengetahui batas-batas kawasan
yang berubah, mengetahui siapa kelompok masyarakat yang terkait dan
memerlukan manfaat sumber daya hutan. Ketiadaan tersebut menjadi penyebab
utama kegagalan dalam melaksanakan pengelolaan hutan dan terputusnya
informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusankeputusan yang dibuat baik di tingkat pemerintah kabupaten/kota, provinsi
maupun pusat.

5
Menurut Supriadi (1997), implikasi dari konsep kelembagaan pada
pengelolaan sumber daya hutan adalah pengendalian terhadap interaksi berbagai
kepentingan yang mengatur hak dan kewajiban “apa dan siapa” dalam
pemanfaatan sumber daya hutan pada perekonomian suatu wilayah. Pengaturan
hak dan kewajiban tersebut akan melibatkan semua pelaku ekonomi yaitu
pemerintah, masyarakat dan pihak swasta/pengusaha. Dalam ruang lingkup
property right, maka sesuai dengan Undang Undang Kehutanan bahwa hutan
adalah milik negara yang dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
masyarakat. Penanggungjawab pengelolaan hutan adalah pemerintah yang dapat
dilakukan oleh lembaga atau badan hukum (BUMN, swasta, koperasi) dan
kelompok masyarakat ataupun perorangan. Demikian pula sesuai dengan ciri
batas yuridiksi kelembagaan maka batas bagi masyarakat adat untuk
memanfaatkan areal hutan dan hasil hutan dapat dijadikan sebagai cara untuk
melestarikan sumber daya hutan (Santosa 2006).
Inventarisasi Hutan
Ketersediaan data dan informasi yang lengkap tentang sumber daya hutan
sangatlah penting. Hal tersebut terbukti dengan keterlibatan organisasi pangan dan
pertanian dunia (FAO) sejak awal dalam penentuan dan pelaksanaan program
penilaian sumber daya hutan pada semua tingkat, mulai dari penaksiran hutan
dunia, regional sampai pada tingkat inventarisasi untuk pengelolaan tingkat tapak.
Adanya keinginan dalam rangka sinkronisasi dan penyamaan persepsi terhadap
rencana garis besar dan isi pokok dalam kegiatan inventarisasi hutan
direalisasikan dalam pertemuan para ahli di bidang kehutanan dari berbagai
negara pada tahun 1972 (Simon 1987).
Inventarisasi hutan merupakan suatu kegiatan mengumpulkan data dan
informasi tentang sumber daya hutan, potensi kekayaan hutan serta lingkungannya
secara menyeluruh yang mencakup survei mengenai status dan keadaan fisik
hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat di sekitar hutan. Menurut Shiver dan Borders (1996), inventarisasi
hutan adalah suatu deskripsi tentang kuantitas dan kualitas dari pepohonan dan
organisme lainnya yang hidup di dalam hutan serta tentang lahan yang merupakan
tapak dari hutan itu sendiri. Sesuai dengan definisi tersebut maka dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa tujuan dari inventarisasi hutan dapat mencakup estimasi
terhadap volume atau nilai dari kayu yang ada di dalam suatu kawasan hutan,
jumlah flora dan fauna tertentu termasuk kondisi tapak atau obyek-obyek lain
yang menjadi tujuan dari kegiatan survei.
Lebih lanjut Husch et al. (2003), mengemukakan bahwa pengukuran atau
penaksiran terhadap suatu kawasan hutan sangat berhubungan erat dengan tujuan
untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin tentang sumber daya yang ada di
dalamnya, yang akan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan, pemanfaatan
serta rencana pengelolaannya. Suatu inventarisasi hutan lengkap dipandang dari
segi penaksiran kayu, harus berisi deskripsi areal berhutan serta pemiliknya,
penaksiran volume pohon-pohon yang masih berdiri dan penaksiran tambah
tumbuh dan pengeluaran hasil. Dengan meningkatnya aktivitas pemanfaatan hutan
selain untuk penyediaan kayu, misalnya untuk keperluan rekreasi, pengelolaan

