Analisis Usahatani Padi Organik Dan Padi Non-Organik Di Kabupaten Bogor

ANALISIS USAHATANI PADI ORGANIK DAN PADI
NON-ORGANIK DI KABUPATEN BOGOR

AFIATI SYARIFAH

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usahatani Padi
Organik dan Padi Non-organik di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014

Afiati Syarifah
H34100069

ABSTRAK
AFIATI SYARIFAH. Analisis Usahatani Padi Organik dan Padi Non-organik di
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI
Kesadaran akan bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan bahan-bahan
kimia sintetis pada pertanian telah mendorong perkembangan pertanian organik.
Namun perkembangan pertanian organik di Indonesia cenderung lambat. Salah satu
daerah di Indonesia yang tengah mengembangkan pertanian organik ialah
Kabupaten Bogor, dengan berfokus pada komoditi padi organik. Tujuan penelitian
ini ialah untuk menganalisa mengapa petani tidak tertarik mengusahakan padi
organik dan lebih memilih padi konvensional. Data diperoleh dari 12 petani padi
organik dan 19 petani padi non-organik yang dipilih menggunakan teknik purposive
sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktur biaya dan penerimaan
usahatani. Hasil menunjukkan bahwa usahatani padi organik lebih menguntungkan,
namun memberikan return to labor yang lebih rendah. Usahatani padi organik juga

memberikan risiko produksi dan risiko penerimaan lebih tinggi. Dapat diambil
kesimpulan bahwa, dibandingkan dengan usahatani konvensional, usahatani padi
organik memberikan insentif lebih kecil bagi petani selaku produsen.
Kata kunci: usahatani padi, padi organik, struktur biaya

ABSTRACT
AFIATI SYARIFAH. Analyze of Organic Rice Farming and Non Organic Rice
Farming in Bogor Regency. Supervised by NUNUNG KUSNADI
Awareness to the danger of the synthetic chemical used in farming induced
organic farming development. However the development of organic farming in
Indonesia is relatively slow. One of organic farming areas is Kabupaten Bogor,
which is focusing on organic rice commodities. The objective of this research were
to analyze why farmers do not apply organic method and implement the
conventional method instead. Data were collected from 12 sample of organic
farmers and 19 sample of conventional farmers that is selected purposively. This
study used cost and revenue structure approach. Result showed that organic system
were more profitable. However return to family labor on organic system were lower.
Organic system also gave higher production risk and higher revenue risk than
conventional system. It can be concluded that the organic rice farming gave smaller
incentive for a farmer as a producer, than that of the conventional farming.

Key words: organic farming, organic rice, cost structure

ANALISIS USAHATANI PADI ORGANIK DAN PADI
NON-ORGANIK DI KABUPATEN BOGOR

AFIATI SYARIFAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah
usahatani padi organik, dengan judul Analisis Usahatani Padi Organik dan Padi
Non-organik di Kabupaten Bogor
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
selaku pembimbing, kepada Dr. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji
utama serta Eva Yolynda Aviny, SP. MM selaku dosen penguji komisi pendidikan.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada BP3K Wilayah X
Kabupaten Bogor yang telah membantu dan memberikan informasi selama
pengumpulan data. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada para sahabat di
keluarga besar Agribisnis 47 atas segala dukungannya. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014
Afiati Syarifah

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI

vii

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4


Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian

5

Ruang Lingkup Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA

6

Penggunaan Input dan Tenaga Kerja pada Usahatani Metode Organik dan NonOrganik
6
Produktivitas Output Usahatani Metode Organik dan Non-Organik


7

Biaya dan Penerimaan Usahatani Metode Organik dan Non-Organik

8

R/C dan Return to Labour Usahatani Sistem Organik dan Konvensional

9

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis

10
10

Konsep usahatani padi organik

10


Konsep biaya usahatani

10

Konsep penerimaan usahatani

11

Konsep pendapatan usahatani dan R/C rasio

12

Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN

13
16

Lokasi dan Waktu Penelitian


16

Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel

16

Metode Pengolahan dan Analisis Data

17

Analisis penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani

17

Analisis efisiensi biaya usahatani

19

Analisis uji beda t-test


20

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

21

Karakteristik Wilayah

21

Kondisi Geografi

21

Kependudukan

22

Karakteristik Petani Responden


25

Jenis kelamin

25

Usia

25

Tingkat pendidikan

27

Pengalaman usahatani padi

27

Jumlah tanggungan keluarga

28

Status usahatani padi

28

Luas penguasaan lahan padi

28

ANALISIS USAHATANI PADI ORGANIK DAN PADI

NON-ORGANIK
29

Keragaan Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Non-organik di Kabupaten
Bogor
29
Penggunaan input ushatani padi organik dan padi non-organik

29

Hasil output usahatani padi organik dan non-organik

32

Biaya Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Padi Perlakuan Non-organik di
Kabupaten Bogor
33
Penerimaan Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Padi Perlakuan Non-organik
di Kabupaten Bogor
35
Analisis Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Padi Perlakuan Organik dan Padi
Perlakuan Non-organik di Kabupaten Bogor
37
Analisis R/C
SIMPULAN DAN SARAN

38
40

Simpulan

40

Saran

40

DAFTAR PUSTAKA

41

LAMPIRAN

43

RIWAYAT HIDUP

53

DAFTAR TABEL
1 Presentase luas lahan pertanian organik terhadap total lahan pertanian di
dunia tahun 2009
2 Luas penggunaan tanah dan presentasenya di kecamatan cigudeg tahun
2008 dan di kecamatan jasinga tahun 2013
3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kecamatan Cigudeg
tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013
4 Jumlah dan presentase penduduk menurut tingkat pendidikan di
Kecamatan Cigudeg tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013
5 Luas panen dan produktivitas per ha tanaman pangan dan hortikultura di
Kecamatan cigudeg tahun 2008 dan Kecamatan Jasinga tahun 2013
6 Karakteristik petani responden di Kecamatan Cigudeg dan Jasinga
Kabupaten Bogor 2013
7 Pengalaman bertani padi secara organik petani responden di kecamatan
cigudeg dan jasinga tahun 2014
8 Asal informasi padi organik petani responden di kecamatan cigudeg dan
jasinga tahun 2014
9 Rata-rata kebutuhan input per hektar per musim tanam pada usahatani
padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten
Bogor tahun 2013
10 Rata-rata penggunaan tenaga kerja per hektar per musim tanam pada
usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di
Kabupaten Bogor Tahun 2013
11 Produktivitas per hektar per musim tanam pada usahatani padi perlakuan
organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor Tahun
2013
12 Biaya per hektar lahan per musim tanam usahatani padi perlakuan
organik dan padi non-organik di Kabupaten Bogor tahun 2013
13 Penerimaan usahatani per hektar lahan per musim tanam usahatani padi
perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor
tahun 2013
14 keuntungan dan pendapatan usahatani per hektar lahan per musim tanam
usahatani padi perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di
Kabupaten Bogor tahun 2013
15 R/C atas biaya total per hektar lahan per musim tanam usahatani padi
perlakuan organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor
tahun 2013

