Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) Dalam Pengusahaan Hutan Di Indonesia

INVENTARISASI TEGAKAN TINGGAL (ITT)
DALAM PENGUSAHAAN HUTAN DI INDONESIA

Penyusun:
Siti Latifah, S.Hut, MSi, Ph.D

Universitas Sumatera Utara

Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT)
Dalam Pengusahaan Hutan Di Indonesia
Siti Latifah
Program Studi Kehutanan
Fakultas Pertanian USU

PENDAHULUAN
Hutan alam di Indonesia menurut berbagai literatur dinyatakan sebagai emas
hijau yang merupakan bagian dari rangkaian zamrud khatulistiwa dengan nilai keindahan
dan kekayaan yang luar biasa. Sumberdaya hutan ini merupakan hutan hujan tropis
terbesar ketiga setelah Zaire dan Brazil. Kekayaan alam yang dimiliki hutan tropis
Indonesia sangat berlimpah terutama dalam hal biodiversitasnya. Kelimpahan dan
keunikan biodiversitas yang dimiliki ternyata tidak hanya bermanfaat bagi bangsa

Indonesia saja melainkan juga bermanfaat bagi seluruh masyarakat di dunia terutama
dalam perannya sebagai penyangga ekosistem planet bumi. Kebutuhan hidup manusia
mulai dari pangan, sandang, papan telah dicukupi dari hutan.

Kebutuhan hidup

manusia yang semakin hari semakin meningkat telah menyebabkan tekanan terhadap
hutan alam menjadi semakin meningkat.
Kegiatan pengelolaan hutan alam produksi ini telah dilakukan sejak tahun 1960-an
dan pada tahun 1970-an dikenal dengan istilah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yakni
berupa ijin konsensi pengusahaan hutan alam produksi yang diberikan kepada pihak
swasta/Negara. Era pengusahaan hutan alam oleh HPH dimulai dengan dikeluarkannya
PP no 21 tahun 1970, tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
Seiring dengan pesatnya pembangunan di Indonesia dan kekhawatiran dampaknya
terhadap kelestarian sumberdaya hutan mendorong lahirnya berbagai kesepakatan tentang
pembangunan berkelanjutan dan pelestarian hutan tropis. Kesepakatan-kesepakatan
tersebut pada dasarnya mempunyai kesamaan prinsip dasar yaitu sumberdaya hutan
merupakan sumberdaya publik sehingga bukan lagi hanya milik komunitas suatu negara
saja melainkan seluruh komunitas dunia. Peran dan fungsi hutan yang bersifat multi
dimensi dan lintas territorial menjadikan hutan Indonesia menjelma menjadi milik

masyarakat dunia yang nantinya harus diwariskan kepada generasi mendatang melalui

Universitas Sumatera Utara

prinsip pengelolaan hutan lestari. Secara nyata melalui berbagai institusi dan lembaga
swadaya masyarakat hutan tropis Indonesia diklaim sebagai paru-paru dunia yang harus
dipertahankan,untuk itu perlu dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki manajemen
hutan alam lestari (Suistainable Forest Management / SFM).
Tercapainya Suistainable Forest Management dilakukan dengan praktek-praktek
pengelolaan hutan produksi alam di Indonesia yang tidak hanya mempertimbangkan
aspek ekonomis semata, namun aspek teknologi, aspek ekologi serta aspek sosial harus
juga diperhatikan. Berkaitan dengan kelestarian hasil, sistim silvikultur yang diterapkan
pada pengelolaan hutan alam di Indonesia sekarang ini menggunakan sistim silvikultur
TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Namun saat ini sedang dikaji sistim TPTII
(Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) untuk diterapkan sebagai pengganti TPTI.
Sistim Silvikultur TPTI
Sistim silvikultur TPTI merupakan penyempurnaan dari sistim TPI (Tebang Pilih
Indonesia). Ketentuan sistim silvikultur ini diatur melalui SK Menhut No. 468/KptsII/1989 tanggal 18 September 1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam
Produksi di Indonesia yang kemudian secara operasional diatur dalam SK Dirjen
Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989 Tanggal 30 November 1989 tentang

Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Sistim silvikultur ini merupakan sistem yang
paling sedikit mengubah ekosistem hutan di kawasan hutan produksi yang merupakan
hutan alam campuran tak seumur.
Tujuan sistem TPTI Terbentuknya struktur dan komposisi tegakan hutan alam tak
seumur yang optimal dan lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan tempat
tumbuh aslinya. Hal ini ditandai oleh : wujud tegakan yang mengandung jumlah pohon,
tiang dan permudaan jenis-jenis komersial dengan mutu dan produktivitas tinggi, serta
jenis lainnya sehingga memenuhi tingkat keanekaragaman hayati yang diinginkan.
Untuk mencapai tujuan itu maka tindakan-tindakan silvikultur diarahkan kepada :
1. pengaturan komposisi jenis pohon di dalam hutan yang diharapkan dapat lebih
menguntungkan baik ditinjau dari segi ekonomi maupun ekologi