6
DAS, pengelolaan satwa liar dan kemungkinan konversi ke tata guna lainnya,
maka ruang lingkup inventarisasi hutan haruslah diperluas (Atmosoemarto 1993).
Menurut Simon (1987), terdapat beberapa spesifikasi penting untuk tujuan
inventarisasi hutan di antaranya: a) batas dan ukuran yang pasti dari areal yang
akan diinventarisasi, b) pembagian-pembagian yang dibuat dalam areal yang akan
diinventarisasi, c) sifat informasi yang diperlukan, d) penyajian informasi yang
diperlukan dan e) ketepatan informasi yang diperlukan. Di Indonesia, inventarisasi
hutan merupakan salah satu kegiatan utama dalam perencanaan hutan. Hasil
inventarisasi hutan sangat dibutuhkan dalam kegiatan pengukuhan hutan,
penatagunaan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan serta dalam rangka
perencanaan kehutanan. Sesuai dengan Undang Undang Kehutanan, inventarisasi
hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang
sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap
yang terdiri atas: 1) inventarisasi hutan tingkat nasional 2) inventarisasi hutan
tingkat wilayah 3) inventarisasi hutan tingkat daerah aliran sungai dan 4)
inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
Secara umum inventarisasi hutan bersifat statis dan dinamis. Inventarisasi
hutan statis ditujukan untuk memperoleh data yang bersifat sesaat atau potret
sumber daya hutan pada saat dilaksanakan inventarisasi tersebut. Sedangkan
inventarisasi hutan dinamis dilaksanakan untuk memperoleh informasi tentang
sumber daya hutan yang mencakup laju pertumbuhan tegakan secara berkala.
ITTO (1992a) menyatakan bahwa tujuan utama dari inventarisasi statis dan
dinamis adalah untuk menilai kemungkinan penebangan kayu dan produksi kayu
jangka panjang. Informasi yang diperoleh harus menggambarkan secara
kuantitatif mengenai jenis-jenis komersil dan jenis-jenis yang tidak komersil,
termasuk di dalamnya informasi tentang kelas diameter yang lebih rendah serta
anakan yang tersedia pada areal tersebut.
Perencanaan kehutanan sebagaimana tersebut di atas merupakan proses
penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam
pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin
tercapainya penyelenggaraan kehutanan yang diharapkan. Ketersediaan data
tegakan hutan (standing stock) sebagai hasil dari pelaksanaan inventarisasi hutan
merupakan kondisi tegakan hutan yang ada pada saat tertentu dan dinyatakan
dalam komposisi jenis, penyebaran ukuran diameter dan ukuran tinggi pohon
penyusun tegakan, luas areal, volume tegakan hutan, keadaan permudaan alam
atau tumbuhan bawah serta bentang lahannya. Salah satu langkah nyata dalam
meningkatkan kualitas hutan adalah tersedianya data tentang pertumbuhan dan
hasil dengan pemodelan dinamika struktur tegakan yang disusun dari rangkaian
data pertumbuhan dalam petak ukur permanen (Bone 2010). Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 20014, inventarisasi hutan di tingkat unit
pengelolaan dilaksanakan oleh pemegang ijin dan dimaksudkan sebagai dasar
dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan pada unit pengelolaan yang
bersangkutan. Rencana pengelolaan hutan sebagaimana tersebut di atas
merupakan RKUPHHK-HA yang disusun berdasarkan IHMB yang dilaksanakan
secara berkala dalam jangka waktu 10 tahun.
Sesuai dengan pedoman IHMB (Kemenhut 2009) plot contoh (sample unit)
merupakan suatu petak dengan ukuran tertentu yang dibuat di lapangan yang
mana dalam petak tersebut dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap dimensi