2
1
23
23
24
26
27
28

30

31

32
34

36

37

39

DAFTAR GAMBAR
1 Presentase luas lahan pertanian organik terhadap total lahan pertanian di
dunia tahun 2009
2 Perkembangan luas lahan pertanian organik Indonesia tahun 2007-2011

3
4

3 Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani padi perlakuan
organik dan padi perlakuan non-organik di Kabupaten Bogor

15

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian
2 Luas lahan panen, produktivitas dan jumlah produksi padi di seluruh
Provinsi Indonesia tahun 2013
3 Luas lahan panen padi di Kota/Kabupaten di Jawa Barat tahun 2013
4 Bahan-bahan dan biaya pembuatan pupuk dan pestisida cair organik
5 Output SPSS uji t test terhadap penggunaan benih tenaga kerja total, dan
tenaga kerja pengendalian hama dan penyakit

43
45
46
47
49

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertanian organik berkembang akibat kegagalan sistem pertanian
konvensional dalam mempertahankan kelestarian lahan dan lingkungan dalam
jangka panjang. Pertanian konvensional yang menitikberatkan pada input eksternal
sintetis dalam jumlah banyak, atau dikenal juga dengan High External Input System
Agriculture (HEISA), memang dapat meningkatkan hasil produski dalam jangka
pendek, namun dalam jangka panjang telah menimbulkan dampak negatif bagi
tanah, lingkungan ekosistem, juga manusia.
Dampak negatif pertanian konvensional bagi tanah yakni berkurangnya
kesuburan tanah yang mengakibatkan berkurangnya produktivitas lahan (Sugito
1993). Adapun dampak negatif bagi lingkungan dan ekosistem antara lain,
pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian, peningkatan
daya tahan organisme pengganggu terhadap pestisida, serta penurunan
keanekaragaman hayati (Schaller 1993 dalam Susilo 2005). Dampak negatif bagi
manusia yakni munculnya risiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku
pekerjaan pertanian. Hal ini karena petani yang menyemprotkan pestisida sintetis
tanpa menggunakan masker, dalam jangka panjang berisiko mengalami gangguan
pernapasan.
Pertanian konvensional tidak dapat menjawab isu kemanan pangan
berkaitan dengan tercemar tidaknya pangan oleh cemaran biologis, logam berat,
dan bahan kimia yang membahayakan kesehatan manusia. Pasalnya, produk
pertanian yang dirawat menggunakan pestisida kimia sintetis sebagian besar masih
mengandung residu pestisida yang berisiko mengancam kesehatan manusia.
Apabila residu pestisida tersebut dikonsumsi dalam jumlah besar, maka berpotensi
menurunkan kecerdasan, mengganggu kerja syaraf, mengganggu metabolise tubuh,
menimbulkan radikal bebas bahkan memicu kanker. (Manuhutu 2005).
Untuk mengatasi dampak negatif dari pertanian konvensional, para ahli
pertanian memperkenalkan pertanian alternatif ramah lingkungan salah satunya
ialah pertanian organik. Pertanian organik sebenarnya bukanlah hal baru karena
manusia telah mengenal pertanian alami sejak mengenal cara bercocok tanam.
Pertanian organik modern didefinisikan sebagai budidaya pertanian yang
mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.
Adapun definisi sistem pertanian organik sendiri berdasarkan IFOAM
(International Federation of Organic Agriculture Movements, 2002) dalam
Kementan (2010) ialah “kegiatan usaha tani secara menyeluruh sejak proses
produksi (prapanen) sampai proses pengolahan hasil (pasca-panen) yang bersifat
ramah lingkungan dan dikelola secara alami (tanpa penggunaan bahan kimia
sintetis dan rekayasa genetika), sehingga menghasilkan produk yang sehat dan
bergizi”
Pertanian organik pun telah terbukti dapat memperbaiki kesuburan tanah,
bermanfaat bagi tanaman dan lingkungan, juga baik bagi kesehatan manusia dalam
jangka panjang. Berdasarkan Sugito (1995), bahan organik berperan dalam
memberikan unsur hara N, P, K, Fe, dan S dalam tanah yang dibutuhkan tanaman,
memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan menahan air, memperbaiki

2
sifat fisika-kimia tanah, serta meningkatkan aktivitas biologi tanah. Selain itu,
bahan organik juga mengandung sejumlah zat tumbuh dan vitamin yang dapat
menstimulasikan pertumbuhan tanaman. Produk organik juga baik bagi kesehatan
manusia yang mengonsumsinya karena menurut Susilo (2005) pada umumnya
produk organik memliki kandungan nutrisi dalam jumlah yang cukup tinggi dengan
kandungan polusi yang dapat diabaikan.
Produk pertanian organik mendapat respon yang sangat baik dari
masyarakat dunia, ditandai dengan meningkatnya permintaan produk organik
dalam sepuluh tahun kebelakang. Meskipun pangsa pasar produk organik hanya
berkisar 0.5%-2% dari keseluruhan produk pertanian, namun permintaan produk
organik terus meningkat. Meningkatnya permintaan produk organik disebabkan
oleh meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan meningkatnya
tingkat pendidikan serta kesejahteraan mansyarakat. Total penjualan pertanian
organik dunia mengalami peningkatan dari US$18 milyar pada 2000 menjadi
US$33 milyar pada 2005, dan meningkat lagi pada tahun 2006 menjadi US$38,6
milyar (Saragih, 2008). Pada tahun 2010, perdagangan produk organik dunia
menembus US$59.1 milyar1.
Secara keseluruhan, permintaan produk organik dunia meningkat kurang
lebih 10%-20% pertahun dalam sepuluh tahun kebelakang, dengan permintaan
terbesar ada di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun supply yang ada belum
mampu memenuhi pesatnya permintaan 2 . Inilah kemudian yang memicu
permintaan produk pertanian organik dari negara-negara berkembang. Melihat hal
tersebut, usaha pertanian organik potensial untuk dikembangkan, termasuk di
Indonesia. Bahkan menurut Organic Monitor, Indonesia memiliki potensi sebagai
produsen utama dunia terutama untuk ekspor. Di Indonesia sendiri, permintaan
produk pertanian organik tumbuh 600% pada tahun 2006 dibandingkan tahun
sebelumnya. Permintaan ini setara dengan US$5-6 juta atau sekitar Rp 45-46
milyar (Saragih 2008, dalam Wiyanti 2013).
Namun rupanya peningkatan permintaan akan produk organik, hanya
memotivasi sejumlah kecil petani di beberapa belahan dunia, termasuk di Indonesia,
untuk beralih ke sistem pertanian organik. Hal ini ditunjukan oleh kecilnya proporsi
Tabel 1 Presentase luas lahan pertanian organik terhadap total lahan pertanian di
dunia tahun 2009a
Wilayah
Afrika
Asia
Eropa
Uni Eropa
Amerika Latin
Oceania
Amerika Utara
Jumlah
a