Universitas Sumatera Utara

2. pengaturan strktur/kerapatan tegakan yang optimal di dalam hutan yang diharapkan
dapat memberikan peningkatan potensi produksi kayu bulat dari keadaan
sebelumnya
3. terjaminnya fungsi hutan dalam rangka pengawetan tanah dan air
4. terjaminnya fungsi perlindungan hutan
Maksud, Tujuan dan Sasaran ITT

Maksud kegiatan ITT adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui jumlah, jenis dan mutu pohon inti dan permudaan, serta untuk
mengetahui jenis, jumlah pohon inti yang rusak dan tingkat kerusakan masingmasing pada petak-petak kerja setelah dilaksanakannya kegiatan penebangan dan
perapihan
b. Untuk mengetahui lokasi dan luas tempat-tempat yang terbuka atau kurang
permudaannya pada petak petak kerja setelah dilaksanakannya penebangan dan
perapihan

Tujuan kegiatan ITT adalah sebagai berikut :
Menentukan perlakuan silvikultur pada petak-petak kerja tahunan sesudah
kegiatan penebangan dan perapihan dilaksanakan, antara lain untuk mengetahui
perlu tidaknya dilakukan kegiatan pengayaan, dan berapa luas penanaman
rehabilitasi yang harus dilaksanakan pada petak kerja tersebut.
Sasaran ITT adalah :
1. Jumlah dan penyebaran permudaan di dalam tegakan tinggal
2. Luas dan letak areal kosong (> 1 ha) yang memerlukan pengayaan atau
rehabilitasi
3. Sumber bibit dan lokasi persemaian
Kedudukan dan Peranan ITT dalam Pembinaan Hutan Produksi Lestari
Pengelolaan hutan lestari menurut UNICED ( United Nation Conference on

Enviromnetal and development di Rio de Janeiro, Brazil 1992) adalah suatu praktek
pengelolaan untuk mendapatkan manfaat dan nilai –nilai

sumberdaya hutan bagi

Universitas Sumatera Utara

generasi sekarang dengan tidak mengorbankan produktivitas dan kulitas bagi generasi
yang akan datang. Salah satu kriteria pengelolaan hutan secara lestari adalah rehabilitasi
hutan produksi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan
meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Kegiatan pembinaan hutan produksi lestari memerlukan perangkat dalam
penerapannya yang meliputi :
1. Standar dan pedoman pelaksanaan (manual)
2. Institusi (kelembagaan ) dan mekanisme kerja;
3. Penilai (assesor)
Standar sebagai salah satu perangkat tersebut merupakan baku mutu yang
harus dipenuhi oleh pengelola hutan untuk memperoleh sertifikasi ekolabel. Salah satu
standar tercapainya kriteria rehabilitasi hutan produksi tersebut adalah pemeliharaan

tegakan tinggal pada hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikuktur TPTI. Kegiatan
yang dilakukan dalam kegiatan ini meliputi perapihan, ITT, pembebasan , pengadaan
bibit, pengayaan, pemeliharaan , penjarangan serta perlindngan hutan. Dengan demikian
nampak jelaslah kedudukan dan peranan ITT sebagai salah satu standar dalam
pelaksanaan kriteria yang ditetapkan dalam pengelolaan hutan produksi lestari.

Peristilahan dalam Kegiatan ITT
1. Inventarisasi tegakan tinggal (ITT) adalah kegiatan pencatatan dan pengukuran
pohon dan permudaan alam pada areal tegakan tinggal untuk mengetahui
komposisi jenis, penyebaran dan kerapatan pohon dan permudaan serta jumlah
dan tingkat kerusakan pohon inti.
2. Tegakan tinggal adalah tegakan hutan yang sudah ditebang pilih dan dipelihara
sampai saat penebangan berikutnya
3. Pohon inti adalah pohon jenis niagawi berdiameter 20- 49 cm yang akan
membentuk tegakan utama dan akan ditebang pada rotasi berikutnya.
4. Pengganti pohon inti adalah pohon dari jenis niagawi lain yang ditunjuk sebagai
pohon inti, apabila pohon inti dari jenis niagawi bernilai tinggi kurang dari 25
pohon perhektar

Universitas Sumatera Utara


5. Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10-19 cm
6. Permudaan tingkat pancang adalah permudaan berukuran tinggi lebih dari 1,5 m
dengan diameter kurang dari 10 cm
7. Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya 0,3-1.5m
8. Jalur ITT adalah suatu jalur pengamatan yang dibuat degan lebar 20 m berada
pada petak yang telah ditebang pilih
9. Petak ukur adalah suatu petak pengamatan pohon inti dan permudaan, berukuran
20 m x 20 m, 10 m x 10 m, 5 m x 5m, dan 2 m x 2m yang dibuat dalam jalur ITT