7
tegakan dan pencatatan informasi yang diperlukan dan penempatannya bersifat
semi permanen. Penentuan plot contoh IHMB berbasis petak didasarkan pada
kondisi areal efektif berhutan pada areal kerja UPH. Tujuan pembuatan plot
contoh IHMB adalah untuk menghitung volume tegakan semua jenis yang terdiri
dari tegakan dengan diameter setinggi dada (dbh) sama dengan atau lebih besar
dari 10 sentimeter. Plot contoh untuk pengamatan pohon pada hutan alam
berbentuk empat persegi panjang (rectangular plot) dengan ukuran minimal 0,25
ha dengan lebar 20 meter dan panjang 125 meter. Di dalam plot contoh tersebut
dibuat 4 buah sub-plot yakni, 1) sub-plot pancang berbentuk lingkaran dengan
dengan jari-jari 2,82 meter dengan pengamatan terhadap anakan semua jenis
dengan tinggi minimal 1.5 meter hingga diameter kurang dari 10 cm, 2) sub-plot
tiang berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 meter x 10 meter dengan
pengamatan terhadap semua jenis tegakan dengan diameter 10 cm sampai dengan
kurang dari 20 cm, 3) sub-plot pohon kecil berbentuk bujur sangkar yang
berukuran 20 meter x 20 meter dengan pengamatan terhadap semua jenis tegakan
yang berdiameter 20 cm sampai dengan kurang dari 35 cm dan 4) sub-plot pohon
besar berbentuk empat persegi panjang yang berukuran 20 meter x 125 meter
dengan pengamatan terhadap semua jenis tegakan dengan diameter 35 cm ke atas.
Dalam rangka pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan
produksi, ketersediaan RKUPHHK-HA menjadi mutlak karena dijadikan dasar
dalam penyusunan RKTUPHHK-HA. Dalam konteks memperoleh data dan
informasi tentang tegakan hutan, inventarisasi tegakan hutan merupakan suatu
kegiatan pengumpulan data dan informasi kondisi tegakan yang dilaksanakan
dengan metode dan teknik tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penggunaan
data serta ketersediaan sumber daya pendukung untuk penyelenggaraannya (Jaya
et al. 2010). Tujuan penggunaan data dimaksud adalah untuk menentukan jatah
produksi tahunan (JPT) atau yang lebih dikenal dengan istilah AAC (Annual
Allowable Cut) serta teknik pemanenan tegakan yang dapat diaplikasikan untuk
penyusunan rencana pengelolaan hutan mulai dari kegiatan perencanaan sampai
dengan pemasaran hasil.
Pelaksanaan inventarisasi hutan menghasilkan ketersediaan data dan
informasi potensi sumber daya hutan. Ketersediaan data tersebut dijadikan dasar
dalam penyusunan rencana pengelolaan oleh unit pengelolaan hutan. Rencana
pengelolaan yang telah tersusun merupakan tindakan pengelolaan dan
pemanfaatan yang sistematis dengan tujuan, target serta tata waktu
pelaksanaannya. Smith (2002) dalam penelitiannya, menggabungkan pelaksanaan
inventarisasi hutan dengan monitoring kesehatan hutan untuk menentukan kriteria
dan indikator dalam pengelolaan hutan lestari di Amerika Serikat. Manfaat dari
data hasil inventarisasi juga digunakan oleh Makela (2011) yang menggunakan
data plot contoh inventarisasi hutan nasional dan data citra landsat untuk
menganalisis potensi produksi hasil hutan dan tindakan-taindakan pemanfaatan
yang mungkin dilakukan pada tingkat hutan milik dalam rangka penetapan
kebijakan pengelolaan hutan pada skala regional dan nasional di Findlandia.
Untuk mewujudkan hasil pelaksanaan inventarisasi hutan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan, maka ketersediaan sumber daya manusia atau tenaga
teknis yang memiliki kompetensi dan kemampuan teknis dalam melaksanakan
kegiatan tersebut merupakan salah satu faktor penentu keberhasilannya.
Kemenhut telah menetapkan standar dan kualifikasi teknis tenaga teknis di bidang