1

Luas lahan pertanian (ha)
1 026 632
3 581 918
9 259 934
8 346 372
8 558 910
12 152 108
2 652 624
37 232 127

Lahan pertanian organik (%)
0.1
0.3
1.9
4.7
1.4
2.8
0.7
0.9

Sumber: Willer (2010) dalam Mayrowani (2012)

Prabowo, E Hermas. 2012. Pasar Organik Dunia Tumbuh Pesat. http://health.kompas.com/read/
[diakses pada 20 Januari 2013 ]
2
Gunawan, A. 2007. Organic farm products in Demand but Not Available. The Jakarta Post, 30
Juni 2007

3
luas lahan pertanian organik dibandingkan total luas lahan pertanian. Sebagaimana
ditunjukan pada Tabel 1, luas lahan pertanian organik dunia hanya 0.9% dari total
lahan pertanian. Di beberapa wilayah di dunia, luas lahan pertanian organik tidak
melebihi jumlah 5% dari total lahan pertanian. Di Indonesia sendiri, luas lahan
pertanian organik pada 2006 hanya sebesar 41 431 ha atau 0.09% dari total lahan
pertanian (IFOAM 2008 dalam Mayrowani 2012).
Luas lahan pertanian organik dunia memang mengalami peningkatan dari
tahun 1999 hingga tahun 2009. Pada tahun 1999 jumlah lahan pertanian organik
hanya 11 juta hektar, lalu meningkat kurang lebih tiga kali lipat pada tahun 2009
menjadi 37 juta hektar (Willer 2010 dalam Maryowani 2012). Akan tetapi,
peningkatan luas lahan pertanian organik seakan terhenti sampai pada tahun 2010.
Beberapa data menunjukkan pada tahun 2010 luas lahan organik mengalami
stagnansi bahkan penurunan. Hal ini dialami oleh beberapa Negara seperti Inggris,
Scotlandia, New South Wales, Irlandia, India juga Indonesia. Irlandia dan New
South Wales menunjukkan angka yang stagnan sejak 2010 hingga 2012, sedangkan
Scotlandia dan Inggris menunjukkan penurunan luas lahan organik pada 2010 dan
2011, sebagaimana ditunjukan pada Gambar 1. Di Asia, terjadi penurunan jumlah
lahan organik sebesar 0.5 juta hektar pada 2012 dari tahun sebelumnya, dengan
jumlah penurunan terbesar ada di India3.

Gambar 1 Perkembangan luas lahan organik di United Kingdom pada 2008-2012
Sumber: Scott dan Jackson (2013)

Di Indonesia sendiri, Pertanian organik berkembang, ditunjukan dengan
meningkatnya luas lahan pertanian organik (gambar 2). Luas lahan pertanian
organik Indonesia meningkat pesat pada tahun 2007 ke tahun 2008, namun
selanjutnya menunjukkan peningkatan yang kecil bahkan penurunan pada tahun
2011 dibandingkan tahun sebelumnya, yakni dari 239 ribu hektar menjadi 225 ribu
hektar.
Pertanian organik memang memberikan dampak positif bagi lingkungan
dan kesehatan manusia, namun bagaimanapun juga keberlanjutan pertanian organik
tidak dapat dipisahkan dari aspek ekonomi disamping aspek lingkungan dan sosial.
Bahkan seringkali motivasi ekonomi menjadi kemudi yang menentukan arah
3

Organic Agriculture in Asia. http://www.organic-world.net/asia.html [diakses pada 26 Juni 2013]

4

Gambar 2 Perkembangan luas lahan pertanian organik Indonesia tahun 2007-2011
Sumber: SPOI (2010) dalam Mayrowani (2012)

pengembangan pertanian organik. Dilihat dari aspek ekonomi, pertanian organik
dapat berkelanjutan bila produksi pertaniannya mampu mencukupi kebutuhan dan
memberikan pendapatan yang cukup bagi petani. Petani dalam mengkonversikan
lahannya menjadi lahan organik tentu mengharapkan manfaat finansial disamping
manfaat lingkungan dan kesehatan.

Perumusan Masalah
Di Indonesia, pemerintah mulai fokus mengembangkan pertanian organik
melalui program “Go Organic 2010”. Komoditi organik yang memiliki permintaan
paling tinggi ialah sayur-sayuran, buah-buahan serta padi-padian. Indonesia yang
mayoritas makanan pokok penduduknya ialah beras, memiliki permintaan akan
beras organik cukup tinggi. Pada tahun 2005 dengan pertumbuhan sebesar 22%
pertahunnya, pasar beras organik Indonesia mencapai Rp 28 milyar4.
Jawa Barat merupakan sentra produksi padi terbesar kedua di Indonesia
(Lampiran 2). Salah satu daerah yang berkontribusi cukup besar bagi produksi padi
di Jawa Barat ialah Kabupaten Bogor. Luas panen padi dan jumlah produksi padi
di Kabupaten Bogor cenderung meningkat dari tahun 2008 ke tahun 2012
(Lampiran 3). Pada tahun 2012, dengan luas panen padi sebesar 83 925 hektar,
Kabupaten Bogor menghasilkan produksi padi sebesar 485 627 ton.
Pengembangan pertanian organik di Kabupaten Bogor didukung oleh
pemerintah daerah dengan mencanangkan program peningkatan ketahanan pangan
melalui budidaya pertanian organik yang berfokus pada komoditi padi organik
dalam rencana strategis pemerintah Kabupaten Bogor. BP5K Kabupaten Bogor pun
telah melakukan penyuluhan-penyuluhan mengenai usahatani padi organik guna
membimbing petani beralih kepada pertanian padi organik.