Pengukuran permudaan dalam kegiatan ITT
Kegiatan ITT dilakukan dalam jalur-jalur pengamatan secara sistematik dengan
lebar jalur 20 m, yang mana di dalamnya dibuat petak-petak ukur (PU) sbb:
Tabel 1. Kegiatan ITT dalam jalur-jalur pengamatan
Ukuran PU
20 m x 20 m

Kegiatan
Pengamatan,
pengukuran, penandaan


10 m x 10 m

Pengamatan dan
pencatatan
Pengamatan dan
pencatatan
Pengamatan dan
pencatatan

5mx5m
2 m x 2m

Keterangan
Jumlah, jenis,diameter,
tingkat kerusakan pohon
inti
Jumlah, jenis permudaan
tingkat tiang
Jumlah, jenis permudaan

tingkat pancang
Jumlah, jenis permudaan
tingkat semai

Inventarisasi tegakan tinggal (ITT) sebagai bagian tahapan kegiatan sistem
Silvikultur TPTI dilaksanakan pada blok tebangan 2 tahun setelah penebangan.

Tabel 2. Waktu Pelaksanaan ITT dalam Tahapan Kegiatan Sistem Silvikultur TPTI
N0

Tahapan Kegiatan

Waktu

1.

Penataan arela kerja

Et-3


2.

Inventarisasi tegakan sebelum penebangan

Et-2

3.

Pembukaan wilayah hutan (PWH)

Et-1

4

Penebangan (tebang pilih)

Et

5.


Perapihan ( pembebasan horisontal)

Et+1

Universitas Sumatera Utara

6.

Inventarisasi tegakan tinggal (ITT)

Et+2

7.

Pembebasan tahap pertama

Et+2

8.

Pengadaan bibit

Et+2

9.

Pengayaan/rehabilitasi

Et +3

10.

Pemeliharaan tanaman pengayaan/rehabilitasi

Et+3,4,5

11.

Pembebasan tahap ke dua dan ketiga

Et+5,6

12.

Penjarangn tegakan tinggal

Et +10,15,20

Teknis Pelaksanaan Kegiatan ITT
Teknis kegiatan ITT di lapangan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut :
1.

Perencanaan di Peta
b.

Penetapan blok kerja tahunan yang akan diinventarisasi dibuat oleh bagian
perencanaan yang mempunyai latar belakang pendidikan teknis kehutanan

c.

Menentukan lokasi blok dan petak kerja pada skala 1:10.000

2. Membuat jalur-jalur pengamatan dengan lebar 20 meter daan diberi no urut 150 dari masing-masing petak kerja.
3. Mengadakan pemeriksaan kembali pohon inti atau pohon yang yang dilindingi
dalam petak ukur 20 m x 20 m . Apabila tersebut rusak, maka harus ditunjuk
pohon lain dari jenis niagawi sebagai penggantinya
4. Di dalam PU 20 m x 20 m dihitung jumlah, diameter, jenis dan kesehatan semua
pohon yang berdiamter di atas 20 cm
5. Di dalam PU 10 m x 10 m dihitung jumlah,

jenis dan kesehatan semua

permudaan tingkat tiang yang berdiamter 10 - `19 cm
6. Di dalam PU 5m x 5m dihitung jumlah dan jenis permudaan berukuran lebih
tinggi dari 1,5 m sampai mencapai diameter kurang dari 10 cm.
7. Di dalam PU 2m x 2m dihitung jumlah dan jenis semai berukuran tinggi 0,3 –
1,5 m
8. Petak ukur 20 m x 20 m dinyatakan kurang permudaannya apabila di dalamnya
tidak dijumpai sekurang-kurangnya 1 pohon inti, atau 2 tiang atau 4 pancang
atau 8 semai yang baik, sehat dan tersebar merata, maka pada titik pusat PU

Universitas Sumatera Utara

tersebut diberi tanda patok dan ujungnya dicat warna kuning yang menunjukkan
bahwa di tempat tersebut perlu dilaksanakan kegiatan pengayaan, bila PU
kosong merupakan satu kelompok yang luasnya lebih dari 1 ha ( 25 PU)
9. Petak ukur yang dibuat pada bekas TPn, TPK maupun tempat-tempat terbuka
lainnya dipasangi patok dari jenis kayu tak berharga dan dicat kuning sebagai
tanda

perlu

dilakukan

kegiatan

penanaman

rehabilitasi

lahan

untuk

mengendalikan erosi di lokasi tersebut.
10. Dalam pemetaan pohin hasil ITT, peta yang digunakan adalah peta hasil ITSP
11. Jenis pohon yang dipilih untuk rehabilitasi bekas TPn, TPK adalah jenis pionir
berdaur panjang setempat seperti angsana, sungkai, jabon, binuang dll