8
kehutanan. Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2008, tenaga
teknis pengelolaan hutan produksi lestari (GANISPHPL) adalah petugas
perusahaan pemegang izin di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi
lestari yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan hutan produksi sesuai
dengan kualifikasinya yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Balai atas
nama Direktur Jenderal.
Berdasarkan pedoman IHMB, tim pelaksana kegiatan IHMB dipersyaratkan
telah memiliki kompetensi sebagai tenaga teknis pengelolaan hutan produksi
lestari timber cruising (GANISPHPL-TC) atau tenaga teknis pengelolaan hutan
produksi lestari perencanaan hutan (GANISPHPL-CANHUT). GANISPHPL-TC
merupakan tenaga teknis yang memiliki kompetensi dalam kegiatan IHMB,
timber cruising, penyusunan laporan hasil cruising (LHC) petak kerja tebangan
tahunan, LHC blok kerja tebangan tahunan serta pengukuran berkala pada petak
ukur permanen (PUP). Selanjutnya GANISPHPL-CANHUT adalah tenaga teknis
yang memiliki kompetensi dalam kegiatan cruising, penyusunan RKUPHHK-HA
atau RKUPHHK-HTI, serta penyusunan usulan RKTUPHHK-HA dan pembuatan
peta areal kerja dalam rangka penyiapan pemanfaatan hutan produksi pada hutan
alam atau hutan tanaman.
Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia
Merujuk pada Undang Undang Kehutanan, hutan produksi merupakan
kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Dalam hal
ini, hasil hutan yang dimaksud berupa; benda-benda hayati, nonhayati dan
turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Menurut data statistik Kemenhut
tahun 2012, Indonesia memiliki hutan produksi seluas 30.180.485,69 juta hektar.
Dengan luasan tersebut, sudah sepatutnya pengelolaan dan pemanfaatannya
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan serius dan penuh tanggung
jawab. Pengelolaan hutan merupakan suatu kegiatan yang meliputi tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan
hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi
alam. Dalam praktiknya, pengelolaan hutan disesuaikan dengan fungsi dari unit
pengelolaan hutan itu sendiri. Pengelolaan hutan merupakan praktik penerapan
prinsip-prinsip dalam bidang biologi, fisika, kimia, analisis kuantitatif,
manajemen ekonomi, sosial dan analisis kebijakan dalam rangkaian kegiatan
membangun
atau
mengeneralisasikan,
membina,
memanfaatkan,
mengkonservasikan hutan untuk memperoleh tujuan atau tujuan-tujuan dan
sasaran atau sasaran-sasaran yang telah ditetapkan, dengan tetap mempertahankan
produktivitas dan kualitas hutan (Suhendang 2013).
Perlu dipahami bahwa hutan merupakan suatu ekosistem secara menyeluruh,
sehingga dalam pengelolaannya harus berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan
ekosistem yang menuntut pendekatan yang bersifat adaptif, yakni adanya proses
penyesuaian ke arah yang lebih cocok dengan lingkungan lokalnya, berdasarkan
hasil monitoring dan penelitian yang berlandaskan kepada pemahaman yang
mendalam terhadap interaksi ekologis serta proses yang diperlukan untuk
mempertahankan keberlanjutan komposisi, struktur dan fungsi ekosistem untuk
jangka panjang (Helms 1998). Karakteristik hutan alam pada setiap unit
pengelolaan memiliki keragaman yang sangat tinggi, sehingga dalam kegiatan