4

Biocert. 2006. Indonesia: Pasar Beras Organik Mencapai Rp 28 Milyar. www.biocert.co.id
[diakses pada 20 Januari 2014]

5
Namun perkembangan padi organik di Kabupaten Bogor tidak berjalan baik.
Hal ini tercermin dari sedikitnya lahan pertanian organik dan pelaku pertanian
organik di Kabupaten Bogor. Berdasarkan BP5K Kabupaten Bogor, luas lahan
pertanian organik pada tahun 2013 hanya kurang lebih 0.9% dari total luas lahan
pertanian.
Meskipun petani sudah pernah mendapatakan penyuluhan mengenai
pertanian organik, namun hanya sedikit jumlah petani yang tertarik mengusahakan
padi metode organik. Bahkan terdapat beberapa petani yang telah mengusahakan
padi metode organik namun kembali beralih ke metode konvensional. Padahal
dengan mengusahakan padi organik, petani berpotensi mendapatkan penerimaan
lebih tinggi karena harga gabah organik dinilai lebih tinggi. Beberapa penelitian
terdahulu pun telah menunjukkan bahwa keuntungan usahatani padi organik lebih
tinggi dibanding keuntungan usahatani padi konvensional.
Penelitian di Kabupaten dan Kota Bogor yang dilakukan oleh Poetryani
(2011), Sari (2011), Azizah (2012), Kusumah (2004), dan Wulandari (2011)
menunjukkan hasil yang sama yakni usahatani padi organik memberikan
keuntungan lebih tinggi dibanding usahatani padi non-organik. Begitupun dengan
penelitian Rohmani (2000) di Kabupaten Klaten Jawa Tengah yang menunjukkan
bahwa keuntungan usahatani padi organik lebih besar dibandingkan keuntungan
usahatani padi konvensional.
Meski berpotensi memberikan keuntungan lebih tinggi dengan
mengusahakan padi organik, namun petani cenderung lebih memilih pertanian
konvensional. Sehingga menjadi pertanyaan mengapa petani tidak tertarik
mengusahakan padi organik dan lebih memilih mengusahakan padi menggunakan
metode konvensional? Apakah keuntungan menjadi alasan petani dalam
menentukan metode usahatani yang dijalankan ataukah ada faktor lain yang
memengaruhi penerapan padi organik di Kabupaten Bogor?

Tujuan Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan yang menjadi masalah dalam penelitian ini,
perlu dilihat keuntungan usahatani dan dilakukan analisis pendapatan petani padi
organik dan petani padi non-organik. Perlu juga dilakukan analisis efisiensi biaya
untuk melihat usahatani mana yang memberi manfaat lebih banyak bagi petani.
sehingga tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis struktur biaya usahatani padi organik dan padi non-organik di
Kabupaten Bogor
2. Menganalisis tingkat pendapatan usahatani padi organik dan padi non-organik
di Kabupaten Bogor
3. Menganalisis efisiensi usahatani padi organik dan padi non-organik di
Kabupaten Bogor dilihat berdasarkan R/C rasio

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
pihak yang terkait, yaitu:

6
1. Bagi petani di lokasi penelitian, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan
informasi untuk mengetahui struktur biaya, pendapatan, dan efisiensi biaya dari
usahatani padi organik maupun padi non-organik, yang selanjutnya dapat
membantu petani dalam mengelola usahataninya.
2. Bagi pelaku kegiatan agribisnis termasuk pemerintah, diharapkan penelitian ini
dapat dijadikan bahan masukan dalam membuat keputusan terkait usahatani
padi organik dan padi non-organik.
3. Bagi kalangan mahasiswa dan perguruan tinggi, penelitian ini dapat
bermanfaaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan yang berguna
sehingga dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan dalam penelitian
selanjutnya.
4. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan segala ilmu yang
telah diperoleh selama perkuliahan, serta dapat melatih dan mengembangkan
kemampuan dalam berpikir dan menganalisis permasalahan yang ada di
lapangan.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis keragaan usahatani padi
organik dan padi non-organik di Kabupaten Bogor, dilihat dari aspek penggunaan
input, struktur biaya, pendapatan serta efisiensi usahatani. Usahatani padi organik
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah usahatani padi dimana dalam proses
budidaya meminimalisasi penggunaan pupuk dan pestisida kimia sintetis. Efisiensi
usahatani hanya dilihat berdasarkan R/C rasio. Analisis usahatani yang digunakan
merupakan analisis finansial dimana data biaya yang dipakai adalah data riil yang
sebenarnya dikeluarkan petani. Penelitian ini dilakukan hanya pada satu musim
tanam. Selain itu diberikannya batasan-batasan berupa asumsi dimaksudkan untuk
memudahkan proses analisis dan diharapkan dengan batasan ini tidak merubah
ataupun mengurangi esensi yang hendak disampaikan.

TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan Input dan Tenaga Kerja pada Usahatani Metode Organik dan
Non-Organik
Sistem pertanian organik berbeda dengan sistem pertanian konvensional
(non-organik) dalam hal penggunaan input. Pertanian konvensional menggunakan
input kimia sintetis, sedangkan pertanian organik menghindari pemakaian input
sintetis dan mengedepankan sistem pertanian ramah lingkungan.
Namun rupanya, usahatani organik tidak dapat 100% terlepas dari
penggunaan bahan-bahan kimia sintetis. Data Europan Commision (2013) yang
diambil di Negara Jerman, Spanyol, Perancis, Polandia dan Austria menunjukkan
bahwa sistem pertanian organik masih menggunakan pupuk kimia sintetis namun
dalam jumlah 50% - 70% lebih rendah dan mengggunakan pestisida sintetis dalam
jumlah 90% lebih rendah. Begitu pun pada penelitian Hanson (2003) dalam
Pimentel et al (2005) di Amerika yang menunjukkan bahwa usahatani organik

7
masih menggunakan pupuk sintetis namun dengan jumlah 77% lebih rendah dan
sama sekali tidak menggunakan pestisida sintetis.
Beberapa penelitian terdahulu mengukur energi penggunaan input pada
usahatani metode organik dan non-organik. Penelitian Pimentel et al (2005)
menunjukkan bahwa energi yang dikeluarkan dalam penggunaan input usahatani
tanaman organik 32% lebih rendah dibanding non-organik. Penelitian Bilalis et al
(2013) juga menghasilkan kesimpulan yang sama yakni dibandingkan dengan
metode konvensional, energi penggunaan input untuk tanaman tomat organik 26%
lebih rendah dan untuk jagung organik 29% lebih rendah. Adopsi teknologi organik
dalam usahatani dapat mengurangi energi dalam penggunaan input.
Metode organik dalam usahatani juga berimplikasi terhadap perbedaan
penggunaan tenaga kerja. Tenaga kerja pada penelitian terdahulu diukur
berdasarkan HOK (Hari Orang Kerja) ataupun berdasarkan energy (MJ/ha) yang
dikeluarkan. Berdasarkan penelitian Bilalis et al (2013), energi yang dikeluarkan
pada usahatani tomat organik dan jagung organik 14.5% dan 24.8% lebih banyak
dibandingkan metode non-organik. Hasil yang sama juga ditemukan pada
penelitian Brumfield et al (2000) yang menunjukkan bahwa jumlah jam kerja per
hektar pada usahatani tomat organik, labu organik, dan jagung manis organik 25%,
12% dan 5% lebih tinggi dibandingkan metode non-organik.
Berdasarkan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa petani organik di
beberapa wilayah belum dapat sepenuhnya terlepas dari bahan-bahan kimia sintetis.
Penerapan metode organik dalam usahatani dapat mengurangi energi yang
dikeluarkan dalam penggunaan input pupuk, pestisida, benih dan peralatan. Namun
penerapan metode organik juga akan membutuhkan kerja lebih banyak
dibandingkan metode non-organik.