Tata letak jalur ITT dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut :

Gambar 1. Tata letak jalur pengamatan dan petak ukur pada petak ITT
Pengukuran diameter pada permudaan tingkat pohon pada kegiatan ITT
Dalam mengukur diameter yang lazim dipilih adalah diameter setinggi dada.
Sebab pengukurannya paling mudah dan mempunyai korelasi yang kuat dengan

Universitas Sumatera Utara

parameter pohon yang penting lainnya, seperti luas bidang dasar dan volume batang.
Pada umumnya diameter pohon tanpa banir setinggi dada diukur pada 1,3 m dpl dan 20
cm di atas ujung banir untuk pohon berbanir. Pengukuran pohon berdiri di hutan dapat
dilakukan dengan menggunakan pita ukur atau phi band, kaliper dan mistar.
Pita ukur atau phi band, mengukur keliling pohon dan hasilnya dibagi dengan phi
untuk mendapatkan angka dimeter.

Hubungan antara jari-jari (r), diameter (D) dan

keliling sbb:

Diameter

=2r

D

=2r

Keliling

=ΠD

Π

=3,141593

Kaliper , pengukuran dengan kaliper harus mengambil dua kali ukuran melintang dan
menghitung rata-ratanya kalau pohon tidak bulat.

Gambar 1. Alat ukur kaliper

Perlu diperhatikan bahwa pengukuran dengan pita phi adalah ± 2 cm lebih besar
daripada hasil pengukuran dengan kaliper, karena pita ukur mengelilingi batang pohon
pada titik tertinggi permukaan kulitnya sedangkan kaliper menekan lebih erat dan dalam
pada kulitnya.

Universitas Sumatera Utara

Mistar atau penggaris pengukur, pengukuran diameter pohon dengan mistar adalah
sebagai berikut :

Pengolahan Data dan Pelaporan
Kegiatan pengolahan data dan pelaporan dalam ITT dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut :
a. Menghitung jumlah dan jenis calon pohon binaan berupa pohon inti dan
permudaan lainnya daru setiap petak ITT
b. Membuat rekapitulasi rata-rata per hektar dari pohon inti, tiang, pancang,
dan semai per petak, dan dikelompokkan menurut jenisnya
c. Menghitung jumlah luas tempet-tempat terbuka, TPN, TPK, bekas
tebangan atau kurang permudaannya, dari masing-masing petak ITT
d. Membuat peta realisasi kegiatan ITT dengan skala 1: 10.000
e. Membuat peta penyebaran pohon hasil ITT 1: 1.000

Universitas Sumatera Utara

Kesimpulan

Pasca

penebangan

perlu

dilakukan

berbagai

tindakan

pembenahan

dan

pemeliharaan areal bekas tebangan. Adanya kegiatan ITT diharapkan berbagai tahapan
kegiatan untuk melakukan pemeliharaan dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan
baik agar pada rotasi berikutnya bisa dipanen kembali pohon yang semula ditetapkan
sebagai pohon inti. Pohon inti yang ditunjuk diutamakan terdiri dari pohon komersial
yang sama dengan pohon yang ditebang. Kegiatan ITT diharapakan mendorong
tercapainya Suistainable Forest Management dalam praktek-praktek pengelolaan hutan
produksi alam di Indonesia yang

tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomis

semata, namun aspek teknologi, aspek ekologi serta aspek sosial harus juga diperhatikan.

Sumber Kepustakaan
Departemen Kehutanan. 1970. PP no 21 tahun 1970, tentang Hak Pengusahaan Hutan
dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Jakarta
Departemen Kehutanan. 1989. SK Menhut No. 468/Kpts-II/1989 tanggal 18 September
1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia.
Jakarta.
Departemen Kehutanan. 1989. SK Dirjen Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IVBPHH/1989 Tanggal 30 November 1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam
Indonesia. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2000. Keputusan Menteri Kehutanan no 09.1/Kpts-II/2000.
Kriteria dan Standar Pengelolaan Hutan Produksi secara Lestari
Departemen Kehutanan. 2007. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan
Nomor : Sk.41/Vi-Bpha/2007 Tentang Penunjukan Pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam Sebagai Model Pembangunan
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan no P. 40/menhut-II/2007.
Pedoman Penyusunan, Penilaian, dan Pengesahan Rencana Kerja Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam hutan Alam Pada Hutan Produksi
Kartodihardjo, H. 1999. Masalah Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi.
Lembaga Alam Tropika. Bogor. Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

11
Universitas Sumatera Utara