9
pengelolaannya, unit pengelolaan tersebut berfungsi pula sebagai suatu kesatuan
kelestarian hutan yang menuntut adanya penyesuaian terhadap karakteristik sesuai
dengan pengelolaan yang bersifat adaptif (Labetubun 2004). Osmaston (1968)
menyatakan bahwa terdapat 4 persyaratan hutan normal tidak seumur, yakni: 1)
komposisi (jenis) dan struktur hutan harus sesuai dengan keadaan lingkungan atau
faktor-faktor yang bersifat lokal, 2) tegakan persediaan harus diatur secara ideal,
3) perlu dibentuk organisasi hutan pada setiap kesatuan pengelolaannya dan 4)
perlu dibentuk organisasi pengelolaan hutan dan penyelenggaraan administrasi
pengelolaan hutan yang terbaik. Selanjutnya Suhendang (1999), menambahkan 1
persyaratan lagi yakni 5) perlu adanya kejelasan mengenai penyebaran hak dan
kewajiban di antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam
pengelolaan hutan.
Unit pengelolaan hutan produksi merupakan kesatuan pengelolaan hutan
produksi (KPHP) atau satuan IUPHHK. Dalam pengelolaan hutan terdapat
kegiatan-kegiatan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Pengaturan hasil adalah penentuan hasil
kayu dan produk lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk di mana,
kapan dan bagaimana hasil seharusnya dapat diekstraksi (FAO 1998). Seydack
(1995) mengemukakan bahwa pengaturan hasil secara lestari dalam arti luas
meliputi komponen-komponen ilmiah/teknik dalam pengaturan quota panen,
ukuran-ukuran silvikultur dan metode pemanenan, serta masalah penting dalam
pengaturan hasil yang perlu dievaluasi adalah nilai ekonomis pembalakan,
peningkatan regenerasi serta produktivitas. Selanjutnya sebuah sistem pengaturan
hasil yang bertujuan untuk suatu kelestarian harus menetapkan intensitas
pemanenan (volume atau jumlah pohon yang dipanen per hektar), interval
pemanenan dan besarnya pemanenan (luas maksimum yang dapat dipanen setiap
tahunnya). Pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil apabila
besarnya hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung secara terus
menerus. Dalam hal ini, secara umum dapat dikatakan bahwa jumlah maksimum
hasil yang dapat diperoleh dari hutan pada suatu waktu tertentu adalah jumlah
kumulatif pertumbuhan sampai dengan waktu tersebut, sedangkan jumlah
maksimum hasil yang dikeluarkan secara terus menerus setiap periode sama
dengan pertumbuhan dalam periode waktu tersebut (Davis dan Johnson 1987).
Pengelolaan dan pemanfaatan hutan saat ini dituntut untuk memperhatikan
keseimbangan ekosistem sekitarnya. Hal ini terwujud dengan bergersernya
paradigma dalam pengelolaan hutan, yakni dari pengelolaan hutan untuk
mencapai kelestarian hasil menjadi pengelolaan hutan untuk kelestarian hasil
dengan tetap mempertimbangkan kelestarian ekosistem sekitarnya. Pengelolaan
hutan untuk mencapai kelestarian hasil lebih difokuskan kepada tujuan utamanya
yakni kelestarian produksi kayu. Sedangkan pengelolaan hutan yang berbasis
ekosistem memiliki fokus yang lebih luas dengan pendekatan secara menyeluruh
terhadap komposisi tegakan, sturuktur tegakan, fungsi hutan, kondisi tapak serta
faktor-faktor ekologisnya yang bertujuan untuk menjaga dan meningkatkan
kemampuan ekosistem dalam penyediaan jasa-jasanya dengan tetap
memperhatikan keseimbangannya dengan faktor sosial dan ekonomis (Pheng
2000).