Produktivitas Output Usahatani Metode Organik dan Non-Organik
Penelitian Brumfield et al (2000) menunjukkan bahwa tanaman tomat, labu
dan jagung manis yang ditanam menggunakan metode organik memberikan hasil
produksi yang lebih rendah antara 15%-19% dibandingkan metode konvensional.
Hasil serupa juga didapat pada data Europan Commision (2013), yakni
produktivitas per hektar tanaman yang ditanam menggunakan metode organik lebih
rendah. Begitupun dengan hasil penelitian Pimentel et al (2005) yang menunjukkan
bahwa produktivitas gandum organik kurang lebih 22% lebih rendah dibandingkan
gandum biasa.
Delate (2002) juga menyimpulkan bahwa hasil produksi jagung-kedelaigandum yang ditanam mengunakan metode organik lebih rendah namun tidak
berbeda nyata secara signifikan, dibandingkan dengan hasil produksi jagungkedelai yang ditanam menggunakan metode konvensional. Penelitian Venkat
(2012) juga memberikan hasil yang sama yakni, produktivitas output organik lebih
rendah dibandingkan produktivitas output non-organik, pada komoditi salada,
brokoli, kenari, almond, dan stroberi. Namun hasil penelitian Venkat (2012)
menunjukkan hasil yang berbeda pada komoditi apel dan alfafa yang justru
memberikan produktivitas lebih tinggi jika ditanam menggunakan metode organik.
Beberapa penelitian di Indonesia juga menunjukkan hasil hampir sama
dengan penelitian yang telah dibahas sebelumnya. Penelitian Wiyanti (2013)

8
mengenai buncis organik di Kecamatan Pasirjambu Kabupaten Bandung
menunjukkan bahwa produktivitas buncis organik 2.45 kali lebih rendah dibanding
buncis konvensional. Penelitian Siregar (2008) mengenai cabai merah organik juga
menunjukkan bahwa produktivitas cabai merah organik 1.5 kali (5 ton) lebih rendah
dibanding produktivitas cabai merah nonorganik. Begitupun dengan penelitian
Khairina (2006) yang menunjukkan bahwa produktivitas wortel organik di
Kecamatan Cisarua Bogor sedikit lebih rendah dibandingkan wortel nonorganik.

Biaya dan Penerimaan Usahatani Metode Organik dan Non-Organik
Perbedaan input yang digunakan pada usahatani metode organik dengan
non-organik tentunya akan berimplikasi terhadap perbedaan biaya produksi.
Perbedaan penggunaan input juga akan berimplikasi terhadap perbedaan hasil
output, sehingga akan berpengaruh terhadap penerimaan petani.
Penelitian Brumfield et al (2000) di New Jersey, menunjukkan bahwa biaya
usahatani tomat, labu, dan jagung manis yang dikelola menggunakan metode
organik jauh lebih tinggi dibandingkan biaya usahatani yang dikelola secara
konvensional. Pada usahatani dengan metode organik, biaya untuk bahan-bahan
yakni pupuk, obat-obatan dan benih rata-rata 27% lebih tinggi dibanding biaya
bahan-bahan pada usahatani non-organik. Adapun biaya tenaga kerja pada
usahatani organik lebih besar 30% dari biaya tenaga kerja non-organik.
Serupa dengan hasil penelitian Brumfield, penelitian Klonsky (2012) juga
menunjukkan biaya produksi untuk tomat, jagung, brokoli, kenari, kismis dan
almond organik lebih besar dibandingkan jika ditanam menggunakan metode nonorganik. Perbedaan biaya terbesar terdapat pada kegiatan pemupukan, penyiangan
dan pengendalian hama penyakit yang menunjukkan perbedaan hingga 50% lebih
tinggi pada usahatani tomat organik dan 21% lebih tinggi pada usahatani jagung
organik.
Hasil berbeda diperoleh Klonsky (2012) pada komoditas stroberi dan salada
air. Komoditas stroberi dan salada air justru akan membutuhkan biaya lebih besar
jika ditanam secara konvensional karena membutuhkan biaya tambahan untuk
fumigasi pada usahatani stroberi dan biaya untuk pestisida sintetis pada salada air.
Hasil berbeda juga diperoleh pada penelitian Takele et al (2007) dan
Pimentel et al (2005). Takele et al (2007) menunjukkan bahwa biaya usahatani
blueberry metode organik lebih tinggi namun tidak signifikan dibandingkan biaya
usahatani metode konvensional karena hanya berbeda 3%. Tidak terdapat
perbedaan biaya tenaga kerja yang signifikan antara kedua jenis usahatani. Pimentel
et al (2005) bahkan menunjukkan bahwa biaya produksi usahatani organik lebih
rendah dibandingkan usahatani metode konvensional. Penelitian Pimentel et al
(2005) menunjukkan bahwa karena penggunaan energi untuk input pada usahatani
organik lebih rendah, maka biaya yang dikeluarkan pada usahatani organik juga
lebih rendah. Biaya untuk pupuk, pestisida dan tenaga kerja luar keluarga pada
usahatani organik lebih rendah, namun biaya untuk benih dan peralatan pada
usahatani organik lebih tinggi.
Dilihat dari sisi penerimaan, berdasarkan Takele et al (2007), Europan
Commision (2013), juga Delate et al (2002), usahatani organik memberikan
penerimaan bersih lebih tinggi, karena harga jual produk organik lebih tinggi.

9
Sehingga meskipun memperoleh hasil produksi lebih rendah namun penerimaan
usahatani organik tetap lebih tinggi berkat output organik dinilai dengan harga
premium. Hasil berbeda didapat pada penelitian Brumfield et al (2000), yang
menunjukkan bahwa meskipun harga jual produk organik lebih tinggi dibanding
produk biasa, namun penerimaan bersih usahatani organik ternyata lebih rendah
dengan selisih yang tidak berbeda jauh. Hal ini diakibatkan karena biaya yang
dikeluarkan pada usahatani organik jauh lebih besar dibanding usahatani
konvensional.