10
Konsep pengelolaan hutan lestari (PHL) merupakan proses pengelolaan
lahan hutan permanen untuk mencapai satu atau lebih tujuan-tujuan pengelolaan
yang meliputi produksi yang berkesinambungan dari hasil hutan dan atau jasa
hutan tanpa banyak menyebabkan penurunan nilai dan produktivitas, serta tidak
menimbulkan dampak yang merugikan terhadap lingkungan fisik dan sosialnya
(ITTO 1992a). Dalam kerangka PHL, ITTO menetapkan kriteria dan contoh
indikator kelestarian dalam pengelolaan hutan untuk tingkat unit pengelolaan
hutan (Tabel 1). Sehubungan dengan hal tersebut, Kemenhut juga telah
menetapkan standar dan pedoman pengelolaan hutan lestari yang merupakan
persyaratan untuk memenuhi pengelolaan hutan lestari yang memuat standar,
kriteria, indikator alat penilaian, metode penilaian dan panduan penilaian dalam
pelaksanaan penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan
verifikasi legalitas kayu (VLK). Selanjutnya untuk pelaksanaan di lapangan
ditetapkan standar, pedoman, kriteria dan indikator tersebut dalam peraturan
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan (2012). Dalam pedoman tersebut
terdapat empat aspek utama dengan masing-masing indikator penilaiannya (Tabel
2) yakni: 1) aspek prasyarat, 2) aspek produksi, 3) aspek ekologi dan 4) aspek
sosial.
Tabel 1 Kriteria dan indikator kelestarian menurut ITTO
Kriteria
1. Keamanan sumber

Contoh Indikator
a. Ketersediaan legal dokumen/akta/perjanjian tentang
areal hutan atau unit management
b. Tersedianya rencana pengelolaan hutan
c. Kepastian tentang tata batas areal hutan
d. Kejelasan tentang ada atau tidaknya gangguan dan
eksploitasi yang dilakukan secara illegal
e. Perjanjian/persetujuan masa berlaku konsesi hutan
2. Keberlanjutan produksi
a. Tersedianya aturan yang jelas tentang pemanenan
kayu
b. Terjaminnya produktivitas tanah jangka panjang
c. Pelaksanaan inventarisasi sediaan tegakan sebelum
penebangan
d. Tersedianya data tentang nomor pohon dan atau
volume pohon per hektar yang boleh ditebang
e. Pemantauan sediaan tegakan setelah penebangan
f. Tersedianya laporan areal hutan yang telah ditebang
secara berkala
3. Konservasi flora dan a. Terjaganya keseimbangan ekosistem areal konsesi atau
fauna
unit manajemen
b. Tingat kerusakan tegakan yang rendah setelah
penebangan
4. Dampak lingkungan
a. Tingkat kerusakan tanah
yang dapat diterima
b. Dampak terhadap luas dan sebaran tepi sungai serta
daerah aliran sungai
c. Dampak terhadap tingkat kerusakan erosi tanah
d. Penanggulangan terhadap badan sungai
5. Manfaat sosial ekonomi
a. Tersedianya lapangan pekerjaan
b. Manfaat lain yang diterima akibat aktivitas pengelolaan
hutan
6. Perencanaan dan
a. Sosialisasi dan perundingan dengan masyarakat
kesesuaian dalam
setempat
pelaksanaan
b. Penyusunan rencana pengelolaan hutan dalam rangka
memperoleh manfaat hutan yang alami
Sumber: ITTO 1992b Criteria For The Measurement Of Sustainable Tropical Forest Management.

11
Tabel 2 Kriteria dan indikator menurut Kementerian Kehutanan (PHPL)
Kriteria dan indikator
1. Prasyarat
1.1. Kepastian kawasan pemegang izin
dan pemegang hak pengelolaan
1.2. Komitmen pemegang izin