R/C dan Return to Labour Usahatani Sistem Organik dan Konvensional
R/C merupakan ukuran tepat untuk membandingkan biaya dan penerimaan
antara beberapa jenis usahatani. Produsen cenderung memilih jenis usaha yang akan
memberikan R/C lebih tinggi. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
R/C atas biaya total usahatani metode organik lebih rendah dibandingkan usahatani
konvensional dengan selisih yang tidak berbeda jauh.
Brumfield et al (2000) menunjukkan usahatani tomat, labu dan jagung
manis yang dikelola secara organik memiliki nilai R/C lebih rendah dibandingkan
bila dikelola secara konvensional. Nilai R/C untuk usahatani tomat organik sebesar
2.39 sedangkan untuk usahatani tomat konvensional sebesar 2.89, nilai R/C untuk
usahatani labu organik sebesar 2.02 sedangkan labu konvensional 2.27. Di
Indonesia, penelitian mengenai efisiensi biaya dilakukan oleh Fatullah (2012)
mengenai padi dan Wiyanti (2013) mengenai buncis. Kesimpulan serupa didapat
dari kedua penelitian yakni R/C usahatani organik sedikit lebih rendah dibanding
R/C usahatani konvensional, dengan nilai R/C usahatani padi organik sebesar 1.77
sedangkan R/C padi konvensional 1.80 dan nilai R/C usahatani buncis organik
sebesar 1.11 sedangkan R/C buncis konvensional 1.35. Dilihat dari biaya total,
petani akan cenderung memilih usahatani konvensional karena memberikan nilai
R/C lebih tinggi.
Balas jasa terhadap penggunaan tenaga kerja dalam keluarga dapat diukur
berdasarkan Return to Family Labour pada masing-masing usahatani. Penelitian
Fatullah (2012) dan Hadiwijaya (2013) menunjukkan bahwa usahatani padi organik
memberikan nilai Return to Family Labour yang lebih besar dibandingkan
usahatani padi konvensional. Pada Fatullah (2012) nilai Return To Family Labour
untuk usahatani padi organik dan nonorganik bertrut-turut adalah Rp 62 608 dan
Rp 48 373 dan pada Hadiwijaya (2013) nilainya sebesar Rp 111 459 dan Rp 78 578.
Petani lebih baik mengguakan metode organik dalam mengusahakan padi karena
memberikan nilai pengembalian terhadap tenaga kerja keluarga lebih tinggi
dibandingkan metode konvensional, dengan catatan pekerjaan telah lebih banyak
dilakukan oleh tenaga upahan dibandingkan oleh tenaga kerja dalam keluarga.

10

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep usahatani padi organik
Usahatani pada dasarnya adalah proses pengorganisasian alam, lahan, tenaga
kerja dan modal untuk menghasilkan output pertanian. Menurut Soekartawi (1995)
ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang
mengalokasikan faktor produksi yang ada secara efektif (mengalokasikan
sumberdaya dengan sebaik-baiknya) dan efisien (menghasilkan output yang
melebihi input) untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu
tertentu. Adapun faktor produksi dalam usahatani ialah faktor alam yakni iklim dan
tanah/lahan, tenaga kerja, modal, serta pengelolaan.
Usahatani padi organik pada dasarnya sama dengan usahatani padi biasa,
namun dalam pengelolaannya sebisa mungkin tidak menggunakan input kimia
sintetis. Sehingga dalam praktiknya, usahatani padi organik menghindari
pemakaian pupuk juga pestisida sintetis dan menggantinya dengan pupuk dan
pestisida organik. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan tidak hanya secara
kimiawi tetapi juga secara fisik dan secara teknik budidaya. Tujuan dari pertanian
organik sendiri ialah untuk menghasilkan pangan yang berkualitas dan
berkelanjutan dengan mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agroekosistem
secara alami.
Dilihat dari sisi teknologi, terdapat perbedaan penggunaan input antara
usahatani padi organik dengan usahatani padi konvensional. Jika usahatani padi
konvensional menggunakan pupuk dan pestisida kimia pabrikan, maka usahatani
padi organik menggunakan pupuk dan pestisida organik yang umumnya dibuat
sendiri oleh petani. Hal ini berimplikasi pada adanya kerja tambahan yang harus
dikeluarkan petani organik untuk membuat pupuk dan pestisida cair nabati. Kerja
tambahan juga dibutuhkan petani padi organik untuk membuat perangkap guna
mengendalikan hama. Kegiatan kerja membuat pupuk dan pestisida nabati serta
membuat perangkap ini umumnya dilaksanakan sendiri oleh petani ataupun
keluarga petani selaku pengelola, sehingga kegiatan usahatani padi organik
berimplikasi terhadap kebutuhan tenaga kerja dalam keluarga yang lebih banyak.
Konsep biaya usahatani
Perbedaan penggunaan bahan-bahan input serta penggunaan tenaga kerja
pada usahatani organik dan konvensional secara langsung mengakibatkan
perbedaan biaya produksi. Biaya merupakan nilai semua pengorbanan atau faktor
produksi yang dikeluarkan untuk menghasilkan output dalam waktu tertentu.
Berdasarkan Tjakrawiralaksana (1983), hal yang termasuk dalam biaya usahatani
ialah lahan, biaya sarana produksi yang habis terpakai, biaya alat-alat produksi
tahan lama, biaya tenaga kerja, dan biaya lain-lain.
Hal yang termasuk biaya dalam penggunaan lahan adalah sewa tanah dan
pajak tanah. Jika tanah yang digunakan adalah milik sendiri, maka biaya tanah
diperhitungkan andaikata tanah tersebut adalah tanah sewa atau disebut juga biaya
sewa lahan sendiri. Biaya sarana produksi yang habis terpakai adalah biaya yang
dikeluarkan dalam penggunaan sarana produksi seperti bibit, pupuk, pestisida,