1.3. Jumlah dan kecukupan tenaga
profesional bidang kehutanan pada
seluruh tingkatan untuk mendukung
pemanfaatan implementasi penelitian,
pendidikan dan latihan
1.4. Kapasitas dan mekanisme untuk
perencanaan pelaksanaan pemantauan
periodik, evaluasi dan penyajian
umpan balik mengenai kemajuan
pencapaian (kegiatan) iuphhk–ha/
re/ht/pemegang hak pengelolaan
1.5. Persetujuan atas dasar informasi awal
tanpa paksaan (padiatapa)
2. Produksi
2.1. Penataan areal kerja jangka panjang
dalam pengelolaan hutan lestari
2.2. Tingkat pemanenan lestari untuk
setiap jenis hasil hutan kayu utama
dan nir kayu pada setiap tipe
ekosistem
2.3. Pelaksanaan penerapan tahapan
sistem silvikultur untuk menjamin
regenerasi hutan

2.4. Ketersediaan dan penerapan
teknologi ramah lingkungan untuk
pemanfaatan
2.5. Realisasi penebangan sesuai dengan
rencana kerja penebangan/
pemanenan/ pemanfaatan pada areal
kerjanya

2.6. Tingkat tingkat investasi dan
reinvestasi yang memadai dan
memenuhi kebutuhan dalam
pengelolaan hutan, administrasi,
penelitian dan pengembangan, serta
peningkatan kemampuan SDM

Alat penilaian
Ketersediaan dokumen legal & administrasi tata
batas, realisasi tata batas, pengakuan para pihak,
perubahan fungsi kawasan dan penggunaan
kawasan di luar sector kehutanan (jika ada)
Keberadaan dokumen visi, misi dan tujuan
perusahaan yang sesuai dengan PHL, sosialisasi
visi, misi, tujuan dan kesesuaian visi, misi
dengan implementasi PHPL
Keberadaan tenaga teknis kehutanan pada setiap
bidang pengelolaan hutan sesuai ketentuan,
peningkatan kompetensi SDM dan ketersediaan
dokumen tenaga kerja
Kelengkapan unit kerja perusahaan dalam
kerangka PHPL, keberadaan sistem informasi
manajemen & tenaga pelaksana, internal auditor
& efektivitasnya serta tindak koreksi manajemen
berbasis hasil monitoring dan evaluasi
Persetujuan rencana penebangan, AMDAL, tata
batas, CSR dan penetapan kawasan lindung
Keberadaan rencana jangka panjang yang telah
disetujui, kesesuaian implementasi PAK dengan
rencana jangka panjang dan pemeliharaan batas
blok dan petak kerja
Terdapat data tegakan per tipe ekosistem
berbasis hasil inventarisasi, terdapat informasi
riap tegakan serta terdapat perhitungan internal
berbasis data potensi dan kemampuan
pertumbuhan tegakan
Ketersediaan SOP semua tahapan kegiatan
sistem silvikultur, implementasi SOP,
kecukupan potensi tegakan sebelum masak
tebang serta kecukupan potensi permudaan
Ketersediaan prosedur pemanfaatan hutan ramah
Lingkungan, tingkat kerusakan tegakan tinggal,
keterbukaan wilayah dan limbah pemanfaatan
hutan minimal
Keberadaan dokumen RKTUPHHK-HA,
RKUPHHK-HA sesuai peraturan, kesesuaian
peta kerja dengan RKTUPHHK-HA &
RKUPHHK-HA, implementasi peta kerja serta
kesesuaian lokasi, luas, jenis dan volume tebang
dengan RKTUPHHK-HA
Realisasi alokasi dana yang cukup, proporsional,
lancar dan modal yang ditanamkan (kembali) ke
hutan serta realisasi kegiatan fisik penanaman/
pembinaan hutan

12
Lanjutan Tabel 2
Kriteria dan indikator
3. Ekologi
3.1. Keberadaan, kemantapan dan kondisi
kawasan dilindungi pada setiap tipe
hutan
3.2. Perlindungan dan pengamanan hutan
3.3. Pengelolaan dan pemantauan dampak
terhadap tanah dan air akibat
pemanfaatan hutan

3.4. Identifikasi spesies flora dan fauna
yang dilindungi dan/ atau langka
(endangered), jarang (rare), terancam
punah (threatened) dan endemik
3.5. Pengelolaan flora untuk :
a. Luasan tertentu dari hutan
produksi yang tidak terganggu,
dan bagian yang tidak rusak
b. Perlindungan terhadap species
flora dilindungi dan/ atau jarang,
langka dan terancam punah dan
endemic.
3.6 Pengelolaan fauna untuk :
a. Luasan tertentu dari hutan
produksi yang tidak terganggu,
dan bagian yang tidak rusak
b. Perlindungan terhadap species
fauna dilidungi dan/ atau jarang,
langka, terancam punah dan
endemic
4. Sosial
4.1. Kejelasan deliniasi kawasan
operasional perusahaan/ pemegang
izin dengan kawasan masyarakat
hukum adat dan/atau masyarakat
setempat

4.2. Implementasi tanggungjawab sosial
perusahaan sesuai dengan peraturan
perundangan
yang berlaku

Alat penilaian
Luas kawasan lindung (KL), penataan KL,
kondisi tutupan KL, pengakuan para pihak
terhadap KL dan laporan pengelolaan KL
Ketersediaan prosedur perlindungan yang sesuai
dengan jenis gangguan, sarana & prasarana
perlindungan hutan (PH), SDM PH, serta
implementasi perlindungan gangguan hutan
Ketersediaan prosedur pengelolaan dan
pemantauan dampak terhadap tanah & air,
ketersediaan sarana pengelolaan & pemantauan,
SDM pengelolaan & pemantauan, rencana &
implementasi pengelolaan dampak, rencana &
implementasi pemantauan dampak serta dampak
terhadap tanah dan air
Ketersediaan prosedur identifikasi flora & fauna
yang dilindungi serta implementasi kegiatan
identifikasi

Ketersediaan prosedur flora yang dilindungi
yang mengacu pada peraturan, implementasi
kegiatan pengelolaan flora sesuai dengan
rencana serta kondisi spesies flora yang
dilindungi

Ketersediaan prosedur fauna yang dilindungi
yang mengacu pada peraturan, implementasi
kegiatan pengelolaan fauna sesuai dengan
rencana serta kondisi spesies fauna yang
dilindungi
- Ketersediaan dokumen pola penguasaan &
pemanfaatan SDA/SDH, identifikasi hak-hak
dasar masyarakat hukum adat (MHA)
- Ketersediaan mekanisme pembuatan batas
kaawasan secara partisipatif & penyelesaian
konflik batas kawasan
- Ketersediaan mekanisme pengakuan hak-hak
dasar MHA dalam perencanaan pemanfaatan
SDH
- Terdapat batas yang memisahkan secara tegas
antara areal unit manajemen dengan kawasan
masyarakat
- Terdapat persetujuan para pihak atas luas batas
areal kerja IUPHHK
Ketersediaan dokumen tanggung jawab sosial
pemegang izin sesuai dengan peraturan

13
Lanjutan Tabel 2
Kriteria dan indikator

Alat penilaian
- Ketersediaan mekanisme pemenuhan
kewajiban pemegang izin terhadap
masyarakat
- Sosialisasi mengenai hak & kewajiban
pemegang izin terhadap masyarakat dalam
rangka pengelolaan SDH
- Realisasi pemenuhan tanggung jawab sosial
terhadap hak-hak dasar masyarakat/MHA
dalam pengelolaan SDH
- Ketersediaan dokumen/laporan pelaksanaan
tanggung jawab sosial pemegang izin
- Ketersediaan data & informasi MHA yang
4.3. Ketersediaan mekanisme dan
terllibat/tergantung oleh aktivitas pengelolaan
implementasi distribusi manfaat yang
SDH
adil antar para pihak
- Ketersediaan mekanisme peningkatan peran
serta dan aktivitas ekonomi MHA
- Implementasi kegiatan peningkatan peran
serta & aktivitas ekonomi MHAoleh
pemegang izin yang tepat sasaran
- Keberadaan dikumen/laporan d