11
makanan ternak dan bahan bakar. Dalam usahatani kecil, tidak semua petani
mendapatkan sarana produksi dengan cara membeli. Adapula sarana produksi yang
dibuat sendiri misalnya pupuk organik. Pada kasus seperti ini, sarana produksi yang
tidak diperoleh dengan cara membeli harus tetap dihitung nilainya sebagai biaya,
sesuai dengan harga yang dibayarkan jika sarana produksi tersebut dibeli dari luar.
Alat-alat produksi tahan lama ialah alat produksi yang tidak habis terpakai
selama satu kali proses produksi, contohnya adalah gudang penyimpanan, gudang
pengolahan hasil, lantai penjemuran, traktor, mesin perontok, cangkul, kored dan
sebagainya. Alat-alat ini dipakai berkali-kali dan nilainya berkurang setiap
tahunnya. Pengurangan nilai inilah yang menjadi biaya dalam usahatani, atau biasa
disebut juga dengan biaya penyusutan.
Semua pekerjaan yang dilakukan untuk mencapai tujuan dalam usahatani
termasuk biaya. Pada usahatani kecil, tenaga kerja tidak hanya berasal dari luar
keluarga tetapi seringkali berasal juga dari dalam keluarga. Kerja yang dilakukan
oleh Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) harus dihitung sebagai biaya dan
dinilai atas dasar upah apabila pekerjaan tersebut dilakukan orang lain. Penggunaan
tenaga kerja dalam usahatani biasa diukur berdasarkan hari orang kerja, dimana
dalam satu hari biasanya petani bekerja selama tujuh jam.
Adapun biaya lain-lain, berdasarkan Tjakrawiralaksana (1983), diantaranya
adalah: iuran untuk perkumpulan organisasi petani, iuran-iuran wajib sehubungan
dengan fungsinya sebagai petani, dan biaya jasa orang ketiga misalnya dalam
pengolahan tanah.
Biaya-biaya dalam usahatani seperti yang telah diuraikan sebelumnya, ada
yang dikeluarkan secara tunai ada pula yang tidak tunai atau biasa disebut biaya
diperhitungkan. Pupuk serta pestisida nabati yang dibuat sendiri oleh petani
termasuk dalam komponen biaya diperhitungkan, begitupun dengan Tenaga Kerja
Dalam Keluarga. Usahatani organik yang lebih banyak menggunakan sumber daya
milik sendiri, akan mengeluarkan biaya diperhitungkan lebih besar.
Biaya usahatani juga biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap
(fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang relatif
tetap jumlahnya dan besarnya tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi. Biaya
tetap akan tetap dikeluarkan meskipun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit.
Contoh biaya tetap adalah sewa tanah, biaya pajak, biaya penyusutan alat dan
bangunan pertanian, biaya pemeliharaan kerbau bajak dan alat pertanian, dan iuran
irigasi. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh
besarnya produksi. Contoh biaya variabel adalah biaya sarana prosuksi seperti
pupuk, pestisida, obat pembasmi hama dan penyakit, benih atau bibit tanaman, dan
tenaga kerja upahan. Perbedaan input yang digunakan dalam usahatani padi organik
dan konvensional akan mengakibatkan perbedaan biaya variabel antara kedua jenis
usahatani. Usahatani yang menggunakan input lebih intensif akan mengeluarkan
biaya variabel lebih besar.
Konsep penerimaan usahatani
Selain berpengaruh terhadap biaya, perbedaan penggunaan input serta teknik
budidaya juga akan berpengaruh terhadap hasil produksi. Hasil produksi
merupakan faktor yang menentukan penerimaan petani disamping harga output.
Penerimaan usahatani adalah output total yang diperoleh pada jangka waktu

12
tertentu. Nilai output didapat dari hasil perkalian antara jumlah output yang
dihasilkan dari proses produksi dengan harga output per satuan unit.
Disamping hasil produksi atau jumlah total output, penerimaan juga
ditentukan oleh faktor harga. Produk organik umumnya mendapat harga premium,
yakni harga diatas harga produk biasa. Sehingga perbedaan penerimaan antara
usahatani organik dengan usahatani konvensional dipengaruhi oleh perbedaan
jumlah hasil produksi atau produtivitas dan perbedaan harga jual produk tersebut.
Hasil produksi dan harga output yang tinggi tentunya akan memberikan penerimaan
yang tinggi bagi petani.
Pada usahatani kecil, tidak semua output yang dihasilkan dijual oleh petani.
Ada pula produk yang digunakan untuk dikonsumsi rumahtangga petani, digunakan
dalam usahatani untuk bibit atau untuk makanan ternak, digunakan untuk
pembayaran, ataupun disimpan. Oleh karena itu, Soekartawi (1985) membagi
penerimaan menjadi penerimaan tunai dan penerimaan tak tunai. Penerimaan tunai
ialah uang yang diterima dari penjualan produk usahatani, sedangkan penerimaan
tak tunai adalah nilai total produk yang tidak dijual. Produk yang tidak dijual harus
tetap dihitung nilainya berdasarkan harga pasar.
Konsep pendapatan usahatani dan R/C rasio
Pendapatan bersih usahatani (net farm income) mengukur imbalan yang
diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja,
pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan
kedalam usahatani. Pendapatan bersih usahatani merupakan selisih antara
pendapatan kotor usahatani (gross farm income) dan pengeluaran total usahatani
(total farm epenses). Pendapatan kotor yang dimaksud disini sama dengan
penerimaan usahatani, yakni nilai output total baik yang dijual maupun tidak pada
jangka waktu tertentu. Pengeluaran total usahatani adalah semua biaya yang
dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk biaya tenaga kerja dalam
keluarga.
Pendapatan bersih usahatani yang sudah dikurangi dengan bunga modal
pinjaman disebut penghasilan bersih usahatani (net farm earnings). Apabila dalam
praktik usahatani, petani tidak menggunakan modal pinjaman maka penghasilan
bersih usahatani sekaligus merupakan pendapatan bersih usahatani. Ukuran ini
menggambarkan imbalan terhadap semua sumberdaya milik keluarga yang dipakai
di dalam usahatani (Soekartawi 1985).
Berdasarkan Soekartawi (1985), pengembalian hasil yang diperoleh
komponen lain dapat dihitung dengan cara mengurangi nilai berbagai komponen
sumberdaya dari pendapatan bersih usahatani. Ukuran yang baik untuk menilai
penampilan usahatani semi-komersial ialah imbalan kepada modal dan imbalan
kepada tenaga kerja. Apabila dalam praktik usahatani, sebagian modal diperoleh
dari pinjaman maka ada dua ukuran yang dapat dipakai, yaitu imbalan kepada
seluruh modal dan imbalan kepada modal petani. Imbalan kepada seluruh modal
(return to total capital) diperoleh dengan mengurangkan nilai kerja keluarga dari
pendapatan bersih usahatani, dan dinyatakan dalam persen terhadap nilai seluruh
modal. Imbalan kepada modal petani (return to farm equity capital) dihitung
dengan cara mengurangkan nilai kerja keluarga dari penghasilan bersih usahatani,
dan dinyatakan dalam persen terhadap nilai modal petani.

13
Adapun imbalan kepada tenaga kerja keluarga (return to family labour) dapat
dihitung dari penghasilan bersih usahatani dengan mengurangkan bunga modal
petani yang diperhitungkan. Ukuran ini dapat dinyatakan per HOK untuk menilai
imbalan yang diperoleh per hari kerja dari kegiatan usahatani, dan dibandingkan
dengan upah kerja buruh tani harian maupun upah kerja di luar usahatani. Petani
sebagai pelaku utama sekaligus manajer dalam mengelola usahatani sudah tentu
mengharapkan imbalan yang sekurang-kurangnya sama dengan upah jika ia bekerja
pada petani lain.
Return to Cost Ratio atau biasa dikenal dengan R/C merupakan imbangan
antara penerimaan dan biaya. Nilai R/C menggambarkan tingkat efisiensi biaya
usahatani karena menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh petani setiap
satu satuan biaya yang dikeluarkan. Nilai R/C lebih dari satu menunjukkan bahwa
usahatani menghasilkan nilai output yang lebih besar daripada nilai faktor produksi
yang digunakan. Semakin besar nilai R/C yang didapatkan maka semakin besar
efisiensi suatu usahatani.
Berdasarkan Soekartawi (1995), perhitungan R/C dapat dipisahkan
berdasarkan biaya total ataupun biaya tunai. Perhitungan R/C atas biaya total
didapat dengan membagi penerimaan total terhadap biaya total. Adapun
perhitungan R/C atas biaya tunai didapatkan dengan membagi total penerimaan
terhadap biaya tunai.

Kerangka Pemikiran Operasional
Pertanian organik berkembang akibat gagalnya sistem pertanian
konvensional dalam mempertahankan kelestarian lahan dan lingkungan dalam
jangka panjang. Pertanian konvensional dalam jangka panjang telah memberi
dampak negatif bagi tanah, lingkungan juga bagi kesehatan manusia. Sebaliknya,
pertanian organik terbukti telah membantu tingkat kesuburan tanah, menjaga
kelestarian ekosistem dalam jangka panjang serta baik bagi kesehatan manusia.
Pertanian organik mendapat respon positif dari masyarakat dunia ditandai
dengan meningkatnya permintaan produk organik dunia dalam sepuluh tahun
kebelakang. Komoditi organik yang memiliki permintaan paling tinggi ialah sayursayuran, buah-buahan, serta padi-padian. Indonesia yang mayoritas makanan pokok
penduduknya adalah beras memiliki permintaan beras organik cukup tinggi.
Dengan pertumbuhan sebesar 22% pertahunnya, pasar beras organik Indonesia
mencapai Rp 28 milyar.
Salah satu daerah penyumbang padi terbesar bagi Indonesia ialah provinsi
Jawa Barat. Daerah di Jawa Barat yang menyumbang kontribusi cukup besar
terhadap produksi padi ialah Kabupaten Bogor. Perkembangan pertanian padi
organik di Kabupaten Bogor didukung oleh pemerintah daerah dengan
dicantumkannya progam pengembangan pertanian organik dalam rencana strategis
pemerintah Kabupaten Bogor. Namun perkembangan padi organik di Kabupaten
Bogor belum berjalan baik. Hal ini ditandai dengan sedikitnya luas lahan dan pelaku
pertanian organik di Kabupaten Bogor.
BP5K Kabupaten Bogor telah melakukan program penyuluhan pertanian
organik guna membimbing petani dalam beralih kepada usahatani padi organik.
Namun hanya sedikit jumlah petani yang tertarik pada usahatani padi organik.

14
Bahkan beberapa petani yang telah mengusahakan padi organik, kembali beralih
pada usahatani padi konvensional. Sehingga menjadi pertanyaan, mengapa petani
tidak tertarik terhadap usahatani padi organik dan lebih memilih usahatani padi
konvensional?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti melihat permasalahan dari sisi
finansial dengan menggunakan pendekatan struktur biaya usahatani dan pendapatan.
Mula-mula dilakukan analisis penggunaan faktor produksi seperti bahan-bahan
input dan tenaga kerja pada usahatani padi organik dan non-organik. Perbedaan
penggunaan faktor produksi, akan mengakibatkan perbedaan biaya. Biaya yang
dinilai adalah biaya tunai maupun biaya tak tunai. Setelah diketahui struktur biaya
masing-masing usahatani, selanjutnya peneliti membandingkan penerimaan pada
masing-masing usahatani. Penerimaan ditentukan oleh hasil produksi dan harga
output. Penerimaan dinilai berdasarkan penerimaan tunai dan penerimaan nontunai.
Berdasarkan nilai biaya dan penerimaan usahatani yang telah didapatkan,
Selanjutnya dapat dicari keuntungan usahatani dengan mengurangi biaya total dari
nilai penerimaan total. Keuntungan bukanlah nilai imbalan sesungguhnya yang
diperoleh petani, pendapatan bersih petani dapat dicari dengan mengurangi nilai
penerimaan total dengan biaya total tetapi tidak termasuk biaya Tenaga Kerja
Dalam Keluarga. Imbalan yang diperoleh petani terhadap penggunaan tenaga kerja
keluarga dapat diketahui dengan mencari return to family labour.
Penerimaan usahatani yang tinggi belum tentu menunjukkan efisiensi yang
tinggi pula. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis R/C rasio untuk
membandingkan efisiensi usahatani padi organik dan padi non-organik dilihat dari
sisi penerimaan dan biaya. R/C rasio menunjukkan besarnya penerimaan yang
diperoleh dari setiap satu satuan biaya yang dikeluarkan atau dengan kata lain
menunjukkan produktivitas biaya. Usahatani yang memberikan nilai R/C rasio
lebih tinggi dapat dikatakan lebih efisien. Sehingga akan didapatkan jawaban
mengenai usahatani manakah yang lebih efisien ditandai dengan memberikan nilai
R/C rasio lebih tinggi. Untuk mempermudah penjabaran pemikiran operasional
yang telah diuraikan sebelumnya, maka dibuat kerangka pemikiran operasional
yang dapat dilihat pada gambar 3.

15

Pertanian organik berkembang akibat kegagalan sistem pertanian konvensional dalam
melestarikan lingkungan dalam jangka panjang.

Pertanian padi organik mulai dikembangkan di salah satu sentra produksi padi, yakni di
Kabupaten Bogor. Namun hanya sedikit petani di Kabupaten Bogor yang mau
mengusahakan padi organik. Mengapa petani tidak tertarik terhadap usahatani padi organik
dan cenderung memilih usahatani padi konvensional?

Usahatani padi organik:

Keragaan usahatani :
-penggunaan input
-hasil dan harga output

Struktur biaya,
penerimaan dan
pendapatan usahatani

Usahatani padi non-organik:

Efisiensi biaya:
- R/C rasio

Usahatani padi organik menarik untuk diusahakan atau tidak

Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani padi perlakuan organik dan non-organik di
Kabupaten Bogor

16

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jawa Barat merupakan sentra produksi padi terbesar kedua di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yakni
Kabup